1
Dari daftar tujuh dosa besar, rasa iri adalah dosa yang seperti mendarah-daging di dalam diri saya. Saya gampang merasa iri dengan hal-hal yang menurut saya keren. Saya iri pada orang-orang yang bisa menyanyi, melukis, bermain musik, dan jago sepakbola. Saya iri pada orang-orang yang memiliki kemampuan yang tidak saya miliki. Lebih parah lagi, saya masih merasa iri pada orang-orang yang punya ketertarikan sama dengan saya. Misalnya orang-orang yang senang baca buku dan menulis. Saya iri pada teman-teman saya yang bacaannya lebih bagus dan menulis lebih baik.
Untungnya, rasa iri itu jarang menghancurkan saya. Alih-alih, justru membuat saya ingin melakukan apa yang mereka lakukan. Dalam hal ini membaca buku-buku bagus. Sebenarnya baru tiga tahun belakangan saya mulai membaca “buku-buku bagus” (mari tidak berdebat sekarang tentang bagus, kapan-kapan saja lah kalau kita bertemu langsung). Terhitung terlambat kalau dibandingkan teman-teman saya yang sudah membaca buku-buku bagus sejak zaman kuliah.
Ketika pertama mengetahui keberadaan buku-buku bagus, jujur saja, ada sejenis perasaan ingin mengejar ketertinggalan. Saya membuat daftar buku yang ingin dan harus saya baca. Semacam pekerjaan rumah yang harus saya selesaikan. Iri pada teman-teman yang memulai lebih dulu petualangan mereka, saya bertekad menyusul, memangkas jarak, hanya sampai saya menyadari bahwa sebenarnya tidak pernah ada kompetisi dalam membaca.
Demi mengejar ketertinggalan itu, saya mewajibkan diri sendiri untuk membaca setiap hari. Saya membuat kurikulum sepanjang satu tahun. Saya memberi tugas kepada diri sendiri. Namun, bukan berarti saya jadi tidak menikmati kegiatan membaca. Saya tetap menikmatinya, dan sesekali saya melenceng dari program atau jadwal membaca yang sudah ditetapkan. Misalnya ketika ada buku terbitan baru yang lebih menarik ketimbang melanjutkan membaca War and Peace.
2
Penyakit iri berikutnya adalah iri kepada mereka yang sering jalan-jalan ke luar negeri. Saya sangat ingin jalan-jalan ke luar negeri, tapi apa boleh buat, duit saya sudah disiapkan dan ditabung untuk hal lain yang menurut saya lebih penting. Jadi saya baca buku saja. Meskipun belum bisa melihat Istanbul secara langsung, saya cukup senang membaca memoar Orhan Pamuk, Istanbul, dan jalan-jalan ke sudut-sudut kota tersebut yang, menurut kacamata Pamuk, dipenuhi melankolia.
Dari Istanbul, saya terbang ke Tel Aviv. Melalui cerita-cerita Etgar Keret di buku-bukunya: The Bus Driver Who Wanted to be God, Suddenly A Knock on the Door, The Nimrod Flip Out, Missing Kissinger, dan The Seven Good Years,saya melihat dua laki-laki menodongkan pistol ke seorang penulis di apartemennya dan bom meledak di badan jalan di sekitar Ramat Gan; sepasang suami istri menelungkup di tepi pedestrian, menjepit anak laki-laki mereka yang bersorak sorai “Aku suka pastrami! Pastrami sangat hebat!”
Merasa cukup dengan Israel, saya terbang sejauh 3.500 kilometer menuju Rusia. Di sana, saya bertemu tiga bersaudara Karamazov. Alyosha atau Alexey, Dmitri, dan Ivan. Ketika saya bertanya ke salah satu dari mereka, Dmitri menjawab bahwa mereka sedang rusuh dengan sang ayah, Fyodor Karamazov, perkara harta warisan dan macam-macam. Baiklah. Hal terakhir yang ingin saya lakukan di Rusia adalah mengobrol dengan seseorang yang lagi mabuk dan marah. Meski saya tertarik berbincang-bincang dengan Ivan. Tapi sedari tadi dia diam saja dan tampak tidak berminat pada apapun.
Saya tinggalkan The Brothers Karamazovdan Fyodor Dostoyevsky. Rugi sekali rasanya kalau tidak mengobrol dengan siapapun di Rusia. Jadi, saya mencoba menemui Anton Chekhov di sebuah rumah sakit jiwa. Ternyata dia sedang asyik berbalas-balasan argumen dengan seseorang di Ruang Inap No. 6.Saya nguping saja karena tidak ingin mengganggu. Chekhov memberi Pengakuanpada orang itu dan sebaliknya juga. Ah, orang-orang Rusia terlalu serius. Saya jadi kangen ketemu Keret.
Merasa ingin mendengar sesuatu yang lucu, saya mengingat-ingat pesan seorang teman. Katanya, ada pelawak yang sangat kocak di Amerika. Namanya Vonnegut. Kurt Vonnegut. Dari Eropa saya menyeberang ke Amerika. Namun, sial betul, di langit pesawat yang saya tumpangi terkena Gempa Waktu. Saya jadi harus balik ke Rusia dan membeli tiket pesawat lagi dan check-in lagi dan naik pesawat yang sama lagi untuk kali kedua. Untungnya, sesampainya di Amerika, Tuan Vonnegut sendiri yang menjemput saya di bandara. Bukannya ngajak makan atau nawarin ngopi, dia malah mainan karet gelang di depan saya dan bertanya: Do you know why this is called Cat’s Cradle? Although, there’s no damn cat, and there’s no damn cradle.
Ah, embuh lah.
Saya langsung males dan beli tiket lagi untuk pergi dari Amerika. Ke mana ya? Sepertinya saya pengin ke India. Dulu waktu SMA saya sering nonton Bollywood, sampai naksir berat dengan Kajol dan Rani Mukerji. Jadi saya membuat janji temu dengan seorang perempuan. Namanya Jhumpa Lahiri. Meski dia mengaku dirinya orang Amerika, tapi tetap saja dia tidak bisa melepaskan hal-hal tentang India dari dirinya. Kami mengobrol cukup panjang. Dia orang yang melankolis dan serius, tapi juga menyenangkan. Saya bertanya tentang kabar Pak Kapasi. Apakah dia masih jadi pemandu wisata dan penerjemah? Ia tersenyum, berkata bahwa nanti Pak Kapasi yang akan mengantar kami berkeliling.
Celotehan Lahiri tentangInterpreter of Maladies membuat saya terhanyut, tapi saya harus lekas beranjak. Masih banyak tempat yang ingin saya kunjungi. Kami berpisah dan berjanji untuk bertemu kembali kelak.
Karena kebanyakan minum, saya kebelet. Saya masuk ke toilet bandara. Tiba-tiba seorang laki-laki yang sedang kencing di sebelah saya berbicara. “Gimana India, enak? Tempat ini kayak kandang ayam, kau tahu gak. Semua orang ingin bebas. Aku ingin bebas.” Saya tanya dia siapa. “Aravind Adiga, itu nama saya.” jawabnya sembari menaikkan risleting celana. Kami tidak bersalaman tentu saja. Saya tersenyum kepadanya. Ketika kami sama-sama mencuci tangan di wastafel, saya melirik ke pantulan wajahnya di cermin. Alih-alih menemukan wajahnya, di cermin muncul kepala harimau putih. “Gimana, kau suka The White Tiger?” kata harimau dengan jas itu. “Sangat suka,” jawab saya. Dia nyengir puas dan keluar dari toilet.
Saya memasang headphone dan mendengar lagu-lagunya Blackpink. Saya sudah memutuskan, saya akan ke Korea. Tiba di bandara Incheon, saya naik taksi dan minta diantar ke Institut Seni Seoul. Di sana, saya bertemu Han Kang yang baru saja selesai mengajar. Dia tersenyum ramah sekali. Iseng-iseng saya tanya, sudah berapa lama dia jadi vegetarian? “Belum lama, kok,” katanya. Dia tertawa rendah campur malu-malu ketika saya membahas tentang The Vegetarian yang menang penghargaan internasional. “Tapi aku tetap makan daging sedikit, demi alasan kesehatan,” ujar Kang. Buat saya, ia sosok yang menyenangkan dan misterius.
“Kamu pernah ke Brazil, enggak?” saya tanya Kang. Ia menggeleng. Saya bilang saya akan ke Brazil. Korea pernah bikin sulit Brazil di piala dunia. Semenjak itu saya menyimpan ketertarikan pada Korea. Kang mengaku dia enggak mengikuti perkembangan sepakbola. Saya tersenyum maklum.
Dari Korea Selatan, saya terbang ke Brazil-17.000 kilometer. Nyaris seharian penuh di pesawat bikin pantat saya pegal. Tidak pakai basa-basi, saya diajak jalan-jalan Clarice Lispector ke sudut-sudut suburban Brazil. “Omong-omong,” saya tiba-tiba penasaran, “anda sudah wafat, kan?” Lispector terbahak. Sembari mengembuskan asap rokok, ia berkata: “Apa aku tampak mati bagimu?” Saya mengamati wajahnya, rahangnya yang tegas, dan bibirnya yang mengerucut. “Anda cantik sekali,” kata saya tanpa sadar. Ia terbahak sekali lagi. Setelahnya, ia bercerita tentang Macabéa, gadis kecil dalam The Hour of the Star.
“Kenapa novel itu baru terbit setelah Anda wafat?” tanya saya. Lispector kembali mengisap rokoknya. Ia tidak menjawab, hanya menerawang, seperti mengenang
Macabéa. Pelan-pelan, tubuh Lispector memudar, kemudian menjadi debu dan lenyap bersama angin. Saya pergi dari tempat itu, samar-samar mendengar suara seorang gadis yang memanggil, tapi tidak saya hiraukan.
Karena jaraknya dekat, saya memutuskan mampir di Argentina sebentar. Hanya dua jam dari Sao Paolo. Menurut kabar angin, pelukis bernama Juan Pablo Castel sedang mengadakan pameran di sana. Namun, ketika saya tiba di lokasi pameran saya tidak menemukan Castel. Kata petugas pameran, Castel tiba-tiba saja pergi mengejar seorang perempuan. Padahal saya pengin curhat sama dia, karena setelah membaca The Tunnel, saya merasa kami sama-sama insecure dan suka overthinking, terutama kalau lagi jatuh cinta. Saya juga gagal bertemu Ernesto Sabato. Mungkin dia sedang merokok bareng Clarice Lispector di surga.
“Kayaknya saya main ke Rumah Kertas saja, deh,” saya pikir. Benar saja, Carlos Maria Domínguez sedang di sana sama Prof. Bluma Lennon. Saya spontan ngikik. Mereka sedang membahas bagaimana rencana kematian Bluma Lennon (saya melihat Bluma Lennon menggenggam buku puisi Emily Dickinson). Kayaknya mereka sedang seru-serunya, dan saya paling enggak enak kalau mengganggu percakapan orang. Saya pamit tanpa menyapa mereka.
Naik taksi lagi, saya buka-buka ponsel dan membaca berita. Ada satu yang lagi heboh: pembangunan Piramid baru di Mesir. Konon, piramida baru ini akan menjadi yang tertinggi yang pernah dibuat. Ketika berita dilansir, sudah muncul desas-desus pembangunan tersebut memakan banyak korban jiwa. Saya ke sana untuk melihatnya langsung. Benar saja, Firaun Cheops, yang tadinya tidak ingin membangun piramida lagi, malah mendadak jadi ambisius. Ismail Kadare kali ini jadi pemandu saya. Dia bicara panjang-lebar tentang dampak buruk apa yang terjadi terhadap warga Mesir saat ini.
Sekelompok pasukan Firaun Cheops mendadak muncul dan mengejar saya dan Kadare. Mungkin kami dikira mata-mata atau anggota pemberontak. Kami kabur. Saya berpamitan sekadarnya pada Kadare dan buru-buru terbang ke tempat lain. Kali ini tujuan saya Inggris dan saya tidak hanya menemui satu orang, melainkan tiga sekaligus. Karen Armstrong sang teis-lepas, Richard Dawkins sang ateis, dan Richard Lloyd Parry si jurnalis.
Saya tanya pendapat mereka tentang Cheops, dan Armstrong mulai mendongeng tentang Sejarah Tuhan. Tentu saja diinterupsi berkali-kali oleh Richard Dawkins, seakan tidak sabar ingin bilang kalau Tuhan itu hanya delusi. “Kau baca The God Delusion, kan? Bukuku itu?” Dawkins tiba-tiba menoleh ke saya. Saya mengangguk. “Sekarang kau masih percaya Tuhan?” Namun, sebelum sempat saya menjawab, Richard Lloyd Parry sudah mengajak saya bicara hal lain. Mungkin karena melihat wajah saya seperti orang Indonesia yang pernah ia temui di Kalimantan Barat tahun 1997, ia bertanya apakah saya mengalami kerusuhan antaretnis seperti ia laporkan di bukunya Zaman Edan. “Tidak,” saya bilang. “Saya tidak mengalami langsung, tapi desa tempat saya tinggal terkena imbasnya.”
Richard Parry tampak tertarik. “Kalo Irak, kau mengikuti kabar dari sana tidak?” Saya menggeleng. Saya tahu sedikit hal tentang Irak tapi tidak pernah mengikuti berita tentang tempat itu. “Aku kasih kontak seseorang di sana, kau harus temui dia segera, dia punya banyak cerita menarik buatmu.” Ia lantas meminta ponsel saya dan mengetikkan sebuah nama. Saya membacanya. Hassan Blasim.
Keesokan harinya saya berangkat ke Irak. Saya dijemput sopir yang dipesan oleh Blasim. Kami berkirim pesan di malam saat saya bersama trio Inggris. “Datang ke tempatku, ya, kami sedang bikin pameran mayat,” katanya di telepon. “Pameran apa?” tanya saya, tidak yakin. Dia berkata sampai jumpa dan menutup telepon. Setiba di lokasi saya melihat sekelompok orang yang saya kira teroris sedang semacam melakukan penyuluhan tentang bagaimana menyusun mayat-mayat di tengah kota. “Ingat, kita bukan teroris,” kata sang komandan, “kita bekerja dengan seni, kita membuat seni.” Saya melihat spanduk di dekat pintu masuk: The Corpse Exhibition and Other Stories of Iraq.
Saya mual dan tidak kuat berlama-lama di sana. Segera saya pamit ke Blasim dan berdoa semoga warga Irak baik-baik saja dan dia baik-baik saja. Dia berterima kasih dan berniat mengantar saya ke bandara, tapi terpaksa mengurungkan niat karena dipanggil teman-temannya yang mengajaknya bermain menghilangkan pisau. “Sampai ketemu lagi, ya!” katanya. Saya mengangguk dan pergi.
Rasanya cukup dengan hal-hal yang bikin kepala pusing. Saya pengin curhat soal cinta. Tadi enggak sempat ketemu Juan Pablo Castel yang lagi nguber cewek. Jadi saya kembali ke Amerika dan bertemu dengan Raymond Carver di sebuah kafe. “What We Talk About When We Talk About Love,” katanya, “is that love doesn’t try to kill people.” Saya angguk-angguk. Carver menawari saya segelas wiski, tapi saya bilang saya enggak minum. Dia agak kecewa, tapi sesaat kemudian kembali bicara tentang cinta. “I just wouldn’t call Ed’s behaviour love, you know. That’s all I’m saying.” Carver mengetukkan puntung rokoknya ke pinggir asbak.“What about you?”
Saya mengangkat bahu. “Mungkin Ed punya alasan sendiri,” kata saya asal saja. “Tapi, kau tahulah, aku masih muda, enggak tahu apa-apa tentang cinta.” Carver tertawa rendah dan kembali meneguk wiski. “Kau, kan, penulis novel romance. Masa enggak tahu apa-apa tentang cinta?” Sekali lagi, saya mengangkat bahu. Beberapa saat kemudian Carver melihat jam tangannya, lalu berkata bahwa ia harus menemui Ed. Saya mengangguk. Kami bersalaman dan ia pun pergi.
Karena capek, saya memilih untuk berdiam di tempat itu. Kebetulan saya duduk menghadap pintu kafe. Tidak lama, saya melihat seorang laki-laki tua kurus dan berkumis membuka pintu, berjalan masuk. Saya sempat mengira dia Dali, tapi bukan. Ia celingak-celinguk sebentar sebelum akhirnya menghampiri meja saya dan duduk di kursi yang ditinggalkan Carver. Ia menyalakan rokok dan bicara. “Just like heaven. Ever’body wants a little piece of lan’. I read plenty books out here. Nobody never gets to heaven, and nobody gets no land. It’s just in their head.”
“Pak Steinbeck,” saya menyalaminya. “Saya turut berduka atas Lennie. Of Mice and Men bikin saya nangis.”
John Steinbeck menggeleng. Ia beranjak dari kursi dan pergi.
Samar-samar saya mendengar suara perempuan mengalun dari pelantang yang terpasang di sudut-sudut langit-langit kafe. Saya tahu lagu ini, Kokoro No Tomo. Aneh juga dengerin lagu Jepang diputar di kafe Amerika. Tapi ini, kan, perjalanan saya. Saya jadi pengin main ke Jepang. Mungkin tidak untuk bertemu dengan Haruki Murakami karena dia pasti tidak mau ditemui.
Saya pengin ketemu sama Yasunari Kawabata. Setiap baca cerita-ceritanya saya pasti jadi mellow. Saya membeli tiket ke Jepang dan bertemu Kawabata di Osaka. Ia mengajak saya jalan-jalan melintasi sebuah jembatan. “Di sini pemuda angkuh dan gengsian itu kehilangan topinya.” Saya mengenang. Kawabata tertawa rileks. “Kenapa orang-orang di dalam cerita-cerita Anda fatalis semua?” Saya bertanya. “Nasib manusia seperti garis di telapak tangan,” jawabnya, “pendek dan tak bisa diubah.” Saya mengangguk saja. “Seratus empat puluh lebih Cerita-cerita Telapak Tangan, berapa yang sudah kamu baca?” Saya bilang hanya baca separuhnya. Ia mengangguk pelan. Saya berdiam mengamati pohon-pohon di dekat kuil. Ketika menoleh lagi, Kawabata sudah tiada, terbang bersama kelopak-kelopak sakura.
Di langit, saya lihat Ifreet melayang-layang dengan dua jin lain. Barangkali kaki-tangannya. “Kalian mau ke mana?” Saya berteriak. Ifreet berkata bahwa dia mau menemui Salman Rushdie dan menyuruhnya menulis ulang seribu satu malam. “Ditulis ulang jadi kayak gimana?” Saya bertanya lagi. Ifreet mendengus. “Apa kek, diubah jadi Two Years Eight Months and Twenty-eight Nights gitu.” Saya ngikik. “Itu, kan, cuma diganti penyebutannya.” Ifreet terlihat jengkel. “Eh, boleh nebeng gak? Aku juga pengin ketemu Pak Rushdie.” Ia melengos dan menyuruh kaki-tangannya membawa saya. Kami terbang ke New York. Setibanya di sana, Salman Rushdie sedang tertawa-tawa dengan seorang perempuan cantik. Saya kira dia Dunia. Baru saja saya mau menyapa, tiba-tiba mereka berdua lenyap.
“Ke mana mereka?” tanya saya. Ifreet berdecak. “Paling nyamperin Ibn Rushd di alam barzah. Si filsuf sinting itu.”
Mumpung dapat tumpangan jin, saya meminta Ifreet menyuruh kaki-tangannya mengantarkan saya ke Lanzarote. “Lanza apaan?” Ifreet mengernyit. “Lanzarote, kalau enggak salah di Spanyol.” “Mau ngapain kau ke sana? Mending ikutan kami ke dunia jin, kita mabok-mabokan cewek-cewek cakep.” “Cewek cakepnya jin juga?” Saya bertanya dengan bodohnya. “Ya, iyalah.” Saya menolak dan bilang terima kasih, mungkin lain kali.
Saya terbang ke kepulauan Canary dan bertemu seorang laki-laki yang sedang berlibur. Sepanjang pertemuan kami dia mengomeli kelakuan turis. “Kenapa kau memilih Lanzarote buat liburan?” Saya bertanya. Dia bilang dia memilih asal saja dan petugas travel tempat ia membeli tiket menawarkan Lanzarote. Lantas, saya memintanya menemani saya ke Meksiko. “Sayang sekali, aku harus segera balik ke Perancis. Tapi kapan-kapan kalau ada waktu berlibur kita bisa ketemu lagi. Ini kartu namaku.” Namanya tercantum di sana dengan lengkap. Michel Houellebecq.
Dari Lanzarote saya ke Meksiko dan bertamu ke rumah gembong narkoba. Tapi alih-alih bertemu dengan sang gembong, saya disambut seorang anak kecil. “Aku Tochtli. Kau siapa?” Saya memperkenalkan diri. Tochtli memberi saya sebuah topi detektif, seperti yang dipakai Sherlock Holmes. Sebagai tanda persahabatan, katanya. Saya membuka koper dan memberinya topi caping. Dia girang sekali, dan membawa saya masuk ke rumahnya. “Papa sibuk dan aku enggak dibolehin keluar rumah, jadi tiap hari aku main di rumah.” Saya bertanya apa bagian paling menarik di rumahnya. “Down the Rabbit Hole,” Tochtli menjawab, “ada banyak senapan dan granat punya papa. Papa dapat dari temannya, Om Pablo.” Apakah Pablo yang ia maksud Juan Pablo Villalobos, saya tanya lagi. Tochtli mengangguk cepat.
Tochtli mengajak saya berburu pygmy hippopotamus di Liberia, Afrika. Saya berkata kepada Tochtli bahwa saya sangat ingin bermain dengannya, tapi karena sebentar lagi malam tahun baru, saya harus segera pulang ke Indonesia bertemu beberapa teman lain. Tochtli tampak sedih tapi segera tersenyum kembali ketika saya berjanji akan kembali ke Meksiko kelak. “Bener, ya. Awas kalau kau enggak datang, menunggu itu devastating banget lho,” katanya. Saya tersenyum simpul dan mengacak-acak rambutnya.
3
Saya tiba di kamar kos dan secara spontan mengecek saldo tabungan melalui m-banking di ponsel. Tidak ada yang berubah. Tentu saja, karena saya tidak pernah membeli tiket pesawat untuk pergi ke Turki, Israel, Brazil, Amerika, Inggris, dan India dan negara-negara lain. Saya hanya punya buku. Buku-buku itu tiket saya jalan-jalan keliling dunia, dan perjalanan saya bermula dari sebuah dosa besar.