↧
Vienda [Poetry Reading] Di Tempat Biasa Kita Bertemu
↧
[Poetry Reading] Ini Senjaku feat. Nuara Shizkia
↧
↧
[Poetry Reading] Pada Sentuhmu feat. Nuara Shizkia
↧
[Poetry Reading] Aku Ingin Mencintai dan Melupakanmu dengan Sederhana
Saya membaca puisi "Aku Ingin Mencintai dan Melupakanmu dengan Sederhana"diiringi suara Nuara Shizkia (@nuarashizkia).
↧
[Poetry Reading] Pada Paragraf yang Begitu Singkat
Saya membaca puisi "Pada Paragraf yang Begitu Singkat".
↧
↧
[Voice] Love Is Right Menjadi CINTA. (cinta dengan titik)
Novel baru saya yang akan terbit, "Love Is Right" telah berganti judul menjadi "CINTA." (#cintadengantitik)
↧
[Talk Show] Kompas TV Pontianak / Khatulistiwa TV
Kamis, 22 Agustus 2013 saya numpang mejeng dan bicara soal buku dan film di tayangan "I Love Pontianak" di Kompas TV Pontianak / Khatulistiwa TV. Ini adalah penampilan perdana saya talk show di layar kaca. Haduh!
Berikut beberapa gambar yang diambil langsung dari televisi di rumah. Kami sekeluarga (saya, papa, mama, dan adik) nonton bareng acara tersebut. Hahaha.
- Bara
Berikut beberapa gambar yang diambil langsung dari televisi di rumah. Kami sekeluarga (saya, papa, mama, dan adik) nonton bareng acara tersebut. Hahaha.
- Bara
↧
Kopdar Fiksi Project
Kopdar Fiksi (KF). Langkah kecil saya untuk memunculkan lebih banyak lagi penulis-penulis muda di tanah kelahiran saya, Pontianak.
Sebetulnya, saya hanya membuat KF untuk Pontianak. Namun, setelah KF mulai berjalan, ternyata banyak permintaan dari daerah-daerah lain agar KF diadakan juga di kota mereka. Apa daya, karena hingga saat ini KF berjalan swadaya, dan saya pun harus menyelesaikan kewajiban lain, untuk sementara permintaan-permintaan itu belum dapat dipenuhi.
Saya bahagia melihat banyak sekali anak muda antusias menulis. Perkara apakah mereka akan awet dan konsisten, itu bisa dibangun, dan sebetulnya juga kembali ke motivasi masing-masing individu. Tetapi setidaknya, dari antusiasme yang dapat dilihat, menulis masih jadi hal yang menarik di mata anak-anak muda. Dan untuk saat ini, itu cukup. Sisanya, mereka tinggal dibimbing dan diberi petunjuk agar semakin tertarik dan mendalami dunia tulis-menulis. Salah satunya dengan KF ini.
KF adalah proyek idealis saya. KF juga adalah proyek jangka panjang. Saya punya banyak sekali rencana untuk wadah kecil ini. Dan sebagaimana proyek jangka panjang lainnya, hal utama yang diperlukan dan paling penting adalah konsistensi. Dan, saya selalu berdoa untuk diri saya sendiri: semoga saya bisa konsisten dengan apa yang sudah saya mulai.
Bismillah.
- Bara
↧
CINTA. (baca: cinta dengan titik)
"Mengapa cinta membuatku mencintaimu,
ketika pada saat yang sama
kau mencintai orang yang bukan aku?
Ketika telah membuka hati,
aku pun harus bersiap untuk kehilangan lagi.
Apakah setelah cinta memang harus selalu ada
air mata dan luka hati?
Kalau begitu,
bagaimana jika kita bicarakan satu hal saja.
Cinta.
Tanpa ada yang lain setelahnya.
Kita lihat ke mana arahnya bermuara."
Menghampiri akhir bulan Agustus, hendak memasuki September yang ceria, saya persembahkan buku kelima saya.
"Cinta." (baca: cinta dengan titik) adalah sebuah kisah tentang sepasang hati atau lebih, dan kisahnya tak semanis yang dibayangkan. Mungkin pahit, mungkin sakit, atau lebih dari itu.
Namun, pada akhirnya, cinta akan berhenti di satu titik. Tidak lagi memikirkan beribu koma yang telah berlalu. Cinta akan berhenti pada satu titik. Berhenti pada perhentian akhir, perhentian yang tepat.
Maka, terimalah persembahanku, "Cinta." [baca: cinta dengan titik] (Bukune, 2013). Akan hadir membawa kisah yang pilu ke hadapanmu, ke hatimu, bulan depan.
Selamat menanti perhentian cinta terakhirmu. Selamat menyambut titik itu.
- Bara
↧
↧
[PRE-ORDER] Cinta: cinta dengan titik.
Novel terbaru saya, Cinta. [baca: cinta dengan titik] (Bukune, 2013) telah dapat dipesan lewat pre-order di beberapa toko buku online. Pre-order Cinta. dimulai tanggal 1 - 4 September 2013, hanya selama empat hari. Selama empat hari tersebut, pembaca tercinta dapat memesan Cinta. Pengiriman buku untuk para pembaca yang memesan Cinta. lewat pre-order dilakukan pada tanggal 7 September, sehingga para pembaca bisa mendapatkan novel tersebut lebih awal dari toko buku offline.
Di toko buku offline, Cinta. baru akan beredar pada tanggal 12 September 2013. Akan butuh dua sampai tiga minggu untuk Cinta. beredar di toko-toko buku di pulau Jawa. Dan butuh waktu hingga sebulan, untuk Cinta. sampai di toko-toko buku di luar Jawa seperti Sumatera, Kalimantan, Bali, dan Sulawesi. Cukup lama, ya? Ya, begitulah. Namanya distribusi memang butuh waktu. Belum lagi jika di daerah pembaca sekalian tidak terdapat toko buku sama sekali, semakin susahlah mendapatkan Cinta.
Maka dari itu, jika pembaca tercinta sekalian ingin lebih cepat memiliki novel Cinta., pembaca bisa langsung melakukan pre-order di beberapa toko buku online yang telah ditunjuk. Selain mendapatkan dan bisa membaca Cinta. lebih dulu, lewat pre-order pembaca tercinta juga akan mendapatkan Cinta. dengan harga diskon + tanda tangan asli. Seru, ya? :D
Pembaca tercinta sekalian dapat melakukan pre-order di toko-toko buku online berikut:
Jadi, silakan memburu Cinta. Jumlah novel Cinta. yang tersedia untuk pre-order bertandatangan asli hanya 1.500 eksemplar. Jangan sampai kehabisan, ya!
~ Bara
↧
Puisi Saya di Kompas
↧
Cinta.
My new novel, "Cinta." [baca: cinta dengan titik] (Bukune, 2013) is now available in online book stores. Will be ready in Gramedia couple weeks later. Happy hunting! =)
You can buy the book online in these book stores:
(PS: the hand in the picture above is @windyariestanty's.
the photo is also hers. thank you, mbak w!)
You can buy the book online in these book stores:
(PS: the hand in the picture above is @windyariestanty's.
the photo is also hers. thank you, mbak w!)
↧
[Illustration] Cinta. by Luthfi Ahra
This is a cute illustration of fictional characters in my new novel, Cinta. Made by a young-talented illustrator, Luthfi Ahra. Visit her Twitter account: @luthfiahra.
The guy in the left is Demas. The girl in the middle is Nessa. The guy in the right is Endru.
What's their story? Well, you can buy the novel and read the story by yourself. =p
Anyway, thanks Luthfi for this cute picture! =D
The guy in the left is Demas. The girl in the middle is Nessa. The guy in the right is Endru.
What's their story? Well, you can buy the novel and read the story by yourself. =p
Anyway, thanks Luthfi for this cute picture! =D
↧
↧
Kisah Proses Penulisan “Cinta. (baca: cinta dengan titik)”
Semuanya bermula dari sebuah pesan singkat yang masuk di ponsel saya, pada suatu malam di bulan September 2012 silam. Pesan itu datang dari seorang teman perempuan. Saya membacanya dengan seksama. “Bara, kamu lagi sibuk nggak? Aku mau curhat.”, bunyi pesan itu. Karena saya merasa tidak sedang sibuk, saya balas pesan itu dengan, “Nggak kok. Ayo, kapan? Di Dunkin, besok?” Lalu teman saya membalasnya lagi, “Oke, besok malam ya. Jam delapan? Oh, Bara. Kamu harus bikin novel dari curhatanku ini.”
Kamu harus bikin novel dari curhatanku ini, katanya.
Saya agak terkejut memang mendapatkan pesan teks dari teman perempuan saya itu. Karena ini baru pertama kalinya ia mengirim pesan kepada saya dengan nada yang urgent. Seperti ia harus segera menyampaikan sesuatu. Kami sudah saling mengenal selama hampir setahun, dan baru kali ini ia mengirimkan pesan teks seperti itu.
Keesokan harinya, kami bertemu di tempat yang sudah disepakati pada malam sebelumnya, di sebuah kedai donat 24 jam yang terletak di jantung kota Yogya. Saya mendapati dia sudah duduk di satu sudut, menyambut saya dengan senyum lebar. “Hai, Bara!” sapanya. Saya membalas senyumannya dan mengambil kursi di hadapannya.
“Jadi, gimana? Apa yang ingin kamu ceritakan?” Saya bertanya, setelah basa-basi singkat tentang bagaimana kabar dia dan dia bertanya kepada saya bagaimana kabar saya dan kesibukan apa yang sedang saya jalankan.
“Kamu harus bikin novel dari curhatanku.” Jawabnya sambil tertawa.
“Ya, aku tahu. Tapi cerita dulu.” Saya berharap ia akan menceritakan sesuatu yang menarik dan memang layak untuk saya tulis menjadi sebuah novel. Dan, kebetulan, ketika itu saya sedang mencari ide untuk menulis novel baru saya.
Ia pun mulai bercerita. Saya mendengarkan dengan seksama. Belum seberapa jauh, saya sudah bisa menebak arah dari ceritanya. Dan, hanya sekitar sepuluh menit kemudian, tiba-tiba ia berkisah sambil mengeluarkan airmata. Saya sedikit terkejut, tapi saya tak berusaha untuk menenangkannya. Saya tatap saja matanya dan terus mendengarkan ia bercerita.
Merangkum kisahnya, teman perempuan saya itu sedang berada pada posisi yang tidak enak dalam sebuah hubungan. Ia sedang menjadi selingkuhan. Ya, selingkuhan. Ia sedang menjadi orang ketiga dalam hubungan orang lain. Ia berkata kepada saya, ia tidak tahu mengapa ia bisa terjerumus dalam situasi seperti itu. Ia tidak pernah berniat untuk merecoki hubungan orang lain. Lelaki yang ia cintai bahkan sudah memiliki seorang tunangan. Saya hanya menimpali ceritanya dengan sesekali bertanya “Mengapa?” Ia hanya menjawab, “Aku nggak tahu.”
Terus terang saya katakan, sekali waktu saya pun pernah menjadi selingkuhan. Dan, kebanyakan orang menganggap bahwa dalam sebuah perselingkuhan, si selingkuhan adalah satu-satunya pihak yang patut disalahkan. Seolah-olah si pelaku selingkuh tidak bersalah karena ia hanya sedang khilaf, dan yang diselingkuhi sama sekali suci sebab ia adalah korban. Saya katakan, bahwa saya pernah berada di ketiga posisi tersebut. Saya pernah selingkuh, saya pernah diselingkuhi, dan saya pun pernah menjadi selingkuhan. Dan, kesimpulan saya adalah, ketiga pihak tersebut sama-sama bisa disalahkan.
Setelah mendengar curhatan dari teman perempuan saya itu (tak jarang ia berkisah sambil menangis), saya memutuskan untuk mulai mencatat ceritanya. Saya katakan kepada dia, bahwa mungkin saya akan menulis kisahnya menjadi sebuah novel. Tentu saja dengan menggunakan tokoh-tokoh dan profesi yang lain dari yang sebenarnya. Namun, pada intinya peristiwanya adalah sama. Ide utama novel yang akan saya tulis adalah tentang perselingkuhan. Tokoh utamanya adalah si selingkuhan. Saya akan berkisah tentang perselingkuhan dari mata si selingkuhan. Tujuan saya menuliskan kisah ini adalah untuk membuka mata kebanyakan orang yang mengira bahwa dalam sebuah perselingkuhan, satu-satunya pihak yang patut disalahkan adalah si selingkuhan. Untuk membuka mata mereka lebar-lebar bahwa sebuah masalah harus dilihat dari berbagai sudut pandang. Dan untuk mengajak mereka agar tidak buru-buru menghakimi seseorang.
Selama dua bulan, saya mengumpulkan data dan materi untuk novel ini. Termasuk menggelar sesi curhat lanjutan sambil saya mewawancarai teman perempuan saya itu. Saya pun beberapa kali melempar survey lewat akun Twitter tentang tema yang akan saya tulis, yakni perselingkuhan.
Pada bulan November 2012, saya mulai menulis sinopsis, outline, prolog, dan bab pertama. Empat hal tersebut rampung pada pertengahan bulan. Saya pun melanjutkan menulis. Rencana jumlah bab adalah 15 bab, di luar prolog dan epilog. Saya tidak mengalami kesulitan yang berarti selama proses penulisan Love Is Right- judul awal manuskrip novel ini- sebab saya sendiri pernah mengalami kisah seperti yang sedang saya tulis.
Draf pertama selesai dalam waktu tak lebih dari tiga minggu. Rekor tercepat saya menyelesaikan sebuah novel. Draf yang masih kasar tersebut setebal 145 halaman Word spasi 1, ukuran huruf 12. Saya bangga mampu menulis sepanjang itu. Sebab saya belum pernah melakukannya.
Saya mengirim draf pertama ke Iwied, editor saya di Bukune, pada bulan Desember 2012. Saya memperkirakan, jika semuanya lancar, novel saya sudah bisa terbit pada bulan April 2013. Namun ternyata yang terjadi tidak seperti yang saya perkirakan. Naskah Cinta. bertahan cukup lama di penerbit. Hingga pada akhirnya saya baru menerima catatan revisi dari Iwied awal Mei 2013. Saya syok, karena draf pertama saya mendapat banyak sekali catatan poin revisi. Saya menghitungnya, tak kurang dari dua ratus poin revisi. Fyuh!
Saya lalu melakukan seperti yang biasanya saya lakukan setiap saat menerima catatan revisi naskah: saya menutup laptop, meninggalkan naskah tersebut, tak menyentuhnya sama sekali. Saya pergi ke bioskop, menonton film. Saya pergi ke kafe, membaca buku atau sekadar duduk-duduk minum kopi dan berbincang-bincang bersama teman-teman. Saya menyegarkan kepala terlebih dahulu, sekaligus untuk menenangkan diri yang syok mendapatkan dua ratus lebih poin revisi.
Akhirnya, setelah hampir dua minggu menelantarkan naskah tersebut, saya kembali membuka laptop dan mulai mengerjakan satu per satu poin revisi. Revisi berjalan hingga bulan Juli. Jika tidak salah ingat, naskah Cinta. mengalami tak kurang dari tujuh atau delapan kali bolak-balik revisi. Bahkan hingga sudah di-layout pun, Cinta. masih sempat direvisi. Tahap inilah yang paling menjengkelkan buat saya, lebih melelahkan daripada menuliskan draf pertamanya. Namun, saya sudah pernah melalui ini, dan saya yakin saya bisa melaluinya. Akhirnya, revisi pun selesai dan novel siap terbit pada akhir bulan Juli.
Masalah berikutnya adalah menentukan desain cover dan blurb. Cukup lama hingga akhirnya saya dan tim redaksi Bukune, penerbit Cinta., bersepakat dengan cover dan blurb yang ada sekarang. Proses penentuan dua hal penting tersebut memakan waktu hampir satu bulan. Hingga akhirnya Cinta. siap naik cetak, dan terbit pada bulan Agustus 2013.
Saya senang dengan novel saya yang kelima ini, Cinta., sebab di novel ini setidaknya saya telah berhasil menjawab dua tantangan yang saya tujukan untuk diri saya sendiri. Pertama, tantangan untuk menulis naskah novel yang lebih tebal dari yang sebelumnya. Kedua, tantangan untuk menulis dari sudut pandang perempuan (tokoh utama di dalam Cinta. adalah seorang perempuan), yang belum pernah saya lakukan.
Saya berharap, semoga Cinta. dapat diterima oleh para pembaca. Semoga Cinta. dapat menjadi bacaan yang menghibur, dan memberikan sesuatu yang berbekas pun berarti di diri para pembaca. Sebab, tentu saja, karena saya mengerjakan Cinta. dengan penuh cinta, maka saya berharap semoga para pembaca membaca Cinta. dengan penuh cinta pula.
Terima kasih. Selamat membaca Cinta.
- Bernard Batubara
#VirtualBookTour #CintadenganTitik
↧
"Cinta." Virtual Book Tour
Apa itu Virtual Book Tour?
Intinya, saya dan Bukune akan mengajak para pembaca tercinta untuk berjalan-jalan ke beberapa rumah digital, alias blog milik beberapa orang teman yang telah membaca dan menuliskan kesan-kesannya terhadap novel terbaru saya, "Cinta." Selama 16 hari atau dua minggu lebih, secara berturut-turut kita akan bertamu dari satu blog ke blog lain, untuk membaca bagaimana kesan dan pendapat orang-orang yang telah membaca Cinta. Penasaran? Saya juga. :)
Ke rumah siapa saja kah kita akan bertamu? Berikut jadwal Virtual Book Tour Cinta., tanggal dan alamat rumah yang akan kita kunjungi setiap harinya. Mari!
*diambil dari blog Bukune
Intinya, saya dan Bukune akan mengajak para pembaca tercinta untuk berjalan-jalan ke beberapa rumah digital, alias blog milik beberapa orang teman yang telah membaca dan menuliskan kesan-kesannya terhadap novel terbaru saya, "Cinta." Selama 16 hari atau dua minggu lebih, secara berturut-turut kita akan bertamu dari satu blog ke blog lain, untuk membaca bagaimana kesan dan pendapat orang-orang yang telah membaca Cinta. Penasaran? Saya juga. :)
Ke rumah siapa saja kah kita akan bertamu? Berikut jadwal Virtual Book Tour Cinta., tanggal dan alamat rumah yang akan kita kunjungi setiap harinya. Mari!
*diambil dari blog Bukune
Tanggal | Blog Host | Materi Blog |
14 September | Bernard Batubara | Kisah proses penulisan Cinta. (baca: cinta dengan titik) |
15 September | Linda Zunialvi | Review 1 |
16 September | Widyawati Oktavia | Cinta. (baca: cinta dengan titik) sebuah kisah dari editor |
17 September | Dimas Dasa | Review 2 |
18 September | Fatima Alkaf | esai foto untuk Cinta. (baca: cinta dengan titik) Bernard Batubara |
19 September | Yustie Amanda | Review 3 |
20 September | Adimas Imanuel Kevin Anggara | Cinta. (baca: cinta dengan titik) dalam puisi Bernard Batubara bertamu ke blog Kevin Anggara |
21 September | Alexander Arie SD | Review 4 |
22 September | Jia Effendie Miss Cicco | Cinta. (baca: cinta dengan titik) dalam Audio Blog |
23 September | Selviana Rahayu | Review 5 |
24 September | Aan Mansyur | Wawancara Aan Mansyur dengan Bernard Batubara |
25 September | David Ng | Review 6 |
26 September | Zenna Sabrina | Curhat Bernard Batubara selama proses Cinta. (baca: cinta dengan titik) |
27 September | Riyan Raditya | Review 7 |
28 September | Aditya Nugraha | Cinta. (baca: cinta dengan titik) sebuah review dari teman penulis |
29 September | @kevinanggara | Twittalk: Berguru soal kepenulisan dengan Bernard Batubara |
↧
[Cerpen] Bulu Mata Seorang Perempuan
Bulu Mata Seorang Perempuan
Are membaca buku di beranda kosnya sambil menyeruput segelas kopi hitam tanpa gula, ketika matahari tengah lindap ke telapak kaki langit di ufuk barat dan senja memamerkan kecantikannya seperti biasa. Pada halaman dua puluh tiga dari buku yang sedang ia baca, Are memicingkan mata. Ia melihat sehelai bulu mata menempel pada halaman buku tersebut. Bulu mata yang entah dari mana datangnya itu terbaring tepat pada halaman pembukaan bab tiga yang secara kebetulan berjudul: “Rindu”.
Kata ibu dan orang-orang dulu, sehelai bulu mata yang gugur dari tempatnya menandakan bahwa ada seseorang yang sedang merindukan pemilik bulu mata tersebut. Are menganggapnya konyol. Bagaimana bisa mengetahui apakah seseorang sedang merindukan orang lain jika ia tidak mengatakan langsung bahwa ia sedang rindu. Kurang kerjaan sekali, pikirnya, jika ada orang yang menebak-nebak dan menuduh bahwa seseorang sedang rindu kepadanya hanya lewat sehelai bulu mata yang gugur. “Tetapi rindu tidak selamanya mampu diucapkan, Nak,” kata ibu. Dan Are mengangguk saja.
Dari beranda kos, terdengar suara televisi di kamar salah seorang penghuni. Berita tentang penangkapan teroris. Atau setidaknya begitu yang samar-samar terdengar oleh telinga Are. Kemudian suara iklan layanan masyarakat, tentang pencegahan dan pengobatan kanker.
Sudah sepuluh tahun sejak ibunya meninggal. Kanker usus telah merenggut nyawa perempuan yang paling dicintainya itu. Are membayangkan jika ibunya masih hidup, pada pukul seperti ini ketika senja sedang terang dan merah-jingga menyorot beranda rumahnya, pasti ibu akan duduk di sebelahnya sambil mengiris buah mangga. Ibu akan meletakkan irisan daging mangga di atas piring kecil dan menyodorkannya kepada Are, sambil lelaki itu membaca bukunya. Tetapi sekarang di beranda tidak ada siapa-siapa selain dirinya, pikirannya yang menerawang ke masa-masa sepuluh tahun yang lalu, buku yang sedang ia pegang, dan suara berita televisi tentang penyerbuan teroris.
Lalu ia teringat Milana, perempuan yang ia cintai kedua setelah ibunya. Perempuan cantik itu pergi meninggalkannya dengan lelaki lain tepat setahun setelah Tuhan memanggil ibu. Perempuan yang mencintai senja itu telah menikah dengan lelaki yang tidak dicintainya. Perempuan itu dijodohkan dengan lelaki pilihan orangtuanya. Dan Milana, seperti pengakuannya kepada Are, tidak sanggup untuk menolak.
Lelaki yang dijodohkan dengan Milana adalah seorang dokter bedah. Are sempat kecewa dan menyesalkan sikap Milana yang seakan-akan tidak ada perjuangannya untuk mempertahankan hubungan mereka. Namun, pada titik tertentu, dalam masa-masa perenungannya Are merasa orang tua Milana pantas memilih lelaki tersebut. Sebab apa yang bisa diharapkan mertua dari seorang lelaki yang pekerjaannya hanya menulis? Are tidak pernah mengenakan kemeja, celana bahan, sepatu pantofel, dasi, dan duduk di balik kubikel kantor dan mendapatkan gaji sekali setiap bulan. Ia adalah lelaki yang hidup dalam ketidakpastian. Bukankah semua calon mertua membenci ketidakpastian?
Are hanya lelaki yang sehari-harinya berkutat dengan laptop tua yang ia pakai untuk mengetik naskah cerita-ceritanya dan berharap cerita tersebut berhasil menembus kolom seni di koran minggu kemudian mendapatkan honor yang juga tidak seberapa. Atau, berharap dewi fortuna menghampiri dirinya dan naskah yang ia kirim ke penerbit diterima dan diterbitkan menjadi buku dan terjual laris. Tentu saja kedua hal itu belum pernah terjadi. Setidaknya hingga saat ini.
Are meraih cangkir kopi dan menyeruputnya lagi. Ia menatap lekat-lekat sehelai bulu mata yang menempel pada halaman dua puluh tiga buku yang sedang ia baca. Ia tidak tahu itu bulu mata siapa.
Ia meminjam buku itu dari seorang teman yang ia kenal di perpustakaan kota. Temannya itu seorang perempuan. Mereka berkenalan seperti adegan di sinetron televisi: tak sengaja bersentuhan tangan saat meraih sebuah buku di salah satu rak. Are dan perempuan itu sama-sama kaget dan saling tatap. Tatapan perempuan itu mengingatkan Are pada tatapan Milana.
***
Jam meja menunjukkan pukul tiga lewat lima dini hari. Tak kurang dari tiga jam Are telah berkutat dengan halaman kosong di hadapannya. Pikirannya buntu. Tak satu pun kata keluar dari jemarinya. Ia membenci saat-saat seperti ini. Saat-saat di mana ia harus mendapatkan uang tetapi seluruh bagian otaknya tampak menolak untuk diajak bekerja sama.
Are hendak menyeruput kopi hitam dari cangkir yang bertengger di samping laptop. Hanya tersisa ampas. Ia meraih sebungkus rokok yang tergeletak di sebelah cangkir. Sudah habis. Sial, ia mengumpat dalam hati. Ia menimbang-nimbang untuk membeli sebungkus rokok di warung tak jauh dari rumah kos, namun ia ingat isi dompetnya tak terlalu setuju dengan keinginannya itu. Lebih bijak jika ia menggunakan uangnya untuk membeli sarapan atau makan siang nanti. Ya, mungkin itu keputusan yang lebih bijak.
Sejak lulus dari jurusan Sastra Indonesia, Are menggantungkan hidupnya pada kata-kata. Ia tak memiliki minat untuk mengenakan dasi, kemeja rapi, celana bahan, sepatu pantofel, dan kerja di bank seperti kawan-kawan kampusnya yang lain. Untuk apa kuliah sastra kalau pada akhirnya bekerja sebagai karyawan bank, pikirnya. “Uang lebih kuat dari kata-kata, kawan,” ucap seorang teman sejawatnya. Keesokan harinya, Are memutuskan untuk putus hubungan persahabatan dengan temannya itu.
Bagaimana bisa seseorang yang selama bertahun-tahun bergulat dengan kata-kata, bisa dengan mudahnya mengucapkan kalimat seperti itu? Kacau, pikir Are.
Are ingin membuktikan kepada temannya itu, bahwa kata-kata lebih kuat daripada uang. Oke, ia membutuhkan uang, tetapi ia akan mendapatkannya lewat kata-kata. Ia akan memegang dan menguasai dan mengendalikan uang dengan kata-kata. Kata-kata lebih kuat daripada uang. Kata-kata lebih kuat daripada uang. Are menanamkan keyakinan itu dalam-dalam di dasar kepalanya.
Tapi kini ia seakan terpaksa menelan kalimat temannya itu. Ia membutuhkan uang. Biaya kos sudah menunggak tiga bulan dan induk semangnya yang berwajah menyebalkan itu semakin rajin mengganggu tidurnya dengan menggedor pintu kamar dan menagih uang sewa. Tidur yang hanya satu-dua jam setiap harinya itu pun semakin terasa sia-sia, sebab begadang semalaman tak memberi Are pencerahan. Kata-kata yang keluar dari jemarinya terasa basi. Itu pun lebih sering tak keluar sama sekali.
Aku butuh inspirasi, batinnya.
Tiba-tiba ia teringat perempuan yang bertemu dengannya di perpustakaan kota. Are meraih ponselnya. Ponsel keluaran lama. Mungkin sudah tidak diproduksi lagi, dan dihargai sangat murah jika dijual. Are memencet beberapa tombol, lalu menempelkan ponsel ke telinganya. Ia menunggu.
“Halo? Hei. Are. Ada apa?”
Suara perempuan di seberang telepon terdengar merdu. Seperti suara seorang penyiar radio. Namun nadanya tampak sedang lelah.
“Maaf, mengganggu tidurmu.”
“Ah, kamu tahu aku belum tidur. Ini baru pukul tiga.”
Sesungguhnya, Are benar-benar tidak tahu perempuan itu belum tidur. Ia juga tidak tahu bahwa ia baru saja menelepon orang pada pukul tiga dini hari. Kalau yang ia telepon bukan perempuan itu, pasti ia sudah dimaki-maki.
“Aku lapar. Mau cari makan di luar. Kamu mau ikut?”
“Ah, yaa… Aku juga lapar sekali. Uh. Perutku sudah berteriak-teriak dari tadi. Tapi jam segini hanya ada rumah makan cepat saji, ya?”
“Tak ada pilihan lain.”
“Aku tunggu di luar kosku, ya. Jangan ngebut, santai saja. Jaket kamu jangan lupa dipakai.”
Are menutup telepon. Rumah kosnya tak seberapa jauh dari rumah kos perempuan itu. Hanya sekitar lima belas menit naik motor. Sejak pertemuan pertama dan perkenalan mereka dua bulan lalu di perpustakaan kota, Are dan perempuan itu menjalin komunikasi. Tidak begitu intens. Hanya saat Are hendak meminjam atau mengembalikan buku, atau mengajak perempuan itu makan siang. Kadang juga ia mengajak perempuan itu keluar makan pada jam-jam dini hari seperti ini. Ini yang ketiga kalinya.
Setelah mengganti celana pendeknya dengan blue jeans, Are menyambar jaket yang bergantung di balik pintu kamar. Ia mengenakannya. Ia meraih tas ransel butut dan memasukkan laptop tuanya ke dalam. Matanya menangkap buku yang ia baca tadi sore terbaring di atas meja kerjanya. Buku yang ia pinjam dari perempuan itu, yang pada halaman pembukaan bab tiga yang bertajuk “Rindu” terselip sehelai bulu mata, entah milik siapa.
Are memasukkan buku itu ke dalam tasnya.
***
Meski telah membungkus tubuhnya dengan jaket yang cukup tebal, dingin angin malam masih menembus ke dadanya juga. Are merapatkan jaketnya dan memasukkan kedua tangannya ke dalam kantong jaket. Di depannya, ada perempuan itu. Ia tampak begitu khusyuk menyeruput secangkir kopi hitam, lalu membetulkan helai rambutnya yang terjatuh ke permukaan meja. Dengan gerakan yang lembut dan menawan, perempuan itu mengikat rambut panjangnya dan membentuknya menjadi seperti sanggul kecil.
“Apa yang sedang kamu tulis?”
“Entah. Aku kehabisan ide. Buntu.”
“Jatuh cinta lah.”
“Hah?”
“Jatuh cinta lah. Kamu pasti akan dapat banyak ide.”
“Mustahil. Jatuh cinta malah bikin kepala seseorang semakin buntu.”
Perempuan itu menyunggingkan senyum. Sekali lagi menyeruput kopi hitam di hadapannya yang masih mengepul asapnya. Are memperhatikan wajah perempuan itu. Setelah beberapa pertemuan (yang hanya singkat), ia baru sadar, perempuan itu mirip betul dengan Milana, perempuan yang meninggalkannya demi lelaki lain yang dipilihkan untuknya. Ia bahkan takkan heran seandainya perempuan itu tiba-tiba berkata bahwa dirinya adalah saudara kembar Milana.
“Kamu sudah membaca buku yang aku pinjamkan itu?” tanya si perempuan.
“Oh, ini?” Are mengeluarkan sesuatu dari dalam tas ranselnya, dan meletakkannya di atas meja. “Aku belum selesai. Tapi sejauh ini aku suka. Mellow sekali kisahnya.”
Perempuan itu meraih buku tersebut dengan tangan kirinya. Pada lengan perempuan itu, Are melihat semacam tato. Tidak begitu jelas bentuknya. Sepertinya sebuah kalimat dalam bahasa asing. “Setiap berada di antara tumpukan buku,” si perempuan berbicara seraya membuka-buka halaman buku tersebut di depan wajahnya seolah sedang membaca, “aku selalu merasa bahwa aku sedang berada di dalam surga.”
“Aku pun!” Are berseru. “Heran sekali, perpustakaan banyak yang sepi.”
“Tapi toko buku masih ramai.”
“Tetap saja. Bagaimana mungkin orang-orang tidak berminat. Sudah gratis, bisa baca di tempat dengan nyaman. Dan banyak buku-buku penting yang tidak perlu membayar untuk membacanya.” Are meminum kopinya, dahinya berkerut. “Kalau aku punya nyali, sudah kucuri perpustakaan-perpustakaan itu. Daripada tersia-siakan.”
“Atau dibom saja. Seperti para teroris itu.”
“Ya, dibom saja.”
“Kamu lihat televisi belakangan?”
“Jarang. Aku tidak begitu suka menyaksikan berita-berita yang penuh rekayasa.”
“Aku lihat di televisi. Sedang marak penangkapan teroris ya?”
“Oh, ya, kalau itu aku sempat mengikuti. Cukup menarik melihat bagaimana aparat berusaha membuat masyarakat percaya bahwa yang mereka tangkap itu adalah teroris betulan.”
“Jadi menurutmu berita tentang teroris itu juga rekayasa?”
“Negara akan melakukan apapun untuk mengalihkan perhatian masyarakat terhadap kasus-kasus dan isu yang lebih penting.”
Perempuan itu menyeruput kopinya lagi. Ia memegang cangkir dengan kedua tangannya. Seolah hendak memeluk tubuh cangkir yang hangat itu dan berusaha menyerap panas cangkir ke telapak tangannya yang putih dan tampak halus. Are memperhatikan sekali lagi garis-garis wajah perempuan itu. Betul. Perempuan itu mirip sekali dengan Milana. Apakah perempuan itu memang Milana? Sepertinya tidak mungkin. Sebab kalau iya, pastilah Are sudah mengenal perempuan tersebut sebagai Milana. Atau sebaliknya, perempuan tersebut mengenal Are sebagai mantan kekasihnya yang telah ia tinggalkan. Tetapi pertemuan pertama mereka di perpustakan kota dua bulan yang lalu adalah pertemuan dua orang asing. Mereka saling mengenal sebagai teman yang baru.
“Kamu sendiri, apa yang sedang kamu kerjakan?”
“Tidak ada yang istimewa. Hanya menggambar beberapa rencana bangunan.”
“Ah, ya. Kamu arsitek? Aku melihat buku yang kamu pinjam di perpustakaan saat pertama kali kita bertemu. Bangunan apa yang sedang kamu gambar?”
“Ada seorang konglomerat yang ingin membangun sebuah perpustakaan pribadi. Cukup besar, dan waktu yang diberikan sangat mepet. Jadi, aku harus begadang setiap hari untuk menyelesaikannya.”
“Aku takjub masih ada konglomerat yang tertarik dengan perpustakaan.”
Perempuan itu tersenyum. Angin dini semakin terasa menusuk. Are bersidekap, berusaha menghalau rasa dingin yang kian menyusup ke dalam tubuhnya. Perempuan di depannya mengangkat sebelah tangan, melihat ke arah arloji kecilnya. Lalu, untuk yang terakhir kalinya, ia menyeruput kopi hitam di depannya. Kali ini ia meraih cangkir hanya menggunakan sebelah tangan. Ia meletakkan cangkir kopi kembali ke atas meja, lalu beranjak dari kursi.
“Sudah pagi. Pulang, yuk?”
Are melihat arlojinya. Hadiah ulang tahun dari Milana. Ia mengenakan benda itu di tangan sebelah kiri. Pukul lima lebih dua puluh lima. Matanya pun sudah terasa sepat, tapi tak ada satu pun ide tulisan tersangkut di kepalanya. Sial, pikirnya. Ia pun memutuskan untuk pasrah dan berencana untuk tidur setelah mengantar perempuan itu pulang.
“Berita penangkapan teroris itu bisa jadi ide cerita yang bagus, lho.” Perempuan itu tiba-tiba menceletuk. Mereka sedang berjalan menuju parkiran motor.
“Ah, kenapa tidak pernah terpikir olehku? Ya, ya… Sepertinya menarik.” Are naik ke atas motornya dan meloloskan kunci ke dalam lubang, kemudian menyalakan mesin. “Cerita cinta tentang sepasang kekasih, namun si perempuan tidak tahu bahwa ternyata kekasihnya adalah seorang teroris. Lalu…”
“Sudah. Teruskan saja di kos nanti,” kata perempuan itu, tertawa kecil melihat semangat Are yang tiba-tiba muncul setelah mendapat ide tentang teroris darinya.
***
Are terbangun di atas kasur dengan seprei yang berantakan, bantal kepala dan bantal guling yang entah ke mana, dan buku-buku berhamparan di atas lantai di sebelahnya-seperti biasa. Ia menguap sekali dan lebar. Ia mengerjapkan mata, memicing, melihat jarum penunjuk waktu pada jam meja kecil di ujung kasurnya. Pukul sebelas siang. Ia berencana untuk menghabiskan waktunya di perpustakaan kota hari ini. Mencari inspirasi untuk tulisannya. Mungkin sampai malam.
Ide cerita tentang teroris yang keluar dari celetukan perempuan itu terdengar menarik baginya. Memang, selama ini ia selalu menulis kisah cinta yang semakin lama semakin terasa membosankan. Namun, jikalau ia harus menulis kisah selain cinta, tulisannya seperti sulit untuk laku. Tapi dengan ide tentang teroris itu, ia tetap bisa menulis kisah romansa, dengan dibungkus isu yang sekarang sedang marak ditayangkan di televisi. Ia percaya diri, dapat menembus koran nasional dengan menggunakan ide kisah romansa teroris ini. Brilian.
Are bangkit dari kasurnya yang sudah tipis. Ia melangkah ke pintu dan menyambar handuk putih kusam yang bertengger pada gantungan. Ia melihat televisi tabung empat belas inci yang duduk di atas meja rendah di dekat kasurnya. Sudah lama ia tak menyalakan benda tersebut. Percakapannya dengan perempuan itu beberapa jam yang lalu membuat ia ingin menyaksikan sesuatu di televisi. Mungkin ada yang bisa membuatnya terinspirasi. Berita-berita mengenai penangkapan teroris itu, misalnya, mungkin dapat memberinya informasi lebih untuk ide cerita yang akan ia tulis nanti. Meskipun ia sendiri telah yakin bahwa peristiwa penangkapan yang sedang gencar itu adalah rekayasa aparat semata.
Dengan handuk di pundak, Are pun jongkok di depan televisi itu, menyalakannya dengan memencet tombol pada televisi tersebut sebab remotnya telah lama rusak dan ia sama sekali tak berniat untuk memperbaikinya atau menggantinya dengan remot baru. Beberapa kali penjual remot keliling melewati kosnya, namun ia tak tergerak untuk memanggil penjual dan mengganti remot televisi yang rusak.
Layar televisi yang agak berdebu itu menunjukkan sebuah gambar. Tayangan berita dalam negeri, namun tajuk acaranya ditulis dengan menggunakan bahasa Inggris. BREAKING NEWS. Pembaca berita yang tampak anggun dengan kemeja rapi dan pemulas wajah yang tebal membacakan berita dengan intonasi khas pembaca berita. Are mendengarkan dengan seksama, anehnya.
Pembaca berita yang cantik itu mengatakan bahwa baru saja telah terjadi sebuah ledakan bom di perpustakaan kota, sekitar lima menit yang lalu. Are terperanjat. Lekas ia memencet tombol volume agar suara televisi lebih nyaring terdengar. Matanya memicing, menangkap gambar yang sedang ditayangkan. Tampak perpustakaan kota yang sudah diselimuti api dan asap hitam yang membubung tinggi. Gila. Kalau ia berangkat lebih awal ke perpustakaan, beberapa menit lebih awal saja, ia bisa jadi korban dalam ledakan itu.
Si perempuan cantik pembaca berita melanjutkan, tak ada korban jiwa dalam peristiwa ledakan. Ada satu kejadian yang aneh sebelum ledakan terjadi, seperti dituturkan oleh seorang saksi. Saksi tersebut adalah salah seorang pengunjung perpustakaan, yang mendapat sepotong kertas kecil bertuliskan sebuah kalimat pendek: “Keluar sekarang juga.” Saksi mengatakan ia tidak tahu dari mana datangnya sepotong kertas itu, atau siapa yang menulis. Ia hanya menemukan kertas tersebut di atas mejanya saat ia baru hendak membaca buku. Ketika ia menoleh ke kiri dan kanan, ia mendapati pengunjung perpustakaan yang lain juga tampak kebingungan seperti dirinya. Ternyata, pengunjung lain mendapatkan sepotong kertas yang serupa. Berisikan tulisan yang sama. “Keluar sekarang juga.”
Awalnya, saksi cuek saja. Namun, saat mulai membaca buku, ia mendengar sayup-sayup seperti suara detak jarum jam, namun agak beda. Tik, tik, tik… Ia bisa mendengar suara itu. Tik, tik, tik… Ia menoleh ke pengunjung perpustakaan yang lain. Masih tampak raut bingung di wajah mereka karena sepotong kertas misterius itu. Bahkan, beberapa terlihat cemas. Akhirnya, satu-dua orang melangkah saja keluar perpustakaan tanpa tahu apa maksud sebenarnya dari kertas itu dan siapa yang menulisnya dan untuk apa. Si saksi, ikut-ikutan cemas sebab ia mendengar suara tik, tik, tik… itu. Seperti suara, bom? Pikirnya. Tetapi, ah, tidak mungkin, ia membatin. Namun kemudian ia teringat akan berita-berita penangkapan teroris di televisi. Jaringan teroris internasional yang dalam beberapa bulan belakangan mulai terungkap dan diburu akibat kasus bom bunuh diri (maupun yang tidak bunuh diri) di beberapa kota. Suara seperti detak jarum jam (kini ia yakin suara itu bukan jarum jam, tapi suara bom waktu) semakin nyaring di telinganya. Akhirnya, ia pun memutuskan untuk menyusuri sudut-sudut perpustakaan. Suara tik, tik, tik… itu cukup jelas, berarti jikapun ada bom, benda tersebut tak terletak terlalu jauh.
Betul saja. Saat saksi menyusuri rak buku demi rak buku (ia mengikuti suara tik tik tik itu), ia mendapati satu titik pada sebuah rak buku di mana suara tersebut semakin keras terdengar. Ia menyingkirkan sebuah buku. Dan, olala, ia melihat rangkaian kabel melekat pada sampul belakang sebuah buku dalam barisan buku-buku yang rapi itu. Ada jam digital pula menempel bersama kabel-kabel tersebut. Jam menunjukkan detik 00:15 dan terus menghitung mundur. Mata saksi terbelalak, lekas ia berlari keluar perpustakaan sambil berteriak, “Ada bom! Ada bom! Keluar semua, keluar!”
Are masih tak percaya dengan apa yang dilihatnya. Ia meraih ponsel yang tergeletak di pinggir kasur, dan menghubungi perempuan temannya yang berbincang-bincang bersamanya tadi malam. Ingin tahu apakah si perempuan sedang menyaksikan berita di televisi. Are menempelkan ponsel di telinga. Nada sibuk. Ia mencoba lagi. Tetap nada sibuk. Dahinya berkerut. Tidak biasanya perempuan itu mematikan ponsel. Setidaknya, seingat Are, perempuan itu selalu mudah untuk dihubungi.
Berita ledakan masih terus ditayangkan di televisi. Sepasang mata Are tak lepas dari layar. Pembaca berita memberi informasi lain seiring gambar perpustakaan penuh api dan asap yang belum berhasil dipadamkan sepenuhnya oleh pemadam kebakaran.
Pikiran Are terbelah dua. Antara memikirkan perpustakaan kota yang baru saja meledak, dan perempuan itu yang tidak bisa ia hubungi. Are hendak mendatangi kos perempuan itu, tetapi baru saja ia berdiri dan hendak mengganti pakaian, ponselnya berbunyi. Are melihat layar ponselnya. Nomor tak dikenal. Mungkinkah perempuan itu?
“Halo?”
“Hai, Are. Lama tidak ngobrol, ya.”
“Milana?”
“Tenang saja. Seperti yang kamu lihat di televisi, tidak ada korban jiwa. Buku-buku yang terbakar pun bukan buku-buku asli. Semuanya kopian, bajakan. Buku-buku yang asli seluruhnya selamat, dan kini sudah berada di tempat yang tepat.”
“Apa maksudmu? Hei, Milana?”
Panggilan terputus.
Are buru-buru memencet tombol panggil dan menghubungi nomor tak dikenal barusan. Sembilan tahun tak ada kabar dari Milana. Mantan kekasihnya itu. Ia pun tak berniat untuk menghubunginya, setelah ia tahu Milana kini bersuamikan seorang dokter bedah. Di lain sisi, Milana pun tak pernah menghubunginya. Namun, sekarang, di tengah peristiwa yang masih tak ia percaya telah terjadi, tiba-tiba saja Milana menghubunginya dan mengucapkan kalimat-kalimat yang ia tak mengerti. Tak ada korban jiwa? Buku-buku yang terbakar? Apa maksudnya...
Nada sibuk terdengar saat Are mencoba menghubungi nomor Milana. Sialan, ia mengumpat dalam hati. Beberapa saat kemudian, ponselnya berbunyi lagi. Kali ini sebuah pesan singkat telah masuk. Dari nomor yang lain lagi. Pula nomor yang tak terekam dalam memori ponsel Are.
Hai, Are. Kamu suka buku yg kupinjamkan?
Belum sempat Are membalas, pikirannya telah menerawang bebas.Di televisi, masih berlangsung berita ledakan di perpustakaan. Kali ini api telah sepenuhnya padam, namun asap masih membumbung tebal. Orang-orang masih berkerumun di pinggir-pinggir jalan, menonton peristiwa yang menyedot perhatian itu.
Are membaca pesan di layar ponselnya. Mendengar pembaca berita membacakan peristiwa ledakan. Membiarkan pikirannya melayang kepada perempuan yang baru ia kenal dua bulan lalu dan meminjaminya sebuah buku dan kini menghilang. Memikirkan Milana.
Milana…
***
↧
Pada Mulanya: Kematian
Pada Mulanya: Kematian
Oleh Bernard Batubara
bersama: Glen Duncan dan Ilham Q. Moehiddin
Senin, 14 Oktober 2013
Pada Mulanya
Meskipun saya telah mengetahui bahwa saya, dan kita semua, adalah makhluk biologis yang hidup dan kelak akan mati, saya tetap merasa takut dengan kematian. Setiap berbicara soal kematian, bahkan hanya sekadar mengingat hal apapun tentang kematian, saya merasa seolah-olah apapun yang saya lakukan dalam hidup ini, semua rencana dan cita-cita saya, prestasi dan hal-hal yang telah saya kumpulkan seumur hidup saya, seperti tak berarti apa-apa. Kelak, ketika saya mati, saya tahu hal-hal seperti itu tak berarti apa-apa lagi dan menjadi hal yang paling tidak signifikan di hadapan kematian.
Dahulu, saya selalu merasa kematian berada begitu jauh dari saya. Seperti, saya sedang berada di dalam kamar di rumah orangtua saya, dan kematian berada di ujung dunia. Saya merasa jarak saya dengan kematian begitu jauh dan tak akan tertempuh dalam waktu yang sebentar. Saya merasa kematian adalah orang asing yang tak saya kenal dan ia pun tak mengenal saya, dan kecil kemungkinannya bagi kami untuk saling kenal. Saya merasa kematian begitu sibuk dengan pekerjaannya menemui orang-orang asing lain dan saya bukanlah subjek yang menarik bagi dirinya untuk saat ini.
Saya melihat kematian di mana-mana, setiap hari, dan hal tersebut tidak mengubah perasaan saya bahwa kematian masih berjarak demikian jauh dari saya. Saya merasa bahwa saya masih begitu muda dan terlalu dini untuk mati. Bahwa banyak orang yang jauh lebih muda dari saya dan mereka telah mati, itu hal lain bagi saya. Saya merasa masih banyak hal yang akan dan harus saya lakukan, dan demikian saya percaya Kematian masih memberi saya waktu, yang cukup panjang, untuk melakukan hal-hal yang ingin saya lakukan.
Belakangan saya tahu, mengapa saya merasa kematian masih sangat jauh padahal saya melihatnya setiap hari, yakni, mungkin, karena orang-orang yang dihampiri Kematian adalah orang-orang yang tidak saya kenal. Saya tidak mengenal bayi yang mati dibunuh orang tuanya sendiri itu. Saya tidak mengenal remaja yang mati gantung diri sebab diputuskan cintanya oleh kekasihnya itu. Saya tidak mengenal perempuan yang mati dibakar oleh suaminya yang cemburu sebab mencurigai istrinya selingkuh itu. Saya tidak mengenal mereka semua, sebab itu saya merasa kematian masih berada begitu jauh dari saya.
Hingga adik lelaki saya meninggal pada tahun 2007 di usianya yang kedelapan karena penyakit usus buntu. Saya berusia delapanbelas tahun saat itu. Ketika mendengar kabar itu dari ayah, saya masih tidak percaya apa yang telah terjadi. Saya masih merasa kemtian berada begitu jauh dari kami. Saya masih merasa kematian sedang sibuk menghampiri orang-orang lain, orang-orang asing yang tidak saya kenal. Tetapi sekarang saya harus menghadapi kenyataan yang mengejutkan dan tidak pernah saya sangka bahwa kematian telah menghampiri adik kandung saya sendiri, orang yang sangat saya kenal.
Mencari Kematian
Saya ingat sebuah adegan dalam cerita Harry Potter and The Deathly Hollows, novel terakhir dalam serial Harry Potter karangan Joanne Kathleen Rowling. Tiga orang sahabat berhadapan dengan Kematian yang menyamar dan mengabulkan apapun permintaan mereka. Satu dari mereka meminta jubah tembus pandang yang membuatnya berhasil bersembunyi dari Kematian, yang telah menjemput dua orang lain. Ia berhasil mengelabui Kematian. Hingga pada akhirnya ia telah menua dan mewariskan jubah tembus pandang kepada anaknya, kemudian ia bertemu Kematian seperti sahabat lama.
Setelah kematian adik bungsu saya enam tahun yang lalu, saya merasa kematian ternyata tidak betul-betul asing bagi kita. Kematian adalah seorang kawan lama. Sahabat yang terus memantau dan mendampingi kita. Ia tidak berada jauh. Bahkan, ia sangat dekat. Mungkin ia selalu berdiri sepuluh sentimeter dari tengkuk kita. Mungkin ia merangkul pundak kita setiap saat dan melihat kita menemui teman-teman dan menonton film di bioskop atau minum kopi di kafe. Ia tidak asing dan ia tidak jauh.
Saya tidak pernah mencari kematian. Saya percaya, tidak perlu repot-repot mencari kematian, sebab ia sendiri yang akan menemui kita, di tempat yang tepat, waktu yang tepat, dan semoga untuk alasan yang tepat. Yang saya lakukan hanyalah menikmati kehidupan dan melakukan hal-hal yang membuat hidup (juga kematian) saya bermakna.
Seminggu yang lalu saya menonton film Rush, tentang pembalap formula-1. Ada sebaris dialog yang saya ingat di sana: “The closer you are to death, the more alive you feel.” Artinya: semakin kau mendekati kematian, semakin kau merasa hidup. Saya merasa kalimat ini memberi jawaban yang tepat terhadap pertanyaan mengapa orang-orang bermain-main dan mencari pengertian akan kematian.
Kematian, hingga saat ini, masih berupa misteri jika dilihat dari tidak ada satu pun manusia yang tahu kapan kematian akan menghampirinya. Apakah kamu tahu kapan kematian akan menghampirimu? Mungkin kamu bisa memperkirakan kapan waktu kematianmu, tetapi kematian bisa saja datang lebih cepat atau lebih lama. Mungkin kamu ditodong oleh seseorang di pinggir jalan atau kamu hendak terjun dari puncak gedung atau menggantung dirimu dengan tali, tetapi lagi-lagi bisa saja kematian belum ingin menghampiri saat itu. Kamu mungkin terluka dan kamu tetap hidup.
Membuka Tangan untuk Kematian
Bulan November 2012, tahun lalu, saya mengalami kecelakaan motor yang cukup parah. Saat itu saya baru pulang dari mengantar kekasih saya ke terminal dan saya mengendari motor dengan mengantuk. Pada jalan sempit yang lengang saya tidak merasa akan menabrak sesuatu, hingga di perempatan kecil sebuah motor melintas dari arah kiri dan saya menghantam mereka dengan kecepatan 75 km/jam.
Untuk beberapa detik (atau menit, saya tidak tahu) saya tidak bisa berpikir apa-apa. Tiba-tiba saya sudah duduk di luar warung yang tutup dan orang-orang berkerumun di sekeliling. Saya melihat orang yang saya tabrak masih terbaring di pinggir jalan, dengan kaki, tangan, dan kepala yang berdarah. Saya melihat tanpa bisa berpikir. Saya berusaha mengingat apa yang telah terjadi. Beberapa orang menanyai saya namun saya tidak bisa mendengar jelas dan mencerna ucapan mereka. Saya melihat telapak tangan kanan saya berdarah, begitu pula dengan telapak kiri. Bibir bawah saya berdarah dan kulitnya terkelupas, saya menyentuhnya dan tak merasakan apa-apa. Lengan kiri saya sepertinya telah terseret aspal, namun saya hanya melihatnya dan tak merasakan apa-apa juga. Saya hanya terdiam, bingung, dan masih mencoba mengingat apa yang barusan terjadi. Pada saat saya sadar telah terbaring di tempat tidur di rumah sakit dan luka di telapak tangan kanan saya dibersihkan oleh perawat dengan alkohol, barulah saya mendesis kesakitan.
Tujuh tahun sebelum peristiwa kecelakaan itu, saya melukai diri saya sendiri tanpa sengaja. Saya sedang mengeluarkan sepeda motor dari dalam rumah, dan ketika motor melewati pintu rumah, besi standar motor tersebut tersangkut di jempol kaki saya dan membuat kukunya tercerabut dari tempatnya. Darah segar menetes dari jempol kaki saya namun saya hanya melihatnya. Saya mencolek darah tersebut dengan jari telunjuk dan membauinya. Secara iseng, saya menjilat sedikit darah di telunjuk saya hanya karena penasaran dengan rasanya. Saya tidak merasakan apa-apa ketika peristiwa itu terjadi. Saat saya membersihkan dan mencuci luka tersebut dengan air dan menetesinya dengan betadine, barulah saya merasa kesakitan.
Saya rasa kematian tak berbeda jauh dengan dua peristiwa yang saya ceritakan barusan. Pada detik kematian menjemput kita, kita akan merasakan sesuatu yang nihil. Seperti tiba-tiba saja pikiran dan ingatan kita hilang atau dihilangkan. Kita tidak akan merasakan apa-apa. Tetapi, tentu saja, itu hanya dugaan saya.
Kebanyakan cerpen yang saya tulis bicara tentang kematian. Sesungguhnya, itu adalah salah satu usaha saya untuk mengakrabkan diri kematian, mengenalnya, agar saya tidak terlalu merasa takut terhadapnya. Manusia takut terhadap sesuatu yang tidak mereka ketahui. Dengan menulis cerita-cerita tentang kematian, saya mencoba untuk mengetahui sedikit lebih jauh tentang kematian dengan cara yang menyenangkan. Saya berharap, semakin sering saya menulis tentang kematian, semakin saya merasa akrab dengannya dan tak terlalu khawatir lagi ketika ia pada akhirnya menjemput saya.
Tetapi, saya toh masih merasa takut setiap kali naik pesawat terbang.
***
↧
↧
[Short story] Goa Maria
Goa Maria
A short story by Bernard Batubara
Translated by Toni Pollard
It was unthinkable to Suhana that she’d have to wait such a seemingly endless long time. She was forced to remain patient. One of her good friends told her, “To be patient is a test from God and it goes on forever.” Forever? Yes, forever. Suhana felt she’d have to remain patient for far longer than that. Even though she could barely breathe or stem the flow of tears.
Wanto was the boy’s name. And he’d promised Suhana that he’d meet her. At the usual time and at the usual place, the Goa Maria swimming pool. But the meeting never took place. There was not even a glimpse of a hair on his head. No, even though the row of acacia trees had shed the last of their leaves and the seasons had rolled around. Still Suhana waited.
Suhana’s first meeting with Wanto had been quite unplanned. Maybe it was God who’d planned it, Suhana whispered to herself. At the time she’d been playing around on the edge of the Goa Maria swimming pool, swinging her legs over the surface of the water. All of a sudden she was startled by a hand pushing her from behind causing her to fall in. As she gasped for breath under the water she could faintly hear the sound of someone laughing. She panicked, as she didn’t know how to swim. Eyes squeezed shut, hands and legs groping in the hope of connecting with something, she knew the pool was deep, more than three meters, and she felt that nothing she did would be of any use.
Suhana felt everything go dark when a firm hand grabbed her encircling her body, and brought her up to the surface. Coughing her heart out on the edge of the pool, Suhana was still able to make out the faint voice of someone very angry: “What are you? Some kind of lout to treat a woman like that!”
The person who’d just rescued her was a boy. He’d left straight away once he’d assured himself that Suhana was fine. Even while Suhana was still in shock from what had just happened, she was certain of one thing-she had to thank him.
***
Some time passed before Suhana found out from a friend that the boy who had been her angel of mercy in broad daylight that time was someone called Wanto. He was the son of Wak Mahmud, the vegetable seller in the market. She remembered a few occasions when she’d shopped there but had never seen Wanto. Maybe back then Wanto was of no importance to her so she hadn’t even noticed him.
Suhana wasted no time in thanking Wanto when they met again again one day at Goa Maria. She had only just found out that he in fact worked there as the pool cleaner. Each Thursday he cleanded out the pool. There were no visitors on Thursday, as a sign on the gate read: “POOL CLOSED FOR CLEANING TODAY”. However Suhana came anyway, the sole visitor every Thursday while Wanto was working. Wanto wondered why she came even though the pool was drained. All she did was sit on the edge and watch him scrub the sides and bottom of the pool, smiling from time to time. But gradually he got used to it, even enjoyed it. Suhana was like a goddess who motivated him, giving him the energy to work.
In short, they began to like each other. Suhana saw him as a dashing angel while he saw her as a sweet and cheerful goddess. They declared their love by the edge of the pool, blessed by the hundreds of leaves falling from the acacias. “It seems our love is too heavy for the branches to bear,” Wanto said with a smile. Suhana was embarrassed. Too heavy? Yes, their love was great which made it heavy, unable to be supported by the leaves of the acacias along the main road and beside the pool at Goa Maria.
“So we have to support our love ourselves,” replied Suhana, smiling at Wanto. Their eyes met in the air, piercing the invisible mist, forming a thread between them. They were bound to each other in that gaze and they each fell, disappearing into the eyes of the other. Ah, all it takes is a pair of eyes to make someone fall further and deeper in love.
***
“What do you mean, Hana? The boy’s nothing but the son of a vegetable seller. He doesn’t even have a job! How could you possibly love him?”
“But, Father, love has got nothing to do with whose son he is or what work he does,” Suhana sobbed.
“You’re out of your mind! You think you can live on sprouts and cabbages? Or do you plan to live on love alone?”
“Father, this is a matter of the heart. I’m sure, given the chance, Wanto’s going to find a more suitable job.”
“Matter of the heart indeed. You’d do better just to eat heart!”
Haji Samad, Suhana’s father, left the room slamming the door behind him. Suhana knew he was angry, but she was angry too. Why did he have to see Wanto in terms of whose son he was and what job he did? Wasn’t love a matter of the heart and of feelings and of trust? Her heart and Wanto’s were already tightly bound. They loved each other and she was sure Wanto was faithful. So what was the problem? Suhana wept and buried her anger deep inside.
“That’s enough, Hana. You deserve a better man. That’s all your father wants for you,” said her mother as she gave her a hug.
Suhana didn’t say anything. She felt it was useless arguing with her father and mother. Her father was too fixed in his thinking and her mother was too submissive. She and Wanto really did have to support their love themselves. They had no one but themselves to rely on. It was their love. A heavy love, Wanto had called it. A great love, Suhana had responded.
The following day Suhana went to Goa Maria to see Wanto. Strangely, he wasn’t there although it was the day he worled. Even if it hadn’t been a Thursday he’d normally be there anyway. Maybe he had something on and would come later, Suhana said to herself. So she waited.
Days went by with no news from Wanto. She’d gone to Goa Maria several times, but hadn’t seen him. The last few days she hadn’t been able to get there because of helping her father with his Koranic teaching at home. Then calamity struck in the form of some bad news: Wanto had got a girl pregnant. Suhana was completely floored by it! She couldn’t believe it, but almost the whole village was talking of it. The girl was the daughter of the fish merchant, and Wak Mahmud had already made plans to marry them off.
“I told you that boy wasn’t right for you. So you believe me now,” snapped Haij Samad, after the visitors had left.
Suhana couldn’t wait to hear Wanto’s side of the story. She wanted to hear for herself from the boy who had become her angel.
She went straight to Goa Maria. It was crowded with people, some jogging others swimming. It wasn’t a Thursday but surely Wanto would be there-had to be there, she thought. She looked nervously around hoping to catch sight of him, but he was nowhere to be seen. She was on the point of despair when a voice suddenly called out to her.
“Hey, Hana!” The old man she knew to be the caretaker at Goa Maria was shuffling towards her. “Here’s a letter for you.”
Suhana frowned as she took the sheet of paper from the old man’s wrinkled hand. Anxiously she opened it and read it in silence:
Forgive me, Suhana. Truly. What am I compared to you, the virgin daughter of a haji? I’m just the son of vegetable seller, with no job, as I’m sure your father says, right? I love you and our love is not wrong. It’s just that I don’t want you to waste your time on a man who has an uncertain future like me. You should marry that soldier who came to Goa Maria one day. You’ll be snapped up! There is no way you won’t get a good man who’s well off.
Once again, forgive me. In all sincerity I never for moment intended to hurt you, let alone do you any harm. I value you as highly as any man can. I’m going to marry Diana, the daughter of the fish merchant next to my father’s market stall. My father is getting old and I don’t want to raise his hopes too high. Approaching you and thinking I can have you is like raising my father way into the sky then letting him drop when your parents reject me. So I’ve chosen what’s right for me and for my father too.
But to me, Suhana, you will always be the goddess who motivates me. I promise I’ll meet you as soon as the wedding is over. Yet again, forgive me.
“Wanto doesn’t work here any more. He’s gone to his in-laws’ place and will probably be staying there with his wife,” the old man said, once he knew she’d read the letter. “So if you mean to wait around for him, I’ll tell you now, there’s no point.”
Suhana didn’t say anything. She knew her heart had been broken when she’d first heard the rumours. And now she had no longer had any idea what state her heart was in.
The afternoon prayers had been hours ago and now at the sunset, the call to prayers reached into the far corners of the village. Suhana was still sitting on the edge of the Goa Maria pool, waiting in vain. She just stared at the surface of the water, her face blank. Amidst the disappointment, hope, anger and sadness, everything mingled in the ripples from her dripping tears. If I throw myself in maybe Wanto will come and rescue me again, she thought.
At the deserted Goa Maria pool Suhana drowned herself. Wanto never did come back.
***
↧
Bagaimana Caranya Menjadi Penulis
Bagaimana Caranya Menjadi Penulis?
Saya selalu bingung menjawab pertanyaan itu. Pertanyaan, yang, entah mengapa masih juga sering saya terima. "Bagaimana caranya menjadi penulis?" Untuk pertanyaan itu, saya lagi dan lagi, dan selalu menjawab: "Ya, menulis lah." Saya katakan dengan tegas kepadamu, tak ada cara lain untuk menjadi penulis, selain: menulis.
Ada dua “K” yang penting dalam menulis, yaitu komitmendan konsisten. Mau menjadikan menulis kegiatan yang (terasa) mudah? Jadikanlah kebiasaan. Menulislah dengan rutin. Kamu bertanya, mengapa sih terasa susah mewujudkan ide di kepala menjadi tulisan? Itu karena tidak membiasakan diri menghubungkan kepala dengan jari tangan. Menulis, sama halnya seperti orang bermain gitar. Apa yang ingin dimainkan, kunci-kunci dan nada-nada di kepala, harus terhubung dengan jari-jari tangan. Bagaimana caranya? Ya, biasakan dan rutin berlatih. Rutinitas akan membuat kegiatan yang kita lakukan terasa mudah, karena kita sudah terbiasa. Begitu pula dengan menulis.
Menulis adalah keterampilan. Dan, seperti halnya keterampilan lain, kamu hanya akan terampil jika rajin berlatih. Tak ada orang yang tadinya tak bisa menulis kemudian tiba-tiba menjadi penulis besar dalam semalam. Ada proses yang harus dilewati. Proses inilah yang tak semua orang tahan menekuninya. Ada yang tumbang sejak awal. Ada yang menyerah di pertengahan. Kamu akan mendapatkan hasil yang setara dengan proses yang telah kamu jalani. Malas berproses? Kamu takkan jadi apa-apa.
Banyak juga yang bertanya, bagaimana saya bisa terlihat begitu cepat menyelesaikan naskah buku-buku saya? Baiklah, akan saya jawab.
Satu metode yang selalu saya pegang dan terapkan setiap menulis adalah: "Menulis cepat. Menulis buruk.".Menulislah dengan cepat. Menulislah dengan buruk. Baru kemudian naskah yang buruk tersebut diperbaiki dengan menyunting. Kamu tak bisa menyunting naskah yang tak ada. Menulislah dengan cepat dan buruk. Jangan dulu khawatirkan bagusnya. Jangan bebankan kepalamu dengan keharusan menulis bagus pada tahap pertama. Menulislah dengan cepat dan bebas, meskipun hasilnya (sudah pasti) buruk.
Kebanyakan penulis pemula (saya juga) kesulitan menyelesaikan tulisannya karena mereka menulis sambil menyunting/mengedit. saya katakan kepadamu, jangan menulis sambil menyensor. Tulislah apapun yang kamu pikirkan. Tak masalah kalaupun jelek. Itulah yang saya lakukan pada naskah-naskah cerpen maupun novel saya. Saya menulis cepat, dan saya menulis buruk sekali. Berikutnya yang saya lakukan adalah menyunting naskah buruk tersebut, menjadi naskah yang baik. Ingat, "writing is rewriting".Naskah, draf pertama adalah sampah. Tak mungkin kau menghasilkan naskah yang sempurna pada tahap pertama. You need to rewrite your draft.
Jadi:
1. Menulislah buruk, menulislah cepat.
2. Jangan menulis sambil menyensor.
3. Write first, edit later.
Lalu, pertanyaan berikutnya yang sering datang kepada saya adalah, "Ide tulisan sudah nyangkut di otak, tapi pas mau nulis malah hilang. Bagaimana?" Ya, saat nyangkut di otak, langsung catat, tuliskan. Beres. "Kapan waktu yang tepat untuk menulis?" Waktu yang tepat adalah waktu kamu merasa ingin menulis. Dan jika kamu betul-betul cinta menuils, kamu akan selalu merasa ingin menulis. Satu hal yang perlu juga diperhatikan adalah, temukan waktu yang paling enak untuk kamu menulis. Beberapa penulis lebih enak menulis saat pagi hari setelah bangun tidur. Beberapa yang lain pada tengah malam sebelum tidur. Terserah. Yang penting kamu selalu menyediakan waktumu untuk hal yang kamu cinta. Untuk menulis.
Tentang inspirasi? Inspirasi bisa didapat lewat dua cara: (1) Ditunggu saja (datangnya tiba-tiba), dan (2) dipancing. Jangan manjakan dirimu dengan hanya menunggu. "Bagaimana caranya memancing inspirasi?" Oh, banyak sekali cara yang bisa kamu lakukan untuk memancing datangnya ide tulisan. Observasi, baca buku, bermain lempar kata, dan lain-lain. "Bagaimana kalau kehabisan ide?" Saya katakan, mustahil kita kehabisan ide. Kamu hanya malas berpikir dan tidak peka. Ide selalu bertebaran di sekelilingmu. "Di tengah menulis kehilangan ide. Bagaimana?" Itu bukan kehilangan ide. Dugaan saya, kemungkinan kamu tak pernah membuat kerangka cerita/outline. "Sedang menulis sesuatu, tapi datang ide baru." Catat idemu dulu, lalu kembali fokus pada tulisan yang sedang dikerjakan. Jangan kabur dari naskah yang setengah selesai hanya demi ide baru. Terus berlari kepada ide baru yang tampak lebih menarik dengan meninggalkan naskah separuh jadi hanya menunjukkan ketidakmampuanmu menyelesaikan apa yang sudah kamu mulai.
Biasakan menulis. Kamu tak bisa mengharapkan naskah yang bagus, jika kamu hanya menulis sekali dalam seminggu, atau sekali dalam sebulan. Menulislah yang banyak. Kuantitas menuju kualitas. Seiring kamu semakin banyak menulis, koneksi otak ke jari-jarimu semakin baik. Ketika koneksi otak ke jari-jarimu semakin baik, mengeluarkan kata-kata untuk menjadi sebuah tulisan tak jadi sulit lagi.
Yang terpenting juga dalam menulis, pasang target/deadline. Mustahil kamu menyelesaikan novelmu dengan segera jika kamu tak memasang deadline untuk dirimu sendiri. Tidak memasang deadline membuatmu malas-malasan, dan kamu jadi mengulur-ulur waktu menulismu. Target dan deadlinemembuatmu bisa mengukur seberapa banyak yang harus kamu tulis setiap harinya. Memberimu tanggungjawab dan "keharusan". Misal: saya ingin menulis novel 100 halaman. saya pasang target 2 bulan (60 hari). Berarti, setiap harinya saya harus menulis minimal 2 halaman.
Bukan hal yang begitu berat, bukan?
Kira-kira begitulah, jawaban yang bisa saya berikan untuk beberapa pertanyaan yang paling sering muncul terkait menulis. Semoga mencerahkan. Dan yang terpenting, segeralah mulai menulis!
- Bara
↧
Semakin Banyak Pilihan, Semakin Baik
Semakin Banyak Pilihan, Semakin Baik
Sebut saja Wahyu, seorang teman saya, seharusnya satu jam yang lalu tiba di tempat saya duduk saat ini di sebuah kafe dan membicarakan soal rencana proyek buku yang akan kami kerjakan bersama. Namun, hingga saat ini batang hidungnya belum juga muncul. Entah sedang di mana dia sekarang. Saya sudah memesan gelas kopi kedua dan Wahyu, teman saya itu, tak juga datang-datang.
Saya mengirim pesan lewat messenger ponsel kepada Wahyu, tapi tak mendapatkan balasan. Pesan terakhir Wahyu kepada saya adalah: “Otewe.” Yang ia maksud adalah, on the way, alias sedang dalam perjalanan. Entah dia sedang dalam perjalanan menuju ke mana, apakah ke tempat saya berada saat ini atau ke tempat lain. Wahyu sudah membuat saya menunggu terlalu lama.
Sambil membaca-baca Bumi Manusia Pram, saya membuka linimasa Twitter. Olala, alangkah kagetnya saya ketika melihat username Wahyu muncul sebagai tweet baru di linimasa, satu menit yang lalu. Artinya ia belum otewe karena masih sempat-sempatnya ia mencuit di Twitter. Kacau betul teman saya itu. Segera saya kirim direct message kedia:
To @mungkinwahyu: Oi, lama sekali. Lagi di mana?
Cepat Wahyu membalas, tak seperti ketika saya mengirimnya pesan lewat messenger.
From @mungkinwahyu: Masih di jalan, Bar. 10 menit, oke?
To @mungkinwahyu: Sudah satu jam kutunggu. Lihat messenger-mu, aku kirim pesan berkali-kali di sana. Lihatlah.
From @mungkinwahyu: Oh, iya iya, he he he maaf. Lagi nggak lihat messenger. Kamu kirim lewat messenger lain sih.
To @mungkinwahyu: Cepatlah. Kalau dalam 10 menit kau tak sampai, aku pergi.
From @mungkinwahyu: Meluncur, bos!
Kadang saya heran dengan Wahyu, untuk apa pakai ponsel canggih alias smartphone kalau dia menjadi semakin sulit untuk dihubungi. Padahal, saya ingat waktu pertama kali Wahyu membeli smartphone, dia begitu bangganya dengan smartphone miliknya itu seakan-akan tak ada lagi ponsel yang lebih baik dari yang dia punya.
“Kamu harusnya beli juga smartphone seperti punyaku ini, Bar.” katanya sambil menggerak-gerakkan jari di atas layar sentuh ponselnya. “Kamu pasti akan tampak lebih trendi.”
Tampak-lebih trendi? Jadi sebetulnya trendi hasil dari menggunakan ponsel tersebut hanya sebuah “tampak”? Hanya sebuah “sepertinya? Sementara kenyataannya tidaklah demikian. Lagipula, saya tidak yakin apakah saya ingin atau butuh untuk menjadi trendi. Maka saya tidak mengindahkan pernyataan (atau suruhan) Wahyu untuk membeli ponsel seperti smartphone miliknya itu.
Sepuluh menit kemudian Wahyu tiba. Tergopoh-gopoh ia menghampiri saya.
“Susah betul kuhubungi kamu, Wahyu.”
“Masa? Messenger-ku aktif terus, kok.”
“Aku kirim lewat messenger lain. Aku kan nggak pakai messenger seperti yang kamu pakai, lupa ya?”
“Oh, iya!” Wahyu menepuk dahinya. “Ya, sori, lagian kenapa sih kamu nggak pakai messenger-ku saja? Kan jadi susah komunikasinya.”
“Kenapa kamu masih pakai messenger yang itu saja? Kan jadi susah komunikasinya.” Saya membalas. Wahyu tertawa terbahak-bahak.
Sejenak kemudian Wahyu bangkit dari kursi dan memesan minuman. Setelah kembali ke meja, ia meletakkan ponselnya sambil memandanginya dengan tatapan khawatir. Seolah ia sedang menatap anak sematawayangnya yang sedang terserang sakit.
“Kenapa, tiba-tiba kusut begitu?”
Wahyu menghela napas dalam. “Lama-lama messenger aku ininggak bisa diandalkan. Sering pending. Tadi pacarku ngomel-ngomel, gara-gara aku lama membalas pesannya, padahal memang nggak ada masuk message dari siapapun.”
“Terus, kenapa masih pakai messenger itu?”
“Ya, bagaimana, teman-teman dan rekan kerja semuanya masih komunikasi pakai aplikasi messenger yang ini. Orangtuaku juga.”
“Suruh ganti saja.”
“Nggak mungkin semudah itu lah. Masa aku tiba-tiba kirim broadcast message ke semua kontakku dan menyuruh mereka semua mengganti ponselnya dengan yang lain? Bisa dilempar charger nanti kepalaku ini.”
“Tidak harus menyuruh mereka semua. Setidaknya, kamu mulai untuk dirimu sendiri. Ganti dengan smartphone lain. Yang lebih bisa diandalkan. Jangan hanya karena alasan banyak yang pakai dan supaya tampak trendi.” Aku mengulang alasan Wahyu membeli smartphone yang sekarang ia pandang dengan wajah muram itu.
“Tapi messenger-kusekarang sudah berkembang, lho, Bar. Ada voice message-nya juga.”
“Tapi koneksinya bagaimana?”
“Sering nggak terkirim, sih. Harus betul-betul bagus baru bisa lancar.”
“Tuh, kan.”
Dengan santai, saya menyantap sepotong red velvet di atas piring kecil sambil masih membaca Bumi Manusia Pram. Mengagumkan betapa Nyai Ontosoroh mampu belajar dan menyerap pengetahuan-pengetahuan Eropa untuk kemudian menjadi bekal baginya berdiri di kaki sendiri tanpa bergantung dengan siapapun. Seharusnya Wahyu, teman saya ini, juga belajar dan menyerap pengetahuan baru bahwa smartphone yang ia pakai saat ini sudah tidak trendi dan sudah tidak dapat diandalkan lagi untuk berkomunikasi sehari-hari.
“Tapi kalau aku nggak pakai inilagi, nanti pacarku ngomel-ngomel lagi. Dia kan juga hanya pakai messenger ini.”
“Justru semakin lama kamu pakai itu, semakin menjadilah pacarmu itu ngomel-ngomel kepadamu akibat komunikasi kalian terhambat oleh pending-pending itu.”
“Iya, sih. Betul juga.”
“Sudah saatnya beralih ke smartphone yang lebih mumpuni. Demi pekerjaanmu dan demi pacarmu.” Saya menghabiskan potongan red velvet terakhir, kemudian mengambil tisu dan menyeka mulut.
“Apa rekomendasimu, Bar?”
“Samsung.”
“Jenisnya? Tipenya?”
“Samsung Galaxy Ace 3, seperti yang kupakai ini. Tampilannya muda, bersih, santai, seperti aku dan kamu juga.”
“Ah, bisa saja. Apa kelebihannya?”
“Yang jelas sudah sangat lengkap dan banyak ragam aplikasi messenger-nya. Bisa berkomunikasi dengan smartphone manapun.”
Wahyu tampak menimbang-nimbang. Tangan kirinya meraih ponsel saya dan menggenggamnya, sementara tangannya yang lain mengusap-usap ponselnya. Seolah-olah ia sedang berpikir keras untuk menentukan mana dari dua orang gadis yang tampak menggoda yang harus dipilihnya menjadi kekasih. Yang satu sudah jamak dipakai orang lain sehingga membuat Wahyu merasa ia tampak trendi jika memakainya juga. Yang satu lagi rekomendasi dari saya yang menawarkan solusi untuk omelan pacarnya akibat miskomunikasi pada messenger mereka.
“Tapi, di ponselmu ini kan nggak ada messenger sepertiku,” katanya.
“Ada banyak chat messenger lain di dunia ini selain yang kamu pakai itu, Wahyu.” jawab saya. “Dan lebih bisa diandalkan ketimbang punyamu.”
“Tapi, bagaimana dengan pacarku? Rekan kerja? Orang-orang lain?”
“Orang-orang lain juga sudah banyak yang meninggalkan messenger yang kamu pakai itu, tak tahukah kamu?” Saya menutup buku Bumi Manusia di hadapan, meninggalkan sejenak Minke dan Annelies untuk meyakinkan teman saya ini akan sesuatu yang masih belum bisa ia terima. “Mereka pergi dari yang lama sebab telah sadar bahwa ada yang baru yang lebih bisa diandalkan. Mereka beralih kepada sesuatu yang lebih baik. Seperti Minke beralih dari pengetahuan purba yang ia anggap keliru kepada pengetahuan baru yang lebih menjanjikan.”
Wahyu mengerutkan dahinya. Tampak menimbang-nimbang lebih keras. Seakan ia tengah berpikir untuk mengambil keputusan penting dalam hidupnya. Saya memandangnya lekat-lekat. Menunggu kata-kata keluar dari mulutnya. Mata Wahyu berputar dari ponsel miliknya ke ponsel milik saya.
“Kamu tahu, Bara, baiklah! Baiklah. Temani aku ke toko sekarang juga. Memang sudah sejak lama aku harus mengganti ponselku ini. Aku sudah lama butuh sesuatu yang lebih bisa diandalkan. Ponsel milikmu ini, Samsung Galaxy Ace 3 ini, sepertinya tampak menjanjikan.”
“Bukan tampak, Wahyu, tetapi memang menjanjikan.”
“Ya, ya, baiklah. Kita lihat nanti. Sekarang, sebelum kita membahas proyek buku yang akan kita buat, mari temani aku sebentar ke toko buku untuk melihat-lihat ponsel pengganti milikku ini.”
↧