Foto: Dokumentasi pribadi
Sejak awal, saya mengenal mereka sebagai pasangan.
Bahkan hingga hari ini setelah saya cukup sering bertemu dan berbincang dengan masing-masing dari mereka, saya tidak bisa memisahkan keberadaan mereka di kepala saya sebagai manusia yang sepasang. Dalam kepala saya, Maesy dan Teddy adalah The Dusty Sneakers dan mungkin akan selalu demikian.Mereka pasangan yang mengasuh sebuah toko buku independen di satu titik bagian selatan Jakarta, Post. Mereka adalah pasangan yang mencintai buku. Setelah mereka menerbitkan Semasa, kini mereka juga adalah pasangan penulis.
Minggu, 22 April 2018, saya bertemu mereka di Yogyakarta, kota yang telah saya tinggali selama 11 tahun terakhir. Sebelumnya saya pernah bertemu Teddy di Yogyakarta, tanpa Maesy (yang pertama saya tanyakan ketika bersalaman dengannya adalah “Maesy lagi di mana?”). Saat itu kami menghadiri acara pernikahan seorang teman yang juga bergiat di dunia buku. Maesy, saya baru kali pertama bertemu dengannya di Yogyakarta.
Hari itu kami membuat janji temu untuk ngopi sambil mengobrol santai di sebuah kedai kopi kecil di tengah-tengah Yogyakarta. Saya sudah tiba di lokasi sekira dua jam sebelumnya karena secara kebetulan ada janji dengan orang lain di tempat yang sama. Tak lama setelah urusan saya beres, Maesy dan Teddy muncul di kedai. Kami saling menyapa. Saya mempersilakan keduanya duduk. Senyum tak lepas dari wajah mereka yang tampak begitu ceria. Ketika percakapan mulai bergulir, Maesy mengaku bahwa mereka belum sempat mandi dan sedang kurang tidur.
Beberapa hari sebelum kami bertemu, seorang teman lain menghubungi saya. Irwan Bajang mengabari bahwa Maesy dan Teddy akan ke Yogyakarta untuk acara buku mereka yang terbaru, Semasa. Bajang mengajak saya untuk membahas buku tersebut. Saya tak berpikir dua kali, langsung saya iyakan. Pertama karena saya memang rindu ingin bertemu pasangan itu. Kedua karena saya senang mengetahui pasangan favorit saya di dunia buku menerbitkan karya fiksi pertama mereka.
Siang itu ketika kami bersua di kedai kopi, Maesy mengenakan kaus lengan pendek hitam polos dan rok sebetis berwarna dasar hitam dan motif polkadot. Teddy datang dengan kaus lengan pendek marun polos dan chino krem. Mereka selalu tampil santai. Jikapun ada yang sedikit berbeda siang itu adalah warna highlight abu-abu pada rambut Maesy. Ketika Maesy bilang mereka tak sempat mandi karena belum dapat check-in di penginapan di Yogyakarta, saya menggeleng karena berpikir mereka rapi dan baik-baik saja, sama sekali tak terlihat seperti belum mandi.
Hal pertama yang membuat saya gembira ketika bertemu mereka hari itu adalah minuman yang mereka pesan. Maesy memesan segelas es kopi susu, sementara Teddy secangkir kopi seduh manual. Kalau tak salah, Teddy memesan kopi Ethiopia. “Kopinya enak,” komentar Maesy. Saya bilang kedai kopi tempat kami bertemu itu memang serius melakukan kurasi terhadap biji kopi yang mereka seduh. Sama seriusnya seperti ketika Maesy dan Teddy menyeleksi buku-buku di Post.
Saya berniat mewawancarai mereka di kedai kopi tersebut, tetapi kami keasyikan mengobrol tentang hal-hal lain. Terlebih ketika kami kedatangan dua tamu baru, Eka dan Tami, pasangan pegiat buku lainnya. Saya dan Teddy sempat menghadiri resepsi pernikahan mereka di Yogyakarta. Novel perdana Maesy dan Teddy, Semasa, diterbitkan Penerbit Oak yang diasuh Eka.
Saat Eka dan Tami tiba di kedai, hari telah cukup sore, sementara acara diskusi buku Semasa dimulai pukul 16.00 WIB di kedai kopi lain. Kami berpindah tempat. Saya memutuskan untuk mewawancarai Maesy dan Teddy seusai acara.
Dari mana datangnya ide untuk menulis Semasa?
Maesy: Kami bukan jenis penulis yang ingin menulis karya yang sama terus-menerus. Setelah buku pertama terbit kami enggak pengin menulis tentang kisah perjalanan lagi. Jadi kami memang pengin menulis karya fiksi karena belum pernah. Kami tertarik bentuk novela karena menurut kami belum banyak dieksplorasi di sini.
Sebagai pembaca, kami lebih banyak menikmati karya-karya yang eksperimental, yang bermain bentuk dan penuh kejadian yang fantastis. Ketika menulis, justru kami pengin bikin cerita yang sangat sehari-hari dan sederhana.
Teddy: Suatu hari kami baca esei foto tentang dua anak kecil yang bersaudara. Di esai itu mereka tampak sangat akrab. Itu memunculkan pertanyaan, “Setelah mereka besar apakah akan tetap akrab ya?” Setelah itu kami mengobrol dan saling tanya tentang masa kecil kami. Kejadian yang biasa saja sebetulnya, seperti kami selalu mengobrolkan buku-buku yang kami baca.
Waktu itu kami memang sudah punya keinginan menulis novela dengan gagasan yang bentuknya slice of life. Ide tentang keluarga yang para anggotanya dekat kemudian jadi berjarak, yang kami peroleh dari obrolan usai membaca esei foto tersebut, terasa menarik untuk ditulis. Kami menggarap gagasan tersebut karena ia mampu menjadi cerita yang sederhana dan meaningful tanpa perlu didukung dengan, misalnya, plot yang fantastis.
Kenapa ingin menulis cerita yang sederhana?
Teddy: Permasalahan di dalam keluarga sering tampak sederhana di mata orang luar, tapi sebetulnya tidak sederhana di diri orang-orang yang mengalaminya. Perasaan-perasaan itu yang ingin kami munculkan.
Selain itu, tidak ada alasan yang lebih mendasar dari yang tadi sudah dikatakan oleh Maesy. Kami banyak membaca cerita-cerita yang fantastis dan justru karena itu kami pengin menulis cerita yang sederhana.
Maesy: Buat kami membaca adalah kebutuhan. Ketika menulis kami bertanya-tanya, bisa enggak ya kami menulis sesuatu yang berbeda dari yang kami baca? Aku sendiri ingin tidak mengikuti penulis tertentu yang aku suka.
Kenapa seperti itu?
Maesy: Menulis itu susah. Ketika kami menyisihkan energi untuk menulis sesuatu, kami ingin menulis dengan cara kami sendiri. Lagi-lagi karena kami banyak membaca novel Amerika Latin dan Indonesia yang bermain dengan bentuk, kami ingin tahu apakah kami bisa menulis sesuatu yang sederhana, yang sehari-hari. Apakah orang-orang bisa menangkap apa yang coba kami sampaikan meskipun di dalamnya tidak terdapat konflik sentral dan lebih banyak hal-hal yang sifatnya subtil.
Bagi kami, itu lebih menantang.
Teddy: Kami ingin invest waktu yang kami punya untuk menuliskan sesuatu yang dekat dengan kami. Keluarga adalah tema yang cukup dekat. Cerita yang kami tulis tentang keluarga memang perlu diceritakan seperti kami menuliskannya.
Maesy: Kami deg-degan, sebetulnya, karena kami tahu pilihan cara bercerita yang kami ambil bisa jadi membuat orang merasa Semasa terlalu pucat dan bahkan membosankan.
Teddy: Pada cerita-cerita dengan plot yang seru, pembaca akan tetap dapat menikmati ceritanya walaupun tidak begitu merasa terhubung. Tapi ketika plot yang semacam itu tidak hadir, pembaca harus dapat merasa terhubung dengan apa yang cerita tersebut coba sampaikan untuk bisa menikmatinya. Beban terbesar kami di Semasa adalah membangun keterhubungan pembaca dengan kisah yang kami tulis.
Ini kali pertama kalian menulis tentang keluarga?
Maesy: Keluarga adalah hal yang sangat personal bagi kami, jadi kalau bukan lewat medium fiksi sepertinya enggak akan pernah kami tulis. Aku sendiri enggak akan bisa menulis karya nonfiksi tentang keluarga, seperti memoar atau semacamnya. Kalau lewat fiksi, kita bisa menuangkan apa yang kita pikirkan tentang keluarga tanpa harus menuliskan kisah tentang keluarga kita sendiri.
Teddy: Semasa bukan cerita tentang apa yang keluarga kami alami.
Maesy: Iya, Semasa bukan kisah yang otobiografis.
Teddy: Tapi refleksi tokoh-tokohnya merupakan hal-hal yang memang kami pikirkan. Misal seperti yang tadi Maesy cerita, tentang orang yang melakukan hal-hal besar dan dihargai publik, serta hubungannya dengan persoalan keluarga yang tidak glamor. Jika ada yang tanya apakah ada diri kami di dalam tokoh-tokoh Semasa, mungkin lebih terletak pada reaksi-reaksi mereka terhadap apa yang mereka alami.
Semasa adalah novel duet. Bagaimana secara teknis cara kalian mengeksekusinya?
Teddy: Tadinya kami ingin pakai dua narator, dariku (Coro) dan dari Maesy (Sachi), tapi kemudian kami putuskan untuk menggunakan satu narator saja. Untuk menjaga konsistensi suara narator, diputuskan bahwa penulis akhirnya aku. Banyak bagian Semasa yang ditulis oleh Maesy terlebih dahulu, lalu ditulis ulang olehku agar sesuai dengan sudut pandang Coro.
Maesy: Kami menulis dengan lambat, tidak bergantian menulis setiap bab.
Teddy: Mainnya di paragraf atau adegan. Seperti adegan tokoh-tokohnya berkemas barang di rumah yang baru saja dijual, itu Maesy yang tulis. Setelah itu baru aku tulis ulang.
Maesy: Soalnya Teddy ini, kan, bahasa Indonesianya sangat spesifik. Sintaksnya Teddy itu particular, dia akan menuliskan kalimat dengan cara yang tidak seperti orang lain ketika menggunakan bahasa Indonesia. Sedangkan aku lebih banyak menulis dalam bahasa Inggris. Caraku berpikir dan membentuk kalimat berbeda sekali dengan cara Teddy. Maka solusinya Teddy harus melihat apa yang aku tulis, lalu dia bahasakan sendiri, supaya narator Semasa enggak punya kepribadian ganda.
Bagian mana di Semasa yang butuh waktu pengerjaan paling lama?
Maesy: Menemukan gagasan untuk meneruskan bab pertama. Jarak dari penulisan bab pertama ke bab kedua itu lama banget karena kami belum menemukan konflik.
Teddy: Bagian penutup Semasa juga sangat lama ketemunya. Resolusi di cerita Semasa itu, kan, jenisnya off-screen. Coro dan Sachi dari kejauhan melihat Bapak dan Bibi Sari lagi bicara untuk menyelesaikan masalah yang ada.
Maesy: Kami sengaja pakai resolusi yang off-screen karena biasanya cerita bertema keluarga yang dituturkan dari sudut pandang anak muda diselesaikan oleh anak muda tersebut, sebagai hero cerita. Tapi kami ingin perlihatkan bahwa orang tua di dalam keluarga juga dapat menyelesaikan masalah mereka sendiri. Apalagi karakter Bapak dan Bibi Sari yang sangat rasional dan mencintai satu sama lain.
Teddy: Iya, dan karena itu mereka bisa menyelesaikan masalah mereka sendiri. Itu yang bikin kami berdiskusi gimana caranya menyampaikan ini ke pembaca. Ketemulah solusi membuat penyelesain konflik yang off-screen.
Kenapa rumah peristirahatan di Semasa diberi nama Pandanwangi?
Teddy: Enggak ada alasan khusus. Termasuk juga nama tokoh-tokoh di Semasa, Coro dan Sachi. Nama Paman Giofridis pun muncul begitu saja.
Maesy: Kami enggak begitu mikir soal nama. Yang lebih kami pikirin adalah, mereka ini siapa. Sebenarnya bisa aja, sih, kami ngarang. Misalnya Coro artinya kecoa, jadi cerita kami ini sebetulnya rada Kafkaesque (ketawa), tapi ya buat apa kami bohong.
Seberapa banyak bagian kehidupan keluarga kalian hadir dalam Semasa?
Maesy: Seperti yang Coro dan Sachi alami, waktu kecil keluargaku punya rumah peristirahatan di daerah Puncak, Bogor. Tapi keluargaku beda banget dengan keluarga Coro dan Sachi. Mereka keluarga kecil, sementara aku anggota keluarganya banyak banget. Lebih dari 20 orang.
Teddy: Bagian kuis di mobil. Waktu kecil, kalau aku mulai capek dalam perjalanan di mobil sama kakekku, dia kasih tebak-tebakan: mobil berikutnya yang di depan kami platnya berangka ganjil atau genap.
Maesy: Bagian Sachi yang kurang tangkas dan sering muntah di mobil itu kayaknya aku (ketawa). Sampai di situ aja, sih. Lainnya enggak.
Teddy: Bagian dari kehidupan kami yang lebih banyak muncul di Semasa menjadi refleksi kejadian-kejadian yang dialami tokoh-tokohnya. Misalnya pada saat Coro dan Sachi di minimarket melihat ada pasangan bertengkar, Sachi mengajak Coro keluar melihat kalau-kalau terjadi pemukulan di antara mereka.
Adegan itu sebetulnya refleksi permasalahan-permasalahan yang muncul di keluarga, yang hadir lewat pertanyaan seperti: Sampai mana, sih, kita sudah berusaha untuk melakukan apa yang seharusnya dilakukan? Kapan tepatnya kita memutuskan bahwa kita sudah melakukan sesuatu dengan cukup? Apakah kita harus bertindak lebih jauh, karena kalau tidak nanti kita akan merasa bersalah?
Saat ayahku meninggal, pertanyaan yang muncul di kepalaku adalah apakah aku sudah mengobrol cukup dengan dia sehingga dia punya closure yang baik. Apakah dia pergi dengan kondisi sudah membicarakan semua yang harus dia bicarakan denganku. Aku selalu berusaha mengobrol dengan ayahku karena kami memang dekat, tapi the question of whether it’s enough or not selalu ada.
Maesy: Kalau aku berbeda. Bukan cuma persoalan whether it’s enough or not, tapi perkara what should we do? Kalau ada masalah di keluarga, is it something people need to resolve on their own? Is that a role for me to step in? Should I or should I not?
Setelah menulis Semasa apakah kalian sudah mendapatkan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan tersebut?
Maesy: Enggak.
Teddy: Menurutku kita enggak akan pernah tahu, tapi kalau aku, aku sudah memutuskan untuk berdamai dengan pertanyaan-pertanyaan itu.
Siapa penulis yang muncul di kepala kalian saat menulis Semasa?
Teddy: Kalau ada yang bilang Semasa bertempo lambat seperti karya-karya penulis Jepang, mungkin karena pada waktu itu aku juga lagi baca Hiromi Kawakami.
Maesy: (Ke Teddy) Tapi kamu baca Hiromi Kawakami itu dari berapa ratus buku lain yang juga kamu baca di periode penulisan Semasa. Kalaupun memang ada pengaruhnya mungkin secara enggak sadar.
Gaya narasi di Semasa, apakah sesuatu yang kalian bentuk atau hadir dengan sendirinya?
Maesy: Waktu menulis Semasa kami enggak mikirin gaya narasi. Kami lebih sibuk mengolah karakter, apa yang terjadi dengan mereka dan apa yang pengin mereka lakukan. Ini kali pertama kami menulis fiksi dan kami merasa harus terlebih dahulu mengerti universe ceritanya. Jadi kami lebih banyak menghabiskan waktu di sana.
Teddy: Kalau di nonfiksi, peristiwa apapun yang kami tulis memang sudah kejadian. Kami tidak perlu, misalnya, membuatnya masuk akal. Tapi kalau di fiksi, ketika karakter-karakternya bertindak, harus ada alasan. Kami sibuk menggarap bagian-bagian tersebut. Kami juga lebih banyak fokus mengolah bunyi kalimat, memastikan kalimat-kalimatnya sudah tepat menyampaikan apa yang pengin kami sampaikan. Soal gaya, enggak terlalu kami pikirin.
Mana yang lebih bikin repot, fiksi atau nonfiksi?
Maesy: Fiksi. Jauh lebih bikin repot.
Teddy: Fiksi lebih susah.
Kenapa?
Maesy: Itu tadi, bikin semestanya. Kami sudah sering nulis blog, jadi ketika mau bikin memoar, misalnya, tinggal memutuskan how much do we want to reveal, how do we say the story. Kalau fiksi, boro-boro mau mikirin itu, pertama-tama harus mikirin dulu ini karakter-karakternya siapa, kenapa mereka begini dan begitu.
Teddy: Maesy, misalnya, waktu bikin tulisan nonfiksi tentang refleksi being Chinese in Jakarta, itu enggak harus dijelaskan terlalu merinci mengenai karakternya. Kalau di fiksi perlu diolah lagi.
Maesy: Tapi justru jadi menyenangkan karena kami mencoba sesuatu yang baru.
Teddy: Kalau nanti kami nulis fiksi lagi, mungkin bakal lebih plot-driven.
Maesy: (Ke Teddy) Mungkin akan menarik kalau kita nulis sesuatu yang kayak 69-nya Ryu Murakami. Karena ceritanya fun dengan tokoh-tokoh yang impulsif. These people (tokoh-tokoh di Semasa) are anything but impulsive. Mereka semua banyak mikir.
Kenapa menulis Semasa berdua? Kenapa enggak masing-masing dari kalian bikin novela?
Teddy: Kami sudah punya dunia masing-masing dalam pekerjaan sehari-hari, jadi dalam hal yang kreatif kami suka mengerjakan sesuatu bersama-sama. Mengelola Post dan menulis, misalnya.
Maesy: Kami kalau berkolaborasi memang saling melengkapi banget. Pas menulis, misalnya, aku yang bikin struktur atau outline. Teddy yang mulai menuliskannya karena dia bisa lebih mengalir walau sering kehilangan arah. Jadi aku yang bantu mengarahkannya, tapi dari segi keluwesan atau memulai sesuatu, itu Teddy yang lebih bisa.
Apakah kolaborasi semacam itu juga terjadi di luar fiksi, maksudnya saat bekerja?
Teddy: Kami enggak terhubung kalau soal pekerjaan sehari-hari.
Maesy: Thank God (ketawa).
Teddy: Kalau pas menulis Semasa, aku lebih banyak yang setting the tone, bikin pembukaan babnya. Maesy bikin penutupnya.
Maesy: Menulis itu, kan, kegiatan yang sangat solitary. Aku merasa kalau menulis berdua Teddy jauh lebih menyenangkan. Karena kalau enggak, rasanya jadi terisolir banget. Kalau Teddy nulis sendiri terus nagging aku tiap tiga paragraf, aku enggak mau (ketawa).
Teddy: Iya. Aku tuh… agak clingy memang(ketawa).
Siapa yang bikin judul Semasa?
Teddy: Maesy.
Maesy: Menurutku cerita sesederhana ini cocok diberi judul dengan satu kata aja, dan aku suka Semasa karena sebagai kata ia lumayan simetris. Semasa bisa berarti macam-macam, apakah masa yang dimaksud itu masa sekarang atau masa lalu. Itu menggambarkan isi bukunya yang memang bergerak di dua alam waktu secara paralel.
Teddy: Waktu Maesy muncul dengan judul Semasa, aku merasakan ada sentuhan dreamy di dalamnya. Aku langsung suka.
Novela favorit kalian?
Maesy: Down the Rabbit Hole, Juan Pablo Villalobos.
Teddy: The Old Man and the Sea, Ernest Hemingway.
Maesy: (Ke saya) Kalau kamu?
Dengarlah Nyanyian Angin, Haruki Murakami.
Foto: Dokumentasi pribadi