Quantcast
Channel: Bernard Batubara
Viewing all 402 articles
Browse latest View live

Alamat Redaksi Koran dan Majalah

$
0
0

 Jika ada teman-teman yang ingin mengirimkan naskah tulisannya berupa puisi, cerpen, ataupun esei ke koran atau majalah, silakan kirim ke alamat redaksi di bawah ini. Tulisan ini saya comot langsung dari blog http://lakonhidup.wordpress.com Semoga bermanfaat!
_________________________________


Teknis Standar Pengiriman Naskah
Hal pertama yang harus diperhatikan seorang penulis sebelum mengirimkan cerpen/puisi ke suatu media adalah kecenderungan tema cerpen/puisi yang biasa dimuat oleh media tersebut. Biasanya sejalan dengan visi dan misi media.
Majalah Ummi, Tabloid Nova, tentu tidak akan memuat cerpen dengan tema remaja yang lagi patah hati dengan gaya tutur gaul seperti loe, gue, apalagi memuat kisah peri hijau dan cinderella. Begitu pula Majalah Bobo, mustahil menerima cerpen dengan tema keluarga dan rumah tangga.
Naskah diketik dalam MS Word, kertas A4, Times New Roman 12, line spacing 1.5, maksimal 10.000 karakter termasuk spasi—tergantung media, disimpan dalam format RTF (Rich Text Format), dan dikirim via fileattachment.


Jangan lupa di bagian akhir naskah cantumkan nomer rekening Anda untuk pengiriman honor—jika dimuat, NPWP (nomor pokok wajib pajak—bagi yang sudah punya), alamat email, dan nomer hp.
Pada subjek email untuk pengiriman cerpen ditulis CERPEN: JUDUL CERPEN .
Tulis pengantar singkat-padat-jelas pengiriman cerpen pada badan email. Dan, akan lebih baik jika dalam pengantar ditegaskan tentang lama status cerpen yang dikirim.
“Jika setelah DUA BULAN cerpen ini belum dimuat, maka akan saya kirim ke media lain….”
Selesai.
Tarik nafas dalam-dalam, ucapkan syukur karena telah menyelesaikan sebuah cerpen/puisi dan mengirimkannya ke media. Berdoalah semoga layak muat dan dikirim honornya jika dimuat. Amin.
Dan, teruslah (belajar) menulis kreatif lebih baik lagi!
 .
Selatan Jakarta, Gatsu 52-53 Lt.14
17 Januari 2012 09:29 WIB
.
Contoh pengantar pengiriman.
Dari                : Saroni Asikin
Kepada          : sastra@jawapos.co.idJawapos
Dikirim          : Kamis, 15 September 2011 5:25
Judul               : Cerpen STRIPTEASE DI JENDELA – Saroni Asikin
.

Semarang, 15 September 2011
Kepada
Yth. Redaktur Cerpen Jawa Pos
di tempat.
Dengan hormat,
Bersama ini saya kirimkan sebuah cerpen saya bertajuk “STRIPTEASE DI JENDELA” (dalam Lampiran). Saya sangat berharap cerpen ini Anda baca dan kelayakan pemuatannya sepenuhnya hak Anda. Atas pembacaan dan pertimbangan Anda, saya ucapkan terima kasih.
Hormat saya,
Saroni Asikin | saroniasikin@yahoo.co.id
| Tlp. 081390317733
| Rek Mandiri Pati 1350005188246 a.n. Saroni Asikin
.
***
BERIKUT alamat-alamat email redaksi koran, majalah, jurnaldantabloid yang menerima kiriman CERPEN/PUISI. Anda yang mengetahui info terkini terkait alamat-alamat email redaksi dan honor pemuatan cerpen/puisi dimohon bantuannya dengan menuliskannya pada komentar Anda. Terima kasih.
1. Republika
Tidak ada pemberitahuan dari redaksi terkait pemuatan cerpen. Sudah lama tidak memuat puisi. Honor cerpen Rp. 400.000,- (potong pajak), tetapi—pengalaman beberapa rekan penulis, harus sabar menagih ke redaksi beberapa kali agar segera cair.
2. Kompas
Ada konfirmasi pemuatan cerpen/puisi dari redaksi via email. Honor cerpen Rp. 1.o00.000,- (tanpa potong pajak), honor puisi Rp. 500.000,- (tanpa potong pajak–referensi Esha Tegar Putra), seminggu setelah pemuatan, honor sudah ditransfer ke rekening penulis.
3. Koran Tempo
Biasanya Nirwan Dewanto—penjaga gawang rubrik Cerpen Koran Tempo, meng-sms penulis terkait pemuatan cepen/puisi jika penulis mencantumkan nomer hp di email pengiriman. Honor cerpen tergantung panjang pendek cerita, biasanya Rp. 700.000,-  honor puisi Rp. 600.000,- (pernah Rp. 250.000,- s/d Rp. 700.000, referensi Esha Tegar Putra), ditransfer seminggu setelah pemuatan.
4. Jawa Pos
Jawa Pos menerima karya-karya pembaca berupa cerpen dan puisi atau sajak. Cerpen bertema bebas dengan gaya penceritaan bebas pula. Panjang cerpen adalah sekitar 10 ribu karakter. Honor cerpen Rp. 1.o00.000,- (potong pajak), honor puisi Rp. 500.000,- (referensi Isbedy Stiawan Zs), ditransfer seminggu setelah cerpen/puisi dimuat.
5. Suara Merdeka
Kirimkan cerpen, puisi, esai sastra, biodata, dan foto close up Anda. Cerpen maksimal 9.000 karakter termasuk spasi. Honor cerpen Rp. 350.000,- (potong pajak), honor puisi Rp. 190.000,- (tanpa potong pajak), hubungi redaksi via email/telepon untuk konfirmasi pencairan honor, jangan lupa tanggal pemuatan cerpen. Bisa diambil langsung ke kantor redaksi atau kantor perwakilan redaksi di kota Anda—jika ada.
6. Media Indonesia
REDAKSI menerima kiriman naskah cerpen dari pembaca. Kriteria umum naskah 9.000 karakter. Honor pemuatan cerpen Rp. 700.000,- sampai Rp. 1.000.000,-
7. Suara Pembaruan
Honor cerpen Rp. 400.000,- (potong pajak), hubungi redaksi via email/telepon untuk konfirmasi pencairan honor, atau bisa diambil langsung ke kantor redaksi.
8. Suara Karya
Honor cerpen Rp. 150.000,- (tanpa potong pajak), hubungi redaksi via email/telepon untuk konfirmasi pencairan honor, atau bisa diambil langsung ke kantor redaksi.
9. Jurnal Nasional
Honor cerpen Rp. 400.000,- (potong pajak), hubungi redaksi via email/telepon untuk konfirmasi pencairan honor, atau bisa diambil langsung ke kantor redaksi.
10. Seputar Indonesia
Tidak setiap hari Minggu memuat cerpen. Honor cerpen Rp. 400.000,- (potong pajak), honor puisi Rp. 190.000,- (tanpa potong pajak), hubungi redaksi via email/telepon untuk konfirmasi pencairan honor, atau bisa diambil langsung ke kantor redaksi.
11. Pikiran Rakyat
Cerpen tayang per dua mingguan. Honor cerpen Rp. 350.000,- (tanpa potong pajak), hubungi redaksi via email/telepon untuk konfirmasi pencairan honor, atau bisa diambil langsung ke kantor redaksi.
12. Tribun Jabar
Selain ada cerpen berbahasa Indonesia setiap Minggu, juga ada cerpen bahasa Sunda setiap hari Kamis bersambung Jumat. Honor cerpen Rp. 200.000,- (tanpa potong pajak), hubungi redaksi via email/telepon untuk konfirmasi pencairan honor, atau bisa diambil langsung ke kantor redaksi.
13. Kedaulatan Rakyat
Honor cerpen Rp. 400.000,- hubungi redaksi via email/telepon untuk konfirmasi pencairan honor, atau bisa diambil langsung ke kantor redaksi.
14. Joglo Semar (Yogyakarta)
Honor cerpen Rp. 150.000,- hubungi redaksi via email/telepon untuk konfirmasi pencairan honor, atau bisa diambil langsung ke kantor redaksi.
15. Minggu Pagi (Yogyakarta)
Terbit seminggu sekali setiap Jumat. Honor cerpen Rp. 150.000,- hubungi redaksi via email/telepon untuk konfirmasi pencairan honor, atau bisa diambil langsung ke kantor redaksi
16. Surabaya Post
Honor cerpen Rp. 150.000,- (potong pajak) hubungi redaksi via email/telepon untuk konfirmasi pencairan honor, atau bisa diambil langsung ke kantor redaksi.
17. Radar Surabaya
Honor cerpen Rp. 200.000,- (potong pajak) hubungi redaksi via email/telepon untuk konfirmasi pencairan honor, atau bisa diambil langsung ke kantor redaksi.
18. Lampung Post
Honor cerpen Rp. 200.000,- hubungi redaksi via email/telepon untuk konfirmasi pencairan honor, bisa diambil langsung ke kantor redaksi atau minta tolong teman yang ada di Lampung untuk mengambilkan ke kantor redaksi.
19. Berita Pagi (Palembang)
Honor cerpen Rp. 100.000,- hubungi redaksi via email/telepon untuk konfirmasi pencairan honor, jangan lupa tanggal pemuatan cerpen, atau bisa diambil langsung ke kantor redaksi.
20. Sumatera Ekspres (Palembang)
Honor cerpen Rp. 100.000,- hubungi redaksi via email/telepon untuk konfirmasi pencairan honor, jangan lupa tanggal pemuatan cerpen, atau bisa diambil langsung ke kantor redaksi.
21. Padang Ekspres
Honor cerpen Rp. 100.000,- s/d Rp. 125.000,- honor puisi Rp. 75.000,- hubungi redaksi via email/telepon untuk konfirmasi pencairan honor, jangan lupa tanggal pemuatan cerpen, bisa diambil langsung, atau minta tolong teman mengambilkan honor ke kantor redaksi.
22. Haluan (Padang)
Honor cerpen Rp. 150.000,- honor puisi Rp. 100.000,- hubungi redaksi via email/telepon untuk konfirmasi pencairan honor, jangan lupa tanggal pemuatan cerpen, atau bisa diambil langsung ke kantor redaksi.
23. Singgalang (Padang)
Honor cerpen Rp. 50.000,- hubungi redaksi via email/telepon untuk konfirmasi pencairan honor, atau bisa diambil langsung ke kantor redaksi.
24. Riau Pos
Honor cerpen Rp. 150.000,- hubungi redaksi via email/telepon untuk konfirmasi pencairan honor, atau bisa diambil langsung ke kantor redaksi.
25. Sumut Pos
Honor cerpen Rp. 100.000,- hubungi redaksi via email/telepon untuk konfirmasi pencairan honor, atau bisa diambil langsung ke kantor redaksi.
26. Jurnal Medan
Honor cerpen Rp. 100.000,- hubungi redaksi via email/telepon untuk konfirmasi pencairan honor, atau bisa diambil langsung ke kantor redaksi.
27. Analisa (Medan)
Honor cerpen Rp. 100.000,- hubungi redaksi via email/telepon untuk konfirmasi pencairan honor, atau bisa diambil langsung ke kantor redaksi.
28. Sinar Harapan
Honor cerpen Rp. 100.000,- hubungi redaksi via email/telepon untuk konfirmasi pencairan honor, atau bisa diambil langsung ke kantor redaksi.
29. Jurnal Cerpen Indonesia
Honor cerpen Rp. 250.000,- hubungi redaksi via email/telepon untuk konfirmasi pencairan honor, atau bisa diambil langsung ke kantor redaksi.
30. Majalah Horison
Honor cerpen Rp. 350.000,- honor puisi tergantung berapa jumlah puisi yang dimuat, biasanya dikirimi majalahnya sebagai bukti terbit. Hubungi redaksi via email/telepon untuk konfirmasi pencairan honor atau bisa diambil langsung ke kantor redaksi, dan kadang honor dikirim via wesel jika tidak ada nomer rekening.
31. Majalah Esquire
Honor cerpen Rp. 1.000.000,- (potong pajak), hubungi redaksi via email/telepon untuk konfirmasi pencairan honor, atau bisa diambil langsung ke kantor redaksi.
32. Majalah Sabili
Honor cerpen Rp. 200.000,- hubungi redaksi via email/telepon untuk konfirmasi pencairan honor, atau bisa diambil langsung ke kantor redaksi.
33. Majalah Suara Muhammadiyah
Honor cerpen Rp. 150.000,- hubungi redaksi via email/telepon untuk konfirmasi pencairan honor, atau bisa diambil langsung ke kantor redaksi.
34. Majalah Ummi
Tema cerpen seputar keluarga dan rumah tangga. Honor cerpen Rp. 250.000,-  ditransfer paling telat satu bulan setelah pemuatan.
35. Majalah Kartini
Honor cerpen Rp. 400.000,- Sebulan setelah pemuatan honor ditransfer ke rekening penulis.
36. Majalah Alia
Honor cerpen Rp. 300.000,- hubungi redaksi via email/telepon untuk konfirmasi pencairan honor, atau bisa diambil langsung ke kantor redaksi.
37. Majalah Femina
Honor cerpen Rp. 850.000,- dan cair seminggu setelah dimuat.
38. Majalah Sekar
Honor cerpen Rp. 400.000,- dibayar sebulan setelah majalah terbit.
39. Majalah Story
Tema cerpen khas ala remaja/teenlit. Konfirmasi pemuatan cerpen via telepon dari redaksi Story. Antrian pemuatan panjang, bisa 6 bulan sampai setahun. Honor cerpen Rp. 250.000,- maksimal sebulan setelah pemuatan honor sudah ditransfer ke rekening penulis.
40. Majalah Gadis
Tema cerpen khas ala remaja/teenlit. Honor untuk Percikan (cerpen mini tiga halaman) Rp. 500.000,- Honor untuk Cerpen Rp. 850.000,- ditransfer seminggu setelah majalah terbit.
41. Majalah Annida-online
Ada konfirmasi pemuatan cerpen via email redaksi Annida-online. Honor cerpen Rp. 50.000,- honor epik (cerita kepahlawanan) Rp. 100.00,- maksimal sebulan setelah pemuatan honor sudah ditransfer.
42. Majalah Bobo
Honor cerpen Rp. 250.000,- hubungi redaksi via email/telepon untuk konfirmasi pencairan honor, atau bisa diambil langsung ke kantor redaksi.
43. Kompas khusus Cerpen Anak
Pada subjek email ditulis CERPEN ANAK: JUDUL CERPEN. Honor cerpen Rp. 300.000,- Resensi buku anak honor Rp. 250.000,- Honor cair tiga hari setelah pemuatan.
44. Tabloid Nova
Honor cerpen Rp. 400.000,- hubungi redaksi via email/telepon untuk konfirmasi pencairan honor, atau bisa diambil langsung ke kantor redaksi.

CATATAN:
SANGAT mungkin alamat-alamat email redaksi koran di atas sudah berubah sekarang (karena pergantian redaktur dan/atau sebab lainnya). Begitu juga dengan besarnya honor pemuatan cerpen. Oleh karena itu, untuk update data mohon rekan-rekan tuliskan di komentar dokumen ini.
Bagi rekan-rekan yang ingin berinteraksi langsung dengan para penulis di list Cerpenis lakonhidup, sila bergabung di Group Cerpen Koran Minggu di Facebook. Terimakasih.

Telah Terbit "Angsa-Angsa Ketapang"

$
0
0
Buku puisi Bernard Batubara, Angsa-Angsa Ketapang, telah terbit.

Silakan pre-order di (klik tautan): Indie Book Corner  atau via akun Twitter @indiebookcorner. Harga Rp. 50.000 (belum ongkos kirim) | Pre-order dibuka tanggal 7-15 November. Angsa-Angsa Ketapang tidak tersedia di toko buku, Hanya bisa dipesan dan dibeli online. Selamat berburu, karena tidak dicetak banyak, sangat terbatas. :)






aku tak bisa membayangkan diriku, adik perempuanku, dan adik lelakiku sebagai tiga ekor angsa yang hidup di rumah kami, karena kami tak membagi dada kami untuk dijadikan sebaskom kecil nasi sisa dan kami lahap bersama, kami tak berjalan subuh hari menembus pagar rumah yang rusak, mencari sekawanan embun berkilau yang beterbangan setiap sehelai daun ketapang jatuh dari rantingnya, kami tak pernah melompat menceburkan diri ke kolam ikan dan berseru kegirangan, mengibas-ngibaskan sayap di dalam air berwarna kuning, berharap sekawanan ikan kecil berenang mendekat, kami bukan tiga ekor angsa yang tahu kapan harus pulang kembali ke kandang, kandang kecil tempat seharusnya kami tidur bersama, dan aku tak bisa membayangkan diriku sebagai angsa tertua yang melebarkan sayapnya, memeluk dua ekor angsa lain, meski seluruh daun di pohon ketapang yang lahir di rumah kami berguguran dan tak akan pernah tumbuh lagi.

tapi angsa paling bungsu sudah terlanjur tidur pulas sekali, ia tersenyum, sayapku tak ada di sana. 

—Sajak "Angsa-Angsa Ketapang"


* * *


“Musik, mitos, mimpi, dan memori. Pernahkah Anda membayangkan seorang fotografer memotret hal- hal itu? Itulah yang dilakukan Bernard Batubara. Dia menunjukkan kepada kita bahwa puisi-puisinya yang kuat dalam ‘Angsa-Angsa Ketapang’ adalah foto- foto yang dia dapatkan dari memotret keempat hal tersebut.”

M. Aan Mansyur, Penyair—Makassar.

“Menyaksikan pertumbuhan penyair Bernard Batubara di medium internet membuat saya bertanya mengapa di antara ribuan penulis blog yang menulis sajak setiap hari hanya ada sedikit saja yang bersungguh- sungguh menggelutinya sebagai sebuah penempuhan laku pendewasaan batin. Penyair Bernard Batubara menunjukkan kesungguhannya sebagai seorang penempuh. Ia belajar dari banyak sumber, minum dari banyak sumur, guna mencari tubuh dan jiwa sajak-sajaknya sendiri. Sebuah pencarian yang takkan singkat, tetapi tampaknya Bernard telah menetapkan niatnya lewat album Angsa-angsa Ketapang ini.“

TS Pinang, Penyair—Yogyakarta. 


[CERPEN] Seorang Perempuan di Loftus Road

$
0
0



Seorang Perempuan di Loftus Road
Cerpen Bernard Batubara

-ditulis sebagai respons untuk cerpen Sungging Raga,


Lihatlah. Lelaki itu duduk di sana, tersenyum bahagia, bersama seorang perempuan cantik dan anak gadis yang lucu, di bangku berhias salju di mana aku pernah dengan cukup sabar dan tabah menunggunya selama berjam-jam sebagai seorang perempuan, sebelum akhirnya aku menyerah dan menghabiskan tahun demi tahun usiaku hidup menjelma sebagai sebatang pohon.


Loftus Road, sejak puluhan tahun yang lalu telah menjadi tempat di mana ribuan pasangan kekasih saling mengikat janji untuk bertemu. Sebagaimana sebuah janji manusia, ada di antara mereka yang ditepati oleh pemiliknya, ada pula yang tidak. Sayangnya, aku termasuk satu dari banyak sekali yang bernasib malang.

Kini, Loftus Road membuatku menjadi seperti ini. Aku bukan pohon yang istimewa, kukatakan kepadamu. Aku hanya satu dari ratusan batang pohon yang berdiri dengan tabah di sepanjang Loftus Road yang dingin. Menunggu seseorang yang tak pernah datang.

Kami, para perempuan yang telah mati sebagai manusia dan tetap hidup sebagai pohon, memiliki cinta yang takkan mampu diukur oleh lelaki mana pun di dunia. Kami menunggu, bahkan setelah kami tahu bahwa seseorang yang kami tunggu takkan pernah datang. Aku sendiri menunggu lelaki itu, bahkan ketika aku tahu bahwa lelaki itu kini telah menikah dengan seorang perempuan dan memiliki anak gadis yang lucu, mirip sekali istrinya.

Aku berharap anak itu mirip denganku.

Bagaimana aku bisa menjadi sebatang pohon? Prosesnya sungguh tidak serumit yang kau bayangkan. Waktu itu aku hanya duduk sendiri di sebuah bangku kosong di sisi jalan Loftus Road, menunggu dengan dada yang dipenuhi harapan, lalu ketika lelaki itu tak kunjung datang dan tanpa kusadari aku menitikkan airmata karena terluka dan kesepian, kemudian salju pun turun, tiba-tiba saja aku sudah menjadi sebatang pohon dan kusadari tubuhku bukan lagi perempuan.

Kukatakan kepadamu ya. Sebenarnya tak ada yang istimewa dari menjadi sebatang pohon. Aku hidup dan bernapas seperti biasa, lewat daun-daun yang tumbuh di sekujur tubuhku. Aku pun melihat dengan biasa. Hanya saja, aku tak lagi bisa bicara dengan manusia. Bahasaku kini berbeda. Bahasa pohon-pohon. Aku cuma bisa bercakap-cakap dengan perempuan-perempuan lain yang senasib denganku. Ya, pohon-pohon yang lain itu. Beberapa di antara mereka masih muda sepertiku, sisanya telah berusia 90 atau 100 tahun. Mereka bilang mereka masih menunggu. Betapa cinta bisa membuat seseorang menunggu dan bersetia begitu lama, ya?

Mungkin aku juga akan jadi seperti mereka. Terus menua dan tak jua bertemu seseorang yang telah aku tunggu demikian lama.

“Siapa yang kamu tunggu, Milana?”

Perempuan… ah maksudku, pohon di sebelahku memanggil. Meskipun wujud kami adalah sebatang pohon, namun aku sering merasa bahwa kami masih manusia.

“Kamu tahu siapa yang aku tunggu.” kataku sembari menghela napas. Daun-daun di pujuk-pucuk pundakku bergetar.

“Lelaki itu? Bukankah dia sudah beristri?”

“Iya. Dan punya seorang anak gadis.”

“Anaknya lucu sekali. Pasti karena istrinya cantik.”

“Iya.”

Di Loftus Road, daun-daun berguguran sepanjang waktu. Itulah saat kami, para perempuan yang menunggu dan telah menjadi sebatang pohon, sedang merasa sakit. Semakin sakit, maka semakin banyaklah daun-daun yang mengering dan bertanggalan dari ranting-ranting di pinggang, punggung, dan dada kami.

Dan tentu saja kami selalu merasa sakit. Sebab hati kami tak pernah usai berharap dan itu yang membuat kami terus merasa sakit.

“Apa yang kamu harapkan, Milana?”

“Kamu tahu apa yang aku harapkan.”

“Lelaki itu takkan menyadari kehadiranmu. Kamu sudah dianggap hilang dari dunia.”

“Tetapi aku tidak hilang. Aku masih di sini. Aku masih…”

“Menunggu. Ya, ya, itulah yang kita semua lakukan di sini, Milana. Kita semua menunggu, dan terus menunggu…” Ia berbicara sembari ranting-ranting di lengannya bergoyang tertiup angin, “hingga kita menjadi semakin tua dan tak mampu lagi menahan harapan, lalu mati ditebang atau terkubur dalam penantian.”

“Aku berharap dia menyadari bahwa aku masih ada. Aku masih hidup. Aku hanya berubah menjadi sebatang pohon gara-gara kelalaiannya sendiri. Aku harap suatu saat dia mendengar suaraku memanggil-manggil namanya saat dia sedang berjalan-jalan di Loftus Road bersama istri dan anaknya.”

“Jangankan memahami bahasa pohon-pohon, Milana, memahami bahasa perempuan saja mereka tak pernah bisa. Para lelaki itu.”

Serta-merta aku menganggukkan kepala. Daun-daun kering berguguran dari keningku. “Lalu, kamu sendiri, mengapa masih menunggu? Kamu juga sudah tahu kan lelaki yang kamu tunggu takkan pernah menemuimu.”

“Begitulah cinta, Milana. Cinta itu terus menunggu.”

“Aku mengerti sekaligus tidak mengerti.”

“Tahukah kamu, Milana, bahwa sebetulnya kita masih bisa menjadi manusia?”

Aku terkejut mendengar perkataannya. “Betulkah? Bagaimana caranya?”

“Mudah sekali. Sama seperti ketika kamu berubah dari seorang perempuan menjadi sebatang pohon. Kamu hanya perlu menangis.”

“Itu saja?”

“Iya, tapi kali ini kamu harus melakukannya ketika bulan sedang purnama.”

“Kedengarannya mudah sekali.” Aku bergumam. “Lalu mengapa kamu tidak menangis di bawah bulan purnama dan kembali menjadi manusia? Mengapa pohon-pohon lain tidak melakukannya juga?”

Kudengar desahan napas yang berat darinya. Seekor burung, dua ekor, tiga ekor, hinggap di telinganya.

“Untuk apa, Milana? Aku sudah cukup bahagia hanya dengan melihatnya. Jika aku menjadi manusia lagi, siapa yang tahu pasti bahwa dia akan menepati janji? Dia sudah pernah mengecewakanku. Dia bisa melakukannya lagi.”

“Kamu terlalu pesimistis.”

“Aku terlalu cinta, Milana, hingga aku merasa takut. Pohon-pohon di Loftus Road sudah menghabiskan usia mereka terlalu lama dalam penantian. Mereka, sama sepertiku, sudah merasa cukup dengan luka pada masa lalu.” Burung-burung di telinganya berpindah ke tengkukku. “Kamu masih muda, Milana, dan harapan di tubuhmu masih segar dan tumbuh dengan baik. Tapi, sebelum kamu menangis di bawah bulan purnama nanti, yakinlah bahwa apapun yang terjadi, kamu akan menerimanya dengan ikhlas.”

“Iya.”

***

Pada malam di mana langit mempersembahkan pesona bulan purnama yang anggun, aku pun menangis. Aku tidak tahu mengapa mudah sekali bagiku untuk menangis. Kukatakan kepadamu ya, tak ada kesulitan yang berarti. Aku hanya mengingat ketika terakhir kali aku menunggu lelaki itu. Aku mengingat detik-detik yang terasa panjang dalam kesunyian dan luka, dan aku pun menangis.

Lalu aku merasa tubuhku menciut, tangan dan kakiku menyusut, daun-daun di kepalaku seluruhnya gugur dan perlahan-lahan tumbuh rambut. Tak berapa lama, aku pun telah kembali menjadi seorang manusia. Ajaibnya, entah bagaimana, aku telah berpakaian, pakaian yang sama seperti saat aku menunggu dia, lelaki yang kucinta itu.

Entah sebuah kebetulan atau memang sudah takdir, lelaki itu ternyata sedang berjalan-jalan di satu sudut Loftus Road. Ia sendirian. Ke mana istri dan anaknya? Tapi karena ini malam hari, kurasa memang bukan jam yang tepat untuk mengajak jalan-jalan keluarga. Lalu, mengapa ia ke sini?

“Hai.” Aku memberanikan diri menyapanya.

Lelaki itu menoleh kepadaku. Ia tampak terkejut, tapi sepertinya ia cepat menyesuaikan diri. Dengan langkah pelan, ia menghampiriku. Semakin ia mendekat, semakin lebar senyum tersungging di bibirku.

Aku duduk di bangku. Ia duduk di sebelahku.

“Kamu…”

“Ya, aku Milana.”

“Sudah lama aku tak bertemu kamu. Sejak…”

“Janji bertemu kita yang pertama dan terakhir di sini. Kamu tak datang.”

“Maaf. Waktu itu aku…”

“Sudahlah, tidak penting. Sekarang kita sudah bertemu. Akhirnya.”

“Ya, akhirnya. Tapi…”

“Mengapa kamu ke sini malam-malam begini?”

Ia menundukkan kepala, terlihat tak bersemangat. Kedua tangannya ia masukkan dalam-dalam ke saku jaket. Embusan napasnya membentuk seperti asap karena suhu yang amat dingin. Napasku juga.

“Keadaan di rumah sedang tidak baik.”

“Kamu bertengkar dengan istrimu?”

“Bagaimana kamu tahu?” Ia menggelengkan kepalanya cepat. “Ah, maksudku, bagaimana kamu tahu aku sudah punya istri? Dan, ya, bagaimana kamu tahu aku bertengkar dengan istriku?”

“Tidak penting bagaimana aku tahu.”

Daun-daun gugur yang tergeletak di jalan tertiup oleh angin. Kabut mulai terlihat.

“Begitulah. Kehidupan rumah tangga itu rumit.”

“Kehidupan tak berumah tangga juga.”

“Intinya, hidup itu rumit.”

“Apa yang terjadi?”

“Setiap minggu kami bertengkar. Ah, tidak, bahkan hampir setiap hari. Dia menuduhku selingkuh.”

Aku mengernyitkan dahi. “Dan apakah kamu memang selingkuh?”

“Aku hanya berjalan-jalan di malam hari. Sendirian. Karena aku tidak pernah mengajaknya, ia menuduhku selingkuh.”

“Mengapa kamu tidak mengajaknya?”

“Aku butuh waktu sendirian. Kamu tahu, aku senang jalan-jalan sendirian. Dan yang paling menyebalkan, aku sering menemui dia pulang larut malam dalam keadaan mabuk. Aku tak tahu sebelumnya dia gemar sekali minum, istriku itu. Aku menegurnya tetapi dia malah mengomeliku seolah aku anak kecil. Dia memperlakukanku seperti aku bukan lelaki yang berharga. Karena itulah kami sering bertengkar. Ya, karena itulah…”

“Terdengar rumit sekali.”

“Apa kubilang.”

Aku bersandar, kedua tanganku menahan beban tubuh. Tanpa sadar, di atas bangku kayu yang lembab, jari kelingkingku bersentuhan dengan jari kelingkingnya. Aku terkejut. Sesaat kemudian, ia sudah menggenggam tanganku.

“Maaf, aku tak seharusnya menceritakan ini semua kepadamu.”

“Tidak apa-apa.”

Lalu tanpa sempat aku antisipasi, tiba-tiba saja ia memelukku. Di tengah cuaca Loftus Road yang membeku, sekujur tubuhku terasa hangat.

“Kadang juga aku masih memikirkanmu.” katanya.

Sejak itu, kami terus berjanji untuk bertemu di sini, di Loftus Road. Kali ini aku bahagia, sebab ia tak pernah terlambat sedetik pun.  

Tetapi seberapa lama pun aku dapat memeluknya, aku tetap harus ikhlas melepasnya saat ia akan kembali kepada istrinya. Di Loftus Road yang dingin dan berkabut, aku menjadi satu-satunya perempuan yang menyambut kedatangan dan kepergian seperti bernapas, menerimanya sebagai rutinitas. Setiap hari, setiap malam.

***

Mengenal Bara: Sebuah Wawancara dengan Bukune

$
0
0

Mengenal Bara, Penulis yang Produktif Menghasilkan Karya
Sebuah Wawancara dengan Bukune




Hal itu pun dapat kamu lihat dari karya terbaru Bara berjudul Cinta.(Bukune, 2013). Novel yang bercerita tentang kisah perselingkuhan ini memang cukup mempermainkan perasaan saat membacanya. Lantas, apa sih alasan Bara membuat karya bertema cinta?
Berdasarkan obrolan santai Bukune via e-mail, menurut cowok kelahiran Pontianak, 24 tahun silam ini, cerita bertema cinta relatif lebih mudah untuk ditulis ketimbang genre lainnya. Tidak hanya itu, menurutnya, cerita bertema cinta memiliki pembaca dari berbagai segmen dan cinta selalu menarik untuk dibicarakan.
Cinta. (baca: cinta dengan titik)
Seperti ditulis sebelumnya, Cinta. mengisahkan tentang perselingkuhan dengan tokoh utamanya adalah seorang perempuan yang terjebak dalam hubungan orang lain dan ia menjadi pihak ketiga.
Ide menulis Cinta. itu sendiri diakui Bara didapat dari curhatan teman perempuannya. Dari penuturan temannya itulah, Bara kemudian tertarik untuk menuliskan kisahnya.
“Di sini, aku mencoba untuk memberi gambaran yang lebih lengkap dan luas tentang sebuah kisah perselingkuhan. Aku menceritakan perselingkuhan dari berbagai sudut: si pelaku perselingkuhan, pihak yang diselingkuhi, dan si selingkuhan itu sendiri. Tujuannya adalah untuk membuat orang-orang tidak buru-buru menghakimi orang lain, melainkan introspeksi dulu dan menyadari kesalahan diri sendiri,” kata cowok kelahiran 9 Juli 1989 ini.
Tantangan menulis Cinta.
Meski merupakan buku kelimanya, saat menulis Cinta. Bara mengaku senang karena telah berhasil menjawab tantangannya sendiri.
“Tantangannya menulis novel yang lebih tebal dari sebelumnya, dan menulis dengan menggunakan tokoh utama seorang perempuan. Keduanya belum pernah kulakukan. Dan telah kulakukan di buku Cinta. ini. Namun, tentu saja masih banyak kekurangan di sana sini, yang akan kuperbaiki dengan menulis karya berikutnya,” ungkapnya.


Proses kreatif penulisan Cinta.& segala kesulitannya
“Tak ada yang istimewa dari proses penulisan Cinta.,” kata Bara. Namun, untuk mendapatkan hasil yang maksimal mengenai perselingkuhan, Bara melakukan wawancara terhadap teman-teman sekitarnya yang pernah mengalami perselingkuhan.
“Sesekali juga, aku melempar pertanyaan ke Twitter lewat akunku: @benzbara_. Setelah bahan terkumpul, aku memulai menulis outline, lalu menulis draf pertama. Kira-kira tiga minggu, draf pertamaku selesai. Kemudian aku kirim ke penerbit, lalu masuklah proses penyuntingan,” ungkapnya.
Tidak hanya itu, selama menulis Cinta. Bara mengaku tidak menemukan kesulitan yang sangat berarti. Menurutnya, kalaupun ada hanya sebatas pada bagaimana ia berpikir layaknya perempuan dan mencari tahu bagaimana perempuan bereaksi terhadap masalah perselingkuhan.
Penulis yang produktif menghasilkan karya
Bara merupakan salah satu penulis yang produktif menghasilkan karya. Terbukti, sudah belasan karya yang ia bukukan selama rentang waktu 2007—2013, tiga di antaranya di Bukune, yaitu Kata Hati, antalogi Cerita Hati, dan Cinta.. Kira-kira, apa ya yang membuat Bara produktif menghasilkan karya?
“Aku percaya bahwa kuantitas akan membawa kepada kualitas. Menulis adalah sebuah keterampilan, dan untuk menjadi terampil kamu harus rajin berlatih. Aku berusaha untuk produktif adalah usahaku untuk mengasah kemampuanku menulis dan membuatku lebih terampil dalam menulis,” katanya.
“Di samping itu, aku merasa di kepalaku banyak sekali hal yang ingin aku tulis. Dan mereka telah menunggu, mengantre, untuk aku tuliskan. Aku juga memiliki target pribadi. Sebelum aku meninggal, aku ingin menulis paling sedikit 40 novel,” ungkapnya menambahkan.
Bara & writer’s block
Sudah sewajarnya jika penulis pernah mengalami writer’s block. Hal itu pun bisa terjadi pada Bara, khususnya saat ia sedang dalam keadaan lelah—baik secara fisik ataupun psikologis.
Jika sudah begitu, apa yang akan Bara lakukan untuk membuat mood-nya dalam menulis tetap terjaga?
“Yang aku lakukan jika mengalami kedua hal itu adalah beristirahat atau mencari hiburan lain selain menulis. Kalau kehabisan ide untuk menulis, biasanya aku membaca buku-buku. Setelah itu, aku akan mendapat ide lagi untuk menulis. Dan aku akan melanjutkan tulisanku,” katanya.

Tip dari Bara tentang penulisan
Di akhir perbincangan Bukune bersama Bara, ia memberikan sedikit tip bagi kamu yang ingin menjadi penulis.
“Pertama, yakinkan dirimu bahwa kamu memang mau berjalan di jalan ini. Menulis. Karena, kukatakan dengan tegas kepadamu, ini jalan yang tidak mudah dan sama sekali bukan sesuatu yang bisa diraih dengan instan. Kamu akan kelelahan. Berdarah-darah. Kehabisan tenaga. Tersandung kerikil di sana sini. Tapi, kalau kamu memang telah yakin, maka kamu akan menjalaninya dengan senang hati dan sungguh-sungguh.”
“Kedua, tekun. Menulis bagus tak bisa dilakukan dalam waktu yang sebentar. Semuanya butuh latihan dan proses. Bersabarlah dan terus belajar. Terakhir, jangan pernah menyerah. Kalau orang lain bilang tulisanmu jelek, jangan menyerah dan teruslah menulis hingga tulisanmu bagus. Kalau kamu mudah menyerah, kusarankan kepadamu lebih baik mengganti hobi dengan memelihara ikan atau burung. Jangan menulis,” katanya sambil menutup perbincangan ini. ***

Mencari Buku untuk Dibaca?

$
0
0




Saya membuat catatan ini untuk memenuhi permintaan beberapa orang yang bertanya kepada saya di Twitter untuk memberikan rekomendasi buku. Saya sering merasa bingung saat hendak merekomendasikan sebuah buku kepada seseorang. Karena ukuran buku bagus masih belum seragam antara satu orang dengan yang lain. Apalagi jika kita bicara perihal selera. Buku yang saya anggap luar biasa, belum tentu ketika saya tawarkan kepada kamu dan kamu membacanya, kamu akan menganggapnya luar biasa pula. Maka dari itu, saya sering merasa bingung jika diminta untuk memberikan rekomendasi buku.

Tapi, kalau kamu ingin mengetahui buku-buku yang saya baca, saya bisa membuatkanmu sebuah daftar. Di bawah ini adalah buku-buku yang saya baca pada tahun ini. Ada buku puisi, novel, kumpulan cerita, dan nonfiksi. Kebanyakan buku-buku yang saya koleksi dan saya baca adalah buku-buku fiksi, karena saya memang tidak begitu tertarik membaca buku nonfiksi.


Buku-buku di bawah ini hampir semuanya recommended. Lagi-lagi, recommended menurut ukuran saya. Sangat mungkin berbeda dengan ukuran kamu. Tetapi, jika kamu sedang ingin mencari buku, daftar ini mungkin bisa kamu pakai sebagai rujukan. Sebagian di antaranya adalah buku-buku peraih Nobel Sastra, atau penghargaan besar lain baik dalam negeri maupun luar negeri. Sebagian yang lain belum pernah memenangi penghargaan tetapi tetap merupakan buku-buku bagus. Buku-buku dalam daftar ini ada yang berbahasa Indonesia, Inggris, ataupun terjemahan Indonesia.


·      Di Mana Kamu Bisa Menemukan Buku-buku dalam Daftar Ini?

Beberapa buku dalam daftar ini dapat kamu temukan di toko buku jaringan seperti Gramedia, Toga Mas, atau Social Agency. Sisanya, saya beli secara online di toko buku Jual Buku Sastra (http://jualbukusastra.blogspot.com), kebanyakan untuk buku sastra Indonesia klasik. Untuk buku-buku impor berbahasa Inggris saya beli di toko buku And/Or (http://andorbookstore.blogspot.com) dan Periplus.

Jadi, inilah. Semoga daftar yang saya buat ini dapat bermanfaat dan menjadi rujukan bacaanmu. Dan semoga kamu menemukan buku yang bagus juga dalam daftar ini.

Terima kasih.

-       Bara


Diurut dari yang paling terakhir dibaca:




Pedro Paramo – Juan Rulfo
Voices from the Other World – Naguib Mahfouz
Kei – Erni Aladjai
Life & Times of Michael K – J. M. Coetzee
Love in the Time of Cholera – Gabriel Garcia Marquez
Rumah Kaca – Pramoedya Ananta Toer
Jejak Langkah – Pramoedya Ananta Toer
Anak Semua Bangsa – Pramoedya Ananta Toer
Bumi Manusia – Pramoedya Ananta Toer
Pelesir Mimpi – Adimas Immanuel
Akar Pule – Oka Rusmini
Dada yang Terbelah – Ratna Ayu Budhiarti
Oliver Twist – Charles Dickens
The General in His Labyrinth – Gabriel Garcia Marquez
Norwegian Wood – Haruki Murakami
Chronicle of a Death Foretold – Gabriel Garcia Marquez
The Bluest Eye – Toni Morrison
The Thief and The Dogs – Naguib Mahfouz
Innocent Erendira and Other Stories – Gabriel Garcia Marquez
Sudahkah Kau Memeluk Dirimu Hari Ini? – M. Aan Mansyur




Kedai 1001 Mimpi – Valiant Budi Yogi
Bintang Bunting – Valiant Budi Yogi
Joker – Valiant Budi Yogi
Pengakuan Eks Parasit Lajang – Ayu Utami
Si Parasit Lajang – Ayu Utami
Dian yang Tak Kunjung Padam – Sutan Takdir Alisjahbana
Anak Perawan di Sarang Penyamun – Sutan Takdir Alisjahbana
Di Bawah Kibaran Bendera Merah – Mo Yan
Mimi Lan Mintuna – Remy Silado
Bekisar Merah – Ahmad Tohari
Kubah – Ahmad Tohari
Rafilus – Budi Darma
Belenggu – Armijn Pane
Kalender Lunar – Dian Hartati
London – Windry Ramadhina
Sang Kecoak – Antologi Cerpen AKY 2005
Yang Liu – Lan Fang
Kincir Api – Kurnia Effendi
9 dari Nadira – Leila S. Chudori
Malam Terakhir – Leila S. Chudori




Laki-laki Pemanggul Goni – Cerpen Pilihan KOMPAS 2012
Rindu – Korrie Layun Rampan
Wajah dalam Cermin – Ibnu H. S.
Bukan Pasarmalam – Pramoedya Ananta Toer
Dengarlah Nyanyian Angin (Hear the Wind Sing) – Haruki Murakami
Memories of My Melancholy Whore – Gabriel Garcia Marquez
L. A. Underlover – Budi Darma, Eka Kurniawan, dkk.
Tulisan pada Tembok – Acep Zamzam Noor
Rumah Kawin – Zen Hae
Kisah Abrukuwah – Sori Siregar
Kuda Terbang Maria Pinto – Linda Christanty
Letters to a Young Poet – Rainer Maria Rilke
Semusim di Neraka (A Season in Hell) – Arthur Rimbaud
Ziarah Lebaran – Umar Kayam
Seribu Kunang-kunang di Manhattan – Umar Kayam
Senyum Karyamin – Ahmad Tohari
The Ocean at the End of the Lane – Neil Gaiman
Jakarta, Bandung, Jogja – Faizal Reza, dkk.
Bapak Presiden yang Terhormat – Agus Noor
Doa untuk Anak Cucu – W. S. Rendra




Quidditch Through the Ages – J. K. Rowling
Fantastic Beasts and Where to Find Them – J. K. Rowling
The Tales of Beedle the Bard – J. K. Rowling
Sihir Perempuan – Intan Paramaditha
Museum Penghancur Dokumen – Afrizal Malna
Panggil Aku Pheng Hwa – Veven Sp. Wardhana
Maryam – Okky Madasari
Alangkah Tolol Patung Ini – Faisal Kamandobat
Pasung Jiwa – Okky Madasari
Mengukir Sisa Hujan – Soni Farid Maulana
Mendaki Kantung Matamu – Bode Riswandi
Sehampar Kabut – Soni Farid Maulana
Angsana – Soni Farid Maulana
Pada Suatu Hari Nanti & Malam Wabah – Sapardi Djoko Damono
Dilarang Menyanyi di Kamar Mandi – Seno Gumira Ajidarma
Namaku Sita – Sapardi Djoko Damono
Sutradara Itu Menghapus Dialog Kita – Sapardi Djoko Damono
Ada Berita Apa Hari Ini, Den Sastro? – Sapardi Djoko Damono
Kolam – Sapardi Djoko Damono
My Life as Writer – Haqi Achmad




Hujan Bulan Juni – Sapardi Djoko Damono
Perahu Kertas – Sapardi Djoko Damono
Akuarium – Sapardi Djoko Damono
Mata Pisau – Sapardi Djoko Damono
Duka-Mu Abadi – Sapardi Djoko Damono
Baju Bulan – Joko Pinurbo
Surat Panjang tentang Jarak Kita yang Jutaan Tahun Cahaya – Dewi Kharisma Michellia
On Nothing – Sitok Srengenge
Seekor Bebek yang Mati di Pinggir Kali – Puthut EA
Bidadari yang Mengembara – AS Laksana
Katarsis – Anastasia Aemilia
Semusim, dan Semusim Lagi – Andini Dwifatma
Setelah Gelap Datang – Rivai Muhammad
Kepulangan Kelima – Irwan Bajang
70 Puisi – Goenawan Mohamad
Kerikil Tajam dan Yang Terampas dan yang Putus – Chairil Anwar
Manjali dan Cakrabirawa – Ayu Utami
Bilangan Fu – Ayu Utami
Kisah Muram di Restoran Cepat Saji – Bamby Cahyadi
Dari Salawat Dedaunan Sampai Kunang-kunang di Langit Jakarta – 20 Tahun Cerpen Pilihan KOMPAS




Cerita Cinta Enrico – Ayu Utami
Penjual Kenangan – Widyawati Oktavia
Pilihan Hati – Putu Aditya Nugraha
Ghirah Gatha – Lan Fang
Sonata Musim Kelima – Lan Fang
T(w)ITIT! – Djenar Maesa Ayu
Murjangkung – AS Laksana
1 Perempuan 14 Laki-laki – Djenar Maesa Ayu, dkk.
Shitlicious – Alitt Susanto
My Life as Video Music Director – Haqi Achmad
Remember When – Winna Efendi
Semburat Senyum Sore – Vinca Callista
Kala Kali – Valiant Budi Yogi & Windy Ariestanty

"Membaca" Cerpen-Cerpen Bernard Batubara

$
0
0

“Membaca” Cerpen-Cerpen Bernard Batubara


“Pada satu titik dalam hidup kita, kita kehilangan kendali atas apa yang terjadi pada kita, dan hidup kita jadi dikendalikan oleh nasib. Demikianlah dusta terbesar itu.”
Paulo Coelho, Sang Alkemis.

Salam, Bara.
Saya bukanlah cerpenis Jogja seangkatan Bara. Secara proses kreatif, saya di atasnya, sejak tahun 1995. Saya seangkatan Agus Noor, Satmoko Budi Santoso, Raudal Tanjung Banua, dll., di bawah Budhi Sardjono atau Mustofa W. Hasyim. Tapi saya tak pernah berjumpa Umbu Landu Paranggi.
Saya tahu nama Bara belum setahun ini. Saya tidak mengenalnya secara personal. Saya beberapa kali membaca karyanya, baik di koran, blog, maupun bukunya. Dua bukunya sudah saya baca. Kata Hati dan Milana. Untuk Milana, saya baca dua kali. Dan semalam (20 November 2013), sebelum kembali melumat Paulo Coelho, Sang Alkemis, untuk kedua kalinya saya menekuri Milana.
Untuk semalam, saya hanya baca tiga cerpennya, yakni cerpen 1 dan 2, lalu cerpen paling akhir, Milana.
Saya tidak tahu mengapa tumben-tumbennya saya berlagak kritikus begini. Seingat saya, hanya dua kali saya pernah menuliskan hal sejenis ini. Selebihnya, saya lebih suka berkarya saja. Satu, tentang cerpen-cerpen Seno Gumira Ajidarma. Dua, tentang puisi-puisi Kuswaidi Syafi’ie.
Saya tidak punya basic akademik dalam dunia sastra. Jadi, tepatnya, sebut saja saya hanya sedang berahi sama Bara untuk “berkomentar” tentang cerpen-cerpennya, dari sudut pandang saya subyektif yang seorang penulis cerpen juga. Ya, saya tahu, ini bisa bias, memang. Karena kacamata yang akan saya pasangkan kepada Bara adalah kacamata proses kreatif saya, yang tentu saja takkan sama, karena “faktor alam” yang saya tempuh berbeda dengan “faktor alam” yang dicecap Bara.
Baiklah, mari sebut tulisan ini sekadar cakap-cakap saya pada Bara.
***
Jujur, mulanya saya beli Milana hanya karena tertarik pada endorsementAS Laksana. Saya termasuk penyuka Mas Sulak (AS Laksana). Dalam amatan saya, sejak lama, Mas Sulak tidaklah sembarangan memberikan endorsement. Tulisan-tulisan kritisnya tentang dunia sastra membuat saya takjub padanya, meski tidak berarti saya selalu bersetuju dengannya. Setidaknya, saya tidak setuju atas kritiknya pada Agus Noor tentang logika cerita dan snapshotsaat mengomentari cerpennya Requim Kunang-Kunang, yang pernah dinobatkan cerpen terbaik Kompas. Saya termasuk pemuja snapshot, sebagaimana Agus Noor, hanya karena permikiran bahwa teknik snapshot membuat saya lebih mampu menenggelamkan cerita dalam lembah dramatisasi. Tidak lebih. AS Laksana tidak suka snapshot karena menurutnya itu bukanlah kalimat, tapi frase. Ya, saya tahu, tapi saya tetap memilih menggunakannya, sebagaimana Agus Noor tetap memilih mengenakannya. Selain perbedaan itu, saya suka Mas Sulak.
Balik lagi ke anak muda bernama Bara yang sangat produktif menulis ini. Well, secara keseluruhan, saya harus menyebutkan bahwa Bara adalah cerpenis yang telah matang teknik. Cool! Saya tidak tahu sejak kapan dia menulis cerpen, bergaul dengan siapa saja, bacaannya apa saja, tetapi dari karyanya saya yakin bahwa Bara adalah “penulis yang berisi”.
Saya coba petakan dalam poin-poin berikut:
Pertama, Bara piawai beragam teknik menulis cerita. Orang awam yang hanya membaca Milanasekali, boleh jadi akan limbung mencerna jalan ceritanya. Juga orang yang membaca Milana sambil menonton aksi Manchester United atau drama Full House, cenderung akan sakau memahami tokoh-tokoh ceritanya. Ada teknik penjungkirbalikan tokoh, karakter, dengan memanfaatkan durasi waktu dan teknik flashbackdalam cerpen Milana. Dan jelas ini membutuhkan fokus yang tinggi untuk bisa menuliskannya dengan baik. Apakah Bara sudah berhasil dengan sebaik itu? Nanti kita simpulkan masing-masing di belakang.
Kedua, Bara cukup kaya diksi. Ya, maklum, bukankah dia juga seorang penyair? Bagi penyair, diksi merupakan jantungnya. Meski, bagian ini buru-buru harus segera dituliskan, diksi yang dahsyat semata akan menghasilkan estetika yang gelap membingungkan an sich jika tidak dibarengi dengan logika bahasa yang cermat. Ludwig Wittgenstein mengajarkan saya tentang "language game" dalam konteks ini. Kelebihan Bara yang penyair jelas menyumbangkan kekayaan diksi saat menuliskan cerita-ceritanya. Dan ini tentu poin plus untuknya.
Ketiga, Bara memiliki kemampuan di atas rata-rata untuk menyinergikan alur cerita dan setting. Kebanyakan penulis muda khusyuk dengan salah satunya saja. Tidak banyak yang piawai mengawinkan keduanya. Mendominasikan alur cerita, tentu tidak salah, berdampak akan mengesankan cerita hanya bergerak bak mobil di jalan tol belaka. Mendominasikan setting, tentu pula tidak haram, berdampak akan mengisyaratkan cerita hanya melaju di satu titik. Bara berhasil menyilangkan keduanya. Kadang berlari dalam jarak yang jauh, kadang melompat di satu titik.
Keempat, endingdalam cerpen Milana tampak sangat menggoda, meski sejatinya itu bukanlah pola yang fresh. Tentu, itu sah-sah saja. Yang terpenting adalah suspensi emosi cerita begitu hunjam di ending Milana.
Selebihnya, ehmm…di bagian ini saya tiba-tiba teringat ucapan Lembong, kawan kelas S-3 dari Aceh, bahwa di dunia ini ada dua hal yang sangat enak: (1) Makan gratis, dan (2) Menyalahkan orang lain.
Baiklah, di bagian selanjutnya ini, saya akan menjerembabkan diri ke poin kedua dari ucapan Lembong itu: “menyalahkan Bara”.
Pertama, saya merasa terganggu dengan bagian logika cerita saat "saya" memarah-marahi Milana setelah saya tahu bahwa lelaki perekam senja yang ditunggu Milana itu sudah mati. Tanpa premis apa pun, tiba-tiba saya memarahi Milana. Pertanyaan logis saya: Apa hak saya memarahi Milana? Bukankah saya diceritakan dalam bagian sebelumnya bahwa saya bukan siapa-siapa dalam kehidupan Milana? Lalu bagaimana mungkin saya memarah-marahinya jika saya bukan siapa-siapanya?
Kedua, agaknya Bara memiliki watak terburu-buru dalam menuntaskan cerpen-cerpennya. Cerpen Milanamerupakan salah satu contoh yang menyimpan bagian terburu-buru itu, yang saya rasa bisa dibikin lebih kuat logika ceritanya umpama penulisnya tidak mengidap keburu-buruan. Kondisi yang sama juga pernah saya temukan dalam cerpen Bara yang (saya lupa judulnya) di awal bulan November 2013 lalu dimuat di Koran Tempo. Di bagian awal sangat bagus, tapi di bagian tengah ke belakang jeblok betul logika ceritanya, begitu simplistic, mudah ditebak, biasa saja, yang saya yakin disebabkan oleh keburu-buruan penulisnya.
Ketiga, penulis yang kreatif tentunya tidak melakukan pengulangan, template, dalam hal ide maupun teknik. Untuk membebaskan diri dari godaan begini, dibutuhkan ketelitian dan kesabaran. Apa yang dianggap ide jleb saat ini, tidaklah mesti lalu ditulis saat ini pula. Meremas gagasan sekuat-kuatnya agar mengeluarkan santan kental yang tebal jauh lebih penting daripada ketergesaan menuliskannya. Ketergesaan mengeksekusi ide ujung-ujungnya hanya akan menjebak penulis menjadi “pengrajin cerita”, yang mekanis bak mesin, berkat bekal tekniknya belaka. Dua cerpen yang pernah saya baca di blog Bara mencerminkan situasi tersebut.
Bara, engkau masih muda, gemar bertualang, doyan bergaul, yang tentu saja akan memberikanmu banyak energi kreatif. Ada baiknya jika watak ketergesaan direduksi demi pencapaian karya yang lebih mentereng. Betul memang bahwa cepat atau lambat tidaklah selalu paralel dengan kualitas. Namun, hukum alam telah menuturkan bahwa para penulis hebat tidaklah cukup hidup hanya dengan menulis belaka. Di sisinya, harus ada sosok-sosok cantik bernama sharing, bacaan, perjalanan, pendalaman, permenungan, kontemplasi, refleksi, dan bahkan diam.
Gabriel Garcia Marquez, peraih Nobel Sastra 1981 yang juga populer dengan sebutan El Gabo, dan Paulo Coelho, dengan karyanya Sang Alkemis yang mengguncang dunia, adalah sedikit contoh dari tuturan hukum alam yang saya maksudkan.
Salam, Bara.
Jogja, 21 November 2013

Merantau, Belajar Membaca Karya-Karya Sastra Luar

$
0
0



Merantau, Belajar Membaca Karya-Karya Sastra Luar


Saya tidak tahu, berapa jumlah buku puisi, kumpulan cerpen, atau novel karya pengarang Indonesia yang saya baca hingga saat ini. Saya tidak tahu apakah dari seluruh buku karya pengarang Indonesia yang saya baca, saya berhak untuk mengatakan hal ini: bahwa saya tidak lagi menemukan hal-hal yang baru dari buku-buku tersebut. Perasaan seperti itu bisa jadi muncul karena saya belum membaca cukup banyak. Tapi, setidaknya, sejauh pengalaman saya membaca karya-karya pengarang Indonesia, semakin lama semakin sering saya dihinggapi perasaan semacam itu. Perasaan tak menemukan hal yang baru. Kian hari membaca buku-buku karya pengarang Indonesia, kian jelas terlihat pengulangan-pengulangan tema, cara bertutur, plot, bahkan sudut pandang (mungkin termasuk buku yang saya tulis sendiri, sebagai akibat dari buku-buku yang saya baca tersebut). Saya ulang kembali, sangat mungkin perasaan saya ini muncul secara sembrono sebab saya belum membaca seluruh karya-karya pengarang Indonesia.


Pada suatu malam di Yogyakarta, saya bertemu dengan Okky Madasari (penulis novel Entrok, 86, Maryam, dan Pasung Jiwa-Maryam meraih KLA 2012). Saya bertanya, buku-buku apa yang dia baca. Saya selalu ingin tahu buku-buku apa yang dibaca oleh penulis yang bagus (saya mengasumsikan Okky adalah penulis yang bagus sebab bukunya menang anugerah sastra). Okky menjawab, dia belajar dengan menyusuri “jalan pintas”. Jalan pintas yang dia maksud adalah, membaca langsung karya-karya yang sudah “terjamin” bagus, misalnya adalah: karya-karya pemenang Nobel Sastra.

Tak pernah terpikirkan oleh saya sebelumnya untuk belajar menulis dengan membaca buku-buku pemenang anugerah sastra. Saya membaca buku-buku pengarang Indonesia yang masuk nominasi KLA, namun saya membacanya sebelum mereka masuk nominasi KLA. Waktu itu saya belum berminat untuk mencari tahu tentang anugerah sastra di luar Indonesia. Saya sering mendengar beberapa, seperti Pulitzer Prize, Man Booker Prize, dan Nobel Prize for literature alias Nobel Sastra. Namun saya belum terpikirkan untuk membaca buku-buku para pemenang anugerah sastra luar negeri tersebut.

Perasaan sembrono akan kebosanan tak menemukan hal-hal baru lagi dalam buku-buku pengarang Indonesia dan percakapan dengan Okky memunculkan dan memperkuat minat saya untuk mulai belajar membaca buku-buku sastra luar. Saya memulainya dengan menelusuri karya-karya pemenang Nobel Sastra, sejak 1901-2013. Dengan cara yang sederhana (mencatat nama-nama pemenang nobel sastra dari web-nya, googling nama mereka dan mencatat buku-buku yang mereka terbitkan) saya menyusun sebuah daftar panjang buku-buku yang ditulis oleh para peraih Nobel Sastra tersebut. Dan saya pun memulai pencarian buku-buku dalam daftar itu.

Keinginan saya itu seperti direstui oleh semesta. Tiba-tiba muncul sebuah toko buku impor bekas di Yogyakarta yang koleksinya sangat bagus. Saya menemukan beberapa buku dalam daftar yang saya buat. Semuanya berbahasa Inggris, tentu saja. Saya tidak tahu apakah saya mampu menyelesaikan membacanya. Yang saya tahu, saya ingin mulai belajar membaca buku-buku pengarang luar.

Buku pertama yang saya selesaikan adalah The Thief and The Dogs, karangan Naguib Mahfouz. Dia pengarang asal Mesir dan peraih Nobel Sastra tahun 1988. Meskipun bukunya yang saya baca berbahasa Inggris, saya nyaris tak tersendat-sendat membacanya. Mungkin karena Mahfouz menulis dengan baik dan tidak menggunakan kata-kata yang asing di kepala saya. Tapi, poin penting yang saya dapat setelah membaca The Thief and The Dogs adalah, betapa berbedanya cara bertutur, gaya narasi, dialog, dan plot yang dibangun Mahfouz dari kebanyakan buku-buku pengarang Indonesia yang saya baca. Tentu saja antar-pengarang Indonesia pun terdapat perbedaan-perbedaan tersebut, namun yang saya maksud adalah, saat saya membaca The Thief and The Dogs, saya betul-betul seperti masuk ke dunia yang baru, betul-betul baru, dunia yang belum pernah saya lihat dan saya duga, dan itu menyenangkan (semoga kamu menangkap maksud saya).

Lalu saya melanjutkan membaca Pedro Páramo karangan Juan Rulfo. Dia bukan pemenang Nobel Sastra. Saya memasukkan Pedro Páramo ke dalam daftar buku yang saya cari setelah membaca tweet A. S. Laksana yang menyebut bahwa buku tersebut adalah “novel tipis yang kampret sekali” (saya tahu arti “kampret” di sini adalah “bagus”). Lagi-lagi, saya seperti ditarik keluar dari dunia Mahfouz tadi, kemudian masuk ke dunia lain yang juga baru, betul-betul baru, betul-betul berbeda.

Pengetahuan-pengetahuan baru tentang teknik menulis yang saya dapat setelah membaca The Thief and The Dogs dan Pedro Páramo membuat saya semakin bernapsu untuk membaca karya-karya sastra luar yang lain. Buku-buku berikutnya yang saya baca adalah Life & Times of Michael K karangan J. M. Coetzee, Love in the Time of Cholera karangan Gabriel García Márquez (dan buku-buku dia yang lain, saya mencintainya!), Norwegian Wood karangan Haruki Murakami. Ketiganya terjemahan Indonesia. Saat ini, saya sedang membaca Dance of the Happy Shades, kumpulan cerpen Alice Munro, peraih Nobel Sastra tahun 2013.

Sudut pandang, plot, tema, dan teknik bertutur (pada dasarnya, seluruh elemen dasar fiksi!) yang baru saya temukan pada karya-karya sastra luar, membuat saya merasa bahwa saya harus membaca lebih banyak lagi karya-karya tersebut. Lagi-lagi, bukan semata-mata karena saya betul-betul tidak menemukan hal baru dalam karya-karya sastra Indonesia, tetapi mungkin lebih kepada pemahaman bahwa dunia ini begitu luas. Untuk memiliki pengetahuan yang luas pula, maka saya harus menjelajahi dunia yang luas itu. Saya harus keluar dari kampung halaman, merantau ke pulau lain, untuk mendapatkan hal-hal baru. Logika yang sederhana saja sebetulnya.

***

Personal Branding dan Social Media? Apa Itu?

$
0
0


Berbagi Pengalaman Bersama Duta IM3
dalam “Kelas Gratis Duta IM3"


Saya katakan kepadamu, seperti yang mungkin sudah kamu tahu, bahwa ini adalah era digital. Zaman internet. Masa di mana semua orang terkoneksi lewat jaringan di dunia maya. Dan untuk menjadi manusia yang baik, maka kamu harus mampu melihat manfaat dari segala sesuatu, termasuk fase seperti saat ini, saat social media telah merambah ke dalam sudut kehidupan seseorang hingga yang paling pribadi.

Di era social media, menjual barang dan jasa sudah tak lagi menjadi tren. Sekarang adalah masanya menjual diri. Saya katakan menjual diri bukan berarti menjual tubuh, melainkan menjual imej. Pencitraan, bahasa mudahnya. Beberapa orang menganggap pencitraan adalah hal yang buruk. Tidak termasuk saya. Saya adalah orang yang mengira pencitraan merupakan salah satu hal yang penting dilakukan jika ingin sukses di zaman internet ini.

Pencitraan seperti apakah yang saya maksud? Para pakar komunikasi menyebutnya dengan istilah personal branding. Apa itu personal branding? Saya mengartikannya sebagai berikut: yakni sebagai apa kamu ingin dilihat oleh orang lain.

Kamu mungkin memiliki banyak bakat: menyanyi, bermain gitar, menulis, berjualan, dan lain sebagainya. Tapi sebagai apakah kamu ingin dikenal oleh orang lain? Bagaimana kamu ingin orang lain mengingat kamu? Inilah yang disebut dengan personal branding.

Saya mendapatkan kesempatan untuk berbagi pengalaman seputar aktivitas di social media dan membangun personal branding lewat social media bersama teman-teman Duta IM3 dalam sebuah acara bertajuk “Kelas Gratis Duta IM3”. Oleh IM3, saya diajak jalan-jalan ke empat kota untuk bicara tentang hal tersebut: Tanggal 3 November di Lampung, 10 November di Balikpapan, 17 November di Pekanbaru, dan terakhir 24 November di Makassar.




-- Lampung 

Pengalaman yang menyenangkan ketika saya berhadapan dengan sekelompok anak muda yang cerdas dan aktif. Di Lampung, saya bicara di depan setidaknya 50 pemuda dan pemudi yang berasal dari beberapa daerah di Sumatera Selatan. Saya menangkap semangat mereka yang bagus sebab meski acara baru dimulai pukul 9 pagi, mereka sudah berada di sana satu jam sebelumnya.

Acara di Lampung dimeriahkan dengan penampilan dari kelompok fans JKT48. Katanya, nama penampilan mereka adalah dance cover. Saya terhibur dengan satu grup gadis lucu menari dengan gerakan-gerakan yang juga lucu.



-- Balikpapan

Kota kedua yang saya kunjungi untuk bicara soal personal branding lewat social media adalah Balikpapan. Ini kali pertama saya ke Balikpapan. Meski saya lahir di sebuah kota yang juga berada di dalam pulau Kalimantan, yakni Pontianak, namun saya belum pernah menyambangi kota-kota lain di Kalimantan seperti Balikpapan, Palangkaraya, Banjarmasin, ataupun Samarinda.

Saya takjub melihat betapa tertata dan bersihnya kota Balikpapan. Jalan-jalan utama yang ukurannya relatif tidak lebar dan sebetulnya ditelusuri oleh cukup banyak kendaraan, motor maupun mobil, tidak membuatnya menjadi macet. Trotoar-trotoar betul-betul digunakan untuk pejalan kaki, bukan motor yang menyeleweng. Sejauh mata memandang, tak ada saya lihat pedagang kaki lima yang membuka lapak di trotoar yang bersih. Pohon-pohon tumbuh di sepanjang jalan raya, pada pembatas dua ruas jalan dan di sisi kanan dan kiri jalan, membuatnya terasa asri dan nyaman. Belakangan, saya baru tahu bahwa Balikpapan adalah kota yang beberapa kali mendapatkan anugerah Adipura dari pemerintah. Pantas saja.

Satu hal yang membuat saya lebih bahagia lagi menginjakkan kaki di Balikpapan adalah, saya dapat melihat laut dari tengah kota. Waw. Pantai terletak tak jauh dari kota. Hanya sepuluh sampai lima belas menit naik taksi, maka sampailah saya di sebuah pantai yang posisinya sangat pas untuk melihat pemandangan matahari terbenam.

Esok paginya, saya berangkat ke kantor Indosat Balikpapan. Di sana sudah duduk dengan rapi dan manis para Duta IM3 dari Balikpapan dan Samarinda. Acara dibuka dengan pemutaran video tentang social media. Sekitar tiga puluh menit setelahnya, barulah giliran saya untuk bicara.

Para Duta IM3 di Balikpapan tampak menyimak apa yang saya tuturkan. Mereka pun tampak antusias dan responsif menjawab ketika pada waktu-waktu tertentu saya melemparkan pertanyaan-pertanyaan ringan terkait social media. Beberapa dari mereka sempat tertawa dan mesam-mesem ketika saya berkata bahwa banyak yang menggunakan Twitter untuk stalking mantan atau gebetannya.



Usai acara, kami beranjak dari kantor Indosat dan makan siang di sebuah rumah makan yang katanya cukup tenar di Balikpapan, namanya “Dandito”. Kata seorang teman yang bergabung bersama kami pada siang itu, belum sah datang ke Balikpapan kalau belum menyantap menu kepiting. Wah, kebetulan sudah lama sekali saya tidak makan kepiting. Akhirnya kami memesan dua jenis menu kepiting: ‘kepiting betina lada hitam’ dan ‘kepiting raja saos a la Dandito’. Jangan tanyakan rasanya. Muaknyus!


-- Pekanbaru

Setelah bertandang ke Lampung dan Balikpapan untuk bicara soal personal branding through social media, saya dan tim IM3 berkunjung ke Pekanbaru. Kota yang panasnya hampir seperti Pontianak ini (walaupun masih lebih panas Pontianak) membuat saya kagum dengan pemandangannya dari atas, saat saya masih berada di dalam pesawat. Sejauh mata memandang yang saya temukan adalah lanskap perkebunan. Kebanyakan kebun sawit.

Beberapa teman memberi saran kepada saya untuk makan durian saat saya di Pekanbaru. Sayangnya, saya tidak terlalu gemar durian. Saya makan durian, namun hanya sedikit.

Bermalam minggu di Pekanbaru, saya diajak oleh seorang sahabat yang kebetulan tinggal di sana berjalan-jalan menyusuri badan kota. “Wisata di sini adalah wisata jalan raya,” kata sahabat saya itu. Saya baru mengerti maksud dari perkataannya ketika di beberapa titik saya melihat pedagang kaki lama berjejeran di sisi jalan raya. “Di sini lah tempat muda-mudi Pekanbaru menghabiskan waktunya di malam Minggu”, lanjutnya.

Keesokan paginya, saya bicara di depan para Duta IM3 Pekanbaru. Seperti yang saya duga, kebanyakan dari mereka masih menggunakan social media sebagai sarana untuk curhat atau hal-hal lain yang kurang penting. Pada kesempatan inilah saya harus memberi mereka pencerahan, bahwa Twitter, Facebook, blog, Instagram, dan social media channel lain dapat digunakan untuk memperoleh hal-hal yang lebih besar.





-- Makassar

Kota terakhir #KelasGratisDutaIM3 yang saya kunjungi adalah Makassar. Ini kedua kalinya saya bertandang ke kota yang salah satu makanan khasnya adalah konro bakar karebosi ini. Pada bulan Juli lalu, saya ke Makassar untuk mengikuti Makassar International Writers Festival 2013. Tak banyak yang berubah sejak terakhir kali saya main-main ke Makassar. Masih tetap panas. Masih tetap memberikan rasa rindu pada pallu basa.

Satu hal yang berbeda dari kota-kota sebelumnya adalah para peserta #KelasGratisDutaIM3 di Makassar tampak lebih serius. Setelah saya menyampaikan materi tentang membangun personal branding lewat social media, sesi tanya-jawab dibuka dan pertanyaan-pertanyaan pun meluncur dengan deras.




Demikianlah pengalaman saya selama satu bulan penuh berkunjung ke empat kota di Indonesia untuk berbagi seputar aktivitas social media, dengan harapan pemuda dan pemudi yang sehari-harinya tak lagi bisa dipisahkan dari internet dapat menggunakan social media sebagai sarana yang memberikan manfaat bagi diri mereka sendiri.

Terima kasih IM3 dan para Duta IM3. Happy tweeting!







***


Tugas Kata

$
0
0

Tugas Kata


tugas angin adalah membawa sepotong pesan
untuk disampaikan kepada bisunya pohon
dan akar-akar

tugas pohon adalah menerjemahkan cahaya
untuk diterka oleh sunyi akar
dan kerapuhan angin

tugas akar adalah menyerap kata
untuk dimakna sendiri tanpa angin
tanpa matahari

tugas kata adalah menyembunyikan diri
dari manusia yang ingin menjadi
sekekal api

2013


Perempuan dalam Cerita-Cerita Munro

$
0
0



Perempuan dalam Cerita-Cerita Munro


“Men are always out for what they can get,” ujar Alma, salah seorang tokoh fiksi dalam cerita pendek Alice Munro berjudul Postcard” di bukunya yang saya baca, Dance of the Happy Shades. Alice Munro adalah seorang cerpenis asal Kanada yang meraih penghargaan Nobel Sastra tahun 2013. Dance of the Happy Shades adalah buku pertamanya, terbit pada tahun 1968. Meskipun bukunya yang sedang saya baca ini adalah sebuah kumpulan cerita, yang bisa dibaca secara acak, namun saya terbiasa membaca sebuah buku secara berurut. Maka demikianlah saya mulai membaca Dance of the Happy Shades dari cerita pertamanya, “Walker Brothers Cowboy”.

Saat membaca cerpen pertama, saya masih belum menangkap di mana letak kekuatan cerpen Munro dan gagasan apa yang hendak ia sampaikan. Namun, setelah membaca cerpen-cerpen berikutnya, barulah saya paham bahwa Munro selalu bicara tentang perempuan. Salah satunya tergambar dari dialog di awal tulisan ini. “Men are always out for what they can get.” (“Postcard”) bercerita tentang seorang perempuan yang ditinggal menikah secara tiba-tiba oleh lelaki yang dicintainya.Dialog tersebut menunjukkan bagaimana Munro memunculkan pandangan perempuan terhadap laki-laki. Pada bagian lain, kita akan menemukan seorang gadis remaja yang merasa dirinya tidak menarik karena tidak ada lelaki yang mengajaknya berdansa (“Red Dress-1946”), seorang perempuan pembantu rumah tangga yang merasa hidupnya begitu menyedihkan sebab terasa kontras dengan kemewahan keluarga tempat ia bekerja, namun tiba-tiba ia merasa bersyukur dan bahagia karena seorang laki-laki anggota keluarga tersebut menghampirinya dan mencium bibirnya begitu saja (“Sunday Afternoon”), seorang gadis yang mencoba melupakan mantan kekasihnya dan menyembuhkan dirinya dari rasa sakit hati (“An Ounce of Cure”), dan seterusnya.

Dalam Dance of the Happy Shades, Munro mengangkat masalah-masalah yang dialami oleh perempuan pada berbagai usia. Seorang gadis, perempuan dewasa, bahkan wanita tua. Cerpen “A Trip to the Coast” menampilkan kekhawatiran seorang nenek kepada cucunya dan ketidakpercayaannya terhadap remaja laki-laki. Munro mengulik konflik yang terjadi pada perempuan dalam dua jalur: bagaimana pandangan seorang perempuan terhadap hal-hal di dalam dan di luar dirinya, dan bagaimana pandangan pihak di luar perempuan (publik, laki-laki, atau keluarga sendiri) terhadap seorang perempuan (stigma, nilai, dan hal-hal semacamnya). Hal ini kentara sekali terasa pada cerpen “Boys and Girls”, dimana terdapat paragraf berbunyi seperti berikut:

My grandmother came to stay with us for a few weeks and I heard other things. “Girls don’t slam doors like that.” “Girls keep their knees together when they sit down”. And worse still, when I asked some questions, “That’s none of girls’ business.” I continued to slam the doors and sit as awkwardly as possible, thinking that by such measures I kept myself free.

Lewat tokoh utama dalam cerpen “Boys and Girls”, Munro seolah hendak melawan nilai-nilai yang telah dilekatkan masyarakat kepada perempuan. Pada bagian akhir cerpen tersebut, terdapat sebuah adegan dimana si tokoh utama perempuan membiarkan kuda milik ayahnya lepas pada saat ia seharusnya bisa mencegah kuda itu kabur, dan si ayah berkata: “Never mind. She’s only a girl.” Munro menunjukkan bahwa laki-laki kerap menganggap remeh perempuan dan sangat wajar apabila perempuan melakukan kesalahan-kesalahan seperti itu.“Never mind. She’s only a girl.” Jika di cerpen “Boys and Girls” Munro menampilkan stigma laki-laki terhadap perempuan, maka pada cerpen “Thanks for the Ride”, adalah sebaliknya. Munro menulis adegan yang menggambarkan bagaimana anggapan seorang perempuan terhadap kebiasaan laki-laki. “He just went around with me for the summer. That’s what those guys from up the beach always do. They come down here to the dances and get a girl to go around with. For the summer. They always do.” Tampak bahwa laki-laki sering ‘menggunakan’ perempuan untuk kepentingan (kenikmatan?) yang sementara saja, sebuah selingan.

Perempuan dalam cerita-cerita Munro muncul dalam sosok yang kompleks, sementara laki-laki yang ia gambarkan adalah laki-laki pada umumnya (atau laki-laki di mata Munro?) yakni sebagai makhluk yang oportunis (Clare pada “Postcard”), merasa dirinya superior (Ayah pada “Boys and Girls”), dan tukang main-main dengan perasaan perempuan (Martin Collingwood pada “An Ounce of Cure”). Tak hanya bercerita tentang konflik pandangan antara perempuan dengan laki-laki dan perempuan dengan publik (“The Shining Houses”), Munro juga menampilkan konflik antar perempuan itu sendiri (“The Peace of Utrecht”). Lewat cerita-ceritanya, Munro mempertanyakan, menyindir, bahkan melawan standar-standar atau stigma yang telah dilekatkan publik terhadap perempuan, yang dianggap Munro sebagai kurungan atau pengekang yang sama sekali tidak adil. Selain memunculkan sosok perempuan yang mandiri (seorang istri di “The Office”), penuh pengalaman hidup dan kritis dan penuh kecurigaan (nenek di “A Trip to the Coast”), Munro juga memunculkan sosok perempuan yang lugu dan sederhana (Miss Marsalles di “Dance of the Happy Shades”), dan pada beberapa bagian ia juga seakan tak bisa melawan atau menyetujui bahwa perempuan juga seringkali naif dan mudah terbawa perasaan (dan dipermainkan?) oleh laki-laki (“An Ounce of Cure”, “Sunday Afternoon”, “Red Dress-1946”). Ada bagian dari diri perempuan yang, sekeras apapun berusaha diperkuat dengan keteguhan dan kemandirian, tetap menjadi lemah jika disentuh dan dimasuki oleh laki-laki. Dan, setidaknya tercermin dari beberapa bagian dalam cerita-ceritanya, Munro tidak melawan fakta ini.

Saya merasa kekuatan utama cerita-cerita Alice Munro terletak pada ideologinya, bagaimana sikap politiknya sebagai perempuan memandang dan bereaksi terhadap pandangan-pandangan publik terhadap perempuan (dan karena dirinya adalah perempuan, maka terhadap dirinya sendiri pula). Dari segi teknik, jelas tak ada yang perlu dipertanyakan lagi sebab Munro adalah peraih Nobel Sastra. Munro begitu mahir bermain dengan detil suasana, visual, dan pikiran-pikiran tokoh dalam ceritanya. Narasi yang dibangun Munro terasa kokoh dan padat. Ia kerap menambahkan atribut-atribut singkat sebagai pelengkap terhadap apa yang dilihat atau dirasakan si tokoh akan sesuatu atau seseorang. Caranya bertutur lewat narasi, dialog, dan deskripsi yang kuat amatlah sulit untuk ditiru, saya rasa (saya akan mencobanya nanti, dan kemungkinan besar akan gagal, tidak masalah). Peristiwa demi peristiwa dalam cerita-cerita Munro mengalir dengan begitu alami. Tak ada yang dibuat-buat, apalagi dipaksakan, seakan seperti kehidupan itu sendiri, berjalan apa adanya dan dengan alasan-alasan logis sebagaimana memang mestinya sebuah fiksi yang baik.

Jika kau ingin membaca cerita-cerita bagus tentang perempuan yang ditulis dengan sangat baik oleh seorang perempuan dan terasa sangat perempuan, maka bacalah cerita-cerita Alice Munro. Kau akan dibawa ke dalam dunia pikiran dan perasaan perempuan yang kompleks, yang sepertinya akan membuatmu paham, mengapa perempuan sulit dimengerti. Salah satu jawabannya adalah: sebab perempuan pun sering merasa dirinya begitu rumit sehingga mereka mengalami kesulitan untuk memahami diri mereka sendiri.

***

Dendam Kesumat Said Mahran

$
0
0



Dendam Kesumat Said Mahran


Apa yang akan kau rasakan, seandainya kau berada pada satu titik terendah dalam hidupmu setelah berbuat kesalahan, dan ketika kau membutuhkan secercah harapan untuk kembali menjalani hidup dengan baik, kau justru dikhianati oleh orang-orang yang sebelumnya sangat kau percaya: sahabatmu, panutanmu, gurumu, bahkan istrimu sendiri? Apa yang akan kau lakukan terhadap mereka, orang-orang terkasih yang telah mengkhianatimu?

Saya akan bertanya kepada Said Mahran, tokoh utama dalam novella The Thief and The Dogs karangan Naguib Mahfouz, penulis asal Mesir yang meraih Nobel Sastra tahun 1988. Said Mahran adalah seorang residivis. Dia baru saja bebas dari penjara. Perbuatannya: mencuri. The Thief and The Dogs dibuka dengan adegan kebebasan Said Mahran sekaligus penggambaran kemarahannya yang begitu intens. Itulah yang akan terasa sejak awal hingga akhir novel: kemarahan. Apa saja yang membuat Said Mahran marah? Mari kita urai satu per satu.

Nabawiyya Sulayman, istri Said Mahran yang meninggalkannya saat ia mendekam dalam penjara selama empat tahun, dan kemudian menikah dengan sahabat Said Mahran sendiri, Ilish Sidra. Ilish Sidra adalah partner terbaik Said semasa mereka masih mencuri.

Nabawiyya. Ilish. Your two names merge in my mind. For years you will have been thinking about this day, never imagining, all the while, that the gates would ever actually open. You’ll be watching now, but I won’t fall into the trap. At the right moment, instead, I’ll strike like Fate.

Sejak awal, Mahfouz telah menampilkan isi pikiran Said Mahran. Bahkan pada narasi di paragraf sebelumnya: “No one smiled or seemed happy. But who of these people could have suffered more than he had, with four years lost, taken from him by betrayal? And the hour was coming when he would confront them, when his rage would explode and burn, when those who had betrayed him would despair unto death, when treachery would pay for what it had done.” Konflik telah dibuka sejak permulaan: Said ingin balas dendam terhadap orang-orang yang telah mengkhianatinya dan membuatnya mendekam dalam penjara. Dua orang pertama yang muncul dalam pikirannya adalah sahabatnya, Ilish Sidra, dan mantan istrinya sendiri, Nabawiyya.

Sejak awal, saya telah dibawa ke dalam mood yang penuh amarah dan kebencian. Dan ini akan berlangsung sepanjang cerita. Saya bersiap untuk ketegangan berikutnya.

Maka Said pergi ke rumahnya, yang kini telah ditempati oleh pasangan suami-istri lain: Ilish dan Nabawiyya. Sesuatu selain kebencian dan hasrat ingin balas dendam telah menyeret langkahnya ke rumah itu: Said ingin bertemu dengan Sana, anak perempuan sematawayangnya. Sana adalah penawar rasa benci yang bertumpuk-tumpuk di dadanya. Namun, apa yang terjadi? Ketika ia sampai di rumah, Sana menolaknya. Sana tak ingin menyalami tangan Said. Setelah dikhianati oleh sahabat dan istrinya sendiri, kini anaknya menolak kehadirannya.

Untuk menenangkan diri, Said beranjak ke rumah Sheikh Ali Al-Junaydi, guru spiritual mendiang ayahnya yang telah membesarkannya sejak kecil dan memberikan pengetahuan agama. Harapannya untuk mendapatkan kata-kata penghiburan pun pupus, setelah Sheikh tampak sama sekali tak berpihak kepadanya dan tak berminat untuk menyemangatinya. Sheikh seolah tak menghendaki kedatangan Said ke rumahnya. Said telah ditolak, lagi. Dia kehilangan tempat mengadu dan berlindung.

I am alone with my freedom, or rather I’m in the company of the Sheikh, who is lost in heaven, repeating words that cannot be understood by someone approaching hell. What other refuge have I?

Merasa harus mendapatkan pekerjaan yang baik dan ingin menemui harapan terakhirnya, Said mendatangi Rauf Ilwan, pelajar sekolah hukum yang “kiri”, yang menjadi mentor dan mendidik Said menjadi pencuri profesional, mencuri harta kaum kaya raya. Said kecil yang yatim-piatu dibina oleh Rauf Ilwan menjadi Robin Hood. Menemui mentornya, Said terpana. Kini Rauf telah sangat berubah. Dia bukan lagi pencuri. Dia kini seorang pemilik koran bernama Al-Zahra dan dia sukses, kaya raya, hidup mewah. Rauf Ilwan telah meninggalkan masa lalunya yang gelap dan kini menjadi bagian dari masyarakat yang dahulu mereka rampok kekayaannya. “Things must be now change completely. Have you thought about your future?” kata Rauf kepada Said. Said menjawab, “My past hasn’t yet allowed me to consider the future.” Dendam kesumat masih menggelegak di dalam dada Said Mahran, dan kebencian yang menjadi api dendam kesumat itu semakin membara ketika dia melihat Rauf Ilwan, mentornya sendiri, idolanya, panutannya, tampak tak begitu bersahabat dengannya dan tak mendukung rencana-rencananya dan tak berada di pihaknya lagi, seperti dahulu kala. Kekecewaan menusuk-nusuk dada Said dan merobek kepercayaannya kepada Rauf.

You made me and now you reject me: Your ideas create their embodiment in my person and then you simply change them, leaving me lost-rootless, worhtless, without hope-a betrayal so vile that if the whole Muqattam hill toppled over and buried it, I still would not be satisfied.

Berlandaskan perasaan benci itu, Said berencana untuk merampok rumah Rauf yang penuh harta benda. Sayangnya, kecerobohan Said membuatnya masuk ke dalam perangkap. Rauf telah bersiap dan menanti kedatangannya. Said tertangkap basah hendak merampok rumah Rauf. Rauf mengusir Said dengan keras, tak mengindahkan permohonan maaf Said, dan pada saat itulah hubungan murid dan mentor menjadi sebuah permusuhan yang abadi.

Merasa sedih, kecewa, dan depresi, Said beruntung masih punya tempat bersandar terakhir. Dia datang ke sebuah kafe di sudut gurun, terpencil dari kota, milik seseorang bernama Tarzan. Tarzan dan kroni-kroninya masih membuka tangan lebar-lebar untuk kepulangan Said. Mereka adalah komplotan pencuri dimana Said (dan Ilish, dan Rauf dahulu) bekerja secara terorganisir. Di sana, Said bertemu dengan Nur, seorang perempuan yang sejak dahulu menaruh hati pada Said. Namun, “What love he’d had been the exclusively property of that other, unfaithful woman. He’d been made of stone. There’s nothing more heartbreaking than loving someone like that.” Said tak bisa mencintai Nur sebab hatinya masih dipenuhi kebencian terhadap mantan istrinya, dan dia tak punya waktu untuk cinta yang baru, cinta yang lain.

Dengan bantuan Tarzan dan Nur, Said Mahran menyusun rencana balas dendamnya. Dia memperoleh sebuah revolver dari Tarzan, yang hendak dia gunakan untuk membunuh Ilish Sidra, Nabawiyya, dan Rauf Ilwan. Meski demikian, sesekali tetap terlintas di kepala Said akan keselamatan dan keberlangsungan hidup anak sematawayangnya, Sana. Namun tampaknya perasaan sentimentil itu tak bertahan lama, sebab Said segera kembali kepada agenda balas dendamnya. Target pertama: Ilish Sidra dan Nabawiyya.

Kebencian yang berkobar-kobar dan dendam kesumat yang teramat panas telah membuat Said Mahran bertindak impulsif tanpa rencana yang matang dan kehati-hatian, sehingga dia menjadi ceroboh. Tembakan yang dia kira menghantam Ilish Sidra, ternyata memakan korban lain, yakni Shaban Husayn. Seseorang yang menempati rumah Ilish dan Nabawiyya yang ternyata telah pindah rumah setelah kedatangan Said pertama kali. Peluru Said Mahran telah salah sasaran.

Peristiwa pembunuhan tersebut segera saja tersebar setelah beritanya dimuat di koran dan Rauf Ilwan menulis artikel khusus tentang para perampok di hariannya Al-Zahra. Said tahu, Rauf sengaja menulis artikel itu untuk mempersempit pergerakannya dan memojokkannya. Benar saja, setelah artikel tersebut naik, bahkan kafe milik Tarzan tak lagi menjadi tempat yang aman bagi Said Mahran.

Satu-satunya harapan Said kini adalah Nur. Said menginap di apartemen Nur yang terletak di sudut kota. Di halaman belakang apartemen tersebut terdapat lahan pemakaman. Di sana, Said merenung dan mengingat kembali masa lalu, tentang Nabawiyya yang mencuri perhatiannya, Ilish Sidra yang berbahagia atas pernikahan mereka, Rauf Ilwan yang masih menjadi mentornya, dan Sana yang baru saja lahir. Untuk sejenak, Said tenggelam dalam suasana melankoli dan perasaan sentimentil. “How did you spent your time?” Nur, yang memiliki nama asli Shalabiyya, bertanya kepada orang yang dia cintai dengan tulus sejak dahulu kala. Dan Said Mahran pun menjawab pertanyaan itu dengan jawaban yang memancing imajinasi dan interpretasi yang luas: “Between the shadows and the graves.”

Di situ lah salah satu letak kekuatan Naguib Mahfouz dalam The Thief and The Dogs. Dialog-dialog yang dalam. Pada satu bagian terdapat dialog seperti ini: “What does a man need in this country, Said?” and without waiting for an answer he said, “He needs a gun and a book: the gun will take care of the past, the book is for the future. Therefore you must train and read.”Selain dialog-dialog yang kuat, deskripsi suasana yang ditulis Mahfouz juga terasa puitis: The crescent moon had gone down early, leaving stars to glitter in a sky profoundly black, and a soft breeze blew, distilled from the breath of the night after a day of stunning, searing summer.

Membaca The Thief and The Dogs, kau harus bersiap-siap untuk berhadapan dengan tempo cerita yang cepat dan amarah yang berapi-api. Siap-siap pula untuk rasa depresi dan muram. Tak ada kebahagiaan di sini. Tak ada adegan-adegan manis nan romantis. Tak ada penghiburan yang ditawarkan oleh penulisnya sama sekali. Tak ada happy ending. Kau melulu akan diseret ke dalam kebencian dan rasa dendam kesumat dari satu adegan ke adegan berikutnya. Dari awal hingga akhir.

Pencuri (“The Thief”) dalam cerita bergenre thriller karangan Mahfouzini adalah simbol kritik dan perlawanan terhadap kemapanan. Dimana Rauf Ilwan dan Said Mahran secara profesional mencuri hanya dari kaum kaya-raya yang hidup berjarak dari kemiskinan di lingkungan mereka. Mereka menjadi Robin Hood versi Mesir. Sementara itu, anjing (“The Dogs”) menjadi simbol pengkhianatan. Sering Said Mahran mengumpat orang-orang terdekatnya yang telah berkhianat kepadanya sebagai anjing. Anjing juga menjadi lambang whistle blower, yang “menyalak” dan merusak seluruh rencananya, dan kemudian menyudutkan Said Mahran hingga dia menemui ajalnya.

Dendam kesumat digambarkan Mahfouz sebagai sesuatu yang sepertinya sama sekali tak berguna. Lihatlah agenda balas dendam Said Mahran, tak ada satu pun yang terwujud. Percobaan pertama membunuh Ilish Sidra dan Nabawiyya ternyata gagal. Tembakan Said salah sasaran. Percobaan berikutnya membunuh Rauf Ilwan pun gagal. Lagi-lagi, untuk kedua kalinya, peluru Said menelan nyawa yang tak seharusnya, dia malah menembak pembantu Rauf Ilwan. Dua tembakan salah sasaran tersebut membuat Said semakin panik dan depresi. Nur, satu-satunya orang yang masih meletakkan harapan baik kepada Said pun akhirnya meninggalkan Said. Nur kecewa, kasih sayangnya yang tulus dan usahanya untuk menarik Said ke kehidupan yang lebih baik ternyata tak begitu dianggap oleh Said, sebab Said terlalu sibuk mencari cara untuk membunuh orang-orang yang ingin dia lenyapkan. Sepanjang cerita, kita diperlihatkan pada kegigihan sekaligus keras kepalanya Said yang merasa bahwa tujuan hidupnya hanyalah satu: membunuh Ilish, Nabawiyya, dan Rauf Ilwan. Dia tidak peduli apa yang akan terjadi setelahnya. “Ilish Sidra,” he said aloud, heard only by the trees as they drank in the breeze, “and then Rauf Ilwan. Both in one night. After that, let come what may.”

Sayangnya, saya kira, ada satu hal mendasar yang luput ditulis oleh Mahfouz. Tak digambarkan betul bagaimana akhirnya Said Mahran bisa ditangkap dan masuk ke dalam penjara? Pada pencurian yang mana dan bagaimana dia ditangkap? Apakah pencurian tersebut melibatkan pula Ilish Sidra dan Rauf Ilwan (semestinya iya) dan mengapa Ilish Sidra dan Rauf Ilwan tidak ditangkap? Proses apa yang dijalani Rauf Ilwan sehingga dia tahu-tahu menjelma dari seorang pencuri profesional yang membenci orang kaya menjadi seorang pengusaha dan hidup mewah? Bagian-bagian ini tak saya temukan dan membuat saya cukup bertanya-tanya.

Satu hal menarik yang baru saya temukan setelah saya membaca ulang The Thief and The Dogs, adalah bagaimana ternyata Mahfouz menggunakan peristiwa percobaan pembunuhan oleh Said Mahran sebagai sebuah metafor. Pembunuhan “gagal” yang dilakukan Said Mahran adalah sindiran dan kecaman Mahfouz terhadap peristiwa Revolusi Mesir pada tahun 1919. Dimana saat itu dia masih kecil, dan dari jendela rumahnya dia kerap melihat tentara Inggris menembaki para demonstran. Lelaki dan perempuan.

“I did not kill the servant of Rauf Ilwan. How could I kill a man I did not know and who didn’t know me? Rauf Ilwan’s servant was killed because, quite simply, he was the servant of Rauf Ilwan. Yesterday his spirit visited me and I jumped to hide in shame, but he pointed out to me that millions people are killed by mistake and without due cause.

The Thief and The Dogs bukan semata-mata kisah thriller yang dibangun dengan baik lewat ketegangan-ketegangan yang sangat intens, melainkan juga sebagai bentuk kritik Mahfouz terhadap peperangan. Lewat peristiwa yang dialami Said Mahran, dapat dilihat bahwa dendam kesumat seseorang (atas hasil peperangan atau yang lain) tak akan pernah membawanya kepada keberhasilan, bahkan jikalau dia memang berhasil menyalurkan hasrat dendam kesumatnya itu.

***

Kepolosan Seks Murakami

$
0
0



Kepolosan Seks Murakami


Tujuan dari catatan ini adalah untuk menyampaikan hal berikut: kalau kau mau belajar menulis adegan seks yang menarik, belajarlah dari Haruki Murakami. Mengapa? Baiklah, saya akan coba jelaskan. Pertama, saya harus beri tahu dulu siapa itu Haruki Murakami. Bagi beberapa orang yang membaca literatur Jepang, Murakami tentunya bukan nama yang asing. Saya sendiri baru mengenal Murakami dari bukunya yang pertama saya beli di Periplus, berjudul Norwegian Wood. Buku tersebut telah diangkat ke layar lebar. Namun, buku pertama Murakami yang saya baca sekaligus membuat saya jatuh cinta dan tertarik dengan cara menulis Murakami bukanlah Norwegian Wood, melainkan Dengarlah Nyanyian Angin (terjemahan Indonesia dari Kaze No Uta O Kike). Novel tipis tersebut adalah buku pertama yang saya beri skor sempurna di Goodreads, 5 dari 5 bintang.

Pada awalnya, seks bukanlah bagian yang menjadi perhatian saya ketika membaca Dengarlah Nyanyian Angin. Seperti pembaca Murakami yang lain, saya mengagumi kemampuannya “melantur dengan tertata” dalam plot yang nyaris tak pernah terbaca. Namun setelah membaca Norwegian Wood dan beberapa cerpen Murakami di kemudian hari dan membaca ulang Dengarlah Nyanyian Angin, barulah saya sadar bahwa seks atau erotisme adalah salah satu poin penting pada cerita-cerita Murakami.

Murakami menampilkan adegan-adegan seks dengan nuansa dan “intonasi” yang datar sehingga membuatnya menjadi lugu, polos, sekaligus menggemaskan. Tak hanya menggemaskan, Murakami juga terkadang menyebalkan. Kebiasaannya melantur tak terkecuali terhadap adegan-adegan seks yang dia tulis. Murakami senang membelokkan ekspektasi. Seperti di salah satu adegan di Norwegian Wood, saat Toru Watanabe berduaan dengan Naoko di pinggir bukit (saya tak ingat persis setting tepatnya) saya mengira mereka akan having sex, eh ternyata Toru Watanabe hanya dibantu masturbasi oleh Naoko.

Anehnya, meski adegan-adegan seks Murakami ditulis dengan begitu polos dan datar, saat membacanya saya tetap terasa terstimulan, bahkan lebih terangsang dibandingkan saat saya membaca buletin-buletin stensilan atau cerita-cerita dewasa di internet.

Tokoh-tokoh dalam fiksi Murakami yang terlibat adegan seks, meski sebetulnya mungkin adalah orang-orang yang berpengalaman dalam seks, mereka tetap muncul sebagai karakter yang tampak kagok, gugup. Tokoh laki-laki nyaris selalu bersikap seolah-olah mereka tak pernah mengenal seks, sementara tokoh perempuan menjadi sosok yang lebih berpengalama, agresif, dan “liar”. Naoko bermain imajinasi bersama Reiko menjadi sepasang lesbian. Midori meminta Toru Watanabe untuk masturbasi sambil membayangkan dirinya. Juga perempuan tukang kunci di cerpen Samsa In Love yang memiliki pengetahuan lebih banyak tentang organ genital ketimbang pihak laki-lakiyang lebih pasif, polos, dan menunggu dengan segala keluguannya, terlihat lebih submissive, manutan. Toru Watanabe di Norwegian Wood, beberapa kali hanya memberikan reaksi terhadap “pancingan-pancingan” Midori dan bukan sebagai pihak yang memulai. Tokoh “Aku” dalam Dengarlah Nyanyian Angin masih tampak malu-malu dan mudah tersipu saat berdekatan dengan gadis penjual piringan hitam, padahal sebelumnya dia telah tidur dengan tiga orang perempuan yang berbeda.Gregor Samsa pada cerpen Samsa In Love tak memahami mengapa dia bisa mengalami ereksi.

Dunia fiksi Murakami dibangun dari hal-hal yg kecil dan sederhana. Perihal sehari-hari yang dialami oleh setiap orang, namun kerap tak diperhatikan atau tak dianggap cukup istimewa untuk diperhatikan. Namun, dalam "kesepelean" hal-hal yang diangkat Murakami yang dibungkus dengan humor dan adegan yang komikal atau erotisme yang muncul dalam cerita-ceritanya, sebetulnya ada sesuatu yang teramat dalam. Semisal pandangan atau filosofi hidup. Seperti tampak pada cerpen Samsa In Love(The New Yorker, 28 Oktober 2013) berikut ini:

“It’s strange, isn’t it?” the woman said in a pensive voice. “Everyting is blowing up around us, but there are still those who care about a broken lock, and others are dutiful enough to try to fix it. But maybe that’s the way it should be. Maybe working on the little things as dutifully and honestly as we can is how we stay sane when the world is falling apart.”

Ketika kau membaca cerita-cerita Murakami, kau akan memandang seks dari perspektif yang berbeda. Perspektif milik Murakami. Cara Murakami mendeskripsikan adegan-adegan erotis dalam fiksinya membuat kau berpikir dan memahami bahwa ada kemungkinan dan peluang untuk menjelaskan sesuatu yang lebih dalam dan berarti lewat seks. Seks dalam fiksi Murakami bukanlah adegan seks yang terjadi dengan heboh, ah uh ah uh oh yeah begitu. Melainkan "seks yang lugu". Seks, hanyalah medium yang digunakan Murakami untuk menyampaikan sebuah gagasan atau filosofi yang lebih dalam.”Sehingga, pada fiksi Murakami terjadi hal sebagaimana demikian: Sex is not the answer. Sex is only a way to look for an answer. Seks tidak menjadi inti dan maksud dari cerita-cerita Murakami, dan bukan menjadi poin penting. Keluguan dalam seksnya itulah yang musti diperhatikan (dan tentunya dinikmati). Cara Murakami mendeskripsikan adegan seks atau erotisme lah yang membuatnya istimewa dan terkadang lucu dan menghibur. Mari lihat lagi penggalan cerpen Samsa In Love dimana tokoh utamanya, Gregor Samsa, mengalami ereksi saat melihat perempuan tukang kunci yang sedang memperbaiki grendel pintu kamarnya:

Samsa decided to take the bull by the horns. “Would it be possible to meet again?” he said.

The young woman craned her head at Samsa. “Are you saying you want to see me again?”

“Yes. I want to see you one more time.”

“With your thing sticking like that?”

Samsa looked down again at the bulge. “I don’t know how to explain it, but that has nothing to do with my feelings. It must be some kind of heart problem.”

“Kepolosan seks" Murakami yang seringnya dituturkan secara komikal seringkali membuat saya cekikikan. Meski demikian, adegan-adegan erotisnya tetap membuat saya gelisah dan berimajinasi dan tentunya tak ayal ikut membayangkan visual pergerakan setiap tokoh-tokoh yang terlibat. Dan yang membuat saya semakin menyukai Murakami adalah, setelah membuka “bungkus” erotisme yang ringan dan lucu dan menghibur itu, saya menemukan sesuatu yang lebih dalam dan membuat saya merenung lama bahkan setelah saya selesai membaca ceritanya.

***

Pedro Páramo, Juan Rulfo

$
0
0



Pedro Páramo, Juan Rulfo


Juan Preciado mendapat amanah oleh ibunya yang sekarat untuk menemui ayahnya di sebuah kota bernama Comala. Permintaan itu bukan sekadar permintaan, melainkan sebuah permintaan terakhir menjelang kematian. Maka sebagai anak yang berbakti, dia pergi ke Comala untuk menemui ayahnya. Nama ayahnya itu: Pedro Páramo.

Sesederhana itulah pembukaan novel tipis Pedro Páramo karangan Juan Rulfo. Juan Rulfo adalah seorang penulis asal Meksiko yang tak banyak menerbitkan buku, namun bukunya telah memberi pengaruh besar terhadap penulis-penulis hebat produksi Amerika Latin. Sebutlah beberapa: Carlos Fuentes, Mario Vargas Llosa, dan Gabriel García Márquez.



Telah disebutkan di atas bahwa misi tokoh utama dalam novel ini, Juan Preciado, adalah untuk memenuhi permintaan ibunya, yakni menemui Pedro Páramo, ayahnya. Di mana ayahnya berada? Di kampung halaman Dolores, mendiang ibu Juan Preciado. Kampung halaman itu bernama Comala. Kota yang teramat panas, seperti digambarkan oleh Abundio, seorang pengendara burro yang ditemui Juan Preciado dalam perjalanannya menuju Comala. Abundio berkata, dalam usahanya menggambarkan Comala kepada Juan Preciado yang sedang mengeluh kepanasan: “You might say (Juan Preciado bilang ke Abundio “It’s hot here”). But this is nothing. Try to take it easy. You’ll feel it even more when we get to Comala. That town sits on the coals of the earth, at the very mouth of hell. They say when people from there die and go to hell, they come back for a blanket.”

Penggambaran yang sangat efektif bukan? Terdengar hiperbolik memang perumpamaan yang dipakai oleh Juan Rulfo. Namun efektif. Dan kadang terkesan lucu. “They say when people from there die and go to hell, they come back for a blanket.” Dari kalimat tersebut dapat kita bayangkan bagaimana suhu udara di Comala.  Dari kalimat tersebut pula, dapat kita lihat bagaimana kemahiran Juan Rulfo membuat perumpamaan. Perumpamaan-perumpamaan semacam ini akan berhamburan sepanjang cerita. Nanti kau akan temukan mereka satu per satu.

Mari kita lanjutkan perjalanan Juan Preciado. Setelah bergerak dan bergerak bersama Abundio, mereka pun tiba di Comala. Namun, apa yang didapatkan Juan Preciado? Dia mulai curiga dan heran melihat suasana Comala yang sepi dan tampak tak berpenghuni. “I wonder what could have happened to the town? It looks so deserted, abandoned really. In fact, it looks like no one lives here at all.” Abundio menjawab keheranan Juan Preciado. Pada bagian ini, kejutan pertama muncul:

“It doesn’t just look like no one lives here. No one does live here.”
“And Pedro Páramo?”
“Pedro Páramo died years ago.”

Tak terhitung berapa banyak saya mengumpat selama membaca Pedro Páramo. Dan bagian ini membuat saya mengeluarkan umpatan yang pertama. Shit. Pedro Páramo sudah mati? Tujuan hidup karakter utama Pedro Páramo, Juan Rulfo, ternyata sudah mati? Setelah fakta ini muncul, saya mulai curiga sekaligus menyiapkan diri untuk kejutan-kejutan pada bagian-bagian berikutnya. Saya memperoleh perasaan bahwa Juan Rulfo akan mengagetkan saya lagi di halaman-halaman setelah ini.

Oke. Mari kita simpan dulu pertanyaan-pertanyaan mendasar seperti: Apa yang terjadi pada Pedro Páramo? Mengapa dia mati? Mengapa Dolores, ibu Juan Preciado, menyuruhnya untuk menemui seseorang yang sudah mati?

Karena sudah terlanjur datang ke Comala dan penasaran dengan suasana Comala yang sangat sepi, Juan Preciado pun memutuskan untuk tinggal sementara di Comala. Baiklah, Pedro Páramo sudah mati, tapi sepertinya aku ingin berjalan-jalan di kota ini dulu, mencari tahu mengapa ibu menyuruhku ke sini, pikir Juan Preciado. Dan Juan Preciado pun teringat akan perkataan ibunya tentang Comala sebelum dia meninggal: “You will hear me better there. I will be closer to you. You will hear a voice of my memories stronger than the voice of my death – that is, if death ever had a voice.” (shit, lagi!)

Mencari tempat untuk berteduh, Juan Preciado ingat pesan Abundio: temui seseorang bernama Eduviges Dyada. Saat akhirnya bertemu dengan Eduviges Dyada yang adalah seorang perempuan, Juan Preciado terheran-heran, ternyata Eduviges sudah mengetahui bahwa Juan Preciado adalah anak laki-laki Doloritas (Dolores). Siapa Eduviges, kok bisa kenal sama ibuku? Juan Preciado membatin, sembari kaget. Terlebih ibunya tak pernah sama sekali bercerita tentang Eduviges.

Sebelum misteri tentang Pedro Páramo yang ternyata sudah mati itu terjawab, Juan Preciado (sekaligus saya sebagai pembaca) telah dihadapkan pada misteri berikutnya: Siapa Eduviges? Ada hubungan apa dia dengan Dolores, ibu Juan Preciado? Apakah ada kaitannya pula dengan Pedro Páramo? Lagi-lagi, mari kita tinggalkan terlebih dahulu pertanyaan-pertanyaan itu atau simpan dalam kepala sembari menyimak kejutan yang muncul dari pernyataan yang disampaikan Eduviges tentang Abundio, pengendara burro yang mengantar Juan Preciado ke Comala tadi itu: “The man I’m talking about heard fine,” kata Juan Preciado, saat mendengar Eduviges mendeskripsikan Abundio sebagai laki-laki yang tunarungu. Lalu keluarlah kalimat yang mengejutkan: “Then it can’t have been him. Besides, Abundio died. I’m sure he’s dead. So you see? It couldn’t have been him.”

Apa? Setelah Pedro Páramo ternyata telah mati, kini Abundio, orang yang bercakap-cakap dengan Juan Preciado dalam perjalanan mereka ke Comala tadi itu pun ternyata sudah mati? Lalu siapa orang yang Juan Preciado ajak bicara tadi? Hantu Abundio?

Baiklah. Baiklah. Bukankah tadi saya sudah mengantisipasi hal-hal seperti ini? Tapi tetap saja saya tidak menyangka ini akan muncul. Abundio sudah mati? Oke. Oke. Tapi Eduviges yang sedang berbincang-bincang dengan Juan Preciado ini masih hidup kan? Atau, ternyata dia juga hantu?

Yak. Betul. Ternyata Eduviges Dyada juga adalah hantu. Kau akan menemukan fakta demikian pada halaman-halaman berikutnya dari Pedro Páramo. Tetap, saya tidak menduga bahwa Eduviges Dyada adalah hantu, hanya roh. Seperti halnya Abundio. Dan setelah menemukan fakta bahwa dua orang yang berbicara dengan Juan Preciado, Abundio dan Eduviges, adalah roh gentayangan, saya mulai curiga terhadap seisi kota Comala. Dan benarlah kecurigaan saya. Damiana Cisneros, perempuan yang Juan Preciado temui setelah Eduviges, ternyata juga hanyalah roh. Dia tidak nyata, setidaknya pada kehidupan Juan Preciado. Abundio, Eduviges, Damiana, dan semua warga Comala yang sempat Juan Preciado lihat baik dalam waktu yang cukup lama maupun hanya sekelebatan, semuanya adalah roh gentayangan.

Comala adalah kota hantu.

Cerita tidak berhenti sampai di situ. Kita belum menemukan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan sebelumnya. Siapa Pedro Páramo sesungguhnya? Apa yang terjadi dengannya? Apa pula yang terjadi dengan Comala, kota yang penuh roh gentayangan ini? Mengapa roh warga Comala masih gentayangan? Bagaimana keadaan kota Comala pada dahulu kala?

Di sini lah misteri mulai membuka dirinya satu per satu.

Dunia dalam cerita Pedro Páramo terbagi menjadi dua: dunia sekarang, dimana Juan Preciado hidup dan menjalankan misinya mencari tahu tentang ayahnya, Pedro Páramo yang telah mati; dan dunia masa lalu dimana Pedro Páramo masih hidup. Lewat teknik maju dan mundur, menggunakan sudut pandang ganda (orang ketiga untuk bagian Juan Preciado dan orang pertama untuk bagian Pedro Páramo), Juan Rulfo membuka misteri masa lalu kota Comala dan Pedro Páramo sendiri.

Pada alur waktu Juan Preciado, ingatan-ingatan masa lalu kota Comala muncul dalam wujud roh, suara-suara, dan mimpi-mimpi. Lewat suara-suara samar yang menempel di dinding-dinding rumah kosong dan bisikan-bisikan yang mengambang, merambat di kesunyian udara kota Comala, Juan Preciado sedikit demi sedikit mengetahui tentang sosok Pedro Páramo dan apa sebenarnya yang terjadi dengan kota berhantu bernama Comala ini.

Misteri demi misteri yang terungkap kemudian membuat kita (saya) sadar, bahwa adegan pembuka Pedro Páramo yang tampak sederhana tadi, ternyata hanyalah gerbang untuk memasuki sebuah cerita yang sama sekali tidak sederhana.

Sekilas, alur Pedro Páramo terasa membuat goyah sebab perpindahan dari masa kini ke masa lalu ke masa kini terjadi begitu saja. Kau harus membacanya dengan cermat dan mengikuti adegan demi adegannya secara perlahan dan hati-hati. Kalau perlu mencatatnya. Itulah yang saya lakukan. Bahkan saya mencatat nama-nama tokoh yang muncul di Pedro Páramo, saking banyaknya. Setidaknya ada 20 orang yang menjadi tokoh dalam Pedro Páramo dan saya harus memperhatikan kemunculan 20 orang itu dan menyimak apa peran mereka dalam cerita agar saya tidak kehilangan jejak.

Membaca Pedro Páramo, kau akan dibanjiri dengan dialog-dialog bermutu dan sangat filosofis. Seperti kalimat yang diucapkan oleh Dorotea kepada Juan Preciado: “After so many years of never lifting up my head, I forgot about the sky. And even if I had looked up, what good would it have done? The sky is so high, and my eyes so clouded that I was happy just knowing where the ground was.” Atau ucapan Damiana Cisneros: “Every sigh is like a drop of your life being swallowed up”. Dan masih banyak lagi.

Kekaguman saya bertambah saat menyimak bagaimana cara Juan Rulfo mendeskripsikan sebuah suasana atau penampakan seseorang. Ketika membaca deskripsi-deskripsi dalam Pedro Páramo, saya dihadapkan pada teknik deskripsi dan pemilihan kata kelas atas.

Now here I was in this hushed town. I could hear my footsteps on the cobbled paving stones. Hollow footsteps, echoing against walls stained red by the setting sun.

Contoh lain, saat Juan Rulfo mendeskripsikan seorang perempuan yang dilihat oleh Juan Preciado:

I took note that her voice had human overtones, that her mouth was filled with teeth and a tongue that worked as she spoke, and that her eyes were the eyes of people who inhabit the earth.

Saya lupa siapa, pernah bilang begini: tak ada (dan tak perlu, atau mungkin takkan pernah bisa) seorang penulis membuat sebuah buku yang semua halamannya adalah masterpiece. Dari 300 halaman novel yang kita baca, mungkin hanya empat atau lima halaman saja yang memorable, sisanya hanya pengantar dan pelengkap plot. Namun, saya katakan kepadamu dengan tegas, tidak demikian adanya Pedro Páramo. Semua, saya ulang, semua halaman Pedro Páramo adalah masterpiece. Sangat terlihat bahwa Juan Rulfo betul-betul memikirkan isi setiap halaman, paragraf, kalimat, bahkan kata per kata yang akan dia tulis dalam bukunya. Juan Rulfo begitu efektif dalam menggunakan kata. Tidak ada kata yang sia-sia. Satu pun tidak ada. Jika saya diminta untuk menuliskan bagian terbaik atau kalimat terbaik dari Pedro Páramo, maka saya akan bilang begini: “Beri saya waktu. Sebab saya harus menulis ulang seluruh isinya.”

***

What I Talk About When I Talk About Buying Books

$
0
0





What I Talk About When I Talk About Buying Books


Sebelumnya, saya sering bertanya kepada diri sendiri atau kepada teman saya, “Mengapa sih perempuan suka membeli pakaian atau sepatu atau tas padahal mereka sudah punya banyak?” Setiap melihat benda-benda itu, mereka seakan-akan lupa baru saja membeli sepatu atau tas dua hari yang lalu. “Abisnya sayaaang, kan lucu!” Nah, kira-kira begitu alasannya. “Abisnya sayang” dan “…kan lucu!”

Waktu mendengar alasan tersebut saya semakin mengernyitkan dahi. Sesepele itukah? Mengeluarkan uang untuk hal yang sebetulnya belum begitu perlu hanya untuk alasan “kan lucu!”? Tapi, setelah saya melihat ke diri saya sendiri, saya melontarkan pertanyaan yang sama: Mengapa saya membeli buku, padahal saya sudah punya banyak? Lebih parah lagi, mengapa saya terus membeli buku padahal banyak dari buku-buku yang sudah saya beli itu belum saya baca?


Saya katakan kepadamu, bahwa saya adalah orang yang impulsif untuk dua hal: membeli buku dan menonton film di bioskop. Waktu masih kuliah dan menggantungkan hidup pada suntikan dana dari orang tua, saya tak bisa begitu leluasa untuk menyalurkan sifat impulsif saya itu. Namun sekarang, alhamdulillah ketika sudah bisa punya uang sendiri, penyakit impulsif saya untuk dua hal itu seakan tak bisa lagi dibendung. Setiap ada film baru di bioskop saya hampir pasti langsung menonton (tidak semua film sih, hanya yang terlihat menarik saja). Setiap melihat buku yang menarik, saya langsung membungkusnya tanpa pikir panjang. Semacam balas dendam atas kesulitan saya membeli buku di masa lalu. Pernah saya ke toko buku dan mengambil 25 buku sekaligus tanpa saya tahu kapan saya akan membaca buku-buku tersebut. Terakhir saya beli 39 buku dari sebuah toko buku impor bekas dan menghabiskan tak kurang dari 2 juta rupiah untuk itu.

Tapi pada catatan ini saya tidak akan membahas sifat impulsif saya tersebut dan menjawab pertanyaan atas sifat impulsif itu (kita akan bahas ini pada kesempatan yang lain). Saya ingin bercerita tentang alasan-alasan saya membeli buku. Lebih tepatnya, hal-hal apa saja yang membuat saya memutuskan untuk membeli sebuah buku. Beberapa orang membeli buku karena sudah mengenal kualitas pengarangnya, beberapa yang lain karena mutu penerbitnya. Ada juga yang membeli buku karena rekomendasi teman, dan ada pula yang membeli buku karena sampulnya menarik.

Alasan-alasan saya pun tak jauh dari sana. Untuk lebih rinci, silakan dilihat di bawah ini. “Karena-karena” apa saja saya membeli sebuah buku:

1.     Karena Rekomendasi

Saya menduga bahwa kau sering mendengar saran-saran seperti ini: “Eh, coba deh baca buku ini, bagus lho!” Dengan atau tanpa penjelasan lebih lengkap tentang mengapa buku tersebut dianggap bagus menurut si pemberi rekomendasi. Saya pun sering mendapat saran seperti itu. Beberapa memberikan penjelasan yang cukup bisa diterima. Sisanya hanya bilang: “Udah, beli aja. Bagus kok!” Untuk alasan karena rekomendasi ini, biasanya saya hanya percaya pada rekomendasi orang-orang yang saya percayai “mutu bacaannya”. Di antara mereka adalah editor saya sendiri (atau editor lain, saya percaya mereka karena mereka punya pengalaman membaca buku yang panjang, maksudnya bacaannya banyak) dan pengarang kesukaan saya. Untuk rekomendasi dari selain dua orang itu, saya menuruti feeling saja. Kalau feeling mengatakan tak ada salahnya mencoba rekomendasi mereka, saya akan beli. Kalau feeling saya mengatakan tidak, ya tidak (maklum, saya Cancer).


2.     Karena Sering Disebut

Ini agak terkait dengan alasan yang pertama. Saya sering berkunjung ke blog para pengarang kesukaan saya (terima kasih teknologi dan terima kasih kepada pengarang-pengarang favorit saya yang memiliki blog dan aktif di sana) untuk “mencuri” sumber pengetahuan mereka, alias mencari tahu apa saja buku-buku yang mereka baca. Beberapa pengarang dengan senang hati menyebutnya, sengaja atau tidak. Ketika mereka membahas sebuah topik di blognya (biasanya pada tulisan-tulisan berbentuk jurnal) para pengarang tersebut menyebutkan beberapa judul buku. Saya mencatat judul-judul buku itu untuk kemudian saya cari di toko-toko buku yang bisa saya raih. Kadang, ketika ada kesempatan bertemu langsung dengan mereka, saya bertanya langsung, apa saja buku-buku favorit mereka. Dan tentunya, saya catat. Dari bermain-main ke blog pengarang kesukaan atau percakapan-percakapan offline dan diskusi-diskusi tentang buku, saya merekam beberapa buku yang sering disebut. Biasanya buku-buku yang sering disebut itu adalah buku-buku pemenang penghargaan (tentunya harapan saya bahwa buku tersebut memang bagus akan jadi semakin besar, karena mereka menang penghargaan). Beberapa tidak menang penghargaan, namun banyak didiskusikan. Buku-buku itulah yang saya masukkan ke dalam catatan saya, dan ketika saya menemukan mereka di sebuah toko buku atau bazar, biasanya akan langsung saya beli tanpa pikir-pikir lagi.


3.     Karena Menyukai Si Pengarang

Saya menyukai J. K. Rowling setelah membaca serial fantasi Harry Potter. Setelah itu, saya membeli semua buku yang ditulis oleh J. K. Rowling, tak peduli apakah bukunya itu bagus atau tidak. Saya sudah terlanjur menyukainya sejak pandangan pertama.


4.     Karena Diterbitkan Oleh Penerbit yang Bagus

Untuk beberapa penerbit yang (setidaknya di mata saya) memiliki reputasi bagus karena mereka kerap menerbitkan buku-buku bagus, saya akan memberikan kepercayaan saya kepada buku-buku berikutnya yang mereka keluarkan. Meskipun saya tidak mengenal nama pengarangnya, sampulnya jelek, judulnya tidak menarik, atau blurb atau sinopsisnya tidak membuat penasaran, saya tetap akan memberikan kesempatan kepadanya. Karena penerbit tersebut jarang mengecewakan saya. Sebaliknya, untuk penerbit yang belum saya kenal buku-buku terbitannya atau reputasinya tidak begitu bagus di mata orang-orang lain yang sering membaca, saya akan cenderung ragu untuk membeli buku-buku mereka. Siapa yang mau membeli kucing dalam karung, bukan?


5.     Karena Sampul

Don’t judge the book by its cover, they said. But then I say, I do judge the book by its cover, especially when it’s still sealed (of course, right? How can I see through someone’s heart when I can’t use knife to open their chest?). Alright, just kidding. I mean, yes I do judge the book by its cover. I’m a visual person. I know that sometimes (or most of the times) appearances can be deceiving, but I don’t really care. I’m a self-proclaimed book hoarder. I don’t just read books, I collect them. And when I take a look at my bookshelves, I want to see good books with nice covers standing there. I like books with nice cover, and that’s that.


6.     Karena Murah

Sebagai penulis, saya ingin buku saya dihargai mahal dan dibeli orang dengan harga yang mahal itu, agar saya mendapat banyak uang dari buku saya (hei, saya hidup dari menulis!). Namun sebagai pembaca, saya ingin mendapatkan buku-buku dengan harga murah. Semakin murah semakin baik. Kalau perlu gratis. Beberapa hari lalu di Periplus saya melihat Lowland, buku terbaru Jhumpa Lahiri. Saya hendak membelinya sebelum saya melihat label harga di punggung buku tersebut. “Oke, sepertinya nanti saja deh.” Harganya mahal (yah, kecuali buku-buku bekas, buku impor mana yang tidak mahal ya?). Meskipun pada akhirnya, seminggu kemudian ketika kembali berada di Periplus, saya membeli juga buku itu (karena alasan nomor 2). Tetapi artinya saya telah menunda hasrat membeli buku ketika melihat buku itu dibandrol dengan harga yang mahal. Meskipun buku itu buku bagus (menurut orang-orang yang sudah membaca), pengarangnya adalah peraih penghargaan internasional, bukunya telah beberapa kali diangkat ke film, telah diterjemahkan ke banyak bahasa, termasuk buku langka, namun kalau harganya selangit tentu saja saya akan pikir beberapa kali sebelum membelinya. Bahkan mungkin takkan pernah membelinya, sampai saya mendapatkan kesempatan untuk memperolehnya dengan dengan harga yang lebih murah.

Sebetulnya ada beberapa lagi alasan mengapa saya membeli sebuah buku. Tetapi juga kadang saya tidak memiliki alasan sama sekali saat membeli sebuah buku tertentu. Saya membelinya saja, mencabutnya dari rak dan membawanya ke kasir. Saya tidak kenal pengarangnya dan tak pernah dengar namanya, judul bukunya tak pernah disebut, tidak pernah ada yang merekomendasikannya kepada saya, sampulnya jelek minta ampun, atau dikeluarkan oleh penerbit dari dunia antah-berantah. Tetapi saya membelinya. Saya memperoleh feeling untuk membelinya.Untuk aksi membeli buku yang seperti ini, saya hanya bisa memberimu sebuah excuse: “Yah, namanya juga Cancer.”

***

Botchan, Natsume Sōseki

$
0
0




Apa yang akan kau lakukan, saat kau melihat seorang guru kerap membohongi dan menipu rekan kerjanya sendiri, memanfaatkan mereka demi kepentingan pribadi, padahal mereka sering mengajarkan kepada murid-muridnya dan menyuruh mereka untuk selalu bertindak jujur? Jika demikian yang terjadi, apakah lagi gunanya di sekolah ada pendidikan tentang moral dan etika?



Itulah kiranya permasalahan yang diangkat dalam Botchan, sebuah novel tipis bagus karangan Natsume Sōseki (1867-1916). Botchan sendiri adalah nama tokoh utamanya. Botchan, dalam bahasa Indonesia kurang-lebih artinya semacam “tuan muda”. Menurut cerita, sebutan ini disematkan oleh seorang pembantu rumah tangga yang sangat setia mengasuh Botchan, bernama Kiyo.Botchan adalah seorang bocah yang badungnya minta ampun. Ibu dan ayahnya meninggal ketika dia masih kecil. Dengan uang yang masih tersisa, dia mampu meneruskan sekolah dan kuliah, lalu pada akhirnya menjadi seorang guru di sebuah kota kecil yang berada cukup jauh dari Tokyo, tempat tinggalnya.

Nah, bagaimana kau membayangkan seorang bocah yang dahulu begitu badung, menjadi seorang guru? Tak ayal, ternyata Botchan menjadi bulan-bulanan muridnya. Hampir di setiap kesempatan, murid-murid menjadikan Botchan sebuah lelucon. Puncaknya, mereka menaruh sekawanan belalang di tempat tidur Botchan saat dia jaga malam di asrama sekolah. Botchan berang.

Namun, persoalan sebenarnya bukan pada murid-murid nakal itu, melainkan pada rekan-rekan Botchan di sekolah, para guru yang lain. Digambarkan sebagai sosok yang sering mengamati dan menilai, Botchan memberi mereka julukan berdasarkan hal yang paling mencolok di diri mereka. Kepala sekolah, alias “The Badger”; wakil kepala sekolah, Akashatsu, alias “Red-shirt”; Nodaiko, alias “The Clown”; Uranari, alias “The Green Squash”; dan Yamaarashi, alias “Mr. Porcupine”. Menghabiskan hari demi hari mengajar di sekolah di sebuah kota yang masih tradisional, Matsuyama, Botchan perlahan mengetahui bahwa ada seseorang yang secara sengaja berbuat tidak menyenangkan terhadapnya. Pada awalnya dia memang marah kepada murid-murid badung yang kerap mengerjainya, namun belakangan dia tahu bahwa ada dalang di balik semua masalah yang menimpa dirinya. Dalang itu adalah rekan kerjanya sendiri, sang wakil kepsek, Red-shirt.

Red-shirt, bersikap sebagai seorang guru yang memiliki sopan santun dan tutur kata manis, ternyata telah menipu Botchan mentah-mentah. Dia adalah seorang yang berwajah dua. Botchan begitu polos dan terkadang naif. Lebih tepatnya: Botchan adalah sosok yang lurus dan menaruh rasa hormat pada siapapun yang berbuat baik kepadanya. Kehormatan dan sikap jujur adalah segala hal yang menjadi panduan hidupnya. Dengan demikian, dia menuntut orang lain bersikap sama, jujur dan lugas. Botchan pikir, seharusnya sekolah adalah tempat yang mengajarkan hal-hal tersebut. Ketegasan untuk menindak yang salah dan memberi hukuman yang setimpal pada setiap perbuatan tidak menyenangkan. Namun, Red-shirt berkata lain: “Contrary to your expectations, school is, so to speak, a storehouse of complicated circumstances, where one’s straightforwardness will hardly do.” Sambil seolah menasihati Botchan, Red-shirt melanjutkan petuahnya: “To be doing right is, of course, good as you say, but that alone will never save you from the snares people set at you, if you fail to know how bad they are. You must know there are persons who look very cheerful and open hearted, who will so kindly see to your board and longing, and yet you will have to be watchful.”

Dalam perjalanan, Botchan semakin yakin akan wajah asli para rekan gurunya di sekolah. Red-shirt yang penuh kata-kata manis dan sopan ternyata seorang penipu dan gemar menjebaknya dalam kondisi yang menyusahkan. Porcupine, yang semula dianggap Botchan berada pada kubu berlawanan, malah menjadi satu-satunya partner in crime yang bisa dia andalkan. Botchan begitu polos, untuk tak menyebutnya naif, sehingga dia begitu terkejut dan heran melihat orang-orang di sekolah yang ternyata berbeda dari kesan yang dia tangkap pertama kali. “These things made me think nothing on earth was reliable,” begitu dia mengeluhkan hal tersebut.

Semula saya pikir kenakalan Botchan yang digambarkan pada bab pertama novel ini akan menjadi satu hal penting saat dia tumbuh besar, ternyata tidak. Setelah berusia 24 tahun dan menjadi guru, ternyata Botchan adalah sosok yang jujur, lurus, bahkan memiliki cara berpikir yang sangat dewasa, dalam, sesekali filosofis, dan berprinsip kuat. Begini Botchan berkata saat dia kesal setelah dikerjai oleh murid-muridnya: “No crime could be canceled before a man apologized, confessing what he had done was wrong. His conscience would tell him he had done wrong. A right-minded man would go to bed and repent there from the bottom of his heart and come to ask forgiveness.”

Berkali-kali saya tertawa kecil membaca narasi yang sarkas dan terkadang kocak. Seperti misalnya saat Botchan menanggapi sangat serius tindakan tidak menyenangkan yang dilakukan oleh murid-muridnya: “My ancestors were bodyguards to the Shōgun; they all belonged to a very ancient stock of the Minamoto, a direct line of the Emperor Seiwa, that is to say, I am a descendent of the proud knight, Tada Mitsunaka. I am of noble birth-incomparably higher than those poor lowly peasant lads.”

Cerita Botchan memang bergerak dengan Botchan sebagai porosnya. Setiap halaman membuka selapis demi selapis kepribadian Botchan yang (alih-alih berasal dari anak yang badung dan tak layak dijadikan contoh) patut dikagumi. Botchan menganggap serius perbuatan baik, meski hanya kecil, seperti saat Porcupine membelikannya segelas air es. Botchan menganggap hal tersebut adalah hutang, dan dia tak ingin membayar hutangnya. Bukan karena tak mampu, melainkan menurutnya membayar hutang akan membatalkan rasa hormat yang dia sematkan pada orang tersebut dan membuat urusan traktir itu semata-mata perihal uang, sementara bagi dia, urusan seperti itu bukanlah semata-mata perihal uang, melainkan rasa hormat dan menghargai. “If an independent man bows down his head, it would be a more precious gift than one million yen.” Sikap Botchan yang mengingat dan menghargai kebaikan orang lain kepadanya (Kiyo dan Mr. Porcupine) meski hanya kecil membuat saya teringat pada sebuah ayat di Al-Qur’an. Tepatnya Al-Zalzalah ayat 7 dan 8. Bagaimana bunyi ayat tersebut, silakan lihat di Al-Qur’an atau gunakan mesin pencari google.

Seperti kebanyakan karya sastra Jepang (kecuali Murakami), Botchan memiliki alur yang cukup lambat. Untungnya, tidak terlalu lambat. Saya berani taruhan, kau akan segera tertidur saat menginjak halaman 50 dari novel Snow Country – Yasunari Kawabata. Tapi tidak dengan Botchan. Narasi yang sarkas dan lucu membuat saya terhibur dan betah membaca halaman demi halaman Botchan hingga selesai. Satu hal yang saya temukan cukup aneh adalah, tidak terdapat deskripsi yang indah-indah nan syahdu (biasanya suasana alam) khas Jepang di Botchan. Membuat Botchan menjadi terasa, di satu sisi, “tidak terlalu Jepang”. Meskipun di bagian yang lain tetap terasa adat budaya Jepang muncul pada adegan-adegan Botchan. Hanya ada sedikit deskripsi “khas Jepang” itu, seperti pada contoh berikut:

I continued to read patiently, when a wind of early fall sprang up; shook the broad leaves of banana plants in the garden.

Mungkin karena ditulis pada tahun 1906, bahasa Natsume Sōseki dalam Botchan menggunakan sejenis bahasa yang “jadul”. Struktur kalimatnya seperti jika kau membaca naskah-naskah drama Shakespeare. Saya tak bisa membayangkan bagaimana naskah Botchan dalam bahasa aslinya, Jepang. Membaca versi bahasa Inggris saja (terjemahan Umeji Sasaki) saya dapat melihat betapa “tua”nya bahasa yang digunakan Natsume Sōseki. Meski demikian, saya bisa katakan bahwa cerita Botchan tetap bisa dimengerti, dengan memahami konteks setiap adegan dan tidak terlalu memusingkan pengertian kata per kata.

Berlawanan dengan penggambaran dirinya pada bab pertama, Botchan adalah sosok yang memiliki prinsip dan kepribadian kuat yang layak ditiru. Dia jujur, lugas, tanpa topeng, dan mengucapkan apa yang dia pikirkan, serta melakukan apa yang dia ucapkan. Meski Botchan, di dalam batinnya, sering melakukan penilaian terhadap orang lain dan dengan demikian dia tak bisa menerapkan petuah Pram “Adil sejak dalam pikiran”, dia tetaplah karakter yang menjadi panutan. Jujur, lugas, tanpa topeng.

Pertanyaannya kemudian, bisakah di dunia ini kita hidup seperti Botchan: jujur, lugas, dan tanpa topeng? Seperti Red-shirt dan sikap antagonis keseluruhan sistem yang dilawan oleh Botchan sejak awal hingga akhir cerita, dengan tegas saya akan menjawab: saya meragukannya.

***

Demian, Hermann Hesse

$
0
0




Emil Sinclair merasa terkucil dari keluarganya sendiri. Dia merasa berbeda dari kakak perempuannya, ibunya, dan ayahnya yang menjadi bagian dari dunia penuh cahaya, dunia yang terbuat dari kebaikan, keteraturan, moral yang benar, religius, dan segala hal semacamnya. Sinclair, entah mengapa, merasa dirinya bukan bagian dari dunia tersebut. Dia merasa dia bagian dari dunia yang lain, kutub yang berbeda, berlawanan dari kehidupan yang dia jalani. Dunia yang dia maksud itu adalah dunia yang terdiri dari skandal, hal-hal misterius dan gaib, peristiwa-peristiwa jahat dan kejam, serta manusia-manusia pemabuk. Di dunia seperti itulah Sinclair merasa dirinya seharusnya berada.

Sinclair kecil berusia sepuluh tahun, adalah anak lelaki yang lemah dan berhasrat ingin diterima oleh pergaulan. Maka dia mengarang cerita untuk menunjukkan ke teman-temannya bahwa dia adalah seseorang yang nakal, gagah, dan berani. Sayangnya, cerita tentang mencuri buah apel milik tetangganya yang dia kisahkan dengan bangga kepada teman-temannya ternyata dimanfaatkan dengan cara lain oleh Franz Kromer, “bos geng” yang kemudian menjadi momok bagi Sinclair dan membuat kehidupannya serasa di dalam penjara.



Agar Kromer tidak mengadukan perbuatannya kepada si korban pencurian, Sinclair terpaksa memberikan upeti kepada Kromer. Meski Kromer tidak terang-terangan memerasnya, dia telah memberikan tekanan yang besar bagi jiwa Sinclair pada saat itu. Dia takut Kromer tetap mengadukan perbuatannya kepada si korban, atau lebih parah lagi, kepada polisi. Mungkin juga Kromer akan mengadu kepada ibu dan ayahnya. Sinclair merasa dirinya sedang menghabiskan hari demi harinya dalam sebuah neraka kecil. Dia tak bisa hidup dengan tenang.

Hingga akhirnya, setelah teror yang menimpa kehidupan Sinclair berlangsung selama berhari-hari, penyelamat itu pun datang. “My salvation came from a totally unexpected source, which, at the same time, brought a new element into my life that has affected it to this very day.” Seorang murid baru muncul di sekolah Sinclair, dan dengan segera menarik tidak hanya perhatiannya, tapi juga perhatian murid-murid lain dan guru-guru di sekolah. Murid baru itu, meski tampak seumuran Sinclair, memiliki perawakan yang lebih dewasa dan aura kejantanan yang lebih matang. Murid baru itu adalah Max Demian.

Semula, saya kira Demian adalah nama tokoh utama dalam Demian. Ternyata, dia adalah tokoh pembantu yang membimbing dan memberikan petunjuk-petunjuk kepada Emil Sinclair, sang tokoh utama, dalam menemukan jati diri dan tujuan hidupnya. Ya, itulah isu yang diangkat Demian. Buku karangan Hermann Hesse (1877-1962) ini bercerita tentang pencarian jati diri, pemenuhan diri, dan penyadaran diri. Hesse adalah seorang pengarang berkebangsaan Jerman yang meraih Nobel Kesusastraan tahun 1946. Bercita-cita menjadi seorang penyair setelah membaca sajak Friedrich Hölderlin dan berakhir menjadi novelis (walaupun dia juga menerbitkan beberapa buku puisi dan kumpulan cerita).

Sejak halaman pertama, saya tahu bahwa Demian adalah buku yang berat. Berat dalam artian gagasan yang ia usung. Self-fulfillment, self-awareness, dan transisi antara ketergantungan dan pemberontakan adalah poin-poin utama yang diurai oleh Hesse lewat narasi yang sangat padat dengan pemikiran-pemikiran dan filosofi tersebar dalam 145 halaman secara apik.

Kau mungkin bisa meniru teknik menulis Murakami dengan latihan secara rutin dan meneliti dengan cermat elemen-elemen dalam tulisan-tulisannya, tapi seperti halnya Alice Munro, saya jamin kau takkan bisa meniru Hesse. Bobot dalam tulisan Hesse dan gaya bahasanya yang terbilang berat bukanlah bobot yang dirancang dan diciptakan hanya dengan teknik mumpuni, melainkan bobot yang memang muncul dengan sendirinya dari pemikiran-pemikiran serta sikap politik dan spiritual Hesse. Ibarat seorang jago bela diri, pemilik sabuk merah atau cokelat atau hitam mungkin masih berkutat dengan jurus-jurus. Namun seorang master tak lagi berpikir perkara teknik. Teknik telah melebur dan hilang, lenyap tak terlihat. Yang muncul adalah tenaga dan gagasan. Memukul tanpa menggunakan tangan. Menendang tanpa melayangkan kaki. Melempar orang hanya dengan aura dan tatapan. Itulah yang dilakukan Hesse lewat novel kelimanya ini, yang diterjemahkan dari versi aslinya berjudul Demian: Die Geschichte von Emil Sinclair Jugend.

Kalau kau tidak percaya dengan pernyataan saya di atas, simaklah salah satu kutipan ini dan katakan kepada saya bagaimana cara kau menirukan kalimat serupa:

For the first time in my life I tasted death, and death tasted bitter, for death is birth, is fear and dread of some terrible renewal.

Atau:

I stopped irresolute at the far end of the avenue: staring into the dark foliage I greedily breathed the humid fragrance of decay and dying to which something within me responded with greeting.

Sekarang mari kembali ke kisah Emil Sinclair, tokoh utama dalam Demian.

Sinclair merasa dirinya berbeda dan tak cocok berada dalam “world of light” dimana keluarganya tinggal. Perasaan ini semakin diyakininya setelah dia terlibat percakapan seru dengan teman barunya, Demian. Dalam perjalanan pulang dari sekolah, mereka berbincang-bincang tentang kisah Cain & Abel (Islam mengenalnya dengan Kabil & Habil). Memiliki pemikiran yang berbeda terhadap kisah tersebut, Demian menawarkan sudut pandang dan konsep yang baru kepada Sinclair tentang “tanda” yang dimiliki Cain. Belakangan, Sinclair merasa dirinya serupa seperti Cain. Dia adalah orang terpilih, diberi “tanda”, untuk menjadi berbeda dan membedakan dirinya dari masyarakat. Hal ini membuat Sinclair semakin yakin untuk melepaskan diri dan mencari, bergelut dengan “dunia lain” dimana dia semestinya berada.

“Dunia lain” inilah (dalam pandangan Sinclair, dunia yang dia tempati adalah dunia, dan “dunia normal” adalah dunia lain itu, “world of light” seperti milik keluarganya) yang dikejar oleh Sinclair. Dalam pencariannya itu, pada titik pertama dia diberi petunjuk demi petunjuk oleh Demian. Sayangnya, setelah dia diselamatkan dari Kromer oleh Demian (entah dengan cara bagaimana, sepertinya negosiasi atau semacam itu, tidak disebutkan jelas) hubungan Sinclair dengan Demian merenggang. Semata karena Sinclair merasa tak memiliki signifikansi lagi atas hubungannya dengan Demian dan dia telah kembali ke pelukan ibundanya setelah berterus terang tentang masalahnya dengan Kromer. Tetapi sebetulnya bukan hanya karena hal tersebut, melainkan Sinclair sedikit merasa takut terhadap aura asing dan gravitasi yang begitu kuat yang muncul dari diri Demian. Dalam pada itu, meski Sinclair merasa ingin menjauh dan tak berhubungan lagi dengan Demian, ada bagian dari dirinya yang ingin bertemu lagi dengan Demian. Pertanyaan-pertanyaan yang berdengung di kepalanya tentang makna kisah Cain & Abel versi Demian, perihal keyakinan, dan “dunia lain”, menumpuk dan menariknya untuk menemui Demian kembali.

Ibarat selembar kertas, Sinclair adalah sosok manusia serupa halaman yang kosong. Namun, halaman kosong tersebut hanya menghendaki diisi oleh hal-hal yang berasal dari “dunia lain”, dunia asing yang Sinclair anggap adalah dunia normalnya. Demian adalah orang pertama yang membuka gerbang menuju dunia tersebut. Terlebih setelah Demian menulis sepucuk memo untuk Sinclair, sebagai responnya terhadap lukisan Sinclair yang menggambarkan seekor burung berusaha untuk menembus bola dunia yang gelap.

The bird fights its way out of the egg. The egg is the world. Who would be born must first destroy a world. The bird flies to God. That God’s name is Abraxas.

Burung itu, di kemudian hari disadari Sinclair, adalah dirinya sendiri. Dia berusaha untuk keluar dari cangkang, world of light yang penuh moralitas dan hal-hal religius. Dia ingin terbang beranjak dari sana. Tetapi, sebelum itu, Sinclair menyadari bahwa dirinya adalah sosok dengan jiwa yang lemah. Dia selalu butuh sandaran. Sandaran pertama saat dia menerima bully dan teror dari Franz Kromer adalah Demian. Sandaran kedua setelah dia lepas dari Kromer adalah ibunya sendiri. Maka, ketika pada suatu hari Sinclair tinggal jauh dari orangtuanya untuk hidup di kos, dia kehilangan sandaran tersebut dan menjadi limbung. Sinclair bertemu kenalan baru, Alfons Beck, dan menghabiskan hari demi harinya dengan keluar-masuk bar, mabuk-mabukan. Sandaran berikutnya adalah sosok seorang gadis cantik di taman yang diasosiasikan Sinclair sebagai Beatrice, perempuan dalam lukisan Dante Gabriel Rossetti. Untuk pertama kalinya, Sinclair merasa dirinya jatuh cinta. Pada saat itulah, dia merasa menemukan rumahnya kembali.

I had to come home again to myself, even if only as the slave and servant of a cherished image.

Sayangnya, sosok Beatrice tak pernah termanifestasi secara nyata. Sinclair membuat lukisan Beatrice versinya sendiri dan menyadari bahwa lukisan tersebut berubah-ubah bentuk menjadi dirinya, Demian, dan pada akhirnya mewujud sosok ibu kandung Demian, Frau Eva.

Sebelum bertemu Eva, saat Sinclair kembali menjauh dari Demian, dia bertemu seseorang yang lain. Seorang pianis bernama Pistorius. Pistorius adalah anak pastor yang, ternyata, “sejenis” dengan Sinclair. Pistorius menyeleweng dari orangtuanya yang sangat agamis. Dia ingin membangun sektenya sendiri. Hubungan Sinclair dan Pistorius dimulai dengan pertanyaan Sinclair tentang Abraxas. Pistorius yang kaget mengetahui ada orang lain yang mengenal nama tersebut, membawa Sinclair ke rumahnya dan membukakan gerbang kedua bagi Sinclair. Gerbang menuju kepercayaan baru.

Hubungan murid – mentor antara Sinclair dan Pistorius tak berlangsung lama. Meski demikian, Sinclair mendapatkan banyak pelajaran dari Pistorius. Setelah itu, Sinclair bertemu dengan Frau Eva, ibunda Demian. Tinggal di rumah Eva, Sinclair akhirnya menemukan tujuan hidupnya dan pencariannya telah menemukan jalan terang.

Buku bagus, adalah buku yang membuatmu berpikir, merenung, berkontemplasi. Buku yang, setelah membacanya, kau merasa ada sesuatu yang bertambah di dalam kepalamu. Bertambah dengan sangat banyak. Hal-hal yang bertambah itu adalah pengetahuan baru. Pemikiran baru. Buku yang menawarkan sudut pandang baru dalam memaknai kehidupan dan manusia. Buku tersebut akan menghantam pemikiranmu dengan gagasan-gagasan yang memaksamu untuk berpikir ulang dan memberi waktu cukup lama, bahkan sangat lama, untuk mencernanya. Pada halaman-halaman tertentu kau akan berhenti untuk menarik napas, berpikir sangat dalam, membacanya ulang dan berpikir lagi, dan setelah kau selesai membacanya kau tahu bahwa dirimu bukanlah dirimu yang dahulu. Kau telah berubah. Pemikiranmu telah berubah. Buku tersebut akan membuatmu melihat apa yang kau lihat selama ini dengan cara yang berbeda. Cara yang tidak lagi sama.

Dan Demian, para pembaca yang budiman,adalah buku yang seperti itu.

***

Seperti Apa Buku yang Bagus Itu?

$
0
0


Pada unggahan sebelumnya, saya mengulas sedikit tentang Demian, novel tipis bagus karangan seorang penulis Jerman yang juga peraih Nobel Kesusastraan, Hermann Hesse. Di akhir catatan tersebut, saya menyinggung sedikit tentang bagaimana ukuran buku yang bagus menurut saya. Saya ulang bagian tersebut di paragraf setelah ini.

Buku bagus, adalah buku yang membuatmu berpikir, merenung, berkontemplasi. Buku yang, setelah membacanya, kau merasa ada sesuatu yang bertambah di dalam kepalamu. Bertambah dengan sangat banyak. Hal-hal yang bertambah itu adalah pengetahuan baru. Pemikiran baru. Buku yang menawarkan sudut pandang baru dalam memaknai kehidupan dan manusia. Buku tersebut akan menghantam pemikiranmu dengan gagasan-gagasan yang memaksamu untuk berpikir ulang dan memberi waktu cukup lama, bahkan sangat lama, untuk mencernanya. Pada halaman-halaman tertentu kau akan berhenti untuk menarik napas, berpikir sangat dalam, membacanya ulang dan berpikir lagi, dan setelah kau selesai membacanya kau tahu bahwa dirimu bukanlah dirimu yang dahulu. Kau telah berubah. Pemikiranmu telah berubah. Buku tersebut akan membuatmu melihat apa yang kau lihat selama ini dengan cara yang berbeda. Cara yang tidak lagi sama.

Nah, saya akan menambahkan keterangan tentang buku bagus. Mari kita ulang pertanyaannya, selayaknya judul catatan ini: seperti apa buku yang bagus itu?

Sebelumnya, kita sepakati terlebih dahulu bahwa setidaknya ada dua jenis buku di dunia ini: fiksi dan nonfiksi. Oleh karena ada perbedaan sifat antara kedua jenis buku tersebut, maka ukuran buku bagus di antara keduanya pun bisa berbeda. Tapi tidaklah banyak perbedaan itu. Hanya pada fiksi dan nonfiksi saja. Bagaimana maksudnya? Begini.

Buku yang bagus, jika ia adalah buku fiksi, tentunya adalah buku yang elemen-elemen fiksinya digarap dengan baik. Idenya keren, karakter-karakternya kuat, dialog-dialognya cerdas dan berbobot, plotnya masuk akal dan tak dapat diduga-duga ke mana arahnya, konflik muncul dengan sangat intens, sudut pandang yang digunakan penulis tidak membingungkan pembaca, penggambaran suasananya betul-betul terasa nyata, narasinya berisi, cara menulisnya unik, dan seterusnya. Jika ia adalah buku nonfiksi, berlaku hal yang sama. Maksudnya, elemen-elemen dalam sebuah karya nonfiksi haruslah digarap dengan baik, jika ia ingin disebut sebagai buku yang bagus. Begitu.

Di luar dari hal-hal di atas, saya punya ukuran yang gaib dan mungkin akan terdengar aneh di telinga teman-teman pencinta buku. Salah satu ukuran buku bagus bagi saya adalah, buku yang ketika saya membacanya, saya bisa tiba-tiba berhenti sejenak hanya untuk mengumpat. Fuck! Shit! Anjing! Kampret! (maaf kalau saya tidak melakukan sensor, karena oh sungguh sensor semacam itu sama sekali tidak berguna) Dan semacamnya. Mengapa saya mengumpat? Entahlah. Itu reaksi yang sangat spontan. Reaksi seperti itu muncul ketika saya membaca satu bagian dari buku tersebut yang menghantam kepala saya. Ketika saya mengumpat, saya tahu, buku yang sedang saya pegang dan baca ini adalah buku bagus. Semakin banyak saya mengumpat saat membacanya, semakin baguslah buku itu. Aneh ya? Semoga tidak. Karena masih banyak hal yang lebih aneh di dunia ini. Seperti misalnya jatuh cinta kepada orang yang tidak mencintaimu.

Demikianlah. Saya tak merasa perlu untuk menjabarkan lebih detil dan lebih panjang tentang ukuran sebuah buku yang bagus. Masing-masing orang bisa memiliki ukuran-ukurannya sendiri. Belum lagi kalau kita bicara perihal selera. Wah, bisa lebih panjang dan tak ada habisnya. Misal: J. M. Coetzee adalah peraih Nobel Kesusastraan, dengan begitu setidaknya buku-buku yang dia tulis sudah terjamin adalah buku-buku yang bagus, namun saya tidak menyukai Life & Times of Michael K karena bagi saya buku itu disampaikan dengan terlalu dingin sementara kisahnya cukup sengsara dan berdarah-darah. Itu perihal selera. Life & Times of Michael K adalah buku yang bagus, tentu saja. Karena pengarangnya adalah peraih Nobel Kesusastraan. Elemen-elemen fiksinya pun digarap dengan baik. Tetapi tetap saya tidak terlalu menyukainya. Begitulah.

Setidaknya, mengutip catatan Eka Kurniawan di sebuah jurnalnya, saya perlu juga mengulang informasi yang dia sampaikan, bahwa ilmu sastra itu ada. Ilmu untuk menilai sebuah buku itu ada, dan bisa dipelajari. Ketika saya berkata suka atau tidak suka terhadap sebuah buku, yang bicara pada saat itu adalah selera. Namun saat saya menilai sebuah buku bagus atau tidak, maka saya harus memiliki ukuran-ukuran untuk menilainya, dan ukuran-ukuran tersebut boleh dan bisa dipakai oleh orang lain untuk melakukan penilaian, verifikasi, kroscek atas penilaian saya itu. Sama seperti Eka Kurniawan, saya bukan (atau belum menjadi) mahasiswa sastra. Tetapi, saat saya mendakwa sebuah buku bagus atau tidak, setidaknya saya memiliki ukuran-ukuran. Kau pun harus memiliki ukuran-ukuran saat menilai sesuatu bagus atau tidak.

Tapi jangan pernah mencoba untuk menilai cinta. Karena tak ada ukuran-ukuran yang pas untuk menilai besar-kecilnya sebuah cinta. Setuju?

***

This Is How You Lose Her, Junot Díaz

$
0
0




Setiap orang yang pernah jatuh cinta pasti pernah patah hati. Kalau belum, niscaya akan. Kalau sudah, percayalah kelak akan patah hati lebih parah lagi. Semakin dalam cintanya, semakin sakitlah rasa patah hati itu. Setuju? Oke. Saya tidak ingin bicara soal jatuh cinta dan patah hati lebih jauh karena saya akan terlihat seperti seorang pakar asmara yang bahkan tak memiliki pasangan tapi sibuk menceramahi orang lain tentang cara mendapatkan pacar. Saya ingin bicara tentang Yunior, seorang lelaki yang mengalami jatuh cinta berkali-kali dan patah hati berkali-kali oleh perempuan-perempuan yang berbeda, yang masuk dan keluar di kehidupannya. Cerita-cerita tentang kisah patah hati Yunior inilah, yang kadang lucu dan kadang pilu, yang dituturkan oleh Junot Díaz dalam bukunya, This Is How You Lose Her.



Saya tertarik untuk membeli buku Díaz setelah sering mendengar salah satu judul bukunya disebut-sebut di berbagai kesempatan. The Brief Wondrous Life of Oscar Wao, nama buku itu. Buku tersebut membawa Díaz menjadi salah satu peraih Pulitzer Prize, anugerah bergengsi di Amerika Serikat untuk literatur, jurnalistik, dan seni. Saya belum menemukan buku itu. Karena saya penasaran dengan Díaz, maka saat saya melihat This Is How You Lose Her di Periplus, langsung saja saya bawa ke kasir.

Saat melihat judul dan gambar sampulnya, saya berpikir bahwa sepertinya This Is How You Lose Her bukanlah bacaan yang berat. Ternyata memang benar. Cerita-cerita di dalamnya (ada sembilan cerita pendek dengan jumlah halaman variatif untuk masing-masing judul) adalah cerita-cerita cinta yang ringan, jenaka, meskipun ada satu-dua yang terasa lebih sendu dan pedih.

“The Sun, The Moon, The Stars” bercerita tentang hubungan yang kandas karena perselingkuhan. Dituturkan dengan bahasa yang bisa dibilang vulgar. Umpatan di mana-mana. Saya seperti sedang membaca kata-kata yang keluar dari mulut seorang penyelundup narkoba Afro-Amerika yang sedang kesal dengan partner bisnisnya di sebuah film laga Hollywood. “She’s the nerd every librarian in town knows, a teacher whose students love her. Always cutting shit out of me. Dominican shit.” … “I wasn’t about to start looking for a girlfriend because I’d fucked up one lousy time.” … “My boys were like, Fuck her, don’t sweat that bitch.” … “Nigger, sounds like you’re wasting a whole lot of loot on some bullshit.” Dan banyak lagi kalimat semacam itu. Dengan nada seperti itu. Terdengar kasar memang, tapi Díaz menuturkannya dengan cara yang jenaka dan menyelipkan guyonan di sana-sini.

Beberapa cerpen yang lain memiliki judul nama perempuan yang dikencani Yunior. “Nilda”, “Alma”, “Flaca”, dan “Miss Lora”. Nilda adalah kekasih Rafa, abang Yunior, yang di kemudian hari meninggal karena kanker dan Nilda menjadi pacar-tak-resmi Yunior. Alma adalah mantan kekasih Yunior. Pada cerpen “Alma” inilah pertanyaan saya terjawab: mengapa judul buku ini This Is How You Lose Her, karena cerpen tersebut menceritakan, dengan sangat singkat (hanya empat halaman), bagaimana Yunior secara konyol kehilangan kekasihnya hanya gara-gara kesalahpahaman keci

“Otravida, Otravez” atau dalam bahasa Inggris artinya “Here after, once again” adalah cerpen yang sangat sendu, paling sendu dan sedih dari seluruh cerpen yang ada di dalam This Is How You Lose Her. Bercerita tentang Yasmin, seorang perempuan yang telah menjalani hubungan selama tiga tahun dengan kekasihnya yang telah memiliki istri dan anak.

“Flaca” bercerita tentang hubungan tanpa komitmen antara Yunior dengan seorang perempuan bernama Veronica Hardrada. Yunior menyebut perempuan itu dengan nama Flaca. Masalah muncul ketika Yunior mulai memiliki perasaan terhadap Flaca, namun mereka berdua sama-sama tahu hubungan mereka takkan berhasil.

It wasn’t supposed to get serious between us. I can’t see us getting married or nothing and you nodded your head and said you understood. Then we fucked so that we could pretend that nothing hurtful had just happened.

“The Pura Principle” berkisah tentang seorang perempuan oportunis bernama Pura Adames, imigran gelap yang mengencani Rafa, abang Yunior, hanya untuk memanfaatkan fasilitas yang dimiliki Rafa dan meminta bantuan ibu Yunior untuk mengurus surat-surat kependudukannya. Ketegangan antara ibu dan anak sangat terasa lewat adegan-adegan dan narasi yang sedikit vulgar (apakah ini khas Junot Díaz, bahasa yang vulgar dan penuh umpatan?).

Seorang istri yang kesepian setelah pindah ke tempat tinggal yang baru dituturkan oleh Díaz dengan nada yang pilu dalam cerpen berjudul “Invierno”. Seorang perempuan matang bernama Miss Lora telah menggaet hati Yunior dan membuat hubungannya dengan Paloma menjadi goyah, dikisahkan dalam cerpen berjudul “Miss Lora”. Yang terakhir, cerpen berjudul “The Cheater’s Guide to Love” menceritakan tentang usaha Yunior mencoba move on dari mantan kekasihnya dan tak berhasil melakukan hal itu bahkan setelah lima tahun berlalu.

Banyak kata-kata dan frasa dalam bahasa Spanyol di This Is How You Lose Her yang tak bisa saya mengerti sebab tak ada catatan kaki yang menjelaskan artinya. Bahkan setelah mencoba mengaitkan frasa tersebut dengan konteks kalimat dan adegan, saya tetap tak mengerti betul apa maksudnya. Beberapa kali saya membuka Google Translate hanya untuk mencari arti kata-kata dalam bahasa Spanyol tersebut. Percakapan di bawah ini hanyalah satu contoh:

When your mother had confronted your brother about Mrs. del Orbe he didn’t deny it. What do you want, Ma? Se metio por mis ojos.

Por mis ojos my ass, she had said. Tú te metiste por su culo.

That’s true, your brother admitted cheerily. Y por su boca.

Seperti yang sudah saya katakan di awal catatan ini, This Is How You Lose Her bukanlah bacaan yang berat. Kau dapat membaca cerpen-cerpennya secara acak sambil menikmati sebungkus kacang atau menyeruput teh atau jus mangga. Tak perlu berpikir terlalu keras, kecuali untuk mencari arti kata-kata dalam bahasa Spanyol yang berseliweran di dalamnya. Resapilah rasa sedih dan nuansa sendu dari cerita-ceritanya. Nikmati kelucuan dan pedihnya luka masing-masing tokohnya. Jika kamu pernah jatuh cinta dan patah hati, niscaya This Is How You Lose Her dapat berperan sebagai cermin-memantulkan bayangan masa lalu milikmu sendiri.

***

The Cuckoo’s Calling, Robert Galbraith

$
0
0




Berita kematian supermodel rising star Lula Landry pada suatu tengah malam di musim salju hinggap secara tak disangka-sangka di kantor lusuh seorang detektif partikelir bernama Cormoran Strike. Kakak tiri si supermodel sendiri, John Bristow, yang menghampiri veteran berkaki satu itu dan memberinya pekerjaan tersebut-John tidak percaya bahwa Lula bunuh diri, seperti yang telah dikatakan oleh polisi, dan berharap agar Strike menyelidiki kasus kematian Lula Landry.

Cormoran Strike, yang juga mengikuti perkembangan kasus kematian Lula Landry, memiliki pemikiran yang tak jauh berbeda dengan polisi. Cormoran menganggap Lula meninggal karena bunuh diri. Namun John Bristow mendesak dan berkata bahwa dia yakin Lula tidak bunuh diri, melainkan dibunuh. Dengan anggapan bahwa John sebagai kakak yang masih terguncang atas kematian adiknya hanya melakukan penyangkalan diri atas kepergian Lula, Strike bermaksud untuk menolak permintaan John menangani kasus yang sudah jelas penyelesaiannya itu. Namun, melihat John memberikan penawaran yang sangat menggiurkan, dan menyadari kondisi keuangan dan kehidupannya yang buruk dan terlunta-lunta, Strike akhirnya menerima pekerjaan itu dan memulai penyelidikannya.

The Cuckoo’s Calling adalah novel kriminal pertama yang ditulis oleh Joanne Kathleen Rowling, sosok asli di balik pseudonim “Robert Galbraith” yang tertera pada sampul buku. Sebelumnya, ibu satu anak tersebut menerbitkan sebuah novel politik berjudul The Casual Vacancy. Dan sebelumnya lagi, seperti yang mungkin sudah diketahui oleh orang banyak, dia sukses dengan serial fantasinya yang membuatnya menjadi salah satu pengarang terkaya di dunia-Harry Potter.

Setelah mengetahui bahwa penulis The Cuckoo’s Calling, Robert Galbraith, adalah J. K. Rowling, sulit bagi saya untuk tidak membaca novel ini sambil mengingat atau membanding-bandingkannya dengan pendahulunya yang sangat sukses, serial Harry Potter. Dari halaman ke halaman, saya menyigi jejak-jejak Harry Potter yang mungkin terselip di antara adegan dan narasi penyelidikan Cormoran Strike. Poin pertama yang tertangkap adalah nama-nama tokoh di dalam The Cuckoo’s Calling. Seperti misalnya, secara otomatis dan tak dapat dicegah, saya teringat akan Luna Lovegood saat membaca nama Lula Landry. Saya teringat akan si raksasa Hagrid saat membaca deskripsi Galbraith atas si detektif partikelir Cormoran Strike (tubuhnya besar, kulitnya tebal, berbulu...) dan seterusnya.

Selama membaca The Cuckoo’s Calling, saya terus membayangkan bahwa yang menulis cerita kriminal ini adalah perempuan bernama J. K. Rowling, bukan lelaki bernama Robert Galbraith. Namun, pada beberapa bagian, barulah saya sadar bahwa Rowling dan Galbraith sepertinya memang dua sosok yang berbeda. Maka, saya mulai menikmati The Cuckoo’s Calling sebagai karya Robert Galbraith, bukan J. K. Rowling.

Ditemani sekretaris temporernya, Robin Ellacott (saya menyukai nama ini!), Cormoran Strike mengumpulkan petunjuk lewat wawancara demi wawancara terhadap orang-orang yang memiliki hubungan dengan Lula Landry. Hal itulah yang akan banyak kau temukan di dalam The Cuckoo’s Calling: percakapan-percakapan. Dialog-dialog bertebaran di sepanjang cerita. Tapi jangan khawatir, dialog-dialog yang digunakan Galbraith (mari tetap berasumsi bahwa yang menulis buku ini adalah Galbraith, bukan Rowling) adalah dialog-dialog yang memang dibutuhkan. Dialog-dialog yang berhamburan itu memang seharusnya ada di sana, sebagai salah satu elemen penting dalam sebuah cerita kriminal-detektif untuk mendukung suasana penyelidikan si tokoh utama.

Saya tidak banyak membaca novel kriminal-detektif. Saya tidak begitu suka buku dengan genre itu. Saya suka cerita-cerita demikian jika dalam bentuk visual, film. Saya senang menonton film dan film-film action kriminal adalah salah satu favorit saya. Menurut saya sebagai penikmat film-film bergenre kriminal-detektif, sedikitnya ada beberapa hal yang harus ada dan muncul dalam cerita dengan genre tersebut. Pertama, misteri. Kedua, aksi. Ketiga, ketegangan. Keempat, intrik. Kelima, latar belakang konflik. Keenam, ruang menebak-nebak. Ketujuh, penyelesaian yang memuaskan.

Ketika membuka bagian prolog The Cuckoo’s Calling, saya langsung mendapatkan poin pertama: misteri. Novel dibuka dengan adegan tempat kejadian perkara kematian Lula Landry yang dipenuhi oleh polisi dan paparazzi. Dikatakan bahwa kejadian tersebut adalah peristiwa bunuh diri. Tetapi benarkah bunuh diri? Atau ada peristiwa pembunuhan di sini? Jika Lula Landry bunuh diri, apa yang membuat dia sampai melakukan hal tersebut? Jika dia dibunuh, siapa yang membunuhnya dan mengapa? Misteri. Saat Cormoran Strike memulai penyelidikannya, maka muncullah intrik-intrik antartokoh dan latar belakang konflik pun terkuak. Kekacauan dalam keluarga John Bristow dan Lula Landry perlahan terbuka, masa lalu Cormoran Strike pun terkupas, dan seterusnya. Tiga poin telah terpenuhi. Mendekati terungkapnya pembunuh Lula Landry, intensitas ketegangan meningkat. Petunjuk-petunjuk telah terkumpul dan kesimpulan semakin mengerucut. Cormoran Strike harus bertindak cepat dan mencari barang bukti sebelum si pembunuh melakukan kejahatannya lagi. Saya sebagai pembaca ikut menebak-nebak, siapa sesungguhnya pelaku pembunuhan Lula Landry di antara tokoh-tokoh yang muncul. Keterangan-keterangan yang muncul dari wawancara Cormoran Strike membuat saya merasa saya pun menjadi detektif, mencoba menghubung-hubungkan keterangan tersebut dan ikut mencari siapakah pelakunya. Hingga akhirnya di penghujung cerita, identitas pelaku pun terkuak, berikut motifnya. Saya pun menutup The Cuckoo’s Calling dengan rasa puas. Semua poin yang saya harapkan dalam sebuah cerita kriminal-detektif, telah muncul dengan baik.

Satu hal yang layak diberi aplaus adalah terjemahan The Cuckoo’s Calling. Saya sempat merasa hendak putus asa ketika mengetahui penerjemah serial Harry Potter versi Indonesia, Listiana Srisanti, meninggal dunia. Saya tidak tahu apakah akan ada penerjemah yang sangat baik seperti dirinya, khususnya untuk buku-buku yang ditulis oleh J. K. Rowling (oh, sudahkah saya katakan bahwa saya penggemar berat Rowling?). Tetapi Siska Yuanita melakukan tugasnya dengan bagus. Saya tak mengalami hambatan sama sekali membaca The Cuckoo’s Calling versi Indonesia. Terjemahannya sangat enak dan tak kehilangan sentuhan Rowling, maksud saya, Galbraith-nya. Siska Yuanita, dengan cerdas, menerjemahkan judul The Cuckoo’s Calling menjadi “Dekut Burung Kukuk” (dari mana dia mendapatkan kata itu, dekut?). Selama beberapa hari judul terjemahan itu terngiang-ngiang di kepala saya. Dekut burung kukuk. Dekut burung kukuk. Seakan belum cukup terpuaskan oleh terjemahan yang enak, saya dikejutkan oleh fakta bahwa dua puisi dalam Dekut Burung Kukuk diterjemahkan oleh seorang penyair favorit saya, M. Aan Mansyur. Lagi-lagi, pekerjaan yang bagus dilakukan oleh M. Aan Mansyur untuk dua puisi di awal dan akhir buku. Membaca The Cuckoo’s Calling versi terjemahan Indonesia membuat saya ingin berkata kepada Siska, sebagai fans berat J. K. Rowling, saya akan mempercayakan naskah-naskah J. K. Rowling berikutnya di tangan dia.

Pertanyaan terakhir, yang mungkin menjadi pertanyaan pertama semua orang ketika mengetahui J. K. Rowling menulis novel kriminal: berhasilkah Rowling keluar dari bayang-bayang Harry Potter? Dengan tegas saya akan menjawab: ya, dia berhasil. Sangat berhasil. The Cuckoo’s Calling adalah cerita dengan sentuhan dan suasana yang sama sekali berbeda dengan Harry Potter. Saya bisa katakan bahwa The Cuckoo’s Calling adalah sebuah debut novel kriminal yang berhasil dari J. K. Rowling alias Robert Galbraith. Rowling, atau Galbraith, telah menciptakan jagoan baru: Cormoran Strike. Begitu kelar membaca The Cuckoo’s Calling, saya merasa penasaran dan tertarik untuk mengikuti kasus-kasus Strike berikutnya. Dan itulah, saya kira, salah satu ukuran kesuksesan sebuah buku. Membuat pembaca penasaran atas sekuelnya.

Nah, setelah bercerita tentang keberhasilan J. K. Rowling keluar dari bayang-bayang Harry Potter dan terjemahan The Cuckoo’s Calling yang nyaman sekali dibaca, saya harus sampaikan kabar gembira ini: The Cuckoo’s Calling terjemahan Indonesia akan terbit pada tanggal ­­­22 Desember 2013 lewat penerbit Gramedia Pustaka Utama. Pada hari yang sama, akan ada acara peluncuran The Cuckoo’s Calling dan bagi-bagi novel tersebut gratis di Gandaria City Jakarta(kamu bisa mengikuti informasi lebih detil tentang acara ini di akun Twitter resmi penerbit The Cuckoo's Calling: @Gramedia).

Bagi kamu terutama para fans Harry Potter, inilah kesempatan untuk menikmati bagaimana seorang penulis novel fantasi yang fenomenal, J. K. Rowling, memulai debut barunya sebagai pengarang novel kriminal. Dan sebagai salah satu dari sekian banyak fans J. K. Rowling, saya akan berkata bahwa JKR telah memulai debutnya itu dengan baik.

Selamat menunggu dengan berdebar-debar.

***

Tips Menjadi Novelis dari Haruki Murakami

$
0
0



Most of What I Know About Writing Fiction
I Learned by Running Every Day

-dari buku What I Talk About When I Talk About Running 
Terjemahan Indonesia oleh Bernard Batubara


Dalam setiap wawancara, saya ditanya begini: hal apa yang penting dimiliki oleh seorang novelis? Jawabannya cukup jelas: bakat. Betapapun kau bersemangat dan berusaha keras untuk menulis, kalau kau tak memiliki bakat sastra, kau bisa melupakan keinginanmu untuk menjadi seorang novelis. Ini lebih kepada persyaratan mendasar. Kalau tak punya bensin, mobil terbaik pun takkan bisa bergerak.

Nah, permasalahan dengan bakat adalah, kita tak bisa mengontrol kualitas atau jumlahnya. Kau mungkin merasa bakatmu tak cukup dan ingin meningkatkannya, atau kau ingin mempertahankan kualitasnya, tapi tak ada satupun dari kedua hal ini yang bisa berhasil dengan mudah. Bakat memiliki pikirannya sendiri dan akan meningkat jika dirinya sedang ingin, dan ketika bakatmu mengering, ya sudah. Yah, tentu saja beberapa penyair atau bintang rock yang jenius tampil sangat memukau-orang-orang seperti Shakespeare dan Mozart, yang kematian dramatisnya membuat mereka menjadi legenda-memiliki kualitas seperti itu, namun bagi kebanyakan kita orang-orang ini bukanlah contoh yang bisa diikuti.

Jika saya ditanya apa hal berikutnya yang penting dimiliki oleh seorang novelis, itu juga mudah: fokus-kemampuan untuk mengumpulkan seluruh bakatmu yang terbatas pada apapun yang sedang kau kerjakan. Tanpa itu, kau takkan mampu untuk menyelesaikan apapun. Saya biasanya berkonsentrasi bekerja selama tiga sampai empat jam setiap pagi hari. Saya duduk di hadapan meja dan fokus pada apa yang sedang saya tulis. Saya tak melihat hal lain, saya tak memikirkan hal lain. Kau tahu, bahkan seorang novelis paling berbakat dan memiliki banyak ide keren sekalipun takkan bisa menulis apapun, jika misalnya, dia sedang tersiksa akan sesuatu. Siksaan dan pikiran-pikiran lain itu menghalau konsentrasi. Itulah yang saya maksud ketika saya berkata bahwa tanpa fokus kau takkan bisa menyelesaikan apapun.

Setelah fokus, hal berikutnya yang penting dimiliki oleh seorang novelis adalah, ketahanan diri. Jika kau berkonsentrasi menulis tiga sampai empat jam sehari dan merasa lelah setelah seminggu, kau takkan bisa mengerjakan naskah yang panjang. Hal yang dibutuhkan oleh seorang penulis fiksi-setidaknya bagi mereka yang ingin menjadi penulis novel-adalah energi untuk fokus setiap hari selama setengah tahun, setahun, atau dua tahun. Kau bisa menganggapnya seumpama bernapas. Jika berkonsentrasi pada proses ibarat menahan napas, maka ketahanan diri adalah seni mengembuskan napas secara sangat perlahan pada saat yang sama dengan menyimpan udara dalam paru-parumu. Jika kau tak bisa menemukan keseimbangan antara keduanya, sulit bagimu untuk menulis novel secara profesional dalam waktu yang panjang. Mengembuskan sembari menahan napas.

Untungnya, kedua hal ini-fokus dan ketahanan diri-berbeda dengan bakat, sebab mereka bisa diperoleh dan diasah lewat latihan. Secara alamiah kau akan belajar baik berkonsentrasi maupun ketahanan diri ketika kau duduk di hadapan meja setiap hari dan berlatih untuk fokus akan satu hal. Ini sama seperti melatih otot. Kau harus mengirimkan sinyal fokus ke seluruh bagian tubuh secara terus-menerus, dan pastikan kau memberikan informasi yang cukup sebanyak yang kau butuhkan untuk menulis setiap hari dan teruslah memperluas batas kemampuanmu. Proses ini sama seperti jogging setiap hari untuk memperkuat ototmu dan membentuk tubuh seorang pelari. Berikan rangsangan dan pertahankan temponya. Lalu ulangi. Kesabaran adalah hal yang harus kau miliki selama proses ini, memang, tapi saya pastikan hasilnya akan terlihat.

***


Viewing all 402 articles
Browse latest View live