Quantcast
Channel: Bernard Batubara
Viewing all 402 articles
Browse latest View live

5 Cara Menjaga Fokus Menulis

$
0
0



Barusan, saya dapat ide cerita yang menarik. Saking menariknya, saya merasa harus segera menuliskannya. Mungkin jadi sebuah cerita pendek atau malah sinopsis novel, saya enggak tahu. Saya tahu saya harus menuliskannya sekarang juga. Saya membuka laptop dan mulai menuliskan paragraf pertama.

Sial, di tengah-tengah nulis, saya dapat ide cerita yang lain lagi. Ide baru ini lebih menarik dari cerita yang sedang saya tulis. Saya ingin lanjut menulis tapi saya enggak bisa berhenti memikirkan ide baru ini. Saya membuka layar baru di laptop dan mulai menuliskan ide baru tersebut. Sekarang ada dua cerita yang on progress di laptop saya.

Ah, sial, lagi-lagi saya kepikiran ide baru yang lain. Ide ini jauh jauh jauh lebih menarik dari dua ide sebelumnya yang bahkan belum kelar saya tulis. Menjengkelkan sekali!

Kamu pernah mengalami perkara semacam ini? Diserang beberapa ide tulisan sekaligus dalam satu waktu? Kedatangan ide yang lebih menarik di saat kamu sedang mengerjakan tulisan lain? Kalau iya, selamat, kamu enggak sendirian. Ada saya dan banyak lagi penulis di luar sana yang juga mengalami hal serupa. Kesulitan fokus mengerjakan satu ide.

Saya punya langkah-langkah yang biasanya saya lakukan ketika sedang berada di situasi seperti itu. Mungkin kamu bisa mencobanya. Berikut lima hal yang bisa kamu lakukan untuk menjaga fokus mengerjakan satu topik tulisan.

1.     Bikin Bank Ide

Ide yang sama enggak akan datang dua kali. Saya memperlakukan seluruh ide yang menghampiri kepala saya sebagai sesuatu yang unik dan spesial. Begitu kepikiran satu ide, saya akan langsung mencatatnya di bloknot atau ponsel. Saya enggak tahu apakah ide tersebut akan jadi satu cerita utuh atau apa nantinya. Saya mencatatnya saja, merekamnya. Catat ide apapun yang melintas di benak kamu. Enggak ada ruginya. Malah, ketika suatu hari kamu pengin nulis dan enggak punya ide, kamu jadi tinggal buka bloknot atau ponsel untuk melihat simpanan ide kamu. Bikin Bank Ide kamu.

2.     Santai

Pas kedatangan ide baru, santai saja. Jangan buru-buru ingin menggarapnya. Kalau kamu sedang mengerjakan satu proyek tulisan, perlakukan ide-ide lain sebagaimana kamu bereaksi pada sebuah godaan: lirik, rekam, lalu lupakan. Ingat, kamu sedang menjalin hubungan dengan sebuah naskah. Naskah yang lagi kamu kerjakan saat ini adalah pacarmu. Ide-ide lain yang berdatangan kemudian adalah godaan. Godaan selalu tampak lebih menarik daripada pacarmu sendiri. Santai saja, jangan tergoda. Nikmati hubungan dengan pacarmu dulu. Kalau sudah beres urusan sama pacarmu alias putus, baru kamu jajaki godaan kemarin.

3.     Komitmen

Kata Neil Gaiman, kamu akan belajar banyak hal dari menyelesaikan sesuatu. Hal yang paling dibutuhkan untuk menyelesaikan sesuatu adalah komitmen. Komitmen yang kuat. Saya senang menggunakan analogi dua orang yang sedang pacaran untuk menggambarkan hubungan seorang penulis dengan naskahnya. Demi memiliki hubungan yang berhasil, salah satu hal terpenting adalah komitmen. Berkomitmen menyelesaikan tulisan yang sedang kamu garap akan membuatmu teguh dan tidak mudah goyah oleh datangnya godaan ide-ide baru.

4.     Fokus

Kalau sudah memutuskan mengerjakan sebuah proyek tulisan, tujukan segenap perhatianmu pada proyek tersebut. Apapun yang kamu pikirkan dan imajinasikan sehari-harinya mesti berputar di ide tulisan yang lagi kamu garap. Adegan-adegan, dialog-dialog, plot, sub-plot, paragraf pembuka, paragraf penutup, alur kilas balik, karakter-karakter, semua elemen cerita yang kamu pikirkan kamu siapkan untuk memperdalam dan mempertajam ceritamu yang saat ini. Ajak teman dekat atau pacarmu mengobrol tentang tulisanmu yang saat ini. Lakukan riset untuk memperkuat gagasanmu di tulisanmu yang saat ini.

5.     Just, stick to your current project and try to finish it for god’s sake!

Enggak ada solusi lain selain cobalah memaksakan dirimu sendiri untuk menyelesaikan kerjaanmu yang sedang berjalan. Saya tahu, kata memaksakan terasa enggak menyenangkan. Menulis adalah pekerjaan yang melibatkan dorongan emosi, mood, atau apapun itu, jadi kalau menulis saja sudah harus dipaksakan di mana letak kesenangannya? Namun, saya enggak melihatnya sebagai sesuatu yang negatif. Banyak dari cerita pendek dan novel yang saya selesaikan karena saya memaksakan diri untuk menyelesaikannya. Juga sebaliknya. Hampir pasti enggak ada buku saya yang pernah terbit jika saya enggak memaksa diri untuk menuliskannya.




Malas Baca Buku? Sama

$
0
0
Foto: Thoughtcatalog.com


Walau saya mengaku sebagai seorang pencinta buku dan sering nunjukin ke orang-orang bahwa saya suka baca buku, jangan kira saya selalu rajin baca buku. Sama seperti hal-hal lain yang bisa bikin kamu senang, suatu hari hal yang sama juga bisa bikin kamu muak, atau seenggaknya capek. Tanpa terkecuali membaca buku.

Saya pernah ngerasa capek baca buku, bahkan sampai mual ngeliat tumpukan buku di kamar. Benda-benda yang tadinya saya kagumi setengah mati, suatu hari jadi tumpukan kertas tak berarti yang bikin saya kesel. "Ngapain saya buang duit buat semua ini?"

Rasa muak semacam itu akan jadi berkali-kali lipat kalau kamu penulis. Setiap habis baca buku bagus, kamu bukan hanya akan merasa gembira, tapi juga stres karena tahu kamu enggak bisa menulis sebagus buku yang kamu baca.

Sial, kalo gitu ngapain saya baca buku?

Makin sial lagi, ternyata saya enggak bisa benar-benar berhenti baca buku. Saya udah coba. Saya pernah berniat membuang seluruh koleksi pribadi saya atau memberikannya ke orang lain atau menjualnya atau apapun yang bisa mengenyahkan buku-buku dari kehidupan saya. Saya pengin ngelakuin hal lain aja yang enggak harus bikin saya baca buku. Namun, akhirnya saya balik lagi ke buku. Akhirnya saya baca buku lagi. Semakin saya berusaha buat enggak baca buku, semakin saya ketarik lagi ke buku-buku itu.

Beberapa hari lalu saya dapat mention di twitter yang isinya pertanyaan. Kira-kira begini bunyinya:

Gimana ya caranya bikin semangat baca buku lagi kalau sedang malas baca buku?

Saya enggak punya trik khusus untuk menumbuhkan semangat membaca buku, karena buat saya baca buku hampir jadi sesuatu yang refleks dan bagian dari kebiasaan. Namun, saya pernah ada di fase malas baca buku. Bukan hanya malas, tapi saya merasa baca buku berbahaya buat saya hingga saya menghindarinya. Meski demikian, barangkali beberapa hal ini bisa kamu coba lakukan:

1. Hijrah ke buku-buku lain

Buku-buku apa yang kamu baca selama ini? Kalau kebanyakan komik, coba sekali-kali baca novel. Kalau sering baca buku-buku nonfiksi, coba baca kumpulan cerita pendek atau kumpulan puisi. Begitu pula sebaliknya. Kalau selama ini hanya baca novel dan cerita pendek atau puisi, coba baca buku-buku nonfiksi. Mulai dengan tema yang menarik buatmu. Membaca buku dalam format yang berbeda akan memberimu pengalaman baru.

2. Keluar dari zona nyaman

Mirip dengan tips pertama. Hanya saja di tips sebelumnya saya bicara tentang membaca buku lintas format, di sini saya menyarankan membaca buku lintas genre/tema yang masih di format yang sama. Kalau kamu sering membaca novel dan selama ini hanya membaca novel-novel urban populer, coba cicipi karya sastra klasik. Kalau zona nyamanmu adalah novel-novel sastra bertema politik dan sejarah yang ditulis dalam gaya realisme, coba baca novel-novel fantasi yang sedang populer. Kalau kamu hobi baca komik yang lucu-lucu dan ringan, coba bergeser sedikit ke karya-karya novel grafis bertema sejarah.

3. Minta rekomendasi dari teman

Kalau kamu punya teman yang juga hobi baca buku tapi jenis buku atau genrenya berbeda denganmu, kamu bisa meminta rekomendasi darinya. Tanya dia apa bacaan favoritnya. Kalau perlu minta dia bikin semacam daftar buku favorit sepanjang masa. Kemudian kamu cari satu-dua buku itu dan mulai membaca.

4. Ikut tantangan membaca

"Memaksa" diri sendiri untuk membaca buku menurut saya enggak selalu merupakan hal yang buruk. Bagi saya malah cara itu berhasil buat mengurangi tumpukan buku tak-terbaca di rak kamar. Saya pemalas, jadi mendisiplinkan diri adalah satu-satunya cara mengatasi hal tersebut. Website semacam Goodreads setiap tahun bikin tantangan membaca. Blog-blog lain juga kadang-kadang bikin tantangan membaca yang lebih variatif dan cukup seru untuk diikuti.

5. Jangan dipaksakan

Agak kontradiktif dengan tips no. 4, tapi harap maklum karena saya Cancer, jadi kontradiktif is my middle name. Maksud saya dengan tips ini adalah, ya sudah jangan dipaksakan kalau emang lagi enggak pengin baca buku. Enggak ada juga yang mewajibkanmu menghabiskan novel-novel di rak bukumu itu. Satu-satunya yang perlu kamu tahu hanya buku-buku tersebut enggak akan membaca dirinya sendiri; hanya kamu yang bisa membaca mereka. Lakukan hal-hal lain yang bikin kamu senang. Kalau emang kamu cinta sama buku, suatu hari kamu pasti akan kembali lagi ke buku.

Other Colors, Orhan Pamuk

$
0
0



Buku pertama Orhan Pamuk yang saya baca, novel My Name Is Red (1998), secara instan langsung bikin saya menyukai Pamuk. Novel itu menjerat saya sejak kalimat pembukanya. I am nothing but a corpse now, a body at the bottom of a well. Dituturkan oleh seorang mayat, novel tersebut menggiring paksa saya untuk masuk ke sebentuk konspirasi besar, misteri pembunuhan yang dilakukan para seniman ilustrasi Kekaisaran Ottoman jelang akhir abad ke-15. Di dalam novel tebal itu-novel yang secara umum dianggap karya terbaik Orhan Pamuk-Pamuk bicara tentang sejarah dan seni. Khususnya sejarah Kekaisaran Ottoman yang menjadi cikal-bakal Republik Turki, dan seni Islam.

Dua hal tersebut, sejarah dan seni, menjadi topik yang tidak pernah absen di dalam karya-karya Pamuk. Tidak hanya di novel, seperti My Name Is Red dan The Museum of Innocence(2008), tetapi juga di karya-karya nonfiksinya: Istanbul: Memories and the City(2003) dan Other Colors: Essays and a Story. Selain itu, Pamuk juga sering menulis tentang kehidupan personalnya. Di Istanbul, ia bercerita cukup banyak tentang keluarganya, termasuk tentang dirinya sendiri dan bagaimana ia menjadi seorang penulis.

Belum lama ini saya rampung membaca Other Colors: Essays and a Story. Buku kumpulan tulisan yang disebut Pamuk “…terbuat dari potongan-potongan ide, imaji, dan fragmen kehidupan yang belum menemukan jalannya untuk hadir di dalam novel-novelku.” Pengantar yang ditulis Pamuk sangat menjelaskan bagaimana bentuk buku ini dan apa tujuannya menulis buku ini. Tidak ada satu tema khusus yang dipakai di Other Colors seperti di Istanbul, misalnya. Sehingga membaca Other Colors terasa seperti membaca isi bloknot atau jurnal pribadi Pamuk. Kadang-kadang terlihat berantakan, tidak terencana, dan suka-suka dia.

Memang tulisan-tulisan Pamuk di Other Colors disusun ke dalam beberapa bab. Sekadar untuk mengelompokkan kepingan-kepingan esei yang saya kira pada awalnya enggak Pamuk rencanakan hadir di satu buku utuh. Ada bab Living and Worrying yang berisi tentang keluarganya; esei-esei pendek yang Pamuk tulis secara rutin di semacam majalah lokal. Books and Reading berisi pembacaan Pamuk tentang buku-buku yang ia suka; Dostoyevsky, Camus, Rushdie, Nabokov. Politics, Europe, and Other Problems of Being Oneself kebanyakan tentang pengalaman Pamuk bersenggolan dengan permasalahan politik dan konflik batinnya sebagai warga Turki. My Books are My Life, Pamuk bicara tentang karya-karyanya sendiri. Picture and Texts, Pamuk mengulas karya-karya seni yang kerap menjadi alusi di novel-novelnya. Other Cities, Other Civilizations, tentang bagaimana Pamuk melihat Amerika dan melihat dunia lain dari Amerika. Bonusnya adalah arsip wawancara Pamuk di The Paris Review, sebuah cerita pendek yang sentimentil, dan pidato penerimaan Nobel Kesusastraan 2006.

Seperti tulisan nonfiksi Orhan Pamuk yang lain, esei-esei pendeknya di Other Colors sangat mudah dibaca. Ia begitu jujur menceritakan apapun yang ada di dalam pikirannya. Kadang-kadang Pamuk tampak seperti orang dewasa yang seperti anak kecil. Ia tidak berusaha mengemas pikiran-pikirannya dengan kalimat-kalimat bersayap demi menyamarkan gagasannya, melainkan berceloteh begitu saja hingga ia kelelahan.

Di sebuah wawancara, Orhan Pamuk pernah menyebut dirinya seorang graphomania. Klaim tersebut akan terbayangkan ketika membaca Other Colors. Jumlah tulisan yang banyak dan pendek-pendek dan seolah-olah melompat dari satu tema ke tema lain memperlihatkan Pamuk punya energi meluap-luap nyaris tidak terkendali untuk menuliskan apapun yang terlintas di kepalanya.

Bagi yang sudah pernah membaca satu-dua novel Orhan Pamuk dan memoar Istanbul, buku ini tidak menawarkan topik yang sangat baru. Pamuk masih berbicara sebagai orang Turki tentang tegangan Timur dan Barat, Asia dan Eropa. Ia masih berbicara serba-serbi mengenai Eropa dan keeropaan. Ia masih membahas satu-dua hal tentang keluarganya. Barangkali dengan sedikit tambahan renungan Orhan Pamuk tentang perkara sehari-hari yang ia alami.

Salah satu hal yang paling saya suka ketika membaca karya-karya nonfiksi Pamuk adalah saat ia bercerita tentang keinginannya menjadi penulis. Seperti sering ia ceritakan di berbagai wawancara, Pamuk sebetulnya bercita-cita jadi arsitek, tapi kemudian berubah jadi penulis. Ia mengurung diri selama satu windu membaca buku-buku koleksi ayahnya, sebelum menuliskan novel pertamanya, Cevdet Bey and His Sons, di usia 22 tahun. Semenjak itu ia kian tenggelam dalam kecintaannya pada dunia sastra.

Sebagai penutup catatan yang enggak penuh analisis ini, saya ingin mengutip bagian Other Colors ketika Pamuk menulis tentang mengapa ia menulis:


Saya menulis karena saya punya hasrat bawaan untuk menulis. Saya menulis karena saya tidak bisa bekerja normal seperti orang lain. Saya menulis karena saya ingin membaca buku seperti yang saya tuliskan. Saya menulis karena saya marah pada Anda semua. Saya menulis karena saya menikmati duduk di sebuah ruangan untuk menulis seharian. Saya menulis karena saya saya suka aroma kertas, pulpen, dan tinta. Saya menulis karena saya mempercayai kesusastraan dan seni penulisan novel melebihi hal-hal lain. Saya menulis karena menulis bagi saya adalah kebiasaan sekaligus sebentuk renjana. Saya menulis karena saya takut orang-orang akan melupakan saya. Saya menulis karena saya ingin sendirian. Mungkin juga saya menulis untuk memahami kenapa saya begitu marah, sangat, sangat, sangat marah pada semua orang. Saya menulis karena saya senang jika orang membaca karya saya. Saya menulis karena orang berharap saya menulis. Saya menulis karena saya percaya pada keabadian perpustakaan. Saya menulis karena saya senang menggubah hal-hal yang indah dari kehidupan ke dalam kata-kata. Saya menulis bukan untuk menceritakan sebuah kisah, tetapi untuk menciptakan sebuah kisah. Saya menulis karena saya sulit merasa bahagia. Saya menulis karena saya ingin merasa bahagia. ***

Wawancara Eksklusif: Bintang.com

$
0
0


"Dulu aku menulis untuk sarana eskapisme, untuk lari dari kenyataan. Aku membentuk duniaku sendiri dari apa-apa yang aku suka. Tapi semakin ke sini motivasiku berubah-ubah setiap waktu. Sekarang ini tanpa aku sadari aku menuliskan hal-hal yang dulu aku hindari, seperti tema yang berkaitan dengan konflik keluarga. Aku sempat merasa agak berjarak dengan keluargaku, tetapi aku menebusnya dengan menulis. Aku menggunakan nama ibu dan adikku serta memasukkan tokoh-tokoh yang mirip ayahku di cerita-ceritaku. Bagiku itu cara untuk menebus jarak yang ada dengan mereka. Sekarang aku menulis untuk menyembuhkan diriku sendiri."

Baca wawancara ekslusif Bara dengan redaksi Bintang.com di sini.

Luka Dalam Bara

$
0
0


+ Kenapa orang-orang patah hati malah meresapi kesedihannya dan tidak membuangnya jauh-jauh?

- Mungkin, itu cara mereka meyakinkan diri sendiri bahwa cinta yang mereka miliki selama ini adalah sesuatu yang nyata. Kita tidak akan merasa benar-benar sedih kalau tidak benar-benar cinta, kan? Sayangnya, menutup luka tidak akan membuatnya segera sembuh. Menyangkal bahwa kamu sedang terluka tidak akan membuat luka itu hilang.

("Dialog-dialog yang Tidak Pernah Terjadi")

-

Menulis, adalah cara saya mengakui bahwa saya terluka. Bahwa saya gagal dalam sesuatu. Bahwa saya tidak berhasil mewujudkan kebahagiaan yang saya rencanakan.

Saya tidak tahu apakah akan segera sembuh dengan menuliskan luka-luka saya. Kalian tahu, tidak seperti luka karena terjatuh di jalan atau tersayat pisau, luka karena cinta bukanlah luka luar, yang darah dan sobekannya terlihat jelas. Luka karena cinta dan rindu yang gagal adalah luka dalam. Meski tidak terlihat, luka tersebut ada. Ada, nyata, dan terasa.

Saya tidak tahu apakah kisah-kisah dalam buku ini akan menyembuhkan saya. Namun, jika ingin jatuh cinta lagi, jika saya ingin sembuh dari luka lama, jika saya ingin merancang kebahagiana baru, saya tahu saya harus memulai sesuatu.

Dari buku ini, catatan-catatan personal ini, serta dengan bantuanmu yang mungkin juga sedang patah hati, saya mencoba menyembuhkan diri sendiri. Mungkin, jika kamu membaca buku ini, kamu dapat menyembuhkan dirimu juga.

Mari patah hati bersama. Mari sembuh, dan jatuh cinta lagi, bersama.

Buku terbaruku, LUKA DALAM BARA, terbit eksklusif dalam edisi cetak hardcover di Noura Books, Februari 2017.


PO: Luka Dalam Bara

$
0
0

Hai, teman-teman semuanya. Buku terbaruku, Luka Dalam Bara saat ini sudah dapat dipesan selama sesi pre-order melalui beberapa toko buku online. Masa pre-order berlangsung satu minggu. Mulai tanggal 1 - 7 Maret 2017.

Hanya tersedia 500 eksemplar buku bertandatangan Bara + bonus pouch berilustrasi cantik bagi para pemesan di sesi pre-order ini.

Silakan melakukan pemesanan ke toko-toko buku berikut (klik tautan pada nama toko):

Mizanstore
LINE: @mizanstore (pakai @)

Bukabuku
WA/SMS: 089-888-999-50
LINE: bukabuku

Pengenbuku
E-mail: pesanpengenbuku@gmail.com
WA: 0851-007-49052

Bukukita
WA/SMS: 0812-85000-570

Temanbuku
WA: 0857-2209-6918

Parcelbuku
WA: 0878-7789-2584
LINE: @kiu9952d (pakai @)
E-mail: pesan.parcelbuku@gmail.com

Bukubukularis

Yukbelibukuori
WA: 0878-5335-8866
LINE: @XRC8624S
BBM: 53655DDD

Novel Addict Store
WA: 0813-6001-4320
LINE: @noveladdict
BBM: 55187D1C
IG: @_nastore


Selamat memesan Luka Dalam Bara. 

Luka Dalam Bara Siap Menemui Kamu!

$
0
0


"Kata-katamu selimut tebal tidur lelapku. Kata-katamu lampu taman jalan setapak kisah mimpiku. Kata-katamu sejuk pagi yang sabar menantiku. Kau tahu, pada akhirnya aku merasa bukan hanya aku dan kamu yang mencintai kata-kata. Kata-kata pun, menyayangi kita."

Buku terbaruku, Luka Dalam Bara, saat ini sudah selesai dicetak. Buku yang dipegang oleh gadis dalam foto di atas adalah hasil final yang akan teman-teman terima (bagi yang ikut pre-order) dan temukan di toko-toko buku. Hari ini, pre-order Luka Dalam Bara sudah ditutup. Terima kasih bagi teman-teman yang sudah ikut ramai-ramai memesan bukunya.

Luka Dalam Bara seluruhnya dicetak hard cover. Bagi yang ingin membeli secara online, bisa memesan di toko buku dalam daftar ini. Bukunya sendiri akan beredar di toko-toko buku jaringan (Gramedia, Gunung Agung, Toga Mas, dll.) mulai akhir bulan Maret.

Selamat menunggu datangnya luka.

Slaughterhouse-Five, Kurt Vonnegut

$
0
0


Satu hal yang paling ingin saya pelajari dari Kurt Vonnegut adalah bagaimana ia membuat lelucon tentang hal-hal yang gelap. Perang, merupakan tema yang seakan tidak habis-habisnya menjadi samsak latihan tinju Vonnegut. Pukulan demi pukulan ia lancarkan dan luncurkan untuk menghajar habis peperangan. Buku-buku Vonnegut bagi saya adalah buku-buku anti-war terbaik, karena ia memperlihatkan cara paling ampuh untuk mengejek sesuatu: membuat lawakan tentangnya.

Yang lebih menyenangkan lagi, tentu saja, ejekan Vonnegut terhadap perang ditulis dalam bentuk cerita fiksi. Buku terakhir darinya yang saya baca, Slaughterhouse-Five, adalah sebuah novel yang menceritakan kisah hidup seorang optometris bernama Billy Pilgrim. Billy Pilgrim menjelajah ruang dan waktu (khas Vonnegut) bolak-balik ke masa lalu, masa depan, dan masa sekarang, untuk memaknai salah satu bagian dari peristiwa perang dunia kedua yang tidak banyak diekspos: pengeboman di Dresden tahun 1945.

Kurt Vonnegut menjadi salah satu penulis favorit saya karena selera humornya yang menyenangkan. Dia bisa membuat cerita perang jadi terasa enteng karena ditulis dalam buku yang, saya kira tidak keliru kalau saya melabelinya: bergenre komedi. Buku-buku Vonnegut bagi saya adalah buku-buku komedi. Timequakedan Cat’s Cradlebetul-betul bikin saya ngakak.

Namun, di Slaughterhouse-Five, salah satu karya Vonnegut yang paling populer, saya merasa Vonnegut bicara dengan nada yang agak lebih serius dibanding dua buku sebelumnya. Seolah-olah Vonnegut tidak bisa banyak melawak untuk ceritanya yang satu ini. Cerita tentang hidup Billy Pilgrim dan pengeboman di Dresden selama Perang Dunia Kedua.

Sama seperti buku-buku Vonnegut yang saya baca sebelumnya, Slaughterhouse-Five juga mengangkat tema peperangan dan dibungkus nuansa fiksi-sains. Buku ini terasa lebih semi-otobiografis. Di kehidupan nyata, Vonnegut memang pernah menjadi anggota tentara Amerika Serikat dan turut serta dalam Perang Dunia Kedua. Bersama satuannya, Vonnegut diterbangkan ke Eropa, dan tertangkap oleh pihak Jerman. Vonnegut menjadi tahanan militer di Dresden, kemudian berhasil selamat dari pengeboman pihak sekutu setelah mengumpet di kotak penyimpanan daging di rumah potong (slaughterhouse) tempat ia ditahan.

Itu juga adalah cerita hidup Billy Pilgrim, protagonis dalam Slaughterhouse-Five. Selain menjadi tentara, Billy Pilgrim merupakan seorang optometris; dokter mata yang turut membuat resep untuk kacamata (barangkali juga melakukan bisnis produksi kacamata), dan seorang pejalan waktu. Karena sebuah peristiwa, mendadak Billy Pilgrim bisa melompat ke masa lalu, masa depan, dan kembali ke masa sekarang, lalu ke masa depan dan masa lalu lagi dan begitu seterusnya.

Perjalanan Billy Pilgrim bahkan tidak hanya mengitari lintasan waktu, tetapi juga hingga bertualang ke planet lain. Planet Tralfamadore, semesta yang kerap menjadi dunia paralel dengan bumi dalam karya-karya Vonnegut. Pertemuan Billy Pilgrim dengan manusia lain, seorang wanita bernama Montana Wildhack, melalui serangkaian adegan yang bernuansa fantasi membawanya pada perenungan tentang makna dan tujuan hidup.

Slaughterhouse-Five secara umum dianggap sebagai magnum opus Kurt Vonnegut. Namun, sesungguhnya saya lebih terhibur ketika membaca Gempa Waktu (terjemahan Timequake) dan Cat’s Cradle. Di Slaughterhouse-Five, Kurt Vonnegut terlihat tidak bisa terlalu banyak melucu. Mungkin karena pengalaman kelam yang pernah ia jalani secara langsung membuatnya kehilangan selera humor dan menjadikan ceritanya terasa relatif lebih suram dan “serius” ketimbang dua buku yang saya sebut sebelumnya.

Meski demikian, Slaughterhouse-Five tetap merupakan karya yang kuat. Cara pandang Vonnegut melalui tuturan narator serba-tahu tentang arah alir waktu yang tidak linear, melainkan bagai sebentuk panorama yang tersusun atas beberapa peristiwa-peristiwa yang berjalan paralel, memberikan semacam penghiburan atas rasa takut manusia pada kematian.

Kematian, dalam gagasan Vonnegut, merupakan sesuatu yang tidak lagi menakutkan karena ia bukan sebuah titik akhir dari garis hidup yang linear. Ketika seseorang mati, ia hanya mati di salah satu dari sekian banyak garis kehidupan. Di waktu bersamaan, ia masih hidup sehidup-hidupnya di garis-garis yang lain.

Vonnegut sangat mahir dalam memunculkan kekonyolan-kekonyolan yang membuat kita tiba-tiba merasa isu tentang peperangan jadi tidak serius-serius amat. Setidaknya, dapat dicerna sebagai sesuatu yang menghibur.


Kematian dan peperangan. Everything was beautiful and nothing hurt. ***

Membaca “Human Acts”, Membaca Kekerasan

$
0
0


Tulisan ini dipublikasikan pertama kali di Jakartabeat.


Tidak ada negara yang luput dari sejarah kekerasan. Tidak Indonesia, tidak pula Korea. Siapa mengira, negeri ginseng tempat tinggal pemuda dan pemudi idola para penggemar K-Pop itu juga menyimpan cerita-cerita pembantaian manusia. Dalam novel terbaru Han Kang, Human Acts, penulis peraih penghargaan Man Booker Prize International 2016 itu mengungkit peristiwa “Gwangju Uprising”, insiden demonstrasi yang menjadi bercak hitam dalam sejarah Korea Selatan. Insiden yang telah melenyapkan lebih dari enam ratus jiwa manusia.

Han Kang adalah penulis asal Korea teranyar yang saat ini menerima lampu sorot dari kesusastraan dunia. Novel pertamanya yang diterjemahkan ke bahasa Inggris, The Vegetarian, membawa Korea ke panggung kesusastraan internasional, memberi label berikutnya pada Korea selain sebagai negara penghasil boyband dan girlband dan K-Drama. Di The Vegetarian, kisah perempuan yang mendadak ingin jadi seorang vegan dan mengira dirinya adalah tumbuhan disampaikan dengan puitis sekaligus terkesan sureal. Lewat novel itu, Han Kang mengajukan sebuah pertanyaan penting: Apakah kekerasan merupakan sifat mendasar manusia?

Pertanyaan tersebut masih menjadi persoalan utama yang diolah Han Kang di novel terbarunya, Human Acts (Portobello Books, 2016). Human Acts bercerita tentang peristiwa yang dikenal sebagai “Gwangju Uprising”-sebutan untuk aksi demonstrasi warga Gwangju pada tahun 1980 yang dilakukan menyusul terbunuhnya presiden Korea Selatan keempat, Park Chung-hee, setahun sebelumnya. Peristiwa ini lebih populer dengan nama “5-18”, mengindikasikan tanggal 18 Mei, waktu terjadinya peristiwa itu.

Pasca terbunuhnya Park Chung-hee, gerakan-gerakan massa menuntut penegakan demokrasi yang terbendung selama 18 tahun kediktatorannya kembali menyeruak. Gelombang massa ini yang kemudian ditekan oleh Chun Doo-hwan, petinggi militer Korea Selatan yang melakukan kudeta untuk mengambil alih kendali negara. Sosok yang disebut Han Kang di novelnya sebagai“The Butcher”. Orang yang bertanggungjawab atas kematian sekurangnya 600 jiwa warga Korea.

*

Human Acts merupakan novel polifonik. Terdiri atas enam bagian, masing-masing bagian memiliki protagonisnya sendiri dan dituturkan menggunakan sudut pandang penceritaan yang berbeda-beda. Enam bagian tersebut ditutup dengan sebuah epilog yang dituturkan oleh Han Kang sendiri sebagai penulis novel, berisi gambaran tentang apa yang ia alami ketika peristiwa pembantaian itu berlangsung serta bagaimana cerita ketika ia mencoba melacak dokumen-dokumen tentang “5-18”.

Pada bab pertama novel, “The Boy. 1980”, pemuda yang menjadi fokus narasi Han Kang terlihat membantu para sukarelawan membersihkan jenazah korban kekerasan oleh tentara. Pemuda ini kemudian kita ketahui bernama Dong-ho, dan melalui serangkaian adegan, kita akan paham bahwa ia juga merupakan salah satu korban pembantaian. Han Kang membuka Human Acts dengan deskripsi seorang pemuda belia yang sedang melihat hujan. “It looks like rain,” you mutter to yourself. Kalimat pertama itu memberi saya jalan masuk untuk membayangkan cuaca yang mengiringi situasi mencekam di Gwangju, sekaligus merasakan sesuatu yang puitis-nuansa yang kerap muncul tiap membaca narasi Han Kang.

Bagian kedua, “The Boy’s Friend. 1980”, mengingatkan saya pada mayat di pembukaan novel My Name Is Red, Orhan Pamuk, karena mereka sama-sama mayat yang berbicara. Bagian ketiga, “The Editor. 1985”, menuturkan kisah Kim Eun-sook, jurnalis yang mencoba melupakan tujuh tamparan personil tentara dalam sebuah interogasi. Bagian keempat, “The Prisoner. 1990”, tentang mantan narapidana yang menceritakan pengalamannya disiksa tentara. Di bagian kelima, “The Factory Girl. 2002”, seorang pekerja dipaksa mengingat masa kelamnya semasa demonstrasi. Di bagian terakhir, “The Boy’s Mother. 2010”, seorang ibu mengenang kematian anaknya.

Han Kang berpindah-pindah dari satu protagonis ke protagonis berikutnya dan bercerita menggunakan sudut pandang penceritaan orang pertama, kedua, dan ketiga. Meski awalnya sedikit sulit mengikuti peralihan sudut pandang penceritaan yang terus-menerus ini, pada akhirnya kita akan memahami gambar besar yang dilukis Han Kang. Semua tokoh yang ia ceritakan merupakan bagian dari satu kelompok yang sama: kelompok masyarakat yang melawan kekuatan militer Chun Doo-hwan. Kelompok yang menjadi korban kekerasan negara.

Selain memperlihatkan bahwa kekerasan dan kekuasaan kerap tampil sebagai saudara sedarah, Human Acts juga menunjukkan bagaimana perlawanan selalu muncul dari bawah. Seluruh bagian kelompok demonstrasi Gwangju yang beraksi menghadap tentara adalah masyarakat sipil. Mereka yang tidak terlatih memegang senjata dan hanya berbekal keberanian, kenekatan, serta solidaritas kuat yang berakar pada satu keyakinan: Bahwa mereka benar. Bahwa kehendak mereka menuntut demokrasi adalah sesuatu yang benar dan pantas.

Jika dibanding dengan novel sebelumnya, The Vegetarian, novel terbaru Han Kang ini menampilkan pemandangan yang lebih brutal. Begitu banyak gambar-gambar yang dapat dikategorikan Not Safe For Work (NSFW). Han Kang mendeskripsikan wujud tubuh mayat korban kekerasan dan adegan-adegan penyiksaan tanpa sensor sama sekali. Namun, kata si pemuda Dong-ho, “Apa yang mengerikan dari mayat-mayat ini? Lebih menakutkan tentara-tentara itu.”

Han Kang menulis sebuah paragraf yang menurut saya sangat kuat di Human Acts. Sebuah pernyataan yang menjadi benang merah atas karya-karyanya. Berikut bunyi paragraf tersebut:

Is it true that human beings are fundamentally cruel? Is the experience of cruelty the only thing we share as a species? Is the dignity that we cling to nothing but self-delusion, masking from ourselves this single truth: that each one of us is capable of being reduced to an insect, a ravening beast, a lump of meat? To be degraded, damaged, slaughtered; is this the essential fate of humankind, one which history has confirmed as inevitable?

*

Human Acts diterjemahkan dari bahasa Korea ke Inggris oleh Deborah Smith, penerjemah asal Inggris berusia 29 tahun yang bersama Han Kang menerima anugerah Man Booker Prize International 2016 lewat terjemahannya untuk The Vegetarian. Dalam pengantarnya di novel Human Acts, Deborah Smith memberi sedikit gambaran tema yang diangkat Han Kang. Bagi saya yang awam sejarah politik dan kekerasan di Korea Selatan, pengantar pendek Deborah Smith amat membantu dalam memahami gagasan dan latar belakang cerita di Human Acts.

Sebagai penulis, garis hidup Han Kang tampak seolah-olah sudah disuratkan. Ayah dan abangnya, masing-masing bernama Han Seung-won dan Han Dong Rim, juga adalah penulis. Han Kang belajar Kesusastraan Korea di Universitas Yonsei dan kini mengajar penulisan kreatif Institut Seni Seoul. Sebelum meraih perhatian dunia lewat kemenangannya di Man Booker, Han Kang sudah lebih dulu mendapat beragam penghargaan kesusastraan di negara asalnya.

Sebuah karya sastra yang baik akan membuat kita mempertanyakan hal-hal yang sebenarnya berlangsung setiap hari tetapi tidak pernah kita pikirkan secara sadar. Membaca Human Acts membuat saya merenung dalam. Benarkah kekerasan merupakan sesuatu yang inheren pada manusia? Apakah kekerasan adalah fitrah manusia? Jika benar demikian, apa yang bisa manusia perbuat demi melepaskan kekerasan itu dari dirinya, atau sebaliknya, melepaskan dirinya dari kekerasan? Demi mencapai “…sebuah tempat yang disinari cahaya matahari, sebuah tempat di mana bunga-bunga bermekaran.” ***

Sebuah Panduan Berbuat Jahat

$
0
0

(Foto dari redaksi Mojok)


Tulisan ini dipublikasikan pertama kali di Mojok.


Saya rindu membaca cerita yang dimulai dengan niat jahat. Meski tentu saja tidak semuanya, tetapi novel-novel terakhir yang saya baca selalu bermula dengan protagonis yang memiliki kehendak mulia, lalu menghadapi masalah yang menghalau kehendak mulianya, namun berakhir bahagia dan ditutup dengan keberhasilan si protagonis menunaikan niat mulianya itu. Saya rindu orang jahat. Saya rindu orang jahat yang menjadi tokoh utama. Saya rindu sebuah cerita yang membuat saya percaya bahwa sama seperti kebaikan, kejahatan pun bisa sungguh-sungguh menang.

Novel 24 Jam Bersama Gaspar karya Armandio Alif menunaikan kerinduan saya akan hal-hal tersebut.

Armandio Alif adalah penulis Indonesia berusia muda yang cemerlang. Saya katakan cemerlang, karena sejak awal kemunculannya di dunia sastra Indonesia, Dio-panggilan akrabnya, walau menurut saya “Sabda” terdengar lebih agung-sudah menorehkan prestasi baik. Novel debut Dio, Kamu: Cerita yang Tidak Perlu Dipercaya, menjadi satu dari lima buku terbaik tahun 2015 pilihan majalah Rolling Stone Indonesia. Tidak butuh waktu lama bagi Sabda Armandio untuk mencuri perhatian para pelaku dan penikmat karya sastra Indonesia, karena karya keduanya, novel 24 Jam Bersama Gaspar, menjadi pemenang unggulan Sayembara Menulis Novel Dewan Kesenian Jakarta 2016.

Kurang keren apa lagi coba?

Sebelum membaca kedua novel Sabda Armandio, saya lebih dulu mengenal karya-karyanya yang dia pajang di blog pribadinya. Kebanyakan cerita pendek. Ada pula cerita yang sangat pendek dan beberapa cerita terjemahan. Selain menulis cerita pendek dan novel, Dio juga menerjemahkan cerita-cerita pendek dari penulis yang saya asumsikan merupakan penulis kesukaannya. Salah satu dari penulis kesukaannya itu dia pinjam dan jadikan tokoh di 24 Jam Bersama Gaspar, yaitu sebuah motor bernama Cortazar (ya, dari Julio Cortazar).


*

Saat membaca cerita-cerita Dio di blognya, hal pertama yang saya tangkap adalah jiwa iseng si penulis. Dio senang bermain-main di dalam ceritanya dan hal tersebut memunculkan kesan bahwa dia tidak sungguh-sungguh ingin menulis sesuatu yang bagus. Alur cerita, dialog, karakter-karakter dalam cerita-ceritanya cenderung absurd, ganjil, dan terkesan asal bikin saja. Tidak terlihat niat atau perencanaan yang matang untuk membuat plot dan gagasan yang matang.

Tapi, tunggu dulu, apa memang benar begitu?

Cerita bagus biasanya dimulai dengan kesan main-main. Sama seperti seorang pelawak yang sedang beraksi di panggung, Sabda Armandio melalui panggung naskahnya memulai cerita-ceritanya dengan humor yang membuat saya tertawa dan lengah. Setelah lawakannya berhasil, barulah dia menembakkan gagasan-gagasan yang kerap membuat saya terkejut dan berpikir panjang.

Itu terjadi di cerita-cerita pendek yang ia pajang dan bisa dibaca gratis di blog pribadinya. Itu yang terjadi di novel Kamu. Itu pula yang terjadi di 24 Jam Bersama Gaspar.

Humor Sabda Armandio bahkan sudah terasa sejak pembukaan novel. Sebuah pengantar yang ditulis dengan gaya parodi membuat saya benar-benar meramban di mesin pencari laptop saya untuk mengenal lebih jauh siapa itu Arthur Harahap. Setelah tidak menemukan hasil yang bikin saya puas, saya membangun imajinasi akan Arthur Harahap di kepala saya sendiri.

Pengantar 24 Jam Bersama Gaspar yang ditulis oleh sosok fiktif (meskipun ini masih bisa diperdebatkan) bernama Arthur Harahap merupakan sebentuk metafiksi yang segar dan sukses bikin saya penasaran, tidak hanya pada siapa sebenarnya yang menulis pengantar buku ini, tetapi juga sosok sang protagonis, Gaspar.


*

Gaspar adalah seorang laki-laki berusia pertengahan tiga puluh yang senang bermain musik dan punya hasrat membunuh orang. Saya langsung jatuh hati pada Gaspar sejak Sabda Armandio memberikan deskripsi tentang dia. Melalui sudut pandang penceritaan orang pertama, Gaspar berkata bahwa dia adalah “…yang diceritakan naga-naga dewasa kepada anak-anak mereka agar cepat tidur.” Gaspar juga sesumbar, “Dulu Kim Il Sung menyebut namaku beserta segala kemampuanku untuk menghentikan rengekan Kim Jong Il kecil.”

Sungguh seram dan menarik.

Gambaran jahat itu tentu saja bukan omdo alias omong doang. Gaspar membuktikannya dengan memberi tahu pembaca bahwa dia akan merampok sebuah toko emas 24 jam dari sekarang. Bersama motor kesayangannya, Cortazar, dan tokoh-tokoh lain yang dengan hasutan tertentu menjadi partner in crime (literally!) Gaspar, layaknya Momotaro pergi untuk menumpas monster di pulau jauh, Gaspar berangkat ke toko emas untuk mengambil sebuah kotak hitam misterius. Apa isi kotak hitam yang memotivasi niat jahat Gaspar? Ya, baca aja novelnya.

Dalam delapan bab yang sangat menghibur, cerita 24 Jam Bersama Gaspar berjalan di dua alur yang paralel. Dalam alur pertama, kita mengikuti pergerakan Gaspar bersama teman-teman gengnya yang dia bentuk dadakan dan sebenarnya tidak sangat bahagia mengikuti rencana absurd Gaspar; dan di alur kedua, kita membaca (atau “mendengar”) rekaman wawancara seorang polisi dengan seorang nenek-nenek anggota komplotan kriminal Gaspar. Kedua alur paralel yang sedikit mengingatkan saya pada novel Kafka on the Shore karya Haruki Murakami (di novel Haruki ada tiga alur paralel) ini bersaling-silang membangun misteri dan ketegangan yang berusaha dibentuk Sabda Armandio demi menepati janjinya di sampul buku: novel ini adalah sebuah cerita detektif.

Gagasan tentang apa itu jahat dan apa itu baik menjadi energi utama cerita novel 24 Jam Bersama Gaspar. Melalui tindakan-tindakan karakternya, Sabda Armandio mengajak saya mempertanyakan kembali akan makna kejahatan dan kebaikan. Tidak hanya lewat Gaspar, tetapi juga karakter-karakter lain termasuk sasaran Gaspar, sang pemilik toko emas, orang yang menyimpan kotak hitam incaran Gaspar: Wan Ali.

Wan Ali yang telah berbuat jahat demi kebaikan menurut versinya, dan Gaspar yang berbuat jahat demi membalas kejahatan Wan Ali, adalah karakter-karakter yang kita temukan di kehidupan sehari-hari. Orang-orang jahat di dunia nyata dan tokoh-tokoh jahat di film-film Hollywood kerap menggunakan alasan “ini semua demi kebaikan” untuk membenarkan tindak jahat mereka. Sabda Armandio, lewat mulut Gaspar, seakan ingin berkata: kalau jahat ya jahat saja.

Membaca novel 24 Jam Bersama Gaspar, selain membuat saya tertawa karena penuh lawakan segar, juga bikin saya merenung tentang makna jahat dan baik, sekaligus menggerakkan jari-jari tangan saya untuk mencari sebuah puisi yang sejak tadi saya coba ingat. Sebuah puisi yang dalam bahasa Inggris kira-kira berjudul There is a Field, karya Jalaluddin Rumi:

Out beyond ideas of wrongdoing and rightdoing,
there is a field. I’ll meet you there.
When the soul lies down in that grass,
the world is too full to talk about.
Ideas, language, even the phrase each other
doesn't make any sense.


Saya membayangkan bertemu Gaspar di sebuah warung makan Tegal di suatu sore yang adem, dan Gaspar mengucapkan dua kalimat pertama dari puisi Rumi, dan kami akan duduk-duduk di selokan di pinggir sawah yang masih hijau, dan berbicara panjang lebar tentang kejahatan dan kebaikan. ***

Bernard Batubara: On Stories, Love, and Heartbreaks (Interview)

$
0
0

Kali pertama saya menyadari bahwa saya dilabeli sebagai "penulis romance" oleh orang-orang yang membaca buku saya, saya merasa kesal. Makna dan keinginan saya sebagai penulis seakan-akan direduksi ke dalam sebuah genre: romance. Padahal motivasi awal saya menjadi penulis adalah ingin membuat novel fantasi seperti J. K. Rowling menulis Harry Potter-- novel yang memantik ambisi lugu saya ingin jadi seorang penulis.
Namun, lama-lama saya mulai menerima label tersebut sebagai sesuatu yang alami dan tidak terhindarkan. Kini saya menjadikannya fokus, dan senjata untuk menyampaikan gagasan-gagasan di luar label itu. "Cinta" menjadi tema yang saya gunakan sebagai kulit cerita, yang di dalamnya terdapat beragam pikiran saya mengenai banyak hal: konflik sosial, hukum, identitas, hingga agama dan ketuhanan.
Bagi saya, pada titik tertentu semua cerita adalah cerita cinta. Saya menggali kenangan tentang cerita-cerita cinta yang pernah saya alami (yang sebagian besar gagal dengan caranya sendiri) dan menyajikan cerita kepada pembaca, demi berbicara kepada mereka tentang bagaimana saya memaknai cinta, dan tentu saja, patah hati.
Di atas adalah cuplikan wawancaranya. Baca selengkapnya wawancara terbaru saya oleh Hanny Kusumawati di blognya: Bernard Batubara: On Stories, Love, and Heartbreaks (in English)

Kamu Orang Mana?

$
0
0



Ada banyak hal yang saya senangi di hidup ini, salah satunya berkenalan dengan orang baru. Namun, dari banyak hal yang saya senangi ketika bertemu kenalan baru, ada satu pertanyaan yang tidak pernah bisa saya jawab dengan lekas. Pertanyaan yang senantiasa disampaikan sebagai pembuka, pengisi obrolan, atau bahkan di penghujung tukar-pikiran. Di mana pun letaknya, pertanyaan ini niscaya muncul:

“Kamu orang mana?”

Saya selalu bingung harus menjawab apa.

Apa itu maksudnya: Kamu orang mana?

Beberapa teman saya menerjemahkan pertanyaan tersebut sebagai keingintahuan akan daerah asal atau lebih spesifik lagi tempat kelahiran. Jika kamu lahir di Yogyakarta, maka jawabannya: “Saya orang Jogja.” Beberapa yang lain menganggap kata tanya mana mengacu pada kelompok etnis. Jika kamu lahir dari kedua orangtua Betawi, maka kamu akan menjawab: “Saya orang Betawi.”

Jawaban ini bukan tanpa persoalan. Masalahnya, kalau kedua orangtua saya berasal dari suku yang berbeda, saya harus menjawab dengan apa?

“Saya orang Batak, sih, tapi juga Melayu.:”

Menjadi lebih rumit lagi jika ayah dan ibu saya tidak murni Batak maupun Melayu.

“Saya orang Batak, sih, tapi juga Melayu. Ada India-nya sedikit, tapi udah jauh…”

Rumit, kan.





Ini bukan persoalan sederhana. Belasan tahun sejak kali pertama mendapat pertanyaan itu saya masih saja kebingungan menjawabnya. Semakin sulit bagi saya menerjemahkan dan memberi respons atas pertanyaan, “Kamu orang mana?” ketika saya terus berpindah tempat tinggal dari desa masa kecil di Anjongan Kalimantan Barat, Pontianak, hingga kini di Yogyakarta.

Di Anjongan saya tinggal hingga usia 11 tahun. Di Pontianak saya menghabiskan waktu 6 tahun. Di Yogyakarta, saya sudah tinggal selama 10 tahun lebih, hingga beberapa kali ketika driver ojek bertanya basa-basi tentang berapa lama saya tinggal Yogyakarta, mereka merespons dengan, “Wah sudah jadi orang Jogja ya.” setelah saya menyebut 10 tahun.

Jadi saya ini orang mana sebenarnya?

Secara teknis, saya adalah orang Batak campur Melayu dan sedikit India. Itupun karena saya hanya sanggup melacak hingga tiga generasi ke atas. Saya tidak tahu ibunya nenek buyut saya orang mana, belum lagi nenek buyutnya nenek buyut.

Jika dibilang orang Batak karena ayah saya Batak, saya sesungguhnya tidak paham-paham amat perihal tradisi Batak. Begitu pula dengan Melayu, suku ibu saya; saya bicara dalam bahasa Melayu pergaulan selama enam tahun, tapi tidak benar-benar mengenal secara dalam dan fasih tentang budaya Melayu. Kini, ketika saya tinggal di Yogyakarta, saya merasa memahami sedikit lebih banyak soal Yogyakarta ketimbang Pontianak, kota kelahiran saya.

Jadi, disebut apa laki-laki yang lahir dari orang Batak dan orang Melayu yang tidak benar-benar tahu mengenai budaya Batak dan Melayu dan merasa dirinya lebih dekat pada kebiasaan orang-orang Jawa?





Suatu hari, saya jatuh cinta.

Pada sebuah percakapan dengan orang yang saya cintai, dia tiba-tiba mengucapkan kalimat yang membuat saya agak tidak siap.

“Coba kamu ngomong pakai bahasa Melayu.”

Saya belum pernah jatuh cinta dengan orang yang melemparkan permintaan ganjil seperti itu. Tidak ada pernah ada yang notice dengan aksen Melayu saya, yang meski jarang muncul, sesekali bisa hadir dalam kata-kata saya terutama jika saya merasa nyaman dengan lawan bicara.

Kekasih saya pada saat itu (yang kini sudah menjadi kekasih orang lain) kerap meminta saya berbicara dengan aksen Melayu. Jika selama beberapa jam saya berbicara menggunakan bahasa Indonesia yang cukup formal, dia akan sadar kemudian bertanya: “Kok kamu enggak ngomong pakai bahasa Melayu lagi, sih?”

Saya tidak pernah merasa sangat bangga menjadi orang Melayu, hingga orang yang saya cintai terus-terusan meminta saya bicara dalam aksen Melayu. Ketika saya bertanya mengapa, dia bilang dia menyukai cara saya bicara ketika saya bicara dalam aksen Melayu. Semenjak itu, saya kerap bicara dengannya seperti saya bicara kepada teman-teman sekolah saya di Pontianak.

*

Pada titik itu saya mulai merasa dapat relate dengan sesuatu.

Bagaimanapun, di dalam diri saya ada darah Melayu. Di dalam pembuluh yang sama, juga terdapat darah Batak. Nama belakang saya Batubara, dan ari-ari saya ditanam di tanah Khatulistiwa. Saya tumbuh sebagai anak kecil dan remaja di Pontianak, Kalimantan Barat, dan menjadi dewasa di kota Yogyakarta di pulau Jawa. Saya adalah semua yang ada di diri saya. Seluruh bahasa, budaya, dan identitas yang menjejak di tempat bernama Indonesia.

Suatu hari, saya jatuh cinta pada seseorang yang mengingatkan rasanya menjadi orang Indonesia. Setelah itu, saya jatuh cinta pada kenyataan bahwa saya orang Indonesia. Jika ada orang yang bertanya, “Kamu orang mana?” saya akan jawab dengan santai dan mudah, “Saya orang Indonesia.”






-->
Tulisan ini bekerjasama dengan Giordano Indonesia dan #OneIndonesia.

Novel Baru: MOBIL BEKAS

$
0
0



Saya senang dapat berkolaborasi dengan seorang kreator yang punya semesta pikiran menarik. Tahun ini saya berkesempatan membuat cerita dari film layar lebar Ismail Basbeth, sutradara Indonesia yang membuat film Mencari Hilal dan Talak Tiga. 

Mobil Bekas dan Kisah-Kisah dalam Putaran adalah film layar lebar terbaru dari Ismail Basbeth dan rumah produksi Bosan Berisik Lab. Saya menulis novel untuk film tersebut. Saat ini draf pertama sudah selesai ditulis dan sedang dalam masa penyuntingan. Doakan lancar.

Jika tidak ada hambatan yang berarti, novel terbaru saya MOBIL BEKAS dan Kisah-Kisah dalam Putaran akan terbit melalui Bentang Pustaka akhir tahun 2017.


MOBIL BEKAS

$
0
0

Ini adalah sampul buku saya yang terbaru. Novel “Mobil Bekas dan Kisah-Kisah dalam Putaran”, yang saya tulis sebagai terjemahan atas film layar lebar Ismail Basbeth dari rumah produksi Bosan Berisik Lab berjudul sama—yang saat ini sedang berkelana di festival film internasional di Busan dan Tokyo dengan judul bahasa Inggris “The Carousel Never Stops Turning”.
#MobilBekas adalah buku saya yang ke-12, novel saya yang ke-6, sekaligus karya perdana yang saya tulis berdasarkan film layar lebar.
Novel ini akan segera diterbitkan oleh Bentang Pustaka

Rahasia Menembus Penerbit Ala Bernard Batubara!

$
0
0

Foto oleh: Nuri Arunbiarti


Saya selalu mengira bahwa zaman sekarang semua orang serba tahu akan segala hal. Atau setidaknya mudah untuk mengetahui yang belum diketahui. Atas dasar pikiran seperti itu, saya jarang sekali menyebarkan informasi yang saya anggap sudah diketahui secara umum. Salah satunya yang terkait dengan dunia penulis: mengirim naskah ke penerbit.

Anggapan saya, semua orang sudah tahu bagaimana cara mengirim naskah ke penerbit. Kalaupun belum, saya kira merupakan sebuah common sense untuk mencari tahu di Internet. Maksudnya, kalau enggak tahu cara mengirim naskah, bukankah langkah logis yang merupakan solusinya adalah mengetik di Google: “Cara mengirim naskah ke penerbit”?

Saya tidak tahu apakah ini sudah dilakukan oleh teman-teman yang ingin tahu cara mengirim naskah. Kalau kamu melakukannya, pada halaman pertama saja sudah banyak panduan cara mengirim naskah yang saya kira cukup jelas. Jadi, apa gunanya lagi saya membuat tulisan ini?

Faktanya, meski tidak setiap hari, cukup banyak ternyata teman-teman yang mengirimi saya e-mail dan pesan di Instagram bertanya bagaimana cara mengirim naskah ke penerbit. Mau saya jawab, kok rasanya malas. Tidak saya jawab, rasanya ada tanggungjawab moral sebagai penulis untuk berbagi informasi. Tapi ya capek juga kalau setiap ada pertanyaan seperti itu dari orang yang berbeda, saya harus mengetik ulang jawaban yang sama.

Jadi, ya sudah, saya bikin saja tulisan ini. Bisa jadi yang dibutuhkan teman-teman bukan sekadar panduan teknis mengirim naskah, melainkan tips tertentu yang membuat kemungkinan naskah diterima semakin mungkin. Kalau perlu langkah-langkah jitu yang menjamin seratus persen penerbit mustahil menolak menerbitkan naskahmu!

Sepuluh tahun berkarir di dunia penulisan kreatif dan di antaranya satu tahun bekerja di sebuah penerbitan sebagai editor, berikut ini beberapa hal yang bisa saya bagi. Saya tidak jamin apakah daftar ini otentik dan belum ditulis oleh penulis ataupun penerbit lain, tapi ini tips dari Bernard Batubara gitu loh.

Masa iya enggak bisa dipercaya?


1. Rapikan Naskahmu

Sejelek apapun naskahmu, kalau diketik dengan rapi, editor masih mau baca setidaknya beberapa halaman lebih banyak daripada naskah yang penulisannya amburadul. Apa itu artinya naskah yang rapi? Artinya secara visual, teks di halaman-halamanmu mudah dibaca.

Bagaimana caranya membuat naskah yang rapi? Jangan pakai font isi Wingdings dengan ukuran 36. Yang wajar-wajar saja. Setiap penerbit memiliki ketentuannya sendiri, tapi kira-kira yang saya pakai ini aman dan bisa dicontoh:

Font: Cambria
Size: 12
Line spacing: 1.15
Page size: A4
Margin: Default MS Word

Kamu boleh mengganti Cambria dengan Times New Roman, Calibri, atau apapun (kecuali Wingdings). Intinya biar enak dibaca aja gitu loh. Bagaimana caranya meyakinkan penerbit bahwa naskahmu itu calon megabestseller internasional kalau hasil ketikannya sulit dibaca?


2. Sesuaikan Genre

Naskah yang ditolak tidak selalu berarti naskah tersebut jelek atau belum layak diterbitkan (meskipun memang seringkali demikian), tapi juga bisa karena naskahmu tidak sejalan dengan visi penerbit yang kamu kirimi naskah. Bagaimana saya bisa mengirim naskah tentang budidaya ikan siluk dan berharap diterbitkan Gagasmedia? Atau naskah anjuran menjadi ateis dan berharap diterbitkan oleh Qultum Media?

Sebagai penulis atau calon penulis, sangat penting untuk mempelajari karakter terbitan setiap penerbit, terutama penerbit yang kamu incar. Apakah penerbit tersebut sudah pernah atau sering menerbitkan buku-buku seperti naskah yang sedang kamu tulis? Beberapa penerbit mainstream saat ini memang memperluas jenis terbitannya sehingga memberi peluang lebih lebar bagi beragam genre, tetapi kamu tetap perlu memastikan apakah kamu menyasar penerbit yang tepat.

Kadang-kadang penulis mengerjakan naskahnya tanpa mengetahui jenis naskah seperti apa sebenarnya yang sedang dia kerjakan. Ini juga perlu diperhatikan. Paling tidak kamu tahu apakah naskahmu karya fiksi atau nonfiksi? Kalau fiksi, apakah karyamu fiksi roman urban, horor, sejarah, remaja, komedi, atau fantasi? Kalau nonfiksi, apakah karyamu bertema kisah perjalanan naratif, panduan melakukan sesuatu, atau buku pendamping pelajaran?


3. Penerbit Mainstream atau Indie?

Dulu, bedanya cukup kentara antara penerbit mainstream dan indie. Sekarang, tidak lagi. Selain soal modal dan jumlah terbitan (dan tentunya kedua hal ini saling berkaitan) saya kira tak lagi ada bedanya antara penerbit mainstream dan indie. Beberapa penerbit indie kini menggunakan sistem seleksi, kurasi, penyuntingan, yang sama ketat dan teraturnya dengan penerbit mainstream.

Pemasaran? Keduanya kini sama-sama mengandalkan jalur-jalur daring (penerbit indie yang punya modal cukup besar atau dengan pertimbangan tertentu juga memasukkan beberapa produknya ke toko buku jaringan) di samping acara-acara offline seperti talkshow, diskusi buku, dan acara komunitas.

Kualitas? Apalagi ini. Saya kira sulit mencari hubungan antara kualitas buku dengan jenis penerbitnya. Buku bagus maupun jelek sama-sama bisa ditemukan baik itu di penerbit mainstream maupun indie. Mutu cetakan? Ini mungkin agak berbeda. Penerbit mainstream umumnya memiliki kualitas produk lebih baik dibanding beberapa kasus buku penerbit indie. Mungkin karena sudah pengalaman produksi buku. Namun, hal ini juga tidak bisa dikatakan perbedaan yang mendasar karena banyak buku dari penerbit mainstream dan indie yang mutu cetakannya sama saja.

Prestise? Saya mengerti jika teman-teman sangat ingin naskahnya diterbitkan oleh penerbit tertentu dengan alasan kayaknya keren dan bergengsi aja gitu. Persis seperti ketika kita mau masuk universitas. Bukan prospek kerja jurusan atau rekam jejak pengajarnya apalagi passion kita yang kita jadikan ukuran, tapi karena keren aja gitu kalau masuk kampus anu dan inu.

Sekarang saya bisa bilang, itu bukan hal yang penting-penting amat. Lebih penting untuk mengetahui apakah penerbit yang kamu incar punya visi yang sesuai dengan karakter naskahmu, punya rekam jejak yang baik mengenai cara memperlakukan penulis, mudah diajak berkomunikasi dan terbuka, bersemangat tinggi untuk sama-sama berkembang, dan memahami keinginan-keinginan kreatifmu sebagai penulis.

Jadi, mainstream atau indie? Kalau pengin naskahmu dicetak banyak, silakan coba tembus penerbit mainstream. Kalau kamu punya visi spesifik yang ternyata tidak atau belum dapat diakomodir penerbit mainstream, coba cari tahu ragam penerbit indie yang ada. Penerbit indie biasanya punya karakter terbitan yang relatif unik dan spektrum genre yang khusus.

Menurut saya, selain mencari tahu apakah naskahmu sebaiknya diserahkan ke penerbit mainstream atau indie, lebih penting mencari tahu naskah macam apa yang pengin kamu tulis, serta sesekali merenung agak dalam dan memikirkan kamu pengin jadi penulis yang seperti apa?


4. Jalur Pengiriman Naskah

Ada banyak cara mengirim naskah ke penerbit. Cara pertama melalui jalur reguler. Yang dimaksud dengan jalur reguler adalah kamu mengirim naskah melalui “pintu depan” penerbit dan meja redaksi. Caranya: mencari tahu alamat pengiriman naskah. Naskah bisa dikirim dalam bentuk cetak maupun berkas digital. Beberapa penerbit sekarang mengizinkanmu mengirim naskah ke e-mail mereka. Manfaatkan kemudahan ini. Kalau saya, sejauh ini masih memilih mengirimkan naskah cetak, karena sebagai editor dan pembaca saya lebih sanggup membaca dengan fokus yang baik naskah dalam bentuk fisik.

Jalur lainnya: kompetisi menulis. Penerbit-penerbit sering membuat kompetisi menulis novel, cerita pendek, bahkan puisi. Manfaatkan media sosial dan Internet untuk mencari tahu informasi mengenai kompetisi-kompetisi menulis. Biasanya para pemenang mendapat hadiah kontrak penerbitan. Meski demikian, waspada pada penipuan dan tidak perlu memaksakan diri untuk mengikuti semua kompetisi.

Satu lagi jalur yang kekinian: “caper” sama penerbit atau editor. Para editor penerbitan tidak lagi hanya duduk di balik meja redaksi menunggu naskah datang. Mereka aktif mencari penulis-penulis baru potensial. Mereka berselancar di kanal-kanal media sosial, forum-forum penulisan kreatif, dan tempat-tempat mana pun yang mungkin memiliki penulis-penulis potensial yang bisa diajak kerjasama.

Bagaimana cara kamu memanfaatkan ini? Rajin-rajinlah menulis di kanal-kanalmu. Twitter, Instagram, Youtube, bisa dipakai dan merupakan satu dari beberapa hal yang diperhatikan penerbit tetapi tidak mutlak. Namun, menurut saya, kanal paling penting dimiliki seorang penulis adalah blog. Mengapa blog? Blog memberi ruang lebih luas untuk memperlihatkan kemampuan kita menulis.

Ingat bahwa memang merupakan kenyataan umum jika kini banyak penulis datang dari dunia kanal-kanal media sosial yang sekilas terlihat tak ada kaitannya dengan dunia tulis-menulis, tetapi bagaimanapun pada akhirnya penerbit berharap kamu bisa menulis. Editor tidak mengerjakan naskahmu. Kamu sendiri yang harus menggarapnya.

Jadi, bukanlah sebuah dosa jika kamu saat ini adalah seorang vlogger atau seleb ask.fm dan berharap menerbitkan bukumu sendiri. Yang penting kamu punya cerita menarik dan berkehendak kuat untuk menulis, juga belajar meningkatkan kemampuan menulis.


5. Sewa Jasa Editor Lepas/Agen Naskah

Barangkali di Indonesia jasa agen naskah tidak lebih umum dikenal daripada editor lepas, meskipun keberadaan jasa editor lepas juga belum amat populer. Akan tetapi, jasa editor lepas atau agen naskah sangat berguna bagimu, terutama jika kamu sama sekali belum punya pengalaman bekerjasama dengan penerbit atau menembus industri penerbitan.

Editor lepas umumnya adalah orang-orang yang pernah bekerja di dunia penerbitan dan kemudian memutuskan membangun jasanya sendiri. Begitupun dengan agen naskah. Jika editor lepas biasanya menyediakan jasa penyuntingan, agen naskah bisa memberikan rekomendasi penerbit atau bahkan langsung menghubungkanmu dengan penerbit serta merekomendasikan naskahmu ke penerbit yang bekerjasama dengannya.

Keberadaan jasa editor lepas/agen naskah juga bisa ditemukan di kanal-kanal media sosial maupun Internet. Googling saja, atau rajin-rajin skrol-skrol Twitter, niscaya bakal ketemu satu-dua individu atau penerbit/percetakan buku yang menyediakan jasa semacam ini. Coba pakai jasa mereka jika kamu merasa butuh.

Saya sendiri menyediakan jasa konsultasi, review naskah, pendampingan penyuntingan naskah. Jika teman-teman tertarik, silakan hubungi saya melalui e-mail: benzbara@gmail.com. Saya akan beri informasi lengkap mengenai persyaratan, mekanisme, dan biayanya.




(Saya berteman dengan beberapa editor lain dan penerbit-penerbit tempat saya pernah bekerjasama, jadi saya bisa merekomendasikan naskah teman-teman ke mereka jika memang saya menyukainya. Sejauh ini sudah ada beberapa orang yang menggunakan jasa saya dan alhamdulillah semuanya puas. Saya merintis jasa ini karena merasa banyak penulis terutama yang berusia amat muda yang menginginkan jasa seperti ini, dan saya kira ini baik bagi perkembangan dan kemunculan penulis-penulis baru, sekaligus memudahkan kerja penerbit karena tinggal mencari naskah potensial di agen-agen naskah atau editor lepas)

-

Sekian yang dapat saya tulis tentang cara mengirim naskah ke penerbit. Memang terlihat umum-umum saja dan kurang teknis, tapi itu semata karena saya tak gemar menulis panjang tentang hal-hal yang terlalu teknis. Teman-teman bisa cari di Internet untuk poin-poin lebih teknis mengenai tebal naskah dan lain-lain.

Ada beberapa pertanyaan yang juga menarik yakni soal kontrak penerbitan bahkan pajak penulis. Soal ini lain kali akan saya bikin tulisannya sendiri.

Oh iya, maaf ya kalau ternyata rahasianya enggak rahasia-rahasia amat. Ya, memangnya cuma portal berita yang bisa bikin judul bombastis demi traffic?

Terima kasih, semoga berguna.


Bara

Untuk Seorang Perempuan yang Memintaku Menjadi Hujan

$
0
0



Buku saya yang ke-13. Kumpulan prosa singkat bertema cinta. Bagi teman-teman pembaca yang sudah akrab dengan buku Luka Dalam Bara, buku ini menawarkan kelanjutan kisah serupa dengan perasaan-perasaan yang mungkin lebih sederhana memilukan.

Dicetak hard cover dan isi penuh warna, Untuk Seorang Perempuan yang Memintaku Menjadi Hujan akan edar di toko-toko buku jaringan Desember 2017.

Selamat menunggu dan kelak menikmati.


Hotel Nyaman di Malang Dekat Alun-Alun

$
0
0
Kalau kamu liburan di Malang, lokasi yang paling strategis untuk menginap adalah di kawasan sekitar alun-alun dan Balaikota Malang. Lokasi ini sangat strategis, berada di pusat kota dan dekat dengan fasilitas umum seperti stasiun, pusat kuliner dan perbelanjaan, dan pastinya mudah dijangkau dari kawasan manapun.
Belum punya gambaran mau menginap di mana selama di Malang? Beberapa hotel di dekat alun-alun ini bisa menjadi pilihanmu.

Hotel Tugu
sumber:tuguhotels.com

Letak hotel ini tepat berada di depan alun-alun tugu dan Balaikota Malang. Mudah saja menjangkau Hotel Tugu, dari Stasiun Kotabaru, kamu tinggal jalan kaki selama kurang dari lima menit untuk sampai disana.
Tidak hanya strategis, Hotel Tugu juga dikenal sebagai penginapan legendaris di Malang. Nuansa bangunan dan dekorasi dalam kamar yang bertema tradisional, dengan sentuhan Jawa yang amat kental, dan makanan lezat yang tidak akan kamu temukan di hotel lainnya.

Hotel Montana

sumber:sahidhotels.com

Hotel ini terletak sekitar 15 meter dari Tugu Malang. Bangunannya masih bergaya tradisional, dengan kamar yang nyaman dan bersih serta resto yang memiliki makanan lezat. Meski dari luar bangunannya nampak sederhana, namun setelah masuk ke dalamnya kamu pasti akan betah karena nuansanya sangat hangat dan akrab.

Splendid Inn

sumber:web.facebook.com/Splendid-Inn-Hotel-158728680849171

Bersebelahan langsung dengan Balaikota Malang, Splendid Inn adalah penginapan yang sudah berdiri sejak zaman Belanda. Bangunan hotel ini pun masih bernuansa Belanda, dengan gerbang yang sedikit nampak spooky, namun sebenarnya hotel ini bersih dan nyaman. Tak seseram bayangan orang.

Hotel Kartika Kusuma

sumber:panoramio.com

Hotel yang terletak di Jl. Kahuripan ini hanya sekitar 10 meter saja dari Tugu Malang. Bangunannya sederhana, namun hotelnya nyaman untuk ditinggali, dengan kamar-kamar yang bersih dan rapi. Di bagian depan hotel terdapat café yang menyediakan kopi dari berbagai daerah dengan suasana yang nyaman. Hanya dengan berjalan kaki ke depan hotel, megahnya Tugu Malang sudah terlihat jelas.

Same Hotel

sumber: @samehotelmalang.com

Hotel ini terletak di Jl. Pattimura, sekitar 500 meter dari Alun-Alun Tugu Kota Malang. Dibandingkan dengan beberapa hotel sebelumnya, Same Hotel termasuk baru, dengan bangunan yang tinggi menjulang. Dari hotel ini, kamu bisa melihat pemandangan malam kota Malang yang tenang.

Hotel Helios

sumber:traveloka.com

Letaknya sekitar 300 meter dari Alun-Alun Tugu, dan tempat ini adalah salah satu hotel budget terbaik di Malang. Setiap harinya ada banyak turis dari luar negeri yang menginap disana, sebagian besar adalah mereka yang ingin melanjutkan perjalanan menuju Gunung Bromo.

The 101 Hotel Malang

sumber:phm-hotels.com

Terletak di Jl. Cipto, hotel ini lokasinya sekitar 700 meter dari alun-alun Tugu. Selain kamar yang nyaman, The 101 Hotel Malang juga memiliki Sky Resto yang sudah terkenal dengan kelezatan makanan dan juga pemandangan yang cantik. Dari puncak hotel ini, pemandangan gunung-gunung yang ada di sekitar Malang nampak dengan jelas. Sangat cocok untuk tempat menginap bagi kalian yang sedang jatuh cinta di kota Malang.

Hotel Gajah Mada Graha

sumber:hotelgajahmadagraha.com

Di Jl.Cipto juga terdapat hotel Gajah Mada Graha yang juga nyaman dan bersih. Dari hotel ini, kamu bisa menuju alun-alun Tugu dengan mudah, dan ada banyak kuliner khas Malang yang ada di dekatnya, seperti bakso bakar pak Man yang nggak boleh kamu lewatkan.

-->
Masih ada banyak lagi hotel dekat Tugu yang nyaman dan bersih. Kamu tinggal memilih sesuai dengan kebutuhan dan juga budget buat liburan di Malang. ***

Mencari Rasa yang Dulu Pernah Ada

$
0
0


Apa yang menjadikan secangkir kopi terasa enak?

Sebagian orang akan menjawab kualitas kopinya dan menjelaskan panjang lebar tentang apa yang dimaksud dengan kualitas. Sebagian yang lain akan menjawab dengan siapa kopi tersebut diminum. Sisanya barangkali akan menjawab di mana dan pada momen seperti apa kopi tersebut dinikmati.

Saya punya jawaban lain: memori.

Menurut saya, hal yang membuat secangkir kopi terasa nikmat adalah memori yang menyertai detik-detik kopi tersebut masuk ke mulut dan perut kita.

-

Belakangan ini, saya sedang dilanda rasa rindu pada kampung halaman. Homesick, bahasa umumnya. Sudah sepuluh tahun lebih saya tinggal di Yogyakarta. Kampung halaman saya di Pontianak, Kalimantan Barat. Saya rutin mudik ke rumah orangtua paling tidak satu kali dalam setahun, biasanya setiap jelang bulan ramadan hingga usai acara lebaran.

Saya hampir tidak pernah merasa homesick sebelumnya. Saya senang-senang saja tinggal di Yogyakarta dan merasa cukup pulang kampung satu kali setahun. Toh, di waktu-waktu tertentu saya menelepon ibu, ayah, atau adik saya, dan bagi saya itu sudah cukup untuk membuat hati terisi kembali oleh kabar baik dari rumah. Saya tidak merasa perlu untuk setiap satu kali sebulan pulang.

Namun, belakangan ini saya merasakan rindu yang lebih kentara dari sebelum-sebelumnya terhadap rumah. Saya tidak tahu penyebab yang persis. Mungkin karena memang sudah cukup lama saya tinggal di Yogyakarta. Mungkin sedang tidak ada hal baru yang menarik perhatian saya di kota ini khususnya. Mungkin saya merasa ingin melakukan hal baru di rumah.

Saya merasa ada sesuatu yang hilang.

-

Setengah tahun belakangan, saya rutin menyeduh kopi sendiri di kamar indekos di Yogyakarta. Perjalanan hidup telah membawa saya bertemu dengan orang-orang dari dunia kopi. Mereka orang-orang yang menyenangkan karena tak sungkan berbagi kepada saya tentang apa yang mereka sukai: kopi. Saya mulai penasaran dan akhirnya memutuskan untuk mempelajari kopi lebih dalam.

Semenjak itu, saya bertemu dengan cukup beragam jenis kopi. Kopi dari dalam negeri maupun luar negeri. Kopi yang disangrai dengan beragam cara maupun yang menjalani proses beragam pula. Kopi-kopi tersebut memberi warna bagi pemahaman saya terhadap salah satu minuman yang sangat populer di dunia ini. Semakin hari, saya semakin bersemangat mengenal kopi.

Lantas, pada suatu pagi yang biasa-biasa saja, saya merasakan kerinduan itu. Rasa rindu pada kampung halaman. Rasa rindu pada secangkir kopi yang ada di kota kelahiran saya, Pontianak.

Saya merindukan secangkir kopi susu yang sederhana saja. Secangkir kopi susu yang saya nikmati sembari membaca lembar-lembar koran, tatkala saya duduk di warung kopi yang menghadap ke jalan raya yang dilintasi kendaraan-kendaraan dan sesekali rintik hujan.

Namun, saya tidak bisa segera pulang kampung. Masih ada pekerjaan dan urusan-urusan yang harus saya selesaikan di Yogyakarta, tempat saya tinggal. Aduh, bagaimana caranya?

Bagaimana menemukan rasa yang dulu pernah saya nikmati?

-

Sepulang dari bekerja di luar, saya menyempatkan diri mampir ke minimarket di dekat indekos. Saya mengambil satu pak Kopi Kapal Api rasa kopi susu. Saya ingin menikmati sesuatu yang membuat saya teringat pada warung kopi di kampung halaman.

Esok paginya, saya menyeduh secangkir kopi susu Kapal Api. Aromanya seketika membuat saya terlempar ke bangku plastik di halaman depan warung kopi di kota kelahiran. Cuaca riuh kota dan kendaraan-kendaraan menyala dalam kepala.

Apa yang membuat secangkir kopi menjadi nikmat? Memori. Apa yang membuat kita selalu kembali pada kopi? Karena ada rasa tertentu yang kita rindu.

Menakjubkan ketika menyadari bagaimana secangkir kopi dapat membuat saya mengingat sesuatu, atau mewakili ingatan-ingatan saya akan tempat-tempat dan perasaan-perasaan tertentu. Untuk alasan tersebut, saya merasa Kapal Api memang jelas lebih enak. Karena secangkir kopinya dapat membuat saya menebus rindu pada kampung halaman.

Akhirnya, karena Kopi Kapal Api , saya menemukan kembali rasa yang dulu pernah ada.

-

Hei, penulis dan pencinta kopi!

Tahu enggak kalau sekarang Kapal Api membuat kompetisi blog. Bagi kamu yang punya blog dan senang menulis, harus ikutan kompetisi #KapalApiPunyaCerita.

Caranya? Gampang sekali. Buka halaman ini: #KapalApiPunyaCeritaBlog Competitiondan ikutin ketentuannya. Menangkan Samsung Galaxy Note 8 serta 50 voucher belanja senilai Rp 200.000,- jadi rugi kalau enggak ikutan.

Semoga beruntung!




Tiga Buku 2017

$
0
0


Tiga buku saya yang terbit tahun 2017. Dua kumpulan tulisan pendek bertema cinta dan satu novel adaptasi dari film layar lebar. Ketiganya masih tersedia dan bisa dibeli di toko-toko buku konvensional maupun online.

Luka Dalam Bara belum lama ini meraih penghargaan Anugerah Pembaca Indonesia 2017 yang diselenggarakan oleh Goodreads Indonesia, kategori Sampul Buku Fiksi Terfavorit (Ilustrator: Alvin Resqy), sedangkan Mobil Bekas dan Kisah-Kisah dalam Putaran dan Untuk Seorang Perempuan yang Memintaku Menjadi Hujan baru saja rilis.

Tahun depan ada buku baru? Belum tahu. Kita nikmati dulu sisa-sisa tahun ini sembari membayangkan yang seru-seru untuk tahun 2018.





10 Buku Favorit di 2017

$
0
0




Sejujurnya saya kurang happy dengan pencapaian membaca saya di tahun ini, terutama menyangkut jumlah buku yang saya baca. Sejak saya merekam daftar buku yang saya baca di Goodreads, dari tahun ke tahun jumlah buku setiap tahunnya semakin sedikit saja. Tahun ini saya hanya membaca 19 buku dari target 50 buku. Berarti rata-rata saya membaca tidak lebih dari 2 buku setiap bulannya.

Penyebab paling utama dari menurunnya jumlah buku yang selesai saya baca di tahun ini adalah saya menemukan kegemaran baru: belajar menyeduh kopi. Saya berkenalan dengan banyak teman baru dari dunia kopi. Bahkan, saya sempat ikut "sekolah" kopi. Selama beberapa bulan penuh praktis saya tidak membaca buku apapun. Meski sebenarnya dalam masa-masa belajar tentang kopi, saya membaca beberapa buku tentang kopi.

Dalam rangka menjaga tradisi, seperti tahun-tahun sebelumnya, saya akan menulis daftar buku-buku favorit yang saya baca di tahun ini. Karena saya hanya membaca tidak lebih dari dua puluh buku, jadi membuat daftar ini sama dengan mengambil separuhnya. Untunglah, buku-buku yang saya baca memang kebanyakan bagus, jadi tak begitu sulit memilihnya.

Berikut 10 buku favorit yang saya baca sepanjang tahun 2017:


1. Brave New World (Aldous Huxley)

Novel distopia yang lebih mencekam dari sensasi yang diberikan 1984 George Orwell. Saya menganggap hubungan George Orwell dan Aldous Huxley seperti guru dan murid, karena sama-sama penulis Inggris dan jarak kelahirannya hampir satu dekade. Brave New World dibuka dengan adegan yang mengerikan: sekelompok pelajar diajak study tour ke gedung yang berisi pabrik bayi. Kekuatan novel ini ada pada visi distopia Aldous Huxley, yang sangat relevan dengan pemikiran apapun tentang bagaimanakah itu dunia yang stabil.


2. Other Colors: Essays and A Story (Orhan Pamuk)

Kumpulan tulisan nonfiksi Orhan Pamuk. Kebanyakan tentang masa kecil, keluarga, tips membaca dan menulis, dan tentu saja: Istanbul. Ada juga satu bab yang berisi ulasan Orhan Pamuk atas buku-buku yang pernah dia baca. Tulisan-tulisannya pendek dan enak dikunyah. Kalau sudah pernah baca dan suka novelnya Orhan Pamuk, di buku ini akan kelihatan bagaimana cara Pamuk memandang seni penulisan novel, yang kemudian menjadi landasan praktis saat dia menuliskan novel-novelnya. Ada bonus satu cerita pendek di akhir buku, bercerita tentang almarhum ayahnya dan Pamuk kecil.


3. Slaughterhouse-five (Kurt Vonnegut)

Novel tentang pengalaman Kurt Vonnegut jadi pasukan Amerika waktu Perang Dunia Kedua. Seperti biasa, isinya lucu. Tapi dibanding, misalnya, Gempa Waktu atau Cat's Cradle, yang ini lebih gelap dan terasa lebih serius. Mungkin karena Vonnegut mengalami sendiri apa yang dia tuliskan. Saya bayangkan tentu sulit melucu tentang perang jika betul-betul pernah berada di dalamnya. Menurut review yang umum, ini buku Vonnegut paling notable. Saya sendiri masih lebih suka Gempa Waktu.


4. Human Acts (Han Kang)

Novel polifonik berlatar sejarah tentang pemberontakan sipil di Korea Selatan yang dikenal dengan sebutan Gwangju Uprising, tahun 1980. Buku ini lebih brutal dibanding The Vegetarian, debut Han Kang di dunia sastra internasional. Satu lagi karya yang menegaskan pertanyaan-pertanyaan Han Kang tentang kekerasan dalam diri manusia, dan adakah kemungkinan memiliki jiwa yang polos nan bersih di dunia yang bersimbah kekerasan. Rada bernuansa sureal karena ada bab yang dituturkan oleh mayat (sedikit mengingatkan pada My Name Is Red Orhan Pamuk).


5. The White Book (Han Kang)

Buku Han Kang yang berbentuk cukup unik. Awalnya saya mengira buku ini novel, tapi ketika saya baca ternyata secara format lebih mirip kumpulan puisi. Tapi enggak juga bisa dianggap sepenuhnya sekadar kumpulan puisi karena alur ceritanya cukup jelas. Saya tidak bisa menamai buku ini buku puisi atau novel, atau bahkan sekadar kumpulan prosa. Hal yang penting buat saya adalah bukunya bagus. Soal isinya, buku ini masih bertema kekerasan. Kali ini dituturkan melalui dunia perempuan dan gagasan-gagasan tentang kehamilan, kelahiran, kehidupan, dan kematian. Buku Han Kang paling menyentuh yang pernah saya baca.


6. Sapiens (Yuval Noah Harari)

Buku nonfiksi dari sejarawan Israel. Tahun ini sepertinya jadi salah satu karya nonfiksi yang populer di dunia. Isinya tentang rangkuman sejarah manusia yang dibagi atas tiga periode revolusi (Revolusi Kognitif, Revolusi Pertanian, Revolusi Sains) serta spekulasi-spekulasi tentang masa depan manusia. Bahasanya mudah dicerna dan cukup provokatif. Memang tidak begitu detail karena penulisnya sendiri mengaku dia terpaksa melakukan generalisasi untuk memberikan gambaran umum atas periode kehidupan manusia yang sangat panjang. Buku "lanjutan" dari ini, Homo Deus, juga bagus.


7. Homo Deus (Yuval Noah Harari)

Sekuel Sapiens. Jika Sapiens berisi rangkuman sejarah manusia dari kali pertama ada di bumi hingga masa saat ini, Homo Deus lebih banyak memberikan situasi perkembangan sains dan pengaruhnya terhadap visi manusia dan kehidupan di masa depan. Seperti buku sebelumnya, juga banyak spekulasi menarik yang ditawarkan Yuval Noah Harari di sini, termasuk narasi tentang usaha-usaha korporasi besar dunia mengatasi kematian dan menjadi manusia amortal.


8. Muslihat Musang Emas (Yusi Avianto Pareanom)

Kumpulan cerita dari salah satu penulis Indonesia kesukaan saya. Seperti biasa, lucu dan sedih. Secara umum menggagas pandangan tentang nasib buruk manusia. Beberapa cerita mengangkat persoalan gender. Hal ini menurut saya cukup menarik karena buku Yusi sebelumnya, Raden Mandasia Si Pencuri Daging Sapi dipandang beberapa pembacanya terutama perempuan sebagai karya yang tidak begitu sensitif menghadapi persoalan gender (kentara male gaze). Tebakan saya buku ini akan masuk daftar pendek Kusala Sastra Khatulistiwa 2018.


9. Max Havelaar (Multatuli)

Novel sejarah bertema kolonialisme dari penulis Belanda bernama asli Eduard Douwes Dekker, yang dikenal pula dengan nama Multatuli (bahasa latin yang berarti "aku telah banyak menderita"). Saya punya kebiasaan buruk menduga novel-novel berlatarkan sejarah sebagai karya fiksi yang lambat dan membosankan. Sebagaimana dugaan saya keliru setelah membaca tetralogi buru Pramoedya Ananta Toer, sekali lagi dugaan saya yang ceroboh itu dipatahkan dengan telak oleh buku ini. Max Havelaar sangat lucu, menghibur, dan menyakitkan. Dengan narasi penuh sarkasme dari karakter-karakter yang kuat, buku ini membongkar sistem pemerintahan kolonial dari dalam, mengungkap praktik-praktik kolonialisme yang menyengsarakan masyarakat jajahannya. Setelah baca buku ini saya jadi paham mengapa Eduard Douwes Dekker menamai dirinya Multatuli.


10. We (Yevgeny Zamyatin)

Sudah baca 1984 George Orwell dan Brave New World Aldous Huxley? Perkenalkan, salah satu dedengkot genre distopia: Yevgeny Zamyatin. Novelnya We, dianggap oleh banyak orang sebagai karya yang menginspirasi Orwell dan Huxley menuliskan masing-masing karya tersebut barusan. Orwell bahkan menerima cukup banyak cemoohan keras dari orang-orang yang membaca We. Mereka menuduh Orwell menjiplak habis tubuh cerita We. Saya sendiri sebenarnya enggak sengaja ketemu buku ini. Asli, bagus banget. Bocoran penting: saya sedang menerjemahkan karya ini ke bahasa Indonesia, doakan bisa terbit tahun depan.



Apa buku-buku favorit yang kamu baca tahun ini? Bagi dong!
Viewing all 402 articles
Browse latest View live