Quantcast
Channel: Bernard Batubara
Viewing all 402 articles
Browse latest View live

Rio Johan: Aku Ingin Melihat Sejauh Mana Aku Bisa Terus Menulis

$
0
0

Seorang pecandu gim konsol yang menemukan jalan kepenulisannya
lewat sejarah dari dunia-dunia jauh.





Tatkala tulisan ini dibuat, ia berusia 26 tahun. Demi umurnya itu dan hobi menulisnya, ia disebut sebagai penulis muda. Tetapi, kiranya bukan label umum semacam itu yang tepat disematkan pada laki-laki ini-penulis muda-melainkan sesuatu yang lebih spesifik. Lantas, apa? Mari kita lihat: ia menonton film-film cult yang tak banyak diketahui orang, menghabiskan waktunya bermain gim konsol yang jarang sekali, jika tak pernah, jadi bahan inspirasi bagi seorang penulis, dan menuliskan cerita tentang komunitas penyedia layanan aksi erotis bondage-discipline-sadism-masochism di suatu belahan dunia antah-berantah.

Saya menimbang-nimbang, mencari satu label spesifik itu, dan setelah ketemu langsung mengutarakannya kepada yang bersangkutan.

“Kau penulis aneh,” kata saya. Balasan yang saya peroleh hanya suara tawa dan raut memaklumi, seakan-akan ia sudah sering mendapat tudingan serupa.

Rabu, 28 Mei 2016. Saya sedang duduk di sebuah kafe di pusat kota Yogyakarta, berhadap-hadapan dengan laptop dan layar setengah kosong, berusaha keras menyelesaikan satu tulisan yang sudah saya rencanakan rampung hari itu. Saya mendelik ke ponsel yang tergeletak di dekat gelas plastik berisi kopi, yang sudah tandas, dan melihat waktu menunjukkan pukul empat lebih lima belas menit. Gawat. Saya harusnya sudah berada di tempat lain menemui seseorang. Segera saya ambil ponsel dan mengirim pesan teks.

“Saya minta waktu sekira setengah jam untuk menyelesaikan tulisan, nggak apa-apa?” dan tidak lama balasannya datang dalam kalimat yang santai. Saya mengirim satu pesan lagi. “Maaf ya, Rio. Terima kasih. Kita bertemu pukul lima."

Tiga puluh menit kemudian tulisan saya belum kelar, tapi tak mungkin mengulur waktu lagi. Bersepeda motor saya meluncur ke Dongeng Kopi-kedai kopi cum toko buku di utara pusat kota Yogyakarta-untuk menemui penulis aneh itu.

Rio Johan lahir 28 Agustus 1990 di Baturaja, Sumatera Selatan. Tatkala menjadi mahasiswa, ia pindah ke Solo, menyewa satu kamar indekos tidak jauh dari tempatnya berkuliah, Fakultas Teknik di Universitas Sebelas Maret. Jurusan yang ia ambil: Teknik Kimia. Ia juga memulai karir menulisnya di sana. Beres kuliah ia terbang ke Kalimantan Barat demi bekerja di perusahaan kelapa sawit. Tidak betah, ia kembali ke pulau Jawa dan tinggal di Yogyakarta sembari mencari pekerjaan baru. Kendatipun ia telah menginjakkan kaki ke tiga pulau besar di negerinya Indonesia, kita akan tahu, ia justru mengambil sumber inspirasi cerita-ceritanya dari pulau-pulau yang sangat jauh, yang belum pernah ia kunjungi. “Aku dianggap enggak membumi karena cerita-ceritaku enggak ada unsur lokalitasnya,” curhat Rio.

Petang hingga malam itu, saya mengobrol dengan Rio yang tiba lebih awal di Dongengkopi. Ia berpakaian santai: kaus biru toska berkerah V, jin biru, dan sneakers. Sebuah gelang bermotif warna pelangi melingkar di pergelangan tangan kirinya. Rambutnya hitam tipis berponi seperti bintang film Korea, dan mungkin karena hobi berolahraga di gym atau memang bawaan sedari lahir, posturnya ramping minim lemak berlebih. Selama tak kurang dari satu jam, saya melontarinya dengan pertanyaan-pertanyaan yang, seperti sudah saya duga, dijawab singkat-singkat. Dari parasnya, Rio memang terlihat seperti orang yang tidak begitu suka bicara banyak. Tetapi cerita-ceritanya, tentu saja, menampilkan kesan sebaliknya. Terbukti dari penghargaan Tokoh Seni Pilihan Majalah Tempo untuk kategori penulis fiksi yang dinobatkan pada dirinya sekira tahun 2014, itu ganjaran bagi cerita-ceritanya dalam buku debut Aksara Amananunna.



Aksara Amananunna itu buku pertamamu, atau sebelumnya sudah ada?

Iya, itu buku pertamaku. Tapi beberapa cerita pendekku sudah pernah dimuat di surat kabar. Ada dua pernah di Suara Merdeka, tapi cuma satu dari dua itu yang dimasukkan ke Aksara Amananunna.

Dalam kesusastraan modern Indonesia, tema-tema ceritamu termasuk jenis yang jarang diangkat. Datang dari mana sebenarnya dunia distopia dan unsur fiksi ilmiah dalam bukumu itu?

Aku memang senang membaca cerita-cerita fiksi ilmiah. Selain itu, aku juga suka membaca sejarah Mesopotamia, Inggris kuno, dan Mesir kuno. Aku menulis apa yang aku suka, dan aku mengambil tema tulisanku dari apa-apa yang aku suka.

Cerita “Ginekopolis” tentang dunia di bawah kuasa perempuan. Dapat ide dari mana?

(Tertawa sebentar) Itu pikiran iseng saja, sih. Aku membayangkan bagaimana kalau dunia ini dikuasai oleh seluruhnya perempuan. Lama-kelamaan bayangan itu menjadi ide yang terus berkembang, dan aku mengambil latar dunia distopia untuk membungkusnya.

Buku fiksi ilmiah apa yang paling kamu suka?

Untuk saat ini aku sedang suka Cyberiad (Stanisław Lem), dan Cosmicomics (Italo Calvino). Menurutku kedua buku itu memberi cerita fiksi ilmiah yang inovatif. Ada humor, ironi, dan unsur-unsur ilmiah di dalam cerita-cerita mereka tidak muncul sebagai tempelan, tetapi benar-benar berpadu dengan cerita. Di Cyberiad misalnya, Lem membuat dua tokoh utama yang sedang berusaha membuktikan keberadaan naga, dan demi melakukan itu mereka menggunakan teori-teori termodinamika. Sekilas memang kelihatan rumit, tapi Lem membuatnya terasa seperti bermain-main dan ada bagian konyolnya.

Memain-mainkan sains dengan humor yang asyik, buatku itu seru.

Aku juga suka buku-buku Victor Pelevin, kumpulan cerita A Werewolf Problemin Central Russia (1998) dan novel Omon Ra (1992). Ada satu ceritanya yang sangat aku suka karena ditulis dengan cara seperti petunjuk bermain gim, dan ceritanya pun tentang gim video.

Rio Johan di acara diskusi buku Raden Mandasia Si Pencuri Daging Sapi Yusi Avianto Pareanom di Kafe Dongengkopi, Indie Book Corner, Yogyakarta. Rio mengaku tidak begitu banyak membaca karya penulis Indonesia era klasik.


Bagaimana mulanya kamu tertarik dengan dunia fiksi ilmiah?

Mungkin karena sejak bersekolah pikiranku sudah tercetak dengan mindset yang ilmiah. Aku anak IPA. Tapi, seperti aku bilang tadi, aku juga tertarik pada sejarah Mesopotamia dan Mesir kuno.

Bahkan, kayaknya aku lebih paham mitologi Yunani ketimbang Mahabarata.

Kalau soal mitologi Yunani, aku menyukainya gara-gara main gim. Cerita-cerita dalam gim yang aku mainkan banyak bersumber dari sana. Sayangnya enggak ada Gatotkaca di cerita-cerita gim itu, kalau ada mungkin aku bisa lebih menyukai sejarahnya ketimbang mitologi Yunani.

Gim apa yang bikin kamu kepikiran buat menulis?

Cerita “Ketika Mubi Bermimpi Menjadi Tuhan yang Melayang di Angkasa” dalam kumpulan Aksara Amananunna itu inspirasinya dari Valkryie Profile, aku teringat satu adegan ketika karakter di gim itu terbang mencari pasukan buat Ragnarok, lantas aku menulis cerita Mubi.

Omong-omong, kamu main Valkryie Profile?

Iya, aku main. Konsol paling lawas apa yang pernah kamu mainkan?

PlayStation1. Tapi, aku juga sempat icip-icip Nintendo.

Genre gim favorit?

RPG--Role Playing Game--dan favoritku adalah Suikoden.

Main Legend of the Dragoon nggak?

Yang semua karakternya pakai jubah perang bersayap dan gimnya sampai empat disc itu? Main.

Kenapa suka RPG?

Aku akan menjawabnya begini: Suatu kali aku membaca salah satu kritik film dari Roger Ebert, dia bilang gim bukanlah seni. Aku pikir Roger Ebert perlu main gim-gim RPG untuk membuktikan keabsahan komentar itu.

Di dalam gim-gim RPG ada cerita, visual, drama, karakter, yang unsur-unsur itu semuanya bisa diaplikasikan ke seni, dan juga sebenarnya adalah elemen suatu bentuk seni. Cerita-cerita di gim RPG sangat kompleks, enggak melulu tentang menyelamatkan dunia.

Kapan tepatnya, seiring main gim, pikiranmu sebagai penulis lahir?

Sebenarnya keinginanku menulis enggak hanya datang dari main gim. Aku juga suka baca dan nonton film. Pengalaman main gim, baca, dan nonton film itu yang berpengaruh terhadap prosesku menulis.

Enggak ada momen pasti kapan aku mulai serius menulis. Tapi, tahun 2008 aku gabung dengan situs forum penulis pemula http://kemudian.com. Waktu itu juga belum serius, cuma iseng posting tulisan-tulisanku yang kebanyakan cerita-cerita detektif.

Aku enggak merasa ada satu titik jelas ketika aku memutuskan ingin menulis cerita fiksi yang bisa dibukukan. Aku hanya menulis, prosesnya mengalir saja, lama-kelamaan aku ketagihan menulis cerita dan dengan sendirinya cerita-cerita itu semakin digarap secara serius. Aku mulai ingin menulis lebih baik lagi, lalu tahu-tahu ada ceritaku yang terbit di media cetak. Begitu saja.

Keseriusanku menulis dimulai dengan menulis tidak serius.

Selain membaca novel-novel fiksi ilmiah dan bermain gim, kamu juga suka menonton film. Film macam apa yang kamu tonton?

Meskipun beberapa orang merasa cerita-ceritaku aneh karena referensi bacaan yang enggak lazim, sebetulnya aku juga menyukai cerita-cerita yang mainstream. Seleraku atas buku dan film fleksibel saja.

Film-film yang bikin aku ingin menulis kebanyakan datang dari Cekoslovakia, lebih tepatnya produksi tahun 1960-an ketika mereka masih negara komunis. Aku suka karena film-film mereka satir dan dituturkan dengan cara yang unik. Ironi dan humor pun ada di dalam film-film itu.

Selera filmku berkembang dari waktu ke waktu. Dulu waktu SMA, aku nonton film yang seru-seru saja. Setelah itu mulai nonton film-film nominasi Oscar. Lalu, baru aku mencari film yang "aneh-aneh", misalnya film-film festival Cannes dan semacamnya.  

Jadi, enggak sejak awal aku menonton film-film "aneh", tapi seleraku menonton, sama seperti selera bacaan, terus berkembang.

Dari sejumlah film produksi Cekoslovakia yang kamu tonton, mana yang paling kamu suka?

Salah satunya Closely Watched Trains (1966, Jiri Menzel). Ceritanya tentang anak remaja yang tinggal di suatu kampung di Ceko, dan ia baru diterima kerja sebagai pengawas rel kereta. Ia naksir seorang cewek yang juga petugas kereta. Si cowok belum pernah bercinta, sementara si cewek, dalam hal ini, lebih berpengalaman.

Menurutku, itu film coming of age yang lengkap: humor, ironi, dan kritik sosial, semuanya ada di sana. Ada kegelisahan anak muda jomlo yang pengin mendapatkan pengalaman seks pertamanya. Seluruhnya dituturkan dengan cerita yang lucu sekaligus ironis.

Dari mana asalnya tema BDSM di dalam cerita-ceritamu?

(Tertawa) Buatku, seru saja kalau bisa menggali sisi-sisi gelap manusia yang tidak banyak orang lihat, kemudian menggabungkan sisi-sisi itu dan menuliskan ceritanya. Tapi, aku tetap berusaha memasukkan unsur humor ke dalam cerita-cerita gelap itu. Entah berhasil atau tidak, aku juga enggak yakin.

Tema BDSM aku dapat dari film. Bukan film bokep. Salah satu referensiku film Prancis, judulnya Maîtresse (1976, Barbet Schroeder). Aku nonton itu waktu bikin cerita “Komunitas” di Aksara Amananunna.

Saya kira kamu baca buku-bukunya Marquis de Sade?

Aku baca de Sade juga. Sebetulnya aku baca lumayan banyak buku-buku erotika. Selain buku-bukunya Marquis de Sade, aku juga baca Hogg (Samuel R. Delany), dan cerita-cerita pendek Anaïs Nin.

Maaf kalau ini mulai terdengar membosankan, tapi saya ingin komentar sekali lagi tentang tema cerita-ceritamu yang aneh dan “menyeleweng” dari kebanyakan tema cerita-cerita penulis seangkatanmu maupun di atas kamu. Kamu membedakan genremu secara sengaja atau bagaimana?

Aku enggak pernah secara sadar ingin terlihat berbeda dari penulis-penulis lain. Mungkin referensi dan ketertarikanku saja yang membuat cerita-ceritaku beda. Kalau yang aku lihat, kebanyakan penulis Indonesia lain mengarang cerita realis, tetapi aku tidak.

Aku sadar cerita-ceritaku terlihat berbeda. Di satu sisi, aku merasa senang, tapi di sisi lain aku juga merasa teralienisasi. Kritik yang paling banyak aku terima dari orang-orang adalah bahwa tidak ada satu pun cerita yang aku tulis tentang Indonesia. Oh, enggak tepat Indonesia, sih, tapi lebih kepada cerita-ceritaku yang dianggap tidak membumi. Cerita-ceritaku enggak memuat isu sosial, politik, atau peristiwa-peristiwa faktual yang sedang terjadi.


Karya Debut Rio Johan, kumpulan cerita Aksara Amananunna (KPG, 2014). Buku ini mengantarkan Rio menjadi Tokoh Seni Kategori Penulis Prosa oleh Majalah TEMPO pada 2014, bersanding dengan Mario F. Lawi pada kategori Puisi.


Walau ceritamu rada-rada aneh, bahasa yang kamu gunakan saat menulis justru sebaliknya: sederhana dan lugas. Apa itu strategi literer kamu dalam usaha mendekatkan cerita-ceritamu ke pembaca?

Aku enggak pernah sangat memikirkan hal itu, sih. Buatku, yang penting ceritaku mengalir. Itu saja cukup. Gaya bahasa yang aku pilih bergantung pada kebutuhan karakter atau cerita itu sendiri.

Selain bikin cerita pendek, kamu juga menulis novela. Kamu lebih nyaman bercerita dalam bentuk pendek atau panjang?

Seperti aku bilang tadi, aku menulis dengan mengalir saja. Enggak pernah sejak awal memikirkan pendek atau panjang cerita. Kalau kebutuhan cerita membuat alurnya jadi panjang, mau enggak mau ya jadi panjang, dan kalau memang cerita tertentu enggak bisa selesai dalam bentuk yang pendek, kenapa harus dipaksa diselesaikan? Berlaku juga kasus sebaliknya.

Kamu menulis pakai outline?

Enggak. Aku enggak bisa menulis pakai kerangka.

Aku mulai dari ide dasar, lalu menimbang-nimbang, merenungkan, dan memasak ide itu sampai matang, baru menuliskannya.

Biasanya aku membedakan cerita-ceritaku menjadi dua jenis: yang satir dan yang benar-benar gelap tanpa humor. Misalnya, cerita “Riwayat Benjamin” dan “Suzanna, Suzanna” itu enggak ada humornya, tapi di “Kevalier d’Orange” masih lucu. Setiap dapat ide tulisan, biasanya aku memutuskan terlebih dahulu akan menggarap ide ini dan mengarahkannya menjadi golongan yang mana.

Tapi, enggak selamanya harus seperti itu.

“Undang-Undang Antibunuhdiri” itu idenya dari mana?

Ada dua: film dan berita. Waktu itu, aku baca berita tentang angka bunuh diri di Rusia yang semakin meningkat--negara “R” dalam cerita itu mengacu pada negara tersebut--dan aku sempat menonton film Prancis, The Suicide Shop (2012, Patrice Leconte). Jadilah aku menulis cerita itu.

Dari beberapa berita yang aku baca, aku tahu ternyata ada beberapa negara yang memutuskan untuk memasukkan aksi bunuh diri sebagai tindak kriminal. Tapi, aku enggak mengerti gimana cara mereka menghukum pelaku bunuh diri. Kalau mereka sudah bunuh diri dan mati… lantas?

Buku apa yang kali pertama kamu baca seumur hidupmu?

Komik Paman Gober.

Setelah dari komik dan kisah-kisah dongeng semasa kecil, baru aku baca novel. Novel pertama yang aku selesaikan: serial Narnia, ada tujuh buku. Itu waktu aku SMP. Lalu, aku baca novel-novelnya Agatha Christie. Sampai sekarang, aku masih terpesona dengan cara Agatha Christie merangkai logika dalam cerita-cerita detektifnya.

Omong-omong soal logika, bagaimana cara kamu membangun keutuhan logika dalam cerita-ceritamu?

Kalau cerita-cerita dengan latar dunia masa depan antah-berantah, buatku lebih mudah, kita cuma perlu mengarang dengan memasukkan unsur-unsur yang tetap logis.

Yang lebih butuh kerja ekstra adalah cerita-cerita dengan latar masa lalu, misal cerita berlatar sejarah Mesopotamia atau Mesir kuno, yang dunianya memang jauh dari sini, tapi benar-benar ada. Untuk cerita berlatar seperti itu, aku harus melakukan riset yang kuat. Salah satu caraku meriset adalah dengan menonton film-film yang sesuai.

Cerita “Riwayat Benjamin” yang berlatar Inggris tahun 1598, misalnya, aku harus riset sampai ke isu sosial dan politik apa yang terjadi pada masa itu, ketika masih di bawah pemerintahan Raja James, setelah Reformasi Gereja. Konflik Protestan dengan Katolik waktu itu masih sengit, dan James mewarisi konflik tersebut dari Elizabeth pertama--sang ratu perawan. Ceritaku menyentil masalah itu, termasuk soal Raja James yang main aman dan enggak seberani Elizabeth dalam memperjuangkan protestanisme, terutama terhadap Spanyol yang saat itu dianggap pejuang Katolik.

Enggak cuma isu sosial politik, tapi hal-hal sepele seperti cara orang-orang di sana pada waktu itu makan dan berpakaian pun harus aku riset, untuk membuat pembaca yakin. Misalnya, cowok-cowok di sana zaman segitu pakai sepatu heels, dan cewek-cewek cantik bukan yang berbadan kurus seperti sekarang, tetapi justru yang berisi.

Semua riset itu perlu untuk membangun logika cerita.

Kamu dinobatkan oleh majalah TEMPO sebagai Tokoh Seni kategori Sastra Prosa tahun 2014. Apa yang ada di benakmu saat itu?

Aku hanya penasaran gimana juri-jurinya berdebat menentukan itu.

Kamu melihat kemenangan itu sebagai pengakuan dari para sastrawan akan bakatmu sebagai penulis muda dengan cerita-cerita yang segar?

Aku ingin jawab kayak begitu, tapi aku takut dibilang sombong (tertawa).

Aku enggak pernah memikirkannya, sih. Menurutku saat itu ada banyak buku bagus. Soal menang atau kalah sepenuhnya kebijakan para juri. Tapi, aku senang cerita-cerita dengan tema yang jarang diangkat di dunia prosa Indonesia bisa terpilih dan menang penghargaan seperti itu.

Seperti tadi aku bilang, aku penasaran ingin melihat gimana para juri berdebat waktu mereka menentukan pemenangnya.

Kamu pernah gabung dengan komunitas sastra?

Waktu di Solo aku sempat ikut komunitas Pawon, tapi cuma jadi penggembira. Pernah beberapa kali diminta jadi moderator acara bedah buku, tapi aku sering nolak karena merasa enggak punya kapasitas melakukan kritik sastra. Aku datang dari Teknik Kimia dan enggak punya ilmu sastra.

Siapa penulis Indonesia yang kamu suka?

Ini juga yang mungkin bikin cerita-ceritaku agak berjarak dari penulis-penulis Indonesia lain: aku jarang membaca buku dari penulis-penulis klasik Indonesia. Aku membaca buku dari penulis-penulis kontemporer, tapi yang klasik semacam Romomangun, aku belum pernah baca.

Aku suka Budi Darma, terutama bukunya Olenka (1983). Aku suka cara Budi Darma menggali isi pikiran dan perasaan di dalam diri tokoh-tokohnya. Aku juga suka Orang-Orang Bloomington (1981). Budi Darma benar-benar menggali sisi manusia sampai ke bagian terdalam.

Kalau dari generasi muda, aku suka cerita-cerita yang ditulis teman-temanku. Mereka menggali hal-hal baru dan cerita-cerita mereka segar. Mereka juga punya bacaan yang bagus. Semoga pendapat ini enggak dianggap nepotisme (tertawa).

Kamu membaca buku dengan cara yang berbeda sebelum dan sesudah aktif menulis?

Iya. Kalau sekarang aku membaca buku dengan lebih analitik. Setiap ketemu buku bagus, aku berpikir apa yang bisa digali dan dipelajari dari sana. Untuk menemukannya, aku membaca ulang buku itu.

Kembali ke persoalan tema ceritamu yang dianggap tidak membumi. Kamu terganggu tidak dengan komentar seperti ini?

Cukup terganggu, karena kritik itu memang benar.

Itu yang bikin aku kadang-kadang merasa teralienisasi. Tapi aku memang enggak bisa menulis cerita-cerita jenis yang realis, mengandung unsur-unsur lokalitas, atau yang memuat isu-isu sosial politik di Indonesia. Semua itu bukan zona nyamanku. Aku merasa belum cukup peka menangkap peristiwa faktual yang terjadi di sini untuk diangkat ke tulisanku.

Enggak tertutup kemungkinan bahwa beberapa tahun lagi aku akan menuliskan hal-hal seperti itu, tentu dengan caraku sendiri. Tapi, untuk sekarang, belum.

Punya first reader buat manuskrip-manuskripmu?

Enggak.

Sejujurnya, aku orang yang enggak cukup pede dengan karya-karyaku sendiri. Di dalam buku Aksara Amananunna yang ada dua belas cerpen, cuma tiga yang aku benar-benar percaya diri untuk dibukukan: “Riwayat Benjamin”, “Aksara Amananunna”, dan “Kevalier d’Orange, sisanya aku menilai cerita-ceritaku cuma di titik lumayan.

Aku lebih sering melakukan kritik terhadap karya-karyaku sendiri. Begitu caraku belajar. Mungkin bukan cara yang baik, karena kita tahu kita enggak akan pernah bisa sepenuhnya objektif menilai karya sendiri.

Pernah ikut klub membaca?

Enggak.

Hadir sebagai penulis di zaman digital, apa manfaatnya buatmu?

Karena kebanyakan cerita-cerita pendekku berukuran panjang-panjang, aku jadi lebih leluasa memuatnya lewat blog dan mudah dibaca orang. Selain itu, mudah juga untuk mencari referensi bacaan. Kalau mau riset, dulu orang-orang harus ke perpustakaan, sekarang aku tinggal pakai Google.

Aku pikir kemudahan-kemudahan seperti itu adalah keuntungan utama menjadi penulis di generasi digital atau Internet.

Di keluargamu siapa lagi yang senang membaca buku?

Ibuku. Tapi, bacaan dia buku-buku tentang hukum.

Aku punya tiga orang nenek, dan salah satunya adalah guru sejarah. Waktu kecil, dia sering cerita ke aku soal sejarah, tetapi sayangnya bukan sejarah nusantara; dia bercerita tentang Marie Antoinette, Zeus, dongeng apel emas, dan lain-lain. Dia menceritakan kepadaku Revolusi Prancis, dengan cara seperti mendongeng, dan karena aku masih kecil waktu itu dia tidak menceritakan bagian-bagian isu politiknya. Kadang-kadang nenekku juga mengarang sendiri dongengnya.

Apa ambisimu di dunia kesusastraan?


Aku cuma ingin melihat sejauh mana aku bisa bertahan terus menulis. ***

The White Tiger, Aravind Adiga

$
0
0


Buku dari penulis asal India yang kali pertama saya baca adalah kumpulan cerita Jhumpa Lahiri, Interpreter of Maladies. Saya menyukai buku itu.Tetapi, seperti yang sudah-sudah, bukan berarti setelahnya saya langsung membaca buku dari penulis India lagi. Biasanya, buku berikut yang saya baca terambil secara acak dari rak. Namun, kali ini ada sedikit kebetulan. Saya tetap mengambil buku dari rak perpustakaan pribadi secara acak, tetapi yang tercomot ternyata buku dari penulis India: The White Tiger, Aravind Adiga. Setelah beres membaca The White Tiger pun lagi-lagi secara kebetulan saya mengambil buku penulis India, sehingga berturut-turut saya membaca tiga buku dari tiga penulis asal India-- tetapi ini akan saya ceritakan di tulisan lain. Dalam tulisan ini saya mau bercerita pengalaman membaca The White Tiger, novel Aravind Adiga yang menjadi peraih penghargaan Man Booker tahun 2008.

Suatu hari di tahun 2015 saya bertandang ke Jakarta dan bertemu dua orang teman penulis. Saat itu sore hari, kami bertiga mengobrol santai di dalam sebuah ruangan gedung di areal Taman Ismail Marzuki di kawasan Cikini. Kami membicarakan buku. Saya bertanya apa saja buku favorit mereka, dandi antara judul-judul buku dan nama penulis yang mereka sebutkan, muncul The White Tiger. Saya familier dengan judul dan nama penulisnya, Aravind Adiga, tetapi belum pernah membaca. Buku-buku lain yang mereka sebutkan pun tidak satu pun yang sudah saya baca. Tetapi saya percaya tidak ada kata terlambat untuk membaca buku bagus, maka baru setelah delapan tahun sejak pertama rilis, akhirnya secara kebetulan saya membaca The White Tiger.

Hasilnya: saya sangat, sangat, sangat, menyukai novel ini.

Pernah baca The Brief Wondrous Life of Oscar Wao, Junot Díaz? Novel Aravind Adiga The White Tiger punya rasa yang mirip-mirip. Saya kira itu karena tokoh utama sekaligus naratornya, Balram Halwai, punya cara bicara mirip Yunior. Ceplas-ceplos, blak-blakan, gemar mengumpat, dan senantiasa membuat lelucon dan berkelakar. Saya sudah ngakak sejak halaman-halaman pertama The White Tiger, sama seperti saya tertawa membaca penggambaran Yunior atas hero novel Junot Díaz, si remaja gemuk pecandu gim Oscar di pembukaan novelnya. Itulah hal pertama yang membuat saya serta-merta menggumam: “Saya akan menyukai buku ini.” Buku bagus, sama seperti hal-hal lain yang bagus, sudah ketahuan sejak persentuhan pertama.

The White Tiger dibuka dengan narasi yang sekilas saja terlihat seperti sebentuk epistolari. Awalnya saya langsung malas ketika melihat ada surat di bagian awal. Tetapi, ternyata cara bicara Balram Halwai betul-betul menghibur. Ia menulis surat kepada kepala pemerintahan Cina, Wen Jiabao-- Balram menyebutnya “Mr. Premier”-- sesaat setelah Balram mendengar melalui radio India bahwa Jiabao akan berkunjung ke negaranya untuk mengenal seluk-beluk India. Dalam suratnya, Balram menjelaskan bahwa India adalah penghasil wirausahawan yang kece punya, dan ia bermaksud menceritakan kisah seorang pemuda yang berawal dari anak penarik becak di kampung terpencil menjadi seorang pebisnis sukses di pusat kota India.

Tentu saja, “pebisnis sukses” ini tidak seperti yang kita bayangkan. Lagipula, memang bukan itu intinya.

Balram Halwai, narator kita, lahir di sebuah kampung bernama Laxmangarh. Ia punya ayah yang bekerja sebagai penarik becak (rickshaw puller-- ditarik dari depan berjalan kaki, bukan dengan diengkol dari belakang penumpang) dan bibi-bibi yang sangat menyebalkan. Ayahnya membiasakan Balram membaca dan mendorongnya agar rajin bersekolah. Balram memang akhirnya menjadi salah satu murid yang pintar, sampai-sampai ketika ada kunjungan dari orang dinas pendidikan (mungkin semacam itu) ke sekolah mereka, Balram disebut “White Tiger” karena hanya dirinya di antara teman-teman sekelas yang bisa membaca dengan baik, sehingga ia langka, one of a kind. Dari sana lah Balram mendapat julukan The White Tiger, yang kemudian juga menjadi judul novel ini.

Tetapi, sebagai personel keluarga Halwai, hidup Balram sudah digariskan. Takdir yang melekat pada marganya membuat ia terjebak dalam bayang-bayang masa depan menjadi pembuat manisan (atau mungkin gula-gula/permen). Seperti orang dengan marga lain dan takdir yang mengikutinya, marga Halwai berarti takdir hidup menjadi pekerja kelas rendah. Balram Halwai menolak masa depan seperti itu. Ia menginginkan jalur alternatif. Ia menginginkan masa depan yang berbeda. Ia menginginkan kebebasan.

Kebebasan itu diperoleh Balram dengan menjadi sopir seorang keluarga tajir di Delhi. Majikannya, Ashok, adalah anak kandung tuan tanah yang punya pengaruh politik di India. Orang penting. Memiliki insting yang tajam, inisiatif tinggi,dan kemampuan menyerap ilmu dengan cepat, kehidupan berjalan baik-baik saja bagi Balram, hingga musibah menimpa: sedan yang ia tumpangi menabrak mati seorang bocah.Adalah istri majikannya yang menyetir pada saat itu, tetapi di bawah ancaman, Balram dipaksa mengaku oleh sang tuan tanah bahwa dirinya pelaku tabrak lari tersebut. Ketegangan dimulai dari sini. Marabahaya bermula ketika Balram mencari jalan keluar dari perangkap besar yang telah menelan banyak orang bawah India ini. Jika kau bukan orang berpengaruh dan punya uang, hidup di India berarti hidup di dalam kandang ayam, dan The White Tiger adalah cerita bagaimana tokoh kita membebaskan dirinya dari kandang ayam itu.

The White Tiger merupakan cerita semi-thriller (karena di dalamnya ada adegan pembunuhan) yang menampilkan sisi-sisi India dalam metode dikotomis: terang dan gelap. Aravind Adiga mencoba menunjukkan kepada orang-orang bahwa India tidak hanya “surga” eksotis yang indah, tetapi juga memiliki di dalamnya bagian gelap, dan di dalam bagian gelap India inilah cerita Balram Halwai menjadi cerita masyarakat akar rumput di India, negara hasil jajahan Inggris yang memiliki banyak kesamaan dengan Indonesia (paling tidak sama-sama negara bekas jajahan).

Saya sangat terhibur membaca The White Tiger seperti saya terhibur membaca The Brief Wondrous Life of Oscar Wao seperti saya terhibur membaca Two Years Eight Months and Twenty-Eight Nights seperti saya terhibur membaca buku-buku bagus yang tidak hanya kaya dan berlapis secara muatan tetapi juga seru dan page-turner secara cerita. Buku-buku dengan muatan bagus dan mendalam tidak mesti ditulis dengan cara yang membosankan dan buku-buku seru tidak mesti punya muatan yang dangkal. Keduanya, muatan dan cerita, bisa tampil secara baik di tangan seorang penulis bagus; penulis yang membaca buku-buku bagus dan punya visi membuat buku-buku bagus. ***

Two Years Eight Months and Twenty-Eight Nights, Salman Rushdie

$
0
0


Persis setahun yang lalu, saya membaca The Satanic Verses. Sebelumnya, saya membeli beberapa buku Salman Rushdie sekaligus. Hanya dua, sebenarnya. The Satanic Verses dan Midnight Children. Saya memilih untuk terlebih dahulu membaca yang pertama. Agaknya pilihan saya keliru. Buat saya, The Satanic Verses sangat melelahkan. Ketika saya curhat ke seorang teman pembaca, dia bilang The Satanic Verses memang tidak begitu bagus, novel itu hanya ramai karena kontroversinya, dan menurutnya Midnight Children jauh lebih baik. Sayang sekali saya sudah keburu lelah untuk membaca karya Salman Rushdie lagi. Saya sempat membaca The Satanic Verses hingga halaman 250-separuh novel-dan belum melanjutkannya hingga sekarang.

Tetapi, saya masih punya rasa penasaran yang besar dan butuh dituntaskan. Tidak mungkin, saya pikir, Salman Rushdie bisa begitu terkenal dan dielu-elukan dunia sastra internasional kalau semua bukunya melelahkan seperti The Satanic Verses. Maka, ketika saya tahu Rushdie merilis buku baru, saya segera tertarik membacanya. Walaupun sempat jiper gara-gara harga bukunya mahal sekali (edisi hard cover di Aksara hampir menyentuh angka lima ratus ribu!), akhirnya saya bisa mendapatkan buku itu dengan diskon separuh harga. Saya mencoba menuntaskan rasa penasaran terhadap Salman Rushdie dengan membaca novel terbarunya: Two Years Eight Months and Twenty-Eight Nights.

Sebelum membaca Two Years Eight Months and Twenty-Eight Nights, saya sudah membaca penggalannya di The Newyorker. Salman Rushdie merilisnya sebagai cerita pendek berjudul The Duniazát, yang adalah cuplikan dari bab pembuka novelnya. Cerpen itu sendiri menarik. Ceritanya tentang seorang filsuf yang tidak bisa mendakwahkan filosofinya, orang-orang yahudi yang tidak bisa menyebut dirinya yahudi, dan seorang gadis cantik yang ternyata perwujudan jin-diberi nama oleh si filsuf “dunia”. Si filsuf kawin dengan jin perempuan dan melahirkan banyak anak, banyak sekali hingga garis keturunannya hampir menjadi sebuah bangsa sendiri. Keturunan jin perempuan itu dinamai duniazát.

Secara singkat, novel terbaru Salman Rushdie ini adalah kisah tentang perang jin. Tidak murni perang antarjin, karena juga melibatkan manusia. Kisah dituturkan oleh narator omnipotent, yang menyebut dirinya secara tidak begitu jelas dengan petunjuk-petunjuk tertentu bahwa mereka (we, jamak) adalah manusia di zaman yang baru (aktual). Kisah perang antarjin yang melibatkan manusia telah terjadi ribuan tahun lampau, dan inilah yang diceritakan di dalam novel.

Seperti cerita pendek The Duniazát, novelnya juga dibuka dengan kisah serupa. Penggambaran si filsuf dan kehidupannya bersama Dunia, si jin perempuan. Dunia senang mendengarkan cerita-cerita yang dituturkan si filsuf dan si filsuf, selayaknya Syahrazad, menjadi pendongeng yang baik bagi pasangannya. Tentu saja dongeng itu bukan sekadar dongeng, tetapi dongeng yang ia karang sembari menyelundupkan gagasan-gagasan rasionalistisnya, termasuk pandangannya tentang eksistensi Tuhan dan fungsi agama. Sebagai makhluk dari dunia gaib, Dunia sering tidak sependapat dengan si filsuf, tetapi tidak lantas membuatnya membantah apa yang diceritakan pasangannya itu.

Lantas, bagaimana perang dimulai? Semua bermula dari aktivitas di dunia lain, yakni dunia jin. Syahdan, dunia jin dan dunia manusia berada bersisian tetapi terpisah. Namun, suatu hari terdapat “sobekan di langit” yang membuat kedua dunia tersebut menjadi terhubung. Jin dari berbagai golongan pun turun ke bumi dan melakukan apa yang ingin mereka lakukan terhadap umat manusia. Rushdie, pada bagian pembuka novel, melalui kami-narator memberikan pemaparan yang cukup panjang mengenai asal-usul dan jenis-jenis jin. Pemaparan itu mengerucut pada klasifikasi jin: jin jahat dan jin baik. Jin jahat mempengaruhi manusia untuk menguasai mereka sekaligus menghancurkannya, sementara jin baik mencegah hal tersebut terjadi. Kira-kira begitulah.

Dunia, jin perempuan yang menjadi “istri” si filsuf, memiliki seorang ayah, yang tentu saja adalah seorang jin. Raja jin, begitu. Sang ayah tewas karena-ini salah satu bagian menarik-cerita. Ia meninggal karena diperlihatkan sebuah kotak berisi cerita-cerita yang merupakan alegori dari ketakutan-ketakutan dan ketidakpuasannya sendiri terhadap anak sematawayangnya, Dunia. Ketika tahu tentang ini, Dunia berang dan mulai memburu para pembunuh ayahnya, empat sekawan jin jahat, para ifrits. Dunia mengumpulkan keturunannya, duniazat, dan memberitahu mereka bahwa mereka adalah keturunan separuh jin, lantas Dunia memberi mereka tugas untuk menumpas para ifrits, yang saat ini melancarkan serangannya demi penghancuran umat manusia.

Sama seperti The Satanic Verses, novel terbaru Salman Rushdie ini juga ditulis dengan narasi yang padat. Seringkali muncul kata-kata dalam bahasa Inggris yang belum pernah saya temui, dan akhirnya membuat saya terpaksa sesekali membuka google translate atau kamus ponsel Merriam-Webster. Tetapi, berbeda dengan The Satanic Verses yang bikin pusing karena alur waktu, latar tempat, dan kronologinya tidak jelas, Two Years Eight Monts and Twenty-Eight Nights jauh lebih tertata dan jelas apa siapa di mana mengapa bagaimananya. Sehingga, walaupun banyak kata-kata sulit, membaca ceritanya sendiri tidak begitu sulit, malah relatif mudah.

Pada kulit luarnya, Two Years Eight Months and Twenty-Eight Nights (omong-omong, ini adalah “pelesetan” dari seribu satu malam; kalau enggak percaya bisa coba hitung sendiri) adalah cerita seru tentang pertempuran antarjin yang juga melibatkan manusia. Tetapi, tentu saja secara keseluruhan, novel ini tidak hanya punya kulit luar. Di balik kulitnya, pada lapisan yang lebih dalam, novel Rushdie yang meskipun tetap mengandung cukup banyak kata-kata sulit namun tetap enak dibaca ini adalah sebuah paparan tentang pertentangan gagasan: gaib dan rasional, eksistensi Tuhan dan fungsi agama, keberadaan sesuatu yang liyan, juga tidak luput sindiran-sindiran terhadap persoalan sosial dan politik, termasuk di dalamnya tindak korupsi dalam birokrasi (ada tokoh seorang bayi keturunan jin yang punya kemampuan istimewa: siapapun koruptor yang berada di dekatnya akan mengalami keanehan penyakit kulit pada wajahnya, sehingga ia menjadi semacam detektor koruptor).

Membaca novel-novel Salman Rushdie membuat saya setengah teringat pada novel favorit saya semasa kecil, serial Harry Potter. Saya suka membaca novel genre fantasi, karena di dalamnya terdapat dunia antah-berantah dan makhluk-makhluk mitikal, sihir dan mantra-mantra, juga keajaiban-keajaiban yang tidak bisa saya temukan di bacaan-bacaan lain. Namun, kegemaran membaca novel fantasi tidak terbawa ketika saya beranjak dewasa, untuk alasan yang hingga hari ini tidak saya pahami. Saya tidak tertarik membaca novel fantasi selain Harry Potter (Lord of the Rings, Nicholas Flamel, Eragon? Tidak, maaf.)

Syukurlah, saya bertemu Neil Gaiman dan Salman Rushdie. Bagi jiwa pencinta kisah-kisah dunia antah-berantah dan makhluk-makhluk mitikal di dalam diri saya, buku-buku mereka seperti novel-novel fantasi untuk orang dewasa. Meski, tentu saja di balik balutan kisah fantasi itu terdapat gagasan-gagasan lain yang menjadi permenungan, kritik terhadap dunia dan manusia, serta pengetahuan lebih mendalam tentang suatu topik.


Buat pencinta novel fantasi, bacalah novel-novelnya Salman Rushdie. ***

Metafora Padma

$
0
0


Desain cover oleh Eka Kurniawan. Buku kesembilan saya, kumpulan cerita Metafora Padma, terbit 15 Agustus 2016.

Metafora Padma: Ilustrasi

$
0
0



Berikut adalah tiga dari empat belas ilustrasi yang akan ada di dalam buku terbaru saya, kumpulan cerita Metafora Padma. Dibuat oleh Egha Latoya, salah satu personel duo penyanyi "The Fatima" yang berada di bawah arahan Manajemen Republik Cinta Ahmad Dhani.

Banyak yang mengenal Egha, atau El, sebagai entertainer-- penyanyi dan model-- tetapi belum banyak yang tahu bahwa ia juga menggambar dengan sangat bagus. Itulah yang membuat saya mengajaknya berkolaborasi membuat ilustrasi pendamping cerpen-cerpen di buku terbaru saya. Karya-karya Egha atau El bisa dilihat di galeri instagram: [at]artfromel.

Buku Metafora Padma akan terbit lewat Gramedia Pustaka Utama tanggal 15 Agustus 2016.

Dua Buku, Sampul Baru

$
0
0




Kabar gembira dari penerbit.

Dua buku saya, kumpulan cerita Milana dan novel Surat untuk Ruth sedang dicetak ulang oleh Gramedia Pustaka Utama. Edisi cetak ulang ini menggunakan wajah baru, sampul hasil rancangan Muhammad Taufiq alias eMTe. Saya sangat suka dengan sampul yang baru ini, terasa lebih suram dan misterius, seperti kisah-kisah yang terdapat di dalamnya.

Bagi yang belum sempat memiliki kedua buku ini, sekarang kesempatan baik untuk memilikinya. Namun, jika sudah punya, tetap boleh beli untuk koleksi.

Keduanya akan terbit tanggal 15 agustus 2016, bersamaan dengan Metafora Padma.

Peluncuran "Metafora Padma"

$
0
0
Hari Minggu, 31 Juli 2016, buku kesembilan saya, kumpulan cerita Metafora Padma resmi diluncurkan. Bertempat di Gramedia Central Park, Jakarta, buku tersebut untuk kali pertama dijual. Terima kasih untuk Egha Latoya dan Eka Kurniawan, yang juga turut hadir dan bicara pada acara tersebut, masing-masing sebagai ilustrator isi dan perancang sampul bukunya.

Metafora Padma akan tersebar merata di toko-toko buku pada tanggal 15 Agustus 2016.








The Vegetarian, Han Kang

$
0
0



Hal lucu dari membaca novel yang memiliki cerita bernuansa gelap adalah kita justru kerap mendapat pencerahan dari sana. Tentu, dengan catatan novelnya bagus. Pencerahan macam apa yang didapat dari membaca novel bernuansa gelap? Bisa pencerahan tentang kehidupan, kematian, manusia, dunia, dan hal-hal yang berada di antaranya. Salah satu novel bagus bernuansa gelap yang baru saja selesai saya baca adalah The Vegetarian.

Novel The Vegetarian ditulis Han Kang, seorang penulis perempuan asal Korea berusia 45 tahun yang juga mengajar penulisan kreatif di Seoul Institute of the Arts. Kang lahir di keluarga penulis. Setidaknya, ayah dan abangnya juga penulis. Sebelum meraih Man Booker International Prize lewat novel pertamanya yang diterjemahkan ke Bahasa Inggris, The Vegetarian, sebenarnya Kang sudah sering mendapat penghargaan kesusastraan di negara asalnya. Salah satunya kompetisi sastra Seoul Shinmun, yang ia menangi lewat karya cerita pendeknya, The Scarlet Anchor.

The Vegetarian bercerita tentang seorang perempuan-menikah (tidak disebut jelas berapa usianya, tetapi ia berada dalam sebuah rumah tangga) yang suatu hari karena terbangun dari mimpi buruk dan tiba-tiba berubah menjadi seorang vegetarian. Perubahan ini mengagetkan tidak hanya bagi suaminya, yang kelak akan sering protes atas kondisi baru tersebut, tetapi juga keluarga si perempuan, terutama ayahnya yang seorang veteran penikmat daging.

Saya kurang fasih mengenal budaya kuliner Korea, tapi dari satu-dua drama dan reality show Korea yang pernah saya tonton, tampaknya mereka punya banyak sekali ragam menu olahan daging. Kita anggap saja daging merupakan makanan wajib orang-orang Korea. Sehingga, keputusan Yeong-hye-protagonis The Vegetarian-menjadi seorang vegan adalah hal yang mengguncang dan tidak dapat dipercaya.

Mimpi buruk yang membuat Yeong-hye berubah dari pemakan daging menjadi seorang vegan diberikan sepotong demi sepotong dalam sejumlah halaman pertama novel, menjadikannya fragmen-fragmen yang ditulis dengan cara agak berbeda dari narasi utama. Potongan-potongan mimpi Yeong-hye lebih terasa seperti sebuah puisi panjang yang dipenggal-penggal. Isi mimpinya kebanyakan deskripsi mengenai sesuatu horor dan mencekam: sosok seseorang (mungkin itu Yeong-hye sendiri) dengan mulut, tubuh, dan sekujur pakaian yang berlumurkan darah.

Mimpi buruk tersebut berlanjut malam ke malam dan berjalan seiring dengan tindak-tanduk baru Yeong-hye (yang dianggap ganjil oleh suaminya) kini sebagai seorang vegan: membuang daging dan telur dari kulkas dan memasak hanya sup bening yang hambar untuk makan siang. Si suami berang karena menganggap sikap Yeong-hye tidak masuk akal. Ia melaporkan perubahan drastis istrinya itu kepada mertua dan iparnya. Puncaknya: mereka makan bersama di rumah orang tua Yeong-hye, ayah Yeong-hye menjejalkan sepotong daging ke mulut Yeong-hye, Yeong-hye memberontak, melepehkan daging itu, lalu menyayat tangannya sendiri.

Itu bagian pertama The Vegetarian, dituturkan menggunakan sudut pandang orang ketiga dari perspektif suami Yeong-hye, Mr. Cheong. The Vegetarian terdiri atas tiga bagian. Bagian kedua dituturkan dari sudut pandang abang ipar Yeong-hye, seorang seniman visual yang punya imajinasi eksentrik (bagian favorit saya dari The Vegetarian ada di bab kedua ini, “The Mongolian Mark”), dan bagian ketiga atau terakhir novel dituturkan dari sudut pandang In-hye, kakak kandung Yeong-hye. Ironisnya, Yeong-hye sebagai protagonis justru tidak memiliki suara sendiri. Karakternya diungkap melalui dialog-dialog dan perilakunya yang dilihat oleh tokoh lain.

Suasana gelap yang tadi saya bicarakan adalah bagian ketika Yeong-hye tidak hanya menjadi seorang vegan, tetapi juga membawa vegetarianisme ke titik yang ekstrem: akhirnya ia tidak makan apapun sama sekali. Tubuhnya menipis hingga seperti papan, barangkali tersisa kulit dan tulang dan sangat sedikit daging atau lemak. Ia masuk rumah sakit dan menderita gastritis. Makanan apapun yang coba masuk ke tubuhnya, ia muntahkan kembali dan kerap muntahnya disertai darah. Kondisi Yeong-hye kian lama kian mengenaskan. Tidak hanya kesehatan tubuhnya, tetapi juga mentalnya, serta relasinya dengan orang-orang terdekat (rumah tangganya pecah-belah pasca ia menjadi vegan).

Perubahan drastis Yeong-hye menjadi seorang vegan ternyata tak hanya tampak ganjil dan mengerikan, tetapi kadang-kadang juga terlihat puitis, terutama ketika di satu titik ia merasa dirinya bukan lagi seorang manusia, melainkan sebatang pohon atau mungkin tanaman. Pada pagi hari di rumah sakit, ia akan mencopot pakaian dan berjemur menghadap matahari seakan-akan dirinya sekuntum bunga atau pohon yang sedang berfotosintesis. Pada tahap berikutnya, ia selalu berdiri terbalik karena merasa kedua tangannya adalah akar yang menancap ke tanah dan tubuhnya batang tanaman. Ia juga senang membayangkan (dan ingin itu terjadi) sekuntum bunga tumbuh dari liang kemaluannya.

Metamorfosa Yeong-hye adalah bentuk putus asa usahanya menekan kekerasan yang barangkali inheren pada diri manusia. Hewan yang dibunuh untuk dimakan adalah simbol bahwa manusia hidup dengan mencabut nyawa makhluk lain. Hal ini yang ditolak Yeong-hye menggunakan cara yang eksentrik. Han Kang sendiri dalam sebuah wawancara mengaku pernah menjadi vegan selama beberapa tahun, hingga akhirnya kembali mengonsumsi daging untuk alasan kesehatan (meski ia bilang ia tetap merasa bersalah setiap kali makan daging).

The Vegetarian ditulis dengan narasi yang rileks, tidak meletup-letup, cenderung pelan dan santai, tetapi tanpa mengurangi intensitas yang ia bawa. Deskripsi Han Kang pada tiap situasi cerita, terutama kondisi psikologis karakter-karakternya, merupakan sesuatu yang patut dipuji. Kita dibawa masuk ke alam pikiran dan perasaan karakter-karakternya dengan tujuan menelisik keganjilan-keganjilan yang mereka simpan dan sembunyikan dari satu sama lain.

Omong-omong tentang Korea, saya lama-lama makin kagum sama negara ini. Karena mereka tidak hanya bisa mengekspor pasukan industri hiburan macam girlband-boysband K-Pop, drama, atau budaya kulinernya (di Indonesia sekarang semakin banyak restoran Korea, termasuk yang menjual makanan pencuci mulut khas Korea), tetapi ternyata mereka juga bisa mengekspor penulis keren. Tentu saja ini tidak luput dari andil proses penerjemahan karya sastra. Terima kasih untuk Deborah Smith, cewek kelahiran 1987 (hanya setahun lebih tua dari saya tapi prestasinya ampun, Man Booker International Prize!) yang belajar bahasa Korea otodidak dan menerjemahkan The Vegetarian.

Meskipun saya belum membaca buku-buku lain yang dinominasikan di Man Booker International Prize 2016, tetapi setelah membaca The Vegetarian, rasa-rasanya tidak heran novel tipis ini bisa menyingkirkan Eka Kurniawan, Orhan Pamuk, bahkan Kenzaburo Oe dalam penghargaan bergengsi itu. Setelah Mo Yan, senang melihat ada orang Asia menang penghargaan sastra dunia, dikenal luas oleh orang-orang benua lain. Sebelum Haruki Murakami yang amat populer, Jepang juga sudah punya banyak pemenang Nobel Kesusastraan. Cina pun sudah menyumbang satu nama.


Kira-kira, Indonesia kapan ya? ***

The Tunnel, Ernesto Sábato

$
0
0


Semenjak dulu sempat membaca sebuah novel tipis karangan Juan Rulfo, Pedro Páramo, dan sebuah kumpulan cerita sangat pendek antologi penulis Amerika Latin terjemahan bahasa Indonesia oleh Ronny Agustinus, Matinya Burung-Burung (sayang sekali penerbitnya gulung tikar, padahal menurut saya terbitannya bagus-bagus), saya jadi punya ketertarikan khusus terhadap penulis-penulis Amerika Latin. Salah satu yang membuat saya tertarik adalah kebanyakan mereka punya selera humor tinggi (walau barangkali masih kalah sedikit dari Kurt Vonnegut).

Salah satu penulis Amerika Latin yang ada di dalam daftar pencarian saya adalah Ernesto Sábato, bersama Enrique Villa-Matas dan Cesar Aria-dua terakhir belum saya dapatkan bukunya. Buku terakhir dari penulis Amerika Latin yang saya baca, kalau tidak salah ingat, In Praise of the Stepmother, Mario Vargas Llosa. Novel itu juga tipis, mengandung banyak alusi, dan ya, di banyak tempat juga terasa sangat lucu.

Kalau boleh diringkas, bisa dibilang The Tunnel merupakan novel cinta-cintaan. Protagonisnya adalah seorang pelukis (tampaknya sudah mapan dan terkenal) bernama Juan Pablo Castel. Castel jatuh cinta pada seorang gadis bernama Maria Iribarne. Alasannya jatuh cinta? Maria satu-satunya gadis yang berdiri terpaku di hadapan salah satu lukisannya-di sebuah eksibisi-dan menangkap aspek pada lukisan itu yang tidak dilihat oleh orang lain.

Merasa Maria bukan sosok yang biasa, Castel secara impulsif mengejar gadis itu. Ia mencarinya dari satu tempat ke tempat lain, bahkan membuntutinya hingga ke tempat ia bekerja. Ketika akhirnya mereka mendapatkan kesempatan bicara, dan Castel bertanya “Apa yang kau lihat dari lukisan itu?” Maria memberi Castel jawaban yang ia inginkan. “Kesepian,” kata Maria, “aku seperti melihat kesepian pada lukisanmu.” Semenjak itu, makin menjadi-jadilah obsesi Castel pada gadis ini.

Tetapi, tentu saja kita butuh konflik karena tanpanya maka cerita akan tiada. Castel dibutakan oleh obsesinya pada Maria sehingga sebelum jatuh cinta, ia tak mencari tahu terlebih dahulu apakah gadis itu masih berada dalam situasi bisa dicintai. Sialnya, keadaan di lapangan agak lebih rumit dari yang Castel kira. Maria sudah punya suami.

Hal ini membikin Castel berang, tetapi sekaligus dibuat bingung, terutama oleh sikap Maria yang menurutnya terlalu misterius. Sementara, Castel adalah laki-laki tukang mikir. Tukang mikir banget, malah. Ia seorang pelukis yang gemar memikirkan dalam-dalam suatu hal, bahkan membesar-besarkannya. Seorang overthinker. Ketika orang seperti dia jatuh cinta pada gadis seperti Maria yang menyimpan banyak rahasia, bisa dibayangkan bagaimana kacaunya (bagi Castel)

The Tunnel dituturkan dari kacamata Castel, menggunakan sudut pandang orang pertama. Memang pilihan yang tepat, karena dengan demikian Ernesto Sábato dapat menggali dan memunculkan pikiran-pikiran terdalam tokoh utamanya, termasuk tentu saja lebih leluasa menampilkan kondisi kejiwaannya. Sebagian besar isi The Tunnel adalah narasi Castel tentang segala hal yang berputar dalam kepalanya, dan karena ia seorang overthinker, maka ada banyak sekali yang ia pikirkan. Pada beberapa kesempatan mungkin kita akan merasa Castel kelewat bawel, tapi saya kira memang begitulah karakternya.

Kalau kamu membaca The StrangerAlbert Camus, kamu akan mendapat kesan yang mirip dari The Tunnel. Konfliknya berbeda tentu saja. Karakter Meursault dan Castel cukup berbeda. Meursault tidak banyak omong dan lebih sering menggumam seadanya, sementara Castel luar biasa bawel. Tetapi, konon Camus terinspirasi menulis The Stranger setelah membaca novel Castel ini. Bahkan, ia yang membawa novel tersebut untuk diterjemahkan ke bahasa Prancis. Meskipun, menurut saya, kalau The Stranger dan The Tunnel dihadap-hadapkan, kita akan menemukan cukup banyak perbedaannya. Tetapi, atmosfer narasi dan keseluruhan ceritanya mirip-gelap, depresif, dan berakhir tragis.

Kelar membaca The Tunnel, ternyata kesan yang saya peroleh agak berbeda dari perkiraan. Sebelum membeli bukunya, saya memang sudah sempat baca secuil cuplikannya yang mengindikasikan bahwa ceritanya bernuansa gelap. Tetapi, karena saya mengira semua penulis Amerika Latin punya selera humor yang baik, saya pikir The Tunnel ada lucu-lucunya sedikit. Ternyata, ya, memang lucu sih melihat bawelnya pikiran Castel yang berlebihan dan terlalu mikirin banget hal-hal yang sebenarnya belum kejadian (terus terang saya merasa Castel mirip dengan saya). Namun, lucunya tidak seperti lucu pada novela Pedro Páramo atau cerita-cerita super pendek dalam antologi Matinya Burung-Burung.

Hal paling menarik dari The Tunnel bagi saya adalah tingkat relevansinya yang amat tinggi dengan masa kekinian. Mungkin saja karena ia adalah novel cinta-cintaan, tentang seorang cowok tukang mikir dan seorang cewek misterius, sehingga saya kira jika novel ini dibaca oleh pemuda-pemudi pop masa kini, mereka akan mudah meresapi kisahnya. The Tunnel sudah dikategorikan karya sastra klasik, dan seperti karya-karya sastra klasik lainnya dengan plot utama kisah cinta, ia akan relatif lebih mudah dipahami. Bahkan, para penulis kisah cinta bisa dapat inspirasi atau ide cerita dari novel ini.

Tentu saja yang tak boleh dilupakan dari The Tunnel adalah aspek psikologisnya. Seperti tadi saya bilang, sebagian besar isi novel ini adalah celotehan Castel terhadap dirinya sendiri. Dia sering ngedumel tentang Maria, dan sebelum ia bertemu Maria, ia ngedumel tentang kritikus seni yang tidak memahami karya-karya lukisannya. Saya sangat terhibur saat membaca bagian ini. Melihat seorang seniman ngedumelin kritikus adalah salah satu kenikmatan duniawi yang hanya setingkat di bawah mengunyah martabak telor dan buang hajat di pagi hari.

Sedikit mengobrol soal penulisnya, Ernesto Sabato, ternyata The Tunnel adalah novel pertamanya. Ketimbang menerbitkan karya fiksi, ia lebih banyak menulis esei. Sabato juga dikenal sebagai seorang pelukis. Membuat saya berpikir jangan-jangan Juan Pablo Castel dalam The Tunnel adalah alter ego Sabato, atau bahkan dirinya sendiri. Enak enggak enak memang kalau jadi penulis fiksi, kadang-kadang pengin bikin fiksi yang betul-betul fiksi, tanpa sengaja hal-hal faktual masuk ke dalamnya dan jika terlacak oleh pembaca-seperti saat ini saya melacak riwayat hidup dan biodata Ernesto Sabato-bakalan dituduh curhat.

Sefiksi-fiksinya cerita yang dikarang penulis fiksi, jangan-jangan memang tidak akan pernah bisa menjadi sepenuhnya fiksi. Cerita pendek dan novel yang kita baca selama ini, jangan-jangan seluruhnya adalah hasil curhatan penulisnya sendiri, tentang kisah hidupnya sendiri, masalahnya sendiri, dan persoalan cinta dan patah hatinya sendiri. Tidak percaya? Boleh coba baca ulang buku-buku kesukaanmu, kemudian cari tahu riwayat hidup penulisnya. Lebih baik lagi kalau penulisnya belum mati, kamu bisa langsung bertanya kalau suatu saat bertemu dengannya: “Mas, buku Mas ini terinspirasi dari kisah pribadi atau bukan?”


Taruhan, sedikit yang akan dengan berani dan tanpa ragu-ragu menjawab: “Iya, ini buku sebenernya curhatan saya aja, sih. Hehehe.” ***

Beli Metafora Padma

$
0
0


Buku terbaru saya, Metafora Padma, sudah terbit sejak 15 Agustus 2016. Saat ini sudah tersebar ke toko-toko buku di 25 kota di Indonesia: Gramedia, Toga Mas, Jendela, dan toko-toko buku lain.

Bagi yang ingin memiliki buku ini, selain dengan mendatangi toko-toko buku tersebut, juga bisa membelinya di toko-toko buku daring. Kelebihan membeli buku di toko buku daring adalah, kamu tidak perlu repot-repot pergi ke toko buku, buku langsung diantar ke alamat, dan biasanya diberi harga diskon. Tentu saja ada ongkos kirim yang mesti ditanggung pembeli.

Berikut adalah daftar toko buku daring yang menyediakan Metafora Padma. 

  • Twitter: @kedaiboekoe (085891444731), @katalisbooks (085793042909), @hematbuku20 (087781853710)
  • Instagram: @demabuku (085881449998), @warnabuku (087882023533), @yukbelibukuori (087853358866), @goarbuku (081288456447), @buku_plus (089628519266)
  • Web: www,bukabuku.com, www.bukubukularis,com

Hingga hari ini, Metafora Padma sudah tersebar hampir merata di seluruh Indonesia, kecuali beberapa kota di Sulawesi dan Indonesia Bagian Timur. Jika ada yang memiliki informasi di kotanya, mohon beri tahu saya, agar pembaca lain dapat terbantu dan bisa menemukan Metafora Padma.

Terima kasih.


Kiat Sukses Hancur Lebur, Martin Suryajaya

$
0
0



Selain menuntut penulis membuat novel yang penuh kebaruan-baik itu dari segi tema, cara bercerita, dan kawan-kawannya-saya kira tuntutan serupa juga tidak salah jika disodorkan kepada pembaca. Sebagaimana penulis yang baik terus berinovasi dalam menulis, pembaca yang baik juga sekiranya bersedia memperbarui cara pembacaan. Hal tersebut yang melintas dalam pikiran saya, setiap kali membaca novel yang rada aneh, atau dalam bahasa yang sedikit lebih keren, “eksperimental”. Salah satu dari novel-novel aneh atau “eksperimental” itu adalah sebuah novel Indonesia baru yang saya baca beberapa hari lalu, Kiat Sukses Hancur Lebur, karya debut Martin Suryajaya.

Terus terang saya menghadapi kesulitan yang hakiki ketika hendak mengulas novel ini. Bukan karena ia sulit dimengerti, tetapi karena Kiat Sukses Hancur Lebur ditulis dalam bentuk yang unik dan tidak konvensional. Novel ini ditulis selayaknya sebuah buku nonfiksi bertema pengembangan diri atau self-help. Di dalamnya terdapat panduan melakukan macam-macam hal, di antaranya adalah bagaimana mempelajari manajemen bisnis dan kiat-kiat budidaya lele.

Membaca judul-judul bab dalam daftar isinya: Menjadi Pribadi Sukses Berkepala Tiga, Tujuh Kurcaci Manajemen Bisnis, Pemrograman Komputer Menggunakan Sepuluh jari-seketika kita pembaca dibuat ragu apakah sebenarnya kita ini sedang membaca novel atau buku nonfiksi bertema pengembangan diri. Namun, karena penulisnya menyebut buku ini “novel”-setidaknya terlihat dari label pada sampul depan-maka baik, marilah kita hadapi buku ini sebagai novel.

Tetapi, agak mustahil menghadapi Kiat Sukses Hancur Lebur sebagai novel, itu sebabnya di awal tulisan ini saya berkata bahwa seorang pembaca mesti terus mengembangkan cara pembacaannya. Sebagai novel, buku Martin Suryajaya menyeleweng dari hampir seluruh “pakem” elemen sebuah karya fiksi. Tidak ada plot, kehadiran tokoh-tokoh antagonis maupun pendukung, latar tempat dan waktu, adegan, dan konflik.

Satu-satunya penggalan “cerita” yang bisa dipegang untuk menghadapi Kiat Sukses Hancur Lebur sebagai novel adalah nukilan yang tercantum pada sampul belakang buku ini, yang mengatakan bahwa seorang editor menerima kiriman manuskrip novel di tahun 2019 dari seorang penulis bernama Anto Labil, S. Fil (iya, disertai gelar akademis) yang merupakan anggota komunitas sastra radikal di Semarang. Disampaikan pula bahwa manuskrip novel tersebut ditulis dengan gaya seorang pemabuk yang membuat sang editor merasa “tidak pernah cukup meneguk zat asam saat menyuntingnya”.

Akan tetapi, ketika beranjak masuk ke dalam novelnya, kita sama sekali tidak akan menemukan cerita. Tidak ada plot. Tidak ada konflik. Dialog pun amat minim. Hanya ada narasi berupa celotehan narator (tidak dijelaskan apakah Anto Labil, S.Fil sendiri yang menjadi narator ataukah ada seorang protagonis rekaan lain yang berperan sebagai narator) yang menuturkan beragam hal, mulai dari “Tips Sukses Menjadi Pribadi Berkepala Tiga”, “Kiat-kiat Bunuh Diri di Apartemen”, hingga “Resep Sukses Tes Calon Pegawai Negeri Sipil”.

Muatan bukunya sendiri juga bisa dibilang jauh dari bentuk novel yang pernah kita lihat selama ini. Alih-alih sebuah cerita panjang yang utuh, Kiat Sukses Hancur Lebur justrumenampilkan tabel, grafik, dan gambar-gambar pendukung yang lumrahnya terdapat pada karya ilmiah seperti jurnal atau skripsi. Tetapi, tabel, grafik, dan gambar-gambar itu pun tidak tampil dengan wajar, dan malah memberi keterangan yang, jika dilihat sekilas, terkesan ngawur.

Namun, di balik kesan ngawur itu, sesungguhnya Kiat Sukses Hancur Lebur dapat dibaca sebagai cara Martin Suryajaya melayangkan kritik dan ejekennya kepada banyak hal. Ia mengejek fungsi dan kinerja pegawai negeri sipil, manfaat etika bagi kehidupan manusia, dan lain-lain banyak lagi yang sebaiknya kamu cari sendiri saja lah.

Memang sedikit membingungkan menghadapi buku fiksi Martin Suryajaya jika kita tidak memperbarui cara membaca novel. Di sisi lain, saya juga tertarik ingin mengetahui alasan mengapa Martin memberi label “novel” di buku yang jelas memiliki susunan dan bentuk konten lebih mirip karya nonfiksi ilmiah alih-alih sebuah buku fiksi. Apakah itu demi berlindung di balik tameng istimewa fiksi yang mengizinkannya tidak bertanggungjawab atas keabsahan atau keakuratan data dalam tulisannya, atau Martin sungguh-sungguh sedang ingin membuat novel bentuk baru dengan mendobrak aturan-aturan naratif sebuah cerita?

Saya kira, Kiat Sukses Hancur Lebur akan lebih mudah dihadapi pembaca awam jika diberi label “novel komedi”, karena isinya memang lucu dan bertendensi ke arah sana: melucu. Tetapi memang bakal kurang asyik kalau belum-belum penulisnya sudah melabeli sendiri karyanya sebagai novel komedi. Seandainya enggak lucu, gimana? Apa dia mau tanggung jawab? Mungkin itu alasan Martin Suryajaya, meskipun menulis sesuatu yang teramat lucu, tidak cukup gegabah untuk mencantumkan label novel komedi pada bukunya.

Terus terang rada-rada sulit bikin ulasan tentang buku ini. Saya harus membaca ulang bukunya dengan mengambil halaman secara acak demi mencari kira-kira poin apalagi yang mesti saya tulis. Intinya novel Martin Suryajaya ini menurut saya adalah novel yang merusak semuanya: Format karya fiksi, bentuk cerita, bahkan-ini yang paling mendasar dan krusial-logika. Jadi saya baca buku Martin dengan kenikmatan rasa terhibur karena tuturan naratornya yang jenaka. Tetapi apa sebenarnya isi buku ini? Tak tahulah saya.

Tapi buat saya enggak penting tahu apa isi dan maksud buku ini. Buat saya, ya. Kalau kamu tetap butuh mencari makna, maksud, dan pesan moral dari buku ini, ya sudah silakan cari sendiri. Saya tetap menikmati Kiat Sukses Hancur Lebur tanpa paham benar apa yang pengin dibicarakan penulisnya (baik itu Anto Labil, S. Fil atau Martin Suryajaya-yang kayaknya juga S. Fil). Novel ini sumpah minta ampun lucunya. Itu saja yang akan saya katakan ke orang-orang jika mereka bertanya apa bagusnya novel ini. Kalau mereka melanjutkan dengan pertanyaan: “Memang bukunya tentang apa?” atau “Ceritanya bagaimana?” saya langsung angkat pundak dan geleng-geleng. “Baca sendiri deh,” paling-paling saya bakal bilang begitu.


Selain ketawa yang enggak kelar-kelar sepanjang membaca Kiat Sukses Hancur Lebur, setidaknya ada satu hal penting (hore, akhirnya!) yang saya peroleh dari membaca novel perdana Martin Suryajaya ini. Dengan jitu dan melalui cara yang menyenangkan, Martin Suryajaya memperlihatkan kepada saya bahwa cara terbaik mengkritik sesuatu (atau seseorang) adalah dengan membuat lelucon tentangnya. Jadi, lain kali kamu membenci sesuatu (atau seseorang) tidak perlu teriak marah-marah sampai urat leher putus, cukup merancang anekdot atau cerita saja dan jadikan dia tokoh bernasib menyedihkan. ***

The Hour of The Star, Clarice Lispector

$
0
0



Sebagai anak kecil, saya selalu berpikiran baik tentang Tuhan. Artinya, di mata saya, Tuhan selalu bersikap baik terhadap manusia ciptaannya. Tidak mungkin Tuhan jahat, apalagi kejam dan sadis. Rezeki manusia, itu Tuhan yang kasih karena Dia baik. Manusia kejatuhan sial, itu bukan ulah Tuhan. Mungkin hasil usilnya setan atau iblis. Manusia dapat nasib buruk lalu mati konyol? Itu bukan Tuhan yang bikin, tetapi mungkin manusia sudah tergoda setan atau iblis sampai berjalan di jalan yang bengkok-bengkok (tidak lurus) sehingga jeblos ke lubang keterpurukan. Adalah tidak mungkin bagi nalar saya sebagai anak kecil, Tuhan berbuat jahat. Tidak ada hal lain yang masuk akal bagi saya selain Tuhan = baik.

Tetapi, semakin beranjak dewasa, secara perlahan dan pasti saya justru memiliki kecenderungan memandang Tuhan sebagai entitas yang sebenarnya rada-rada negatif juga. Akarnya adalah slogan “Semua terjadi atas kehendak-Nya” yang sudah sering saya dengar sejak bocah sampai sekarang. Dulu saya enggak pernah mencerna benar makna dari kalimat itu, tetapi ketika otak saya sudah cukup bisa disuruh mikir, ternyata frasa tersebut terdengar ganjil. Jika semua terjadi atas kehendak Tuhan, berarti bocah-bocah tewas dihantam bom di Aleppo itu atas kehendak Tuhan? Mereka tidak sempat hidup cukup panjang untuk berbahagia dan membahagiakan orangtuanya itu atas kehendak Tuhan? Bayi mati dibunuh orangtuanya sendiri, anak gadis mati diperkosa bapaknya sendiri, istri dibacok sampai tewas sama suaminya sendiri, itu semua terjadi atas kehendak Tuhan juga?

Ajegile, kejam betul Tuhan ini.

Tapi apa boleh buat, namanya saja Yang Maha Kuasa. Suka-suka Dia lah. Dia yang punya power. Kita manusia bisa apa. Paling-paling cuma bisa mencari hikmah dari segala yang terjadi dan berusaha semampu mungkin menolong satu sama lain. Pada Tuhan yang kejam itulah kita juga tetap akan berdoa, berpengharapan, dan menyandarkan sepenuhnya hidup-mati kita. Pada Tuhan yang mengizinkan peperangan dan pemusnahan manusia itulah kita juga tetap akan memohon keselamatan, masa depan yang baik, dan dunia yang lebih indah buat anak-cucu kita. Apakah Tuhan di sana (atau di sini, atau di mana saja) mendengarkan doa-doa itu dan mengabulkannya? Dirasa-rasa sendiri saja.

Kenapa saya merepet tentang Tuhan, menuduhnya kejam pula? Karena saya baru selesai membaca novelnya Clarice Lispector, The Hour of the Star. Dalam novel ini protagonisnya bikin iba. Lebih iba karena yang bersangkutan enggak merasa dirinya perlu dikasihani. Dia enggak merasa ada yang salah atau kurang dalam hidupnya. Padahal kalau kita baca ceritanya, dengan nalar kita sebagai manusia yang hidup “normal”, kita akan segera saja tahu bahwa hidup Macabéa, seorang gadis yang jadi protagonis novel ini, punya nasib yang betul-betul bikin sedih dan sangat layak dikasihani.

Sedikit informasi tentang penulisnya. Clarice Lispector adalah penulis asal Brasil. Ia sudah meninggal pada tahun 1977 di Rio de Janeiro. Lispector lahir di Ukraina dan langsung dibawa ke Brasil ketika ia masih bayi. The Hour of the Star ditulis dalam bahasa Portugis (saya baca terjemahan bahasa Inggris Benjamin Moser, terbitan New Directions), termasuk satu dari beberapa karya terakhirnya. Buku yang diterbitkan posthumous ini, menurut beberapa reviu, merupakan salah satu karya terbaik Lispector. Buku-buku Lispector mulai banyak diterjemahkan ulang ke bahasa Inggris ketika Benjamin Moser menulis biografi tentang dia dalam buku berjudul Why This World: A Biography of Clarice Lispector.

Kembali ke The Hour of the Star. Ini adalah novel tipis (belakangan saya lebih suka menyebut “novel tipis” ketimbang “novela”/“novelet”) setebal 77 halaman yang bercerita tentang nasib buruk seorang gadis baik dan kekejaman Tuhan. Protagonisnya, tadi sudah saya sebut, bernama Macabéa. Macabéa gadis belia yang tinggal di kawasan miskin di Rio de Janeiro. Ia bekerja sebagai tukang ketik dan meski miskin, ia tidak merasa hidupnya kekurangan. Macabéa adalah gadis lugu yang bukan saja tidak mengetahui tentang banyak hal di dunia luar, tetapi juga tidak mengetahui bahwa dirinya sendiri penuh kekurangan: kurang harta, kurang cinta, dan kurang (bahkan sama sekali tidak pernah memiliki) harapan.

Alur ceritanya tidak begitu panjang. Sangat pendek malah. Dibuka oleh narator serba tahu (omniscience), kita mulai memasuki kehidupan Macabéa. Suara narator mendominasi keseluruhan isi novel. Kemungkinan besar, yang menjadi narator adalah Clarice Lispector sendiri, karena pada beberapa bagian terdapat petunjuk bahwa si narator adalah seseorang yang menuliskan kisah ini (kisah di dalam The Hour of the Star). Tidak hanya menceritakan tokoh-tokohnya, tetapi si narator pun memiliki karakter, dan dari narasinya kita bisa mengetahui kondisi psikologis narator serta bagaimana ia berempati pada protagonisnya, si gadis lugu Macabéa.

Lalu, suatu hari Macabéa jatuh cinta (tetapi sebenarnya dia tidak benar-benar mengerti jatuh cinta itu bagaimana) pada seorang cowok machismo, seorang gali bernama Olímpico. Hubungan mereka terlihat seperti cinta bertepuk sebelah tangan, karena hanya Macabéa yang menunjukkan afeksinya buat Olímpico, sementara si cowok terus-terusan mengoceh tentang ambisinya (ia akan jadi orang paling disegani sedunia, punya pengikut dan berkuasa) dan kerap berkata kasar ke Macabéa. Olímpico juga sering jengkel pada Macabéa karena di matanya Macabéa seperti gadis bodoh dan aneh. Tetapi sebetulnya Macabéa hanya punya logika yang agak unik karena wawasan dan kesadarannya sempit. Pada beberapa adegan malah terlihat Olímpico yang tidak begitu cerdas dan Macabéa punya nalar yang lebih kritis (ia banyak bertanya tentang istilah-istilah asing yang ia dengar dari stasiun radio).

Hubungan Macabéa tidak berjalan lancar karena Olímpico lebih naksir teman kerja Macabéa, cewek bernama Glória yang bertubuh subur dan semlohay. Buat Olímpico, cewek kayak Glória ini yang bisa memberinya keturunan kualitas wahid, bukan gadis kurus tak terurus seperti Macabéa. Macabéa pun patah hati (tetapi ia tertawa saat diputusin Olímpico). Glória, didorong rasa bersalah, merekomendasikan kepada Macabéa seorang peramal yang bisa membuatnya punya nasib mujur. Macabéa pergi ke peramal itu dan memang akhirnya peramal bilang dirinya akan bernasib baik. “Setelah keluar dari tendaku, seorang cowok tampan akan jatuh cinta padamu, dan kau akan berbahagia dengannya.”

Macabéa merasakan sesuatu yang tidak pernah ia rasakan seumur hidupnya: secercah harapan. Gelembung kesadarannya bocor tipis dan angin dunia luar yang hangat masuk ke dalam kepalanya dan membuatnya tahu bahwa ada hal lebih di luar kehidupannya selama ini. Harapan.

Tetapi ketika melangkahkan kaki keluar tenda peramal, Macabéa malah ditabrak mobil. Tewas di tempat.

Selesai perkara. Selesai.


Tidakkah tadi sudah saya katakan bahwa novel bagus ini bercerita tentang gadis bernasib buruk dan Tuhan yang kejam?

The Corpse Exhibition, Hassan Blasim

$
0
0



Saya pernah melihat prosesi leher seseorang digorok sampai putus. Waktu itu saya sekolah tahun kedua SMA. Suatu siang, sepupu saya yang gemar menonton dan mengoleksi video-video brutal dan sadis kategori not safe for work, memberi saya satu video. Saya pikir video apa. Baru beberapa detik berjalan, saya sudah menebak ke mana arah cerita gambarnya. Saya bergidik dan jijik, tetapi rasa penasaran saya lebih besar. Saya mengendalikan diri dan berhasil menyaksikan video itu hingga selesai.

Sampai hari ini saya masih ingat detail dari video sadis tersebut. Pada tahun-tahun yang sama, saya melihat gambar-gambar lain berisikan hal serupa. Kali ini bukan video, tetapi foto-foto. Hasil puncak kerusuhan antaretnis di masa itu. Salah satu foto yang paling melekat dalam memori saya adalah gambar yang memperlihatkan tiga hingga empat kepala manusia, masing-masing diletakkan dan disusun di atas drum-drum kosong, seolah-olah mereka benda pameran. Dan saya kira memang pelakunya ketika itu sedang memamerkan hasil buruan mereka.

Saya membaca The Corpse Exhibition dan tidak bisa menghindar dari ingatan tentang kepala-kepala terpenggal yang disusun itu. Buku ini sebuah kumpulan cerita pendek. Ada empat belas cerita di dalamnya. Cerita pertama, “The Corpse Exhibition”, langsung berhasil menarik perhatian saya dan membuat saya menyukai keseluruhan bukunya meskipun belum membaca cerita-cerita lain (efek baik dari cerita pembuka yang bagus). Berkisah tentang agensi pembunuh yang misi utamanya adalah merancang korban-korban mereka agar tampak seperti benda seni. Mereka memajang mayat-mayat hasil penugasan di sudut-sudut kota dan membentuknya sedemikian rupa supaya mayat-mayat itu jadi terkesan artsy, layaknya benda-benda dalam pameran seni. Namun, kata seorang yang sepertinya supervisor di agensi itu, “…we are not terrorists whose aim is to bring down as many victims as possible in order to intimidate others, nor even crazy killers working for the sake of money.” Bahkan, “We have nothing to do with the fanatical Islamist groups or the intelligence agency of some nefarious government or any of that kind of nonsense.” Kocak dan ironis sekali.

Kocak dan ironis adalah dua kata yang bisa menyimpulkan seluruh cerita dalam The Corpse Exhibition. Dua kata lain: brutal dan vulgar. Brutal karena banyak adegan penembakan dan pembunuhan. Vulgar karena adegan-adegan tersebut sama sekali tidak disamarkan atau dikemas dalam bentuk kemasan, apalagi metafora-metafora. Realisme Blasim sangat mengejutkan karena ia disajikan apa adanya. Sama sekali tak ada niat untuk mengaburkannya dengan alasan apapun. Kalau dahi orang bolong kena peluru, ya dikasih lihat bolongannya seperti apa. Kalau ada orang mati ditusuk, ya digambarkan bagaimana darahnya muncrat dan menggenang di jalan. Tetapi ada dua kata berikutnya: magis dan mistis. Ini yang membuat kumcer Hassan Blasim semakin menarik. Selain anak kecil yang diajari abangnya cara membunuh orang, ada pula sekelompok sahabat yang bisa menghilangkan pisau dan memunculkannya kembali.

Dua cerita yang menjadi favorit saya dalam buku ini terletak di pembuka dan penutup. Penutupnya, cerita berjudul “The Nightmares of Carlos Fuentes”, sempat bikin saya agak terkecoh karena mengira akan bercerita tentang orang Meksiko. Ternyata protagonisnya-seperti hampir di semua cerita-adalah laki-laki arab yang mengubah identitasnya demi meninggalkan negara dan masa lalu yang kelam. Carlos Fuentes adalah Salim Abdul Husein, bekerja sebagai petugas pembersihan sisa-sisa ledakan perang yang bermigrasi ke Eropa dan mati di sana setelah dikejar-kejar mimpi buruk. Dalam mimpi buruknya, Carlos Fuentes kehilangan kemampuan berbahasa Belanda-yang sudah ia pelajari lama demi menjadi orang Eropa-dan tiba-tiba seluruh atribut identitasnya sebagai orang Arab muncul kembali. Ia kemudian berusaha untuk bermimpi dan memusnahkan segala hal yang berasal dari masa lalunya; ke-arab-annya. Dalam mimpinya secara mengejutkan ia bertemu Salim Abdul Husein, dirinya sendiri, dan cerita pun berakhir dengan tragis.

Kalau pernah baca cerpen-cerpennya Etgar Keret, membaca Hassan Blasim akan memberi sensasi serupa, walau tidak persis sama. Di cerpen-cerpen Etgar Keret, humornya lebih terasa dan unsur fantasinya relatif lebih kentara. Hassan Blasim, meskipun cerpen-cerpennya juga terasa kocak, perasaan yang lebih menempel di hati adalah sejenis kegetiran dan kepedihan. Bukan cuma karena Blasim memilih menuturkan kisah-kisah dari belakang layar peperangan itu dengan cara yang vulgar alias sebagaimana adanya, tetapi juga karena kesedihan yang dipendam tokoh-tokohnya begitu dalam dan terlalu pekat untuk ditertawai. Yang jelas, kalau pengin belajar jadi cerpenis yang bagus, Etgar Keret dan Hassan Blasim adalah dua penulis yang patut dijadikan standar (saya kira membaca karya keduanya pada waktu bersamaan juga layak dicoba, mungkin bakal memberi sensasi yang menarik mengingat yang satu memberi cerita-cerita perang dari sudut pandang Yahudi Israel dan satunya lagi menyajikannya dari kacamata orang Arab-Islam Irak).

Cerita tentang sekawanan berkemampuan sejenis sihir yang bisa melenyapkan pisau dan memunculkannya kembali, berjudul “A Thousand and One Knives” (judulnya pasti bikin teringat pada dongeng seribu satu malam, pelafalan knives juga mirip-mirip nights), juga bagian yang menarik dari buku ini. Sekawanan itu terdiri dari empat orang, dengan tiga-tiga laki yang hanya bisa menghilangkan pisau tetapi tidak bisa memunculkannya kembali, dan satu perempuan yang bisa memunculkanya. Cara mereka melakukannya: menatap pisau selama 30 detik dan menangis, tanpa berkedip. Maka poof! hilanglah pisau itu, atau poof! muncul kembali. Paragraf yang saya suka dari cerpen ini: “The days passed slowly and sadly, like the miserable face of the country. The wars and the violence were like a photocopier churning out copies, and we all wore the same face, a face shaped by pain and torment…”

Satu lagi dari buku ini yang saya kira amat relevan untuk disebut. Pada sebuah cerita, Blasim melalui tokohnya berkata bahwa “manusia menggunakan Tuhan untuk memenggal kepala orang lain”. Ouch, kalau saya jadi Tuhan, saya enggak tahu harus bereaksi gimana. Apakah mengucurkan ke dunia manusia karunia yang lebih besar agar mereka bersyukur dan menyadari betapa pengasih dan penyayangnya saya, atau membiarkan mereka melanjutkan misi mulianya demi menegakkan nama saya dengan cara meledakkan tubuh anak-anak kecil dan menghancurkan hidup orang-orang baik?


Sepertinya itu tugas yang terlalu berat, jadi saya perlu mencari pendapat lain. Kalau kamu, seandainya jadi Tuhan, apa yang akan kamu lakukan? 

Lomba Review Metafora Padma

$
0
0


Bagi kamu yang sudah memiliki dan membaca buku Metafora Padma, saya ingin memberi kamu hadiah. Caranya, kamu harus menulis review buku tersebut dalam rentang waktu yang sudah ditentukan. Review terpilih akan mendapat bingkisan menarik dari saya.

Aturan mainnya sederhana saja:

1. Tulis review Metafora Padma di blog.
2. Tweet tautan blog review kamu dan mention saya: @benzbara_ pakai tagar #MetaforaPadma

Lomba ini berlangsung 31 Agustus 2016 - 10 September 2016. Hanya satu tulisan terpilih yang akan mendapatkan hadiah dari saya. Pengumuman pemenang tanggal 11 September 2016 di twitter @benzbara_ dan blog ini.

Tambahan: jangan lupa untuk rate dan mengomentari Metafora Padma di Goodreads.

Selamat menulis!

Tidak Benar-Benar Sendirian (Etgar Keret)

$
0
0
Diterjemahkan dari buku Suddenly, A Knock on the Door

*

Tiga laki-laki yang pacaran dengannya pernah mencoba bunuh diri. Ketika menceritakan hal tersebut, ia terdengar sedih, tetapi juga agak bangga. Satu dari mereka bahkan berhasil melakukannya: melompat dari atap gedung fakultas humaniora. Tubuhnya ambyar tak keruan, walaupun jika dilihat dari agak jauh dia tampak utuh, bahkan sepertinya mati dengan tenang. Ia tidak ke kampus di hari pemuda itu mati. Teman-temannya yang memberi kabar.

Kadang-kadang, saat ia sedang di rumah sendirian, ia bisa merasakan kehadiran pemuda itu; di ruang tamu bersamanya, memperhatikannya. Ketika itu terjadi, mula-mula ia merasa agak takut, tetapi ia senang. Karena ia tahu bahwa ia tidak benar-benar sendirian.

Aku? Oh, ia sangat menyukaiku. Suka, tetapi tidak tertarik. Dan hal itu membuatnya sedih, seperti aku yang bahkan merasa lebih sedih. Karena ia sangat ingin tertarik dengan orang sepertiku. Seseorang yang pintar, santun, dan sungguh-sungguh mencintainya.

Setahun ini ia punya affair dengan pedagang barang seni yang usianya lebih tua. Laki-laki itu sudah menikah dan sama sekali tidak berencana cerai dari istrinya. Kepada laki-laki itulah, ia tertarik. Jahat sekali. Jahat bagiku dan jahat baginya.

Hidup akan lebih simpel andai saja ia tertarik padaku.

*

Ia mengizinkanku menyentuhnya. Kadang-kadang kalau punggungnya sakit, ia bahkan memintaku melakukannya. Saat aku memijatnya ia akan memejam dan tersenyum. “Enak,” ia bilang, “enak banget.”

Sekali waktu, kami bahkan bercinta. Usai merenunginya, ia bilang itu kesalahan. Sebagian dari dirinya terlalu menginginkan hubungan kami berhasil sehingga ia tidak berpikir panjang. Tetapi wangiku, tubuhku, sesuatu di antara kami tidak bisa klop. Ia sudah empat tahun kuliah psikologi dan tetap tak bisa menjelaskan apa yang terjadi. Pikirannya menginginkanku, tetapi tubuhnya enggan.

Memikirkan momen bercinta kami malam itu membuatnya sedih. Banyak hal yang membuatnya sedih. Ia masih seperti kanak-kanak. Hampir seluruh masa kecilnya ia lalui sendirian. Ayahnya sakit, sekarat, lalu meninggal. Ia tidak punya abang yang bisa mengerti dirinya, yang bisa mengemongnya. Aku satu-satunya yang bisa ia anggap abang. Aku, dan Kuti; itu nama laki-laki yang lompat dari gedung fakultas  humaniora.

*

Ia bisa mengobrol selama berjam-jam denganku tentang apapun. Ia bisa tidur denganku, melihatku tanpa pakaian, dan berada di sekitarku tanpa pakaiannya. Tidak ada hal apapun di antara kami yang membuatnya malu. Bahkan ketika aku masturbasi di sampingnya. Walaupun meninggalkan noda di seprei, dan itu membuatnya sedih. Sedih karena ia tak bisa mencintaiku, tetapi jika hal tersebut bisa membuatku merasa baikan, ia rela membersihkan noda itu.

Sebelum ayahnya wafat, mereka berdua sangat dekat. Ia dan Kuti juga dekat. Kuti jatuh cinta padanya. Aku satu-satunya orang yang dekat dengannya yang masih hidup. Namun, pada akhirnya aku mulai kencan dengan gadis lain, dan ia kembali sendiri. Ia tahu, ini pasti terjadi. Dan ketika betul-betul terjadi, ia bersedih. Sedih pada dirinya sendiri, tetapi juga bahagia untukku karena aku menemukan cinta.

Saat aku keluar, ia mengusap wajahku dan berkata bahwa meskipun ia merasa sedih, ia juga tersanjung. Tersanjung, karena di antara seluruh perempuan yang ada di dunia, ia satu-satunya yang aku bayangkan ketika aku masturbasi.

*

Pedagang barang seni yang tidur dengannya juga, dia lebih pendek dariku dan berbulu lebat. Entah di mana menariknya. Dia tentara Netanyahu, dan berteman dengannya. Benar-benar berteman. Kadang, saat dia mengunjungi pacarku, dia bilang kepada istrinya bahwa ia pergi ke tempat Bibi-Netanyahu itu sendiri.

Suatu hari, ia tidak sengaja bertemu laki-laki itu bersama istrinya di mal. Jarak mereka cuma beberapa langkah. Ia tersenyum kepada laki-laki itu; senyum tipis dan diam-diam. Laki-laki itu mengabaikannya; melihatnya tetapi seperti tidak melihat apa-apa. Seakan-akan ia hanya udara kosong.

Ia mengerti laki-laki itu tidak bisa membalas senyumnya atau menyapanya karena istrinya ada di sana, tetapi tetap saja rasanya menyakitkan. Ia berdiri sendirian di sebelah telepon umum dan mulai menangis.

Malamnya adalah malam ketika kami bercinta untuk kali pertama. Usai merenunginya, ia bilang itu kesalahan.

*

Empat laki-laki yang pacaran dengannya pernah mencoba bunuh diri. Dua dari mereka bahkan berhasil melakukannya. Keduanya adalah laki-laki yang paling ia pedulikan. Mereka dekat dengannya, sangat dekat, seperti abang kandung.


Kadang-kadang, saat ia sedang di rumah sendirian, ia bisa merasakan kehadiran kami; di ruang tamu bersamanya, memperhatikannya. Ketika itu terjadi, mula-mula ia merasa agak takut, tetapi ia senang. Karena ia tahu bahwa ia tidak benar-benar sendirian.

Mencungkil Peluru dan Bertahan Hidup

$
0
0



Ketika kamu mencintai seseorang, sulit membayangkan hidupmu tanpa dirinya. Di pikiranmu, hanya ada satu kehidupan, yakni kehidupan yang di dalamnya ada dia. Tidak ada versi lain. Tidak mungkin ada. Tetapi saya katakan dengan tegas: kamu bisa hidup tanpa orang yang kamu cintai.

Sebagai orang yang perasa, rasa-rasanya mustahil kalimat barusan terlontar dari mulut saya. Keterikatan emosional membuat saya benar-benar bergantung pada hubungan yang sedang saya miliki. Namun, pengalaman lima kali pacaran telah membuktikan bahwa betapapun saya berkata tidak bisa hidup tanpa seseorang yang sangat saya cintai, pada akhirnya saya bisa. Saya masih bernapas setelah kehilangan. Saya masih berkarya. Saya bahkan kembali berbahagia.

Seorang teman pernah berkata, ketika mencintai seseorang, kamu adalah budak. Kamu menjadi budak bagi perasaanmu sendiri. Bagi rasa takut kehilangan, yang membuatmu melakukan apapun yang diperlukan demi mempertahankan orang yang kamu cintai. Walau kamu tahu hubunganmu dengan dia tidak berkembang ke arah yang lebih baik, kamu tetap akan mempertahankannya, karena kamu takut kehilangan. Kamu tidak ingin membayangkan rasanya terbangun di pagi hari tanpa sapaan “Selamat pagi…” atau telepon dari seseorang yang bermakna bagimu.

*

Cinta membawa jebakan-jebakannya sendiri. Mereka bilang kamu tidak boleh melepaskan seseorang yang mencintaimu dan kamu cintai. Benarkah begitu? Apa mereka tahu bahwa dua orang bisa saling mencintai dan melukai sekaligus? Bagaimana dengan cinta dan hubungan yang seperti itu, apakah kita tetap harus mempertahankannya? Kalau iya, untuk berapa lama? Seumur hidup?

Bagi saya, sebuah hubungan (relationship) sama seperti kehidupan itu sendiri, harus tumbuh dan berkembang. Mulai dari bibit, tunas, berbatang, berbunga, dan berbuah. Setelah berbuah, ia tetap tumbuh: memperkuat batang, memperdalam akar, melebatkan daun-daun, dan menyuburkan bunga-bunga dan buahnya. Tak boleh stagnan. Hubungan yang stagnan seperti tanaman yang gagal berkembang. Mencintai seseorang saja sudah tindakan gila. Mempertahankan hubungan yang stagnan, itu lebih gila.

Contoh hubungan yang stagnan: masalah serupa muncul berulangkali. Bahkan keledai hanya jatuh dua kali di satu lubang (pada beberapa keledai lain mungkin lebih). Tentu saya tidak ingin menjadi keledai dan punya hubungan yang seperti keledai. Saya ingin berada dalam hubungan yang, jikapun ada masalah (dan pasti ada masalah; hubungan yang tak ada masalah bukanlah sebuah hubungan) selalu berbeda dari waktu ke waktu, dan lebih esensial.

Kata Agnes Monica, cinta kadang-kadang tak pakai logika. Amin. Tapi, pada suatu titik saya akan mengambil lagi otak yang saya tinggal di dalam lemari pakaian, dan menimbang-nimbang apakah cinta ini masih layak dipertahankan? Apakah hubungan dengan pacar saya ini masih bertumbuh dan berkembang? Ataukah sudah mentok dan berputar-putar lagi di masalah yang itu-itu saja? Apakah kami berdua bisa tidak lebih saling menyakiti lagi di masa depan?

*

Hubungan terakhir saya bertahan dua setengah tahun. Dia perempuan luar biasa dan menyenangkan. Dia senang membaca buku, gemar menulis, menyukai sastra sebagaimana diri saya. Dia seperti anak kecil yang manja, manis, menggemaskan di waktu-waktu tertentu, dan menjadi perempuan dewasa bijak dan tenang di waktu-waktu lain. Dia Scorpio, memahami sepenuhnya sifat sensitif dan tingkah aneh seorang Cancer seperti saya. Hanya dia yang mengerti cara saya berpikir, dan hanya dia yang tertawa pada lawakan-lawakan absurd saya.

Saya sangat mencintainya sebagaimana dia mencintai saya.

Tetapi saya tetap harus melepaskannya, sebagaimana dia melepaskan saya.

“Kamu bisa mencintai sesuatu dan tetap harus membiarkannya pergi.” Itu dialog seorang figuran dalam cerita pendek seorang penulis Israel yang saya sukai. Saya termenung membaca kalimat itu. Ternyata cinta tidak memberi legitimasi pada kita untuk terus-terusan mempertahankan seseorang, sehingga pertanyaan aneh seperti: “Kok kalian putus? Kan, masih sayang.” harusnya masuk ke dalam kitab daftar hal-hal usang yang tidak relevan, sejenis dengan pertanyaan kapan kawin.

Mencintai adalah satu hal, berada dalam relationship hal lain. Kamu tidak bisa cuma bermodal cinta untuk punya hubungan langgeng sampai mati. Saya cinta pacar saya, tetapi saya tidak bisa menghindari hal-hal yang melukainya. Begitu pula dengan dia. Pada awalnya kami masih percaya diri bisa menangani masalah ini. Tetapi selalu ada akhir bagi sesuatu, termasuk daya tahan dan kesabaran.

Mencintai seseorang sembari terus-terusan melukainya adalah bentuk terburuk dari cinta. Kamu bisa berada di posisi keduanya: yang dilukai atau melukai. Saya, barangkali, mengambil peran yang terakhir. Saya tidak bisa melihat pacar saya bersedih karena saya tidak mampu mengontrol pikiran-pikiran saya. Saya tidak ingin memerangkapnya dengan asumsi-asumsi dan ketakutan saya sendiri. Saya tidak mau menarik kakinya, apalagi mematahkan sayapnya yang sedang terbang ke tempat-tempat yang lebih jauh dan dia inginkan.

Saya ingin dia terus terbang tinggi, tetapi barangkali lebih baik jika dia terbang tanpa saya.

*

Penting bagi saya mengambil waktu untuk merenungi hubungan yang sedang saya miliki. Salah satu pertanyaan yang akan saya ajukan ke diri sendiri adalah: apakah saya menghambat ia bertumbuh? Jika ya, barangkali saatnya menguatkan hati dan melepaskannya pergi. Mungkin jatah perjalanan saya dengannya sampai di sini saja. Tentu saja pertanyaan tadi bisa dibalik. Apakah dia menghambatmu bertumbuh?

Ada banyak keputusan berat yang harus diambil sepanjang hidup, salah satu dari yang paling berat adalah melepaskan seseorang yang kamu kira sudah terbaik. Kamu tidak bisa membayangkan ada orang yang lebih memahami ambisi dan mimpi-mimpimu sekaligus terhibur oleh lawakan-lawakanmu yang garing. Tidak ada orang yang lebih bisa menggila, membicarakan hal remeh-temeh, sekaligus mendiskusikan makna kehidupan selama berjam-jam di telepon denganmu.

Namun, saat keputusan harus diambil, jadilah orang berani. Tentu saja rasanya sakit. Hanya orang bodoh atau punya kelainan fungsi saraf-saraf sensorik yang bisa bilang putus cinta dan patah hati rasanya biasa saja. Kamu tidak akan baik-baik saja. Kamu akan bersedih ketika genggamanmu pada akhirnya harus kamu kendurkan, dan lepaskan. Tetapi untuk sembuh, peluru di paha prajurit harus dicungkil besi panas dan kaki yang terkena ranjau musti diamputasi.

Tidak ada yang lebih melegakan daripada membuang racun di tubuhmu. Kamu juga harus paham jangan-jangan kamu yang jadi racun bagi dia. Jika kamu telah menyadarinya dengan baik, jangan berlama-lama. Segera lepaskan. Kamu tidak berhak memerangkap seseorang yang kamu cintai dalam hubungan yang tidak membuatnya bertumbuh, begitu pula sebaliknya.

Seperti seorang prajurit yang tubuhnya bersarang belasan peluru, kamu akan tetap hidup setelah peluru-peluru itu dicungkil dan dibuang. Sakit, hampir mau mati, bahkan kamu berharap nyawamu dicabut-tetapi kamu akan bertahan. Kamu akan melihat kehidupan lain yang di dalamnya tidak ada orang yang kamu cintai. Kehidupan dalam bentuk yang sedikit berbeda. Kehidupan yang jangan-jangan lebih indah dan lebih baik bagimu, juga bagi dia.


***

Mencari yang Terbaik dalam Ketidakterbatasan

$
0
0


Saya berusia 12 tahun ketika pertama kali naksir seseorang. Teman satu sekolah. Saya menyukainya karena terbiasa melihatnya di kelas, kantin, dan lapangan. Ia tidak sangat cantik, tetapi pintar. Di usia 13 tahun, saya naksir adik kelas. Sayang sekali tidak sempat pacaran karena saya telat nembak. Waktu SMA, saya naksir beberapa kali dengan adik kelas, teman seangkatan, maupun kakak kelas. Semua berada di sekolah yang sama. Saya tidak punya referensi lain selain apa yang bisa saya lihat sehari-hari di sekolah.

Semua itu terjadi dalam kurun tahun 2001-2007. Saya hanya punya ponsel Nokia 8250, tanpa internet maupun media sosial. Tidak ada Facebook dan Twitter. Ada Friendster, tetapi saya bukan pengguna setia. Orang-orang yang saya taksir saya temukan di dunia nyata, di dalam ruang lingkup kegiatan sehari-hari: sekolah.

Pilihannya tentu saja terbatas, tetapi saya tidak memikirkan hal itu. Gadis-gadis idola di sekolah hampir pasti sudah ditaksir oleh teman-teman atau senior yang lebih tampan dan populer. Saya tidak masuk ke dalam dua kategori tersebut. Saya cowok biasa anggota ekskul kelompok debat bahasa Inggris, tidak bisa main basket dan bukan pengurus paskibra; tidak juga badass seperti anak-anak siswa pencinta alam. Saya tidak punya daya tawar untuk menggaet cewek-cewek cantik populer di sekolah. Praktis, jika pengin punya pacar, saya cuma bisa nekat cari perhatian ke mereka yang belum digaet senior. Ini membuat pilihan semakin terbatas.

Saya akhirnya punya pacar. Adik kelas yang konon menyukai saya ketika melihat saya menabuh triol saat pameran ekskul drum band. Kami pacaran tiga tahun.

*

Sepuluh tahun kemudian, empat mantan dan empat patah hati kemudian, benda asing bernama Internet dan media sosial yang kini tidak asing lagi dan menjadi kebutuhan primer manusia, telah mengubah seseorang yang tadinya hanya bisa naksir orang-orang di lingkup kegiatannya di dunia nyata-sekolah, kampus, kantor-menjadi seorang pengembara yang dapat menemukan cinta di mana pun ia ingin, tanpa terkekang batasan-batasan geografis.

Saya yang berada di Yogyakarta bisa jatuh hati pada seorang gadis berkacamata yang sedang membaca buku dan minum kopi di satu sudut coffee shop di Jakarta, atau seorang mahasiswi yang menunggu bus di sebuah halte di Jerman. Selama kami berada di dalam Internet, kami saling terkoneksi, lebih-lebih jika kanal-kanal media sosial kami saling terhubung. Praktis tidak ada batasan pencarian calon jodoh.

Perubahan seperti ini sangat membantu bagi seseorang seperti saya yang tidak punya ruang lingkup tertentu untuk bersosial dan berkegiatan. Saya penulis, tiap hari bekerja hanya dengan laptop dan bloknot; tanpa manusia. Saya tidak punya teman kantor sehingga mustahil bisa cinta lokasi. Seakan itu belum cukup parah, saya juga penyendiri. Saya punya banyak teman yang tinggal sekota tetapi jarang hangout. Sesekali mungkin, tetapi saya bukan jenis yang menghabiskan hari-harinya dalam sebuah kumpulan, baik itu untuk pekerjaan maupun bersuka-ria.

Dari mana saya bisa dapat pacar jika tidak pernah bertemu manusia di dunia nyata? Zaman digital menjawabnya: Internet dan media sosial, saudara-saudara.

*

Apakah dengan eksis di Twitter, Facebook, dan Tinder, otomatis seseorang bisa lebih mudah mendapatkan jodoh ketimbang ketika ia hidup di zaman ketika hal-hal itu belum ada? Jawabannya ternyata rada kontradiktif dengan kemungkinan-kemungkinan menyenangkan yang jejaring sosial tersebut tawarkan.

Jika kamu punya uang satu juta rupiah dan ingin membeli sepatu di sebuah toko yang hanya menyediakan dua jenis pasang sepatu yang keduanya seharga satu juta, kemungkinan kamu akan memilih satu dari mereka. Tetapi ketika kamu tahu bahwa ada toko lain, dalam jumlah sangat banyak hingga tidak terbatas, yang menyediakan sepatu seharga serupa dengan jenis-jenis lebih beragam lagi, kemungkinannya adalah kamu tidak akan buru-buru menyerahkan satu juta milikmu kepada toko pertama. Kamu menunggu kesempatan datang ke toko lain dan menemukan jenis yang lebih baik atau terbaik bagimu (atau seleramu).

Kesadaran bahwa ada pilihan lain di luar sana membuat kita tidak bisa dengan segera menentukan pilihan. Bahkan setelah kita merasa bahwa pilihan yang ada di hadapan kita sudah terbaik. Kita akan berpikir, “Jangan-jangan ada yang lebih terbaik lagi.” Jika benar terbukti demikian, bukankah kita telah menyia-nyiakan waktu bersama seseorang yang kita kira sudah terbaik padahal tidak lebih baik dari kemungkinan lain yang bisa kita dapatkan?

*

Sebagian dari kita barangkali akan merespons ilustrasi barusan dengan berkata: “Yang terbaik selalu ada, tetapi kita harus tahu kapan berhenti.” Pernyataan yang harus saya akui terdengar amat bijak, meskipun di sisi lain rada menjebak. Sikap seperti itulah yang memunculkan kasus-kasus di mana seseorang bertahan pada hubungan yang tidak membahagiakannya. Dia telah berhenti, pada yang ia kira sudah terbaik. Sementara akal pikirannya tahu persis dunia begitu luas dan di dalamnya ada terlalu banyak pilihan lebih baik yang, ia juga tahu, bisa dicapai.

Pilihan yang sempit membuat seseorang lebih mudah memilih. Pilihan yang tak terbatas membuat seseorang terjebak dalam kerangka berpikir bijaksana yang mengatakan kepadanya bahwa ia harus berhenti di satu orang, pada waktu yang sama menyadari bahwa ada lebih banyak pilihan yang bisa dan sangat mungkin diperoleh.

Lantas, apa yang harus kita lakukan?

Saya, sih, pragmatis saja. Seorang teman pernah berkata, jika sedang bergembira, zoom in kegembiraanmu dan nikmati detailnya, tetapi jika bersedih, zoom out dari kesedihanmu untuk melihat “gambar besar” yang telah dirancang sangat baik oleh Tuhan-dengan kata lain, diam-diam Tuhan sudah menyediakan sesuatu yang lebih baik bagimu dan karenanya kamu tidak perlu bersedih.

Saya mengubah sedikit kerangka berpikir tersebut dengan meletakkannya pada konteks mencari jodoh di zaman digital. Hasilnya kira-kira begini: Jika sudah dan sedang punya pacar yang di dalam hubungan itu kamu berbahagia, maka nikmati detailnya dan lupakan bahwa mungkin ada seseorang di luar sana yang jauh jauh jauh lebih baik daripada pacarmu.

Namun, jika kamu bersedih karena baru saja putus atau ditolak oleh seseorang yang sangat kamu sukai, ingat bahwa di zaman Internet kamu tinggal log in ke Twitter atau Tinder untuk menemukan sosok yang, saya berani bertaruh segelas double shots iced shaken espresso atau lebih mahal lagi, lebih menarik dari orang yang dengan tega hati memutuskan atau menolak cintamu.

Dunia ini sempit sekaligus luas, luas tetapi sempit dalam pengertiannya masing-masing. Agar dapat menikmatinya, jadilah seorang Cancer yang fleksibel-untuk tidak menyebut plin-plan-sehingga bisa menyesuaikan pengaturan cara pandang terhadap dunia berdasarkan situasi-situasi tertentu yang sedang ia alami. Kalau takdir sudah sedemikian jahat tidak melahirkanmu sebagai Cancer, maka kamu masih bisa mengubah hidupmu jadi lebih baik, yakni dengan jatuh cinta kepada seorang Cancer.


***

Delusi (Atas) Tuhan, Richard Dawkins

$
0
0



Tidak sebelum memasuki usia seperempat abad saya memiliki ketertarikan untuk membaca buku-buku tentang agama, tuhan, atau ketuhanan. Buku pertama yang saya baca adalah Sejarah Tuhan, Karen Armstrong. Saya menyukainya. Pengantar yang bagus untuk memasuki percakapan-percakapan dengan tema seperti itu. Buku itu, secara ringkas, adalah kumpulan informasi mendasar dan umum soal sejarah tiga agama samawi-Yahudi, Kristen, Islam-juga kepercayaan lain yang muncul sebelum maupun sesudah kelahiran tiga agama itu (paganisme dan ateisme).

Buku berikutnya yang saya baca adalah The God Delusion, Richard Dawkins (judul yang dipakai penerbitnya masih berbahasa Inggris). Sama seperti buku Karen Armstrong, saya membaca buku ini dalam terjemahan bahasa Indonesia. Juga sama seperti Karen Armstrong, saya tidak punya pengetahuan awal tentang sosok Richard Dawkins. Saya mengetahui latar belakang pendidikan Dawkins dan siapa dirinya seiring membaca buku tersebut. Saya hanya tahu buku ini populer (dan belakangan baru tahu ternyata juga kontroversial).

Karena satu-satunya referensi yang saya punya akan buku bertema agama dan ketuhanan adalah Sejarah Tuhan, mau tidak mau saya sering membandingkan The God Delusion dengan buku itu, dan membangun ekspektasi saya berdasarkan buku itu. Saya mengira Richard Dawkins membahas tema serupa dalam lingkup yang sama dengan Karen Armstrong di Sejarah Tuhan, hanya menggunakan cara pembahasan yang berbeda. Tetapi, perkiraan ini keliru.

*

Richard Dawkins secara tegas menyatakan dirinya ateis dan mendorong orang-orang (setidaknya yang membaca bukunya) untuk meninggalkan agama. Dalam The God Delusion, Dawkins memaparkan argumen-argumen yang menyatakan bahwa keyakinan akan keberadaan Tuhan adalah sebentuk igauan (delusi). Tak ada alasan logis dan kuat untuk terus mempertahankan keyakinan akan adanya Tuhan.

Dalam mengatakan hal tersebut, Dawkins menggunakan teori evolusi Darwin. Ia mendekati permasalahan-permasalahan (yang ada dalam tubuh) agama dengan cara pandang Darwinian. Dawkins juga memaparkan alasan-alasan apa saja yang dipakai orang-orang berkeyakinan (believer) demi mendukung keyakinan Tuhan itu ada, dan apa yang menurut Dawkins sangat keliru tentang alasan-alasan itu.

Berbeda dengan Karen Armstrong yang meleburkan seluruh referensi teorinya ke dalam narasi yang enak dibaca, penjelasan Dawkins diselingi kutipan sumber lain di sana-sini. Kadang-kadang sulit melacak opini asli Dawkins karena kerap kali ia mengutip teori orang-orang lain sebagai pendukung maksudnya, tanpa berusaha memasukkannya ke dalam elaborasi yang mulus seperti Armstrong lakukan. Meski demikian, nada bicaranya yang keras dan tajam buat saya sangat menghibur, sehingga saya tetap bisa menyelesaikan seluruh buku tanpa macet.

*

Saya memasuki buku The God Delusion Dawkins sebagai pembaca dan pemeluk sebuah agama. Dalam hal ini, Islam. Sehingga saya setengah berharap Dawkins membahas Tuhan yang diyakini orang-orang Islam. Sayangnya untuk yang satu ini saya harus agak kecewa.

Dawkins sedikit sekali menyinggung agama Islam, saking sedikitnya hingga bisa dianggap tidak ada. Hampir seluruh isi The God Delusion ditulis Dawkins untuk orang-orang Kristen. Dawkins melontarkan kritik pedas terhadap keyakinan pemeluk agama Kristen, muatan injil, para pendeta, dan gereja sebagai institusi. Tentang Islam, Dawkins seakan sengaja menghindar untuk tidak menyentuhnya (kabarnya Dawkins takut, tapi saya belum mencari lebih jauh tentang ini)

Jadi, kadang-kadang seiring membaca, saya tidak merasa buku ini ditujukan buat saya. Berbeda dengan Sejarah Tuhan yang membahas cukup banyak soal Islam, baik itu sekilas sejarah Nabi Muhammad SAW dan Allah SWT-Tuhan dalam konsepsi orang-orang Islam-maupun muatan kitab sucinya: Al-Quran. Kritik Karen Armstrong mengena di pikiran saya sebagai seorang muslim. Sementara celaan dan sergahan Dawkins tidak sungguh-sungguh menyentuh batin saya, karena saya bukan orang Kristen.

Tetapi, pendapat-pendapat Dawkins tetap menarik bagi saya sebagai seorang believer, dan terus terang kebanyakan pendapatnya yang masuk akal. Saya kira, tujuan Dawkins menulis The God Delusion adalah untuk membuka “kesadaran” manusia-dalam bahasa Dawkins, menyingkap burka-menggunakan sains, demi memperlihatkan bahwa apa yang selama ini diyakini manusia sebagai Tuhan tidak lebih dari sebuah delusi. Lebih jauh lagi: bahwa manusia sebenarnya tidak butuh Tuhan (dan atau agama) untuk menjadi manusia baik dan menjalani kehidupan yang baik.

*

Salah satu bagian yang menarik bagi saya adalah ketika Dawkins berkata bahwa sebaiknya anak kecil tidak dicekoki orangtuanya hal-hal mengenai agamanya. Kira-kira begini bunyi bagian itu: “Seorang anak bukan anak Islam, atau anak Kristen, atau anak Yahudi, melainkan anak dari orangtua yang Islam, Kristen, atau Yahudi.” Menurut Dawkins, anak-anak tak selayaknya dibebani label agama sampai mereka dapat berpikir dan memilih untuk dirinya sendiri.

Saya tidak berniat bersepakat atau menentang pendapat-pendapat Dawkins di tulisan ini. Saya hanya ingin menggambarkan apa yang ditulis Dawkins di dalam bukunya. Bagi saya topik ini adalah pencarian panjang, yang belum tentu ada ujungnya, tetapi saya senang menjalaninya. Saya senang berbicara dengan orang yang punya ketertarikan serupa terhadap tema-tema agama dan ketuhanan. Tapi tidak di tulisan saya sendiri. Belum.

Ketika baca The God Delusion, saya teringat saat suatu hari mengunggah foto Sejarah Tuhan di Instagram. Seseorang semacam curhat di kolom komentar foto itu dan berkata bahwa temannya menuduh dia sudah berubah jadi ateis hanya karena temannya menemukan ia membaca buku tersebut. Saya sama sekali tidak merasa Sejarah Tuhan punya kemampuan mengubah seorang teis jadi ateis. Buku Dawkins lebih punya kekuatan untuk tujuan itu. Semata-mata karena dia terang-terangan mendorong pembacanya meninggalkan agama dan keyakinan terhadap Tuhan mereka, tak seperti Armstrong yang hanya memberi kronologi.

Kalau sudah pernah baca Sejarah Tuhan sebagai pengantar, The God Delusion bisa jadi bacaan lanjutan yang bagus. Tentu memasuki bukunya harus dengan santai. Kalau gampang tersulut, baru masuk pembukaan barangkali sudah tidak berselera lagi untuk melanjutkan sampai selesai. Rileks saja dan ikuti apa yang coba disampaikan Dawkins. Secara personal, saya menganggap The God Delusion buku yang penting dibaca, terutama bagi para teis (agnostik dan ateis kayaknya sudah tidak butuh baca ini lagi-tetapi Dawkins beberapa kali juga memberi kritik kepada rekan-rekannya yang ateis)

Alih-alih menjadi ateis, sebagaimana saya kira yang paling diharapkan Dawkins dari pembaca The God Delusion, saya malah jadi pengin baca buku-buku Biologi. Dulu, sebagai anak IPA, Biologi mata pelajaran yang paling saya sukai. Saya bahkan sempat mengikuti tes masuk universitas dan mengambil program studi MIPA Biologi. Hal yang paling menarik dari Biologi adalah, saya belajar tentang diri saya sendiri. Tubuh saya sendiri. Apa yang tampak dari luar sebagai sesuatu yang sederhana, ternyata di dalamnya begitu rumit dan hampir-hampir ajaib.


Kegemaran belajar Biologi itu membuat saya semakin lama semakin takjub pada siapapun (atau apapun) yang menciptakannya. Karena satu-satunya nama yang saya tahu adalah Tuhan, maka semakin lama belajar Biologi semakin saya kagum sama Tuhan. Rada-rada kontradiktif dengan harapannya Dawkins ya?

Mengenal Rumah Sendiri Dari Mulut Orang Asing

$
0
0



Richard Lloyd Parry adalah jurnalis asal Inggris yang menjadi koresponden Asia untuk The Times London; sebelumnya ia bekerja di The Independent, harian milik Inggris, dan dalam kurun waktu itu ia menulis reportase dari berbagai negara di kawasan benua Asia. Pada 1998 ia melaporkan kejatuhan Suharto, juga tragedi berdarahyang berlangsung menyusul referendum kemerdekaan Timor Timur. Ia juga menulis tentang kanibalisme dan konflik antar-etnis di Kalimantan Barat.

Hasil reportase itu yang terkumpul dalam buku nonfiksi Zaman Edan: Indonesia Di Ambang Kekacauan (Serambi, 2008)-diterjemahkan dengan sangat enak dari versi bahasa Inggris In the Time of Madness: Indonesia on the Edge of Chaos (Vintage, 2005). Buku ini terdiri atas tiga bab utama, masing-masing mengenai kanibalisme dan konflik Dayak-Madura di Kalimantan Barat pada 1997 dan 1999, demonstrasi mahasiswa dan tragedi Trisakti menyusul jatuhnya Suharto pada 1998, dan kekacauan referendum kemerdekaan Timor Timur pada 1999.

Meskipun ini buku nonfiksi saya sama sekali tidak merasa sedang membaca karya nonfiksi, yang selama ini, setidaknya bagi saya yang belum banyak menghadapi karya nonfiksi, relatif terkesan kering dan membosankan. Zaman Edan ditulis dengan gaya naratif layaknya sebuah karya fiksi, lengkap dengan plot, penokohan, dan deskripsi detail pada hal-hal penting-serta yang paling membuatnya terasa seperti novel, adalah hadirnya perasaan, emosi, dan kadang pandangan personal penulisnya sendiri terhadap apa saja yang ia saksikan.

Tetapi tentu saja, Zaman Edan adalah karya nonfiksi, sebab itu yang ia tunjukkan di dalam narasinya merupakan fakta dan bukan sesuatu yang diimajinasikan. Sekumpulan mayat di tengah hutan dan rumah-rumah terbakar buah konflik antar-etnis di Kalimantan Barat pada 1997 dan 1999 bukanlah peristiwa fiktif yang menjadi fantasi Richard, melainkan benar-benar terjadi, aktual. Begitu pula beberapa mahasiswa yang mati tertembak pada Tragedi Trisakti jelang Suharto turun pada 1998. Begitu pula ketegangan antara kelompok pro-kemerdekaan Timor Timur di bawah pimpinan Xanana Gusmão dengan kelompok-kelompok pro-integrasi yang konon didukung jajaran militer Indonesia. Seluruh peristiwa berdarah yang menelan banyak nyawa manusia itu bukan karya fantasi, tetapi faktual.

Fakta yang dituturkan Richard, alih-alih lahir dari serangkaian riset pustaka, lebih seperti laporan pandangan mata dan pengalaman empiris. Ia menyaksikan langsung kepala-kepala terpenggal diletakkan di atas tong-tong kosong dan daun telinga yang telah disayat diambil dari pemiliknya bergelantungan di pinggang sang pembunuh. Ia juga berhadap-hadapan langsung dengan Xanana beserta pejuang Falintil dan tinggal bersama mereka. Apa yang disampaikan Richard melalui narasinya bisa dibilang merupakan laporan orang pertama yang berada di pusat kejadian peristiwa-peristiwa tragis itu.

*

Saya baru berusia delapan tahun ketika Richard berada di Indonesia dan melihat konflik antar-etnis di Kalimantan Barat. Desa tempat tinggal saya, Anjungan, juga disebut sebanyak dua kali di dalam tulisannya pada bab pertama: “Musibah yang Mendekati Aib”, yang merangkum pengalamannya berkunjung ke Singkawang, Salatiga, dan desa-desa di pedalaman yang merupakan tempat kejadian perkara konflik horisontal antar-etnis ketika itu. Saya sendiri hingga hari ini samar-samar mengingat apa yang terjadi di desa saya semasa kecil, pada tahun yang ditulis Richard: suasana sepi, ketegangan yang tidak saya pahami, dan pengungsi di rumah orangtua saya di sebuah kompleks dinas pertanian.

Konflik Dayak-Madura sendiri sebetulnya telah dimulai jauh sebelum Richard datang ke Indonesia. Tidak kurang dari lima puluh tahun yang lalu, membentang hingga awal tahun 2000, setidaknya ada sebelas kali konflik dengan beragam sebab dan hampir seluruhnya menelan korban jiwa. Siapapun bisa mengetahui tentang ini sekarang hanya dengan meramban di Internet. Tetapi perlu rasa ingin tahu yang lebih untuk menelusuri di mana akar permasalahannya-sesuatu yang hingga kini barangkali masih diperdebatkan jikapun masih dibahas.

Richard datang pada puncak konflik itu, dan merekam serta menuliskannya kembali dengan suatu cara yang membuat saya hampir tak mengenal daerah asal saya sendiri. Benarkah peristwa ini betul-betul terjadi di tempat saya? Mengapa hal semacam ini bisa terjadi? Apa sesungguhnya yang kami hadapi ketika saya berusia delapan tahun, berada di dalam rumah dan dilarang ibu bermain di luar? Tulisan Richard, yang saya baca belasan tahun kemudian, saat ini, membuat saya takjub sekaligus mengetahui lebih banyak tentang tragedi yang kala itu tengah berlangsung tak jauh dari tempat kami berada.

*

Ada semacam perasaan aneh yang saya alami ketika membaca reportase naratif Richard di bukunya Zaman Edan. Perasaan itu bukan muncul dari deskripsi visual yang bikin bergidik atas penggalan-penggalan kepala dan mayat korban pembantaian di dalam hutan, bukan pula gambaran situasi penuh ketegangan dari demonstrasi mahasiswa di Jakarta atau aksi mengancam kelompok pro-integrasi di Timor Timur. Perasaan yang saya alami adalah sensasi ganjil yang datang dari ketakjuban aneh saat mengetahui hal-hal di sekitar saya dituturkan oleh orang asing yang tidak saya kenal sama sekali.

Barangkali terlalu ceroboh mengatakan ini-mengingat bahwa saya tidak banyak membaca karya nonfiksi tentang Indonesia dari penulis Indonesia-tetapi saya kira ada secuil kebenaran dalam pernyataan ini: kadang-kadang kita menjadi lebih mengenal negeri sendiri setelah ada orang asing yang bercerita atau menuliskan tentangnya. Seperti opini Michel Houellebecq dalam Lanzaroteperihal kecuekan warga asli terhadap potensi wisata wilayah mereka sendiri dan mengeksploitasinya setelah “disadarkan” oleh turis yang memberitahu mereka tentang tempat tinggal mereka.

Saya mengetahui lebih banyak apa yang terjadi di Kalimantan Barat-tempat saya tinggal dan hidup sejak lahir hingga remaja-melalui tulisan reportase naratif Richard, jurnalis asal Inggris yang menaruh perhatian pada konflik di negara-negara benua Asia, bukan melalui orang-orang yang saya kenal dan tinggal di tempat saya tinggal. Saya mengetahui apa yang terjadi di rumah saya dari orang asing, tamu yang berkunjung. Tentu saya tak bermaksud menambah-nambah pandangan ceroboh yang mengatakan bahwa orang asing selalu lebih peduli pada negeri kita ketimbang kita sebagai penghuninya sendiri, karena faktanya tidak demikian, walaupun dalam beberapa situasi bisa jadi benar.

Tetapi saya beruntung bertemu Zaman Edan. Fakta bahwa saya mengetahui dari mulut orang asing mengenai apa yang terjadi di kampung halaman saya sendiri tidak mengurangi sedikitpun antusiasme saya akan informasi yang ia miliki. Saya menikmati membaca Zaman Edan dan seolah-olah berada di sebelah Richard, menyaksikan langsung apa yang ia saksikan-semuanya sebagai hasil dari narasi yang mengalir enak dan deskripsi detail yang mengerikan, tetapi tidak lebih membuat dengkul lemas dan jantung mencelus ketimbang menyaksikan peristiwa-peristiwa itu secara langsung.

Zaman Edan adalah buku penting, yang menawarkan informasi mengejutkan dan pengalaman membaca yang menyenangkan-sesuatu yang kelak terasa ganjil diucapkan mengingat muatan buku itu penuh dengan peristiwa tragis dalam sejarah manusia, terutama manusia Indonesia. Setelah Sejarah Tuhan – Karen Armstrong, ini adalah buku nonfiksi terbaik yang pernah saya baca. Barangkali akan jadi yang terbaik sepanjang tahun ini. ***

Metafora Padma, The Jakarta Post (14/11)

$
0
0

"'I think that a strong story comes from something that is actually experienced by its writer,' he said.

The short stories [in Metafora Padma] are fictional, but are inspired by true events, such as the deadly ethnic conflict between the Dayak and Madurese people in 1996 in Anjongan village in Pontianak, West Kalimantan; his place of birth.

The title, Metafora Padma, is taken from one of the 14 short stories. It's about a rendezvous between a woman named Padma, who witnesses 1996 bloody conflict, and a man, who later realizes that the woman he talks to is a ghost.

For Bernard, writing about a ghost was not without reason.

'When I was little, I lived in a village where mystical things and supernatural beings existed,' he said."

Metafora Padma: A journey back in time, The Jakarta Post (14/11).



Viewing all 402 articles
Browse latest View live