Quantcast
Channel: Bernard Batubara
Viewing all 402 articles
Browse latest View live

What I Talk About When I Talk About Running, Haruki Murakami

$
0
0




Saya adalah jenis orang yang mudah terpengaruh oleh hal-hal yang saya sukai dan saya anggap keren. Seperti misalnya, ketika selesai menonton The Matrix, saya mendadak ingin menjadi Keanu Reeves yang dapat menghindar dari lesatan peluru dengan gerakan kayang dalam efek slow motion. Atau saat kelar menonton IronMan, tiba-tiba saya membayangkan diri saya menjadi Robert Downey Jr. dalam balutan jubah besi yang dapat terbang dan mengeluarkan tenaga super. Atau ketika membaca Harry Potter, saya jadi merapal mantra “wingardium leviosa!” kepada pakaian kotor di kamar dan berharap mereka terbang dengan sendirinya dan masuk ke mesin cuci. Ya, hal-hal seperti itu. Dan hal tersebut baru saja terjadi lagi ketika saya selesai membaca What I Talk About When I Talk About Running, sebuah buku memoir tipis yang ditulis oleh Haruki Murakami, pengarang favorit saya yang baru. Seperti yang mungkin kau bayangkan, setelah selesai membaca buku tersebut, saya tiba-tiba ingin mengambil sepatu olahraga dari rak dan mulai berlari.

Tentu saja saya bukan pelari jarak jauh, atau pelari maraton, seperti Murakami (saya tidak tahu apakah efek buku ini akan sangat kuat sehingga membuat saya suatu saat menjadi pelari maraton, tapi saya belum membayangkannya saat ini), namun ada fase dalam hidup saya dimana saya rajin berlari. Fase tersebut terjadi tujuh atau delapan bulan yang lalu, sekitar April 2013. Hampir setiap hari selama dua bulan, saya berlari, biasanya sore hari karena saya masih sangat mengantuk di pagi hari. Sayangnya, kebiasaan tersebut tidak berlangsung lama. Satu-dua hari saya bolos berlari, dan rasa malas pun menguat di hari-hari berikutnya. Rasa malas yang menumpuk itu membuat saya enggan mengambil sepatu dan keluar kos untuk berlari. Hingga akhirnya sampai hari ini di bulan Desember 2013, saya belum mulai berlari lagi.

Pada usianya yang ke-33, usia dimana Yesus meninggal, Murakami memulai kegiatannya sebagai pelari yang serius. Dia berlari 36 mil seminggu, 6 mil sehari selama 6 hari. Selama sebulan, Murakami berlari sejauh 156 sampai 186 mil. Jika dikonversikan ke kilometer, maka dia berlari kurang-lebih 10 km setiap harinya. Wah. Sebagai perbandingan, saya berusia 24 tahun saat ini dan hanya bisa berlari maksimum 1.5 km setiap harinya.

Dari segi kekuatan fisik, jelas terdapat perbedaan yang sangat jauh antara saya dan Murakami. Saya memang termasuk orang yang fisiknya lemah. Saat masih di bangku sekolah, pelajaran olahraga adalah salah satu yang kurang saya sukai. Saya senang bermain voli, badminton, atau olahraga permainan lainnya. Tetapi saya tidak suka berlari. Saya tidak suka berlari karena itu kegiatan yang sangat melelahkan, dan membosankan. Mungkin juga karena saya merasa sama sekali tidak memiliki kemampuan untuk berlari. Saya tidak tahu apakah ini bawaan genetik atau saya hanya kurang latihan. Saat SMA, beberapa teman laki-laki saya yang merokok mampu finish jauh lebih awal dari saya. Saya tidak merokok, jadi saya pikir seharusnya saya punya paru-paru yang lebih sehat daripada teman-teman saya yang merokok, dan seharusnya saya bisa berlari lebih kuat. Namun kenyataannya tidak. Saya bahkan dipermalukan oleh kenyataan bahwa semua murid perempuan di kelas berlari lebih cepat daripada saya.

Membaca What I Talk About When I Talk About Running sebagian lebih seperti refleksi terhadap diri saya sendiri, dimana saya teringat akan perasaan yang saya dapatkan saat mulai rajin berlari. Sebagian yang lain adalah sebuah kesadaran bahwa bahkan seorang penulis sekaliber Murakami sebetulnya tak menyimpan rahasia apa-apa dalam karir kepenulisannya (atau setidaknya saya berpikir demikian). Pada catatan sebelumnyasaya menulis ulang satu bagian dalam sebuah bab di What I Talk About When I Talk About Running, yakni sedikit tips dari Murakami tentang hal-hal apa saja yang penting dimiliki oleh seorang novelis. Tidak ada hal baru di sana. Fokus, ketahanan diri, dan persistensi adalah pokok-pokok yang musti dimiliki oleh seorang penulis, kata Murakami. Tentu saja, bukan? Jika kau tak memiliki fokus, ketahanan diri, dan persistensi, jangankan menulis novel, kau bahkan tak bisa memelihara burung atau ikan dengan baik (maafkan saya untuk analogi yang buruk ini).

What I Talk About When I Talk About Running adalah sebuah buku memoar yang tipis dan nyaman dibaca. Nyaman, maksud saya adalah, bahasa Murakami sangat mengalir. Tentu saja didukung oleh terjemahan yang baik (diterjemahkan dari bahasa Jepang ke Inggris oleh Philip Gabriel). Dari bab ke bab saya seolah tak bisa berhenti, dan memang saya tak bisa berhenti. Saya berhenti setelah membaca separuh buku hanya karena jarum jam telah menunjukkan pukul setengah dua dini hari dan saya merasa mengantuk. Keesokan sorenya saya melanjutkan sisanya hingga selesai. Ini buku nonfiksi Murakami pertama yang saya baca. Saya tidak banyak membaca buku nonfiksi, bahkan saya tidak begitu menyukai buku nonfiksi. Namun karena saya menyukai Murakami, maka saya membaca buku nonfiksinya. Dan bisa dibilang saya menyukai buku ini. Berbeda dengan fiksinya, Murakami tidak terlalu banyak melantur di What I Talk About When I Talk About Running. Dia bertutur dengan lebih sederhana dan tidak banyak hiasan di sana-sini. Betul-betul apa adanya. Memang ada beberapa bagian dimana Murakami melantur, namun tidak separah yang dia lakukan di fiksi-fiksinya. Dan bagusnya lagi, lanturan Murakami di sini, seperti di semua fiksinya, menghibur dan menyenangkan, bahkan membuat saya tertawa (saya jarang tertawa saat membaca buku).

Saat menuliskan What I Talk About When I Talk About Running, Murakami setidaknya telah menyelesaikan 25 sirkuit maraton selama 25 tahun terakhir (dia mengikuti minimum satu event maraton dalam setahun-oke, maaf, saya tahu ini matematika yang sangat sederhana), artinya dia telah berlari sejauh 26.2 mil dikali 25, silakan hitung sendiri (nah, yang ini tidak sederhana kan?). Saya sendiri, yang jelas jauh jauh jauh lebih sedikit dari itu. Tentu saja.

Dari bab ke bab membaca buku tipis ini, perasaan rindu untuk berlari kian kuat. Pikiran saya mulai melayang ke sepasang sepatu lari di kamar, ke boulevard kampus yang biasa saya gunakan sebagai sirkuit untuk berlari, dan ke momen-momen kosong dan kontemplatif yang saya rasakan saat saya mulai berlari. Saya menyukai berlari. Mungkin belum sampai pada tahap yang dialami oleh Murakami sebagai pelari serius dan pelari jarak jauh. Tapi saya rasa saya mengalami sebagian momen yang dialami olehnya. I run in a void. Or may be I should put it the other way: I run in order to acquire a void, kata Murakami. Persis seperti itu yang saya alami saat saya sedang berlari. Sama seperti ketika saya membaca buku atau menulis, saat berlari saya seolah berada dalam sebuah ruang yang lain. Hanya saja kali ini ruang yang lebih hening dan, seperti hampa. But as you might expect, an occasional thought will slip into this void, lanjutnya. Dan memang demikianlah. Saat saya berlari dan ruang “hampa” tercipta, pikiran-pikiran acak mulai masuk dan keluar, berseliweran di hadapan atau di dalam kepala saya. Terkadang saya tiba-tiba memikirkan soal hidup, soal menulis, soal rumah, soal orangtua dan adik saya, dan macam-macam. Saya menyukai momen itu. Tak jarang saya mendapatkan ide untuk menulis cerita pendek saat sedang berlari. Salah satunya yang berhasil saya tuliskan adalah sebuah cerita pendek berjudul Hanya Empat Putaran dalam buku saya Milana.

Seperti semua buku yang bagus, saya menutup halaman terakhir What I Talk About When I Talk About Running diiringi perasaan senang sekaligus perenungan akan sesuatu. Saya tidak tahu persis apa sesuatu itu. Tetapi, out of the blue, saya pergi ke Sports Station dan membeli sepasang sepatu lari, dua potong celana pendek, dan dua potong kaus olahraga. Salahkan Murakami atas uang yang saya keluarkan malam ini.

***

After Dark, Haruki Murakami

$
0
0




Ketika kebanyakan manusia menjalankan kesibukannya di siang hari, ada sebagian yang terjaga pada tengah malam ketika semestinya waktu tersebut menjadi waktu untuk beristirahat, tidur. Apakah kau termasuk dari yang sebagian itu? Selalu terjaga pada tengah malam hari? Yang jelas, Mari Asai dan Takahashi menghabiskan tengah malamnya dengan terjaga. Mari membaca buku di sebuah restoran keluarga dan Takahashi latihan band. Sementara itu Eri Asai, kakak kandung Mari, memilih untuk tidur. Dan tampaknya Eri sangat lelah dengan aktivitasnya. Sangat lelah. Teramat lelah. Begitu lelahnya hingga dia, menurut pengakuan Mari adiknya, telah tertidur selama dua bulan.

After Dark dibuka dengan teknik narasi yang cukup unik. Murakami menggunakan narator dan jenis narasi seperti dalam skenario film. Si narator melibatkan dan menarik pembaca menjadi bagian dari “pengawas” di dalam cerita. Saya mengatakannya unik, sebab sejauh ini saya baru sekali membaca novel yang ditulis dengan menggunakan bentuk narasi seperti skenario film. Seperti ditunjukkan oleh bagian dari paragraf pembuka berikut ini:

Through the eyes of a high-flying night bird, we take in the scene from midair. In our broad sweep, the city looks like a single gigantic creature.

Murakami sebagai narator yang berperan seperti spectator dalam cerita, membawa “kamera imajiner”nya ke dalam sebuah restoran keluarga bernama Denny’s. Di sana, duduklah seorang gadis berusia 19 tahun bernama Mari. Mari hanya sendiri di hadapan mejanya dan sedang membaca buku yang tebal. Waktu menunjukkan pukul 11:56 PM. Mari tampak serius dengan bukunya. Tak berapa lama, pintu elektrik restoran terbuka dan masuklah seorang pemuda dengan rambut yang berantakan dan sekonyong-konyong dia mengambil tempat duduk di meja Mari. Ternyata, pemuda tersebut adalah teman dari Eri Asai. Dia bernama Takahashi Tetsuya, seorang pemain trombon. Percakapan pun terjadi antara Mari dan Takahashi.

Dialog-dialog dalam After Dark serupa sungai. Mengalir dengan begitu lancar dan alami dari adegan ke adegan, halaman ke halaman. Murakami tahu betul bagaimana cara membuat pembacanya terus membaca apa yang dia tulis. Dari dialog-dialog yang sangat mengalir itu, watak setiap tokoh menjadi terlihat. Salah satu fungsi dialog telah terpenuhi dengan baik. Takahashi yang talkative, Mari yang serius, Kaoru yang agak preman, dan Komugi dan Korogi yang senang menceletuk, semuanya langsung muncul dan tampak pada dialog-dialog mereka. Sedikit berbeda dibanding beberapa tulisannya yang lain, meski dialog-dialog After Dark mengalir dengan baik, namun tampaknya Murakami menyimpan “kenyelenehannya” yang khas. Dialog-dialog di After Dark terasa lebih serius dan “lurus”, tidak seperti misalnya, dialog-dialog di Hear The Wind Sings dan Norwegian Wood yang sering belok ke sana-sini.

Cerita dalam After Dark berlangsung selama kurang lebih tujuh jam. Dari pukul 11:56 PM hingga 6:52 AM keesokan harinya. Konflik demi konflik diatur munculnya dengan begitu rapi oleh Murakami. Misteri demi misteri diletakkan secara bertahap. Mulai dari keberadaan Mari di sebuah restoran pada tengah malam, kedatangan Kaoru yang memintanya membantu bicara kepada seorang gadis pelacur asal Cina yang tak bisa berbahasa Jepang, hingga konflik utama: Eri Asai, kakak Mari, yang telah tertidur selama dua bulan.

After Dark adalah buku pertama Murakami yang bernuansa horor yang saya baca. Membaca After Dark terasa seperti sedang menonton film horor khas Jepang. Ketegangan dibangun secara perlahan lewat deskripsi Murakami yang sangat visual. Suasana kamar tidur Eri Asai yang gelap dan hening, televisi yang tiba-tiba menyala padahal kabelnya tidak sedang terpasang ke kontak listrik, hingga sosok lelaki misterius dari dalam kotak televisi yang memandang terpaku ke arah kamar Eri.

The TV image comes and goes, but its stability slowly increases. On screen is the interior of a room. A fairly big room. It could be a space in an office building, or some kind of classroom. It has a large plate-glass window; banks of fluorescent lights line the ceiling. No, on closer inspection there is exactly one chair set in the middle of the room. An old wooden chair, it has a back but no arms. It is a practical chair, and very plain. Someone is sitting in it.

Deskripsi Murakami begitu pelan dan teratur seperti sedang berbisik. Perasaan ngeri terbangun dengan begitu perlahan namun pasti. Saya membaca After Dark tepat menjelang tengah malam.Setelah membaca bagian tentang kamar Eri Asai dan televisi yang mendadak menyala, spontan saya melihat ke televisi di kamar saya sendiri dan mematikannya. Namun, ternyata, televisi tersebut tampak lebih mengerikan setelah saya matikan. Akhirnya saya menyalakannya kembali dan mencari stasiun yang sedang menyiarkan acara dangdut.

Dengan plot ganda, After Dark seolah dibangun atas fragmen-fragmen adegan. Secara berurutan, adegan berpindah-pindah dari Mari Asai ke Eri Asai dan sebaliknya. Fragmen tokoh-tokoh lain juga dimunculkan. Ada keterangan penunjuk waktu pada setiap awalan bab untuk memperlihatkan kapan adegan tersebut terjadi (sekaligus memberikan kejelasan terhadap plot). Mendekati akhir cerita, adegan berpindah-pindah dengan lebih cepat dan lekas. Misteri kian runcing dan menuju klimaks, hingga akhirnya selesai dengan tetap meninggalkan misteri.

Ya. Tidak ada jawaban yang sangat jelas atas konflik utama dalam After Dark (jika konflik utama itu adalah misteri dalam kamar Eri Asai dan tidurnya Eri Asai yang selama dua bulan berturut-turut, bahkan jika konflik utamanya adalah hubungan kakak-adik Mari dan Eri Asai pun tak ada resolusi yang “kelar”). Siapa lelaki misterius di dalam televisi yang menyala sendiri pada tengah malam di kamar Eri Asai? Apakah Shirakawa, lelaki yang menghajar gadis pelacur Cina di hotel jam-jaman milik Kaoru, sebab Eri Asai menemukan pensil bertuliskan nama kantor Shirakawa saat, dengan tiba-tiba, dia masuk ke dunia di dalam kotak televisi? Bagaimana Eri Asai bisa masuk ke dalam kotak televisi? Bagaimana televisi dalam kamar Eri Asai bisa menyala sendiri padahal stop kontaknya tidak terpasang? Hantu yang menyalakan? Mengapa muncul hantu? Apakah hantu memang muncul setiap hari di kamar Eri Asai? Mengapa? Mengapa fragmen-fragmen adegan Shirakawa dimunculkan sementara menjelang akhir tidak dikaitkan lagi terhadap konflik yang dia alami (pemukulan terhadap gadis pelacur Cina dan bayangan yang mirip dirinya yang seperti hantu di dalam kotak televisi di kamar Eri Asai) dan seterusnya.

After Dark menyisakan banyak pertanyaan di benak saya. Selain bertanya-tanya, saya hanya bisa menduga, mungkin Murakami memang tidak bermasuk memberi konflik dan menyodorkan penyelesaiannya. Mungkin dia memang hanya menyuguhkan fragmen-fragmen peristiwa yang terjadi pada setelah tengah malam, After Dark, dan menjadikannya bungkus atas permasalahan yang lebih subtil yang dia angkat, yakni hubungan kakak-adik Mari dan Eri.

Bagaimanapun, After Dark bukan karya Murakami yang sangat istimewa namun menjadi salah satu favorit saya. Dialog-dialog yang mengalir, deskripsi yang perlahan dan mencekam, narasi yang rapi, membuat saya tak bisa meletakkan After Dark sebelum saya menyelesaikan membacanya.

Pesan terakhir saya tujukan untuk yang ingin membaca After Dark: jangan baca di kamar sendirian, apalagi pada tengah malam. Kalau ada sepotong tangan keluar dari dalam televisi, jangan hiraukan, teruslah membaca.

***

[Cerpen] Hujan Sudah Berhenti

$
0
0


Ilustrasi oleh IBG Wiraga


Hujan Sudah Berhenti
Cerpen Bernard Batubara


“Hujan sudah berhenti, Annelies.”

“Ya, Mama.”

Jika Mama sudah berkata seperti itu, maka aku harus berhenti menatap pada jendela. Setelah hujan pergi meninggalkanku sendiri, aku harus segera menyelesaikan urusanku dengan titik-titik air yang masih membekas di permukaan kaca, dan menulis sebuah surat untuk kusampaikan kepada angkasa. Percakapan kami tak boleh didengar oleh siapapun. Termasuk Mama.

...



A Wild Sheep Chase, Haruki Murakami

$
0
0





Dua hal yang selalu saya temukan saat membaca cerita yang ditulis oleh Haruki Murakami: simplisitas dan absurditas. Cerita-cerita Murakami hampir selalu dibangun di atas hal-hal sederhana, setidaknya sederhana dalam ukuran saya sebagai pembaca. Hal-hal itu seperti misalnya angin musim panas, seekor kucing, selembar foto, kaleng minuman kosong, dan lain-lain. Sesuatu yang sehari-harinya kita lihat dan temukan, namun kita tidak sempat membayangkan sebuah cerita bisa lahir dari sana sebagaimana Murakami menulis cerita dari hal-hal tersebut.

Bagaimana dengan absurditas? Dalam hal ini absurditas yang saya maksud adalah lagi-lagi absurditas menurut ukuran dan pemahaman saya sendiri. Pada dialog dan narasi di setiap cerita Murakami, saya melihat absurditas itu. Bagaimana setiap karakter di fiksi Murakami memiliki pemahaman yang sepertinya tidak lazim dan jalan pikiran yang rada aneh. Agak sulit memang menjelaskan dan memberi contoh absurditas ini, namun kalau kau membaca cerita-cerita Murakami, niscaya kau akan dengan mudah menemukannya.

Dua hal itu, simplisitas dan absurditas, saya temukan kembali ketika membaca A Wild Sheep Chase. Sebuah novel yang bisa saya sebut sebagai novel semi detektif. Jangan membayangkan cerita seperti Sherlock Holmes. Ini adalah cerita detektif a la Haruki Murakami. Saya cukup senang ketika mengetahui Murakami membawa unsur misteri dan detektif dalam novelnya karena sejauh ini saya belum pernah membaca cerita Murakami yang demikian (unsur misteri sangat terasa di After Dark, tetapi tidak ada unsur detektifnya).

Seperti kebanyakan cerita-cerita yang ditulis Murakami, A Wild Sheep Chase adalah sebuah cerita yang ringan. Setidaknya, saya menganggapnya ringan. Kesan detektif sebetulnya sudah ditunjukkan oleh judul novel, yang kalau saya terjemahkan bebas ke dalam bahasa Indonesia menjadi: Pengejaran Domba Liar (jadi seperti subtitle berita kriminal di televisi ya). Kisahnya, persis seperti judulnya, tentang pengejaran seekor domba. Domba seperti apa yang dikejar? Mengapa domba itu dikejar? Apa pentingnya si domba sehingga kisah pengejarannya dituliskan dalam sebuah novel setebal 299 halaman? Hanya Murakami dan semesta di kepalanya lah yang tahu.

Itulah salah satu contoh absurditas yang saya maksud. Saya tidak pernah membayangkan seekor domba bisa menjadi sebuah misteri yang ditangani sangat serius dan membuat seorang penulis mengarang kisahnya menjadi sebuah novel dan memberinya judul yang terdengar serius pula: pengejaran domba liar, eh maksud saya A Wild Sheep Chase. Kalau kambing, saya lebih bisa terima. Karena saya tahu kambing adalah simbol setan dan sering muncul dalam topik-topik seputar ilmu hitam dan semacamnya. Karenanya lebih wajar jika kambing dibahas secara sangat serius. Tapi domba? Di kepala saya, domba adalah binatang yang harmless, lugu, pendiam, cuek, dan tidak berminat cari gara-gara.

Berkali-kali saya geleng-geleng kepala sambil cengar-cengir saat membaca bagian di mana si tokoh utama terlibat percakapan tentang domba dengan seorang tangan kanan bos besar perusahaan dan jaringan periklanan Jepang. Bagaimana seekor domba tidak hanya menjadi masalah bagi seseorang, tetapi juga menjadi masalah bagi sebuah bangsa dan negara. Ya, seserius itulah pembahasan domba oleh Murakami dalam A Wild Sheep Chase. Bagaimana Murakami mengolah seekor domba menjadi sesuatu yang serius dan harus ditanggapi dengan serius?

Out of the blue, si tokoh utama yang bekerja di sebuah perusahaan periklanan yang ia bangun sendiri bersama rekan sekaligus sahabatnya, diminta oleh seseorang yang asing untuk mencari seekor domba aneh dalam sebuah foto yang dipakai si tokoh utama untuk iklan pada buletin salah satu klien kantornya. Foto tersebut berlatarkan alam dan terdapat 32 ekor domba di sana. Salah satu dari 32 ekor domba itu adalah domba yang aneh karena memiliki semacam tanda berbentuk bintang di punggungnya.

Si tokoh utama, seperti juga saya sebagai pembaca, tentu saja heran dan bertanya-tanya, apa pentingnya seekor domba? Oke, domba itu memiliki motif yang berbeda dengan domba-domba lain dan memiliki tanda bintang di punggungnya, lalu kenapa? Mengapa si tokoh utama harus, bahkan diharuskan, mencari dan menemukan domba itu? Si orang asing tangan kanan “Boss” pun menjelaskan tentang sejarah domba dan Jepang kepada si tokoh utama, yang membuatnya, juga saya sebagai pembaca, ternganga-nganga sebab ternyata domba adalah sesuatu yang sangat serius dan memiliki sejarah istimewa terkait Jepang. Saya tidak tahu apakah Murakami mengarang ini atau memang ada cerita demikian. Terus terang saya tertarik untuk mencari tahu.

Mendapat ancaman dari orang asing tangan kanan “Boss”, si tokoh utama pun mau tidak mau melakukan perintah tersebut: menemukan domba aneh dalam foto. Masalah berikutnya muncul: bagaimana menemukan seekor domba di antara domba-domba lain di sepenjuru Jepang? Ada berapa ekor total domba yang ada di Jepang? Ini ibarat mencari jarum dalam tumpukan jerami. Bedanya adalah, tumpukan jerami tersebut adalah tumpukan jerami kering dan sebatang jarum itu adalah sehelai jerami basah. Jerami di antara jerami. Domba di antara domba. Hal yang nyaris mustahil dan percobaan pencarian yang konyol, pikir si tokoh utama. Tetapi dia harus melakukannya.

Ditemani pacarnya, seorang gadis yang membuat si tokoh utama jatuh cinta pada pandangan pertama pada telinganya (ini contoh absurditas lain), si tokoh utama pun memulai pencarian domba aneh. Mencoba mencari dan mengumpulkan petunjuk demi petunjuk, si tokoh utama memulai kekonyolannya sendiri. Bahkan saat ia telah dalam pencarian, ia masih berpikir jangan-jangan semua cerita tentang domba itu adalah karangan si orang asing belaka dan ia sedang dibodoh-bodohi. Persis seperti apa yang saya pikirkan.

Tetapi, okelah akan kulakukan saja pekerjaan bodoh ini, pikir si tokoh utama yang karakternya seperti kebanyakan karakter tokoh lelaki dalam fiksi Murakami: manutan, cuek, dan seperti daun kering di atas aliran arus sungai, ngikut aja seolah tak punya tujuan hidup. Apa yang terjadi kemudian? Keanehan demi keanehan mulai muncul. Domba aneh yang dicari ternyata memang bukan domba biasa. Domba apakah itu? Misteri inilah yang dibangun dan dijadikan cerita semi detektif oleh Murakami.

Banyak dialog absurd, aneh, namun witty dan lucu khas Murakami di A Wild Sheep Chase. Seperti pada sebuah bagian dimana terjadi percakapan di dalam mobil antara sopir si “Boss”,  si tokoh utama, dan pacar si tokoh utama tentang kaitan antara mobil dan Tuhan.

Setelah selesai membaca A Wild Sheep Chase, saya baru tahu ternyata A Wild Sheep Chase adalah bagian dari serial Trilogy of the Rat. Didahului oleh Hear the Wind Sings (sudah ada versi Indonesia terbitan KPG dengan judul Dengarlah Nyanyian Angin, buku yang saya beri skor sempurna di Goodreads) dan Pinball, 1973. Pantas saja ketika membaca A Wild Sheep Chase, saya menemukan tokoh-tokoh dan tempat-tempat yang sepertinya pernah muncul di Dengarlah Nyanyian Angin, seperti J’s Bar.

Pendek kata, bagi para penggemar Murakami, A Wild Sheep Chase adalah novel yang wajib dikoleksi dan dibaca. Tentu saja dalam rangka menikmati simplisitas dan absurditasnya.

***

Kesepian dan Kesendirian Murakami

$
0
0




Menjadi seorang ambivert (setidaknya saya merasa diri saya seorang ambivert), membuat saya “hidup di dua alam”. Alam yang pertama adalah alam publik, dunia yang ditempati oleh orang-orang lain, penuh keriuhan dan lalu-lintas tindakan dan pikiran orang-orang selain saya; dunia luar. Alam yang kedua adalah alam pribadi, dunia di dalam diri saya, atau dunia kecil yang hanya ditempati oleh diri saya sendiri. Tidak ada siapa-siapa selain saya di alam pribadi ini. Hanya saya. Sendiri. Sehari-harinya saya berdiri di kedua alam tersebut secara bergantian. Beberapa jam pada satu hari saya hidup sendiri, menikmati me time dengan membaca buku, menonton film di bioskop, atau duduk di kafe minum kopi sambil merenung dan memperhatikan orang-orang. Beberapa jam yang lain saya berkumpul dengan teman-teman, berbincang dan bertemu dengan kenalan baru, hadir di sebuah seminar atau talk show, dan berinteraksi dengan pihak-pihak lain.

Membaca Blind Willow, Sleeping Woman kumpulan cerpen Haruki Murakami, memberikan kesan kepada saya bahwa tokoh-tokoh di dalam cerpen-cerpen tersebut sepertinya hanya hidup di satu alam. Mereka hanya hidup di alam pribadi, dunia di dalam diri mereka sendiri, atau dunia kecil dimana hanya ada diri mereka sendiri tanpa orang lain.

Terdapat 24 cerpen di dalam Blind Willlow, Sleeping Woman. “Blind Willow, Sleeping Woman” sendiri adalah cerpen pembuka. Bercerita tentang seorang pemuda yang mengantar sepupunya ke rumah sakit dan di perjalanan ia teringat akan dua orang temannya, seorang lelaki dan seorang perempuan yang adalah pacar lelaki tersebut. Saya tak begitu paham apa yang hendak disampaikan Murakami, tetapi ketika saya mengingat kembali kata kunci tulisan Murakami, kesendirian, barulah saya merasa bahwa kesendirian pulalah yang sedang dibicarakan Murakami dalam cerpen “Blind Willow, Sleeping Woman”. Bukan hanya kesendirian, bahkan, melainkan suasana yang suram dan, jika bisa saya katakan, suasana yang “sakit”.

Secara implisit, lewat cerita-ceritanya Murakami membangun sebuah logika untuk menyatakan kepada dunia, atau kepada pembacanya, bahwa menjadi sendiri dan merasa sepi itu tidak apa-apa. It’s okay to be alone and lonely. It’s okay to live within yourself and you don’t need anybody to help you with your problems. In fact, you don’t need anybody at all. Kira-kira begitulah yang saya tangkap dari cerita-cerita Murakami. Saat membaca cerpen Samsa In Love dan Town of Cats di New Yorker, saya belum merasakan kesepian dan kesendirian ini. Yang saya tangkap dari cerita-cerita Murakami adalah sesuatu yang jenaka, disampaikan dengan cara yang ringan dan cerdas terkadang lewat logika yang absurd namun menghibur. Namun, ketika saya terus membaca buku-bukunya yang lain, novel maupun cerpen-cerpennya dalam Blind Willow, Sleeping Woman ini, saya semakin menyadari kesepian dan kesendirian itu.
Cerpen “Aeroplane: Or, How He Talked to Himself As if Reciting Poetry” bercerita tentang seorang laki-laki yang memiliki affair dengan istri orang lain. Pada suatu bagian, terdapat dialog seperti ini:

“Even now,” she said, “if I feel I’m about to say something, I just swallow my words. It’s like a reflex. Because I got yelled at so much when I was little. But, I don’t know, what’s so bad about talking to yourself? It’s natural. It’s just words soming out of your mouth. If my mother were still alive, I almost think I’d ask her, ‘What’s so bad about talking to yourself?’”

Pada cerpen “The Mirror”, Murakami tampak sedikit bereksperimen dengan tema horor. Seorang laki-laki bekerja sebagai penjaga malam di sebuah sekolah dan melihat sebuah cermin yang aneh. Cermin tersebut memantulkan bayangannya namun bergerak seperti bukan bayangannya. What I saw wasn’t a ghost. It was simply myself. I can never forget how terrified I was that night, and whenever I remember it, this thought always springs to mind: that the most frightening thing in the world is our own self. Di cerpen “Hunting Knife” terdapat tokoh yang cacat dan harus menghabiskan hidupnya di atas kursi roda bersama ibunya yang juga sudah tua dan sakit. Setiap malam, lelaki cacat yang merasa bahwa kecacatannya adalah sebuah kewajiban sebagai peran dirinya dalam keluarga itu duduk di bar dan menghabiskan waktunya sendirian sambil memandang bulan. Cerpen “Man-Eating Cats” menceritakan seorang lelaki yang membayangkan dirinya mati di dalam sebuah apartemen dan beberapa ekor kucing memakan dagingnya, menggigiti jantungnya, dan mengisap darahnya. “A ‘Poor Aunt’ Story” mengingatkan saya akan sebuah adegan di film horor Thailand berjudul Shutter, dimana tokoh utama duduk di pinggir tempat tidur rumah sakit dan bayangan seorang perempuan muncul di kaca pintu; ternyata selama ini seorang hantu menempel di punggungnya. Hantu tersebut adalah ‘poor aunt’ di cerpen Murakami, membuat si tokoh utama dipandang aneh oleh orang-orang yang melihatnya dan perlahan membuatnya terisolasi dari lingkungan.

“The Year of Spaghetti” adalah cerpen yang memunculkan kesendirian dan kesepian hampir secara eksplisit. Paragraf pembukanya membuat saya nyaris tertipu sebab saya merasa pada akhirnya ada tokoh fiksi Murakami yang memiliki passion dan berhasrat akan sesuatu (kebanyakan tokoh-tokoh fiksi Murakami seperti tak punya tujuan hidup dan larut dalam kesendiriannya), namun pada beberapa paragraf berikutnya barulah terlihat, oh, lagi-lagi kesendirian dan kesepian itu muncul. Bahkan lebih eksplisit lagi kali ini.

As a rule I cooked spaghetti, and ate it, alone. I was convinced that spaghetti was a dish best enjoyed alone. I can’t really explain why, but there it is.

Murakami terus membangun logika kesepian dan kesendiriannya di cerpen “Tony Takitani”. Shozaburo Takitani kehilangan orangtuanya dalam perang di Jepang pada tahun 1945. Saudara satu-satunya telah hilang entah ke mana. Dia sebatangkara di dunia. Namun: This was no great shock to him, however, nor did it make him feel particularly sad or miserable. He did, of course, experience some sense of absence, but he felt that, eventually, life had to turn out more or less like this. Everyone ended up alone sooner or later. Dan sikap seperti ini, menerima dan menganggap bahwa sendiri itu tidak apa-apa, ternyata menurun kepada anaknya, Tony Takitani, karena: He cooked for himself, locked up at night and slept alone. Not that he ever felt lonely: he was simply more comfortable this way than with someone fussing over him all the time.

Seorang perempuan jatuh cinta kepada seorang laki-laki yang dingin, cuek, menyendiri, dan bahkan terkesan mengisolasi dirinya dari sekelilingnya. “The Ice Man” menjadi cerpen berikutnya yang digunakan Murakami untuk membangun logika-logika “pembenaran kesendirian”. Lewat cerpen tersebut, seolah-olah Murakami hendak mengatakan begini: Isolasilah dirimu dari dunia, menyendirilah, kucilkanlah dirimu sendiri, jangan masuk ke dunia luar, dan tunggulah beberapa waktu kemudian, seorang wanita akan menghampirimu dan jatuh cinta padamu dan menikah denganmu. “Hanalei Bay” bercerita tentang seorang ibu yang kehilangan anaknya yang tewas karena tenggelam di laut dan dimakan hiu. Si ibu, secara rutin selama sepuluh tahun mengunjungi laut di mana anaknya meninggal. Dia akan duduk di kursi plastik di pinggir pantai dan melihat para peselancar. Di suatu bagian digambarkan pula hubungannya dengan anaknya yang tidak begitu baik.

Saat selesai membaca Blind Willow, Sleeping Woman tiba-tiba benak saya memunculkan sebuah kata: solitude. Saya sering mendengar kata itu namun belum pernah mengetahui apa persisnya pengertian solitude. Lalu saya mencari di wikipedia dan inilah yang saya dapatkan: 

Solitude is a state of seclution or isolation, i.e., lack of contact with people. It may stem from bad relationships, loss of loved ones, deliberate choice, infectious disease, mental infectious disease, mental disorders, neurological disorders, or circumstances of employment or situation. Short-term solitude is often valued as a time when one may work, think or rest without being disturbed. It may be desired for the sake of privacy. A distinction has been made between solitude and loneliness. In this sense, these two words refer, respectively, to the joy and the pain of being alone.

Dan, saya rasa kata tersebut, solitude, adalah kata yang paling tepat untuk dijadikan gerbang memasuki dunia fiksi Murakami. Membaca cerita-cerita Murakami kau harus siap untuk disedot ke dalam lubang kesendirian dan kesepian yang begitu pekat. Murakami akan melakukannya secara perlahan. Kau tak akan merasa sedang disedot. Kau akan merasa baik-baik saja. Sampai akhirnya kau tiba-tiba tersadar bahwa kau sudah berada jauh sekali dari keramaian dan berada di sudut dunia yang sepi, tanpa siapa-siapa, sendiri.

***

Resolusi

$
0
0


Beberapa saat sebelum menulis catatan ini, saya baru ingat bahwa pada tahun 2013 saya tidak membuat resolusi apapun. Biasanya, saya membuat resolusi. Di tahun 2011, misalnya, saya membuat resolusi ingin lulus kuliah, mendapatkan pekerjaan, dan menerbitkan buku. Tahun 2012, saya ingin lebih rajin olahraga, mendapatkan perut sixpack, dan menyelesaikan beberapa rencana proyek menulis (dua yang pertama gagal). Tahun 2013, saya tidak membuat resolusi apapun. Saya tidak tahu mengapa saya tidak membuat resolusi apapun seperti biasanya. Mungkin saya lupa. Atau mungkin saya terlalu asyik dengan apa yang sedang saya lakukan sehingga tidak sempat menyusun resolusi.

Seperti sebuah catatan akhir tahun pada umumnya, saya ingin sedikit mengingat apa yang sudah saya alami dan saya kerjakan di sepanjang tahun ular air ini:

Februari 2013, saya menulis beberapa cerpen yang kemudian terkumpul dalam sebuah buku, Milana. Sebagian dari buku tersebut berisi cerpen-cerpen yang saya tulis tiga tahun sebelumnya. Proses hingga Milana terbit dan edar di pasaran cukup singkat. Revisi berjalan lancar dan bulan April buku itu terbit dan menjadi buku kumpulan cerpen pertama saya. Hingga saat ini, Milana sudah masuk cetakan ketiga.

Mei 2013, saya mulai menyunting novel Cinta. Manuskrip novel tersebut sudah saya serahkan ke penerbit sejak November 2012, waktu itu masih berjudul Love Is Right (saat Cinta. terbit, beberapa pembaca masih bertanya “Love Is Right ke mana?). Revisi Cinta. cukup membuat pusing karena banyak sekali yang harus diutak-atik dan diperbaiki. Tapi akhirnya semua berhasil terlewati dengan baik dan Cinta. terbit pada akhir Agustus 2013.

Juli 2013, saya terbang ke Makassar untuk pertama kalinya dalam rangka menghadiri Makassar International Writers Festival 2013. Saya sempat bicara pada dua sesi di sana, bersama M. Aan Mansyur dan Dewi Lestari. Di sana juga untuk pertama kalinya saya bertemu dengan dua orang penyair yang saya idolakan: Sapardi Djoko Damono dan Joko Pinurbo. Saya bahkan tidur satu kamar dengan Joko Pinurbo (saya histeris waktu menerima surat-e dari panitia acara yang mengatakan bahwa saya akan satu kamar dengan Jokpin). Saya juga sempat mengobrol dengan beberapa orang penulis dan mendapatkan banyak ilmu lewat sesi-sesi diskusi pada acara tersebut. Betul-betul pengalaman yang tidak terlupakan.

Agustus 2013, saya pulang ke kota kelahiran, Pontianak. Saya membuat proyek Kopdar Fiksi, sebuah kelas menulis fiksi gratis yang saya rancang untuk memunculkan penulis-penulis muda di Pontianak. Di kemudian hari, Kopdar Fiksi tidak hanya diselenggarakan di Pontianak. Yogyakarta, Surabaya, Bali, Makassar, sempat menjadi kota-kota yang saya sambangi untuk berbagi perihal menulis fiksi dengan membawa nama Kopdar Fiksi.Di Yogyakarta, Kopdar Fiksi sudah berjalan satu angkatan.

Oktober 2013, saya pergi ke Bali untuk berpartisipasi dalam Ubud Writers & Readers Festival (UWRF) 2013. Saya bersama 15 penulis lain, yang kebanyakan masih muda, menjadi penulis terpilih yang diundang ke UWRF lewat jalur seleksi karya. Waktu itu saya mengirim cerpen (tadinya mau mengirim buku puisi, tapi saya baru ingat usia Angsa-Angsa Ketapang sudah terlalu tua untuk saya ikutsertakan). Di sana saya sempat bicara di sebuah sesi, berdampingan dengan penulis dari Amerika, Glen Duncan, dan Ilham Q. Moehiddin.

Tak ada hal lain lagi sepertinya yang bisa saya ingat pada bulan November dan Desember 2013, selain bahwa saya menghabiskan sebagian tabungan saya untuk membeli buku. Saya akan mengagetkan diri saya sendiri kalau menyebutkan nominalnya. Menyadari bahwa tumpukan buku di kamar semakin banyak, maka di tiga bulan terakhir tahun 2013 saya habiskan untuk membaca buku tersebut satu per satu. Menurut catatan di Goodreads, tahun ini saya membaca 125 buku. Di awal tahun, saya menargetkan setidaknya membaca 50 buku tahun ini. Saya senang karena akhirnya saya merasa mendapatkan kembali momentum dan ritme membaca saya. Belakangan saya sedang fokus membaca buku-buku luar negeri dan hanya sesekali membaca buku dari penulis Indonesia.

Sebetulnya ada dua hal lagi yang saya dapatkan di penghujung tahun 2013. Dua hal ini adalah cahaya baru, jalan baru yang akan mulai saya lakoni dan tempuh di tahun mendatang. Dua hal ini menjadi semacam pembuka babak baru dalam hidup saya. Seperti sebuah buku bagus yang memiliki paragraf pembuka yang menarik, saya optimistis dengan babak baru ini karena mereka juga memiliki opening yang membuat saya penasaran untuk mengikuti paragraf-paragraf berikutnya. Dua hal ini masih akan saya rahasiakan hingga tahun depan.

Seperti telah dengan tidak sengaja saya lakukan di 2013, pada tahun 2014 saya tidak akan membuat resolusi. Saya juga tidak akan banyak bercerita tentang apa saja yang akan saya kerjakan atau proyek menulis yang akan saya garap. Saya hanya bisa berkata bahwa tahun depan saya akan melakoni dunia yang baru. Apakah dunia baru ini akan menyenangkan atau tidak? Saya sendiri baru bisa menjawabnya setelah menjalaninya nanti. Meskipun demikian, setidaknya ada dua hal yang masih akan saya lakukan di tahun depan: membaca dan menulis.

Mengingat bahwa saya tidak membuat resolusi apapun untuk tahun 2013 dan ternyata saya mengerjakan dan mendapatkan banyak hal, membuat saya berpikir bahwa sepertinya membuat resolusi bukanlah hal yang betul-betul berguna. Tentu saja kita perlu untuk berencana, namun yang paling penting adalah mengerjakan. Sebesar apapun rencana, kalau tidak dikerjakan sama saja seperti katak dalam tempurung (maaf, perbendaharaan peribahasa saya buruk sekali)

Jika ada satu kalimat yang akan saya katakan kepada diri saya sendiri di akhir tahun 2013 ini untuk menyambut datangnya tahun 2014 maka kalimat itu adalah: Stop planning, Bara, and start doing.


***

Proyek Membaca 2014: Kalender Baca

$
0
0


Jujur saja, sejak aktif di Twitter, kemampuan membaca buku saya memburuk. Waktu SMP, saya bisa merampungkan Harry Potter and The Goblet of Fire yang tebalnya lebih dari 1.000 halaman itu dalam waktu tiga hari. Sekarang, jangankan menyelesaikan satu bab novel, membaca satu halaman saja rasanya berat. Lupakan novel 300 halaman ke atas, melihatnya pun sudah membuat kepala saya pusing. Akhirnya buku-buku yang bisa saya selesaikan hanya buku kumpulan puisi atau cerpen. Atau, novel di bawah 200 halaman, itupun butuh waktu berminggu-minggu.

Dalam setengah tahun terakhir, saya menguras isi tabungan cukup banyak untuk melampiaskan sifat impulsif saya terhadap buku. Sejauh yang mampu saya ingat, setidaknya saya membeli hampir seratus buku baru tahun ini. Indonesia dan luar negeri (belakangan saya lebih sering membeli buku-buku luar negeri). Buku-buku tersebut kini menumpuk di dalam kamar, tak terbaca. Tepatnya, belum saya baca. Saya membuat prioritas buku mana yang ingin saya baca segera dan mana yang nanti-nanti saja.

Untuk mengurangi tumpukan buku tersebut, saya membuat sebuah program membaca. Program itulah yang akan saya kemas ulang untuk ‘proyek membaca’ saya tahun depan. Proyek membaca buku ini memang saya buat untuk diri saya sendiri. Namun, teman-teman pencinta buku boleh ikut.

Aturannya begini: Buat semacam ‘kalender membaca’ 2014. Tentukan buku apa yang akan dibaca pada tiap bulannya. Karena saya suka buku-buku fiksi, maka buku-buku yang akan saya masukkan dalam kalender membaca saya adalah novel atau kumpulan cerpen. Teman-teman boleh memasukkan buku nonfiksi dalam kalender membaca masing-masing. Satu bulan satu buku. Ini jumlah minimum. Kau boleh memasukkan lebih dari satu buku kalau merasa cukup optimistis (12 buku dalam 12 bulan tentunya target yang sangat rendah).

Nah, masalahnya kemudian, bagaimana membuktikan bahwa buku-buku tersebut sudah rampung dibaca? Setiap kau selesai membaca sebuah buku, maka kau wajib menulis semacam ulasan. Tidak perlu seformal resensi atau apalah, pokoknya catatan saja. Apa yang kau dapat dari buku itu, sedikit analisis mengenai dialog, karakter, atau adegan-adegan, seperti itulah. Panjang tulisannya berkisar antara 1.000-1.500 kata. Tulisan tersebut diunggah ke blog sebagai arsip membacamu. Sebagai contoh, kau bisa lihat jurnal berikut: A Wild Sheep Chase, Haruki Murakami.

Begitu kira-kira. Di bawah ini adalah kalender membaca saya. Silakan menyusun kalender membaca versimu. Dan yang paling penting adalah: jangan malas. Selamat membaca!




Apa Sebetulnya yang Harus Ditulis oleh Penulis Indonesia?

$
0
0


Beberapa waktu lalu, saya membaca sebuah artikel menarik yang membahas tentang dunia sastra. Artikel tersebut adalah rekaman wawancara dengan seorang penerjemah karya sastra bernama Gioia Guerzoni. Menurut paragraf pembuka artikel itu, Gioia Guerzoni yang berkewarganegaraan Italia adalah satu dari segelintir orang yang ikut memperkenalkan karya-karya sastra Asia kepada khalayak pembaca Eropa. Belakangan, Guerzoni fokus menerjemahkan karya-karya sastra Asia Tenggara.

Pertengahan terakhir tahun 2013, saya lebih banyak membaca buku-buku luar ketimbang buku-buku penulis Indonesia. Kebanyakan adalah buku-buku peraih penghargaan sastra, baik itu Nobel Prize maupun Pulitzer Prize. Seiring membaca buku-buku tersebut, secara polos saya menyimpan keinginan yang muluk dalam dada saya: saya ingin menjadi seperti mereka, menulis buku yang dibahas orang sedunia dan memenangi penghargaan sastra paling bergengsi di dunia. Keinginan yang konyol, memang. Tapi biarlah bagian diri saya yang polos tetap memelihara keinginan itu, hingga akhirnya akan terbukti apakah saya bisa mewujudkannya atau tidak (kalaupun tidak, tidak akan menjadi masalah, saya orang yang senang memimpikan hal-hal muluk, begitu cara saya menjalani hidup yang menjemukan ini).

Saya tidak akan bicara tentang mimpi muluk saya itu. Saya akan bicara tentang satu hal yang saya pikir perlu untuk diketahui oleh penulis Indonesia, terutama penulis-penulis muda dan baru seperti saya.

Pada artikel wawancara dengan Gioia Guerzoni, dia berkata bahwa salah satu cerita yang penting bagi khayalak pembaca Eropa (atau luar Indonesia pada umumnya) adalah cerita tentang “kota”. Saya kira yang dimaksud “kota” di sini tentu adalah kota di Indonesia. Menurut Guerzoni yang telah menerjemahkan beberapa karya pemenang Man Booker Prize seperti Jonathan Lethem dan Paula Fox (saya tidak tahu buku apa yang mereka tulis, saya hanya mengutip keterangan ini dari artikelnya langsung), khalayak Eropa (luar Indonesia) ingin tahu apa yang sedang terjadi di Indonesia, atau di kota-kota di Indonesia.

Keterangan yang saya dapatkan dari Gioia Guerzoni itu sedikit banyak memiliki kaitan dengan apa yang saya dengar dari Richard Oh, ketika secara kebetulan saya bertemu dengannya di Reading Room, Jakarta, saat saya sedang bermain-main di tempat yang memiliki koleksi buku banyak sekali itu (karena ingin mengontrol diri, saya hanya membeli satu buku: Letters to Milena Franz Kafka). Oh berkata (kalimatnya tidak persis begini tapi kira-kira beginilah isi ucapannya), “Saya nggak paham mengapa penulis-penulis sekarang kok pada senang menulis cerita-cerita tentang luar negeri. Dengan judul-judul buku luar negeri dan sampul yang terasa luar negeri.” Saya mengernyitkan dahi sedikit, sebelum dia melanjutkan ucapannya. “Orang-orang luar itu membaca buku-buku Indonesia karena ingin menemukan apa yang tidak ada di negara mereka.” Oke, saya pikir, masuk akal.

Lalu, sebelum saya sempat merespons, Richard Oh melanjutkan lagi gerutuannya dengan memberikan sedikit contoh yang mendukung argumennya. “Kau tahu Eka Kurniawan? Eka Kurniawan itu bacaannya banyak buku-buku luar. Tapi ketika dia menulis, dia menulis tentang Indonesia.” Belakangan saya senang membaca jurnal-jurnal Eka Kurniawan di blognya, dan ya, saya menemukan banyak referensi buku luar dari sana (beberapa buku yang masuk daftar pencarian saya, saya peroleh dari blog Eka). Meskipun tanpa membaca blognya, saya tahu Eka Kurniawan pasti banyak membaca buku-buku luar.

Sambil mengingat buku-buku luar apa saja yang saya temukan di blog Eka, saya menyimak kalimat Oh berikutnya: “Yang diambil Eka Kurniawan dari penulis luar negeri adalah tekniknya. Tapi konten yang ia tulis, kontennya adalah Indonesia.” Benar juga. Lalu, seakan melihat sebuah pertanyaan tersirat pada kerutan di dahi dan tatapan saya, Oh melanjutkan bicara. “Ya tidak apa-apa misalnya mengambil latar luar negeri, tetapi isu yang diangkat pada cerita tersebut tetaplah harus isu tentang Indonesia.”

Terus terang, perkataan Richard Oh yang hanya singkat itu memberi sedikit pencerahan pada saya yang, sebagai penulis baru dan masih pemula, sebetulnya juga memiliki hasrat untuk menulis cerita-cerita dengan latar maupun suasana luar negeri seperti banyak penulis muda lain yang mengeluarkan novel-novel dengan latar luar negeri (saya tidak banyak membaca novel-novel Indonesia berlatar luar negeri itu, jadi saya tidak tahu apakah pada ceritanya mereka mengangkat isu Indonesia atau tidak).

Kembali ke artikel wawancara dengan Gioia Guerzoni.

Satu hal lain yang saya dapatkan dari wawancara tersebut adalah, ternyata di mata khayalak luar negeri, hal atau isu yang “khas Indonesia” salah satunya adalah permasalahan tentang demokrasi. Bisa jadi ini karena Indonesia merupakan negara yang memiliki usia demokrasi paling muda (saya tidak begitu mempelajari topik ini tapi setidaknya demikianlah yang pernah saya dengar dari teman-teman yang menyenangi dunia politik dan pemerintahan).  Satu kata kunci lagi tertangkap untuk menulis buku yang dapat menarik khalayak luar Indonesia setelah “cerita tentang kota”, yakni “demokrasi”.

Saya mengingat-ingat buku-buku pemenang Nobel Sastra yang sudah saya baca. Tidak banyak. Saya baru membaca Naguib Mahfouz, Gabriel Garcia Marquez, Alice Munro, Mo Yan, dan Hermann Hesse. Dari buku-buku mereka, ternyata ada satu kesamaan yang saya tangkap: mereka semua menulis tentang bangsa mereka dan kondisi negara atau kota atau lingkungan dimana mereka tinggal. Para pemenang Nobel Sastra itu (maksudnya yang sudah saya baca) kesemuanya berbicara tentang situasi zaman dimana mereka hidup. Mahfouz bicara tentang Mesir, Munro bicara tentang Ontario, Mo Yan bicara tentang Cina, Garcia Marquez bicara tentang Kolombia, dan seterusnya.

Setelah melihat fakta tersebut, saya tersadar bahwa pada akhirnya seorang penulis haruslah mengenal zamannya dan mengetahui kondisi bangsa dan negaranya sendiri. Percakapan singkat dengan Richard Oh membuat saya sedikit tertampar, sebab selama ini saya cenderung cuek dengan apa yang terjadi di negara yang saya tinggali ini. Saya tak pernah ambil pusing dengan masalah yang tengah menimpa Indonesia. Saya pikir, sudah ada orang-orang lain yang mengurus hal-hal memusingkan itu. Hal demikian membuat saya tidak mengenal Indonesia sehingga saya tidak mampu menulis apapun tentang Indonesia. Akibatnya, saya jadi penulis Indonesia yang menulis tentang negara dan budaya lain dan terasing dari budaya dan negaranya sendiri.

Saya tidak tahu apakah kondisi seperti itu-tercerabut dari negara dan budayanya sendiri itu-merupakan hal yang baik atau buruk bagi seorang penulis. Tetapi fakta lain yang tidak bisa saya pungkiri sebagai orang Indonesia adalah kenyataan bahwa Indonesia memiliki keunikannya sendiri dibanding negara lain. Keunikan inilah yang saya rasa semestinya menjadi sumber ide dan digarap dengan baik oleh penulis-penulis Indonesia sendiri. Kasarnya kira-kira begini: meski peribahasa berkata lain, namun lumbung ide yang sangat kaya sudah berada di depan mata, di bawah kaki sendiri, mengapa pula mencari jauh-jauh ke negeri Cina atau benua Eropa?

***

Melihat Geliat Sastra di Kalimantan Barat

$
0
0



Gerakan sastra di Kalimantan Barat sampai sekarang belum terdengar di kancah nasional. Hal tersebut bisa jadi disebabkan karena selain kurangnya publikasi karya sastrawan-sastrawan Kalimantan Barat di media nasional, juga karena intensitas komunitas sastra yang belum terlalu maksimal.
Demikian disampaikan penulis Bernard Batubara dalam kegiatan baca puisi bersama dan diskusi sastra yang diselenggarakan di Rumah Mimpi, Taman Gitananda, Senin (6/1) malam.

Bernard Batubara merupakan penulis muda kelahiran Kalimantan Barat yang merintis karir kepenulisannya di Yogyakarta. Di jagat kesusastraan nasional sendiri, Bernard merupakan salah satu penulis yang diperhitungkan. Karya-karyanya tak hanya kerap mewarnai media nasional yang dianggap "barometer" sastra Indonesia seperti Kompas, Koran Tempo, Suara Merdeka, dan lain-lain, tetapi buku-buku sastranya juga sedang digandrungi pembaca sastra Indonesia, bahkan salah satu novelnya berjudul Kata Hati diproduksi dalam bentuk film dan tayang di seluruh bioskop di Indonesia.

Kepulangan Bernard ke Pontianak kemarin malamlah yang menjadi alasan berkumpulnya para penggiat sastra di kota ini dan menggelar kegiatan di Rumah Mimpi.

Dalam diskusi yang berlangsung selama kurang lebih dua jam tersebut, Bernard banyak bercerita tentang minimnya pengetahuannya pribadi mengenai geliat sastra di Pontianak. Kemudian dia menjelaskan tentang fenomena munculnya sastrawan-sastrawan dari daerah yang selama ini tidak diperhitungkan dalam kancah nasional seperti di wilayah Timur Indonesia. “Teman-teman sastrawan di Flores saat ini karya-karyanya sering muncul di media nasional. Selain itu mereka kerap diundang dalam pertemuan sastra bertaraf nasional bahkan internasional,” ujar Bernard.

Penulis novel Cinta dengan Titik itu menilai kemunculan sastrawan-sastrawan muda dari wilayah timur Indonesia ini tidak terjadi dengan sendirinya. Akan tetapi melalui proses panjang dengan merawat komunitas, mendokumentasikan karya dan berbagai kegiatan sastra lewat jurnal secara rutin, serta menyebarkan jurnal tersebut ke berbagai event sastra di seluruh Indonesia. “Atas landasan tersebutlah, saya kemudian mendirikan kelas menulis dengan nama Kopdar Fiksi di Kota Pontianak,” katanya.

Kopdar Fiksi sendiri diharapkan mampu menjadi harapan baru bermunculannya karya-karya penulis muda dari Kalimantan Barat yang tidak muncul secara instan. Pada saatnya nanti, jika karya-karya tersebut benar-benar matang, mampu bersaing dengan karya-karya penulis Indonesia lainnya di media nasional.

Sementara itu, peneliti dari Balai Bahasa, Khairul Fuad, mengatakan bahwa pada dasarnya sejak tahun 50-an di Kalimantan Barat sudah bermunculan komunitasi-komunitas sastra. Bahkan pada massanya sempat memunculkan sastrawan-sastrawan lokal yang menasional. Intensitas sastra di Kalbar sendiri terus berlanjut hingga awal tahun 2000-an. “Hingga akhirnya, sepeninggal kritikus sastra Kalimantan Barat Odhys, perkembangan sastra di daerah ini berangsur-angsur surut bahkan bisa dikatakan mati suri,” ungkapnya.

Barulah sekitar tahun 2005 harapan baru bagi sastra Kalimantan Barat kembali hadir dengan munculnya Pay Jarot Sujarwo, Amrin Zuraidi Rawansyah, dan Yophi Tiara lewat buku kumpulan cerpen mereka yang berjudul Nol Derajat (Pena Khatulistiwa, 2005).

Menurut Khairul Fuad, delapan tahun setelah kehadiran Pay Jarot Sujarwo CS tersebut, komunitas sastra dan geliatnya semakin mewarnai jagat kesusastraan di Kalbar. “Hanya saja intensitas serta etika berkomunitas memang masih dirasa belum maksimal. Padahal potensi para penulis sastra di daerah ini cukup besar,” tuturnya.

Di bagian akhir diskusi, Bernard Batubara bersama para hadirin menyepakati tentang perlunya komitmen merawat komunitas ini serta diperlukan adanya upaya untuk mempublikasikannya ke kancah nasional secara terus menerus. Komitmen ini akan ditandai dengan portal di internet sebagai ruang diskusi sastra terbuka khususnya di Kalimantan Barat dengan nama Kalbar Menulis.

Kegiatan yang berlangsung sederhana ini dihadiri oleh para penggiat sastra seperti Musfeptial, Khairul Fuad, Nano Basuki, Pay Jarot Sujarwo, Ninda, Ilham Setiawan, serta para member dari kelas menulis Kopdar Fiksi bentukan Bernard Batubara. ***

Ada Masanya Kau Harus Berhenti Membaca

$
0
0


Judul tulisan ini memang agak kontradiktif dengan catatan saya sebelumnya tentang Proyek Membaca 2014. Di catatan itu, saya mengajak orang-orang untuk membaca buku. Namun, pada catatan ini saya menyuruh orang untuk berhenti membaca. Tapi sebelum melayangkan protes kepada saya, lebih baik baca terlebih dahulu keseluruhan catatan ini.

Nah, begini ceritanya.

Untuk menyelesaikan satu cerita pendek, biasanya saya hanya membutuhkan waktu beberapa jam. Paling lama satu hari. Paling lama lagi tiga hari. Saya tidak bisa membiarkan naskah cerpen yang belum selesai “tergantung statusnya” dalam waktu yang lama. Saya merasakan dorongan yang kuat untuk menyelesaikannya, dan saya merasa berdosa jika membiarkan mereka terlantar begitu saja.

Pada satu masa, saya pernah membuat proyek pribadi bernama “30 hari 30 cerpen”. Aturannya sederhana, persis seperti judulnya: dalam 30 hari pada bulan tersebut, saya harus menulis 30 cerpen. Hasilnya, tentu saja seperti yang kau dan saya perkirakan. Saya gagal memenuhi target 30 cerpen. Dalam sebulan, saya hanya berhasil menulis 16 cerpen. 

Proyek menulis semacam itu saya buat dalam rangka “mempertahankan mood” menulis dan menjaga tempo proses kreatif saya. Maksudnya, saya tidak ingin berlama-lama vakum menulis. Dua-tiga bulan tanpa menulis saja saya sudah merasa sangat berdosa. Jadi, untuk mencegah agar saya tidak merasa berdosa, saya membuat proyek seperti 30 hari 30 cerpen itu.

Cerpen-cerpen yang saya tulis pada fase itu memang jauh dari kata matang, karena diselesaikan dalam waktu yang sangat singkat. Istilahnya, saya ngebut menyelesaikan cerpen-cerpen itu. Namun, terlepas dari kualitas cerpen-cerpen “kilat” itu, saya mengingat betapa saya bisa menyelesaikan satu cerpen dalam waktu yang singkat. Saya bisa memberikan fokus dan energi yang cukup besar untuk menyelesaikan cerpen-cerpen itu dengan cepat.

Mendekati akhir tahun lalu, saya lebih banyak menghabiskan waktu untuk membaca daripada menulis. Dalam tiga bulan terakhir di 2013, saya hanya menyelesaikan satu cerpen. Terakhir, saya sedang menulis satu cerpen baru dan sampai sekarang belum kelar-kelar. Sudah satu bulan sejak saya mulai menulis cerpen tersebut. Buat saya, ini mengkhawatirkan. Entah mengapa, tiba-tiba saya merasa sangat berhati-hati saat menulis bagian demi bagian cerpen itu. Saya takut cerpen yang saya tulis jelek. Ketakutan seperti ini tidak pernah hinggap di kepala saya sebelumnya. Ya, kadang-kadang saya merasa khawatir dengan apa yang saya tulis. Saya khawatir cerita yang saya tulis kurang bagus, tapi tidak sampai takut dan terbebani seperti saat ini. Sekali lagi, buat saya ini mengkhawatirkan.

Saya mencoba mencari tahu apa sebabnya. Mengapa saya menjadi terlalu berhati-hati saat menulis dan seperti terbebani. Saya jadi tidak percaya diri. Saya jadi sangat perhitungan. Setelah saya telusuri, ternyata salah satu penyebabnya adalah: saya dihantui oleh buku-buku yang saya baca. Saya takut, cerita yang saya tulis tidak sebagus buku-buku tersebut. Dan semakin banyak membaca, semakin sulit saya menulis.

Beberapa minggu sebelum menulis catatan ini, saya bertemu dengan seorang penulis cum editor, sebut saja namanya Aomame. Saya dan Aomame berbincang-bincang di suatu pagi hari di sebuah minimarket semi kedai (saya menyebutnya semi kedai karena di teras minimarket itu terdapat kursi-kursi dan meja). Kami berbincang-bincang tentang banyak hal, salah satunya adalah seperti yang saya tulis pada catatan ini. Saya bilang kepada Aomame, saya merasa sulit menulis dan saya menduga itu karena buku-buku yang saya baca. Aomame menjawab dengan beberapa kalimat yang bisa saya persingkat menjadi demikian: ada masanya kau harus berhenti membaca.

Terus terang saja, saya sedikit syok mendapat pernyataan semacam itu dari Aomame. Saya tahu, Aomame adalah penulis, juga editor. Saya tidak bisa membayangkan kalimat “Ada masanya kau harus berhenti membaca” dari orang yang menghabiskan hari-harinya untuk menulis dan membaca naskah orang lain. Tapi saya mencoba memberi perhatian lebih pada satu bagian dari kalimat itu: ada masanya. Kapankah masa itu? Kapankah saya harus berhenti membaca buku?

Melihat kerutan di dahi saya dan tatapan mata saya yang melesatkan pertanyaan, Aomame melanjutkan pernyataannya: “Saat menulis, kau harus melupakan apa yang kau baca. Malah, kau harus berhenti membaca. Jangan membaca saat menulis. Dan jangan menulis saat membaca.”

Saya pikir, menarik sekali apa yang diucapkan oleh Aomame. Biasanya, kedua aktivitas tersebut saya lakukan secara bersamaan. Setidaknya, saya tidak pernah berniat atau berencana atau mengharuskan diri saya untuk memisahkan timeline kedua aktivitas itu: membaca dan menulis. Saat saya ingin membaca buku, saya membaca. Saat saya ingin menulis, saya menulis. Saya tidak melihat apakah saat membaca saya sedang menulis atau saat saya menulis saya sedang membaca.

Namun, setelah saya menghubung-hubungkannya dengan ketakutan dan beban yang saya rasakan saat menulis, saya pikir Aomame ada benarnya. Mungkin saya harus memisahkan kedua aktivitas itu. Ketika berencana menulis, saya harus berhenti membaca sebulan atau dua bulan sebelumnya untuk mengambil jarak dari buku-buku yang saya baca, agar pengaruh buku-buku itu tidak menghantui saya dan menghancurkan rasa percaya diri saya dalam menulis. Sebaliknya, saat membaca buku, baiknya saya betul-betul fokus membaca saja dan tidak nyambi menulis. Saya tidak bisa melakukan kedua hal tersebut secara bersamaan. Seperti saya tidak bisa mencintai dua orang yang berbeda dalam waktu bersamaan. ***

[Cerpen] Hamidah Tak Boleh Keluar Rumah

$
0
0

Ilustrasi oleh Della Yulia Paramita



Hamidah Tak Boleh Keluar Rumah
Cerpen Bernard Batubara 



“Tinggallah di rumah saja, Hamidah, bintang-bintang di langit dan rembulan purnama tak menginginkanmu keluar rumah, mereka cemburu dengan parasmu yang eloknya mengalahkan kesempurnaan pesona dewi-dewi nirwana. Jika kau keluar juga, kau akan meletakkan hidupmu dalam bahaya.”

Begitu bunyi pesan suami Hamidah kepada istrinya yang kudengar dari cerita seorang lelaki tua pada suatu malam di warung kopiku. Lelaki itu datang dan dengan serta-merta berkata kepadaku, “Maukah kau dengar sebuah kisah, tentang seorang perempuan yang kecantikannya begitu berbahaya hingga bisa mengacaukan seisi alam raya dan memporak-porandakan semesta?”

...

How To Write Book Synopsis

$
0
0


Diambil dari blog Gagasmedia

Banyak penulis yang bingung membedakan antara blurbs dan sinopsis buku. Blurbs adalah penjelasan singkat tentang isi di back cover buku yang telah terbit. Tujuannya jelas untuk menarik minat baca (dan keputusan membeli) pembaca, jadi dibuat semenarik dan semenggelitik mungkin. Sedangkan sinopsis adalah ringkasan cerita—rata-rata 1-2 halaman—yang disertakan bersama naskah untuk dikirimkan ke penerbit. Berbeda tujuannya dengan blurbs, yang membaca sinopsis ini adalah tim redaksi, jadi pastikan kamu menjelaskannya dengan ringkas tapi tetap detail.
Dan sekarang, kamu pun bertanya-tanya: bagaimana sih caranya meringkas cerita dari novel beratus-ratus halaman menjadi sinopsis?

•    Pikirkan ide dasar novelmu  jelaskan perkembangannya di setiap bab.
Pertama-tama, sederhanakan ide cerita kamu jadi satu kalimat saja(ini disebut: PREMIS). Hindari deskripsi berbunga-bunga hanya supaya terdengar cool dan ‘dalam’. Daripada menulis ‘sebuah novel remaja tentang perihnya sebuah kehilangan itu’ akan lebih baik jika kamu menyebut ide dasar naskah kamu adalah tentang ‘seorang remaja cewek yang berusaha move on dari kesedihannya ditinggal mati pacar tiga tahunnya’.
Setelah itu, yang harus kamu jelaskan adalah kronologis cerita per babnya. Fokus deskripsi per bab nggak harus membahas semua kejadian, hanya yang penting-penting saja. Ceritakan saja scene atau situasi yang berhubungan langsung dengan plot utama cerita—dan sub plot penting yang juga terjadi di bab yang sama.
Kamu bisa memilih dua cara:
1) Satu paragraf untuk setiap penjelasan satu bab, atau
2) Sebutkan babnya dalam plot kamu.
•    Cek kembali sinopsis yang kamu buat.
Seperti yang tadi sudah dijelaskan, sinopsis idealnya 1-2 halaman.
 Sah-sah saja kalau kamu menginginkan sinopsismu sedetail dan sejelas mungkin, tapi harap pertimbangkan siapa yang akan membacanya: editor. Dan yang dia inginkan adalah penjelasan ringkas dan poin-poin penting terkait dengan isi cerita. Kalau si editor butuh tahu lebih detail dan lebih jelas lagi, dia akan membaca naskah kamu sampai habis.
•    Ingat-ingat prinsip sebab-akibat.
 Meskipun ringkas, bukan berarti sinopsismu jadi sulit dimengerti. Perhatikan alur penjelasan kamu dengan baik dan pastikan mengikuti logika.
•    Tetap harus menarik.
 Pastikan baik-baik cara kamu menulis sinopsis. Sekali lagi ingat: yang membaca sinopsismu adalah editor. Dan tujuan sinopsismu adalah memastikan si editor tertarik membaca naskahmu lebih lanjut. Bisa dibilang, sinopsis adalah cara kamu mempresentasikan naskah. Meskipun ringkas, bukan berarti jadi tidak menarik untuk dibaca.
•    Bongkar semuanya—tak boleh ada rahasia di dalam sinopsis.
 Hindari prinsip membuat blurbs dan malah membuat pertanyaan-pertanyaan tidak penting macam: “Bisakah A dan B bertemu kembali?” Atau: “Apakah A akhirnya mengetahui siapa yang menculik adik bungsunya?” Jangan. 
Jelaskan semuanya.


Contoh sinopsis buku:

JUDUL        :     YOU ARE MY FUTURE (BUT WHY ARE YOU MY PAST TOO?)
PENULIS    :     Crystal
TEBAL        :     80 halaman (32.123 kata) – kalau belum mulai ditulis naskahnya, berarti ini tidak ada
IDE DASAR (Premis)    : Tentang cowok yang jatuh cinta dengan orang yang pernah mempermalukannya waktu SMU dulu.

SINOPSIS

Dua belas tahun lalu (2000—bab 1), Rizal (cowok pemalu dan kutu buku) jatuh cinta pada pandangan pertama dengan cewek dancer di sekolahnya yang bernama Nina. Sebenarnya, Nina juga merasakan hal yang sama, tapi cewek itu terlalu gengsi dengan reputasinya dan kemudian merancang adegan memalukan saat jam istirahat: menolak Rizal mentah-mentah. Cowok itu ditertawakan habis-habisan dan bahkan setelah berbulan-bulan sejak itu pun dia selalu merasa mual karena trauma setiap pagi—saat sadar harus siap-siap berangkat sekolah.
Cut to: kejadian kini (2012—bab 2), Rizal yang semasa remajanya dikenal berpenampilan cupu dan agak nerdy tumbuh jadi sosok menawan dan atletis. Bukan itu saja, setelah lulus kuliah, cowok itu berhasil mendapat pekerjaan mapan di sebuah perusahaan asing. Seperti ingin balas dendam pada masa lalunya yang pahit, Rizal senang gonta-ganti pacar dan sangat alergi pada komitmen. Tapi semuanya berubah sejak bertemu dengan Nina (Rizal mengenalnya dengan nama lengkapnya, Arina), staf baru di kantornya. Cewek itu juga berubah banyak secara fisik maupun penampilan hingga Rizal pun tidak mengenali cewek itu adalah teman sekelasnya yang dulu.
Keduanya seperti cepat menemukan kecocokan satu sama lain. Rizal mulai mempertimbangkan untuk mencoba relationship serius dan Nina merasa cowok itu adalah sosok pacar yang dia idam-diamkan selama ini. Setelah berkencan beberapa kali (bab 4, bab 5), keduanya saling jatuh cinta. Meskipun beberapa kali sempat ada penghalang (Nina diganggu mantannya yang ternyata belum bisa menerima kenyataan bahwa hubungan mereka sudah berakhir—bab 6, tante Rizal yang sempat bermaksud menjodohkan keponakannya dengan putri teman arisannya—bab 8), hubungan keduanya malah semakin erat.
Rizal semakin mantap dengan keputusannya. Merasa Nina berhasil membuat dia ‘insyaf’ jadi playboy, dia pun kemudian berencana untuk melamar cewek itu saat reuni kecil-kecilan (hanya teman-teman klub KIR saja—bab 10). Alasannya, karena dia ingin sekalian juga ‘tutup buku’ buat pengalaman pahit waktu dia dipermalukan saat SMU dulu. Namun yang terjadi justru di luar dugaan Rizal. Setengah jam sebelum rencana melamar Nina di hadapan teman-temannya, Nina bercerita tentang bagaimana shallow-nya dia waktu SMU dulu (cerita deh tentang gimana dia menolak cowok yang naksir dia—which is maksudnya adalah Rizal). Rizal langsung pucat dan buru-buru menghambur keluar dari venue acara. Dan malam itu juga, saat Nina menelepon Rizal (bertanya kenapa cowok itu tiba-tiba menghilang dari acara—bab 11), cowok itu malah ends up memutuskan hubungan.
Nina yang sedih karena nggak mengerti kenapa tiba-tiba diputus sepihak begitu dan bingung harus bersikap seperti apa dengan kenyataan pahit ini, curhat ke teman baiknya, Karin. Karin, yang sejak bab pertama dijelaskan mengambil peranan sebagai ibu beruang yang sangat protektif ke Nina, jelas nggak terima teman baiknya diperlakukan seperti itu. Cewek itu langsung mencari tahu ke teman-teman Rizal. Akhirnya terbongkarlah bahwa masa lalu Rizal dan Nina bersinggungan di pengalaman pahit waktu SMU itu.
Nina kini marah dan memutuskan untuk konfrontasi langsung ke Rizal (bab 14). “Jawab, apa yang kamu cintai selama ini aku yang sekarang saja atau aku yang seutuhnya? Yang ternyata punya masa lalu buruk dan ada hubungannya dengan kamu?” Cowok itu tetap bersikeras dengan perasaannya. Dia bilang, masih belum bisa melupakan apa yang terjadi dua belas tahun lalu.
Nina kecewa dan dengan suara gemetar bilang, “Dan here I am thinking, you are the man I want to spend my life with....” Rizal berujar pelan, “I’m sorry.” Nina menggeleng, “No. Actually, I’m the one who should say sorry. Maaf karena aku salah menilai kamu selama ini.”
Meskipun mantap putus dengan Nina, Rizal tetap terlihat nggak bahagia. Cowok itu cerita ke sepupunya (dari tante yang menjodohkan dia dulu itu), dan dia malah dinasihati begini: “Waktu lo memutuskan buat melamar Arina—euh, Nina dulu, lo sendiri kan yang bilang mau tutup buku dari masa lalu penolakan memalukan waktu SMU itu. Lo bilang, masa lalu itu menghalangi kebahagiaan lo di masa depan.” “Lha, memang iya kan?” “Kalau begitu, lihat diri lo sekarang, nelangsa begini. Lo lagi berlari di tempat, Zal. Masa lalu lo jelas-jelas masih jadi batu sandungan buat masa depan lo.” Rizal terdiam (bab 15).
Setelah berpikir semalam suntuk (bab 16), cowok itu kemudian memutuskan untuk minta maaf ke Nina. Cewek itu tetap menolak, tapi Rizal nggak putus asa. Dia mengulangi proses nembak waktu dia SMU dulu. “Kita berdiri dengan posisi serupa seperti dua belas tahun lalu. Dan sekali lagi, di tangan kamulah keputusan untuk menentukan apa sejarah kita dulu akan berulang lagi malam ini....” Mata Nina merah, seperti mau menangis. “Aku nggak suka diintimidasi begini!” Rizal menggeleng. “Kamu salah. Yang aku lakukan sekarang simply hanya bermaksud untuk memperjuangkan cintaku ke kamu, Na.” Hati Nina melunak dan menerima permintaan maaf (plus lamaran) Rizal.
Cerita ditutup dengan adegan pernikahan Nina dan Rizal (bab 17)

1Q84, Haruki Murakami

$
0
0




Saya tak ingin bicara tentang kesepian atau kesendirian Murakami, saya sudah pernah membahasnya di catatan ini. Saya juga tak ingin membahas absurditas dan dialog-dialog Murakami yang cerdas, saya sudah pernah membahasnya pula. Pun, saya tak ingin membahas tentang adegan-adegan seks Murakami, saya sudah pernah menuliskannya di sini. Lalu, apa yang ingin saya bahas pada catatan kali ini? Saya ingin membahas tentang ceritanya saja. Hanya jalan ceritanya. Saya hanya ingin membahas 1Q84 sebagai 1Q84. Tanpa kesepian, kesendirian, absurditas, dan seksualitasnya.

1Q84 adalah buku ketujuh dari Haruki Murakami yang saya baca. Sebelumnya, saya membaca (sesuai urutan): Dengarlah Nyanyian Angin, Norwegian Wood, After Dark, What I Talk About When I Talk About Running, A Wild Sheep Chase, dan Blind Willow Sleeping Woman. Saya menunda membaca 1Q84 sebab buku tersebut terlalu tebal bagi saya yang belum menemukan mood dan stamina untuk membaca buku-buku kelewat tebal. Namun, karena setelah membaca enam buku Murakami dan saya merasa telah menemukan apa yang bisa saya temukan dalam karya-karya Murakami, akhirnya saya memutuskan untuk membaca karya grandeur dari Murakami, 1Q84. Bisa dikatakan, 1Q84 adalah puncak pembacaan saya terhadap Murakami (walaupun tidak menutup kemungkinan setelahnya saya masih akan membaca buku-buku Murakami yang lain).

Nah, mari kita masuk ke dalam 1Q84.

Dibuka dengan adegan yang cukup lambat, saya hampir melakukan skimming bahkan sejak awal novel. Namun, karena saya pikir novel tebal ini adalah buku terakhir Murakami yang akan saya baca, saya sudah bertekad untuk membaca 1Q84 dengan seksama. Maka saya tahan keinginan untuk skimming meski deskripsi adegan yang ditulis Murakami terasa bertele-tele dan dipanjang-panjangkan. Saya berpikir positif saja, mungkin pada adegan yang pelan tersebut terdapat petunjuk penting tentang cerita.

Saat mulai membaca, cukup banyak pertanyaan yang muncul di kepala saya. Pertama: mengapa dan bagaimana sopir taksi yang ditumpangi Aomame (yang taksinya tampak tak biasa itu) bisa mengucapkan kata-kata yang sangat filosofis? Aomame yang terjebak macet, mendapatkan petunjuk dari si sopir taksi diiringi kalimat semacam petuah amat bijak yang entah darimana datangnya: “…And after you do something like that, the everyday look of things might seem to change a little. Things may look different to you than they did before. I’ve had that experience myself. But don’t let appearances fool you. There’s always one reality.” Saya kira, sopir taksi misterius dengan mobil tidak biasa dan kata-kata filosofis itu adalah salah satu karakter sampingan penting yang akan muncul di bab-bab berikutnya, ternyata saya keliru.

Pertanyaan kedua: mengapa, meminjam istilah Murakami sendiri, out of the blue, Aomame teringat dan berpikir tentang Tamaki, sahabatnya? Pertanyaan ketiga: bagaimana Aomame bisa tahu banyak hal tentang senjata api (ia merasakan perubahan pada senjata yang dipakai polisi, bahkan ia menyebut Beretta dan Glock) sementara saat diberi pistol oleh Tamaru ia tampak seperti seorang yang betul-betul awam dan tak tahu-menahu perihal senjata api?

Di dalam 1Q84, Murakami seringkali menambahkan deskripsi atau informasi tambahan yang tidak perlu, sehingga paragraf-paragrafnya tidak efektif dan terkesan dipanjang-panjangkan. Kau hanya perlu membaca kalimat pertama atau terakhir dari paragraf Murakami, sebab di sana lah ide pokok paragraf tersebut. Lalu, kau bisa melakukan skimming pada sisanya dan takkan ketinggalan informasi yang signifikan sebab sisanya hanya deskripsi atau keterangan-keterangan pelengkap yang, kalaupun tidak dituliskan, tidak akan terlalu banyak berpengaruh terhadap ide utama atau tujuan paragraf tersebut. Murakami pun, misalnya, kerap mengulang-ulang informasi tentang gaya bicara Fuka-Eri yang bertanya tanpa membubuhkan tanda tanya. Seolah-olah Murakami tak percaya pembaca bisa menangkap karakter Fuka-Eri sejak pertama gadis unik itu diperkenalkan dalam cerita.

Saya hampir kecewa dan menutup 1Q84 ketika memasuki pertengahan Book 1 (1Q84 dibagi menjadi tiga bagian: Book 1, Book 2, dan Book 3), namun saya mencoba untuk bertahan. Usaha saya tak sia-sia. Ketika masuk ke Book 2, cerita 1Q84 semakin seru dan membuat penasaran. Saya terus membalik halaman demi halaman, ingin terus mengetahui apa yang akan terjadi dengan Tengo, Aomame, dan Fuka-Eri. Alur cerita yang tadinya berjalan dengan sangat lambat menjadi semakin cepat dan nilai dramatiknya meninggi. Ketegangan demi ketegangan dimunculkan dengan rapat. Membuat saya menahan napas di banyak bagian.

Saya kira, bagian terbaik dari 1Q84 adalah: semua elemen yang muncul dalam cerita, sekecil apapun itu, terkoneksi satu sama lain. If a gun appears in a story, it has to be fired at some point, kata Anton Chekhov. Murakami betul-betul melaksanakan nasehat ini. Tidak ada satu elemen cerita yang sia-sia dalam 1Q84 (kecuali tentang deskripsi pelengkap yang saya singgung di paragraf sebelumnya). Meskipun pistol yang diberikan Tamaru ke Aomame tidak jadi digunakan, namun elemen-elemen dalam cerita 1Q84 berdiri di atas kalimat Chekhov tersebut sebagai landasannya.

Di buku memoirnya What I Talk About When I Talk About Running, Murakami berkata bahwa maraton adalah olahraga lari yang paling cocok untuk dirinya. Dia tidak cocok dengan lari sprint, karena dia jenis orang yang “lama panasnya”, namun saat sudah panas ia bisa berlari sangat jauh. Kurang-lebih, kesan yang saya tangkap dari 1Q84 sama seperti pribadi Murakami saat ia berlari. Lama panasnya, namun semakin lama semakin baik. Coba untuk bertahan dengan lambatnya alur di bagian pertama, dan nikmati ketegangan demi ketegangan yang mulai bermunculan secara di intens di bagian kedua.

Pada Book 3, Murakami memunculkan penuturan dari sudut pandang tokoh lain. Ushikawa, seorang detektif partikelir yang disewa personel Sakigake untuk mencari Aomame, Tengo, dan hubungan antara keduanya. Sayangnya, lagi-lagi, saya harus menguap cukup lebar di bagian terakhir ini. Murakami tampak sudah ngos-ngosan dan berusaha keras untuk mencapai garis finish dengan target halaman yang telah ditentukan. Ia kembali memanjang-manjangkan cerita dan menuangkan begitu banyak detail yang sebetulnya tak penting-penting amat. Akibatnya, alur cerita jadi lamban dan membosankan. Seperti mi instan yang terlalu lama direbus.

Meski Murakami adalah seorang pelari maraton, namun untuk urusan fiksi saya merasa ia lebih tepat menjadi seorang sprinter. Cerpen-cerpennya menyenangkan, cerdas, padat, dan efektif. Ketika ia menulis novel yang sangat tebal, “Jepang”-nya mulai keluar dan bagi saya itu bukan hal yang membahagiakan. Saya dapat menyelesaikan 1Q84 hanya karena saya penggemar Murakami dan penasaran untuk menantang diri saya sendiri menyelesaikan 1Q84. Kalau kau bukan penggemar Murakami dan tak merasa tertantang untuk menyelesaikan sebuah novel setebal 1.157 halaman, saya bertaruh kau bahkan takkan sampai di seperlima bagian 1Q84. ***


Cerpen di Jurnal Nasional

$
0
0





Cerpen saya berjudul “Meriam Beranak” dimuat di Jurnal Nasional edisi Minggu, 26 Januari 2014. Cerpen ini berhutang inspirasi dari deretan meriam karbit di tepian Sungai Kapuas, Pontianak. Silakan membaca cerpen tersebut di sini: Meriam Beranak

[Cerpen] Meriam Beranak

$
0
0

Ilustrasi oleh Ida Bagus Gede Wiraga





Meriam Beranak
Cerpen Bernard Batubara
Dimuat di Jurnal Nasional, 26 Januari 2014


Sebelum menjadi sebatang meriam, dahulu ia adalah seorang perempuan. Setiap sore, seperti perempuan-perempuan lain yang tinggal dan hidup di tepian Sungai Kapuas, ia membasuh tubuhnya dengan air sungai terpanjang di negerinya itu. Dengan khusyuk ia bersihkan sudut demi sudut lekuk tubuhnya. Para lelaki yang telah beristri mengintip dari balik pintu dan jendela rumah mereka. Seraya menikmati siraman air dan cahaya senja dari Barat langit, ia mandikan pula anak lelakinya yang sematawayang. Janda beranak pengacau rumah tangga orang, kata para istri lelaki-lelaki yang mengintip dirinya. Kembang harum beranak satu, kata para suami penuh berahi itu.

...



Tips Menulis dari Italo Calvino

$
0
0



ITALO CALVINO adalah seorang jurnalis dan penulis berkebangsaan Italia. Beberapa bukunya yang terkenal: Our Ancestors, Cosmicomics, Invisible Cities, dan If on a Winter’s Night a Traveler. Calvino memperoleh banyak penghargaan untuk buku-bukunya, baik di Italia maupun di luar Italia. Wawancara berikut adalah hasil terjemahan bebas saya untuk sebuah artikel di The Paris Review. Saya tidak menerjemahkan keseluruhan wawancara tersebut, hanya mengambil bagian-bagian yang menurut saya penting. Ada beberapa hal bagus tentang menulis yang mungkin berguna bagimu dan tentu saja bagi saya sendiri.
Selamat menikmati.

Q:
Bagaimana caramu menulis?
CALVINO:
Aku menulis menggunakan pulpen dan kertas dan sering sekali melakukan revisi. Bisa kubilang, aku lebih banyak merevisi tulisanku sendiri ketimbang menulisnya. Saat bicara, aku harus berusaha keras menemukan kata-kata yang tepat, begitu pula saat aku menulis. Lalu aku akan menulis catatan tambahan dan beberapa interpolasi dan aku melakukannya dengan tulisan yang kecil-kecil. Ada saatnya bahkan aku tak bisa membaca tulisanku sendiri, jadi aku menggunakan kaca pembesar untuk melihat dengan jelas apa sebetulnya yang sudah kutulis. Aku punya dua bentuk tulisan tangan yang berbeda. Yang pertama dengan huruf-huruf besar dan jelas; aku menulis seperti ini ketika menyalin atau saat aku sudah yakin dengan apa yang kutulis. Yang kedua adalah tulisan dengan huruf-huruf yang kecil dan halus dan sulit untuk kubaca.
Halaman-halaman yang kutulis selalu dipenuhi dengan garis-garis coretan dan koreksi. Aku cukup banyak membuat manuskrip dengan tulisan tangan. Setelah manuskrip pertama selesai, aku mulai mengetik. Setelah aku melihat versi ketikannya, aku menemukan deretan teks yang terasa sama sekali berbeda dengan sebelumnya, dan aku membuat koreksi lagi. Pada setiap halamannya, aku mencoba merevisi dengan menggunakan mesin tik, lalu aku mengoreksinya lagi dengan tulisan tangan. Seringkali, saking banyaknya koreksi, manuskripku jadi sulit dibaca sehingga aku mengetiknya ulang. Aku iri dengan penulis-penulis yang bisa melanjutkan tulisannya tanpa melakukan koreksi.

Q:
Apa kau menulis setiap hari atau hanya pada hari-hari dan jam-jam tertentu?
CALVINO:
Secara teori, aku inginmenulis setiap hari. Namun, di pagi hari aku selalu mencari alasan untuk tidak menulis: Aku harus pergi keluar membeli koran atau membayar iuran. Aku selalu menyia-nyiakan pagiku sehingga akhirnya aku baru mulai menulis di siang hari. Aku bisa menulis di malam hari, tapi ketika aku melakukannya aku jadi tidak bisa tidur. Jadi aku menghindarinya.

Q:
Apa kau selalu membuat daftar yang spesifik untuk kau tulis? Atau kau menulis banyak hal dalam satu waktu?
CALVINO:
Aku selalu punya banyak proyek menulis yang kubuat sendiri. Aku punya daftar dua puluh buku yang ingin kutulis, tapi ada saatnya dimana aku sudah menentukan bahwa aku akan menulis buku itu. Aku hanyalah novelis musiman. Kebanyakan bukuku berasal dari tulisan-tulisan yang sangat singkat, cerita-cerita pendek, atau di kasus lain buku-bukuku memiliki satu ide yang utuh namun dibentuk dari beragam teks yang berbeda. Menulis sebuah buku yang didasari sebuah ide dasar sangat penting bagiku. Aku menghabiskan begitu banyak waktu untuk merancang bukuku, membuat beberapa outline yang ternyata tak berguna apapun untukku dan kemudian aku membuangnya. Hal yang menentukan sebuah buku ya tulisannya, materi yang mewujud pada halaman-halamannya.
Aku sangat lambat saat memulai menulis. Jika aku mendapatkan ide untuk novel, aku selalu menemukan alasan untuk tidak mengerjakannya. Jika aku mengerjakan kumpulan cerita atau tulisan-tulisan pendek, ada waktu-waktu tertentu untuk memulai setiap tulisan itu. Bahkan saat menulis sebuah artikel pun aku memulai dengan sangat lambat. Namun, saat aku sudah berhasil memulai, aku menulis cukup cepat. Dengan kata lain, sebetulnya aku menulis dengan cepat, tapi aku punya satu periode blank yang panjang. Kau tahu, seperti pada cerita-cerita tentang seorang seniman Cina yang hebat: raja memintanya untuk menggambar seekor kepiting, lalu si seniman menjawab “Aku butuh sepuluh tahun, sebuah rumah besar, dan dua puluh pelayan.” Sepuluh tahun berlalu, dan raja memintanya untuk menggambar seekor kepiting. “Aku butuh waktu dua tahun lagi,” kata si seniman. Setelah dua tahun, dia minta waktu lagi beberapa minggu. Dan akhirnya, dia mengambil pena dan mulai menggambar kepiting dengan gesit.

Q:
Bagaimana kau memulai tulisanmu, dengan mengumpulkan ide-ide kecil  yang tak saling berkaitan, atau sebuah konsep besar yang kemudian kau isi dengan detil-detil cerita?
CALVINO:
Aku memulai tulisanku dengan membayangkan sebuah gambar kecil, kemudian memperbesarnya.

Q:
Kau sempat tinggal di beberapa kota yang berbeda, berpindah-pindah dari Roma ke Paris ke Turin dan akhirnya ke rumahmu di dekat laut ini. Apakah tempat-tempat di mana kau sedang tinggal memberi pengaruh terhadap tulisan yang sedang kau kerjakan?
CALVINO:
Rasanya tidak, ya. Pengalaman saat tinggal sehari-harinya di sebuah tempat mungkin akan memberi kontribusi ide terhadap apa yang sedang kau tulis, tapi tidak berpengaruh apakah kau sedang tinggal di sini atau di sana saat menulis sesuatu. Saat ini, misalnya, aku sedang menulis sebuah buku yang berkaitan dengan rumahku di Tuscany, tapi aku bisa terus menulis saat aku tinggal di tempat lain.

Q:
Apa kau bisa menulis di kamar hotel?
CALVINO:
Aku pernah berkata bahwa kamar hotel adalah ruangan yang ideal untuk menulis: sepi dan tak terhuni. Tak ada surat-surat yang perlu kujawab dan tak banyak hal lain yang harus kulakukan. Dengan demikian, kamar hotel betul-betul ideal untuk menulis. Namun, ternyata aku membutuhkan ruang yang benar-benar milikku sendiri, mungkin sebuah goa. Meskipun, saat aku merasa ide-ide tulisan telah mewujud sangat jelas di dalam kepalaku, aku bisa saja menulis di kamar hotel.

Q:
Apa kau membawa bloknot dan pulpen saat bepergian?
CALVINO:
Ya, aku sering membawa-bawa bloknot dan outline tulisan. Selama sepuluh tahun belakangan, outline telah menjadi semacam obsesi bagiku.

Q:
Apakah novelis adalah para pembohong? Jika mereka bukan pembohong, kebenaran seperti apa yang mereka sampaikan?
CALVINO:
Novelis menyampaikan sekeping kebenaran yang tersembunyi di dasar setiap kebohongan. Bagi seorang psikoanalis, tidak penting apakah kau berbohong atau tidak, sebab kebohongan juga hal yang menarik dan sebetulnya menyingkap kebenaran.

Q:
Apa yang seharusnya seorang penulis lakukan: menulis hal yang mereka tahu, atau menulis hal yang seharusnya?
CALVINO:
Penulis menulis hal-hal yang mereka tahu. Aksi menulis adalah sebuah fungsi yang hanya efektif jika penulis mengekspresikan bagian terdalam dirinya. Seorang penulis akan menemukan batasan-batasan dalam aturan fiksi, misalnya jumlah baris dalam sebuah sonet, atau pakem-pakem pada prosa klasik. Bagian struktur yang seperti ini dapat ditangani oleh seorang penulis dan dia dapat membebaskan dirinya di dalam tulisannya lewat batasan-batasan itu. Kemudian, ada batasan-batasan sosial seperti agama, etika, dan hal-hal politis. Perihal seperti ini tidak bisa ditampilkan begitu saja di sebuah buku, melainkan harus melalui saringan dari si penulis sendiri. Hanya ketika hal-hal tersebut menjadi bagian dari diri si penulis sendiri lah, dia bisa memasukkan poin-poin itu tanpa terkesan memaksakannya. ***



Cerpen di Pontianak Post

Musikalisasi Cinta

$
0
0


Oleh Siti Ridhowati
Lirik diambil dari novel Cinta. 

Endru :
My favorite part is the dew
While yours is the sunrise
Days left us only a few
It's not forever but still nice
Nessa :
My favorite part is the leaf
While yours is the flower
I never want to leave
But it's also hard to get us together

Cerpen di Pontianak Post

[Cerpen] Sepasang Tangan Hanyut di Sungai Kapuas

$
0
0


Ilustrasi oleh Ida Bagus Gede Wiraga



Sepasang Tangan Hanyut di Sungai Kapuas
Cerpen Bernard Batubara
Dimuat di Pontianak Post, 2 Maret 2014


Di sebuah desa kecil, tak betapa jauh dari Sungai Kapuas, duduklah sejoli yang tengah dimabuk cinta. Si lelaki muda rupawan bernama Sarif, dan gadis jelita berambut gelombang yang ia genggam tangannya itu bernama Meihana. Mereka duduk di tepi sungai, tempat kesukaan mereka menghabiskan waktu, sekaligus melarikan diri dari sesuatu yang menjadi sandungan hubungan mereka.

...

Viewing all 402 articles
Browse latest View live