Quantcast
Channel: Bernard Batubara
Viewing all 402 articles
Browse latest View live

Berbohong Cara Etgar Keret

$
0
0
"Kebohongan itu seperti pisau. Kalau kau pakai pisau buat menusuk orang, ya itu salah. Tapi kalau pisau itu kau pakai pisaumu untuk mengoles mentega ke roti, enggak ada yang salah dengan itu.

Saya pernah suatu kali terbang dari Berlin ke Milan. Turbulensinya sangat parah. Penerbangan yang buruk sekali. Lalu, saya dengar seorang perempuan menangis, dan berteriak dalam bahasa Italia. Dia pakai baju dengan simbol salip. Saya berharap ada pramugari menghampirinya dan menenangkan perempuan itu. Namun, pas saya lihat ke belakang, dua pramugari semuanya menangis.

Perempuan tadi terus menangis histeris dan berteriak-teriak. Saya pikir, harus ada yang berbuat sesuatu.

Saya lihat kursi di sebelah perempuan itu kosong. Saya buka seat belt, saya pindah ke sebelahnya, saya pasang seat belt. Saya genggam tangan perempuan itu dan saya bilang ke dia:

'Coba liat saya, saya keliatan ketakutan tidak?'

'Tidak,' kata perempuan itu. 'Kenapa Anda tidak ketakutan?'

'Karena saya teknisi penerbangan, dan saya tahu kita sedang naik pesawat paling aman di dunia. Kita akan baik-baik saja.'

Perempuan itu masih menggenggam tangan saya, tapi sekarang dia sudah bisa mengatur napas.

'Tuhan mengirim Anda untuk saya,' katanya. 'Berapa kemungkinannya dari setiap hari dalam hidupku, bisa bertemu seorang teknisi penerbangan di pesawat dalam keadaan seperti ini?'

-

Inilah jenis kebohongan yang saya tidak keberatan melakukannya. Saya pikir, kalaupun saat itu pesawat kami kecelakaan, meninggal dalam kondisi histeris tidak lebih baik dibanding meninggal setelah mendengar seseorang di sampingmu mengatakan kebohongan yang menenangkan."
-->





Kredo Keret

$
0
0



Salah satu ranjau darat yang diletakkan penulis bagi pembacanya adalah narasi yang terlalu panjang dan sia-sia. Kita bisa mati di sana. Bukan mati terhormat, tapi mati konyol. Seperti mati terinjak lumpur isap yang di baliknya tumpukan kotoran sapi. Sudah konyol, bau pula. Seorang penulis bisa menghabiskan sepuluh halaman novelnya dengan narasi amat panjang yang tidak mengatakan apa-apa. Tuhan melindungi kita dari penulis-penulis semacam ini (jika penulis itu saya, semoga Tuhan melindungi anda sekalian)

Untunglah Tuhan baik. Ia turunkan Etgar Keret sebagai nabi para pencerita yang membawa sepuluh perintah. Sembilan perintah terakhir tidak penting. Perintah pertama yang paling krusial: Dilarang menyia-nyiakan kata-kata. Itu yang Etgar Keret lakukan dan beri contoh kepada siapapun yang ingin menjadi pencerita. Ketika orang lain membuat novel tebal yang dipanjang-panjangkan, Keret tahu perbuatan tersebut adalah dosa besar, sehingga apa yang bisa ia ucapkan dalam satu paragraf, ia sampaikan lewat satu paragraf saja.

Penyakit lain yang dimiliki penulis selain tidak tahu kapan harus memulai adalah kapan harus berhenti. Banyak cerita bagus yang memuakkan hanya karena tidak diakhiri dengan tepat. Penulisnya merasa pembaca terlalu dungu untuk paham apa yang ingin ia sampaikan, atau memang dasarannya ia tidak tahu bagaimana cara menutup mulut. Tidak seperti Keret. Keret tahu betul kapan harus berhenti bicara.

Sejauh ini saya membaca tiga kumpulan cerita Keret. Buku yang terakhir saya baca, Suddenly, A Knock on the Door, buat saya yang terbaik. Ini buku kedua terbaru dari Keret sebelum memoar The Seven Good Years. Secara bentuk tidak jauh beda dengan dua kumcer sebelumnya, The Bus Driver Who Wanted to be God dan The Girl on the Fridge. Masih super pendek, ringkas. Tapi di buku ini Keret menyampaikan gagasannya dengan jauh lebih efektif, mengena, dan ibarat peluru senapan penembak jitu, daya hancurnya lebih besar dari yang pernah ada.

Ada 35 cerita di buku ini. Pembukanya, “Suddenly, A Knock on the Door” tentang penulis yang ditodong tiga orang laki-laki dengan pistol dan dipaksa menulis cerita. Saya kira cerita pembuka ini adalah kredo kepengarangan Keret. Bukan hanya tentang tekanan dari luar yang memaksa ide-ide kreatif (bikin saya mau tidak mau teringat pada dongeng Syahrazad yang bercerita di bawah ancaman hukum penggal raja Syahriar), tetapi juga ada clue di dalamnya tentang mengapa Keret memilih menuliskan cerpen-cerpennya sangat pendek, terkadang absurd, imajinatif, dan mengandung unsur fantasi. Itu semua pilihan yang berasal dari pengalaman Keret hidup dalam situasi di Israel.

Lihat salah satu dialog menarik ini dalam cerita tersebut (saya terjemahkan ke bahasa Indonesia): “Ayolah, beri kami cerita. Yang pendek-pendek aja, gak usah beranalisis. Hidup udah susah, tahu. Pengangguran, bom bunuh diri, orang-orang Iran. Semua orang butuh hal lain. Kau pikir kami ke rumahmu ini kenapa? Kami desperate, tahu. Desperate!”

Si penulis, sang protagonis cerita, berdeham dan mengulang karangannya. Tiba-tiba salah satu dari penodong kembali protes. “Oi, itu bukan cerita. Itu laporan pandangan mata. Kau cuma ngasih tahu apa yang saat ini sedang terjadi. Kami setengah mati menjauh dari hal-hal itu-dari kenyataan-tahu tidak? Jangan kau limpahkan kami dengan cerita kenyataan kayak mereka itu sampah. Pakailah imajinasimu itu. Ciptakan hal baru.”

Cerpen-cerpen Keret kadang-kadang memang terasa seperti eskapisme. Israel hadir dalam cerpen-cerpennya dengan beragam sisi konflik yang ia miliki, tetapi mereka senantiasa diiringi humor, absurditas, situasi-situasi komikal, dan unsur-unsur fantasi yang membuat mereka bergeser dari jalan realisme. Ternyata itu bukan sebuah kebetulan, seperti saya catat tadi.

Kemarin saya menonton wawancara Keret di Youtube. Pewawancara, Michael Chabon, memberi pertanyaan-pertanyaan sederhana dan menarik. Selain nama “Etgar” yang ternyata unik bagi orang Israel, Chabon juga membahas tentang salah satu cerpen Keret berjudul “Lieland” (ada di buku Suddenly, A Knock on the Door). Premis cerpen itu: tentang kebohongan. Ketika kita berbohong, ada dunia lain yang hadir paralel sebagai manifestasi dari kebohongan-kebohongan kita.

Bagi Keret, kebohongan merupakan sesuatu yang esensial. Hidup dalam situasi konflik perang membuat Keret menyadari apa makna sebuah penghiburan. Lie, kebohongan, menjadi eskapisme.

“Suatu hari aku naik pesawat yang turbulensi parah. Aku duduk di sebelah perempuan Italia. Aku bilang kepadanya bahwa aku teknisi pesawat, dan kita sedang naik pesawat paling aman di dunia. Aku berbohong. Tapi perempuan yang tadinya berteriak-teriak histeris itu jadi tenang dan kemudian ia berterima kasih.” Di video lain yang saya tonton, Keret menceritakan pengalamannya berbohong. “Jenis kebohongan seperti ini, aku tidak keberatan melakukannya. Kalaupun hari itu pesawat kami jatuh dan kami mati, buatku lebih baik mati setelah seseorang di sampingmu mengatakan hal-hal baik, daripada mati dalam kondisi histeris.”

Cerpen-cerpen Keret adalah kebohongan-kebohongan yang menghibur. Tentu saja di antara kebohongan-kebohongan tersebut kita tetap bisa melacak realitas. Tetap ada duka kematian karena perang, kehilangan orang yang dicintai, bahkan perceraian. Bukankah cerita yang bagus seperti itu? Menyodorkan serangkaian kebohongan, situasi-situasi yang dikarang belaka, untuk menyampaikan secuil kebenaran dan realitas? Yang barangkali kita semua sudah tahu, tetapi rasanya akan berbeda jika realitas itu masuk kembali ke kesadaran kita melalui cerita.

Cerita favorit saya di buku Suddenly, A Knock on the Door adalah “Pick a Color”. Menurut saya ini cerita terbaik tentang rasisme. Apapun yang berkaitan dengan konflik identitas terangkum dalam dan terwakili dengan sangat baik oleh cerita ini.

Kadang-kadang cerita Keret tidak menyampaikan gagasan apapun, selain ingin membawa kita ke sebuah petualangan ringkas yang menyenangkan. Saya kira itu bentuk paling murni dari cerita. Kita tenggelam dalam cerita itu sendiri tanpa perlu mencari tahu apa sebenarnya yang ingin disampaikan si pencerita. Karena memang tidak ada. Membaca cerita seperti mengupas bawang bombay untuk pertama kali dan penasaran ada apa di intinya. Jawabannya: tidak ada apa-apa.


Namun, selesai membaca cerita-selesai mengupas sisik-sisik bombay-kita tanpa sadar bisa berurai airmata. Ada efek samping yang hadir. Tidak lagi penting apa sesungguhnya yang ingin disampaikan sebuah cerita, karena cerita itu sendiri sudah mengubah satu bagian dari diri kita sebagai manusia. ***

Buku Baru! Elegi Rinaldo

Buku Bagi Penggila Buku

$
0
0



Saya senang membaca buku. Dari banyak hal yang saya senangi-memotret, mendengar musik, mengendus seprei baru, membersihkan kipas angin, makan, minum kopi, berbincang santai, berdiam diri, memandangi orang-membaca buku adalah hal yang paling saya senangi. Jika saya membuat daftar tentang hal-hal menyenangkan dalam hidup saya, tanpa ragu saya akan meletakkan “buku” di urutan teratas.

Sebagai orang yang senang membaca buku, saya ingin orang-orang lain juga suka membaca buku. Namun, ternyata gampang-gampang susah untuk menunjukkan kepada orang lain betapa menyenangkannya membaca buku. Lebih susah lagi memberitahu mereka yang tidak punya hobi membaca buku tentang bagaimana setumpuk kertas yang dijilid, seperti kata Carlos María Domínguez dalam novela Rumah Kertas, “…mengubah takdir hidup orang-orang.”

Barangkali saya kurang pandai menunjukkan ke teman-teman saya bagaimana buku merupakan salah satu benda paling menyenangkan di dunia. Saya sekadar berkata bahwa baca buku itu asyik. Mereka tidak bisa memahami hanya dengan penjelasan tersebut. Itu bahkan bukan sebuah penjelasan. Gimana lagi dong? Baca buku itu emang asyik. Kadang saya merasa enggak perlu menjelaskan lebih jauh karena bagi orang yang suka baca buku penjelasan saya enggak diperlukan, dan bagi yang enggak suka baca buku, penjelasan saya enggak berguna.

Tapi, sekarang saya sudah punya alat bantu. Sebuah buku bagus berjudul Rumah Kertas karya penulis Amerika Latin, Carlos María Domínguez (judul asli bukunya La casa de papel, bahasa Inggris: The House of Paper). Bukunya tipis sekali, hanya 76 halaman. Namun, after effect-nya seperti habis membaca novel 700 halaman.

Karena novelnya sangat tipis, jadi kurang bijak jika saya memberi tahu tentang ceritanya. Jika saya mengatakannya tidak akan ada lagi yang tersisa untuk anda baca. Sebagai gambaran umum kira-kira begini saja: Seorang laki-laki menerima kiriman buku, tapi karena merasa pengirimnya salah alamat, ia menelusuri jejak si pengirim untuk mengembalikan bukunya, dan dalam penelusurannya itu ia menemukan cerita-cerita yang menakjubkan.

(Gambaran di atas tidak begitu akurat, tetapi kalau saya bikin lebih akurat lagi saya terpaksa memberi spoiler)

Saya merasa novela Rumah Kertas adalah buku yang ditulis dari dan untuk para pencinta buku. Orang-orang yang senang membaca buku akan memahami apa yang sedang disampaikan si penulis dalam buku tipis ini. Tidak, senang adalah kata yang kurang akurat. Gila, mungkin lebih tepat. Orang-orang yang gila buku, yang tidak hanya senang membaca buku tetapi juga mengoleksinya, menumpuk, mengendus; orang-orang yang rela mengeluarkan uang banyak untuk membeli dan memburu buku; orang-orang yang rela kelaparan asal masih bisa membaca buku; orang-orang seperti ini niscaya akan merasa terwakili perasaannya oleh buku Carlos María Domínguez.

Novela pengarang asal Buenos Aires, Argentina ini diterjemahkan dengan sangat enak oleh Ronny Agustinus (saya lebih senang memakai kata enak daripada baik untuk menggambarkan hasil terjemahan). Sebelum Rumah Kertas saya membaca dua-tiga buku terjemahan Ronny Agustinus, semuanya fiksi karya para penulis Amerika Latin. Ketika awal memutuskan akan membeli buku ini pun salah satu alasannya karena penerjemahnya Ronny.

Jadi, apakah buku ini bisa dinikmati oleh mereka yang tidak amat suka membaca buku? Atau setidaknya, tidak sampai gila dengan buku? Saya kurang yakin. Tapi mungkin saja dengan membaca Rumah Kertas anda jadi bisa membayangkan mengapa ada orang-orang yang gila dengan setumpuk kertas dijilid dan dijual dengan harga mahal yang terlihat tidak memberikan manfaat apa-apa selain dua sampai lima jam waktu tersia-siakan di atas tempat tidur, bangku kafe, atau sofa ruang tamu.

Ada banyak referensi buku yang disebut penulisnya dalam Rumah Kertas. Lewat dialog-dialog antartokohnya, nama-nama seperti Dostoyevsky, Conrad, Tolstoy, Faulkner, Hugo, beserta karya-karya mereka menjadi bahan diskusi utama yang juga menjadi bagian dari inti atau tujuan untuk apa buku ini ditulis. Banyak juga sindiran pedas terhadap dunia sastra serta para pelakunya (termasuk industri penerbitan), yang meskipun konteksnya terjadi di Buenos Aries, menurut saya sangat relevan dengan situasi di Indonesia, dan barangkali juga di negara-negara lain.

Supaya saya tidak dianggap pelit, saya kasih secuil percakapan dari buku Rumah Kertas. Dari sini anda bisa membayangkan kira-kira bagaimana isi bukunya. Part yang saya ambil ini terjadi saat protagonis bertemu seorang pencinta buku yang merupakan sahabat dekat dari orang yang sedang ia cari.

“Berapa banyak buku yang Anda punya?” tanyaku.

“Jujur saja, saya sudah berhenti menghitung. Tapi saya rasa pasti ada sekitar delapan belas ribu. Sejauh yang saya ingat, saya sudah lama membeli buku di sana sini. Membangun perpustakaan adalah mencipta kehidupan. Perpustakaan tak pernah menjadi kumpulan acak dari buku-buku belaka.”

“Saya kurang begitu paham,” sahutku.

“Anda tambahkan terus buku-buku ke rak dan kelihatan banyak, tapi kalau boleh saya bilang, itu cuma ilusi. Kita ikuti tema-tema tertentu, dan sesudah suatu waktu, kita temukan bahwa kita sedang merumuskan dunia; atau bila Anda suka, bahwa kita sedang menapak tilas jejak-jejak sebuah perjalanan, dan untungnya jejak-jejak tersebut masih bisa kita lestarikan. Ini tidak gampang lho. Inilah proses kita merampungkan bibliografi: kita mulai dengan satu rujukan kepada buku yang tidak kita punya, lalu begitu kita memiliki buku tersebut, ada rujukan yang menuntun kita ke buku lainnya. Kendati harus saya akui bahwa pembacaan saya sendiri sangat terbatas. Saya perlu membaca semua catatan yang ada di sebuah buku untuk menjernihkan makna tiap-tiap konsep, jadi sulit bagi saya untuk duduk membaca buku tanpa ditemani dua puluh buku lain di sampingnya, kadang hanya untuk menafsirkan satu bab saja secara utuh. Tapi tentu saja, justru kerepotan inilah yang memukau saya.”

Ia menyungging senyum tahu-sama-tahu yang membuatku ikut tersenyum.

Sepanjang membaca Rumah Kertas, saya seolah-olah saling bertukar senyum tahu-sama-tahu dengan Carlos María Domínguez. Anda tahu, kan, rasanya ketika ketawa bareng teman gara-gara jokes internal yang hanya dimengerti oleh kita sendiri? Rumah Kertas seperti 76 halaman jokes internal yang hanya dimengerti oleh para pencinta buku. Itu tadi sebab saya bilang bahwa Rumah Kertas seperti buku yang ditulis oleh dan untuk para pencinta buku. Tidak, para penggila buku.


Namun, bukan tidak mungkin buku ini juga memikat orang-orang yang tidak gila buku. Ingat bahwa Rumah Kertas ditulis oleh pengarang Amerika Latin, dan saya belum pernah membaca buku jelek dari pengarang Amerika Latin. Cara mereka menulis sangat efektif, diksi dan kalimatnya akurat, seringkali penuh humor, dan demi alasan-alasan tersebut buku bagus ini menjadi lebih menyenangkan lagi untuk dibaca. ***

Pemesanan Awal Elegi Rinaldo

$
0
0


Novel terbaru saya, Elegi Rinaldo, sudah bisa dipesan (pre-order) di beberapa toko buku daring. Untuk pemesanan awal yang berlangsung 24 November - 9 Desember ini, tersedia 300 buku bertandatangan. Bukunya sendiri baru akan masuk toko-toko buku jaringan sekitar akhir Desember.

Berikut adalah daftar toko buku yang melakukan pre-order Elegi Rinaldo. Kamu bisa memesan novel saya di salah satunya (klik nama toko buku):

Demabuku (IG: @demabuku)

Fiksi Hemat Etgar Keret

$
0
0


Buku yang bagus akan mengubah cara pandangmu tidak hanya terhadap hal-hal di dunia, tetapi juga tentang bagaimana seharusnya sesuatu ditulis. Kalau kamu senang dengan narasi yang berbunga-bunga dan megah, sebuah buku bagus yang ditulis dalam bahasa lugas akan mengubah pendapatmu tentang idealnya bentuk narasi. Perubahan itu pun tidak hanya akan mempengaruhi saat membaca, tetapi juga ketika menulis. Kamu akan otomatis merasa mual saat melihat jari-jarimu mengetik kalimat-kalimat puitis yang enggak jelas apa maksud dan tujuannya.

Saya barusan selesai baca The Nimrod Flip Out, salah satu dari sekian kumpulan cerita Etgar Keret. Buku ini terbit tahun 2003. Sama seperti buku-buku Keret yang lain, cerita-cerita di dalamnya ditulis dalam bahasa Ibrani dan kebanyakan diterjemahkan ke bahasa Inggris oleh Miriam Shlesinger; sebagian di buku ini oleh Sondra Silverston. Saya belum pernah lihat cerita-cerita Keret dalam bahasa Ibrani. Kalaupun iya saya enggak bakalan ngerti. Tapi ya bolehlah saya anggap terjemahan Inggris cerita-cerita Keret sama ringkasnya dengan versi aslinya.

Saya suka banget Keret karena dia memperlihatkan dengan baik gimana caranya menulis efektif. Apa yang bisa disampaikan lewat 500 kata ya sudah, tidak usah dipanjang-panjangin jadi 5.000 kata. Saya ingin berasumsi kita semua pernah baca cerita, entah itu novel ataupun cerita pendek, yang terasa begitu panjang bukan karena memang masih ada hal penting yang perlu disampaikan, tetapi karena penulisnya enggak ngerti cara mengefektifkan narasi. Ibarat mi rebus yang terus direbus bahkan ketika ia sudah matang. Keret tidak. Ia memasak dan berhenti pada tingkat kematangan yang pas.

Saking ringkasnya, kadang-kadang membaca buku Etgar Keret seperti membaca sekumpulan sinopsis novel; sinopsis-sinopsis yang sangat berpotensi untuk jadi cerita yang lebih panjang dan kompleks. Imajinasi saya kerap terpantik oleh fiksi hemat Keret dan seiring pembacaan saya sering membayangkan, gimana kira-kira kalau cerita ini dipanjangin ya? Pasti bakal lebih menarik. Namun, faktanya Keret tidak memanjangkan ceritanya. Dia merasa segitu sudah cukup. Sikap ini jarang saya temukan di penulis-penulis lain: merasa cukup.

Saya membayangkan, jika Keret jadi seorang editor dia bakal jadi editor yang kejam. Enggak akan ada satu kata pun yang lolos dari usahanya memangkas agar cerita jadi seramping mungkin. Repetisi kata yang bikin kalimat enggak enak, coret. Metafora yang membingungkan, coret. Dialog-dialog enggak berfungsi, coret. Tokoh-tokoh figuran enggak penting, coret. Lemak berlebih adalah musuh. Segala pemotongan dilakukan demi mendapatkan daging buah yang murni.

Saya menghindari penggunaan istilah “fiksi mini” untuk membahas cerita-cerita Keret karena memang label tersebut tidak tepat. “Fiksi mini” atau flash fiction punya bentuk yang jauh lebih pendek lagi dari cerita-cerita Keret. Saya rasa lebih pas kalau saya sebut “super pendek”, karena lebih pendek dari cerita pendek (short story) “internasional” pada umumnya dan bahkan lebih pendek dari cerita pendek di koran-koran di Indonesia.

Cerita-cerita super pendek Keret bisa jadi solusi bagi mereka yang mengalami kesulitan menulis novel dan lebih tertarik membuat cerita-cerita super pendek. Saya punya seorang teman yang menulis dengan bagus, tapi mengaku tidak bisa membuat novel. Saya kira ia dan orang-orang lain yang seperti dirinya bisa coba membaca cerita-cerita Keret untuk menemukan formula merangkai cerita yang panjang dari penggalan-penggalan yang lebih pendek.

Dulu saya mengira seorang penulis (fiksi) harus bisa menulis cerita pendek dan novel. Kalau lihat penulis yang hanya menerbitkan kumpulan cerita rasa-rasanya kok belum sah jadi penulis. Itu sebabnya saya sering meneror beberapa teman yang menulis cerita-cerita pendek dengan bagus tapi belum pernah menerbitkan novel. Namun, setelah membaca Etgar Keret, anggapan semacam itu mungkin perlu saya ralat. Kalau cerita-cerita pendeknya sebagus punya Keret, rasanya enggak usah bikin novel. Jadi spesialis cerita pendek aja (walaupun Keret juga sesekali menulis novela) dan terus menerbitkan kumpulan cerita.

Saya tidak tahu dari mana Etgar Keret memperoleh visi bentuk cerita-ceritanya. Pada beberapa wawancara, dia cukup sering menyampaikan kisah ketika kedua orangtuanya hidup dalam persembunyian kala Holocaust berlangsung. Selama tidak kurang dari dua tahun, mereka bersembunyi di ruang bawah tanah. Ayah dan Ibu Keret mendistraksi anak-anaknya dengan mendongeng. Seluruh kisah yang mereka dongengkan asli karangan mereka sendiri. Spontan dan otentik. Bayangkan hidup dua tahun di bunker, ada berapa dongeng yang sudah pernah didengar Keret? Mungkin secara tidak langsung Keret mendapatkan visinya dari sana. Tentu saja ini hanya dugaan.

Satu hal yang jelas, seperti saya bilang di paragraf pembuka tulisan ini, Keret mengubah cara pandang saya terhadap bagaimana sebaiknya cerita dituturkan. Sampaikan hanya yang benar-benar penting. Gunakan prinsip ekonomi, dengan modal sekecil mungkin tetapi memperoleh untung sebanyak-banyaknya; tulis narasi seringkas mungkin yang menyampaikan informasi sebanyak-banyaknya.

Mungkin suatu hari nanti cara pandang saya terhadap cara dan bentuk bercerita akan kembali berubah ketika bertemu buku yang lebih bagus. Tapi sampai hal itu terjadi, saya masih akan menuankan (bukan menuhankan) Keret.


Bagi kamu yang ingin belajar cara menulis dengan efektif, buku-buku Keret amat saya rekomendasikan untuk dibaca. Kecuali memoarnya, buku-buku Keret belum diterjemahkan ke bahasa Indonesia. Kamu bisa mencari di Internet cerita-cerita pendeknya dalam bahasa Inggris. Saya menerjemahkan beberapa di blog ini, dan orang-orang baik lain juga menerjemahkan cerita-cerita Keret di blog mereka.

This Year's Highlight: Etgar Keret

$
0
0


Setiap tahun, biasanya saya punya satu penulis favorit baru. Tandanya saya mulai tertarik dengan seorang penulis adalah saya akan memburu buku-bukunya yang lain dan membacanya secara berturut-turut. semacam melakukan studi atau pendalaman atas dunia tulisannya. Dua tahun lalu, saya tergila-gila dengan Haruki Murakami, tahun lalu saya terpesona dengan Orhan Pamuk, dan tahun ini highlight saya ada pada Etgar Keret.

Etgar Keret adalah penulis asal Israel. Meski demikian, ibunya berkata bahwa Keret juga orang Polandia. Dia lahir di Ramat Gan, sebuah kota di kawasan distrik Tel Aviv, 49 tahun yang lalu. Istrinya, Shira Geffen, seorang penulis skenario dan buku anak-anak. Anaknya, Lev Keret, lahir tujuh tahun sebelum ayah Keret meninggal. Kisah keluarga mereka ditulis dalam memoar "The Seven Good Years", buku yang paling saya sukai dari seluruh buku Keret yang sudah saya baca.

Tahun ini saya membaca lima buku Keret: "The Bus Driver Who Wanted to be God", "The Girl on the Fridge", "The Nimrod Flip Out", "Missing Kissinger", dan "The Seven Good Years". Kali pertama tahu Keret dari seorang teman penulis yang lebih dulu menyukai cerpen-cerpennya. Saya mulai membaca satu-dua cerpen keret di majalah New Yorker versi daring, dan sejak itu mencari buku-bukunya.

Cerita-cerita Keret pada awalnya akan terasa seperti lawakan dari seseorang yang sinis terhadap dunia. Keret gemar mengejek kebahagiaan. Namun, ketika saya membaca cerpen-cerpennya lebih banyak lagi, terutama setelah membaca memoarnya dan kemudian menyimak wawancara-wawancaranya, saya baru sadar bahwa Keret bukan seorang yang sinis. Ia adalah seorang optimistis. Atau, seperti kata sepenggel testimoni di salah satu bukunya: "Keret adalah seorang sinis yang tidak bisa menahan semburat optimismenya."

Sebagai orang Israel, Keret sangat kritis terhadap perang. Bisa dilihat dari cerpen-cerpennya yang meletakkan situasi-situasi perang ke dalam lelucon menyenangkan dan mengejeknya habis-habisan di sana. Hal unik dari Keret adalah, ia ternyata sosok yang penuh pengharapan baik. Kedua orangtuanya penyintas holocaust, saat ini ia tinggal di wilayah konflik (sebuah tulisan berjudul "pastrami" di memoarnya bagus sekali), tetapi pandangannya sangat positif dan optimistis pada masa depan dunia (barangkali ini dipengaruhi oleh kelahiran anaknya, juga karakter ayahnya yang sangat menarik; cerita tentang ayahnya bisa jadi satu tulisan lain)

Saya selalu senang kalau punya penulis kesukaan baru. Rasanya seperti punya gebetan atau pacar baru. Saya ingin membaca karya-karyanya lebih banyak, mengenalnya lebih dalam, mengetahui seluk-beluk dirinya di luar dari apa yang ia tulis, dan berharap suatu hari bisa bertemu langsung dengannya.

Sebagai tanda bahwa saya menyukai etgar keret, saya membuat cukup banyak tulisan tentang bukunya dan menerjemahkan beberapa cerpennya yang saya suka. Cari di tab Tulisandi blog ini.

Saling Menumbuhkan, Bukan Mematahkan

$
0
0
Source: Bloglovin


Biologi adalah mata pelajaran favorit saya waktu SMA.

Salah satu yang saya ingat dipelajari waktu itu adalah tentang ragam hubungan antar dua makhluk hidup. Ada tiga macam: Simbiosis mutualisme, parasitisme, dan komensalisme.

Simbiosis mutualisme berarti menguntungkan kedua belah pihak, seperti burung jalak yang memakan kutu dari badan kerbau dan kerbau diuntungkan karena badannya jadi bersih. Simbiosis parasitisme adalah hubungan yang salah satunya diuntungkan sementara yang lain merugi, seperti cacing perut dalam usus manusia yang mengambil saripati makanan; cacing perut untung, manusianya rugi. Simbiosis komensalisme seperti hubungan anggrek dengan pohon mangga. Anggrek dapat untung menumpang tempat tinggal, tapi pohon mangga enggak dapat apa-apa.

Dari ketiga jenis hubungan tersebut, tahukah kamu dan pacarmu masuk ke jenis yang mana?

Idealnya, tentu saja hubungan yang baik adalah hubungan mutualisme. Kamu dan pasanganmu membuat satu sama lain bertumbuh dan berkembang menjadi manusia yang lebih baik. Semakin berkualitas secara pikiran, karakter, dan jiwa. Kamu mengubah dirimu jadi sosok yang lebih baik karena pengaruh baik dari pasanganmu, begitupun sebaliknya. Jika kamu dan pasanganmu berada dalam simbiosis mutualisme seperti burung jalak dan kerbau, bersyukurlah. Kamu beruntung. Jaga baik-baik hubungan itu.

Tapi bagaimana kalau tidak? Bagaimana kalau ternyata hubungan yang kamu miliki serupa hubungan cacing perut dengan usus manusia? Terserah siapakah yang cacing perut dan siapa yang usus manusia. Intinya kamu dan pasanganmu salah satunya diuntungkan sementara yang lain dirugikan. Kalau kamu adalah manusia yang ususnya dirugikan cacing perut, maka kamu harus membunuhnya dengan mengonsumsi obat cacing. Kamu tidak sebaiknya memelihara parasit dalam hubunganmu. Begitupun sebaliknya, kamu tidak boleh jadi parasit bagi pasanganmu. Jika kamu punya hubungan seperti itu, selesaikan sekarang juga.

Meskipun keduanya jelas berbeda, berada dalam hubungan mutualisme ataupun parasitisme masih lebih baik daripada punya hubungan komensalisme.

Kenapa begitu?

Tidak ada yang perlu dilakukan saat kamu punya hubungan yang baik dan saling menguntungkan, selain menjalaninya saja dengan rasa syukur dan merawatnya. Kalau kamu merasa dirugikan dalam hubunganmu, itu juga mudah. Pilihannya sudah jelas: bertahan dengan risiko terus merugi atau segera memutuskannya.

Tapi bagaimana kalau kamu berada dalam hubungan yang membuat pacarmu terus berkembang, sementara kamu sendiri tidak mendapat manfaat apapun?

Berada dalam hubungan itu akan sulit. Karena pihak yang tidak diuntungkan akan merasa dirinya baik-baik saja, karena toh ia tidak dirugikan. Namun, tanpa ia sadari, hubungan tersebut telah memerangkapnya. Ia sedang berada di situasi yang menyedot seluruh energinya demi kepuasan pasangannya, sementara bagi dirinya sendiri tidak ada kebaikan yang pasangannya berikan. Jika hal ini tidak lekas disadari, ia akan pelan-pelan mati dari dalam, dan tetap merasa hubungan itu baik-baik saja. Padahal tidak.

Beberapa orang menguras energi demi mengembangkan sayap pasangannya, tetapi lupa pada sayapnya sendiri yang tidak pernah diurus, sehingga kehilangan kekuatannya dan layu bahkan lama-lama patah.

Beberapa orang bertahan dalam sebuah hubungan karena merasa berhasil mengubah pasangannya jadi lebih baik, tetapi mereka lupa bahwa pasangannya tidak memberi kebaikan apapun kepada mereka. Rasa berbangga diri setelah mengubah pasangan jadi orang yang lebih baik ini bisa jadi jebakan, karena bikin seseorang lupa bahwa perubahan baik tersebut ternyata tidak berjalan dua arah.

Hubungan yang baik memberi manfaat bagi kedua orang dalam hubungan itu. Jika cuma satu orang yang dapat manfaat dan satunya dirugikan, well.

Sampai kapan kira-kira hubungan itu masih layak dipertahankan?

Hidup terlalu singkat untuk berlama-lama berada di dalam hubungan yang tidak membuatmu menjadi manusia yang lebih baik. Karena cinta yang baik, selain memberimu kebahagiaan, juga akan mengeluarkan bagian-bagian yang terbaik dari dirimu. Tentunya kamu ingin memiliki hubungan yang seperti itu?


Renungkan kembali hubungan yang kamu miliki saat ini. Apakah kamu burung jalak atau kerbau; cacing perut atau usus manusia; anggrek atau pohon mangga?

The Seven Good Years, Etgar Keret

$
0
0



Apa yang bisa kita pelajari dari membaca buku? Banyak hal. Mengetahui tentang sejarah, belajar bagaimana cara menghadapi penderitaan, atau mengembangkan imajinasi (atau mengembalikan kemampuan berimajinasi yang semakin soak seiring bertambahnya usia). Buku bagus selalu membuat kita belajar sesuatu. Namun, apa yang bisa kita pelajari dari buku yang bercerita secara spesifik tentang hidup orang lain? Apa yang bisa kita dapatkan dari membaca sebuah biografi, otobiografi, atau memoar?

Tahun ini saya membaca cukup banyak buku Etgar Keret. Malah, Etgar Keret satu-satunya penulis yang bukunya paling banyak saya baca tahun ini. Ada lima. Empat di antaranya kumpulan cerita pendek. Satu, yang justru paling saya sukai, adalah buku memoarnya, The Seven Good Years. Isinya tentang fragmen–fragmen pengalaman hidup Keret dalam rentang waktu tujuh tahun, sejak kelahiran anak pertamanya dan kematian ayahnya. Tahun-tahun yang, kata Keret, “Satu-satunya masa ketika saya merasakan jadi ayah bagi seorang anak dan anak dari seorang ayah.”

Merupakan hal yang unik bagi saya, ketika menyadari saya lebih menyukai buku nonfiksi Keret ketimbang kumpulan ceritanya. Salah satunya mungkin karena cerita-cerita Keret kadang-kadang absurd dan ganjil, sedang fragmen-fragmen di memoarnya dituturkan lebih apa adanya dalam gaya realisme, dan tentu saja limpahan humor. Cara Keret menuliskan memoarnya saya kira turut membuat The Seven Good Years sangat mudah dinikmati. Ia menuliskan sketsa-sketsa, persis seperti ia menuliskan cerita-cerita pendeknya.

Sebagai orang yang menulis fiksi, hal yang paling saya hindari adalah bercerita tentang hidup saya sendiri. Saya merasa hidup saya enggak semenarik itu untuk diceritakan ke orang lain, kecuali orang-orang terdekat seperti pacar atau teman kecil. Hal terakhir yang ingin saya tulis adalah tulisan-tulisan semacam memoar (walaupun di beberapa cerita pendek atau bagian novel yang saya tulis, kalau mau jujur-jujuran, memang mengambil ide dari kehidupan pribadi saya, hehe).

Namun, sebagai pembaca, saya tertarik mengetahui kehidupan seorang penulis, terutama penulis-penulis yang saya sukai. Memoar pertama yang saya baca buku Haruki Murakami, What I Talk About When I Talk About Running. Saya menyukai buku itu karena Haruki tidak hanya bercerita tentang kehidupannya, tetapi ia memilih bagian yang menarik dari kehidupannya (hobi berlari maraton) dan mengaitkannya dengan bagaimana ia menuliskan novel-novelnya. Sebagai fan Haruki, tentu saya sangat ingin tahu bagaimana proses kreatifnya, terlebih lagi bagaimana cara ia memandang kegiatan menulis itu sendiri.

Buku memoar lain yang saya baca dan sukai adalah Istanbul-nya Orhan Pamuk. Jika Haruki memulai ceritanya ketika ia berusia 30-an dan punya hobi berlari maraton, Pamuk betul-betul memulai ceritanya dari masa kecilnya. Berbeda dengan Haruki yang tidak banyak menulis tentang keluarganya ataupun Jepang secara umum, Pamuk lebih banyak bercerita soal Istanbul, seni, dan keluarganya. Sesuai judulnya, dalam Istanbul Pamuk menampilkan sisi-sisi lain kota tersebut (dan membuat saya semakin pengin pergi ke sana).

Sementara itu, salah satu dari sekian hal yang saya sukai dari membaca memoar Etgar Keret adalah cara Keret menggambarkan anggota keluarganya, terutama istri dan anaknya. Sangat menghibur. Di sebuah fragmen yang bercerita tentang bagaimana Keret menghindar dari sales yang meneleponnya untuk menawarinya barang, Keret menggambarkan istrinya sebagai orang kaku dan lugas (istrinya bilang kalau enggak tertarik sama jualan si sales bilang saja enggak tertarik, jangan cari-cari alasan). Di fragmen lain, Keret menggambarkan anak bayinya sebagai laki-laki dewasa bertubuh mini (“Beri ia jas dan briefcase dan ia akan melakukan negosiasi apapun yang kau inginkan”)

Jika kita memandang The Seven Good Years sebagai kumpulan cerita, maka ia semacam kompilasi best of the best Etgar Keret. Hampir seluruh fragmennya saya sukai, mulai tahun pertama hingga ketujuh. Keret tahu bagian-bagian menarik dalam hidupnya yang bisa diceritakan (atau ia menceritakan hidupnya dengan cara yang membuatnya jadi menarik).

Keret membuka dan menutup memoarnya dengan cerita yang tepat. Seorang wartawan meminta pendapatnya tentang perang dan ia kecewa ketika Keret tidak bisa memberi opini yang orisinil. “Hal baru apa yang bisa orang katakan tentang perang?” Ia menatap anaknya yang baru lahir dan berharap suatu hari dunia akan lebih damai dan ada seseorang yang mengatakan sesuatu tentang perang dengan visi yang baru. Cerita penutup, “Pastrami” adalah salah satu favorit saya, menggambarkan dengan sangat bagus bagaimana Keret dan istrinya bekerjasama menenangkan anak mereka di tengah situasi perang.

Selain bikin ngakak, kadang-kadang cerita Etgar Keret juga membuat sedih dan terharu. Lebih sering ketika ia mulai bercerita tentang ayahnya-orang yang memunculkan sikap optimisme dalam pikiran-pikiran sinis Keret. Dalam sebuah fragmen, Keret menulis tentang sepatu ayahnya. Ia pergi ke sebuah acara sastra di luar Israel beberapa minggu setelah ayahnya meninggal. Alih-alih membawa sepatunya sendiri, ia membawa sepatu ayahnya. Namun, ketika ia mengenakan sepatu itu, ternyata ukurannya pas.

“Buku adalah cermin, ia hanya merefleksikan apa yang sebenarnya sudah ada di dalam dirimu,” kata Carlos Ruiz Zafón. Rasanya saya cukup sepakat. Membaca The Seven Good Years bikin saya kangen sama ayah, ibu, dan adik saya sendiri. Saya merantau dan hanya pulang sekali setahun dan hanya menelepon mereka di saat mereka berulangtahun. Kadang-kadang saya merasa bersalah. Buku-buku yang bercerita tentang keluarga, seperti memoar Etgar Keret tersebut, kerap memunculkan perasaan-perasaan semacam itu.

Untuk kesederhanaan sekaligus keragaman emosi yang muncul di dalamnya, saya menobatkan The Seven Good Years sebagai salah satu buku terbaik yang saya baca tahun ini-di samping sebagai karya terbaik Etgar Keret sendiri. Ia berhasil membuat saya tertawa, bersedih, terharu, dan merenung, dalam kisah-kisah ringkas yang dituturkan sepanjang satu hingga dua halaman.

Etgar Keret adalah penulis favorit saya tahun ini. Cerita-cerita pendeknya punya visi yang menarik yang mempengaruhi saya dalam memandang sebuah cerita. Saya sangat menunggu buku Keret selanjutnya. Saya ingin tahu lebih banyak tentang ayah dan ibunya, yang merupakan penyintas Holocaust (mereka tinggal bersembunyi di rubanah selama dua tahun demi menghindar dari tentara Nazi Jerman), dan bagaimana ayahnya hidup bersama para mafia dan tinggal di rumah pelacuran dan menyebut mafia dan pelacur itu orang-orang paling baik yang pernah ia kenal selama hidupnya.


(Saya butuh 62 kata lagi untuk menggenapkan tulisan ini jadi 1.000 kata-batas yang saya tentukan sendiri dan kadang-kadang malah menyusahkan, tapi saya anggap sebagai tantangan saja untuk konsisten, tapi ya begitulah jadinya saat sudah kehabisan ide untuk dibahas saya jadi bikin paragraf kayak begini demi mendapatkan 62 kata ekstra yang kalau dihapus atau enggak dibaca juga enggak apa-apa karena enggak berhubungan sama tulisan ini, nah saya sudah dapat 1.000 kata malah kelebihan jadi 1.018, oke terima kasih, sampai jumpa!)

Down the Rabbit Hole, Juan Pablo Villalobos

$
0
0



Kamu pernah membayangkan jadi anak seorang gangster? Saya belum pernah, tapi tertarik memikirkannya. Gimana ya kalau bapak saya dedengkot penjahat? Gimana rasanya tinggal di rumah besar dengan halaman luas yang dibeli hasil bisnis senjata api ilegal dan membunuh orang, punya banyak orang yang jadi bodyguard, melihat bapak saya menyuap para pejabat dan sesekali kedatangan kiriman potongan anggota tubuh dari kaki-tangan yang dibunuh pihak musuh? Tampak seperti kehidupan yang kacau dan menarik.

Omong-omong, kehidupan semacam tadi dimiliki Tochtli, seorang bocah berusia tujuh tahun (sekira kelas 2 SD) yang tinggal bersama ayahnya, seorang gembong narkoba di Meksiko, dalam novela karya Juan Pablo Villalobos, Down the Rabbit Hole. Buku ini debut Villalobos, penulis kelahiran 1973 berkebangsaan Meksiko, yang hingga saat ini telah menerbitkan tiga buku (termasuk Quesadillas dan I’ll Sell You a Dog)

Kali pertama saya melihat buku Villalobos yang ini di sebuah toko buku kecil di kawasan Pasar Santa, Jakarta. Beberapa kali saya membaca Down the Rabbit Hole disebut di tweets beberapa teman di Twitter. Mengetahui penulisnya berasal dari Meksiko, saya langsung tertarik. Saya selalu tertarik dengan karya-karya penulis Amerika Latin. Sampai kemudian saya sadar kalau Meksiko itu di Amerika Utara.

Iya, pelajaran Geografi saya dulu dapat nilai jelek. Ini serius.

Anyway, akhirnya saya membeli buku ini. Down the Rabbit Hole tipis, tapi karena buku impor jadi tetap saja cukup mahal seperti buku-buku impor lainnya. Kesan pertama, saya sangat suka dengan desain sampulnya. Dominasi warna dasar orange dengan font judul dan nama penulis yang sederhana dan mudah dibaca. Di kanan judul, tampak seorang bocah menunggangi seekor hewan yang awalnya saya kira badak. Sang bocah menggenggam sebilah samurai dan mengenakan topi hingga tujuh tingkat. Posenya semacam mengingatkan saya pada potret Don Quixote.

Sampai mulai membaca halaman pertama, saya tidak tahu kalau Down the Rabbit Hole dituturkan oleh narator anak kecil. Saya semakin tertarik ketika membaca paragraf pembuka. “Some people say I’m precocious. They say it mainly because they think I know difficult words for a little boy. Some of the difficult words I know are: sordid, disastrous, immaculate, pathetic, and devastating.” Menurut saya, sangat sulit menulis cerita dengan narator anak kecil. Ada batasan-batasan yang harus dipatuhi dan logika berpikir yang mesti sesuai dan konsisten. Villalobos bikin saya kian penasaran dengan menghadirkan Tochtli, sang narator, seorang bocah penggemar topi yang disebut ayahnya “…genius,” dan “little bastard.”

Buku pertama yang melintas di benak saya saat membaca narasi Tochtli adalah The Curious Incident of the Dog in the Night-Time, Mark Haddon. Naratornya anak kecil laki-laki yang mengidap sindrom asperger. Meski Tochtli tidak mengidap sindrom autisme, saya kira tantangannya sama berat, dalam hal meyakinkan pembaca bahwa narator cerita sungguh-sungguh anak kecil dan narasinya bersih dari jalan berpikir orang dewasa yang menuliskannya. Menurut saya, Villalobos cukup berhasil dalam menggunakan sudut pandang pertama anak kecil. Kecuali “kata-kata sulit” yang diketahui Tochtli (dan sudah dijelaskan sejak pembuka novel), cara berpikir dan bertindak Tochtli memang seperti umumnya anak kecil.

Melalui kacamata Tochtli, kita mengetahui kehidupan di rumahnya dan karakter-karakter lain yang ada di sana. Ayahnya serta beberapa kaki-tangannya (tidak begitu dijelaskan tentang ketidakhadiran sosok ibu). Dengan bahasanya sendiri, Tochtli si bocah menceritakan kehidupan sehari-hari mereka; apa saja yang ia lakukan mulai dari bangun tidur sampai tidur lagi. Gambaran lingkungan rumah si gembong narkoba, ayah Tochtli sendiri, dan hal-hal yang terdapat di rumah juga disampaikan dengan gaya berpikir anak kecil (In the garden, opposite the dining room on the terrace, we also have cages with our animals, which are divided into two groups: the birds and the cats. For birds we have eagles, falcons, and a cage full of parakeets and brightly colored parrots, macaws, and that sort of thing. For cats we have a lion in one cage and two tigers in another. On the same side as the tigers there’s a space where we’re goingn to put the cage of our Liberian pygmy hippopotamus.)

Hobi ganjil Tochtli mengoleksi topi dan ketertarikannya pada hippopotamus juga merupakan hal yang menghibur. Dan, seperti yang sudah saya duga, topi dan hippopotamus ini tidak hadir semata-mata untuk memberi sentuhan unik pada karakter Tochtli, tetapi berperan penting dalam pergeseran plot dari satu titik krusial menuju titik krusial lain. Melalui topi milik Tochtli dan hippopotamus yang kelak mereka dapatkan dari perburuan, Villalobos membangun konflik dalam psikologis Tochtli.

Sama seperti Christopher di The Curious Incident of the Dog in the Night-Time yang melakukan perjalanan sendirian mencari tahu siapa pembunuh anjingnya, pergolakan batin Tochtli karena merasa dibohongi oleh ayahnya sendiri semakin menajam menjelang akhir cerita. Tanpa meninggalkan logika berpikir anak-anak dan kemarahan dalam gaya anak-anak, Villalobos membuat kita terbawa dalam perubahan emosi Tochtli sekaligus bersimpati pada kekecewaannya.

Karena bukunya tipis, saya enggak akan cerita tentang plotnya. Kalau ingin baca, coba cari bukunya. Selain tentang berburu hippopotamus dan kehidupan bocah anak gembong narkoba, Villalobos menyelipkan ejekan atau kritiknya terhadap Meksiko itu sendiri, menyebutnya sebagai “…disastrous country.” tentu dengan kerangka berpikir dan logika anak kecil (meski di tempat lain Villalobos juga menyebut Meksiko sebagai “wonderful country”)

Saya senang membaca novela karena tidak menghabiskan banyak waktu. Sama seperti membaca cerita pendek, hanya agak lebih panjang dan memberi sedikit sensasi yang biasanya saya rasakan saat membaca novel, meski tak seluruhnya. Down the Rabbit Hole menambah daftar novela favorit saya, setelah Hear the Wind Sing(Haruki Murakami), Bukan Pasarmalam (Pramoedya Ananta Toer), Pedro Paramo(Juan Rulfo), dan The Hour of the Star(Clarice Lispector).

Kalau kamu ingin baca sesuatu yang lebih panjang dari cerita pendek tetapi tidak amat panjang seperti novel yang akan menghabiskan banyak waktu dan tenagamu, boleh coba baca novela. Beberapa saya sebut di paragraf sebelum ini. Sisanya monggo cari sendiri. Kapan-kapan saya bikin daftar lebih lengkap dan rapi untuk novela favorit saya (saat nulis ini enggak begitu ingat semuanya).

Setelah ini saya bakal bikin tulisan tentang perjalanan membaca sepanjang tahun 2016. Buat saya, tahun ini menyenangkan karena walaupun saya membaca lebih sedikit dibanding tahun-tahun sebelumnya, buku-buku yang saya baca hampir semuanya bagus dan memuaskan. Saya akan bagi buku-buku favorit saya dalam tulisan yang akan datang (semoga sudah saya post sebelum pergantian tahun).


Selamat liburan!

Dosa Besar yang Membawa Saya Keliling Dunia

$
0
0



1

Dari daftar tujuh dosa besar, rasa iri adalah dosa yang seperti mendarah-daging di dalam diri saya. Saya gampang merasa iri dengan hal-hal yang menurut saya keren. Saya iri pada orang-orang yang bisa menyanyi, melukis, bermain musik, dan jago sepakbola. Saya iri pada orang-orang yang memiliki kemampuan yang tidak saya miliki. Lebih parah lagi, saya masih merasa iri pada orang-orang yang punya ketertarikan sama dengan saya. Misalnya orang-orang yang senang baca buku dan menulis. Saya iri pada teman-teman saya yang bacaannya lebih bagus dan menulis lebih baik.

Untungnya, rasa iri itu jarang menghancurkan saya. Alih-alih, justru membuat saya ingin melakukan apa yang mereka lakukan. Dalam hal ini membaca buku-buku bagus. Sebenarnya baru tiga tahun belakangan saya mulai membaca “buku-buku bagus” (mari tidak berdebat sekarang tentang bagus, kapan-kapan saja lah kalau kita bertemu langsung). Terhitung terlambat kalau dibandingkan teman-teman saya yang sudah membaca buku-buku bagus sejak zaman kuliah.

Ketika pertama mengetahui keberadaan buku-buku bagus, jujur saja, ada sejenis perasaan ingin mengejar ketertinggalan. Saya membuat daftar buku yang ingin dan harus saya baca. Semacam pekerjaan rumah yang harus saya selesaikan. Iri pada teman-teman yang memulai lebih dulu petualangan mereka, saya bertekad menyusul, memangkas jarak, hanya sampai saya menyadari bahwa sebenarnya tidak pernah ada kompetisi dalam membaca.

Demi mengejar ketertinggalan itu, saya mewajibkan diri sendiri untuk membaca setiap hari. Saya membuat kurikulum sepanjang satu tahun. Saya memberi tugas kepada diri sendiri. Namun, bukan berarti saya jadi tidak menikmati kegiatan membaca. Saya tetap menikmatinya, dan sesekali saya melenceng dari program atau jadwal membaca yang sudah ditetapkan. Misalnya ketika ada buku terbitan baru yang lebih menarik ketimbang melanjutkan membaca War and Peace.


2

Penyakit iri berikutnya adalah iri kepada mereka yang sering jalan-jalan ke luar negeri. Saya sangat ingin jalan-jalan ke luar negeri, tapi apa boleh buat, duit saya sudah disiapkan dan ditabung untuk hal lain yang menurut saya lebih penting. Jadi saya baca buku saja. Meskipun belum bisa melihat Istanbul secara langsung, saya cukup senang membaca memoar Orhan Pamuk, Istanbul, dan jalan-jalan ke sudut-sudut kota tersebut yang, menurut kacamata Pamuk, dipenuhi melankolia.

Dari Istanbul, saya terbang ke Tel Aviv. Melalui cerita-cerita Etgar Keret di buku-bukunya: The Bus Driver Who Wanted to be God, Suddenly A Knock on the Door, The Nimrod Flip Out, Missing Kissinger, dan The Seven Good Years,saya melihat dua laki-laki menodongkan pistol ke seorang penulis di apartemennya dan bom meledak di badan jalan di sekitar Ramat Gan; sepasang suami istri menelungkup di tepi pedestrian, menjepit anak laki-laki mereka yang bersorak sorai “Aku suka pastrami! Pastrami sangat hebat!”

Merasa cukup dengan Israel, saya terbang sejauh 3.500 kilometer menuju Rusia. Di sana, saya bertemu tiga bersaudara Karamazov. Alyosha atau Alexey, Dmitri, dan Ivan. Ketika saya bertanya ke salah satu dari mereka, Dmitri menjawab bahwa mereka sedang rusuh dengan sang ayah, Fyodor Karamazov, perkara harta warisan dan macam-macam. Baiklah. Hal terakhir yang ingin saya lakukan di Rusia adalah mengobrol dengan seseorang yang lagi mabuk dan marah. Meski saya tertarik berbincang-bincang dengan Ivan. Tapi sedari tadi dia diam saja dan tampak tidak berminat pada apapun.

Saya tinggalkan The Brothers Karamazovdan Fyodor Dostoyevsky. Rugi sekali rasanya kalau tidak mengobrol dengan siapapun di Rusia. Jadi, saya mencoba menemui Anton Chekhov di sebuah rumah sakit jiwa. Ternyata dia sedang asyik berbalas-balasan argumen dengan seseorang di Ruang Inap No. 6.Saya nguping saja karena tidak ingin mengganggu. Chekhov memberi Pengakuanpada orang itu dan sebaliknya juga. Ah, orang-orang Rusia terlalu serius. Saya jadi kangen ketemu Keret.

Merasa ingin mendengar sesuatu yang lucu, saya mengingat-ingat pesan seorang teman. Katanya, ada pelawak yang sangat kocak di Amerika. Namanya Vonnegut. Kurt Vonnegut. Dari Eropa saya menyeberang ke Amerika. Namun, sial betul, di langit pesawat yang saya tumpangi terkena Gempa Waktu. Saya jadi harus balik ke Rusia dan membeli tiket pesawat lagi dan check-in lagi dan naik pesawat yang sama lagi untuk kali kedua. Untungnya, sesampainya di Amerika, Tuan Vonnegut sendiri yang menjemput saya di bandara. Bukannya ngajak makan atau nawarin ngopi, dia malah mainan karet gelang di depan saya dan bertanya: Do you know why this is called Cat’s Cradle? Although, there’s no damn cat, and there’s no damn cradle.

Ah, embuh lah.

Saya langsung males dan beli tiket lagi untuk pergi dari Amerika. Ke mana ya? Sepertinya saya pengin ke India. Dulu waktu SMA saya sering nonton Bollywood, sampai naksir berat dengan Kajol dan Rani Mukerji. Jadi saya membuat janji temu dengan seorang perempuan. Namanya Jhumpa Lahiri. Meski dia mengaku dirinya orang Amerika, tapi tetap saja dia tidak bisa melepaskan hal-hal tentang India dari dirinya. Kami mengobrol cukup panjang. Dia orang yang melankolis dan serius, tapi juga menyenangkan. Saya bertanya tentang kabar Pak Kapasi. Apakah dia masih jadi pemandu wisata dan penerjemah? Ia tersenyum, berkata bahwa nanti Pak Kapasi yang akan mengantar kami berkeliling.

Celotehan Lahiri tentangInterpreter of Maladies membuat saya terhanyut, tapi saya harus lekas beranjak. Masih banyak tempat yang ingin saya kunjungi. Kami berpisah dan berjanji untuk bertemu kembali kelak.

Karena kebanyakan minum, saya kebelet. Saya masuk ke toilet bandara. Tiba-tiba seorang laki-laki yang sedang kencing di sebelah saya berbicara. “Gimana India, enak? Tempat ini kayak kandang ayam, kau tahu gak. Semua orang ingin bebas. Aku ingin bebas.” Saya tanya dia siapa. “Aravind Adiga, itu nama saya.” jawabnya sembari menaikkan risleting celana. Kami tidak bersalaman tentu saja. Saya tersenyum kepadanya. Ketika kami sama-sama mencuci tangan di wastafel, saya melirik ke pantulan wajahnya di cermin. Alih-alih menemukan wajahnya, di cermin muncul kepala harimau putih. “Gimana, kau suka The White Tiger?” kata harimau dengan jas itu. “Sangat suka,” jawab saya. Dia nyengir puas dan keluar dari toilet.

Saya memasang headphone dan mendengar lagu-lagunya Blackpink. Saya sudah memutuskan, saya akan ke Korea. Tiba di bandara Incheon, saya naik taksi dan minta diantar ke Institut Seni Seoul. Di sana, saya bertemu Han Kang yang baru saja selesai mengajar. Dia tersenyum ramah sekali. Iseng-iseng saya tanya, sudah berapa lama dia jadi vegetarian? “Belum lama, kok,” katanya. Dia tertawa rendah campur malu-malu ketika saya membahas tentang The Vegetarian yang menang penghargaan internasional. “Tapi aku tetap makan daging sedikit, demi alasan kesehatan,” ujar Kang. Buat saya, ia sosok yang menyenangkan dan misterius.

“Kamu pernah ke Brazil, enggak?” saya tanya Kang. Ia menggeleng. Saya bilang saya akan ke Brazil. Korea pernah bikin sulit Brazil di piala dunia. Semenjak itu saya menyimpan ketertarikan pada Korea. Kang mengaku dia enggak mengikuti perkembangan sepakbola. Saya tersenyum maklum.

Dari Korea Selatan, saya terbang ke Brazil-17.000 kilometer. Nyaris seharian penuh di pesawat bikin pantat saya pegal. Tidak pakai basa-basi, saya diajak jalan-jalan Clarice Lispector ke sudut-sudut suburban Brazil. “Omong-omong,” saya tiba-tiba penasaran, “anda sudah wafat, kan?” Lispector terbahak. Sembari mengembuskan asap rokok, ia berkata: “Apa aku tampak mati bagimu?” Saya mengamati wajahnya, rahangnya yang tegas, dan bibirnya yang mengerucut. “Anda cantik sekali,” kata saya tanpa sadar. Ia terbahak sekali lagi. Setelahnya, ia bercerita tentang Macabéa, gadis kecil dalam The Hour of the Star.

“Kenapa novel itu baru terbit setelah Anda wafat?” tanya saya. Lispector kembali mengisap rokoknya. Ia tidak menjawab, hanya menerawang, seperti mengenang
Macabéa. Pelan-pelan, tubuh Lispector memudar, kemudian menjadi debu dan lenyap bersama angin. Saya pergi dari tempat itu, samar-samar mendengar suara seorang gadis yang memanggil, tapi tidak saya hiraukan.

Karena jaraknya dekat, saya memutuskan mampir di Argentina sebentar. Hanya dua jam dari Sao Paolo. Menurut kabar angin, pelukis bernama Juan Pablo Castel sedang mengadakan pameran di sana. Namun, ketika saya tiba di lokasi pameran saya tidak menemukan Castel. Kata petugas pameran, Castel tiba-tiba saja pergi mengejar seorang perempuan. Padahal saya pengin curhat sama dia, karena setelah membaca The Tunnel, saya merasa kami sama-sama insecure dan suka overthinking, terutama kalau lagi jatuh cinta. Saya juga gagal bertemu Ernesto Sabato. Mungkin dia sedang merokok bareng Clarice Lispector di surga.

“Kayaknya saya main ke Rumah Kertas saja, deh,” saya pikir. Benar saja, Carlos Maria Domínguez sedang di sana sama Prof. Bluma Lennon. Saya spontan ngikik. Mereka sedang membahas bagaimana rencana kematian Bluma Lennon (saya melihat Bluma Lennon menggenggam buku puisi Emily Dickinson). Kayaknya mereka sedang seru-serunya, dan saya paling enggak enak kalau mengganggu percakapan orang. Saya pamit tanpa menyapa mereka.

Naik taksi lagi, saya buka-buka ponsel dan membaca berita. Ada satu yang lagi heboh: pembangunan Piramid baru di Mesir. Konon, piramida baru ini akan menjadi yang tertinggi yang pernah dibuat. Ketika berita dilansir, sudah muncul desas-desus pembangunan tersebut memakan banyak korban jiwa. Saya ke sana untuk melihatnya langsung. Benar saja, Firaun Cheops, yang tadinya tidak ingin membangun piramida lagi, malah mendadak jadi ambisius. Ismail Kadare kali ini jadi pemandu saya. Dia bicara panjang-lebar tentang dampak buruk apa yang terjadi terhadap warga Mesir saat ini.

Sekelompok pasukan Firaun Cheops mendadak muncul dan mengejar saya dan Kadare. Mungkin kami dikira mata-mata atau anggota pemberontak. Kami kabur. Saya berpamitan sekadarnya pada Kadare dan buru-buru terbang ke tempat lain. Kali ini tujuan saya Inggris dan saya tidak hanya menemui satu orang, melainkan tiga sekaligus. Karen Armstrong sang teis-lepas, Richard Dawkins sang ateis, dan Richard Lloyd Parry si jurnalis.

Saya tanya pendapat mereka tentang Cheops, dan Armstrong mulai mendongeng tentang Sejarah Tuhan. Tentu saja diinterupsi berkali-kali oleh Richard Dawkins, seakan tidak sabar ingin bilang kalau Tuhan itu hanya delusi. “Kau baca The God Delusion, kan? Bukuku itu?” Dawkins tiba-tiba menoleh ke saya. Saya mengangguk. “Sekarang kau masih percaya Tuhan?” Namun, sebelum sempat saya menjawab, Richard Lloyd Parry sudah mengajak saya bicara hal lain. Mungkin karena melihat wajah saya seperti orang Indonesia yang pernah ia temui di Kalimantan Barat tahun 1997, ia bertanya apakah saya mengalami kerusuhan antaretnis seperti ia laporkan di bukunya Zaman Edan. “Tidak,” saya bilang. “Saya tidak mengalami langsung, tapi desa tempat saya tinggal terkena imbasnya.”

Richard Parry tampak tertarik. “Kalo Irak, kau mengikuti kabar dari sana tidak?” Saya menggeleng. Saya tahu sedikit hal tentang Irak tapi tidak pernah mengikuti berita tentang tempat itu. “Aku kasih kontak seseorang di sana, kau harus temui dia segera, dia punya banyak cerita menarik buatmu.” Ia lantas meminta ponsel saya dan mengetikkan sebuah nama. Saya membacanya. Hassan Blasim.

Keesokan harinya saya berangkat ke Irak. Saya dijemput sopir yang dipesan oleh Blasim. Kami berkirim pesan di malam saat saya bersama trio Inggris. “Datang ke tempatku, ya, kami sedang bikin pameran mayat,” katanya di telepon. “Pameran apa?” tanya saya, tidak yakin. Dia berkata sampai jumpa dan menutup telepon. Setiba di lokasi saya melihat sekelompok orang yang saya kira teroris sedang semacam melakukan penyuluhan tentang bagaimana menyusun mayat-mayat di tengah kota. “Ingat, kita bukan teroris,” kata sang komandan, “kita bekerja dengan seni, kita membuat seni.” Saya melihat spanduk di dekat pintu masuk: The Corpse Exhibition and Other Stories of Iraq.

Saya mual dan tidak kuat berlama-lama di sana. Segera saya pamit ke Blasim dan berdoa semoga warga Irak baik-baik saja dan dia baik-baik saja. Dia berterima kasih dan berniat mengantar saya ke bandara, tapi terpaksa mengurungkan niat karena dipanggil teman-temannya yang mengajaknya bermain menghilangkan pisau. “Sampai ketemu lagi, ya!” katanya. Saya mengangguk dan pergi.

Rasanya cukup dengan hal-hal yang bikin kepala pusing. Saya pengin curhat soal cinta. Tadi enggak sempat ketemu Juan Pablo Castel yang lagi nguber cewek. Jadi saya kembali ke Amerika dan bertemu dengan Raymond Carver di sebuah kafe. “What We Talk About When We Talk About Love,” katanya, “is that love doesn’t try to kill people.” Saya angguk-angguk. Carver menawari saya segelas wiski, tapi saya bilang saya enggak minum. Dia agak kecewa, tapi sesaat kemudian kembali bicara tentang cinta. “I just wouldn’t call Ed’s behaviour love, you know. That’s all I’m saying.” Carver mengetukkan puntung rokoknya ke pinggir asbak.“What about you?”

Saya mengangkat bahu. “Mungkin Ed punya alasan sendiri,” kata saya asal saja. “Tapi, kau tahulah, aku masih muda, enggak tahu apa-apa tentang cinta.” Carver tertawa rendah dan kembali meneguk wiski. “Kau, kan, penulis novel romance. Masa enggak tahu apa-apa tentang cinta?” Sekali lagi, saya mengangkat bahu. Beberapa saat kemudian Carver melihat jam tangannya, lalu berkata bahwa ia harus menemui Ed. Saya mengangguk. Kami bersalaman dan ia pun pergi.

Karena capek, saya memilih untuk berdiam di tempat itu. Kebetulan saya duduk menghadap pintu kafe. Tidak lama, saya melihat seorang laki-laki tua kurus dan berkumis membuka pintu, berjalan masuk. Saya sempat mengira dia Dali, tapi bukan. Ia celingak-celinguk sebentar sebelum akhirnya menghampiri meja saya dan duduk di kursi yang ditinggalkan Carver. Ia menyalakan rokok dan bicara. “Just like heaven. Ever’body wants a little piece of lan’. I read plenty books out here. Nobody never gets to heaven, and nobody gets no land. It’s just in their head.”

“Pak Steinbeck,” saya menyalaminya. “Saya turut berduka atas Lennie. Of Mice and Men bikin saya nangis.”

John Steinbeck menggeleng. Ia beranjak dari kursi dan pergi.

Samar-samar saya mendengar suara perempuan mengalun dari pelantang yang terpasang di sudut-sudut langit-langit kafe. Saya tahu lagu ini, Kokoro No Tomo. Aneh juga dengerin lagu Jepang diputar di kafe Amerika. Tapi ini, kan, perjalanan saya. Saya jadi pengin main ke Jepang. Mungkin tidak untuk bertemu dengan Haruki Murakami karena dia pasti tidak mau ditemui.

Saya pengin ketemu sama Yasunari Kawabata. Setiap baca cerita-ceritanya saya pasti jadi mellow. Saya membeli tiket ke Jepang dan bertemu Kawabata di Osaka. Ia mengajak saya jalan-jalan melintasi sebuah jembatan. “Di sini pemuda angkuh dan gengsian itu kehilangan topinya.” Saya mengenang. Kawabata tertawa rileks. “Kenapa orang-orang di dalam cerita-cerita Anda fatalis semua?” Saya bertanya. “Nasib manusia seperti garis di telapak tangan,” jawabnya, “pendek dan tak bisa diubah.” Saya mengangguk saja. “Seratus empat puluh lebih Cerita-cerita Telapak Tangan, berapa yang sudah kamu baca?” Saya bilang hanya baca separuhnya. Ia mengangguk pelan. Saya berdiam mengamati pohon-pohon di dekat kuil. Ketika menoleh lagi, Kawabata sudah tiada, terbang bersama kelopak-kelopak sakura.

Di langit, saya lihat Ifreet melayang-layang dengan dua jin lain. Barangkali kaki-tangannya. “Kalian mau ke mana?” Saya berteriak. Ifreet berkata bahwa dia mau menemui Salman Rushdie dan menyuruhnya menulis ulang seribu satu malam. “Ditulis ulang jadi kayak gimana?” Saya bertanya lagi. Ifreet mendengus. “Apa kek, diubah jadi Two Years Eight Months and Twenty-eight Nights gitu.” Saya ngikik. “Itu, kan, cuma diganti penyebutannya.” Ifreet terlihat jengkel. “Eh, boleh nebeng gak? Aku juga pengin ketemu Pak Rushdie.” Ia melengos dan menyuruh kaki-tangannya membawa saya. Kami terbang ke New York. Setibanya di sana, Salman Rushdie sedang tertawa-tawa dengan seorang perempuan cantik. Saya kira dia Dunia. Baru saja saya mau menyapa, tiba-tiba mereka berdua lenyap.

“Ke mana mereka?” tanya saya. Ifreet berdecak. “Paling nyamperin Ibn Rushd di alam barzah. Si filsuf sinting itu.”

Mumpung dapat tumpangan jin, saya meminta Ifreet menyuruh kaki-tangannya mengantarkan saya ke Lanzarote. “Lanza apaan?” Ifreet mengernyit. “Lanzarote, kalau enggak salah di Spanyol.” “Mau ngapain kau ke sana? Mending ikutan kami ke dunia jin, kita mabok-mabokan cewek-cewek cakep.” “Cewek cakepnya jin juga?” Saya bertanya dengan bodohnya. “Ya, iyalah.” Saya menolak dan bilang terima kasih, mungkin lain kali.

Saya terbang ke kepulauan Canary dan bertemu seorang laki-laki yang sedang berlibur. Sepanjang pertemuan kami dia mengomeli kelakuan turis. “Kenapa kau memilih Lanzarote buat liburan?” Saya bertanya. Dia bilang dia memilih asal saja dan petugas travel tempat ia membeli tiket menawarkan Lanzarote. Lantas, saya memintanya menemani saya ke Meksiko. “Sayang sekali, aku harus segera balik ke Perancis. Tapi kapan-kapan kalau ada waktu berlibur kita bisa ketemu lagi. Ini kartu namaku.” Namanya tercantum di sana dengan lengkap. Michel Houellebecq.

Dari Lanzarote saya ke Meksiko dan bertamu ke rumah gembong narkoba. Tapi alih-alih bertemu dengan sang gembong, saya disambut seorang anak kecil. “Aku Tochtli. Kau siapa?” Saya memperkenalkan diri. Tochtli memberi saya sebuah topi detektif, seperti yang dipakai Sherlock Holmes. Sebagai tanda persahabatan, katanya. Saya membuka koper dan memberinya topi caping. Dia girang sekali, dan membawa saya masuk ke rumahnya. “Papa sibuk dan aku enggak dibolehin keluar rumah, jadi tiap hari aku main di rumah.” Saya bertanya apa bagian paling menarik di rumahnya. “Down the Rabbit Hole,Tochtli menjawab, “ada banyak senapan dan granat punya papa. Papa dapat dari temannya, Om Pablo.” Apakah Pablo yang ia maksud Juan Pablo Villalobos, saya tanya lagi. Tochtli mengangguk cepat.

Tochtli mengajak saya berburu pygmy hippopotamus di Liberia, Afrika. Saya berkata kepada Tochtli bahwa saya sangat ingin bermain dengannya, tapi karena sebentar lagi malam tahun baru, saya harus segera pulang ke Indonesia bertemu beberapa teman lain. Tochtli tampak sedih tapi segera tersenyum kembali ketika saya berjanji akan kembali ke Meksiko kelak. “Bener, ya. Awas kalau kau enggak datang, menunggu itu devastating banget lho,” katanya. Saya tersenyum simpul dan mengacak-acak rambutnya.


3


Saya tiba di kamar kos dan secara spontan mengecek saldo tabungan melalui m-banking di ponsel. Tidak ada yang berubah. Tentu saja, karena saya tidak pernah membeli tiket pesawat untuk pergi ke Turki, Israel, Brazil, Amerika, Inggris, dan India dan negara-negara lain. Saya hanya punya buku. Buku-buku itu tiket saya jalan-jalan keliling dunia, dan perjalanan saya bermula dari sebuah dosa besar.

20 Buku Terbaik 2016

$
0
0
Dibanding dua hingga tiga tahun sebelumnya, tahun ini saya membaca lebih sedikit. Jauh lebih sedikit. Sepertinya semakin tahun jumlah buku yang saya baca semakin berkurang. Saya enggak tahu apa alasannya. Mungkin karena tahun ini saya lebih banyak menulis, atau menonton film (saya menonton kurang-lebih seratus film). Barangkali saya memang sedang malas saja. Saya juga membeli buku lebih sedikit dibanding tahun-tahun sebelumnya.

Meski demikian, saya tetap gembira karena hampir semua buku yang saya baca tahun ini adalah buku-buku bagus. Menurut statistik di Goodreads tempat saya mencatat buku-buku yang saya baca, saya membaca 38 buku. Saya nyaris memutuskan tidak lagi membuat daftar buku terbaik tahun ini karena sulit memilih beberapa dari seluruh buku yang saya baca sebagai buku terbaik, karena bagi saya hampir semuanya bagus. Namun, toh saya tetap membuat daftar ini, karena tradisi blog ini saja.

Sebelumnya saya sudah membuat tulisan Dosa Besar yang Membuat Saya Berkeliling Dunia, semacam usaha merekomendasikan buku-buku favorit saya dengan cara yang agak berbeda. Namun, akhirnya saya merasa ingin memilih buku-buku paling bagus dari daftar favorit saya itu. Maka jadilah tulisan ini. Berikut daftar 20 buku terbaik yang saya baca di tahun 2016, lintas genre mulai dari fiksi, puisi, hingga nonfiksi:





Tahun ini saya menantang diri sendiri untuk membaca karya sastra klasik. Bayang-bayang bahwa karya sastra klasik itu berat dan membosankan ternyata runtuh oleh buku pengarang besar Rusia ini. Saya mulai membacanya setelah terlebih dahulu menonton Karamazovi, film tahun 2008 karya sutradara Ceko, Petr Zelenka. Usai menonton film itu saya langsung tertarik baca novelnya. Ternyata novelnya sangat seru. Ceritanya tentang parricide, pembunuhan yang terjadi di dalam keluarga oleh anggota keluarga sendiri (dalam hal ini keluarga Karamazov). Saya menyukai karakter-karakternya dan percakapan-percakapan di novel ini. Perbincangan mengenai moral, ketuhanan, dan skandal percintaan mendominasi salah satu karya terbaik Fyodor Dostoyevsky ini.



Saya menggemari Orhan Pamuk sejak tahun lalu ketika selesai membaca novelnya My Name Is Red. Semenjak itu saya mencari dan membaca buku-bukunya yang lain. Buku ini salah satu karya nonfiksinya. Berisi kuliah umum yang ia sampaikan di sebuah universitas atas permintaan seorang temannya. Pamuk menceritakan tentang apa yang ia lihat dari sebuah novel ketika menjadi pembaca, dan apa yang ia pikirkan ketika menulis novel. Berangkat dari esei Schiller tentang puisi dan seni, Pamuk membuat teorinya tentang novel menggunakan cara pandang yang sama: naive dan sentimental. Buku ini sangat menarik bagi siapapun yang ingin belajar membaca dan menulis novel memakai kacamata seorang pemenang nobel kesusastraan.

Belum pernah saya merasa sepuas ini membaca novel Indonesia. Raden Mandasia bikin perhatian saya terjerat sejak paragraf pembuka dan saya tidak bisa melepaskan novel ini tanpa memikirkannya. Adegan-adegannya sangat filmis, bikin saya membayangkan sebuah film laga kolosal, dengan humor yang meledak di sana-sini. Petualangan Sungu Lembu dan Raden Mandasia bikin saya memimpikan memiliki perjalanan seru serupa bersama seorang sahabat, tentu saja di tengah-tengahnya saya berharap bertemu seorang Nyai Manggis. Buku ini mengembalikan kesenangan murni membaca cerita yang telah lama hilang dari diri saya. Barangkali salah satu novel Indonesia terbaik yang pernah saya baca seumur hidup. Ini tidak berlebihan.

Terjemahan bahasa Indonesia dari Timequake (1997). Saya muntah empat kali sepanjang membaca buku ini, enggak bohong. Vonnegut bikin saya ngakak dari awal sampai akhir, mulai dengan ejekannya pada karya Ernest Hemingway hingga teka-teki tentang kotoran burung. Ceritanya sendiri bernuansa fiksi sains. Cara menulis Vonnegut yang seperti bermain-main mungkin salah satu hal yang membuat buku ini sangat menghibur. Selera humor Vonnegut ampun-ampunan. Leluconnya gelap. Ia meledek perang dan lain-lainnya, sembari menekankan betapa pentingnya peran sebuah keluarga besar.

Buku lain dari Kurt Vonnegut yang bikin saya ngakak. Kali ini ceritanya rada waras. Masih bernuansa fiksi sains, tentang perburuan komponen kimiawi yang bisa membekukan cairan dan menciptakan kiamat. Tendensi Vonnegut untuk bermain-main dengan topik yang serius dan menggunakan cara pandang yang humoris dalam melihat sesuatu adalah hal yang paling saya sukai dari penulis Amerika satu ini. Selain membahas perang, di Cat's Cradle Vonnegut juga menyinggung tentang agama dan Tuhan.

Terjemahan Indonesia dari In the Time of Madness: Indonesia on the Edge of Chaos (2005), tentang reportase Richard semasa penugasannya di Indonesia dalam kurun 1996-1998. Richard Lloyd Parry adalah koresponden luar negeri untuk The Independent. Dalam buku ini ia melaporkan dengan sangat detail peristiwa konflik di Jakarta, Papua, dan Kalimantan Barat jelang turunnya Soeharto. Saya membaca buku ini ketika melakukan riset literatur untuk Metafora Padma. Membaca buku Richard seperti membaca novel, karena deskripsinya sangat filmis dan cara bertuturnya sangat enak dibaca, meskipun tentu saja peristiwa yang ia laporkan begitu kelam dan menyedihkan. Salah satu bacaan penting tentang 1998.

Kumpulan cerita pendek tentang cinta. Buat saya, Raymond Carver salah satu contoh paling baik penulis yang menulis cerita cinta, karena ia begitu subtil. Carver tidak menjual drama dan menyampaikan konflik di antara tokoh-tokohnya secara eskplisit, melainkan memberi situasi-situasi yang membuat kita mengerti bahwa sedang terjadi masalah. Cerita-ceritanya terkesan sederhana, tetapi di dalamnya terdapat konflik yang kompleks, seperti cinta itu sendiri.

Memoar tentang kota Istanbul dari kacamata penulis yang tinggal di sana selama tidak kurang dari setengah abad. Dalam suatu wawancara, Orhan Pamuk pernah berkata bahwa penulis-penulis lain mendapatkan inspirasinya dari bepergian ke negara-negara lain, sementara Pamuk selama lima puluh tahun tidak pernah keluar Turki. Ia melihat Istanbul sebagai kota yang diselimuti melankoli, kota yang masih menyimpan sisa-sisa keagungan masa lalu, menolak kalah, tetapi tidak dapat menghindar dari keruntuhan dan kesenduan yang membungkusnya. Seperti buku Pamuk yang lain, buku ini bikin saya memasukkan Turki sebagai negara yang sangat ingin saya kunjungi sebelum saya mati.

Penulis yang paling banyak saya baca bukunya tahun ini. Saya membaca lima kumpulan cerita pendek Keret dan satu memoarnya. Buku memoar ini adalah yang terbaik. Keret menggunakan kelihaiannya bercerita untuk menuturkan fragmen-fragmen menarik dalam hidupnya. Tujuh tahun yang dimaksud dalam memoar ini adalah tahun-tahun di antara kelahiran anak pertama Keret dan kematian ayahnya. Periode yang, disebut Keret sebagai "Masa di mana saya merasakan menjadi ayah dari seorang anak dan anak dari seorang ayah". Saya berkali-kali tersentuh oleh cerita-cerita Keret di buku ini. Optimisme dari seorang sinis yang mengharukan dan humor yang menyenangkan adalah dua dari sekian hal yang saya sukai di buku ini.

Terjemahan Indonesia dari La casa de papel (2002), novela penulis Argentina Carlos Maria Domínguez. Buku dari dan untuk para pencinta buku. Sama seperti buku-buku penulis Amerika Latin lainnya, tidak ada satu halaman pun yang membosankan dari buku ini. Misteri dan percakapan-percakapan tentang buku di dalam buku ini bikin saya ketawa dan haru di saat yang sama. Penerjemah Ronny Agustinus bekerja dengan sangat baik, tidak ada kata-kata atau kalimat yang membingungkan sepanjang saya menikmati membaca novela ini. Novela terbaik setelah Pedro Paramo.

Buku yang menegaskan tentang kekejaman Tuhan, seenggaknya saya melihatnya demikian. Ini buku pertama yang saya baca dari penulis Brazil. Saya tidak punya banyak penulis perempuan favorit, dan karena novel tipis ini Lispector masuk ke dalam daftar penulis perempuan favorit saya. Ia menulis tentang seorang gadis lugu di perkampungan Brazil bernama Macabéa, dan bagaimana gadis tersebut menemui ajalnya.

Etgar Keret dari versi negara seberang. Hassan Blasim menyajikan cerita-cerita brutal tentang perang di Irak. Kadang-kadang cerita-ceritanya bernuansa sureal, sama seperti cerita-cerita Keret. Saya sering menyarankan kepada beberapa orang teman untuk membaca kumpulan cerita pendek Etgar Keret dan Hassan Blasim berdampingan. Sensasinya unik. Saya membeli buku ini tanpa pikir panjang setelah membaca cerita pembukanya, tentang sekumpulan teroris yang tidak ingin menyebut diri mereka teroris, melainkan pelaku seni, karena mereka membunuh dan memajang mayat-mayat di seantero kota layaknya membuat sebuah pameran. Kumpulan cerita yang brutal dan penuh ironi.

Buku yang mengubah cara pandang saya terhadap agama, Tuhan, dan ketuhanan. Buku yang bagus, tetapi tidak cukup ampuh untuk membuat saya jadi seorang ateis. Richard Dawkins memaparkan dengan teratur (seringkali disertai rujukan pendapat orang-orang lain) beragam alasan mengapa menurutnya Tuhan tidak lebih dari sebentuk delusi di dalam kepala manusia. Salah satu buku yang penting dibaca bagi siapapun yang sedang berada dalam pencarian Tuhan dan kebenaran agama.

Novel Indonesia kedua terbaik setelah Raden Mandasia. Absurd seabsurd-absurdnya, tetapi sangat menyenangkan untuk dibaca. Ditulis dengan cara bertutur orang gila, dalam format buku nonfiksi panduan (how to) dan dilengkapi beragam gambar, tabel, dan grafik yang sama ngawurnya, yang berisi ejekan dan kritik terhadap banyak hal, di antaranya peran pegawai negeri sipil dan gaya hidup manusia modern. Novel yang bikin kamu merasa hidupmu baik-baik saja sebelum membacanya.

Novela tentang cinta dan obsesi. Meskipun isinya serius, tapi saya berkali-kali ngakak bacanya, karena merasa punya kesamaan dengan Juan Pablo Castel, pelukis yang terobsesi sama seorang perempuan dan overthinking abis. Dia enggak berbuat banyak tapi pikirannya luar biasa bawel. Paranoid dan terlalu banyak pertimbangan daripada beraksi. Meskipun buat saya menghibur, tapi sebenarnya novela ini tragis dan depresif.

Saya enggak pernah menyangka bahwa selain punya dunia hiburan yang sangat sukses, Korea juga punya sastra yang keren. Kemenangan Han Kang dalam penganugerahan Man Booker Prize International 2016 (menyingkirkan Orhan Pamuk, Kenzaburo Oe, dan Eka Kurniawan) adalah salah satu buktinya. Meminjam prolog The Metamorphosis Kafka, Kang menuturkan cerita seorang perempuan usia tigapuluhan yang mengalami perubahan signifikan di dirinya, dalam usaha membersihkan bekas-bekas kekerasan yang pernah terjadi di masa lalu. Sedikit informasi kecil: Han Kang sendiri hanya pernah jadi vegan, sekarang ia sudah makan daging demi alasan kesehatan.

  • Sergius Mencari Bacchus, Norman Erikson Pasaribu
Buku puisi Indonesia terbaik yang terbit tahun ini. Norman mengangkat tema-tema LGBT dengan bentuk pengucapan yang belum pernah saya lihat, semacam campuran antara puisi dan prosa, tetapi kian menarik karena ia sering menggunakan kata-kata yang barangkali tidak dianggap cukup puitis untuk dimasukkan ke teks puisi. Gaya bahasanya segar, jauh dari bikin ngantuk. Norman menulis puisi-puisi menggunakan kosakata dari masa kini dan alusi yang jauh ke belakang hingga abad ke-4. Penyair muda yang bikin saya optimistis sama masa depan dunia puisi Indonesia.

Cerita tentang laki-laki India yang ingin membebaskan diri dari jerat kemiskinan. Gaya bertutur Aravind Adiga yang selengean dan bertabur umpatan bikin saya merasa seperti sedang membaca The Wondrous Life of Oscar Wao, Junot Díaz. Novel ini menyenangkan sekali, dan sangat page-turner. Aravind Adiga memperlihatkan sisi kelam India, dan di beberapa tempat saya bahkan merasa seperti sedang membaca cerita tentang Indonesia.

Terjemahan Indonesia dari La Pyramide atau Piramida (1992) karya penulis Albania, tentang pembangunan piramida baru oleh firaun muda yang berubah dari tidak menginginkan simbol kekuasaan apapun, menjadi terobsesi dengannya. Kadaré menekankan topik ironi kekuasaan lewat firaun Cheops dan kesengsaraan serta kebanggaan warga Mesir yang terlibat dalam pembangunan piramid tersebut. Buku yang bikin saya berkali-kali nahan napas membayangkan piramid yang gigantik dan kekacauan berdarah yang berlangsung dalam proses pembuatannya.

Kumpulan cerita terfavorit saya tahun ini. Cerita-cerita Lahiri tentang India sangat sederhana dan universal, sehingga membuat saya sangat mudah merasa related dengan manusia-manusia yang ia kisahkan. Lahiri sangat detail dalam menggambarkan suasana dan saya menyukainya. Konflik dalam cerita-ceritanya hadir begitu subtil, sekaligus intens. Selain cerita yang menjadi judul buku ini, cerita lain yang saya sukai adalah A Temporary Matter, karena bikin saya teringat pada masa kecil ketika seisi kompleks mati lampu dan kami bermain-main di luar rumah. Karena buku ini juga, saya memasukkan Jhumpa Lahiri ke daftar penulis perempuan favorit saya, dan saya berencana membaca buku-bukunya yang lain tahun depan.

- - -

Beberapa waktu lalu, seorang teman yang juga penikmat buku bertanya kepada saya, "Kamu ingin baca apa tahun depan?" Saya sempat berpikir sejenak karena tidak bisa segera menjawab. Saya tidak punya target khusus selain berharap bisa membaca lebih banyak buku bagus. "Mungkin ingin baca karya-karya klasik lagi," jawab saya akhirnya. Semoga saja harapan itu tercapai. Tapi kalian tahu lah saya ini Cancer. Saya senang berencana tapi enggak merasa masalah kalau menyeleweng dari rencana awal untuk memberi ruang bagi hal-hal menarik yang datang. Maksudnya, saya bisa saja membuat daftar membaca tahun 2017, tapi sangat mungkin di tengah-tengah saya membaca buku lain yang tidak pernah masuk daftar tersebut. Intinya, sih, fleksibel saja.

Kalau kalian, bagaimana buku-buku bacaan kalian tahun ini? Apakah kalian membuat daftar seperti ini? Buku-buku apa yang ingin kalian baca tahun depan? Share di kolom komentar ya.

Selamat tahun baru!


Kalender Membaca 2017

$
0
0
Tiga tahun lalu, saya pernah membuat proyek serupa. Awalnya saya bikin proyek membaca ini buat diri sendiri saja. Tujuannya: untuk mengurangi tumpukan buku yang belum terbaca, sekaligus menebus dosa atas buku-buku yang dibeli secara impulsif tapi tak kunjung tersentuh itu. Namun, ketika saya iseng bikin pengumuman di twitter, ternyata banyak teman-teman yang tertarik ikutan bikin proyek serupa buat diri mereka sendiri. Saya senang sekali.

Jadi, tahun ini saya pengin bikin lagi Kalender Membaca 2017. Bagi yang pengin ikutan, ketentuannya masih sama. Tentukan paling sedikit satu buku yang ingin kamu baca setiap bulannya sepanjang setahun ke depan. Sedikitnya akan ada 12 buku yang beres dibaca, bukan? Angka yang kecil, tapi saya yakin kalian enggak akan berhenti jika sudah mencapai angka tersebut pada pertengahan tahun. Tambahkan jika memang ingin. Seperti saya bilang tadi, sedikitnya selesai baca satu buku tiap bulan.

Ketentuan lain, sebagai bukti bahwa kalian sudah membaca buku tersebut, kalian harus menulis catatannya di blog masing-masing. Resensi atau sekadar curhatan pun enggak apa-apa, yang penting bikin catatan. Jangan tanya lagi buat apa gunanya. Kalau sudah bikin catatan, kalian boleh share tautan blognya di kolom komentar tulisan saya ini. Enggak pun enggak apa-apa.

Proyek ini enggak ada hadiahnya. Saya hanya mengajak kalian melakukan hal yang menyenangkan. Merencanakan pengin baca buku apa selama setahun ke depan buat saya hal menyenangkan. Walaupun di tengah jalan bisa saja buku yang saya baca berubah, enggak masalah. Nah, berikut ini adalah buku-buku yang ingin saya baca tahun ini. Ada yang sudah saya mulai baca di tahun lalu tapi belum selesai, ada juga yang benar-benar belum pernah saya baca.




Nah, silakan menyusun kalender membaca 2017 milikmu sendiri. Kalau sudah, share tautan tulisanmu di kolom komentar pada tulisan ini ya. Barangkali saya atau yang lain terinspirasi dengan daftar buku yang ingin kamu baca. Selamat bertualang bersama buku-buku!

Brave New World, Aldous Huxley

$
0
0



Saya selalu senang dengan cerita-cerita berjenis dystopian. Baik itu dalam format novel maupun film. Buat yang belum tahu apa itu dystopian, ingat-ingat aja arti dari “utopia”. Nah, dystopian atau distopia itu kebalikannya (sebelum menulis ini saya sempat ngecek di KBBI, ternyata meskipun kata “utopia” sudah terdaftar, “distopia” belum) Jika cerita-cerita utopia menggambarkan dunia dalam bentuk paling ideal dengan nilai-nilai sosial yang baik dan sempurna (yang mana tidak akan terjadi, makanya disebut utopia), cerita-cerita dystopian merupakan sisi koin sebaliknya, menggambarkan dunia yang mengerikan dan umumnya punya ciri terjadinya dehumanisasi, kestabilan sosial yang semu, dan pemerintah yang totaliter.

Ingat film The Hunger Games, The Giver, atau Divergent? Itu film-film dystopian (demikian pula dengan novelnya). Saya sendiri belum pernah membaca novel-novel utopia, tapi saya punya beberapa novel dystopian favorit. Yang pertama Nineteen Eighty-Four, George Orwell, dan yang kedua, novel yang pengin saya bahas dalam tulisan ini: Brave New World, Aldous Huxley.

Tiga tahun setelah membaca Nineteen Eighty-Four, saya membaca Brave New World. Tahukah kalian saudara-saudara sekalian? Novel si “senior” ini jauh lebih gila dari juniornya.

Aldous Huxley lahir pada akhir abad ke-18, tepatnya 1894. Hampir satu dekade sebelum bapak “Big Brother”, George Orwell, lahir. Huxley penulis yang sangat produktif. Selama hidupnya (ia meninggal pada usia 69 tahun), Huxley menulis tidak kurang dari 70 buku, dan tidak hanya novel. Ia juga menulis artikel, buku kumpulan cerita, naskah drama, bahkan buku puisi dan buku cerita anak. Untuk novel sendiri, Huxley menerbitkan sebelas. Namun, kayaknya novel Brave New World yang membuatnya namanya populer di kalangan dunia sastra. Novel ini bahkan jadi rujukan untuk pembelajaran di sekolah-sekolah di Inggris, semacam jadi karya sastra wajib baca yang kemudian dianalisa oleh murid-murid bersama gurunya. Seperti cerita Robohnya Surau Kami A. A. Navis, atau puisi-puisi Sapardi Djoko Damono kalau di Indonesia.

Novel Brave New World sering dibanding-bandingkan dengan karya “juniornya”, Nineteen Eighty-Four atau 1984. Meski novel Aldous Huxley terbit tujuhbelas tahun lebih awal daripada punya George Orwell, saya lebih dulu membaca karya si junior, dan saya sangat menyukainya. Tiga tahun setelah membaca Nineteen Eighty-Four, saya membaca Brave New World. Tahukah kalian saudara-saudara sekalian? Novel si “senior” ini jauh lebih gila dari juniornya.

Brave New World dibuka dengan adegan deskripsi singkat sebuah gedung yang berlokasi di London, tertulis dalam kapital: CENTRAL LONDON HATCHERY AND CONDITIONING CENTRE-pusat penetasan dan pengondisian. Apa pula yang ditetaskan dan dikondisikan? Telur ayam? Bukan, melainkan manusia. Kalimat berikutnya masih pada paragraf pertama, menggambarkan semacam plang yang bertuliskan sebuah slogan atau moto, juga ditulis dengan kapital: COMMUNITY, IDENTITY, STABILITY. Paragraf pembuka yang hanya terdiri dari dua kalimat ini sangat efektif dalam menggambarkan situasi keseluruhan dunia di dalam novel, dunia yang disebut penulisnya Brave New World.

Paragraf berikutnya menggambarkan aktivitas seorang petugas dengan jabatan tinggi sedang membimbing sekumpulan anak sekolahan melihat-lihat gedung itu. Semacam study tour atau orientasi. Anak-anak ini diperlihatkan bagian-bagian gedung tersebut oleh sang Director of Hatcheries and Conditioning. Sang Direktur tanpa nama ini menjelaskan kepada serombongan murid sekolah tentang proses inkubasi manusia, dan bagaimana tiap manusia dikondisikan untuk menempati pos-pos hidupnya kelak.

"Tall and rather thin but upright, the Director advanced into the room. He had long chin and big… Old, young? … It was hard to say. And anyhow the question didn’t arise; in this year of stability, A. F. 632, it didn’t occur to you to ask it."

Hal pertama yang perlu disadari ketika membaca Brave New World adalah latar waktunya. Seperti novel dystopian lain, novel ini berlatar jauh di masa depan. Di Brave New World, cerita dimulai pada tahun A. F. 632-A. F. adalah After Ford (ingat penanggalan Julian/Gregorian: B. C. untuk Before Christ, A. D. untuk Anno Domini atau masehi) Catatan di Internet yang saya temukan menyebut A. F. 632 di Brave New World adalah tahun 2540 masehi. Sehingga, dunia di novel adalah kurang-lebih enam abad di masa depan.

Meski tidak mutlak, keterangan waktu ini penting untuk memasuki dunia dalam novel dystopian. Itu sebabnya Aldous Huxley meletakkan keterangan A. F. 632 di bab pertama novel (Tall and rather thin but upright, the Director advanced into the room. He had long chin and big… Old, young? … It was hard to say. And anyhow the question didn’t arise; in this year of stability, A. F. 632, it didn’t occur to you to ask it). Sejak awal, Aldous Huxley sudah menjelaskan periode dunia seperti apa yang akan kita hadapi di dalam novelnya.

Maka kita bisa masuk ke bagian berikutnya tentang gambaran lebih detail dunia yang diciptakan Aldous Huxley. Dunia dalam Brave New World adalah dunia yang “stabil”, dengan manusia yang lahir melalui metode yang disebut Bokanovsky’s Process. Manusia tidak lahir dari satu embrio menjadi satu individu, melainkan satu embrio dapat dibelah menjadi delapan hingga sembilan puluh enam embrio sempurna, yang masing-masing menjadi individu. Manusia dibikin dengan cara seperti kita menduplikasi berkasdi laptop, tinggal copy-paste sebanyak yang kita mau. Praktis, efisien, dan tentunya menciptakan kondisi masyarakat yang stabil karena tidak terdapat perbedaan antara satu individu dengan individu lain.

Bangunan sosial terdiri dari manusia yang telah dibagi menjadi kasta-kasta, dari yang tertinggi hingga terendah: Alpha, Beta, Gamma, Delta, Epsilon (konsep yang serupa dipakai The Hunger Games untuk pembagian divisi dan Divergent untuk pembagian faksi, meski di kedua cerita tersebut tidak terdapat perbedaan secara hirarkis antardivisi/faksi). Pembagian kasta ini mudah dipahami. Individu kasta tertinggi memiliki postur dan rupa yang sangat baik, serta tugas-tugas yang lebih “mulia” dibanding kasta-kasta di bawahnya (Epsilon digambarkan seperti buruh yang hanya mengerjakan pekerjaan-pekerjaan kasar).

Mustapha Mond menjelaskan mengapa ia memilih dunia yang sekarang ketimbang dunia dulu, mengapa puisi, seni, cinta, komitmen dalam berhubungan, dan kebebasan adalah sumber ketidakbahagiaan, dan bagaimana hal-hal tersebut harus dihapuskan demi manusia mencapai tujuan hidupnya, yakni kebahagiaan itu sendiri. 

Sisanya adalah cerita mengenai Bernard Marx, seorang Alpha, protagonis novel ini. Bernard memiliki sedikit “cacat” karena meskipun ia Alpha, ia tidak bertubuh tinggi seperti Alpha umumnya, malah cenderung mirip orang-orang Epsilon. Rumor mengatakan ada yang enggak sengaja meneteskan alkohol ke tabungnya saat proses inkubasi. Kecacatan ini membuat Bernard tidak sepenuhnya berpikir layaknya seorang Alpha. Ia tertarik pada manusia dan kehidupan primitif, serta menganggap doktrin-doktrin yang diberikan oleh sistem sangat membosankan. Perilaku menyimpang ini kemudian membawa masalah bagi Bernard. Termasuk juga kepada temannya, Helmholtz, seorang Alpha yang punya ketertarikan lebih pada puisi dan perasaan-perasaan (ingat film The Giver saat sang protagonis menyadari bahwa dulu dunia berwarna dan lebih indah).


Tokoh penting di novel ini adalah John the Savage. Orang primitif yang kemudian hari dibawa Bernard ke “dunia beradab”, dunianya. Percakapan antara John the Savage dengan Mustapha Mond, sang kontrolir, adalah percakapan terbaik yang pernah saya baca sejauh ini. Kedalamannya setara dengan percakapan Alexey dengan Ivan Karamazov. Sementara the Savage atau Sang Liar memandang dunia beradab sebagai dunia yang mengerikan dan tidak seharusnya, Mustapha Mond menjelaskan mengapa ia memilih dunia yang sekarang ketimbang dunia dulu, mengapa puisi, seni, cinta, komitmen dalam berhubungan, dan kebebasan adalah sumber ketidakbahagiaan, dan bagaimana hal-hal tersebut harus dihapuskan demi manusia mencapai tujuan hidupnya, yakni kebahagiaan itu sendiri. ***

5 Kafe Favorit di Jogja Buat Nulis

$
0
0


Setiap penulis punya situasi idealnya masing-masing untuk menulis. Ada yang hanya bisa menulis di dalam kamarnya sendiri, ada juga yang butuh menulis di tengah-tengah alam yang sepi, seperti pantai. Saya hampir selalu menulis di luar. Di kafe, lebih tepatnya. Saya tidak bisa menulis di kamar indekos karena ketika berada di kamar pikiran saya tidak terjaga dan bawaannya pengin tidur-tiduran. Saya juga tidak yakin bisa menulis di pantai, karena kalau sedang di pantai tentu saja saya lebih pengin menikmati suasana pantai dan meresapi bunyi debur ombak dan pemandangan hamparan lautan luas di depan mata saya. Dalam situasi semacam itu, saya tidak butuh menulis, saya tidak ingin menulis.

Situasi ideal untuk menulis bagi saya adalah berada di tengah-tengah orang-orang, tetapi tidak di tengah-tengah keriuhan. Saya juga tidak bisa menulis dalam situasi yang hening. Saya butuh suara-suara yang riuh rendah. Saya membutuhkan suara-suara latar yang mengisi ruang dalam kepala saya sehingga membuat saya terjaga dan tidak mengantuk, tetapi juga tidak terlalu berisik sehingga membuat saya tidak bisa berpikir. Kafe adalah tempat yang pas buat saya. Suara-suara orang-orang berbincang-bincang atau mengetik di laptop mereka sendiri, bunyi-bunyian mesin espresso, derit pintu yang membuka dan menutup, musik instrumental yang mengalun dari pelantang di sudut langit-langit ruang kafe, semuanya menjadi kombinasi pas sebagai "suara latar" yang saya butuhkan untuk membangun mood menulis.

Saya bukan pejalan atau food blogger yang mendedikasikan sebagian hidupnya untuk mencari tempat-tempat bagus, tetapi sebagai penulis yang membutuhkan kafe buat bekerja, saya punya beberapa rekomendasi kafe yang pernah saya pakai menulis. Berikut lima kafe di Jogja yang menurut saya nyaman untuk kebutuhan menulis ataupun sekadar duduk-duduk merenung dan membaca buku:


1. Kolase Coffee




Kafe yang terletak di dekat kampus UPN Veteran ini berukuran kecil dengan dua lantai. Cahaya kekuningan yang mengisi ruangnya dan meja berbahan kayu jadi kombinasi serasi yang nyaman di mata. Di lantai bawah hanya ada dua meja, tapi jangan khawatir, naik tangga ke lantai dua dan kamu akan menemukan lebih banyak kursi. Kafe ini jarang ramai, jadi sangat ideal buat menulis. Koneksi wi-fi kencang dan stabil. Stok colokan pun aman.

Menu rekomendasi: Kopi tubruk Punik Sumbawa + French fries
Detail lokasi: Dekat perempatan lampu merah Ringroad Utara dengan UPN Veteran.
Waktu kunjung ideal: Pukul 13:00 - 18:00 WIB. Lebih mantap kalau sedang hujan.
Nilai plus: Baristanya ramah dan murah senyum.
Pelayanan: Oke punya.
Spot favorit: Lantai bawah, kursi dekat pintu masuk.



2. Coffeetime



Saya nandatanganin Elegi Rinaldo di Coffeetime, lho. Hehe.


Tidak jauh dari Kolase Coffee, Coffeetime terletak menempel dengan minimarket yang berada di pertigaan belakang kampus UPN Veteran. Kafenya juga kecil saja. Terdapat area bebas asap rokok dan juga area khusus merokok. Ruangannya hanya terdiri dari satu lantai, tapi jangan khawatir kehabisan tempat, karena kafe ini juga jarang penuh. Ambience tempatnya cukup nyaman. Karena bersebelahan dengan minimarket, kalau sedang kelaparan atau pengin beli cemilan lain, tinggal lompat ke sebelah (tapi jangan dibawa ke kafe ya, mari hargai barista kafenya). Selain dekat minimarket, Coffeetime juga berada di dekat orang jualan martabak. Koneksi wi-fi kencang dan stabil. Stok colokan aman.

Menu rekomendasi: Kopi tubruk Jawa Barat (lupa nama desanya) + donat mini + croissant
Detail lokasi: Pertigaan belakang UPN Veteran dengan Seturan (dari utara sebelah kiri jalan)
Waktu kunjung ideal: Pukul 10:00 - 16:00 WIB.
Nilai plus: Baristanya ramah dan humoris.
Pelayanan: Oke punya.
Spot favorit: Area bebas asap rokok, kursi dekat jendela.



3. Le Travail



Kafe yang memakai nama Prancis ini berada tepat di bagian selatan atau belakangnya kampus UPN Veteran. Kafe yang jadi salah satu tempat favorit para mahasiswa dan mahasiswi di sekitar kawasan Seturan. Le Travail buka 24 jam non-stop. Mungkin itu yang membuatnya jadi pilihan mahasiswa. Pencahayaan di kafe relatif lebih gelap dibanding dua kafe sebelumnya. Kalau ingin ke kafe ini untuk menulis atau baca buku, saya sarankan datang sejak pagi sekali hingga siang jelang sore. Karena kalau malam hari, Le Travail mulai ramai, dan area bebas asap rokok akan berubah fungsi jadi area merokok. Malam hari lebih nyaman untuk mengobrol santai daripada menulis. Satu hal lagi, agak sulit mencari tempat parkir di sini. Kalau bawa motor harus parkir di pinggir jalan. Kalau bisa jangan bawa mobil karena sulit parkirnya. Wi-fi kencang dan stabil dan colokannya banyak, tenang.

Menu rekomendasi: Kopi tubruk Papua Wamena
Detail lokasi: Pintu belakang UPN Veteran (dari timur sisi kiri jalan)
Waktu kunjung ideal: Pukul 7:00 - 15:00 WIB. Suasana paginya nyaman banget di sini.
Nilai plus: Buka 24 jam (meski dipenuhi kafe, tidak banyak kafe yang buka 24 jam di Jogja)
Pelayanan: Oke punya.
Spot favorit: Kursi dekat pintu masuk yang menempel di dinding (sisi kanan dari pintu masuk)


4. Mooi Kitchen



Berlokasi di kawasan Terban, kafe ini termasuk yang pertama-tama jadi favorit saya. Salah satu alasannya karena ada banyak rak berisi penuh buku-buku di kafe ini. Enggak heran, karena pemilik kafe ini sepasang suami-istri yang sama-sama senang membaca. Itu sebabnya di Mooi Kitchen juga sering menyelenggarakan kegiatan yang berkaitan dengan buku. Hampir setiap sekali sebulan, komunitas bernama Klub Buku Jogja bikin acara di sini. Ambience tempatnya pun nyaman. Wi-fi kencang dan stabil, jangan khawatir dengan colokan. Tapi kamu enggak begitu butuh colokan di sini karena ada banyak buku bagus yang bisa menemanimu mengisi waktu. Kafe ini dua lantai, dan buku-buku banyak berada di lantai atas. Spot paling oke: kursi dekat jendela.

Menu rekomendasi: Kopi tubruk + tiramisu + spagetti + klappertaart
Detail lokasi: Kawasan ruko Terban (belakang KFC Sudirman)
Waktu kunjung ideal: Pukul 16:00 - 20:00 WIB. Suasana jelang malam hari lebih oke di sini.
Nilai plus: Banyak buku-buku yang bisa dibaca di tempat. Koleksi bukunya bagus-bagus!
Pelayanan: Oke punya. Kadang-kadang pemiliknya juga standby di kafe dan mereka sangat ramah.
Spot favorit: Lantai atas, sofa dekat rak buku, atau kursi dekat jendela.


5. Dixie Easy Dining

Kalau kamu gampang merasa lapar dan butuh ngetik ditemani makanan berat, tempat ini sangat cocok buatmu. Tidak hanya kafe, Dixie juga semacam restoran. Namun, jangan bayangkan restoran yang "restoran banget", karena di tempat ini suasana kafe lebih kentara, terutama area lantai dua. Jangan khawatir kehabisan tempat duduk karena Dixie sangat luas. Ada dua lantai yang bisa kamu pilih sesuai selera. Kalau pengin di area yang agak terbuka, lantai satu cocok. Kalau ingin ngetik-ngetik di ruangan berpendingin yang tertutup, naiklah ke lantai dua. Kalau pengin menikmati suasana balkon dengan angin sepoi-sepoi, di lantai dua juga menyediakan area merokok yang berlokasi di balkon. Ada beragam makanan di sini, mulai kudapan sampai makanan berat seperti nasi atau pasta. Minumannya pun bermacam-macam. Area parkir luas, baik buat motor maupun mobil.

Menu rekomendasi: Mac 'n cheese + es teh leci
Detail lokasi: Jalan Affandi/Gejayan (dari utara sebelah kiri jalan)
Waktu kunjung ideal: Pukul 16:00 - 21:00 WIB. Malam hari lebih nyaman.
Nilai plus: Menu makanannya banyak dan enak-enak.
Pelayanan: Oke punya. Pramusajinya banyak dan responsif. Pesanan pun relatif cepat disajikan.
Spot favorit: Lantai atas, meja dengan empat kursi di dekat jendela/area balkon.



5 Tips Mereview Buku À la Bara

$
0
0


Baru sekitar empat tahun yang lalu, saya mulai membuat catatan tentang buku-buku yang saya baca. Awalnya terinpirasi dari blog Eka Kurniawan. Sampai hari ini, saya masih menghindari sebutan review atau ulasan untuk menamai catatan-catatan buku yang saya buat di blog ini, termasuk juga resensi. Alasannya, saya merasa apa yang saya tulis tidak tepat memenuhi format resensi buku yang biasanya saya lihat dibikin oleh orang lain.

Namun, demi kemudahan dan supaya relatable, saya pakai istilah review khusus untuk tulisan ini. Saya bikin tips ini demi menjawab pertanyaan beberapa pembaca via instagram maupun e-mail tentang topik mereview buku.

Pertama-tama, perlu dicatat bahwa saya enggak punya metode khusus dalam menulis review buku. Saya juga enggak punya format yang jadi pakem setiap kali membuat review. Isi review saya dari satu buku ke buku lain bisa beda-beda. Di satu buku, misalnya, saya akan memulai dengan menceritakan sedikit kisah dari bukunya, sementara di buku lain saya bisa membuka tulisan dengan membahas sosok penulisnya.

Hal pertama yang saya lakukan ketika bikin review buku adalah mengingat-ingat, apa momen di dalam cerita yang paling berkesan buat saya. 

Meski demikian, saya mencoba mencatat poin-poin yang biasanya saya tulis ketika membuat review buku dan merumuskannya jadi serangkaian pertanyaan. Kamu bisa memakai daftar pertanyaan ini kali berikutnya kamu menulis review untuk buku yang baru saja selesai kamu baca.

Berikut ini lima tips mereview buku à la Bernard Batubara:


  • What's the most memorable moments from the book?
Hal pertama yang saya lakukan ketika bikin review buku adalah mengingat-ingat, apa momen di dalam cerita yang paling berkesan buat saya. Apakah adegan seorang tokoh utama bersembunyi dari kejaran penjahat? Atau percakapan antara sang hero dengan heroine di sebuah tempat yang ganjil? Ketika bikin review buat novel My Name Is Red(Orhan Pamuk) yang kali pertama saya ingat adalah paragraf pembukanya, yaitu mayat yang menceritakan kepada kita bagaimana dia dibunuh. Momen paling berkesan dari cerita di buku akan membawa kita ke hal-hal lain yang ingin kita tulis dalam review.


  • How does the book make you feel?
Karena saya cowok Cancer, apa-apa dibawa ke perasaan, termasuk kalau lagi baca buku. Jadi saat mereview pun saya mengingat-ingat, apa yang saya rasakan saat membaca buku ini? Buku-buku tertentu seperti novel-novelnya Haruki Murakami bikin saya tenggelam dalam melankoli dan detached dari dunia nyata. Novela The Hour of the Star (Clarice Lispector) bikin saya marah sama Tuhan, dan novela Bukan Pasarmalam(Pramoedya Ananta Toer) bikin saya terharu dan merasa kangen sama bapak. Saat membaca buku, kita bisa terbawa dengan emosi yang dituangkan atau dirancang oleh penulis buku tersebut. Bagaimana perasaanmu saat membaca buku itu? Jabarkan dengan rinci...


  • How does the book change the way you see the world?
Buku yang bagus dapat menggoyahkan bahkan mengubah caramu berpikir dan memandang dunia. 

Sebagai manusia, kita punya pemikiran dan konsep-konsep yang kita pegang saat memandang dunia dan kehidupan pada umumnya. Misalnya, kamu memandang bahwa dunia ini indah, sementara temanmu seorang yang selalu sinis sama dunia. Pemikiran ini terbentuk dari pengalaman hidup dan apa yang otak kita serap dari sekitar. Termasuk dari buku. Buku yang bagus dapat menggoyahkan bahkan mengubah caramu berpikir dan memandang dunia. Novela The Stranger(Albert Camus) mengubah cara saya memandang kehidupan dan kematian. Novel The Brothers Karamazov(Fyodor Dostoyevsky) memberi masukan yang sangat kuat terhadap cara saya melihat kebaikan, kejahatan, dan nasib manusia. Apakah buku yang kamu baca mengubah caramu berpikir? Tuliskan dampak semacam apa yang dimunculkan buku tersebut bagi konsep berpikir dan prinsip-prinsipmu.


  • Go outside of the book. Find more about the author.
Kalau buku yang saya baca bagus dan saya menyukainya, saya akan mencari informasi lain di luar buku. Yang pertama saya cari biasanya biodata penulisnya. Kedua, wawancara-wawancara tentang penulisnya. Saya sering dapat banyak hal dari melakukan ini, misalnya saya jadi tahu bagaimana Haruki Murakami menuliskan novel-novelnya dengan visi yang sangat abstrak dan tidak terencana, dan bahwa ternyata Orhan Pamuk orangnya sangat mekanis ketika merancang plot. Hal-hal trivial dari riwayat hidup penulis juga menarik dimasukkan ke review. Ketika baca novel Piramid(Ismail Kadare) dan nyari tahu tentang penulisnya, saya jadi dapat info bahwa buku ini ternyata pernah dilarang, dan naskahnya terpisah-pisah demi menghindari sensor sebelum dapat digabungkan kembali dan terbit jadi buku. Mencari tahu tentang sosok penulis juga bisa memberi kita pemahaman lebih dalam tentang apa yang dia tulis.

Kita menyukai sebuah buku karena kita merasa menemukan bagian dari diri kita sendiri di dalamnya. 

  • How do you relate to the book?
Kita menyukai sebuah buku karena kita merasa menemukan bagian dari diri kita sendiri di dalamnya. Buku-buku favorit kita biasanya mengonfirmasi apa yang sebenarnya sudah pernah atau sedang kita rasakan. Ketika baca novel-novelnya Haruki Murakami, saya merasa tokoh-tokohnya gue banget.Senang menyendiri, soliter, dan kadang-kadang clueless kalau menghadapi perempuan. Saya bisa merasa related sama bukunya karena apa yang tokoh-tokoh di buku itu pikirkan sama seperti apa yang saya pikirkan. Kalau kamu menemukan hal serupa ketika membaca buku, gambarkan apa yang membuatmu merasa buku itu gue banget. Mungkin orang lain juga merasakan hal sama denganmu.


Last but not least: Don't spoil anything!

Meskipun mungkin kadang-kadang saya keceplosan, tapi saya sebisa mungkin menghindar memberikan spoiler. Kecuali buku-buku klasik semacam The Brothers Karamazov, misalnya, saya merasa enggak masalah menyebut satu-dua hal kunci dalam ceritanya karena butuh untuk membahasnya, dan saya menganggap kalaupun saya ngasih spoiler, bukunya tetap layak dibaca dan enggak akan mengganggu pembacaan orang yang baru mau baca. Saya sangat berusaha enggak spoiler terutama buku-buku terbitan baru atau novel-novel tipis.

Membuat catatan tentang buku yang kita baca membantu kita memahami buku tersebut lebih dalam lagi.

Selamat membaca dan mencatat buku-buku yang kamu baca ya. Cheers!

5 Toko Buku Favorit Bara

$
0
0


Saya mengenal toko buku di usia 12 tahun. Waktu itu saya kelas satu SMP. Sebelumnya, saya enggak pernah tahu ada sebuah tempat yang di dalamnya berisi banyak sekali buku. Meski saya lahir di kota, saya tumbuh besar di desa. Di desa saya, Anjongan, terletak 73 kilometer dari kota Pontianak, Kalimantan Barat, enggak ada yang namanya toko buku. Saya memperoleh buku-buku pertama saya (yang hampir seluruhnya komik) dari pemberian teman-teman kantor ibu saya dan membeli di sebuah toko baju lelong di Siantan (bagaimana toko baju bisa menjual buku hingga sekarang pun saya masih heran dan kagum, mungkin kali lain saya akan bercerita khusus tentang ini). Satu-satunya tempat atau ruang berisi banyak buku yang pernah saya lihat selama di desa adalah mobil perpustakaan keliling milik pemerintah daerah dan, tentu saja, perpustakaan pribadi saya sendiri.

Saat berusia 12 tahun, saya melanjutkan SMP di kota (Pontianak) dan tinggal bersama nenek. Saya termasuk murid yang rajin dan patuh aturan, tapi sebagaimana anak-anak lain, saya pun enggak suci-suci amat dari "dosa". Suatu hari teman saya mengajak belet (bolos dalam bahasa Melayu Pontianak) dari jam pelajaran, dan kami pergi ke mal yang letaknya meski tidak dekat-dekat amat, bisa ditempuh dengan berjalan kaki. Di mal, teman saya asyik menghabiskan waktu di area permainan semacam Amazon. Namun, saya terhipnotis dengan sebuah ruangan berisi banyak buku. Banyak sekali. Buku-buku di dinding-dinding, di rak di lantai, dan di pilar-pilar. Itu Gramedia di Mal Matahari, toko buku pertama yang saya kunjungi seumur hidup saya (momen ini kemudian memperkuat keinginan lugu saya untuk menjadi penulis).

Namun, saya baru rajin pergi ke toko buku ketika kuliah di Yogyakarta, dan setelah lulus kuliah saya baru mengenal ada yang namanya toko buku impor, yakni toko buku yang menjual buku-buku yang didatangkan dari luar negeri, buku-buku berbahasa Inggris. Dua-tiga tahun belakangan, baru saya mengenal ada istilah toko buku jaringan dan toko buku independen, dan tentu saja toko buku daring (online). Macam-macam toko buku mengisi garis hidup saya, baik sebagai pembaca maupun penulis. Saya bahkan punya impian bisa jalan-jalan ke seluruh dunia hanya untuk pergi ke toko buku-toko buku di sana, dan tentu saja menuliskannya (semoga ada yang membaca tulisan ini dan berbaik hati membiayai saya memenuhi impian mulia ini).

Dari beragam toko buku yang pernah saya kunjungi, berikut lima toko buku favorit saya belakangan ini. Toko buku ini masuk ke dalam daftar saya untuk macam-macam alasan, yang akan saya jelaskan di masing-masing poinnya.


1. POST

Toko buku independen yang terletak di kawasan Pasar Santa, Jakarta, ini menjadi menarik karena dikelola oleh pasangan yang sangat mencintai buku. Mereka Maesy dan Teddy. Kali pertama saya mengetahui keberadaan POST melalui pemberitaan di media sosial tentang kebangkitan kembali Pasar Santa. Ketika hampir semua orang berbondong-bondong ke Pasar Santa karena jajanan-jajanan yang dijual di sana, saya tertarik dengan satu spot yang menjual buku. Tidak sulit untuk jatuh hati pada POST, karena selain mereka menjual buku-buku yang dikurasi secara ketat oleh pemiliknya sendiri, Maesy dan Teddy adalah orang-orang menyenangkan. Saya tidak pernah pergi ke POST tanpa merasa bahwa saya sedang mengunjungi rumah seorang teman. Mereka akan mengajakmu berbincang tentang buku, bertanya buku seperti apa yang kamu suka, dan merekomendasikan buku-buku yang menurut mereka menarik atau yang sesuai dengan selera kamu. Selain itu, POST juga secara rutin mengadakan acara-acara bertema buku, tulis-menulis, dan topik kreasi seni lainnya.

Lokasi: Lantai 2 Pasar Santa, Jakarta (bersebelahan dengan kedai Miechino)
Koleksi buku: Buku-buku Indonesia dari penerbit independen dan buku-buku impor
Nilai plus: Suasana nyaman, guyub. Bisa baca di tempat sambil ngopi dan makan mi ayam. Playlist lagu yang diputar enak. Selain Maesy dan Teddy, Nisa, penjaga POST, juga ramah dan bisa kamu ajak mengobrol tentang buku.





2. Kedai Jual Buku Sastra (JBS)

Terletak di bagian selatan Yogyakarta. Toko buku ini diawaki pasangan suami-istri pencinta buku. Mereka juga penyair. Mutia Sukma dan Indrian Koto punya koleksi banyak sekali buku-buku sastra Indonesia terbitan lama. Jika para pencinta buku di Yogyakarta sudah familier dengan toko buku seperti Social House Agency, maka Kedai JBS ini memiliki koleksi serupa. Kalau kamu berniat mencari buku-buku sastra terbitan Pustaka Jaya, Balai Pustaka, atau penerbit lain yang sudah lawas yang buku-bukunya tidak bisa kamu dapatkan di Gramedia, datanglah ke Kedai JBS. Bagi yang tidak tinggal di Yogyakarta, jangan khawatir, mereka melayani pembelian secara online dan mereka punya katalog: Jual Buku Sastra. Tinggal pilih dan pesan, praktis. Jadi kapan-kapan kalau main ke Jogja, selain beli Gudeg Yu Djum, jangan lupa main-main ke Kedai JBS. Lokasinya berdekatan.

Lokasi: Gang Semangat No. 150, Wijilan, Yogyakarta
Koleksi buku: Buku-buku Indonesia terbitan lama
Nilai plus: Koleksi buku sastra lawasnya lengkap





3. Toko Budi

Toko buku independen ini berkongsi tempat dengan penerbitan independen dan kedai kopi. Kalau belum familier dengan namanya, itu karena Toko Budi memang berusia muda. Anak-anak gaul Yogyakarta yang senang kopi dan buku mungkin lebih familier sama kafe Dongeng Kopi atau penerbit Indie Book Corner; Toko Budi berada di bawah atap yang sama dengan mereka. Buku-buku dari penerbit independen merupakan jualan utama mereka. Karena letaknya satu lokasi dengan kedai kopi, kamu bisa sekalian membaca buku yang baru kamu beli sembari menikmati secangkir kopi tubruk dan semangkuk kentang goreng.

Lokasi: Jalan Wahid Hasyim No. 3, Gorongan, Condong Catur, Yogyakarta
Koleksi buku: Buku-buku Indonesia dari penerbit independen
Nilai plus: Satu rumah dengan kedai kopi dan bersebelahan dengan warung burjo




4. Toga Mas

Mahasiswa di Yogyakarta pasti sudah akrab dengan toko buku yang memberi diskon seumur hidup kepada para pelanggannya ini. Ya, kamu enggak salah baca, Toga Mas memang menjual buku-bukunya dengan harga diskon, dan tidak hanya pada momen-momen tertentu, tetapi selamanya. Buku-buku koleksi pertama saya ketika berkuliah di Yogyakarta saya beli dari toko buku ini. Saya terutama mencari buku-buku puisi Indonesia di sini. Selain menjual buku-buku baru, mereka juga punya koleksi buku-buku sastra lama. Gedungnya berlantai dua, dan di lantai dua ada Djendelo Koffie, kafe yang pernah saya pakai sebagai latar cerita di novel pertama saya, Kata Hati.

Lokasi: Ada beberapa, tapi yang paling sering saya kunjungi di Jalan Gejayan
Koleksi buku: Buku-buku Indonesia baru dan lawas
Nilai plus: Harga bukunya selalu diskon



5. Kinokuniya

Saya enggak bisa memungkiri bahwa dua-tiga tahun belakangan saya lebih banyak membeli buku impor, dan di antara toko buku impor yang ada di Indonesia, saya paling sering belanja di Kinokuniya. Sesekali saya membeli buku di Periplus, Books & Beyond, dan Aksara. Namun, lebih banyak di Kinokuniya. Itu karena mereka punya koleksi yang lebih beragam, mulai dari buku-buku terbitan paling baru hingga novel-novel klasik. Kinokuniya favorit saya ada di Plaza Senayan, Jakarta. Kadang-kadang saya menemukan buku yang saya cari di Kinokuniya Grand Indonesia yang tidak ada di Plaza Senayan. Namun, saya lebih sering belanja di Kinokuniya PS.

Lokasi: Ada beberapa (Plaza Senayan, Grand Indonesia, Pondok Indah Mall)
Koleksi buku: Buku-buku impor
Nilai plus: Koleksi buku impor yang lengkap



-

Apa kalian punya toko buku favorit? Share di kolom komentar di bawah tulisan ini ya. Jangan lupa kasih tahu lokasinya secara rinci dan apa keunggulan toko buku tersebut sehingga jadi toko buku favorit kalian. Kali-kali aja pas saya main-main ke kotamu, saya jadi bisa berkunjung ke toko buku-toko buku yang kalian rekomendasikan. Have a great day!

(Catatan: Seluruh foto dari dokumentasi pribadi, kecuali foto-foto Kedai JBS yang saya ambil dari laman Facebooknya)

What Makes You Put Down a Book?

$
0
0



Belakangan ini saya sedang baca Other Colors: Essays and a Story, kumpulan esei Orhan Pamuk. Kebanyakan esei pendek, beberapa wawancara terpilih, baik tentang dirinya maupun buku-bukunya. Di salah satu eseinya, Pamuk sedikit menyinggung tentang apa yang membuatnya berhenti membaca buku. Meski di situ ia tidak secara khusus membahas hal tersebut, saya kira itu topik yang menarik.

Harus saya katakan bahwa saya tidak mudah berhenti membaca buku di tengah jalan. Saya tidak suka melakukannya. David Mitchell bilang, "A half-read book is a half-finished love affair."Saya tidak suka hal yang setengah selesai. Saya hampir selalu membaca cover to cover (sedikit pengecualian pada War and Peace dan The Satanic Verses). Saya mendapat kepuasan dari menyelesaikan sesuatu. Setiap akan membaca buku, saya terlebih dahulu mengira-ngira apakah saya bisa menyelesaikannya. Jika tidak, maka saya cari buku lain yang saya yakin bisa membacanya hingga selesai.

So, what makes me put down a book? Seperti saya bilang tadi. Jika saya sudah memutuskan membaca sebuah buku, maka 99,9% saya pasti akan menyelesaikannya. Namun, ada sisa 1% yang membuat saya bisa menutup buku sebelum selesai membacanya.

Berikut hal-hal yang bisa bikin saya berhenti membaca buku:


1. Logika cerita yang bolong

Sebetulnya, saya termasuk pembaca yang punya rasa toleransi besar terhadap buku yang sedang saya baca. Jika di tengah-tengah novel saya menemukan logika yang ganjil, saya enggak langsung berhenti membaca. Ingat bahwa setiap memutuskan membaca sebuah buku maka saya akan melakukan apapun demi merampungkannya. Saya akan bersabar dan berasumsi bahwa mungkin logika yang ganjil ini disengaja oleh penulisnya. Jangan lupa bahwa saya penikmat cerita-cerita sureal, fantasi, bahkan absurd, jadi saya sudah akrab dengan novel-novel yang memakai logika yang tidak umum. Namun, kadang-kadang penulisnya memang missed, dan ada logika yang kacau di novelnya. Kalau saya sudah enggak tahan lagi, saya akan menutup buku dan move on ke buku lain.

2. Timeline cerita yang membingungkan

Saya tidak bisa kasih contoh yang lebih baik untuk poin ini daripada The Satanic Verses. Novel Salman Rushdie yang kontroversial itu bikin saya cukup kelelahan membacanya. Bukan karena jelek, tetapi saya tidak mendapatkan kronologi cerita yang jelas. Transisi antarbagian pun sangat samar. Apalagi, Rushdie berpindah-pindah dari semesta realis ke surealis. Novel-novel tipe seperti ini harus sangat memperhatikan transisi antaradegan agar tidak menciptakan kebingungan dan kehilangan perhatian pembacanya; termasuk saya.

3. Bahasa yang kelewat rumit

Ini lebih sering terjadi di novel-novel berbahasa Inggris. Lagi-lagi saya enggak bisa mengelak dari memberi contoh The Satanic Verses. Bahasa Inggris Salman Rusdhie di novel ini rumit sekali. Saya enggak keberatan baca novel sambil buka kamus di ponsel, bahkan saya hampir selalu melakukannya jika memang ada kata-kata yang tidak saya mengerti. Namun, kalau saya harus buka kamus tiap baca satu kalimat, lama-lama capek juga.

4. Gaya bercerita yang sulit dinikmati

Saya percaya bahwa sebagai pembaca kita harus beradaptasi pada perkembangan gaya bercerita penulis. Artinya, jika ada novel yang penulisnya menggunakan gaya yang belum pernah kita lihat, bukan berarti kita harus menyalahkan si penulis atas gaya narasi yang aneh. Namun, apa boleh buat, kita kadang-kadang tidak bisa menghindar dari pengaruh selera. Saya teringat pada novelnya Toni Morrison, Beloved. Saya kesulitan membaca buku itu karena gaya menulis Morrison bagi saya terasa ganjil dan mengganggu. Tentu saja tidak berarti ini salah Morrison.

5. Tidak memberi saya pengetahuan baru

Kalau ini, saya enggak akan sampai menutup buku di tengah jalan. Paling jauh saya baca secara skimming.

-

Hal-hal yang saya jelaskan di atas tentu jadi catatan dan pengingat pribadi juga buat saya. Karena saya penulis, maka sebisa mungkin saya enggak menulis buku yang di dalamnya ada lima hal di atas. Jika kalian membaca buku saya dan menemukan hal-hal di atas, saya mohon maaf ya, he he he. Semoga saya bisa menulis lebih baik lagi di setiap buku yang saya terbitkan nantinya.

Nah, sekarang, bagaimana denganmu? What makes you put down a book?

5 Hal yang Saya Lakukan Supaya Dapat Ide Nulis

$
0
0


Tahu jawaban paling membosankan yang akan kamu terima setiap bertanya ke penulis dari mana mereka mendapatkan ide tulisan-tulisannya? Ya, benar. "Dari mana saja." Namun, ada alasan kenapa sesuatu menjadi klise, dan salah satunya adalah karena hal tersebut memang benar adanya.

Ide bisa datang dari mana saja. Cerita pendek, novel, dan caption Instagram saya yang galau-galau itu enggak saya ambil dari sebuah ruangan khusus yang di pintunya tertempel kertas putih bertuliskan ADA IDE DI SINI. Percikan-percikan ide buat menulis muncul di beragam tempat yang saya kunjungi dan momen-momen yang saya hadiri setiap hari. Kadang-kadang, ide-ide itu yang mengunjungi saya ketika saya enggak sedang memikirkan apapun untuk menulis.

Jadi, alih-alih menjelaskan datang dari mana ide menulis, saya lebih memilih untuk bercerita tentang momen-momen seperti apa yang biasanya membuat saya mendapatkan ide tulisan.

Berikut adalah lima momen yang paling sering memberi saya ide menulis:

1. Baca buku

Kalau lagi mentok sama tulisan yang sedang dikerjakan, atau benar-benar kehabisan ide, saya sangat menyarankan kamu untuk membaca buku. Buku fiksi maupun nonfiksi, bebas. Saya lebih sering baca novel atau kumpulan cerita karena menyukainya, dan karena saya sendiri lebih banyak menulis fiksi. Buku-buku nonfiksi saya baca dalam rangka riset. Membaca novel memberi saya sudut pandang penceritaan yang beragam dan tema-tema cerita yang sebelumnya tidak terpikirkan. Kalau kamu juga menulis fiksi, membaca novel akan memberimu referensi teknik menulis yang luas.

2. Nonton film

Sering nonton film di bioskop atau di laptop? Suka drama korea? Mestinya kamu enggak akan kekurangan ide. Film-film bagus, sama seperti buku-buku bagus, memberimu insight dan perspektif yang baru. Saya banyak belajar cara membentuk plot novel dan mengatur tempo cerita dari menonton film. Seperti kamu tahu, dibanding novel, film punya durasi yang lebih singkat sehingga film dituntut untuk sangat ketat dalam menjaga plot. Kamu juga bisa belajar cara merangkai dialog yang efektif dari percakapan-percakapan di film.

3. Ngobrol

Novel Cinta dengan Titik saya tulis dari curhatan seorang teman. Gagasan besar dalam cerita-cerita pendek di buku Metafora Padma saya tulis setelah mengobrol panjang dengan sahabat masa kecil tentang kekerasan horisontal antaretnis dan antaragama. Suatu hari, saya mengobrol via telepon dengan seorang teman lain tentang mengapa manusia harus mencintai orang yang salah terlebih dahulu sebelum bertemu orang yang tepat, dan ini memberi saya ide cerita. Gagasan-gagasan menarik muncul dari obrolan-obrolan dengan orang-orang yang juga memiliki pemikiran-pemikiran menarik.

4. Ngelamun

Jangan anggap remeh the power of daydreaming. Orang-orang yang senang melamun dan berkhayal punya daya imajinasi tinggi, dan cerita-cerita menarik lahir dari kemampuan kita berimajinasi, membayangkan sesuatu yang belum ada. Bagi kamu yang senang melamun, ini adalah kabar gembira: kamu punya modal baik untuk menjadi seorang pencerita. Tentu saja lamunanmu jangan berhenti hanya jadi lamunan. Ubah lamunan dan khayalanmu jadi sebuah gagasan tertulis, kemudian rangkai sebuah cerita.

5. Mengingat masa lalu

Sebagai seorang Cancer, sudah sifat alami saya untuk mengenang masa lalu. Itu sebabnya orang-orang Cancer kebanyakan susah move on. Eaak. Ini bukan hal yang buruk-buruk amat, terutama kalau kamu seorang penulis. Seseorang pernah berkata bahwa pada usia 25 tahun kamu sudah mendapatkan semua hal yang bisa kamu tuliskan. Ada benarnya, karena di usia tersebut kamu mengalami cukup banyak hal. Ingat-ingat lagi apa saja yang pernah kamu alami dalam hidupmu, dan cari sesuatu yang menarik dari sana. Takut dianggap curhat? Ah, biarin aja. Pada satu titik, setiap penulis itu sebenarnya lagi curhat kok. Lagipula saya enggak merasa curhat itu hal yang buruk. Yang lebih penting adalah gimana caranya mengemas curhatanmu jadi sesuatu yang menarik untuk dibaca dan orang-orang bisa merasa terkonek dengan apa yang kamu coba sampaikan.

Kamu pikir, buku-buku saya itu bukan curhatan?

-

Itu dia lima hal yang saya lakukan untuk mendapatkan ide menulis. Enggak ada yang unik, kan? Memang. Menulis itu bukan rahasia besar, kok. Gagasan-gagasan menarik juga bisa muncul dari pengalaman-pengalaman yang amat sepele. Bagi saya, yang paling penting adalah memperkuat ikatan dengan "Dunia Ide", dan caranya yaitu sering-sering melakukan kelima hal di atas. Tentu saja ini hanya beberapa dan ada hal-hal lain yang bisa kamu lakukan untuk dapetin ide. Misalnya dengan menulis cerita dari beberapa kata yang dipilih secara acak, atau menulis cerita dari sebuah potret, atau menulis cerita dari sebuah puisi. Macam-macam lah.

Asal niat dan intens terus memikirkan cerita, mengasah kepekaan pada hal-hal yang terjadi dalam hidupmu dan dunia sekitarmu, saya yakin selama kamu bernapas kamu enggak akan kekurangan ide menulis, karena ide cerita datang dari sumber terbesar cerita-cerita, yakni kehidupan itu sendiri. ***

Tiga Buku Indonesia Paling Saya Tunggu di 2017

$
0
0


Jika saya ditanya siapa penulis-penulis Indonesia yang paling saya sukai, saya akan jawab: teman-teman saya sendiri. Teman-teman yang saya maksud adalah penulis-penulis yang "seangkatan" dengan saya, baik itu umurnya maupun periode kepenulisannya. Ya, saya menyukai Eka Kurniawan, Yusi Avianto Pareanom, A. S. Laksana, dan Linda Christanty, tapi saya lebih suka teman-teman saya sendiri. Karena mereka yang sekarang ini bikin saya semangat baca buku-buku penulis Indonesia dan bikin saya merasa optimistis sama masa depan sastra Indonesia. Saya enggak merasa ini pernyataan atau ekspektasi yang berlebihan, karena saya benar-benar melihat kesegaran dan kebaruan dan semangat menawarkan gaya bercerita yang unik di dalam karya teman-teman saya ini.

Di tulisan ini saya pengin bercerita tentang tiga buku baru dari tiga penulis Indonesia yang saya anggap teman-teman saya untuk alasan tadi. Saya sangat menunggu karya mereka, dan akan segera membeli dan membaca bukunya ketika nanti sudah masuk di toko buku.

1. 24 Jam Bersama Gaspar (Sabda Armandio)

Saya kali pertama mengenal Dio kira-kira satu-dua tahun lalu, lewat Twitter. Seorang teman lain, Dea Anugrah, kerap ngeretweet cuitan Dio. Ocehan Dio absurd dan karena itu saya mengikutinya. Saya main-main ke blog Dio dan membaca cerita-cerita pendeknya di sana. Saya sangat menyukainya. Cerita-cerita pendek Dio absurd, sureal, dan menyenangkan. Ketika mengetahui bahwa ia menerbitkan novel perdananya, Kamu, saya enggak pikir panjang untuk langsung membelinya. Saya suka novel itu. Penuh keisengan sekaligus keseriusan. Absurd dan nyata sekaligus. Semenjak itu saya terus mengikuti perkembangan kepenulisan Dio. Kabar terakhir yang saya terima, Dio meraih penghargaan Sayembara Manuskrip Novel Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) 2016 lewat novelnya, 24 Jam Bersama Gaspar. Saya enggak sabar ingin membaca novel tersebut. Cuplikan-cuplikan adegan dan ilustrasi serta gambar sampul yang ditayangkan Dio di kanal-kanal medsosnya bikin saya makin penasaran dengan novel terbaru penulis muda absurd ini.

2. Semua Ikan di Langit (Ziggy Zezsyazeoviennazabrizkie)

Apa yang bikin saya tertarik dengan sosok penulis satu ini? Tentu saja namanya. Ya, karena namanya. Kali pertama saya mengetahui nama Ziggy Zezsyazeoviennazabrizkie yaitu ketika dia jadi salah satu pemenang Sayembara Novel Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) 2014 lewat naskah berjudul Di Tanah Lada. Ketika novel itu terbit, saya beli dan baca. Saya agak kesulitan menikmati ritme narasinya karena cerita dituturkan lewat protagonis seorang anak kecil. Saya belum selesai membaca buku itu. Karena masih tertarik dengan Ziggy, saya mencoba lagi membaca karyanya yang lain. Kali ini novel berjudul Jakarta Sebelum Pagi. Saya tertarik dengan blurb-nya. Saya bisa lebih menikmati novel ini. Namun, lagi-lagi saya enggak menyelesaikannya karena ada satu hal kecil yang mengganjal di salah satu adegannya dan saya belum sempat membuang ganjalan ini karena merasa harus bertanya langsung ke penulisnya. Jadi saya simpan lagi novel itu. Tetap, saya masih penasaran ingin membaca karya Ziggy sampai kelar. Ketika tahu ia jadi juara pertama Sayembara Manuskrip DKJ 2016 lewat naskah Semua Ikan di Langit, saya memutuskan untuk memasukkan novel Ziggy ke dalam daftar buku Indonesia paling saya tunggu tahun ini. Apalagi setelah membaca cuplikan novelnya di wawancara ini. Premisnya sangat menarik dan bikin penasaran.

3. Elegi (Dewi Kharisma Michellia)

Saya sudah mengenal Michelle sejak ia aktif di website forum penulis pemula Kemudian.com. Kami sama-sama pengguna di sana, dulu. Karya-karya awal Michelle yang saya baca adalah cerita-cerita pendeknya. Saya menyukai cerita-cerita pendek Michelle, karena dituturkan dengan sangat jernih dan itu membuatnya enak dibaca. Novel pertama Michelle, Surat Panjang tentang Jarak Kita yang Jutaan Tahun Cahaya, adalah novel yang unik karena menggunakan sudut pandang orang kedua dalam bentuk epistolari, yang sependek pengetahuan saya sebagai pembaca merupakan format narasi yang tidak banyak digunakan di novel-novel kontemporer. Saya menyukai novel itu untuk alasan tersebut. Cerita-cerita pendek Michelle yang kerap tayang di harian lokal maupun nasional sepertinya ia kumpulkan dalam buku terbarunya yang terbit tahun ini, Elegi. Saya enggak tahu apakah ada cerita-cerita pendek baru di sana atau ia mengumpulkan yang sudah pernah terbit di media. Namun, yang jelas, saya selalu menanti karya penulis satu ini. Salah satu cerita pendek Michelle yang saya suka berjudul Rindu. Narasi cerita-cerita Michelle yang pelan, teratur, dan bernuansa melankolis, dengan mudah merasuk ke dalam benak saya ketika membacanya.

-

Itu dia tiga buku dari penulis Indonesia yang paling saya tunggu di tahun 2017. Tiga buku ini juga yang saya rekomendasikan kepada kalian. Saya ingin kalian memastikan bahwa jatah belanja buku kalian tahun ini kalian pakai untuk membeli 24 Jam Bersama Gaspar, Semua Ikan di Langit, dan Elegi.


Viewing all 402 articles
Browse latest View live