Quantcast
Channel: Bernard Batubara
Viewing all 402 articles
Browse latest View live

20 Film Favorit di 2017

$
0
0



Dibandingkan buku, kesenangan saya yang lebih serius terhadap film bisa dibilang masih sangat baru. Serius yang saya maksud adalah dengan sengaja mencari rekomendasi film, sutradara, genre, seperti yang dilakukan seseorang saat melakukan riset. Dua tahun belakangan saya mencatat film-film yang saya tonton. Saya sempat melacak semua film layar lebar yang pernah saya tonton sejak kali pertama saya menonton, tentu saja sejauh yang bisa saya ingat. Isinya ternyata tidak begitu banyak.

Tahun ini, seperti yang saya lakukan pada buku, saya mencatat film-film yang saya tonton. Beberapa luput dari catatan karena kadang saya merasa filmnya tidak begitu menarik untuk diingat dan sisanya murni kelupaan. Saya mencoba menonton lebih banyak dan beragam. Film-film pendek, dokumenter, dan animasi, jadi area baru yang saya jelajahi. Awal tahun saya bahkan mengkhususkan diri menonton film-film animasi, dan mendapatkan beberapa film dan sutradara favorit.

Total ada 100 film lebih sedikit yang saya tonton sepanjang tahun 2017. Saya mencoba memilih beberapa di antaranya untuk dimasukkan ke daftar ini.

Berikut 20 film favorit yang saya tonton di tahun 2017:


1. The Lobster

Film romance yang rada ganjil karena aturan-aturan dunia di dalamnya. Aturan tersebut adalah bagi siapapun yang single pada usia mereka seharusnya memiliki pasangan (tidak begitu dijelaskan mengenai ukuran usia ini), akan dibawa ke sebuah hotel untuk menemukan pasangan mereka dalam kurun waktu 45 hari. Jika gagal, mereka akan berubah jadi binatang yang jenisnya mereka tentukan sendiri di awal mendaftar di hotel tersebut. Film ini jadi perkenalan yang menyenangkan bagi saya terhadap film-film Yorgos Lanthimos. Saya langsung mencari dan menonton film-filmnya yang lain, termasuk Dogtooth dan Alps, yang juga jadi favorit saya.


2. Dogtooth

Beberapa review menyebut film-film Yorgos Lanthimos bergenre distopia. Saya sendiri merasa label tersebut kurang pas; tapi juga belum menemukan yang lebih cocok, dan merasa tidak begitu penting menemukannya. Film ini bercerita tentang keluarga yang hidup dengan aturannya sendiri. Si ayah membuat aturan-aturan yang diterima anak-anaknya sebagai dogma. Dogma ini akan terasa absurd bagi kita penonton, tapi dalam bentuk yang lain sebenarnya kita sendiri juga menerima dan hidup dalam dogma sejenis. Sama seperti The Lobster, film ini pun gelap, mengerikan, dan amat relevan.


3. Alps

Masih dari Yorgos Lanthimos. Sutradara asal Yunani satu ini akan jadi favorit saya sepanjang masa. Gagasan-gagasannya yang "tidak populer" dibungkus dalam premis-premis cerita yang ganjil dan nyaris tak terpikirkan oleh saya, didukung dengan nuansa dan tonal film serta akting pemeran-pemeran yang menguatkan impresi keganjilan tersebut. Alps tentang sebuah grup kecil yang menyediakan jasa menggantikan sosok orang yang sudah meninggal. Konflik dimulai ketika terjadi kompetisi internal di dalam grup tersebut. Jika sudah menonton The Lobster dan Dogtooth, jangan lewatkan yang satu ini.


4. Being John Malkovich

Sepertinya tahun ini saya cukup banyak menonton film-film yang temanya rada absurd. Walaupun sesungguhnya yang absurd itu enggak absurd-absurd amat dalam pengertian yang absurd itu masih sangat relevan dan mungkin terjadi dalam wujud berbeda. Being John Malkovich film garapan Spike Jonze, tentang seorang pawang boneka yang secara tidak sengaja menemukan lorong untuk masuk ke kepala orang lain. Penemuan ini kemudian dijadikan lahan bisnis, dan dari sana plotnya jadi semakin menarik. Setelah film ini saya mencari film-film Spike Jonze dan Charlie Kaufman (penulis skenario) yang lain, termasuk Adaptation dan Synecdoche, New York, yang juga jadi favorit saya.


5. Adaptation

Film metafiksi tentang penulis skenario yang diminta mengadaptasi buku Susan Orlean, jurnalis Amerika. Kocak, dan karena metafiksi (belakangan saya tahu ada istilah metacinema) tentu terasa absurd juga. Tadinya saya kurang tertarik menonton karena pemerannya Nicolas Cage (saking jeleknya beberapa film Nicolas Cage terakhir yang saya tonton, saya sampai berusaha keras mengingat kenapa saya pernah menyukai aktingnya), tapi di film ini Nicolas Cage oke. Bisa jadi ini satu-satunya film Nicolas Cage yang bagus. Sedikit mengingatkan pada Stranger Than Fiction.


6. Synecdoche, New York

Menonton ini karena almarhum Philip-Seymour Hoffman. Ceritanya tentang sutradara teater yang hidupnya menyedihkan karena ditinggal istri dan anak, juga mengidap penyakit yang akan merenggut nyawanya. Dia kemudian menggarap satu lakon teater yang melibatkan sangat banyak aktor, yang memerankan orang-orang yang sungguh-sungguh ada di kehidupan sang sutradara. Rada metafiksi di dalam dirinya sendiri. Perlu sedikit lebih teliti mengikuti alurnya biar enggak kebingungan.


7. Dogma

Komedi fantasi tentang, yah, dogma. Banyak pemain yang saya kenal, di antaranya Alan Rickman. Sebagian besar memang menyinggung ajaran Katolik dan gereja, tapi relevan juga dengan agama samawi lainnya dan pandangan umum mengenai Tuhan. Lucu banget. Seperti komedi yang bagus, di dalamnya juga mengandung gagasan-gagasan yang serius.


8. The Godfather Trilogy

Iya, saya rada telat, tapi lebih baik daripada enggak sama sekali. Film yang memikat saya sejak adegan pertama. Karakter Don Vito Corleone membekas banget. Penjahat yang karismatik dan membuat saya menyukainya. Film pertama dan kedua yang saya paling suka. Bagian ketiga kurang menarik. Barangkali drama terbaik yang pernah saya tonton seumur hidup.


9. Embrace of the Serpent

Film yang mengubah cara pandang saya terhadap kemajuan dan peradaban, terhadap apa yang kita anggap sebagai progres dan yang primitif.


10. Chungking Express

Film Wong Kar-Wai pertama yang saya tonton. Kata seorang teman, film-filmnya Wong Kar-Wai itu Cancer banget. Kalau lagi butuh sesuatu yang membangkitkan melankoli dan kangen sama sesuatu yang bahkan enggak kita ketahui, tontonlah film-film Wong Kar-Wai, dimulai dari yang ini.


11. Amores Perros

12. 21 Grams

13. Tekkonkinkreet

14. Paprika

15. Grave of the Fireflies

16. Following

17. 5 Cm Per Second

18. Citizen Kane

19. All Quite on the Western Front

20. Kolya


Deskripsi buat sepuluh film terakhir belum ditulis karena malas, he he, nanti saya update. Sutradara favorit yang tahun ini banyak saya tonton filmnya: Yorgos Lanthimos, Wong Kar-Wai, Makoto Shinkai, Alejandro Gonzaléz Iñárritu, Spike Jonze.

WE, Yevgeny Zamyatin

$
0
0


Hal terbaru yang saya kerjakan tahun ini: menerjemahkan novel. Sejak akhir tahun lalu, hingga awal tahun ini, saya menerjemahkan novel We (1924) karya Yevgeny Zamyatin (1884-1937), penulis Rusia era Uni-Soviet. Saya menemukan novelnya secara tidak sengaja ketika mencari bahan bacaan di Internet. Setelah beres membaca dan merasa novel ini sangat bagus, saya tergerak untuk menerjemahkannya. Usut punya usut, secara kebetulan ada penerbit yang memang ingin menerjemahkan novel ini. Saya menawarkan diri, dan mereka mengiyakan.

Novel We bercerita tentang dunia distopia kira-kira pada abad ke-26. Sebagian pembacanya menganggap novel ini merupakan pelopor genre distopia, yang kemudian dikembangkan dan menjadi lebih populer oleh karya-karya sastra berikutnya seperti Brave New World Aldous Huxley dan 1984 George Orwell. Film-film Hollywood genre distopia yang modern dan populer seperti trilogi The Hunger Games, The Maze Runner, dan semacamnya, merupakan variasi atas dunia dan gagasan-gagasan yang telah muncul sebagai embrio dalam novel We.

We, Yevgeny Zamyatin, akan diterbitkan oleh Noura Publishing. Rencananya mungkin bulan keempat atau kelimat. Saat ini naskah sudah berada di tangan editor. Ini pengalaman yang cukup baru buat saya, walaupun saya sudah pernah menerjemahkan beberapa cerita pendek yang saya suka dan ditayangkan di blog ini. Mari sama-sama berdoa prosesnya lancar agar We dapat hadir sesuai rencana dan lekas dinikmati teman-teman semua.

Hidup Para Digit!



Bara

Along With the Gods

$
0
0



Sebelum menonton Along With the Gods, yang saya tahu tentang film-film produksi Korea hanya drama cinta yang sedih-sedih atau yang lucu-lucu. Namun, ketika suatu hari melihat poster film Korea yang tampaknya beraroma fantasi, saya langsung tertarik. Dengan video-video musik K-pop yang kerap memperlihatkan teknologi efek visual yang canggih, bagaimana jadinya jika Korea membuat film drama fantasi? Bakal seperti apa filmnya?

Jawabannya: keren. Film fantasi Korea keren banget.

Selama ini saya hanya pernah menonton film-film fantasi yang diproduksi Hollywood. Teknologi computer-generated imagery atau yang lebih sering dikenal dengan singkatan CGI milik Hollywood tentu tidak perlu dipertanyakan lagi kecanggihannya. Hingga hari ini sudah banyak film-film Hollywood bagus yang menampilkan kecanggihan CGI sebagai satu dari sekian aspek yang diunggulkan. Sebut saja misalnya Avatar atau favorit saya, serial Harry Potter.

Namun, Korea merupakan hal baru buat saya, terutama dalam hal film layar lebar bergenre fantasi. Sejujurnya saya belum pernah menonton film Korea bergenre fantasi. Along With the Gods adalah pengalaman pertama, dan pengalaman pertama yang sangat menyenangkan.

Along With the Gods bercerita tentang seorang pria yang bekerja sebagai pemadam kebakaran, yang suatu hari tewas ketika menyelamatkan anak kecil dari gedung yang terbakar. Tepat saat kematiannya, dia dijemput dua orang malaikat atau dewa pelindung (kelak satu orang malaikat atau dewa pelindung lagi akan bergabung, menjadi tiga) yang mendampinginya melewati 7 persidangan di akhirat, agar dapat bereinkarnasi.

Pemadam kebakaran yang baru saja tewas ini ternyata dianggap oleh akhirat merupakan seorang "Paragon", atau suri tauladan, dan karenanya dia akan mendapat banyak kemudahan dalam melewati 7 persidangan akhirat. Konflik batin muncul di hati si pemadam kebakaran, karena dia tahu dirinya sama sekali bukan suri tauladan seperti yang akhirat putuskan terhadapnya. Kelak kita akan mengetahui mengapa dia berpikir demikian, dan hal ini yang akan menjadi inti cerita.

Along With the Gods sudah membuat saya gembira sejak awal karena visualnya yang memanjakan mata. Mulai warna-warna pakaian dan pemandangan yang kontras, kostum para pemeran yang keren, dan visual akhirat beserta neraka-neraka dan dewa penjaganya yang bikin saya merasa seperti sedang menonton game. Tidak terkecuali penampakan pedang, kilatan-kilatan cahaya, api, dan monster-monster neraka yang muncul. Bagi seseorang yang menyukai genre fantasi dan gim konsol, visual Along With the Gods akan jadi sesuatu yang menggembirakan.

Bagian favorit saya: saat salah satu dari malaikat pelindung kejar-kejaran dengan seorang roh pendendam yang kelakuannya di dunia mengacaukan situasi di akhirat.

Namun, kegembiraan saya tidak berhenti di efek visual yang menyenangkan. Along With the Gods adalah film Korea, jadi sejak awal selayaknya kita mengantisipasi sesuatu yang sedih-sedih. Benar, ternyata selain film fantasi yang seru, film ini juga bikin nangis. Saya enggak bakal menutup-nutupi, iya saya sempat menitikkan airmata di bagian mendekati akhir dari film ini. Korea juaranya bikin penonton nangis, dan ternyata filmnya yang bergenre fantasi bukan pengecualian.

Pengalaman menonton Along With the Gods didukung banget sama studio 4DX CGV Blitz. Setiap kali terjadi pertarungan antara malaikat-malaikat atau dewa-dewa pelindung dengan monster-monster neraka dan roh pendendam di dunia, atau ketika terjadi sesuatu di setiap neraka yang mereka lintasi, kursi yang saya duduki goyang-goyang, asap keluar dari bawah, cipratan halus air menyembur ke muka, asap yang betul-betul keciuman, dan angin yang dingin mengembus dari samping. Efek-efek studio 4DX bikin saya seolah-olah berada di dalam neraka dan di sebelah dewa-dewa pelindung serta roh pendendam, menyaksikan mereka bertarung dari jarak sangat dekat!

Along With the Gods bikin saya tertarik untuk mencari dan menonton film-film Korea bergenre fantasi yang lainnya. Desain kostum, efek visual, dan karakterisasi tokoh-tokohnya kuat dan membekas di ingatan. Bagi kalian yang pengin menonton Along With the Gods, saya sangat rekomendasikan menonton filmnya di studio 4DX CGV Blitz. Pengalamannya immersive, dan memorable banget! Cek jadwal filmnya sekarang juga di website CGV Blitz dan tonton filmnya!


Fields of Blood, Karen Armstrong

$
0
0




Orang-orang modern berasumsi bahwa agama merupakan salah satu sumber utama terjadinya peristiwa kekerasan berskala besar. Asumsi tersebut tidak membuat heran, jika didasarkan pada insiden seperti pengeboman gedung World Trade Center di Amerika pada 9 September 2001 (yang kemudian melahirkan ketakutan akut terhadap Islam atau dikenal dengan istilah islamophobia) dan kejadian-kejadian bersifat teror lainnya yang terkait atau dikait-kaitkan dengan agama. Namun, seberapa akurat kah asumsi itu? Apakah agama, seperti dianggap sebagian orang modern, merupakan sesuatu yang mengandung kekerasan secara inheren?

Karen Armstrong menjawabnya dengan cukup jelas dalam buku Fields of Blood (2014). Fields of Blood, dengan tagline di halaman depan "Mengurai Sejarah Hubungan Agama dan Kekerasan" betul-betul melakukan apa yang dijanjikannya. Karen Armstrong mengurai simpul ruwet hubungan agama dan kekerasan melalui kisah-kisah kekerasan sistemik yang terjadi sejak zaman pramodern hingga masa terkini, dan penjelasan-penjelasan dari sumber teks setiap agama terkait.

Mundur hingga ke tahun 5000 SM, Karen Armstrong memulai misinya menguraikan hubungan agama dan kekerasan dengan kisah tentang peradaban bangsa Sumeria di dataran Mesopotamia. Pada bagian permulaan ini, Karen Armstrong menjelaskan bagaimana perkembangan masyarakat Sumeria termasuk pengaturan politik bangsa dan agama Mesopotamia, yang merupakan bentuk awal agama pramodern. Gagasan "agama" ini sangat berbeda, bahkan berkebalikan dari gagasan modern kita tentang "agama" sebagai pengalaman spiritual pribadi.

Agama di masa pramodern pada dasarnya adalah urusan politik dan tidak terpisahkan dari kegiatan perekonomian, birokrasi, seni, dan sains. Hal ini disebabkan terutama karena ada upaya untuk menanamkan makna ke dalam eksperimen manusia yang problematik dan berani. Peradaban menuntut pengorbanan, dan orang Sumeria harus meyakinkan diri bahwa apa yang mereka tuntut dari kaum tani memang diperlukan dan sepadan.

Pemerintahan agraria pada masa pramodern melihat negara sebagai milik pribadi dan petani semata-mata berfungsi sebagai pemasok sumber daya alam. Kekerasan terhadap petani dan peperangan yang merupakan ciri peradaban pramodern berkelindan dengan pemujaan kepada dewa-dewa. Karen Armstrong membedah narasi puisi Atra-hasis, tablet tahun 1700 SM bertatahkan epik tentang perselisihan dewa-dewa yang berujung pada penciptaan manusia untuk menanggung beban mereka.

Cerita perkembangan "agama" zaman pramodern ini berlanjut dengan bab-bab berikutnya mengenai religiusitas di India dan Cina. Sekelompok keluarga terpelajar dari bangsa Arya yang bermigrasi ke anak Benua India mengembangkan antologi himne yang telah diwahyukan kepada resi (rishi) zaman dulu dan menambahkan puisi baru mereka, menjadi Rig Weda, yang kemudian dikenal sebagai Weda ("pengetahuan"). Pada periode ini, kekerasan masih terjadi dalam proses peperangan sebagai bagian dari perkembangan peradaban, yang di dalamnya melibatkan dewa-dewa dan manusia.

Hubungan manusia dan dewa-dewa teruraikan pula dalam kebudayaan Cina kuno, yang menganggap bahwa pada awalnya manusia tidak terbedakan dengan binatang. Kemanusiaan bukan sesuatu yang ada sejak semula, melainkan dibentuk dan dibuat oleh penguasa negara. Mitos Raja-Raja Bijak pada penghujung Dinasti Zhou (485-221 SM) menunjukkan peradaban yang tidak bisa bertahan tanpa kekerasan.

Kekerasan dalam sejarah awal Israel bermula pada pengusiran Adam dan Hawa dari surga. Karena ketidakpatuhannya, Adam diturunkan ke bumi untuk menggarap tanah bukan sebagai tuannya, melainkan budak. Pentateuch, lima kitab pertama Alkitab, yang kisah di dalamnya dimulai sekitar 1750 SM ketika Yahweh memerintahkan Abraham menetap di Kanaan, menampilkan pula kisah Yosua sebagai pengganti Musa yang memimpin bangsa Israel pasca perbudakan Mesir dengan menghancurkan semua kota Kanaan dan membantai penghuninya.

Akan tetapi, peristiwa tersebut tidak diperkuat oleh catatan arkeologis. Tidak ada bukti penghancuran massal yang diceritakan dalam Kitab Yosua dan tidak ada indikasi tentang invasi asing yang dahsyat.

Kritik terhadap catatan kekerasan di tiap-tiap agama seperti itu dilakukan Karen Armstrong dalam setiap bab yang ditulisnya. Pada penjelasan mengenai religiusitas India kuno, Karen Armstrong membahas dilema Ashoka, kaisar yang terguncang oleh penderitaan yang disaksikannya sepanjang pertempuran di awal masa kekuasaannya. Ashoka dilanda perasaan dilematis karena kekerasan tersebut membuatnya menyesal sekaligus bingung karena melihat tak ada alternatif lain yang lebih baik untuk mempertahankan pemerintahan yang stabil.

Sebagian besar isi buku Fields of Blood mengurai asumsi-asumsi masyarakat modern terhadap agama sebagai sumber utama kekerasan, dan Karen Armstrong melakukan pekerjaan yang sangat rapi dalam memperlihatkan bagaimana asumsi tersebut tidak sepenuhnya salah, tetapi juga jauh dari akurat. Gagasan-gagasan Konfusius, Gautama Buddha, hingga Yesus dari Nazareth dan Muhammad dari Mekah, berbicara tentang welas kasih, kesetaraan, dan keadilan sosial.

Sekularisme, yang pada mulanya dicetuskan untuk memisahkan urusan negara dengan agama demi kemajuan negara, merupakan sasaran kritik Karen Armstrong di buku ini. Sekularisme, berasal dari kata dalam bahasa latin saeculum yang berarti "waktu tertentu" atau "tempat tertentu", dimunculkan sebagai alternatif ideologi yang hendak membawa masyarakat ke kehidupan yang lebih baik dalam hal berkurangnya tingkat kekerasan yang selama ini dituduhkan pada agama.

Hal ini dibuktikan Karen Armstrong sebagai kekeliruan yang gamblang. Sekularisme pada zaman modern membawa kekerasannya sendiri. Represi negara meninggalkan cedera sejarah yang sering meradikalkan tradisi agama dan bahkan dapat mendorong visi yang awalnya damai menjadi kekerasan. Pengeboman World Trade Center merupakan buah kerumitan imperialisme dan penindasan sistemik yang bersumber dari sekularisme.

Selain menjelaskan tentang hubungan agama dan kekerasan, Fields of Blood bisa dibaca sebagai kritik tajam terhadap sekularisme sebagai gagasan modern yang digadang-gadang menjadi jawaban atas sisi gelap agama. Namun, sentimen nasionalisme dari negara-bangsa yang memisahkan agama dari kehidupan sosial dan tatanan politik, maupun yang merangkulnya, sama-sama berbahaya.

Pada bagian penutup buku, Karen Armstrong meluncurkan pertanyaan kontemplatif, bahwa "Jika orang-orang mengklaim agama telah bertanggungjawab atas lebih banyak perang, penindasan, dan penderitaan manusia, kita harus bertanya lebih dari apa?" Pemisahan agama dari kehidupan sosial dan politik untuk menyucikan kegiatan tersebut sesungguhnya telah melahirkan agama nasional yang baru. Sesuatu yang kemudian terbukti melahirkan kekerasan yang tidak berbeda dari apa yang dituduhkan terhadap agama-agama.

Fields of Blood buku yang bagus untuk memahami dan melacak asumsi-asumsi kita mengenai hubungan agama dan kekerasan. Buku ini membukakan pandangan kita terhadap semangat baik agama dan bagian gelap modernisme. ***

Maze Runner: The Death Cure

$
0
0


Film Hollywood genre distopia sudah menjadi salah satu personal favourite saya sejak lama. Barangkali karena semenjak kecil, saya menyenangi cerita-cerita bergenre fantasi. Bagi saya, cerita bergenre distopia semacam kisah fantasi versi dewasa, karena selain memuat plot petualangan seperti umumnya kisah-kisah fantasi, tetapi juga kadang-kadang (bahkan seringkali) memiliki dimensi sosial dan politik yang kental.

Pada kemunculannya yang pertama di layar lebar tiga tahun lalu, film The Maze Runner (2014) langsung menarik perhatian saya. Ide tentang sekumpulan anak remaja yang diletakkan di tengah-tengah “arena” berbentuk labirin untuk berjuang antara hidup dan mati, seketika memantik rasa penasaran. Apa yang akan mereka temui di dalam labirin? Dengan cara apa mereka bertahan hidup? Siapa yang meletakkan mereka di sana? Untuk apa?

Baru setelah selesai menonton The Maze Runner (2014) saya tahu bahwa film tersebut, dan kedua film setelahnya, merupakan adaptasi dari novel berjudul serupa karangan James Dashner. Sekuel filmnya berturut-turut, The Scorch Trials (2015) dan The Death Cure (2018) adalah cerita yang menjawab pertanyaan-pertanyaan pertama saya di paragraf sebelumnya, dan menyajikan plot yang lebih rumit dan tidak kalah menegangkan dibanding pendahulunya.

Maze Runner: The Death Cure bagian akhir dari trilogi The Maze Runner, tayang tiga tahun setelah The Scorch Trials. Jarak yang cukup lama, sehingga saya perlu agak mengingat kembali apa yang terjadi di film sebelumnya. Untungnya, seakan memahami hal tersebut, The Death Cure menampilkan beberapa adegan yang akan mengembalikan kita ke bagian-bagian penting dari cerita awal The Maze Runner. Jadi tidak begitu sulit bagi saya mengikuti The Death Cure.

Meski demikian, tidak ada salahnya jika menonton ulang The Maze Runner dan The Scorch Trials, sebelum menikmati ketegangan yang cukup panjang di The Death Cure (total durasi 141 menit).

Fokus utama film Maze Runner:The Death Cure adalah misi penyelamatan salah seorang sahabat sekaligus rekan Thomas sang protagonis, yakni Minho. Adegan pembuka film mengingatkan saya pada opening salah satu seri Fast & Furious: satu skuad mobil mengejar kereta barang dalam sebuah misi pembajakan.

Adegan yang menegangkan ini jadi betul-betul terasa immersive, karena saya menontonnya di studio 4DX CGV Blitz. Dari beberapa kali menonton di studio 4DX CGV, di film Maze Runner: The Death Cure efek getaran kursinya paling berasa. Kalibrasi timing getaran kursi dengan momen-momen gerakan mobil yang melaju, melayang, dan menubruk daratan, betul-betul pas, sehingga ketika menonton saya sungguh-sungguh merasa seolah sedang berada di mobil Thomas atau Brenda. Beberapa menit pertama Maze Runner: The Death Cure memberi kesan yang sangat baik dan membuat saya bersemangat untuk bagian selanjutnya.

Jika The Maze Runner yang pertama berfokus pada perjuangan para remaja bahan eksperimen dalam arena labirin yang mengerikan dan penuh bahaya, The Scorch Trials berkutat pada pencarian regu sekutu merancang penyerangan terhadap korporasi besar bernama WCKD (Wicked) yang menjadi biang kerok dari apa yang dialami para remaja tersebut, termasuk Thomas, maka The Death Cure adalah eksekusi terhadap WCKD.

Sekaligus, pengungkapan jawaban atas seluruh rangkaian eksperimen WCKD.

Untuk film berdurasi hampir dua setengah jam, saya harus akui The Death Cure jauh dari kata membosankan. Barangkali karena saya sudah terpikat sejak awal oleh ide meletakkan anak-anak remaja dalam eksperimen menggunakan arena labirin. Sisanya adalah kisah persahabatan, pengkhianatan, dan pengorbanan yang mengharukan.

Satu lagi, saya harus acung jempol untuk tim efek visual The Death Cure. Sosok Crank (manusia yang sudah sepenuhnya terinfeksi Virus Suar) betul-betul tampil dengan meyakinkan. Visual pembuluh-pembuluh darah yang berwarna gelap di permukaan kulit tangan dan wajah, tangan dan kaki yang hancur akibat infeksi, dan aura mayat hidup yang berbahaya sungguh-sungguh bikin tegang. Sensasi melihat segerombolan Crank yang mengepung Thomas dan kawan-kawan seperti yang saya alami ketika menonton film-film zombie yang menakutkan.

The Death Cure sarat dengan adegan-adegan aksi yang menegangkan. Bagian pembukanya betul-betul didukung oleh kalibrasi kursi dan efek di studio 4DX CGV Blitz. Namun, adegan-adegan aksi yang terjadi setelahnya pun tidak kalah menegangkan. Bau asap, cipratan air, dan embusan angin di padang pasir luas yang menggigilkan, semuanya betul-betul terasa di studio, seakan-akan saya tidak berada di atas kursi bioskop, melainkan bergabung dengan Thomas mencari Minho.


Bagi kamu yang sudah mengikuti serial Maze Runner, The Death Cure adalah penutup yang menyenangkan. Jangan lupa, untuk pengalaman dan sensasi menonton yang lebih seru, tonton The Death Cure di studio 4DX CGV Blitz. Saya jamin, kamu akan setuju dengan pendapat saya tentang adegan pembukanya yang betul-betul seru! Segera cek jadwalnya di CGV Blitz dan tonton filmnya!

God, Reza Aslan

$
0
0


Tiga ratus ribu tahun lalu, Tuhan telah menunjukkan tanda-tanda keberadaannya di dunia. Seiring manusia berevolusi, Tuhan pun mengalami perubahan yang radikal dan, seringkali, membuat manusia sendiri kebingungan dalam memahaminya. Manusia, bahkan hingga saat ini, masih terus bertanya dan mencari kebenaran mengenai Tuhan. Esensi, keberadaan, fungsi, dan maknanya. Salah satu yang barangkali cukup mengganggu adalah pertanyaan berikut. Mana yang benar: Tuhan yang menciptakan manusia, atau manusia yang menciptakan Tuhan?

Pertanyaan itu salah satunya yang ditawarkan dan dijawab sendiri oleh buku God, Reza Aslan. Buku ini menjelaskan bagaimana awal ceritanya manusia bisa memikirkan Tuhan, dan selanjutnya melalui rangkaian peristiwa sejarah dan perubahan budaya yang panjang, menciptakan apa yang kemudian kita kenal sebagai agama. Buku terakhir yang saya baca yang membahas topik tersebut adalah Sejarah Tuhan, Karen Armstrong. Buku bagus. God dari Reza Aslan membahas cakupan yang mirip dengan lebih ringkas.

Buku God terasa seperti novel karena memiliki protagonis, yaitu Adam dan Hawa. Reza Aslan menggunakan pasangan manusia tersebut untuk menjelaskan perkembangan hubungan manusia dengan Tuhan dan agama-agama. Meski demikian, saya tak begitu fokus pada keberadaan Adam dan Hawa dalam cerita Reza Aslan, karena saya tidak tahu Adam dan Hawa dari sumber mana yang dia pakai, sebab Adam dan Hawa yang saya pahami dalam Islam punya cerita yang berbeda.

Reza Aslan memulai bukunya dengan pemaparan tentang situs-situs purbakala yang menampilkan gambar-gambar primitif yang mengindikasikan awal mula kesadaran spiritual manusia. Pemaparan ini disusul dengan penjelasan kehidupan manusia (Adam dan Hawa setelah diusir dari taman surga) zaman paleolitikum. Ini masa ketika manusia hidup dengan berburu binatang dan mengumpulkan makanan.

Bagian penting tahap ini adalah cerita tentang Hawa yang melihat "wajah di pohon" ketika sedang berada di hutan mengumpulkan makanan. Hawa terkejut menemukan pohon yang berwajah seperti manusia, dan menceritakannya kepada Adam ketika mereka bertemu di gua.

Momen Hawa melihat "wajah di pohon" ini adalah apa yang oleh ilmuwan kognitif sebagai Hypersensitive Agency Detection Device (HADD). Sederhananya, HADD adalah apa yang membuat manusia mendeteksi bentuk-bentuk seperti atau yang berasal dari kegiatan manusia, pada momen-momen alam yang tak terjelaskan (bentuk wajah di awan, suara-suara yang tidak kelihatan sumbernya, dan lain-lain).

Teori kognitif lainnya adalah apa yang disebut dengan Theory of Mind, yakni fungsi pada otak manusia yang membuat manusia mampu memahami orang lain sebagaimana dirinya sendiri. Tidak hanya itu, karena fungsi ini manusia juga, secara instingtif, melekatkan sifat-sifat dirinya ke apapun yang menyerupai dirinya. Misalnya, ketika kita melihat sesuatu yang seperti kepala dan wajah, maka secara instingtif, kita meyakini bahwa sesuatu tersebut haruslah seperti kita.

HADD dan Theory of Mind menjelaskan bagaimana mulanya pemicu untuk berketuhanan muncul dalam otak manusia, di samping kesadaran manusia tentang keberadaan jiwa (soul), sesuatu yang menurut Reza Aslan tidak kita ketahui sebab-musababnya. Kedua penjelasan mengenai aktivitas kognitif manusia tersebut pula yang menjawab mengapa manusia memahami Tuhan sebagai sesuatu yang bertindak seperti manusia, dan tepat inilah yang menjadi salah satu persoalan penting yang dibahas di buku God: permasalahan dalam memahami Tuhan sebagai sesuatu yang antropomorfis.

Manusia memanusiakan Tuhan pada awalnya karena hanya dengan cara itu manusia dapat memahami, serta memaknai Tuhan. Tidak terpikirkan sebelumnya oleh manusia bagaimana bisa merasakan hubungan dengan Tuhan, jika Tuhan tidak berpikir dan bertingkahlaku seperti manusia. Pandangan seperti inilah yang kemudian membuat manusia yang pada zaman bertani dan hidup menetap merekatkan pada fenomena-fenomena alam, sosok "tuhan" atau dewa-dewa, yang memiliki sifat-sifat manusiawi.

Persoalan dari memanusiakan Tuhan (humanizing god) adalah, kita jadi tidak hanya merekatkan sifat-sifat manusia yang baik kepadanya, tetapi juga sifat-sifat buruk. Tuhan menjadi tidak hanya mengasihi dan melindungi, tetapi juga membenci dan menghancurkan. Manusia mulai bertanya-tanya: bagaimana bisa Tuhan memiliki, di dalam dirinya, sifat-sifat yang bertentangan? Bagaimana bisa Tuhan menciptakan dan juga membunuh? Bagaimana bisa Tuhan laki-laki sekaligus perempuan?

Tindakan memanusiakan Tuhan yang membingungkan ini masih terus berlangsung hingga zamannya agama-agama samawi. Reza Aslan menutupnya dengan jawaban yang sepertinya dia peroleh dari perjalanan spiritual pribadinya: sufisme. Sufisme menjadi titik akhir persoalan memanusiakan Tuhan dengan memberikan cara pandang yang melepaskan kemanusiaan dari Tuhan (dehumanizing god), tetapi Reza Aslan tidak membahas banyak mengenai ini.

Bagian-bagian mengenai agama-agama samawi lebih berfokus pada prinsip mendasar mengenai ketuhanan yang diusung agama-agama tersebut. Yahudi dengan keyakinan pada satu Tuhan yakni Yahweh/Elohim (kita akan mendapatkan penjelasan ringkas yang cukup menyenangkan tentang proses penggabungan "dua Tuhan" yang seakan-akan berbeda), Kristen dengan Trinitas (terdapat penjeasan mengenai perdebatan mengenai Bapa, Putera, dan Roh Kudus), dan Islam dengan tauhid (keyakinan pada Tuhan yang esa). Penjelasan tersebut disertai pemaparan peristiwa sejarah, yang juga singkat-singkat.

Saya sempat merasa agak kecele oleh tebal bukunya yang hampir tiga ratus halaman, sebab ternyata isi bukunya hanya lebih sedikit dari separuhnya. Penjelasan merinci tentang paragraf-paragraf singkat di bab-bab yang juga pendek, diletakkan Reza Aslan di bagian belakang buku sebagai catatan kaki/bagian dari daftar pustaka. Bab-bab pendeknya membuat God mudah dibaca, di samping gaya bahasa Reza Aslan yang juga kadang-kadang rada nyeleneh, mengingatkan saya pada gaya bertutur Richard Dawkins di buku-bukunya yang juga menyenangkan.

Bagi yang ingin mengetahui sejarah perkembangan relasi manusia dengan Tuhan, God bisa jadi buku pengantar yang cocok. Meski demikian, untuk cakupan yang mirip dan informasi yang lebih rinci, saya merekomendasikan Sejarah Tuhan, Karen Armstrong. Saya melihat God lebih sebagai cara halus Reza Aslan menganjurkan sufisme sebagai jawaban atas problematika yang muncul akibat memanusiakan Tuhan (Reza Aslan sendiri pada mulanya menganut Islam, kemudian Kristen, dan yang terakhir kembali ke Islam sufisme). ***

Pertunjukan Paling Agung di Bumi, Richard Dawkins

$
0
0




Saya tidak tahu banyak tentang teori evolusi, tapi barangkali teori ini salah satu yang sejak awal kemunculannya hingga sekarang masih terus menjadi bahan yang banyak dikaji, dikomentari, ditegaskan, dan dilawan. Dalam kepala saya, Charles Darwin dan teorinya mengenai seleksi alam hanya hidup sebagai potongan-potongan ingatan yang datang dari masa-masa bersekolah. Saya senang pelajaran Biologi, tapi pada saat itu saya tidak begitu meletakkan perhatian pada Charles Darwin, apalagi ilmuwan-ilmuwan yang menyusul di belakangnya.

Bahkan hingga saat ini saya belum pernah membaca bukunya yang monumental itu, On the Origin of the Species, terbit pada pertengahan abad kedelapanbelas. Saya justru mengenal potongan-potongan teorinya dari ilmuwan-ilmuwan kontemporer yang meneruskan kiprah Darwin dalam pembahasan mengenai sejarah dan perkembangan manusia, termasuk di antaranya Richard Dawkins, yang buku-bukunya saya sukai, tidak terkecuali yang saya tulis dalam catatan ini, Pertunjukan Paling Agung di Bumi.

Pertunjukan Paling Agung di Bumi adalah terjemahan bahasa Indonesia untuk bukunya yang berbahasa Inggris, The Greatest Show on Earth. Richard Dawkins membuka buku ini dengan pernyataan mengenai banyaknya buku yang membahas teori evolusi, tanpa memperlihatkan bukti-bukti bagi evolusi itu sendiri. Richard Dawkins tampak sekali ingin mengatakan, melalui penegasan yang diulang-ulang, bahwa "teori evolusi" bukanlah "teori", melainkan "evolusi" saja, dan demi tujuan tersebut, Dawkins menulis sebuah buku tebal berisi banyak bukti akan terjadinya evolusi.

Pada dasarnya, dalam buku ini Richard Dawkins memperlihatkan sembari menjelaskan proses serta bukti-bukti evolusi pada beberapa spesies hewan, sekaligus memberi bantahan-bantahan umum terhadap "teori evolusi" dan prinsip-prinsip Darwinian, termasuk salah satunya anggapan mengenai "mata rantai yang hilang" atas kesimpulan Charles Darwin mengenai simpanse dan manusia yang berbagi nenek moyang yang sama. Dawkins juga berulangkali menjernihkan pernyataan ini, yang menurutnya kerap disalahpahami oleh orang-orang yang membantah "teori evolusi". Manusia tidak berevolusi dari simpanse, dia menegaskan dengan nada kalimat yang agak kesal, melainkan berbagi nenek moyang yang sama dengan simpanse, meskipun sangat mungkin nenek moyang bersama tersebut lebih mirip simpanse ketimbang manusia.

Meski demikian, pembahasan mengenai manusia dalam buku Pertunjukan Paling Agung di Bumi tidak lebih banyak dibanding pemaparan bukti-bukti evolusi pada spesies serangga, burung, dan reptil. Malah, spesies manusia hanya memperoleh satu-dua bab pendek dalam buku setebal tidak kurang dari lima ratus halaman ini (versi terjemahan Indonesia). Walaupun, pada pemaparan mengenai serangga, burung, dan reptil (ada bab yang juga khusus membahas kura-kura) Dawkins menghubungkannya dengan anggapan-anggapan masyarakat umum mengenai evolusi manusia.

Bagian yang menarik bagi saya dari buku ini adalah bab yang menjelaskan bagaimana waktu dihitung dari sudut pandang evolusi. Jam evolusi, dijelaskan Dawkins dalam bab-bab yang cukup panjang dan merinci sebagaimana bab-bab lainnya mengenai bukti-bukti evolusi, dihitung dengan beragam cara, di antaranya meneliti cincin-cincin pohon (ingat pelajaran waktu sekolah tentang "lingkaran tahun"?), terumbu karang, dan sesuatu yang disebut dengan jam radioaktif, yakni menghitung usia batuan beku melalui zat-zat radioaktif yang terkandung di dalamnya. Dengan acara inilah ilmuwan mengetahui, dalam perkiraan yang kasar, seberapa tua planet bumi yang kita huni.

Hal menarik lainnya bagi saya adalah bab-bab yang menyinggung sedikit mengenai embriologi, tapi tidak cukup merinci dan seperti anjuran Dawkins, saya perlu mencari buku lain jika ingin mengetahui lebih dalam tentang topik ini. Dawkins membahas embriologi dalam konteks menjawab pertanyaan masyarakat awam tentang proses evolusi yang tidak cukup masuk akal. Hampir seluruh isi buku ini, selain ditulis untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan masyarakat awam, juga barangkali bahkan terutama, ditujukan kepada pernyataan-pernyataan kaum kreasionis yang menentang teori evolusi (saya sendiri belum membaca banyak tentang apa itu kaum kreasionis dan bagaimana pemikiran mereka).

Khususnya bagi yang tertarik dengan teori evolusi, sejarah kehidupan, dan tema-tema biologi, Pertunjukan Paling Agung di Bumi akan jadi buku yang menarik untuk dibaca. Siapkan waktu yang cukup untuk mengikuti pemaparan Dawkins yang amat merinci mengenai bukti-bukti evolusi di beragam spesies hewan (Dawkins sangat rinci dalam buku ini). Meski demikian, tidak perlu khawatir akan merasa bosan, karena gaya tutur Dawkins yang kadang-kadang mengandung sarkasme yang eksplisit akan sangat menghibur dan bikin betah membaca bukunya hingga selesai. ***

Sapiens, Yuval Noah Harari

$
0
0




Secara ringkas, Sapiens adalah buku cukup tebal yang menceritakan perjalanan hidup manusia dari menjadi anggota kerajaan binatang yang tidak berarti hingga kesuksesan mereka menjelma Tuhan. Kata “mereka” bisa kita ganti “kita”, karena memang begitulah adanya. Buku ini bercerita tentang kita, manusia yang tadinya merupakan spesies tak penting kini menjadi yang paling berkuasa di muka bumi.

Yuval Noah Harari, sejarawan berkebangsaan Israel dan profesor sejarah di Hebrew University of Jerusalem, membuka dongengnya di buku Sapiens dengan gambaran efektif tentang kondisi semesta pada 13,5 miliar tahun silam: Ledakan Besar. Lantas, secara teratur ia memberikan pemahaman tentang apa yang disebut fisika, kimia, dan biologi. Dari sana, ia memberitahu tiga peristiwa penting yang membentuk riwayat manusia. Riwayat kita.

Tiga peristiwa tersebut adalah Revolusi Kognitif, Revolusi Pertanian, dan Revolusi Sains. Revolusi Kognitif merupakan peristiwa tatkala manusia mengembangkan kemampuan mentalnya untuk melakukan apa yang selama ini belum pernah mereka lakukan. Revolusi Pertanian merupakan periode ketika manusia mulai berhenti mencari makanan dengan terus berpindah tempat untuk kemudian menanam dan mendomestikasi binatang-binatang lain. Sedangkan Revolusi Sains adalah masa manusia membangun teknologi untuk barangkali mencapai sesuatu yang berada setelah mereka. Sesuatu yang disebut adimanusia.

Perlu diingat bahwa “manusia” dalam buku ini merujuk pada Homo sapiens, yakni spesies kita sendiri. Pada bab pertama Sapiens, Yuval Noah Harari dengan segera mengingatkan kita akan fakta kecil penting yang barangkali dilupakan oleh banyak manusia-yang juga merupakan salah satu hal terpenting dalam buku ini-bahwa kita, sapiens,bukan satu-satunya Homo. Kita bukan satu-satunya spesies dalam genus Homo, dan jelas bukan satu-satunya penghuni bumi.

Dengan narasi yang padat dan tajam, Yuval Noah Harari mengantarkan pembaca pada pengetahuan tentang bagaimana kita, sapiens, berevolusi menjadi spesies paling cerdas, berkuasa, sekaligus berbahaya di alam bumi. Secara sengaja maupun tidak, kita menyingkirkan dan barangkali menjadi salah satu penyebab punahnya saudara-saudara kita, Homo yang lain, di antaranya erectus, Neandertal, dan Denisova.

Bagaimana hal itu bisa terjadi? Homo sapiens memiliki bahasa yang kompleks dan memungkinkan kita membangun sebuah fiksi. Hewan-hewan lain dapat memberitahu anggota kawanannya akan keberadaan ancaman dengan serangkaian kode (berupa suara maupun tindakan), tetapi hanya kita, Homo sapiens, yang dapat menyampaikan pesan mengenai sesuatu yang belum tentu nyata. Dengan kata lain, kita mampu berimajinasi.

Apa dampak kemampuan berimajinasi ini? Ternyata sangat besar. Imajinasi dan keterampilan membangun fiksi membuat manusia dapat melakukan sesuatu secara bersama-sama. Hal ini yang menjadi pembeda krusial Homo sapiens dengan Homo lain dan juga binatang-binatang lain. Menurut penelitian psikologi dan kebiasaan hewan, satu orang anggota hanya dapat mengenal dengan baik serta mempengaruhi paling banyak 150 orang anggota kawanannya. Lebih dari itu, komunikasi kehilangan kekuatannya.

Namun, kita, Sang Manusia Bijak, dapat mengarang sebentuk fiksi yang membuat manusia di tempat lain dalam kelompok yang lain melakukan hal serupa seperti apa yang kita lakukan. Misalnya, ketika seekor rusa melihat seekor singa, ia dapat memberi peringatan kepada kawanannya bahwa ada seekor singa. Akan tetapi, Homo sapiens dapat berkata kepada anggota kawanannya bahwa singa tersebut merupakan arwah penjaga hutan.

Fiksi adalah fitur canggih yang baru dimiliki Homo sapiens dan tidak Homo lainnya. Fiksi kemudian menjadi alat penentu yang membuat manusia mampu bergerak bersama-sama dalam jumlah sangat besar. Tatkala sekelompok amat besar anggota manusia bertindak bersama, tidak yang tidak bisa dilakukan. Ekspansi, penjajahan, bahkan pemusnahan masal. Apapun.

Setelah Revolusi Kognitif, tahapan berikutnya mengubah posisi Homo sapiens secara signifikan adalah Revolusi Pertanian. Manusia dari jenis sebelumnya, atau yang kita kenal sebagai manusia purba, hidup berpindah-pindah dan memakan beragam sumber makanan. Tidak terpikirkan oleh mereka untuk menanam makanan maupun beternak hewan untuk konsumsi sehari-hari. Tatkala menemukan fungsi api sebagai alat memasak dan mulai berpikir untuk mendomestikasi hewan, Homo sapiens mulai membangun tempat tinggal permanen dan menanam makanannya sendiri.

Kekhawatiran akan masa depan salah satunya merupakan pemicu yang membuat manusia mengumpulkan benda-benda, termasuk suplai makanan. Melalui serangkaian pengalaman, manusia tahu bahwa ada musim-musim ketika mereka kesulitan mendapatkan makanan. Maka manusia mulai menanam dan menyimpan makanan untuk masa-masa paceklik atau musim yang kurang baik.

Namun, penemuan keterampilan bercocok tanam tersebut membawa musibah baru yang tidak disadari manusia. Manusia jadi memiliki tuntutan-tuntutan baru untuk melakukan produksi makanan lebih banyak, dan pada akhirnya membuat diri mereka (kita) lebih sibuk dan kehilangan waktu berharga daripada sebelum-sebelumnya. Ketakutan akan ketidakpastian, keinginan untuk memiliki kemudahan hidup membuat manusia menciptakan cara-cara yang di kemudian hari ternyata dapat menjebak diri mereka sendiri.

Revolusi terakhir yang kini masih berlangsung hingga revolusi berikutnya terjadi, adalah Revolusi Sains. Hingga periode ini tiba, manusia merasa sudah tahu akan segala hal yang bisa mereka lihat dalam lingkup tempat tinggalnya maupun area kekuasaannya (kita akan banyak membaca kisah-kisah umum mengenai imperium dan koloni di bagian ini dalam buku Sapiens), tetapi baru setelah manusia mengakui ketidaktahuan mereka, ilmu pengetahuan berkembang dalam ketukan yang cepat tak terbendung.

Manusia menciptakan penemuan-penemuan baru yang tidak pernah terbayangkan sebelumnya bahkan dalam imajinasi paling liar manusia sekalipun. Manusia bahkan melihat kemungkinan untuk mengembangkan spesies mereka sendiri, menciptakan sesuatu yang kelak akan kita sebut adimanusia. Bergerak jauh melalui serangkaian revolusi canggih, manusia bertransformasi dari binatang yang tak berarti hingga sosok yang menyerupai Tuhan.

Buku ini ditulis dengan sangat apik oleh Yuval Noah Harari. Pemilihan kata yang akurat dan kalimat-kalimat yang menggugah membuat kita larut dalam sejarah jutaan tahun hidup manusia. Buku ini mestinya membuat kita mengingat kembali bahwa kita bukan satu-satunya makhluk yang layak atas bumi ini, dan dengan demikian membuat kita lebih berhati-hati, sembari menebus dosa-dosa yang telah kita lakukan terhadap saudara-saudara kita yang lain: binatang-binatang yang tersisa. Buku ini seharusnya membuat manusia tidak lagi congkak menganggap dirinya Manusia Bijak (Homo sapiens) selagi kita masih melakukan banyak kehancuran di muka bumi. ***

The Red-Haired Woman, Orhan Pamuk

$
0
0



Novel terbaru Orhan Pamuk bercerita tentang seorang pemuda yang bekerja sebagai anak magang bagi seorang penggali sumur profesional. Si pemuda Cem, dan mentornya alias si penggali sumur itu sendiri dipanggil Master Mahmut. Ceritanya Cem dan Master Mahmut menggali sumur di kawasan pinggiran Istanbul, lalu satu hari Cem bertemu perempuan berambut merah yang bekerja sebagai pemain teater keliling. Pertemuan itu diiringi insiden yang mengubah jalan hidup Cem.

The Red-Haired Woman adalah cerita yang cukup sederhana jika dibandingkan dengan My Name Is Red atau The Museum of Innocence (saya menggunakan dua novel ini untuk perbandingan karena belum baca yang lainnya) meskipun saya enggak yakin apakah layak membandingkan mereka. Perbedaan yang paling kentara ada pada gaya narasi. My Name Is Red sangat kompleks dan The Museum of Innocence, meskipun tidak secanggih My Name Is Red, punya plot dan konflik internal yang tidak bisa dibilang sederhana.

Sebaliknya, The Red-Haired Woman seakan tidak menyimpan kejutan apapun. Sejak awal kita akan segera tahu apa yang akan terjadi pada tokoh utama. Judulnya membuat kita mengantisipasi kejadian seperti apa yang mungkin berlangsung sepanjang novel. Seperti misalnya, kita akan menunggu kapan si perempuan berambut merah muncul, siapa dia, dan apa yang membuatnya cukup istimewa sehingga layak dijadikan judul buku.

Setidaknya sejak membaca The Museum of Innocence, saya melihat tendensi gaya bercerita Orhan Pamuk yang senang memberitahu apa yang akan terjadi dalam ceritanya. Cara bercerita seperti ini di satu sisi memberi kenyamanan tertentu bagi pembaca karena jadi tidak perlu kebingungan dan menebak-nebak kejadian di novel, tapi juga memunculkan tantangan tersendiri bagi si penulis: penulis perlu memberikan hal lain yang lebih menarik di dalam ceritanya lebih daripada informasi mengenai apa yang sedang terjadi.

Pada My Name Is Red dan The Museum of Innocence, hal ini ditangani dengan baik melalui penggunaan diksi, plot, dan narasi. Saya kira siapapun yang sudah membaca My Name Is Red akan sepakat mengenai kepadatan narasi, diksi yang tidak sepenuhnya umum (setidaknya dalam versi bahasa Inggris; saya tidak membacanya dalam bahasa asli, Turki), di samping plot yang juga dinamis, bergerak tak tertebak menuju kemungkinan-kemungkinan yang sangat beragam. Jangan lupa permainan sudut pandang serta informasi yang kaya tentang sejarah dan teori seni rupa dalam konteks modern maupun Islam tradisional.

Di The Museum of Innocence, kesederhaan cerita menjadi sesuatu yang menarik karena dibalut narasi yang lembut, mengalir syahdu, dan di satu titik sampai menghanyutkan. Sampai-sampai tebalnya pun jadi tak terasa karena begitu menikmati tuturan Orhan Pamuk mengisahkan obsesi Kemal pada sepupu perempuannya.

The Red-Haired Woman, sayangnya, tidak begitu tertolong. Saya membaca begitu cepat karena dari paragraf satu ke paragraf berikutnya tidak menyajikan sesuatu yang mesti saya perhatikan dengan seksama. Bagian demi bagian informasi telah sangat jelas dan membuat saya dapat menebak apa yang akan terjadi, yang memang sesuai dugaan.

Barangkali saya luput menemukan hal yang menarik dari novel ini dan menyampaikan keluhan yang prematur. Harap jangan salah sangka, saya penggemar berat Orhan Pamuk walaupun belum membaca semua bukunya. Mungkin karena saya terlalu menyukai My Name Is Red dan The Museum of Innocence, saya menggunakan memori atas kedua novel tersebut untuk menilai novel Orhan Pamuk yang terbaru ini. Namun, saya cukup yakin, bahkan tanpa pernah membaca keduanya pun, saya akan menganggap The Red-Haired Woman sebagai karya yang biasa-biasa saja dari seorang pemenang Nobel Sastra.

Separah itukah The Red-Haired Woman? Yah, enggak juga, sih. Ada hal yang menarik seperti bagaimana Orhan Pamuk menggunakan kisah Oedipus mitologi Yunani dan tragedi Sohrab & Rostam dari sajak epik Persia abad ke-10 sebagai alusi bagi plot utama novel. Ramalan mengenai patricide (pembunuhan ayah oleh anak) dan filicide (pembunuhan anak oleh ayah) dari kedua alusi tersebut, diiringi kisah cinta oedipus complex menjadi balutan yang memberi lapisan-lapisan tafsir baru.

Namun, alusi-alusi tersebut tidak cukup untuk membuat The Red-Haired Woman jadi novel yang wah. Lagi-lagi, saya curiga semua ini gara-gara cara bercerita Orhan Pamuk yang, mungkin ya, kurang cocok. Pamuk seperti biasanya punya bahan yang menarik. Hanya saja kali ini saya tidak bisa tidak merasa Pamuk memilih cara yang keliru untuk menyampaikan bahannya.

Meski demikian, bagi penggemar Orhan Pamuk seperti saya, buku ini tetap layak dibeli buat koleksi. Sekali lagi sangat mungkin saya membaca dengan kurang teliti dan pembacaan saya tidak menyeluruh. Untuk itu saya menunggu pembacaan lain dari teman-teman yang sudah membaca buku ini (terjemahan bahasa Indonesia-nya sudah terbit) barangkali ada tuduhan-tuduhan saya yang keliru dan perlu ditelisik ulang.

Buku ini bukan karya yang buruk, hanya tidak seperti buku Orhan Pamuk yang saya harapkan. Yah, begitulah pembaca, kalau sudah retak ekspektasinya, sulit membuatnya mengapresiasi bagian lain yang penulis sajikan di dalam cerita. Ekspektasimu, harimaumu. ***

The White Book, Han Kang

$
0
0



Saya tergelitik oleh tulisan Andina Dwifatma di blognya tentang hal-hal yang hanya bisa ditulis oleh penulis perempuan. Secara khusus di postingan tersebut Andina membahas cerita-cerita Alice Munro, peraih Nobel Sastra pertama yang hanya menulis cerita pendek sepanjang karirnya. Menurut Andina, cerita-cerita Alice Munro merupakan “antitesis terhadap ‘anggapan perempuan pemberontak sebagai premis cerita yang menarik’”.

Saya tidak bermaksud membahas Alice Munro, melainkan pernyataan Andina yang lain di tulisan yang sama, perihal asumsi bahwa ada hal-hal yang hanya bisa ditulis oleh pengarang perempuan. Pernyataan ini kontan membuat saya bertanya, apakah memang ada pula hal-hal yang hanya bisa ditulis oleh pengarang laki-laki? Apakah ada hal-hal yang tidak dapat menembus batas gender? Apakah gender, setelah memunculkan batas-batas norma dan peran sosial yang hingga kini terus berusaha ditembus, ternyata juga membatasi seorang pengarang dari menuliskan hal-hal yang ingin dia tuliskan?

Pertanyaan pertama yang perlu dijawab tentu saja adalah apa yang sungguh-sungguh membedakan perempuan dan laki-laki? Yang seketika terlintas di kepala saya: struktur biologis. Satu-satunya yang membedakan perempuan dan laki-laki adalah jenis kromosom mereka. Perempuan berkromosom homogamet, XX, sementara laki-laki heterogamet, XY, yang membuat keduanya mengalami perkembangan embriologi ke arah yang berbeda. Termasuk kemudian perempuan jadi punya rahim dan laki-laki penis. Perempuan dan laki-laki bahkan sama-sama punya hormon seksual esterogen, progesteron, dan testosteron, hanya dalam kadar yang berbeda. Sisanya? Sama saja.

*

Dalam tulisannya, Andina menyebut Dear Life – Alice Munro dan Ibu Mendulang Anak Berlari – Cyntha Hariadi sebagai contoh karya sastra yang mengangkat tema khas perempuan. Saya bermaksud menambahkan satu, The White Book – Han Kang.

The White Book adalah buku yang akan saya masukkan ke kategori buku yang hanya bisa ditulis pengarang perempuan, jika kategori itu betul-betul ada. Buku ini mengangkat tema yang khas perempuan, yakni melahirkan. Laki-laki tidak bisa melahirkan (iya, kuda laut jantan di baris belakang, saya melihatmu).

Salah satu bagian The White Book menggambarkan perpindahan bayi dari rahim ke dunia. Bab tersebut berjudul “Swaddling bands” mungkin jika diterjemahkan ke bahasa Indonesia jadi “Kain lampin”.

“Swaddling bands white as snow are wound around the newborn baby. The womb will have been such a snug fit, so the nurse binds the body tight, to mitigate the shock of its abrupt projection into limitlessness.”

Paragraf tersebut diikuti deskripsi tentang perempuan yang pucat karena kehilangan banyak darah, sedang memandangi bayinya yang menangis. Bayi yang pada saat itu “belum tahu cara menyembuhkan tangisannya”. Kalimat-kalimat berikutnya menggambarkan dengan sangat rinci momen-momen emosional yang dialami perempuan ketika melihat bayi pertamanya.

Momen yang mengharukan itu serta-merta berubah drastis menjadi tragedi di bagian selanjutnya, “Newborn gown”.

“My mother’s first child died, I was told, less than two hours into life.

Dalam waktu amat singkat, kelahiran berganti rupa menjadi kematian. Keduanya dialami perempuan yang sama. Sosok yang menjadi tujuan aku-narator dalam tuturannya sepanjang buku, yang adalah anak kedua perempuan tersebut.

 *

The White Book ditulis menggunakan struktur yang mirip The Vegetarian, yakni terbagi menjadi tiga babak. Babak pertama The White Book berjudul “I” berisi narasi tokoh Aku yang mengingat ibunya. Babak kedua, “She” menceritakan kehidupan sang ibu. Yang terakhir, “All Whiteness” menggambarkan pikiran serta perasaan tokoh Aku mengenai, salah satunya, sesuatu yang hilang tapi menghubungkan dirinya dengan sang ibu, yakni almarhumah calon kakak.

Cara Han Kang membagi buku ini ke sub-bab yang pendek-pendek dan menuliskannya dalam narasi yang sangat puitis tapi tetap mengandung alur, tokoh-tokoh, dan adegan yang jelas, membuat buku ini menarik karena tidak betul-betul bisa dimasukkan ke kategori novel, kumpulan cerita, ataupun puisi. Buku ini ketiganya sekaligus. The White Book sesuatu yang segar dan lebih menyakitkan dibanding kedua pendahulunya, The Vegetarian dan Human Acts.

Han Kang menulis The White Book seperti sedang menulis tribut untuk semua perempuan di dunia, meskipun barangkali dia menengok ke sesuatu yang lebih personal, seperti sensasi yang saya rasakan ketika membaca halaman demi halamannya. Walaupun mengangkat tema yang khas perempuan, saya yang laki-laki tidak merasa tersingkir dari dunia yang Han Kang tulis, justru sebaliknya. Saya terisap ke semesta yang asing sekaligus akrab. Tempat saya berasal. Rahim ibunda.

Saya tidak bisa membaca The White Book tanpa sebentar-sebentar berhenti karena perlu mengatur napas. Setiap halamannya seperti mengirim pukulan demi pukulan yang keras ke sekujur perut saya. Ini buku yang menyakitkan, bahkan bagi saya yang tidak akan pernah merasakan hamil dan melahirkan. Bahkan di Twitter saya memberi peringatan bagi perempuan yang ingin membaca buku ini.



Kembali ke pertanyaan awal tulisan ini, adakah hal-hal yang hanya bisa ditulis perempuan sebagaimana ada hal-hal yang hanya bisa ditulis? Saya kira mungkin saja ada. Saya tidak dapat membayangkan bagaimana seandainya The White Book ditulis oleh, misalnya, Raymond Carver? Akankan terasa senyata dan semenyakitkan seperti Han Kang menuliskannya? Carver bisa melakukan pengamatan, wawancara, dan beragam hal lain untuk meriset apa yang dialami tokoh-tokoh perempuan dalam The White Book, tapi apakah dia betul-betul paham bagaimana rasanya mengeluarkan manusia kecil dari perutnya dan menyaksikannya meninggal dua jam kemudian?



Cerbung Digital Espresso!

$
0
0


Espresso adalah judul karya terbaru saya. Cerita bersambung dalam format digital yang bisa teman-teman baca langsung di handphone. Bab pertama sudah terbit hari Selasa 3 April 2018 dan bab baru akan terbit setiap Selasa pukul 19.00 WIB.

Baca Espresso di aplikasi Storial.co (unduh di Google Play). Lima bab pertama dapat teman-teman baca dengan gratis. Bab keenam hingga tamat perlu membayar menggunakan Koin Storial, yang dapat teman-teman beli dengan pulsa operator.

Untuk pertanyaan seputar teknis (cara mendaftarkan akun di Storial.co, membaca, membeli koin, dan lain-lainnya) silakan kontak Tim Storial.co di Twitter & Instagram: [at]StorialCo.

Selamat membaca Espresso!

5 Toko Buku Online Favorit

$
0
0


Fotonya enggak nyambung gapapa ya.



Saya pakai online aja ketimbang daring. Bukan karena enggak cinta dan menghormati bahasa Indonesia, tapi rasanya lebih alamiah aja. Seperti yang kebanyakan dari kita alami, perkembangan teknologi sekarang mengubah banyak hal, termasuk cara belanja. Belanja online udah bukan hal aneh, malah jadi kebiasaan dan bagian keseharian manusia modern. Enggak terkecuali perkara belanja buku.

Sebagai orang yang senang menumpuk buku (harap jangan ditiru, kalau beli buku sebaiknya langsung dibaca) saya hobi banget belanja buku. Baru melihat-lihat buku aja saya udah senang. Ketika membayar buku yang saya incar, perasaan senangnya bertambah. Perasaan senang yang saya dapatkan saat belanja buku kadang-kadang nyaris seintens ketika membacanya.

Sekali waktu, saya masih belanja buku di toko buku offline (luring: luar jejaring), tapi sekarang lebih sering belanja di toko buku online. Alasannya simpel: cepat, gampang, praktis. Memang ada biaya  pengiriman, tapi saya anggap aja itu buat bayar ongkos karena saya enggak perlu berkendara motor dan muter-muterin toko buku tanpa kepastian ada enggaknya buku yang saya cari.

Nah, berikut ini 5 toko buku online favorit saya, yang paling sering saya samperin setiap pengin belanja buku:


1. Kedaiboekoe (@kedaiboekoe) - highly recommended!

Mereka punya akun Twitter maupun Instagram, tapi saya lebih sering skrol-skrol katalognya di Twitter. Adminnya update setiap hari. Yang saya suka, update-nya sering tematik. Misal di jam-jam tertentu di setiap harinya yang diunggah katalog buku-buku tema agama, bola, atau fiksi. Saya sering belanja di Kedaiboekoe kalau pengin cari buku-buku nonfiksi terjemahan Indonesia tema agama. Sudah berkali-kali belanja buku di sini, belum pernah kecewa satu kali pun.


2. Periplus.com

Tiga bulan terakhir saya hampir selalu belanja di web Periplus kalau pengin beli buku-buku impor. Koleksinya banyak banget karena basis datanya world wide, enggak seperti toko offline-nya yang terbatas. Proses pembelian jelas dan mudah. Kalau punya kartu member Periplus malah bisa dapat diskon tambahan. Waktu pengiriman cukup lama (2-3 minggu) tapi buat saya enggak masalah.


3. Mizanstore.com

Salah satu toko buku online Indonesia yang lumayan sering bikin event buku diskon, dan biasanya lumayan gede. Terakhir saya belanja baru-baru ini pas ada event diskon 35% dalam rangka ulang tahunnya. Proses pembelian mudah. Dapat notifikasi yang tertib setiap ada perkembangan selama proses pengiriman, jadi melacaknya pun gampang.


4. Gramedia.com

Belanja buku di web ini untuk alasan yang sama seperti Mizanstore.com, karena sering bikin event buku diskon. Proses pembelian pun mudah. Memang sempat kena masalah yang waktu event gede-gedean itu, tapi menurut saya kasus tersebut pengecualian. Saya tetap bakal beli buku di sini kalau ada event diskonan lagi.


5. Toko Ami Toko Buku (Instagram: @tokoami) -- highly recommended!

Koleksi buku impor bekasnya mantap. Langsung aja meluncur ke galerinya di Instagram. Kemarin saya nemu novel We Yevgeny Zamyatin dan White Noise Don DeLillo harga murah meriah dibanding cetakan baru. Kalau mau beli buku di sini harus gercep alias gerak cepat, karena hampir semua sudah sold out, dan kalau ada buku baru cepet banget terjual. Buruan selamatkan incaranmu!

Bagaimana Saya Membaca Buku

$
0
0


Saya cukup sering dapat pertanyaan di Twitter atau Instagram seputar buku. Mulai dari rekomendasi buku, tempat beli buku, sampai cara saya membaca buku. Yang terakhir ini menggelitik saya karena sepertinya saya memang belum pernah cerita tentang cara membaca buku. Semata-mata karena saya merasa enggak ada yang khusus dari cara saya membaca buku.

Tapi saya percaya membaca adalah kegiatan yang sangat personal. Setiap orang bisa punya pengalaman, tujuan, termasuk cara membaca buku yang berbeda. Saya pernah dengar seorang teman yang juga penulis berkata ke pembacanya di sebuah talkshow bahwa ia membaca beberapa buku sekaligus.

Menarik, saya pikir. Kenapa saya tidak pernah mencoba membaca beberapa buku sekaligus? Pulang dari talkshow itu saya melakukannya. Saya baca empat buku, bergantian sesuai mood. Ternyata tidak berjalan baik. Saya sulit fokus, enggak memperoleh ikatan yang kuat pada buku mana pun, dan yang paling parah, susah mengingat apa yang sudah saya baca.

Terus saya teringat lagi pada hal yang saya yakini sejak awal, bahwa membaca merupakan kegiatan yang sangat personal. Mungkin bagi teman saya, membaca beberapa buku sekaligus membantunya untuk membaca lebih banyak atau lebih baik, tapi cara itu tidak berhasil buat saya. Saya lebih senang baca satu buku demi satu buku, menyelesaikannya sebelum berpindah ke yang lain.

Jadi mungkin memang ada yang bisa dibagi tentang cara membaca. Setelah mengingat-ingat pengalaman sendiri, kira-kira beginilah cara saya membaca buku selama ini:


1. Satu-Satu

Saya sudah coba membaca beberapa buku sekaligus. Tidak berhasil. Bukannya meraup lebih banyak pengetahuan, saya jadi enggak fokus dan gampang lupa sama apa yang sudah saya baca.

Jadi saya balik ke cara semula, beresin dulu satu buku baru pindah ke yang berikutnya. Cara ini bikin saya lebih fokus dan mengingat lebih baik. Keterikatan dengan apa yang saya baca pun jadi terasa kuat, efek aftertaste-nya pun jadi lebih membekas.


2. Bikin Jadwal Baca

Pada dasarnya saya senang membaca, jadi tanpa bikin jadwal pun saya tetap akan membaca setiap hari. Tapi ada saatnya saya mewajibkan diri untuk membaca, terutama ketika lagi malas membaca dan tumpukan buku yang belum terbaca semakin tinggi. Saya punya jadwal membaca buku yang simpel: satu jam tiap pagi habis bangun tidur dan satu jam sebelum tidur malam. Ini hanya batas minimum. Seringnya saya keasyikan baca sampai lewat dari satu jam.

Jadwal seperti ini membantu saya mengurangi rasa berdosa pada buku-buku yang sudah dibeli dengan sporadis dan tak berujung jadi tumpukan di sudut kamar.

Juga membantu saya biar enggak dapat hasil yang malu-maluin di Goodreads Reading Challenge.


3. Bawa Bloknot & Sticky Notes

Yang paling penting dari membaca buku bukanlah seberapa banyak buku yang sudah kamu baca, melainkan seberapa dalam kamu memahami isi buku tersebut. Saya selalu bawa dua benda ini, bloknot & sticky notes untuk membantu saya mencatat & menandai bagian-bagian yang menarik selama membaca buku.

Bagian-bagian menarik bisa macam-macam: pernyataan, pertanyaan, istilah, informasi mengenai tempat, kronologi sebuah peristiwa, sampai referensi yang disebut oleh penulis. Yang terakhir ini bagian yang paling saya suka. Biasanya habis baca buku yang bagus jadi ketemu buku-buku berikutnya (atau bahkan film!) yang juga bagus.

Mencatat adalah cara saya mengingat dan memahami lebih dalam buku-buku yang saya baca.



Sticky notes warna-warni alat yang ampuh buat nandain bagian penting biar enggak lupa.


4. Telusuri Jejak-Jejak Referensi Lain

Biasanya kalau baca buku, saya enggak hanya baca apa yang ada di buku tersebut. Kalau nemu istilah, kota, organisasi, judul buku, judul film, jurnal, nama-nama tokoh, saya akan melakukan penelusuran lebih lanjut. Lewat apa? Google dong. Jadi sambil baca buku saya bakal mencatat dan sesekali buka browser buat cari tahu hal-hal yang disebut di buku tapi enggak dijelasin secara lengkap oleh penulisnya.

Dengan cara ini saya jadi dapat informasi lebih banyak dari apa yang disediakan di dalam buku. Saya jadi memperoleh pengetahuan yang lebih komperehensif, sekaligus mengantarkan saya ke wacana-wacana terkait yang seringnya membawa saya ke bacaan berikutnya yang lebih menarik.



Catatannya bisa jadi bahan buat bikin ulasan juga!


5. Tulis Ulasan Buku

Kalau kata David Mitchell, buku yang belum selesai dibaca ibarat hubungan asmara yang belum beres. Alias ngegantung enggak enak. Kata saya, bahkan buku yang sudah selesai dibaca pun belum berarti sudah beres. Bagi saya proses membaca sebuah buku baru bisa dikatakan selesai kalau sudah ditulis ulasannya.

Selain bukti kepada diri sendiri bahwa saya sudah selesai membaca buku tersebut, membuat ulasan adalah cara saya mengingat ulang dan mengelaborasi pengetahuan yang saya dapatkan dari buku itu.


Nah, begitulah kira-kira cara saya membaca buku. Kalau kamu gimana? Sama atau beda? Share dong di kolom komentar.

Banyak Jalan Menuju Bacaan Favorit Berikutnya

$
0
0







Pertanyaan lain dari pembaca yang pernah masuk ke kanal-kanal media sosial saya: bagaimana cara saya menemukan bacaan saya selama ini?

Ada satu fase dalam hidup saya ketika saya merasa tertinggal sebagai pembaca. Saya melihat teman-teman penulis yang sebaya membaca buku-buku bagus lebih banyak, salah satunya saya kira karena mereka membaca lebih awal. Sementara saya mulai belakangan. Mungkin karena tidak ada yang memberitahu saya buku apa yang harus dibaca dan di mana mencari buku-buku tersebut.

Saya percaya ada banyak jalan menuju bacaan favorit berikutnya, termasuk jalan-jalan berikut yang saya alami selama ini:


1. Rekomendasi Personal

Bacaan saya sejauh ini sebagian saya dapatkan dari rekomendasi orang-orang yang saya kenal. Beberapa di antaranya teman penulis. Suatu hari dalam perbincangan singkat dengan novelis, saya mendapat ide untuk membaca buku-buku peraih Nobel Kesusastraan. Penulis lain yang saya sukai karyanya membuat blog berisi jurnal tentang buku-buku yang ia baca. Sesekali di kesempatan lain, secara langsung saya mendapat rekomendasi bacaan dari teman yang cukup dekat yang juga penulis.


2. Penghargaan Buku

Saya juga mengumpulkan bacaan dari buku-buku yang memenangi penghargaan (paling sering Pulitzer Prize dan Man Booker Prize). Kadang-kadang enggak mesti yang juara, yang sekadar masuk nominasi pun saya catat karena ada kemungkinan lebih bagus dari yang menang. Jalan lain: saya mencatat buku-buku yang disebut di halaman-halaman buku yang sedang saya baca, yang menjadi rujukan penulisnya (saya menemukan Raymond Carver dan Dostoyevsky dari novel-novel Haruki Murakami).


3. Media

Sekali waktu saya juga menengok daftar buku rekomendasi di media mainstream, semacam 100 Notable Books oleh New York Times atau The Best 100 Nonfiction Books oleh The Guardian. Tentu saya tidak mencatat semuanya, hanya beberapa yang kutipan atau ulasan singkatnya menarik perhatian saya. Di lain waktu saya tidak mencari buku, melainkan penulis yang menulis buku dengan tema terkait buku yang sedang saya baca. Misal ketika saya membaca Sejarah Tuhan Karen Armstrong, saya menemukan Richard Dawkins yang menulis The God Delusion dan Reza Aslan yang menulis God. Dalam hal ini, Internet sangat membantu.


4. Film

Kadang-kadang, saya mendapatkan rekomendasi bacaan dari film yang saya tonton. Film-film bagus biasanya menampilkan adegan aktor atau aktris yang sedang membaca buku. Meski seringnya cuma jadi pajangan, tapi kemunculan buku di adegan-adegan film bisa memberi ide bacaan berikutnya. Saya pernah membaca ulang The Old Man and the Sea Ernest Hemingway setelah melihat Denzel Washington membaca buku tersebut di sebuah kafe, dalam film The Equalizer. Saya membeli buku The Orchid Thief Susan Orlean usai menonton Adaptation, Spike Jonze.


5. Medsos

Twitter, Facebook, dan Instagram juga punya andil cukup penting bagi pencarian saya atas bacaan baru. Suatu hari saya membaca percakapan dua orang teman penulis di Twitter dan dari sana saya menemukan penulis favorit saya, Etgar Keret. Ketika sering mengoceh soal Etgar Keret, seorang admin toko buku daring memberitahu saya penulis asal Yahdu lainnya: Benny Barbash, novelnya berjudul menarik, My First Sony. Saat mencari buku-buku kajian Islam, saya bertanya via Instagram Story dan mendapatkan banyak rekomendasi buku, salah satunya yang kemudian jadi favorit saya, Islam: Pemikiran dan Peradaban oleh Fazlur Rahman.


Omong-omong soal rekomendasi, sebetulnya saya cukup sulit menerima saran bacaan dari orang lain, terutama yang belum saya percayai selera bacaannya. Saya harus mengakui ini karena cukup sering merasa bersalah ketika ada teman atau kenalan yang menyarankan saya untuk baca buku ini dan itu tapi enggak pernah saya anggap serius, padahal mereka memberi rekomendasi dengan sangat antusias. Masalahnya, saya sudah punya daftar bacaan. Semacam daftar pekerjaan rumah yang saya rancang. Saya hanya akan menginterupsi daftar tersebut jika saya sendiri yang menemukan bacaan baru di luar daftar, atau seseorang yang saya percayai bacaannya memberi saya rekomendasi.

Hal-hal bagus datang dari berbagai arah. Jika kita membuka mata dan tahu apa yang ingin kita cari, niscaya bakal ketemu. Apalagi ada Internet, rasanya enggak ada alasan untuk enggak menemukan bacaan bagus. Terus, katanya kalau kita memikirkan sesuatu terus-menerus, kita akan terus-terusan melihat hal tersebut di berbagai tempat yang kita datangi. Jadi teruslah pikirkan buku di kepalamu, niscaya buku-buku bagus, bacaan favoritmu berikutnya, akan muncul ke manapun arah matamu memandang.

The Selfish Gene, Richard Dawkins

$
0
0


Mungkin di usia seperempat abad, saya mulai bertanya-tanya, apa artinya hidup? Hidup yang saya maksud kehidupan biologis seluruh makhluk hidup khususnya manusia. Saya tidak bisa berhenti memikirkan buat apa manusia ada. Manusia lahir, menua, kemudian mati. Beberapa yang cukup beruntung sempat memiliki keturunan sebelum mencapai ajal. Silsilah berlanjut.

Tapi mau ke mana? Di mana ujung siklus yang membosankan dan begitu tertebak ini? Buat apa siklus ini ada? Apa tujuannya? Atau kita kembali ke pertanyaan yang mungkin mendahului semua itu: gimana bisa ada kehidupan?

Jawabannya mungkin akan kurang memuaskan bagi yang bersikeras hidup punya makna mendalam dan tujuan agung. Maaf, tapi semua ini terjadi semata-mata karena kebetulan. Kehidupan tercipta karena suatu kebetulan dan, ini yang lebih bikin zonk, enggak punya tujuan. Iya, kehidupan ini kebetulan aja dan enggak ada tujuannya. Saya, kamu, mereka, ada karena kebetulan. Buat apa manusia ada di dunia? Enggak tahu. Enggak ada tujuan.

Bagi beberapa orang, arti kehidupan mungkin datang melalui peristiwa emosional, perjalanan batin, atau kejadian besar yang mengguncang hidupnya. Buat saya, arti kehidupan itu datang dari sebuah buku berjudul The Selfish Gene yang ditulis Richard Dawkins.

Dalam bukunya, Dawkins menjelaskan bagaimana kehidupan berlangsung dari sudut pandang gen, yang ujungnya menuju kesimpulan di paragraf sebelum ini. Makhluk hidup (tentu termasuk manusia) menurut The Selfish Gene tak lebih dari kendaraan yang ditumpangi gen-gennya untuk terus mereplikasi diri. Lebih spesifik lagi, kendaraan bagi keberlangsungan eksistensi gen egois.

Premis The Selfish Gene dirumuskan berdasarkan karya bertema serupa dari seorang ilmuwan biologi evolusioner Amerika bernama George C. Williams (mungkin enggak banyak yang kenal) sekaligus sebagai bentuk kritik atas teori evolusi Charles Darwin (yang ini lebih familier ya). Karena teori evolusi Darwin lebih populer mari kita bahas buku Dawkins sebagai respons atas pemikiran Darwin.

Karya Darwin yang judul panjangnya On the Origin of Species by Means of Natural Selection or the Preservation of Favoured Races in the Struggle for Life, yang lebih dikenal dengan versi pendeknya, On the Origin of Species, itu sebetulnya ngebahas banyak hal, tapi yang paling terkenal adalah bagian soal seleksi alam. Frasa Darwin, "survival of the fittest", jadi garis besarnya. Cuma makhluk yang mampu beradaptasi dengan perubahan di lingkungannya yang dapat bertahan hidup.

Seleksi alam, menurut Darwin, terjadi pada tataran individu. Dawkins berpikiran lain. Menurut Dawkins, seleksi alam berlangsung pada level yang lebih fundamental, yakni gen, unit terkecil pewarisan sifat yang menyusun, mengatur, dan memperbaiki fungsi biologis makhluk hidup. Pertempuran itu, "survival of the fittest" tidak terjadi di luar melainkan di dalam, di balik untai kromosom, berlangsung abadi meniti double-helix DNA & RNA di tubuh kita.

The Selfish Gene diterbitkan kali pertama tahun 1976, satu dekade setelah buku George C. Williams, Adaptation and Natural Selection, seabad lebih setelah On the Origin of Species. Dawkins meletakkan The Selfish Gene di posisi yang berseberangan dengan teori seleksi alam berdasarkan organisme individu dan kelompok. Buku setebal 357 halaman ini memuat penjabaran lengkap Dawkins tentang kehidupan dari sudut pandang gen.

Richard Dawkins membuka The Selfish Gene dengan pertanyaan dalam judul bab "Why Are People?"Kehidupan yang cerdas dimulai ketika manusia menemukan alasan keberadaannya (jawab: kebetulan). Dawkins melanjutkan ceritanya dengan memaparkan asal mula terjadi gen dan kemampuan utama yang dimiliki gen yakni mereplikasi diri.

Gen yang baik, menurut Dawkins, adalah gen yang egois, yakni gen yang melakukan apapun demi keberlangsungan dirinya sendiri. Seterusnya adalah cerita yang sangat menarik dan rinci tentang apa yang disebut agresi gen, pertarungan antar gender, dan masa depan gen. Dawkins memperlihatkan strategi bertahan hidup yang di dalamnya termasuk manipulasi atawa tipu-tipu, carmuk alias cari muka ke makhluk lain, dan melakukan pengorbanan yang sekilas tampak sebagai tindakan altruisme tapi sebetulnya semata-mata demi kepentingan egois gen.

Ada banyak banget hal menarik di buku The Selfish Gene. Kalau saya tulis satu-satu bakal terlalu panjang dan membosankan terutama bagi yang enggak begitu tertarik sama Biologi. Bab yang menurut saya dengan mudah menarik perhatian orang-orang adalah bagian "Battle of the Sexes"karena sangat sejalan sama situasi kehidupan nyata.

Dawkins memaparkan hal mendasar yang menentukan kejantanan dan kebetinaan makhluk hidup. Perbedaan ukuran sel telur dan sel sperma yang terjadi secara kebetulan (semula keduanya berukuran sama hingga tak bisa dibedakan) membuat hewan jantan dan betina punya strategi masing-masing yang unik demi keberlangsungan hidup mereka, termasuk memiliki kecenderungan berselingkuh (jantan) dan memanipulasi para jantan (betina).

Bagi yang kurang paham atau lupa apa itu gen, jangan khawatir. Meski enggak membahas struktur gen secara merinci, penjelasan Dawkins tentang asal-usul gen dan proses terjadinya evolusi akan sangat membantu memahami keseluruhan isi The Selfish Gene. Bahasa Dawkins pun enak dan ia kerap mengelaborasi pernyataan-pernyataannya jadi kita gak bakalan kehilangan jejak tentang apa yang sedang ia sampaikan. Tentu ada jargon dari lingkungan Biologi dan teori-teori ilmuwan lain yang dirujuk sepanjang penjelasan mengenai gen egois, tapi tanpa membaca lebih jauh teori-teori tersebut kita tetap bisa paham apa yang dimaksud Dawkins.

Sepanjang hidup yang sebetulnya enggak bertujuan ini, kita bisa membaca banyak buku, tapi sebetulnya enggak banyak yang betul-betul membekas dan mengubah cara pandang kita. Buat saya The Selfish Gene adalah satu dari sedikit buku yang mengubah pandangan saya secara permanen terhadap kehidupan. Saya enggak bisa lagi balik ke fase sebelum membaca buku ini. The Selfish Gene meninggalkan bekas abadi di pikiran saya, seabadi sang replikator, sang gen egois. ***

Genom, Kisah Spesies Manusia dalam 23 Bab

$
0
0




Jika unit terkecil materi adalah atom, maka unit terkecil penyusun makhluk hidup adalah gen. Apa itu gen? Ada pengertian teknis dan sederhana. Secara teknis gen adalah penggalan nukleotida yang menyusun kromosom dan menerjemahkan dirinya sendiri ke rantai protein yang menjalankan fungsi biokimia di tubuh kita. Sederhananya, gen adalah unit pewarisan sifat, yang diturunkan dari orangtua ke anak. Gen menentukan ciri fisik, fisiologi, bahkan takdir kita sebagai manusia.

Gen merupakan senyawa kimia dalam bentuk rangkaian amat panjang dari empat basa nitrogen: adenin, sitosin, guanin, dan timin. Disingkat A, C, G, T. Huruf-huruf tersebut tersusun menjadi apa yang kita kenal dengan sebutan DNA. Dalam menjalankan fungsinya untuk membentuk protein, DNA mengandalkan sepupunya, RNA.

DNA singkatan dari deoxyribonucleic acid (asam deoksiribonukleat). Dinamai demikian karena ia terdiri atas molekul yang disebut asam nukleat, yang terdiri atas gula (deoksiribosa), basa nitrogen, dan fosfat. Sepupunya, RNA, singkatan dari ribonucleic acid (asam ribonukleat) punya struktur kimia yang mirip, hanya berbeda di gula dan basa nitrogen. Jika DNA terdiri atas huruf-huruf A, C, G, T, maka RNA: A, C, G, U, dengan U untuk urasil.

Meski enggak kelihatan dari luar, tubuh kita terbentuk dari huruf-huruf tersebut: A, C, G, T. Lebih tepatnya serangkaian amat panjang dari huruf-huruf tersebut. Ada kira-kira 3 juta huruf. Menurut Matt Ridley dalam bukunya, Genom, kalau rangkaian huruf gen manusia dicetak, tebalnya 5.000 kali buku Genom (400 halaman versi bahasa Indonesia; 340 versi bahasa Inggris). Betewe, yang dimaksud "genom" adalah seperangkat lengkap gen.

Buku Genom: Kisah Spesies Manusia dalam 23 Bab yang ditulis seorang jurnalis Inggris bernama Matt Ridley menjelaskan gen manusia dalam bahasa sangat sederhana. Seperti buku sains popular lain, Genom memang dikemas untuk pembaca awam, jadi saya sangat terbantu dengan penjelasan Ridley. Bagian pendahuluan buku memberi pemaparan efektif tentang genom yang akan membantu kita memahami bab isi.

Untuk menjelaskan gen, Ridley menggunakan perumpamaan buku. Jika genom (seperangkat lengkap gen) adalah sebuah buku, maka bab-babnya disebut kromosom. Setiap bab mengandung beberapa ribu cerita, disebut gen. Setiap cerita tersusun atas paragraf-paragraf, disebut ekson, yang diselang-selingi iklan, disebut intron. Tiap paragraf terbentuk dari kata-kata, disebut kodon. Tiap kata ditulis menggunakan huruf-huruf yang disebut basa.

Saya sendiri belajar memahami gen dengan membayangkannya dari hirarki terluar organisme kemudian melakukan zoom in hingga ke bagian terdalam: kita punya tubuh, yang terdiri atas organ-organ, yang terdiri atas jaringan-jaringan, yang terdiri atas sel-sel. Sel memiliki inti sel yang disebut nukleus, yang di dalamnya terdapat kromosom-kromosom, yang di dalamnya lagi terdapat gen, yang terdiri atas huruf-huruf basa: A, C, G, dan T.

Begitu krusialnya rangkaian huruf tersebut sehingga sedikit perubahan saja bisa membuat seseorang menderita penyakit genetik (kita lebih mengenal penyakit genetik dengan istilah penyakit keturunan) seperti down syndrome, hemofilia, atau kanker rahim. Perubahan itu disebut mutasi. Mutasi di bagian tertentu memunculkan "gen untuk hemofilia" atau "gen untuk down syndrome", tetapi pada situasi berbeda, gen yang sama menjalankan fungsinya secara normal dan tidak memunculkan penyakit apapun.

Meski demikian Matt Ridley berkali-kali mengingatkan dalam Genom bahwa gen tidak hadir untuk membawa penyakit. Kecenderungan orang-orang mengaitkan gen dengan penyakit membuat asumsi bahwa gen semata-mata muncul untuk mendatangkan penyakit. Asumsi yang tidak sepenuhnya tidak berdasar, karena seperti Ridley katakan sendiri, "dari satu sisi genom adalah sebuah rekaman tertulis tentang penyakit-penyakit masa lalu".

Matt Ridley menceritakan cukup banyak hal melalui 23 bab buku Genom. Jumlah bab tersebut disengaja, merujuk pada jumlah kromosom manusia. Pada setiap bab Ridley memilih gen yang terdapat di kromosom terkait untuk menceritakan sesuatu yang tematik. Misalnya bab "Kromosom 17" yang membahas tentang maut. Di kromosom 17 (kromosom diurutkan berdasarkan ukuran) terdapat gen bernama TPS3, yang diketahui berfungsi untuk menekan tumor. Mutasi pada gen ini paling menentukan dalam perannya sebagai penyebab kanker mematikan.

Genom adalah bacaan yang cocok bagi yang pengin mengenal serba-serbi seputar genom manusia. Disusun secara tematik dan dituturkan lewat bahasa yang mudah dicerna, Genom memberi kita pemahaman yang menyenangkan tentang hubungan gen dengan hidup bahkan matinya manusia.

Bagi yang skeptis sama kualitas buku terjemahan bahasa Indonesia, jangan khawatir, Genom diterjemahkan dengan baik. Saya enggak mengalami kesulitan memahami tuturan Matt Ridley. Seperti sempat saya sebut, bagian pendahuluan buku ini yang memberi perumpamaan tentang gen, sangat membantu saya buat mengikuti cerita-cerita di bab selanjutnya yang lebih spesifik.

Jika pengetahuan menyeluruh tentang genom merupakan tangga panjang menuju ruangan besar berisi hal-hal esoterik, Genom-nya Matt Ridley adalah anak tangga pertama yang ramah pengunjung.

The Gene, Siddhartha Mukherjee

$
0
0



Gen, kata Siddhartha Mukherjee dalam bukunya, The Gene, adalah salah satu gagasan yang mengguncang tatanan dan paling berbahaya sepanjang sejarah dunia sains. Kesimpulannya bukan tanpa alasan. Tiga penemuan gagasan fundamental di dunia sains yang bermunculan sepanjang abad ke-20: atom, bit, dan gen, lahir sebagai konsep ilmiah yang abstrak, tetapi berkembang menjadi invasi tersendiri ke dalam diskursus manusia dan mengubah struktur sosial, politik, bahkan bahasa.

Kita sering mendengar dan mengucapkan kata "individu" tetapi mungkin jarang memikirkan apa yang dimaksud dengan kata tersebut. Individu berarti sesuatu yang tidak bisa dibagi lagi: indivisible. Pertanyaannya adalah pada tataran apa diri kita tidak bisa dibagi lagi? Jika seseorang cukup gila menetak lehermu sampai putusmu maka tubuhmu akan terbagi dua. Jadi hal apa yang terdapat di dalam diri kita yang tidak dapat dibagi menjadi lebih kecil?

Jawabannya adalah gen. Gen adalah unit informasi terkecil makhluk hidup yang tidak dapat dibagi lagi. Tersusun atas rantai basa nitrogen dengan komposisi huruf yang terkenal: A, C, G, T (atau U), gen menyimpan seluruh informasi yang diterjemahkan menjadi rangkaian protein, yang kemudian menyusun segala hal di tubuh kita: mekanisme biokimia, sistem organ, dan ciri fisik. Jika seluruh benda di dunia ini tersusun dari partikel atom, maka tubuh kita terdiri atas gen.

Siddhartha Mukherjee, onkolog asal India-Amerika menulis buku yang sangat bagus tentang gen. The Gene bukan hanya buku yang menjelaskan secara komperehensif apa itu gen, tetapi memaparkan secara kronologis sejarah penemuan termasuk kisah-kisah ilmuwan yang mempelajarinya. The Gene tidak hanya menyajikan sejarah dan masa kini gen tetapi juga spekulasi menarik tetang masa depan gen, yang tentu saja akan mempengaruhi masa depan kita.

Seperti tagline yang tercantum di sampul, an intimate history, The Gene betul-betul buku sejarah yang terasa intim. Semua hal yang disampaikan Siddhartha Mukherjee mengenai gen tidak terkesan seperti materi kuliah yang berjarak dan sulit dipahami. Ketika ia menceritakan ilmuwan-ilmuwan yang bekerja di dunia Biologi dan mempelajari gen, ia juga menyisipkan sepenggal kisah hidup mereka. Sosok-sosok yang terlibat langsung maupun tidak di dunia genetika dihidupkan dalam adegan-adegan yang membuat kita merasa seperti sedang menonton film Hollywood.

Bagian pembuka The Gene bahkan dimulai dengan kisah pribadi penulisnya. Dokter Mukherjee menulis prolog tentang bagaimana ia dan ayahnya menghampiri Moni, sepupu Dokter Mukherjee, yang dirawat di rumah sakit jiwa. Jagu dan Rajesh, anggota keluarga mereka yang lain, juga mengidap kelainan jiwa. Dalam suatu wawancara di Youtube, Siddhartha Mukherjee mengaku bahwa riwayat anggota keluarganya itu menjadi salah satu alasan yang mendorong ia untuk mempelajari dunia medis.

Di samping cakupan informasi yang luas, merentang dari periode Charles Darwin dengan teori evolusi hingga ilmuwan-ilmuwan Biologi modern yang membahas nasib umat manusia pasca-genom, yang paling istimewa dari buku The Gene adalah bagaimana ia dituturkan. Elemen-elemen yang biasanya ditemukan di karya fiksi: penokohan, alur, deskripsi, bahkan dialog, menjadi kunci Siddhartha Mukherjee menyajikan ilmu genetika dalam bentuknya yang paling intim.

Menemukan kutipan dari Albert Camus, Haruki Murakami, dan George Orwell, tidak begitu sulit menebak kalau Siddhartha Mukherjee adalah dokter ahli kanker yang juga pencinta karya sastra. Ia menulis buku ilmiah dengan insting seorang novelis. Ia menyusun informasi dari seluruh aspek dunia genetika dalam kurva dramaturgi yang membuat kita mengantisipasi kejadian, menahan napas, dan merasa sedih saat tiba di bagian yang menggugah. Perhatikan penggalan paragraf The Gene ini ketika Siddhartha Mukherjee sedang berada di sebuah konferensi ilmiah yang membahas tentang genom:

...The bell chimed, and the geneticists returned to the auditorium to contemplate the future's future. Erika's mother wheeled her out of the conference center. I waved to her, but she did not notice me. As I entered the building, I saw her crossing the parking lot in her wheelchair, her scarf billowing in the wind behind her, like an epilogue.

Ada banyak hal yang diceritakan tentang gen di buku The Gene, tapi mungkin yang paling menarik adalah pertanyaan tentang masa depan manusia pasca-genom. Saat ini hampir seluruh genom manusia telah dapat dibaca. Teknologi untuk membaca genom memungkinkan kita melakukan banyak hal terhadapnya, termasuk mengubahnya. Apa yang terjadi ketika komputer memahami instruksi yang ditulis untuk menciptakan dirinya?

Apa yang akan kita lakukan ketika kita dapat mengubah kode pembentuk diri kita? Apakah kita akan mengubahnya demi menjadi lebih sehat, lebih baik... lebih sempurna? Apa yang terjadi ketika manusia bisa mengubah bahan penyusun dasar dirinya? Apa manusia yang gennya telah dimodifikasi masih dapat menyebut dirinya manusia? Tatanan masyarakat macam apa yang bisa lahir dari kelompok manusia yang telah mengubah dirinya menjadi sesuatu yang bisa kita namai, katakanlah, pasca-manusia?

Yang paling menarik adalah bahwa pertanyaan-pertanyaan barusan bukan premis untuk sebuah novel fiksi ilmiah. Ilmu tentang genom adalah sesuatu yang nyata. Pembacaan genom telah rampung dilakukan. Modifikasi manusia pada tataran genetik sudah berjalan. Masa depan yang belum terbayangkan telah hadir begitu dekat dan intim, seintim sejarah genetika yang disajikan apik dalam buku The Gene.


Semasa Bersama Maesy & Teddy di Yogyakarta

$
0
0




Foto: Dokumentasi pribadi



Sejak awal, saya mengenal mereka sebagai pasangan.

Bahkan hingga hari ini setelah saya cukup sering bertemu dan berbincang dengan masing-masing dari mereka, saya tidak bisa memisahkan keberadaan mereka di kepala saya sebagai manusia yang sepasang. Dalam kepala saya, Maesy dan Teddy adalah The Dusty Sneakers dan mungkin akan selalu demikian.Mereka pasangan yang mengasuh sebuah toko buku independen di satu titik bagian selatan Jakarta, Post. Mereka adalah pasangan yang mencintai buku. Setelah mereka menerbitkan Semasa, kini mereka juga adalah pasangan penulis.

Minggu, 22 April 2018, saya bertemu mereka di Yogyakarta, kota yang telah saya tinggali selama 11 tahun terakhir. Sebelumnya saya pernah bertemu Teddy di Yogyakarta, tanpa Maesy (yang pertama saya tanyakan ketika bersalaman dengannya adalah “Maesy lagi di mana?”). Saat itu kami menghadiri acara pernikahan seorang teman yang juga bergiat di dunia buku. Maesy, saya baru kali pertama bertemu dengannya di Yogyakarta.

Hari itu kami membuat janji temu untuk ngopi sambil mengobrol santai di sebuah kedai kopi kecil di tengah-tengah Yogyakarta. Saya sudah tiba di lokasi sekira dua jam sebelumnya karena secara kebetulan ada janji dengan orang lain di tempat yang sama. Tak lama setelah urusan saya beres, Maesy dan Teddy muncul di kedai. Kami saling menyapa. Saya mempersilakan keduanya duduk. Senyum tak lepas dari wajah mereka yang tampak begitu ceria. Ketika percakapan mulai bergulir, Maesy mengaku bahwa mereka belum sempat mandi dan sedang kurang tidur.

Beberapa hari sebelum kami bertemu, seorang teman lain menghubungi saya. Irwan Bajang mengabari bahwa Maesy dan Teddy akan ke Yogyakarta untuk acara buku mereka yang terbaru, Semasa. Bajang mengajak saya untuk membahas buku tersebut. Saya tak berpikir dua kali, langsung saya iyakan. Pertama karena saya memang rindu ingin bertemu pasangan itu. Kedua karena saya senang mengetahui pasangan favorit saya di dunia buku menerbitkan karya fiksi pertama mereka.

Siang itu ketika kami bersua di kedai kopi, Maesy mengenakan kaus lengan pendek hitam polos dan rok sebetis berwarna dasar hitam dan motif polkadot. Teddy datang dengan kaus lengan pendek marun polos dan chino krem. Mereka selalu tampil santai. Jikapun ada yang sedikit berbeda siang itu adalah warna highlight abu-abu pada rambut Maesy. Ketika Maesy bilang mereka tak sempat mandi karena belum dapat check-in di penginapan di Yogyakarta, saya menggeleng karena berpikir mereka rapi dan baik-baik saja, sama sekali tak terlihat seperti belum mandi.

Hal pertama yang membuat saya gembira ketika bertemu mereka hari itu adalah minuman yang mereka pesan. Maesy memesan segelas es kopi susu, sementara Teddy secangkir kopi seduh manual. Kalau tak salah, Teddy memesan kopi Ethiopia. “Kopinya enak,” komentar Maesy. Saya bilang kedai kopi tempat kami bertemu itu memang serius melakukan kurasi terhadap biji kopi yang mereka seduh. Sama seriusnya seperti ketika Maesy dan Teddy menyeleksi buku-buku di Post.

Saya berniat mewawancarai mereka di kedai kopi tersebut, tetapi kami keasyikan mengobrol tentang hal-hal lain. Terlebih ketika kami kedatangan dua tamu baru, Eka dan Tami, pasangan pegiat buku lainnya. Saya dan Teddy sempat menghadiri resepsi pernikahan mereka di Yogyakarta. Novel perdana Maesy dan Teddy, Semasa, diterbitkan Penerbit Oak yang diasuh Eka.

Saat Eka dan Tami tiba di kedai, hari telah cukup sore, sementara acara diskusi buku Semasa dimulai pukul 16.00 WIB di kedai kopi lain. Kami berpindah tempat. Saya memutuskan untuk mewawancarai Maesy dan Teddy seusai acara.






Dari mana datangnya ide untuk menulis Semasa?

Maesy: Kami bukan jenis penulis yang ingin menulis karya yang sama terus-menerus. Setelah buku pertama terbit kami enggak pengin menulis tentang kisah perjalanan lagi. Jadi kami memang pengin menulis karya fiksi karena belum pernah. Kami tertarik bentuk novela karena menurut kami belum banyak dieksplorasi di sini.

Sebagai pembaca, kami lebih banyak menikmati karya-karya yang eksperimental, yang bermain bentuk dan penuh kejadian yang fantastis. Ketika menulis, justru kami pengin bikin cerita yang sangat sehari-hari dan sederhana.

Teddy: Suatu hari kami baca esei foto tentang dua anak kecil yang bersaudara. Di esai itu mereka tampak sangat akrab. Itu memunculkan pertanyaan, “Setelah mereka besar apakah akan tetap akrab ya?” Setelah itu kami mengobrol dan saling tanya tentang masa kecil kami. Kejadian yang biasa saja sebetulnya, seperti kami selalu mengobrolkan buku-buku yang kami baca.

Waktu itu kami memang sudah punya keinginan menulis novela dengan gagasan yang bentuknya slice of life. Ide tentang keluarga yang para anggotanya dekat kemudian jadi berjarak, yang kami peroleh dari obrolan usai membaca esei foto tersebut, terasa menarik untuk ditulis. Kami menggarap gagasan tersebut karena ia mampu menjadi cerita yang sederhana dan meaningful tanpa perlu didukung dengan, misalnya, plot yang fantastis.


Kenapa ingin menulis cerita yang sederhana?

Teddy: Permasalahan di dalam keluarga sering tampak sederhana di mata orang luar, tapi sebetulnya tidak sederhana di diri orang-orang yang mengalaminya. Perasaan-perasaan itu yang ingin kami munculkan.

Selain itu, tidak ada alasan yang lebih mendasar dari yang tadi sudah dikatakan oleh Maesy. Kami banyak membaca cerita-cerita yang fantastis dan justru karena itu kami pengin menulis cerita yang sederhana.

Maesy: Buat kami membaca adalah kebutuhan. Ketika menulis kami bertanya-tanya, bisa enggak ya kami menulis sesuatu yang berbeda dari yang kami baca? Aku sendiri ingin tidak mengikuti penulis tertentu yang aku suka.


Kenapa seperti itu?

Maesy: Menulis itu susah. Ketika kami menyisihkan energi untuk menulis sesuatu, kami ingin menulis dengan cara kami sendiri. Lagi-lagi karena kami banyak membaca novel Amerika Latin dan Indonesia yang bermain dengan bentuk, kami ingin tahu apakah kami bisa menulis sesuatu yang sederhana, yang sehari-hari. Apakah orang-orang bisa menangkap apa yang coba kami sampaikan meskipun di dalamnya tidak terdapat konflik sentral dan lebih banyak hal-hal yang sifatnya subtil.

Bagi kami, itu lebih menantang.

Teddy: Kami ingin invest waktu yang kami punya untuk menuliskan sesuatu yang dekat dengan kami. Keluarga adalah tema yang cukup dekat. Cerita yang kami tulis tentang keluarga memang perlu diceritakan seperti kami menuliskannya.

Maesy: Kami deg-degan, sebetulnya, karena kami tahu pilihan cara bercerita yang kami ambil bisa jadi membuat orang merasa Semasa terlalu pucat dan bahkan membosankan.

Teddy: Pada cerita-cerita dengan plot yang seru, pembaca akan tetap dapat menikmati ceritanya walaupun tidak begitu merasa terhubung. Tapi ketika plot yang semacam itu tidak hadir, pembaca harus dapat merasa terhubung dengan apa yang cerita tersebut coba sampaikan untuk bisa menikmatinya. Beban terbesar kami di Semasa adalah membangun keterhubungan pembaca dengan kisah yang kami tulis.


Ini kali pertama kalian menulis tentang keluarga?

Maesy: Keluarga adalah hal yang sangat personal bagi kami, jadi kalau bukan lewat medium fiksi sepertinya enggak akan pernah kami tulis. Aku sendiri enggak akan bisa menulis karya nonfiksi tentang keluarga, seperti memoar atau semacamnya. Kalau lewat fiksi, kita bisa menuangkan apa yang kita pikirkan tentang keluarga tanpa harus menuliskan kisah tentang keluarga kita sendiri.

Teddy: Semasa bukan cerita tentang apa yang keluarga kami alami.

Maesy: Iya, Semasa bukan kisah yang otobiografis.

Teddy: Tapi refleksi tokoh-tokohnya merupakan hal-hal yang memang kami pikirkan. Misal seperti yang tadi Maesy cerita, tentang orang yang melakukan hal-hal besar dan dihargai publik, serta hubungannya dengan persoalan keluarga yang tidak glamor. Jika ada yang tanya apakah ada diri kami di dalam tokoh-tokoh Semasa, mungkin lebih terletak pada reaksi-reaksi mereka terhadap apa yang mereka alami.


Semasa adalah novel duet. Bagaimana secara teknis cara kalian mengeksekusinya?

Teddy: Tadinya kami ingin pakai dua narator, dariku (Coro) dan dari Maesy (Sachi), tapi kemudian kami putuskan untuk menggunakan satu narator saja. Untuk menjaga konsistensi suara narator, diputuskan bahwa penulis akhirnya aku. Banyak bagian Semasa yang ditulis oleh Maesy terlebih dahulu, lalu ditulis ulang olehku agar sesuai dengan sudut pandang Coro.

Maesy: Kami menulis dengan lambat, tidak bergantian menulis setiap bab.

Teddy: Mainnya di paragraf atau adegan. Seperti adegan tokoh-tokohnya berkemas barang di rumah yang baru saja dijual, itu Maesy yang tulis. Setelah itu baru aku tulis ulang.

Maesy: Soalnya Teddy ini, kan, bahasa Indonesianya sangat spesifik. Sintaksnya Teddy itu particular, dia akan menuliskan kalimat dengan cara yang tidak seperti orang lain ketika menggunakan bahasa Indonesia. Sedangkan aku lebih banyak menulis dalam bahasa Inggris. Caraku berpikir dan membentuk kalimat berbeda sekali dengan cara Teddy. Maka solusinya Teddy harus melihat apa yang aku tulis, lalu dia bahasakan sendiri, supaya narator Semasa enggak punya kepribadian ganda.


Bagian mana di Semasa yang butuh waktu pengerjaan paling lama?

Maesy: Menemukan gagasan untuk meneruskan bab pertama. Jarak dari penulisan bab pertama ke bab kedua itu lama banget karena kami belum menemukan konflik.

Teddy: Bagian penutup Semasa juga sangat lama ketemunya. Resolusi di cerita Semasa itu, kan, jenisnya off-screen. Coro dan Sachi dari kejauhan melihat Bapak dan Bibi Sari lagi bicara untuk menyelesaikan masalah yang ada.

Maesy: Kami sengaja pakai resolusi yang off-screen karena biasanya cerita bertema keluarga yang dituturkan dari sudut pandang anak muda diselesaikan oleh anak muda tersebut, sebagai hero cerita. Tapi kami ingin perlihatkan bahwa orang tua di dalam keluarga juga dapat menyelesaikan masalah mereka sendiri. Apalagi karakter Bapak dan Bibi Sari yang sangat rasional dan mencintai satu sama lain.

Teddy: Iya, dan karena itu mereka bisa menyelesaikan masalah mereka sendiri. Itu yang bikin kami berdiskusi gimana caranya menyampaikan ini ke pembaca. Ketemulah solusi membuat penyelesain konflik yang off-screen.


Kenapa rumah peristirahatan di Semasa diberi nama Pandanwangi?

Teddy: Enggak ada alasan khusus. Termasuk juga nama tokoh-tokoh di Semasa, Coro dan Sachi. Nama Paman Giofridis pun muncul begitu saja.

Maesy: Kami enggak begitu mikir soal nama. Yang lebih kami pikirin adalah, mereka ini siapa. Sebenarnya bisa aja, sih, kami ngarang. Misalnya Coro artinya kecoa, jadi cerita kami ini sebetulnya rada Kafkaesque (ketawa), tapi ya buat apa kami bohong.


Seberapa banyak bagian kehidupan keluarga kalian hadir dalam Semasa?

Maesy: Seperti yang Coro dan Sachi alami, waktu kecil keluargaku punya rumah peristirahatan di daerah Puncak, Bogor. Tapi keluargaku beda banget dengan keluarga Coro dan Sachi. Mereka keluarga kecil, sementara aku anggota keluarganya banyak banget. Lebih dari 20 orang.

Teddy: Bagian kuis di mobil. Waktu kecil, kalau aku mulai capek dalam perjalanan di mobil sama kakekku, dia kasih tebak-tebakan: mobil berikutnya yang di depan kami platnya berangka ganjil atau genap.

Maesy: Bagian Sachi yang kurang tangkas dan sering muntah di mobil itu kayaknya aku (ketawa). Sampai di situ aja, sih. Lainnya enggak.

Teddy: Bagian dari kehidupan kami yang lebih banyak muncul di Semasa menjadi refleksi kejadian-kejadian yang dialami tokoh-tokohnya. Misalnya pada saat Coro dan Sachi di minimarket melihat ada pasangan bertengkar, Sachi mengajak Coro keluar melihat kalau-kalau terjadi pemukulan di antara mereka.

Adegan itu sebetulnya refleksi permasalahan-permasalahan yang muncul di keluarga, yang hadir lewat pertanyaan seperti: Sampai mana, sih, kita sudah berusaha untuk melakukan apa yang seharusnya dilakukan? Kapan tepatnya kita memutuskan bahwa kita sudah melakukan sesuatu dengan cukup? Apakah kita harus bertindak lebih jauh, karena kalau tidak nanti kita akan merasa bersalah?

Saat ayahku meninggal, pertanyaan yang muncul di kepalaku adalah apakah aku sudah mengobrol cukup dengan dia sehingga dia punya closure yang baik. Apakah dia pergi dengan kondisi sudah membicarakan semua yang harus dia bicarakan denganku. Aku selalu berusaha mengobrol dengan ayahku karena kami memang dekat, tapi the question of whether it’s enough or not selalu ada.

Maesy: Kalau aku berbeda. Bukan cuma persoalan whether it’s enough or not, tapi perkara what should we do? Kalau ada masalah di keluarga, is it something people need to resolve on their own? Is that a role for me to step in? Should I or should I not?


Setelah menulis Semasa apakah kalian sudah mendapatkan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan tersebut?

Maesy: Enggak.

Teddy: Menurutku kita enggak akan pernah tahu, tapi kalau aku, aku sudah memutuskan untuk berdamai dengan pertanyaan-pertanyaan itu.


Siapa penulis yang muncul di kepala kalian saat menulis Semasa?

Teddy: Kalau ada yang bilang Semasa bertempo lambat seperti karya-karya penulis Jepang, mungkin karena pada waktu itu aku juga lagi baca Hiromi Kawakami.

Maesy: (Ke Teddy) Tapi kamu baca Hiromi Kawakami itu dari berapa ratus buku lain yang juga kamu baca di periode penulisan Semasa. Kalaupun memang ada pengaruhnya mungkin secara enggak sadar.





Gaya narasi di Semasa, apakah sesuatu yang kalian bentuk atau hadir dengan sendirinya?

Maesy: Waktu menulis Semasa kami enggak mikirin gaya narasi. Kami lebih sibuk mengolah karakter, apa yang terjadi dengan mereka dan apa yang pengin mereka lakukan. Ini kali pertama kami menulis fiksi dan kami merasa harus terlebih dahulu mengerti universe ceritanya. Jadi kami lebih banyak menghabiskan waktu di sana.

Teddy: Kalau di nonfiksi, peristiwa apapun yang kami tulis memang sudah kejadian. Kami tidak perlu, misalnya, membuatnya masuk akal. Tapi kalau di fiksi, ketika karakter-karakternya bertindak, harus ada alasan. Kami sibuk menggarap bagian-bagian tersebut. Kami juga lebih banyak fokus mengolah bunyi kalimat, memastikan kalimat-kalimatnya sudah tepat menyampaikan apa yang pengin kami sampaikan. Soal gaya, enggak terlalu kami pikirin.


Mana yang lebih bikin repot, fiksi atau nonfiksi?

Maesy: Fiksi. Jauh lebih bikin repot.

Teddy: Fiksi lebih susah.


Kenapa?

Maesy: Itu tadi, bikin semestanya. Kami sudah sering nulis blog, jadi ketika mau bikin memoar, misalnya, tinggal memutuskan how much do we want to reveal, how do we say the story. Kalau fiksi, boro-boro mau mikirin itu, pertama-tama harus mikirin dulu ini karakter-karakternya siapa, kenapa mereka begini dan begitu.

Teddy: Maesy, misalnya, waktu bikin tulisan nonfiksi tentang refleksi being Chinese in Jakarta, itu enggak harus dijelaskan terlalu merinci mengenai karakternya. Kalau di fiksi perlu diolah lagi.

Maesy: Tapi justru jadi menyenangkan karena kami mencoba sesuatu yang baru.

Teddy: Kalau nanti kami nulis fiksi lagi, mungkin bakal lebih plot-driven.

Maesy: (Ke Teddy) Mungkin akan menarik kalau kita nulis sesuatu yang kayak 69-nya Ryu Murakami. Karena ceritanya fun dengan tokoh-tokoh yang impulsif. These people (tokoh-tokoh di Semasa) are anything but impulsive. Mereka semua banyak mikir.


Sumber: Zinc

Kenapa menulis Semasa berdua? Kenapa enggak masing-masing dari kalian bikin novela?

Teddy:
Kami sudah punya dunia masing-masing dalam pekerjaan sehari-hari, jadi dalam hal yang kreatif kami suka mengerjakan sesuatu bersama-sama. Mengelola Post dan menulis, misalnya.

Maesy: Kami kalau berkolaborasi memang saling melengkapi banget. Pas menulis, misalnya, aku yang bikin struktur atau outline. Teddy yang mulai menuliskannya karena dia bisa lebih mengalir walau sering kehilangan arah. Jadi aku yang bantu mengarahkannya, tapi dari segi keluwesan atau memulai sesuatu, itu Teddy yang lebih bisa.


Apakah kolaborasi semacam itu juga terjadi di luar fiksi, maksudnya saat bekerja?

Teddy: Kami enggak terhubung kalau soal pekerjaan sehari-hari.

Maesy: Thank God (ketawa).

Teddy: Kalau pas menulis Semasa, aku lebih banyak yang setting the tone, bikin pembukaan babnya. Maesy bikin penutupnya.

Maesy: Menulis itu, kan, kegiatan yang sangat solitary. Aku merasa kalau menulis berdua Teddy jauh lebih menyenangkan. Karena kalau enggak, rasanya jadi terisolir banget. Kalau Teddy nulis sendiri terus nagging aku tiap tiga paragraf, aku enggak mau (ketawa).

Teddy: Iya. Aku tuh… agak clingy memang(ketawa).


Siapa yang bikin judul Semasa?

Teddy: Maesy.

Maesy: Menurutku cerita sesederhana ini cocok diberi judul dengan satu kata aja, dan aku suka Semasa karena sebagai kata ia lumayan simetris. Semasa bisa berarti macam-macam, apakah masa yang dimaksud itu masa sekarang atau masa lalu. Itu menggambarkan isi bukunya yang memang bergerak di dua alam waktu secara paralel.

Teddy: Waktu Maesy muncul dengan judul Semasa, aku merasakan ada sentuhan dreamy di dalamnya. Aku langsung suka.


Novela favorit kalian?

Maesy: Down the Rabbit Hole, Juan Pablo Villalobos.

Teddy: The Old Man and the Sea, Ernest Hemingway.

Maesy: (Ke saya) Kalau kamu?

Dengarlah Nyanyian Angin, Haruki Murakami.




Foto: Dokumentasi pribadi

Skenario Film Jadi Novel

$
0
0


Novel terbaru saya sudah terbit. Asal Kau Bahagia ditulis dari skenario film berjudul sama. Filmnya akan tayang akhir tahun 2018. Baca novelnya sebelum nonton filmnya.

Novelnya sudah bisa dibeli di Gramedia dan toko-toko buku online.

The Namesake dan Pantulan

$
0
0

-->

Saya selalu merasa buku bisa dinilai secara objektif. Dibedah, dimutilasi, dikorek isinya dengan sikap yang dingin. Dengan mata yang tak berbelas kasih. Isi buku dibaca, didekonstruksi, didakwa, menggunakan pisau kritik yang tak berjiwa. Tak peduli apakah buku tersebut sebetulnya mengandung hal-hal yang kita sendiri alami. Buku dalam beragam wajah dan sejarahnya, akan senantiasa tergeletak di atas meja operasi, berserah diri pada kesewenang-wenangan pembaca, sang dokter bedah.

Saya hanya pembaca, bukan kritikus sastra. Tidak punya gelar sarjana sastra. Tidak paham teori tentang karya sastra. Tidak punya pisau yang dibutuhkan untuk membedah karya sastra. Namun, sejujurnya saya pernah mencoba, tentu tanpa menyebut apa yang saya tulis sebagai sebuah kritik, tidak pernah. Saya hanya menulis ulasan. Awalnya saya mengira dapat membuat ulasan yang objektif, tapi lama-kelamaan saya merasa percuma saja mencoba. Buku akan selalu menjadi benda yang subjektif. Pembacaan atas buku akan sangat bergantung pada pengalaman pembacanya sendiri.  

Saya semakin meyakini hal ini ketika membaca novel The Namesake, Jhumpa Lahiri. Ketika membacanya, saya menangis di beberapa bagian, cukup banyak. Saya yakin, saya menangis bukan hanya karena The Namesake ditulis dengan bagus, tapi juga, dan terutama karena bagian-bagian buku tersebut menyentuh pengalaman personal saya. Identitas, keadaan, dan kegelisahan karakternya mencerminkan identitas, keadaan, dan kegelisahan personal saya sebagai manusia.

The Namesake terbit tahun 2003 dalam bahasa Inggris; diadaptasi ke film tahun 2006 oleh Mira Nair. Meski lahir dari orangtua yang India, Jhumpa Lahiri tidak menulis dalam bahasa Bengali. Ia lahir di London lalu di usia yang ke 2 tahun pindah ke New York, Amerika. Ia melihat dirinya sebagai orang Amerika. Nama asli Jhumpa Lahiri terdengar sangat India, Nilanjana Sudeshna, tapi ia memilih dikenal dengan nama Jhumpa. Persoalan nama ini juga menjadi inti persoalan The Namesake. Novel yang bergerak karena sebuah nama.

The Namesake bercerita tentang keluarga muda imigran India di Amerika. Cerita dimulai dengan kelahiran seorang anak laki-laki dari pasangan tersebut, Ashoke dan Ashima Ganguli, anak yang diberi nama Nikhil Gogol Ganguli. Nama yang ganjil itu diambil dari nama penulis Rusia, Nikolai Valisievich Gogol atau yang dikenal dalam versi lebih ringkas, Nikolai Gogol. Ayah si anak itu, bernama Ashoke, akademisi, adalah penggemar karya-karya Nikolai Gogol.

Suatu hari, sebelum menikah dan memulai kehidupan keluarganya di Amerika, Ashoke mengalami peristiwa tragis, kecelakaan kereta api. Secara ajaib, buku Nikolai Gogol yang sedang dibacanya saat itu menyelamatkan hidupnya. Lantas, letika anak pertamanya lahir, persoalan memberikan nama menjadi hal pelik. Rumah sakit Amerika tempat istrinya bersalin butuh mereka segera menamai bayinya, tapi tradisi India menjadikannya lebih rumit. Untuk mempermudah urusan mereka, Ashoke menamai anaknya Gogol.

Di kemudian hari, ternyata nama Gogol ini menjadi persoalan yang pelik. Saking peliknya sampai-sampai Gogol Ganguli memutuskan untuk mengubah namanya, secara resmi. Menjadi Nikhil Gogol Ganguli. Memperkenalkan dirinya ke orang-orang sebagai Nikhil, bukan Gogol. Ia menyembunyikan Gogol, mengubur nama itu dalam-dalam, bersama amarah serta kejengkelan terhadap orangtuanya. Hingga kelak di usia yang ke-30 tahun, Gogo mulai memahami makna sebenarnya dari sebuah nama. Namanya.

Sebuah nama, yang hanya ia sendiri yang punya.

*

Bagi saya, The Namesake menjadi personal karena menyimpan terlalu banyak kemiripan dengan hidup saya. Tak banyak yang tahu, tapi saya selalu merasakan kegamangan yang sama seperti yang dialami Gogol. Saya lahir dari ibu bersuku Melayu dan ayah bersuku Batak tapi saya tak pernah betul-betul merasa sebagai orang Melayu maupun Batak. Agama saya Islam, tapi nama saya Bernard. Saya sering dikira orang Kristen. Saya merasa tak menjejak pada satu tanah suku, agama, dan bahasa yang kuat. Persoalan identitas tidak pernah menjadi hal yang mudah dan tegas bagi saya.

Pada saat saya membaca The Namesake, usia saya hampir 30 tahun, sama seperti Gogol. Ibu kandung Gogol, Ashima, adalah perempuan India. Tak lama sebelum membaca The Namesake saya mengetahui bahwa saya punya garis keturunan India, langsung dari sebelah ibu; suami dari nenek moyang saya (neneknya ibu) adalah orang India. Sejujurnya saya tak ingat apakah ada adegan memasak di The Namesake, tapi masakan-masakan India selalu terasa dekat bagi saya karena di rumah nenek kami sering menyantapnya. Gogol punya adik perempuan yang usianya tak jauh dari adik saya. Sulit untuk menyangkal betapa berlimpah kemiripan di The Namesake dengan kehidupan personal saya.

Dengan begitu banyak kemiripan, saya tak bisa menghindar dari menjadikan adegan-adegan The Namesake sebagai bahan refleksi. Saya melihat diri saya di dalam Gogol. Cara bertutur Jhumpa Lahiri yang deskriptif dan subtil, membuat saya merasakan perubahan emosi Gogol secara intens, seakan-akan yang saya baca adalah perasaan-perasaan saya sendiri. Membaca The Namesake seperti mengalami perasaan yang sama dua kali. Kegelisahan yang sama. Kesedihan yang sama.

*

Dapatkah saya membuat ulasan buku yang objektif, yang mengesampingkan pengalaman pribadi saya dan membatasi pembacaan di dalam buku itu sendiri? Setelah The Namesake, saya rasa tidak. Saya tak akan pernah mencobanya lagi.

Tentu saja persoalan akan berbeda bagi kritikus sastra, tapi saya akan selamanya melihat buku sebagai sesuatu yang personal, yang memberi efek terdahsyatnya bukan hanya karena ia ditulis dengan bagus dan penuh kesabaran, tapi karena penulisnya telah sangat apik mengungkapkan apa yang dirasakan, dialami, dan disimpan diam-diam oleh pembacanya. Memantulkan kembali wajah sejarah pribadi pembacanya. Menjadi sepotong cermin. ***



Viewing all 402 articles
Browse latest View live