Quantcast
Channel: Bernard Batubara
Viewing all 402 articles
Browse latest View live

puisi buat seorang perempuan yang memintaku menulis puisi tentang bagaimana jika aku sebentuk hujan

$
0
0


: g


jika aku jadi hujan
aku akan jadi hujan yang menjebak
dua kekasih di dalam kamar
ketika salah satunya
ingin pulang
menemui kekasihnya yang lain.

jika aku jadi hujan
aku akan jadi hujan yang memberi waktu
bagi dua kekasih di sudut kedai kopi
ketika salah satunya
ingin mengucapkan selamat tinggal
dan bersiap pergi.

jika aku jadi hujan
aku hujan yang menyembunyikan sepi
bagi seorang perempuan di dekat jendela
yang menunggu lelakinya kembali
dari pertemuannya
dengan perempuan lain.

jika aku jadi hujan
aku hujan yang memekarkan bunga
bagi dada seorang lelaki di beranda
yang menunggu perempuannya pulang
dari pertemuannya
dengan lelaki lain.

jika aku jadi hujan
aku menyimpan rahasia-rahasia
kata-kata dan doa-doa tak terucap
erat dalam basah tubuhku

jika aku jadi hujan
aku biarkan luka dan cinta dan rindu
menjadi panjang, kekal dalam dingin
dan deras jatuhku


2016

Keluarga Santini Terbang (Etgar Keret)

$
0
0
Diterjemahkan dari versi bahasa Inggris di buku The Bus Driver Who Wanted to be God (Riverhead Books, 2015). Terjemahan dari bahasa Ibrani ke bahasa Inggris oleh Miriam Shlesinger.

 *


Italo melambai dengan tangan kirinya, dan suara drum yang mengganggu pun berhenti. Ia menarik napas panjang dan memejam. Tepat pada saat aku melihatnya dengan kostum yang berkilauan, berdiri tegak lurus di ujung papan loncat, kepalanya nyaris menyentuh langit-langit tenda; seketika semuanya menjadi jelas. Aku akan meninggalkan rumah dan bergabung dengan regu sirkus! Aku juga akan menjadi salah satu dari Santini yang terbang, aku akan melesat di udara seperti seorang setan, aku akan bergelantung pada tali trapeze menggunakan gigiku!

Italo berputar dua setengah kali di udara, dan saat memasuki putaran ketiga, ia melepaskan genggamannya dari Enrico, Santini termuda. Seluruh penonton berdiri dan bertepuk tangan dengan keras. Ayah mengambil kotak popcorn milikku dan melemparkannya ke udara, isinya berjatuhan ke atas kepalaku.

Anak-anak lain sampai harus kabur dari rumah mereka tengah malam untuk bergabung dengan regu sirkus, tapi Ayah malah mengantarku dengan mobilnya sendiri. Ia dan Ibu membantuku mengepak perlengkapan di dalam koper. “Ayah bangga denganmu, Nak,” katanya seraya memelukku, beberapa saat sebelum aku mengetuk pintu mobil caravan milik Papa Luigi Santini. “Sampai jumpa, Ariel-Marcello Santini. Dan ingatlah Ayah dan Ibu setiap kali kamu terbang melayang di atas lantai sirkus.”

Papa Luigi membuka pintu karavan. Ia mengenakan celana panjang berkilau-kilau-kostum sirkusnya-dan baju piyama dengan motif garis-garis.

“Saya ingin bergabung, Papa Luigi,” aku berbisik. “Saya juga ingin jadi Santini Terbang.”

Papa Luigi melihatku, dari atas sampai bawah, dengan tatapan yang optimis, kemudian meremas-remas otot lenganku yang ramping dengan ketertarikan tertentu, dan akhirnya mempersilakanku masuk.

“Banyak sekali anak-anak yang ingin jadi Santini Terbang,” ia berkata setelah sejenak hening. “Apa yang membuatmu berbeda?”

Aku tidak tahu harus menjawab apa. Aku hanya menggigit bibirku dan diam.

“Apa kau pemberani?” tanya Papa Luigi.

Aku mengangguk.

Dengan sangat tiba-tiba, Papa Luigi melayangkan satu pukulan ke arah wajahku. Aku tidak bergerak sedikit pun, bahkan tidak juga berkedip.

“Hmm…,” Papa Luigi mengusap-usap dagunya. “Apa kau gesit?” ia bertanya. “Kau pasti tahu Santini Terbang terkenal dengan kegesitannya.”

Lagi, aku mengangguk, seraya menggigit bibir bawahku.

Papa Luigi merentangkan tangan kanannya, di atas telapaknya satu koin seratus lira, dan ia memberiku isyarat dengan alisnya yang berwarna perak. Aku berhasil merebut koin sebelum ia kembali mengepalkan tangan. Papa Luigi mengangguk dengan bangga.

“Satu ujian lagi,” ia menyergah, “ujian kelenturan badan. Kau harus menyentuh jempol kakimu tanpa menekuk lutut.”

Aku merilekskan tubuhku, menghela napas panjang, memejam, persis seperti abangku Italo ketika malam itu ia menggelar pertunjukannya. Aku membungkuk dan mengulurkan tangan. Aku bisa melihat ujung-ujung jemariku hanya berjarak beberapa milimeter dari tali sepatuku, nyaris menyentuhnya. Tubuhku menegang penuh seperti seutas tali yang sewaktu-waktu bisa putus—tapi aku tidak menyerah. Empat milimeter saja yang memisahkanku dengan keluarga Santini. Aku tahu aku harus menerobos batas tersebut.

Dan kemudian, tiba-tiba saja, aku mendengar suara itu. Seperti suara kayu dan kaca retak dalam waktu bersamaan, begitu nyaring hingga memekakkan telinga. Ayah, yang sedang menunggu di luar, terkejut dengan suara tersebut dan tergopoh-gopoh masuk ke dalam karavan.

“Kamu baik-baik saja?” ia bertanya dan mencoba memapahku.

Aku tidak bisa meluruskan punggungku. Papa Luigi menggendongku dengan tangannya yang kokoh, dan kami semua pergi ke rumah sakit.

Hasil rontgen menunjukkan ada sekeping lempengan terselip di antara titik L2 dan L3 tulang punggungku. Saat aku melihat foto rontgen dengan bantuan lampu, aku bisa melihat semacam bercak hitam, seperti tetesan kopi, pada tulang punggung yang berwarna transparan. Pada amplop cokelat, tertulis dengan pena-nama “Ariel Fledermaus”. Bukan Marcello, bukan pula Santini-hanya tulisan jelek tersebut.


“Kau, kan, bisa saja menekuk lututmu,” bisik Papa Luigi seraya mengusap airmatanya. “Kau bisa saja menekuk lututmu sedikit. Aku tidak akan melarangnya.” ***

O, Eka Kurniawan

$
0
0


Di suatu hutan di sudut Rawa Kalong, tempat satu koloni monyet hidup tentram, seekor betina bernama O ingin menikah dengan kekasihnya, pejantan bernama Entang Kosasih. Janji telah diikrarkan. Bulan baik pun telah ditetapkan. O berbahagia membayangkan ia dan kekasihnya itu akan segera menikah. Tetapi semuanya berubah ketika Entang Kosasih, monyet jantan yang keras kepala dan senantiasa dipenuhi mimpi-mimpi itu, pada suatu hari menyampaikan keinginan luhurnya kepada O: ia ingin menjadi seorang manusia.

Keinginan Entang Kosasih menjadi manusia muncul setelah berulang kali ia, bersama monyet-monyet muda lain, mendengar dongeng dari para monyet tua tentang seekor monyet legendaris bernama Armo Gundul. Diceritakan bahwa Armo Gundul adalah satu dari sedikit monyet yang berhasil menjadi manusia. Entang Kosasih tersihir oleh gagasan tersebut. Semenjak itu, tujuan hidupnya hanya satu, yaitu menjadi manusia. O dibuat gusar olehnya, karena itu berarti ia harus bersiap rencana pernikahan mereka terhadang oleh beragam masalah. Sebabnya tentu saja karena O tahu, seperti monyet-monyet lain juga tahu, seperti Entang Kosasih juga tahu, bahwa “Enggak gampang jadi manusia.”

Cerita semi-fabel dalam novel terbaru Eka Kurniawan, O, dimulai dengan ide itu. Saya menyebutnya semi-fabel sebab tak begitu tepat jika menyebutnya fabel. Dalam pengertian yang sederhana, fabel adalah cerita tentang sekumpulan hewan yang diberi kualitas selayaknya manusia, dan jikapun di dalamnya hadir tokoh-tokoh manusia, mereka hanya akan tampil sebagai minoritas. Sedangkan tidak demikian yang terjadi di dalam novel O. Meski cerita dimulai oleh narasi seekor monyet, dan seiring perjalanannya muncul beragam jenis hewan, mulai dari anjing, burung kakatua, tikus, sampai babi, tetap di dalam O ada banyak tokoh manusia, dan mereka tidak hadir sebagai minoritas melainkan sparring partner yang setara bagi tokoh-tokoh binatang.

Binatang dan manusia di dalam O tidak hadir sebagai dua spesies yang hidup di dunia berbeda. Meski masing-masing dari mereka memiliki motivasi dan masa lalu yang unik, jalan hidup bahkan masa depan mereka berkelindan, saling mempengaruhi pada level yang tidak main-main.

Pacar O, si pejantan Entang Kosasih, misalnya, keinginan teguhnya ingin menjadi manusia suatu hari bersilangan dengan Sobar, polisi baik yang dipindahtugaskan ke Rawa Kalong setelah menembak pacar seorang preman. Pertemuan Entang Kosasih dengan Sobar menjadi titik awal yang penting bagi perjalanan Entang Kosasih menjadi manusia, sebab pertemuan itu dihiasi tragedi. Entang Kosasih merebut revolver milik Sobar dan dengan benda itu ia membunuh beberapa ekor monyet dari koloninya sendiri, serta seorang manusia. “Jika kau ingin menjadi manusia,” kata Entang Kosasih kepada O, “kau harus tahu bagaimana mereka membunuh. Sebab dengan cara itu kau mengerti bagaimana mereka bertahan hidup.

Perjalanan Entang Kosasih memenuhi impiannya menjadi manusia mau tak mau membuat O tak bisa tinggal diam. Lama-lama ia hanya melihat kegilaan di dalam kepala kekasihnya itu, alih-alih pancaran semangat dan renjana seekor monyet yang dipenuhi mimpi-mimpi dan keyakinan. “Bukan cinta yang membuat kita buta, tapi keyakinan.” Kalimat itu membuat O mulai meragukan cintanya kepada Entang Kosasih dan sebaliknya. Ia melihat Entang Kosasih telah dibutakan oleh keyakinannya sendiri. Kebutaan itu pun pada akhirnya berujung tragedi lain. Entang Kosasih tertembak, tepat di kepala. Namun, bangkainya tak ditemukan.

Raibnya Entang Kosasih ternyata membuat O meyakini bahwa Entang Kosasih telah mencapai apa yang ia impikan. Kekasihnya itu sudah menjadi manusia. Kini giliran O yang menyusul kekasihnya. Ia enggan melakukan cara-cara yang dilakukan Entang Kosasih, karena cara-cara tersebut tak menghasilkan apapun selain tragedi. O akan menjalankan usahanya menjadi manusia menggunakan cara yang dilakukan monyet legendaris Armo Gundul di masa lampau. O akan bergabung dengan sirkus topeng monyet. Ia akan belajar bagaimana caranya menjadi manusia dengan menjadi topeng monyet.

Demikianlah perjalanan O dimulai. Ia belajar menghayati hidup manusia melalui beragam perannya sebagai topeng monyet.

*

Dalam novel O, binatang ingin menjadi manusia dan manusia ingin menjadi binatang. Tetapi sebagaimana semua cerita, meski ia berkisah tentang binatang, tumbuhan, maupun benda-benda mati, sebetulnya tetap bercerita tentang manusia. Dan kita dapat melihat bahwa O adalah cerita tentang apa artinya menjadi insan manusia. Apa itu manusia dan bagaimana seharusnya manusia? Melalui narasi kehidupan (dan kematian) dari sudut pandang para binatang, Eka Kurniawan mencoba menjawab pertanyaan mendasar: Apa, sih, artinya menjadi seorang manusia? Sekumpulan binatang pun hadir ke dalam cerita dengan cara-cara alamiah, tanpa dipaksakan, untuk menjawab pertanyaan tersebut.

Jawaban-jawaban yang ditawarkan Eka Kurniawan kebanyakan adalah jawaban-jawaban yang pahit, tetapi tak dapat disangkal kenyataannya. Menjadi manusia berarti mengetahui kapasitas manusia membunuh sesamanya; menjadi manusia berarti bersiap menghadapi impian yang senantiasa ditertawai nasib buruk dan dihancurkan oleh keadaan; menjadi manusia berarti menindas manusia lain yang lebih lemah; menjadi manusia berarti hidup selamanya dalam dua pilihan, memakan atau dimakan. Sedih tetapi begitulah adanya.

Namun, berdampingan dengan kepahitan itu, ternyata masih ada pula hal-hal baik dari menjadi manusia. Selain membunuh, menindas, menipu, merampok, dan menyiksa, menjadi manusia juga berarti menjadi makhluk yang merasakan salah satu, jika tidak satu-satunya, anugerah terbesar Tuhan, yakni cinta. Menjadi manusia berarti merasakan indahnya jatuh cinta. Tentu saja seperti hal lain dalam hidup ini, cinta pun tak selamanya indah. Menjadi manusia berarti siap mengalami manisnya jatuh cinta, beserta kepahitannya.

O adalah serangkaian kisah cinta. Hampir seluruh tokoh di dalamnya, baik binatang maupun manusia, bergerak karena dimotivasi oleh cinta. Mereka melakukan hal-hal besar dalam hidupnya didorong oleh rasa cinta pada kekasih mereka. Kisah cinta O dengan Entang Kosasih hanya satu dari banyak kisah cinta di dalam O. Ada kisah cinta tikus pembaca tanda-tanda bernama Manikmaya dan kekasihnya, tikus pejantan Todak Merah, yang juga berakhir tragis. Betalumur, si pawang topeng monyet yang menjadi majikan O, juga memiliki kisah cintanya sendiri dengan seorang gadis misterius di tengah hutan.


Narasi Eka Kurniawan dalam O sangat lincah dan bergegas, berpindah dari satu adegan ke adegan di tempat lain. Satu cerita menelurkan cerita lain dan begitu seterusnya sehingga O menjadi kisah multi-plot, meski di titik-titik tertentu bagian cerita yang telah lewat akan hadir kembali sehingga membentuk satu plot utuh tanpa lubang. Seluruh karakternya memiliki masa lalu yang kelam dan kehidupan yang tak mudah, penuh ancaman dan bahaya. Hal ini berlaku bagi tokoh binatang maupun manusia. Oleh karena itu, ketika selesai membaca novel ini, kita boleh menyimpulkan bahwa binatang dan manusia, pada satu titik melalui keadaan-keadaan yang memaksa mereka menunjukkan sifat-sifat mendasar dan alaminya, sesungguhnya tak lagi benar-benar bisa dibedakan satu sama lain. Dalam banyak situasi, binatang adalah manusia, sebagaimana manusia adalah binatang. ***



Raden Mandasia Si Pencuri Daging Sapi, Yusi Avianto Pareanom

$
0
0




Kisah-kisah petualangan atau pengembaraan hampir tak pernah gagal menarik minat setiap orang, karena pada dasarnya manusia menyukai cerita-cerita, dan cerita yang paling menyenangkan adalah cerita-cerita tentang petualangan atau pengembaraan. Karena di dalamnya sudah barang tentu tersaji seluruh hal yang patut dimiliki oleh sebuah cerita yang bagus: peristiwa-peristiwa menegangkan, ketidakpastian situasi yang menerbitkan rasa penasaran, kekacauan, karakter-karakter unik dengan misi yang bisa saling berbentrokan, kejutan di sana-sini, dan pergolakan emosi setiap tokoh-tokohnya.

Itulah persisnya yang ditawarkan oleh Raden Mandasia Si Pencuri Daging Sapi, novel perdana Yusi Avianto Pareanom. Sejauh ini, Yusi lebih dikenal sebagai penulis cerita pendek. Cerita-ceritanya cerkas dan penuh kelucuan. Kebanyakan mengambil bentuk tutur seperti sebuah dongeng. Beberapa di antaranya dapat dibaca dalam kumpulan cerita Rumah Kopi Singa Tertawa, buku Yusi yang terbit lima tahun sebelum novel pertamanya. Novelnya, tak lain dan tak bukan adalah perpanjangan dari beberapa cerita di dalam kumpulan itu, jika tidak merupakan induknya.

Pencerita utama atau narator dalam novel Raden Mandasia Si Pencuri Daging Sapi adalah seorang pemuda bernama Sungu Lembu. Ia tangkas karena dibekali ilmu bela diri oleh pamannya, Banyak Wetan, yang adalah seorang perwira. Ia juga pintar dan berwawasan karena ilmu pengetahuan yang ia dapat dari buku-buku milik ayahnya, Lembu Kuning, yang merupakan pejabat pemerintahan di istana sebuah kerajaan kecil di suatu kawasan pesisir bernama Banjaran Waru. Kehidupan Sungu Lembu baik-baik saja sampai suatu tragedi meluluhlantakkan dirinya. Sekelompok prajurit Gilingwesi, kerajaan besar yang telah berkuasa atas wilayah Banjaran Waru, membuat kekacauan di desanya.

Dalam tragedi tersebut, Banyak Wetan ditangkap. Karena ia dianggap terlibat dalam persekongkolan kelompok pemberontak Banjaran Waru yang menyimpan amarah pada kekuasaan Gilingwesi, ia terancam hukuman pancung. Meski demikian, untuk beberapa alasan, hukuman tersebut baru akan dilaksanakan setahun kemudian. Sungu Lembu, menjadi saksi hidup tragedi yang mengubah hidupnya itu, bertekad untuk melakukan apapun demi membebaskan pamannya. Ia memulai perjalanannya dan pada suatu hari bertemu dengan Raden Mandasia, salah seorang pangeran Gilingwesi. Dari sana ia mendapat kesempatan untuk membayarkan dendamnya terhadap Gilingwesi. Menggunakan Raden Mandasia, ia akan mengincar kepala Watugunung, raja Gilingwesi.

Sayang sekali rencana Sungu Lembu tak berjalan semulus yang ia kira. Ia masih muda, baru berusia dua puluh tahun, sebab itu amarahnya lebih besar dan lebih hebat dari kemampuannya menyusun rencana yang matang. Dalam perjalanan bersama Raden Mandasia, kejadian-kejadian tak terkira mengambil tempat dan membelokkan takdir hidupnya. Salah satu perkara unik yang membuat nasibnya makin tak bisa ditebak adalah hobi aneh sang pangeran Raden Mandasia, yakni mencuri daging sapi. Hobi ganjil ini membawa Sungu Lembu kepada serangkaian kesialan, yang jika dilihat dari arah lain bisa jadi mungkin juga keberuntungan,  karena pada akhirnya ia mendapat kesempatan untuk membalaskan dendamnya.

Seperti ditulis di sampul bukunya, Raden Mandasia Si Pencuri Daging Sapi adalah sebuah dongeng. Penuh fantasi dan peristiwa-peristiwa yang dikarang, tapi karena peristiwa-peristiwa tersebut terasa begitu nyata, mungkin saja semua sungguh-sungguh terjadi. Tokoh-tokohnya selain tokoh utama pun sangat unik, seperti Nyai Manggis pemilik rumah judi yang amat cantik namun tak seorang pun berani menyentuhnya karena auranya, atau Putri Tabassum yang keelokan parasnya membuat lingkungan kerajaan kosong dari cermin-cermin, sebab cermin-cermin itu bakal langsung pecah berkeping-keping karena tak sanggup menahan kecantikannya. Sebagaimana dongeng yang kita dengar sewaktu kecil tentang Si Kancil atau Timun Mas, karakter-karakter beserta kejadian di Raden Mandasia Si Pencuri Daging Sapi mungkin hanya karangan, atau bualan, tapi saking bagusnya bualan itu, kita berharap bualan tersebut benar-benar terjadi.

Di samping kisah pengembaraan Sungu Lembu bersama Raden Mandasia yang di dalamnya dipenuhi peristiwa-peristiwa seru, Raden Mandasia Si Pencuri Daging Sapi juga merupakan serangkaian kisah penaklukan. Kerajaan besar Gilingwesi, misalnya, yang bermula dari kesaktian seorang pendekar bernama Watugunung, sebelumnya sebuah kerajaan bernama Medang Kamulan. Kerajaan itu keropos karena pejabatnya hanya senang memperkaya diri. Watugunung yang tadinya diminta membantu Medang Kamulan, berbalik menyerang kerajaan tersebut karena suatu pengkhianatan kecil. Di bawah kekuasaan Watugunung, Medang Kamulan berubah jadi Gilingwesi. Kekuasaan, seperti kita tahu, tak pernah kenal kata cukup. Gilingwesi kemudian menaklukkan hampir seluruh kerajaan kecil di wilayah sekitarnya, termasuk Banjaran Waru, tempat Sungu Lembu, si narator cerita, tinggal.

Sebagian besar kisah Raden Mandasia Si Pencuri Daging Sapi dibangun melalui narasi, sebagaimana dongeng dikisahkan. Meski demikian, tak absen pula dialog-dialog jenaka yang bikin perut terkocok dan ketawa ngakak. Umpatan-umpatan semacam “…simbahmu koprol” atau “sarapan dengkulmu meleset” beserta banyak variannya bertebaran di sepanjang cerita, bikin tertawa tak bisa habis. Deskripsi tentang beragam masakan di dalamnya, misalnya daging sapi yang dibakar usai dicuri, membuat air liur berlinang. Berlimpah pula kosakata yang jarang ditemui, menunjukkan usaha penulisnya berkelit dari diksi yang klise dan basi. Bahkan si penulis memunculkan frasa-frasa seperti “sepenanakan nasi” sebagai ukuran satuan waktu dan “lima ratus tombak” sebagai cara mengukur jarak. Walau asing, frasa tersebut tak terlihat aneh karena memang sesuai dengan konteks cerita.

Jika ada yang mengurangi kenikmatan membaca, itu adalah bagian penghujung cerita yang tampak terlalu lekas dituntaskan. Padahal ada peristiwa besar di sana, yakni perang antara dua kerajaan besar di dua sudut dunia yang berjauhan, Gilingwesi dan Gerbang Agung, yang kemudian menjadi titik puncak usaha pembalasan dendam si tokoh utama. Adegan-adegan perang, meski dilukiskan cukup rinci, terasa kurang menggugah imajinasi karena kebanyakan dituturkan dengan cara telling, bukan showing, sebagaimana sebagian besar isi Raden Mandasia Si Pencuri Daging Sapi diceritakan.

Bagaimanapun, Raden Mandasia Si Pencuri Daging Sapi adalah kabar baik bagi setiap penikmat cerita. Ia mengembalikan satu kebahagiaan yang senantiasa digemari manusia: kenikmatan menyimak cerita. Rasa-rasanya siapapun dapat menyelesaikan membaca buku ini dalam sehari atau paling lama tiga malam. Sebab sebagaimana dongeng-dongeng sewaktu kecil membuat kita tenggelam dalam arus dan alur kisahnya, petualangan dua pemuda penuh kegelisahan Sungu Lembu dan Raden Mandasia juga niscaya menyeret kita dalam keseruan aksi mereka menghadapi musibah, menyaksikan hal-hal menakjubkan, dan menghayati perjalanan panjang bernama kehidupan. ***


Serbuan Lelucon Gelap Kurt Vonnegut

$
0
0


Buku ini membuat saya terpingkal-pingkal hingga muntah, dua kali semburan.

Itu saja dulu yang penting untuk dikatakan tentang buku ini. Di samping hal-hal lain yang sebentar lagi akan saya uraikan.

Gempa Waktu (judul asli: Timequake)adalah novel, yang tidak terlihat layaknya novel, karena penulisnya Kurt Vonnegut hadir di dalam cerita sebagai narator dan menceritakan karakter utama di novelnya, yakni Kilgore Trout, yang mana merupakan alter egonya sendiri, dan dengan demikian memiliki profil mirip-mirip Kurt Vonnegut.

Kilgore Trout adalah penulis fiksi-ilmiah (seperti juga Kurt Vonnegut) yang sudah uzur dan bukunya tidak dicetak lagi. Gempa Waktu berisi kisah hidup Kilgore Trout, yang karena dituturkan oleh Kurt Vonnegut, menjadi seperti satu karya otobiografi parodi.

Premisnya menarik: Bagaimana jika suatu hari semua orang tiba-tiba terlempar ke sepuluh tahun yang lalu, dan mengulang lagi apa yang sudah mereka lakukan selama sepuluh tahun belakangan, tanpa perbedaan dan perubahan apapun? Itu yang, oleh Kilgore Trout, dinamai “gempa waktu” (jangan lupa ia adalah alter-ego Kurt Vonnegut, penulis novel ini, yang juga hadir dalam cerita sebagai narator). “Gempa waktu” membuat semua orang kehilangan kehendak bebas dan berada dalam kendali otomatis. Semacam déjà vu massal.

Seperti dikisahkan Vonnegut, “Gempa waktu” terjadi tahun 2001 dan membuat semua orang kembali ke tahun 1991. Vonnegut menceritakan apa yang terjadi sepanjang pemutaran ulang (kala “gempa waktu” berlangsung) maupun setelah pemutaran ulang selesai, tatkala kehendak bebas telah kembali dan orang-orang bisa menggerakkan dirinya sendiri untuk kali pertama usai terjadinya “gempa waktu”.

Konsep “gempa waktu” inilah yang kemudian menjadi landasan bagi seluruh lawakan Vonnegut. Ya, buku ini penuh dengan lawakan. Jika tidak bagaimana saya bisa ketawa sampai muntah-muntah, dua kali semburan? Bahkan Vonnegut membuat saya terbahak sejak bagian prolog novel ini, ketika ia membukanya dengan kalimat: “Pada 1951 Ernest Hemingway menulis sebuah cerita pendek yang panjang berjudul The Old Man and the Sea di majalah Life.”

The Old Man and the Sea, sebuah cerita pendek yang panjang!

Ya, salah satu dari banyak bahan lawakan Vonnegut adalah penulis-penulis yang sudah dikenal dunia. Ernest Hemingway, TS Eliot, Günter Grass, Ray Bradbury, J. D. Salinger. Tidak dalam pengertian melecehkan mereka, tentu, tapi menyisipkan nama-nama tersebut dalam rangkaian lawakannya, bisa di posisi set up bisa juga sebagai punchline. Ya, selain sebagai karya novel, saya memandang Gempa Waktu jugasebagai panggung melawak berdiri (nggak enak banget ya terjemahannya) atau stand-up comedy Kurt Vonnegut. Dan percayalah, ia sangat, sangat lucu.

Ingat bahwa saya tertawa hingga muntah ketika membaca buku ini.

Dua kali semburan.


*

Kurt Vonnegut menulis humor gelap, tentang banyak hal, terutama dalam novel Gempa Waktu adalah perihal perang (tidak terutama, sih, tapi ia menekankan hal ini karena membahasnya dalam porsi cukup banyak). Pada salah satu bab (total di bukunya ada 63 bab yang panjangnya pendek-pendek) ia membuat lelucon tentang pesawat pembom pada peristiwa Perang Dunia Kedua yang tak jadi menjatuhkan bomnya dan kembali ke pangkalan, membuat orang-orang melompat keluar jendela dan sebagian terkencing-kencing di celana. Peristiwa menggemparkan itu diangkat ke pengadilan militer. Semua orang terpingkal-pingkal tatkala mendengar apa yang terjadi dan hakim ketua memukulkan palunya dan mengatakan bahwa pengadilan tersebut “bukan bahan tertawaan”. Kilgore Trout lah, seperti dituturkan oleh Kurt Vonnegut sebagai narator, yang menulis cerita ini.

Jadi secara teknis, Gempa Waktu adalah Kurt Vonnegut menceritakan apa yang ditulis oleh Kilgore Trout, selain di sana-sini ia juga menyisipkan cerita dirinya sendiri (yang kelihatannya benar-benar terjadi di dunia nyata, itu sebabnya saya menyebut buku ini sebagai otobiografi parodi).

Bab yang paling bikin saya ngakak sampai mau mampus adalah ketika Vonnegut sebagai narator menceritakan tentang kebiasaan Kilgore Trout mengeluarkan respons unik, yakni kalimat “Ting-a-ling” setiap kali ada orang yang menyapanya dengan berbasa-basi. Vonnegut bertanya kepada Trout dari mana asal kalimat itu, “Ting-a-ling”? Trout menjawab: Kala ia terlibat dalam perang, ketika suatu rentetan tembakan artileri yang ia kehendaki mendarat tepat di sasaran, ia mengucapkan itu, “Ting-a-ling! Ting-a-ling!” Sebenarnya Vonnegut sudah puas dengan jawabannya, tapi Trout kemudian bertanya kepadanya apakah ia benar-benar ingin tahu asal-usul “Ting-a-ling”? Trout lalu bercerita satu kisah yang bikin saya ngakak sampai mau mampus, tapi tidak jadi karena saya masih mencintai kehidupan dan akhirnya hanya muntah-muntah dua kali semburan.

Bagaimanakah cerita asal-usul “Ting-a-Ling” itu, silakan baca sendiri bukunya.

Vonnegut, sekali lagi melalui Kilgore Trout, juga membuat lelucon yang sangat lucu tentang Hitler, beserta anak, istri, dan pasukannya. Bagian favorit saya dari buku menyenangkan setebal 250 halaman ini adalah kapanpun Vonnegut, melalui Trout maupun dirinya sendiri, membuat lelucon atas seni, atau lebih tepatnya atas para kritikus seni. Sinismenya terhadap kemuliaan manusia, juga poin lebih mula-mula dari hal itu yakni penciptaan manusia, membuat orang-orang (atau mungkin saya sendiri) merasa diri mereka (atau saya sendiri) yang terlalu serius memikirkan misi mulia menjadi manusia tiba-tiba merasa konyol.

Selalu menyenangkan melihat seorang jenius, dengan caranya yang unik dan tak terduga, membuat orang-orang serius di sekitarnya tampak konyol.

Kalau ini bukan hal yang menyenangkan, lalu apa?


*


Lelucon Vonnegut satir dan sikapnya terhadap beberapa hal di dunia begitu sinis, misalnya dalam memandang perkembangan zaman dan perilaku manusia modern. Tetapi dalam beberapa hal lain ia juga terlihat positif, seperti tatkala ia membicarakan pentingnya kehadiran cinta dan keluarga besar bagi manusia. Menurutnya, ada banyak masalah dan tragedi yang dapat dibatalkan, seandainya setiap orang memiliki satu atau sekaligus dua kemewahan hidup tersebut: cinta dan keluarga besar.

Sebagai tambahan yang mungkin cukup penting, buku ini diterjemahkan dengan baik. Saya dapat merasakan lelucon penulisnya tanpa mengernyit akibat kalimat-kalimat ganjil yang meleset dari bahasa aslinya. Tentu saya hanya bisa yakin ada kalimat meleset jika sudah membaca versi aslinya, tapi kita bisa kok menemukan kalimat ngaco hanya dengan mengandalkan feeling. Nah, di buku ini tak ada hal semacam itu. Buku-buku terjemahan berbahasa Indonesia, seperti buku-buku terjemahan dalam bahasa lain, dapat dinikmati salah satunya karena terjemahan yang bagus. Gempa Waktu ini diterjemahkan dengan bagus.

Selain itu, kalau kau senang menulis, kau dapat belajar banyak tentang membuat metafora yang segar dan lebih-lebih lagi, kocak, lewat novel ini. Saya tak akan memberi contohnya dalam tulisan ini, tapi mungkin saya akan membahasnya di tulisan lain.

Terakhir. Saya menyebut kegiatan membaca buku ini sebagai “usaha bunuh diri yang bisa berhasil jika kau nekat membacanya hingga dua kali atau lebih”. Dan mengingat bahwa saya terpingkal-pingkal hingga muntah, dua kali semburan, saat membaca buku ini, kelihatannya “tertawa sampai mati” bukanlah sekadar slogan atau efek dari racun anggrek hantu dalam dongeng Raden Mandasia.


TING-A-LING!


Ulasan ini dimuat harian Jawa Pos dalam versi yang telah disunting.

Pamer Kecepatan Membaca

$
0
0



Seberapa cepat kamu bisa menyelesaikan membaca sebuah buku? Tentu saja jawabannya akan sangat relatif pada jenis buku, tebal buku, topik atau muatan buku, dan faktor-faktor lain. Itu saya paham.

Tapi, seberapa cepat kamu bisa menyelesaikan membaca sebuah buku?

Novel yang paling cepat saya rampungkan membacanya tahun ini adalah Raden Mandasia Si Pencuri Daging Sapi, novel setebal 448 halaman dan saya selesaikan dalam dua hari. Lebih cepat dari itu adalah Harry Potter dan Batu Bertuah,  tebalnya 384 halaman, selesai saya baca dalam satu hari. Ada juga beberapa novel yang selesai saya baca dalam waktu dua hingga tiga jam. Sedangkan, novel paling lama yang saya baca adalah The Satanic Verses, setebal 561 halaman, sudah tiga bulan dan baru separuhnya-kini sementara saya tinggalkan. Novel terakhir yang sudah menghabiskan waktu membaca saya hingga dua bulan penuh dan belum beres-beres juga adalah War and Peace, setebal 1417 halaman-terakhir saya berhenti sejenak di halaman ke-400 sekian.

Saya sering menemukan, baik sebagai pembaca maupun penulis, atau sekadar pengamat numpang lewat, beberapa penikmat buku memamerkan kemampuan mereka membaca buku dengan sangat cepat. “Saya baca itu cuma tiga jam.”, “Oh, itu sih aku sehari aja udah beres.” Tentu saja kalimat-kalimat semacam begitu, dalam beragam topik perbincangan mengenai buku, tidak mesti diterjemahkan sebagai usaha memamerkan kemampuan membaca buku dengan cepat. Bisa saja makna di balik kalimat-kalimat tersebut adalah bahwa si pembaca benar-benar menikmati buku yang ia baca, sehingga tidak membutuhkan waktu lama dalam merampungkannya. Iya, kan?

Atau bisa juga memang lagi pamer, walaupun saya sendiri juga nggak tahu apa sebetulnya yang layak dipamerkan dari hal tersebut.

Membaca cepat itu biasa saja.

Pertanyaan lebih mendasar yang pengin saya ajukan: Pentingkah membaca buku dengan cepat?

*

KARENA ini bukan tulisan interaktif, saya terpaksa menjawab sendiri pertanyaan saya. Kendati demikian, kata “saya” pada bagian ini dapat diganti dengan “kamu”.

Misalnya begini:

Cara menjawabnya, pertama-tama, saya kira saya (kamu) harus mencari tahu apa yang membuat saya (kamu) membaca buku dengan cepat. Apakah memang dasarnya saya (kamu) memang membaca buku apapun dengan cepat, atau saya (kamu) membaca cepat karena buku-buku tertentu, dengan satu dan lain sebab yang akan saya (kamu) cari sebentar lagi, membuat saya (kamu) mau tak mau tak bisa membacanya dengan lambat?

Oke, sudah oke ya? Kalau nggak menangkap ya sudah lupakan saja, baca tulisan ini sebagaimana kelihatannya. Mau baca aja kok musti repot-repot, ya nggak.

Kembali ke pertanyaan barusan.

Apa yang membuat buku-buku tertentu dapat kelar dibaca dalam waktu singkat? Beberapa hal dapat menjadi penyebab, di antaranya:


1. Bukunya seru

Bahasa gaulnya, a page-turner. Buku-buku yang page-turner rata-rata memiliki narasi yang tidak sulit dibaca, ini berarti diksi atau pemilihan kata penulisnya nggak aneh-aneh. Lihat buku-buku best-seller atau mega best-seller atau national best-seller atau best-mega-national-hyper-teta-tetrapack-omega-ultra-best-seller, hampir bisa dipastikan semuanya memiliki narasi yang nyaman dibaca, dalam artian nggak bikin kepala spaneng cuma buat memahami maksud dari pilihan kata dalam ceritanya. Selain diksi dan narasi, “bukunya seru” juga bisa berarti buku tersebut memiliki cerita yang terus bergerak dalam plot yang juga berkelit ke sana dan ke sini dan dengan demikian membuat kita terus tertarik untuk mengetahui ke mana cerita akan membawa kita.


2. Bukunya nggak seru

Woiya. Jangan salah, buku yang nggak seru juga dapat kelar dibaca dalam waktu singkat. Bagaimana caranya? Ya, skimming lah. Saya pernah membaca beberapa buku (novel) hanya dalam waktu satu-dua jam, atau bahkan tiga puluh menit, bukan karena ceritanya seru tapi lantaran saya tak merasa ada hal penting pada saat itu yang perlu saya resapi. Saya membaca sekadar pengin tahu apa yang ditulis oleh penulisnya.


Jadi, jikalau seseorang berkata: “Oh, itu sih aku sehari juga udah beres.” dan ia merujuk pada suatu buku, baik tatkala kamu mendengar kalimat itu sebagai pembaca, penulis, ataupun pengamat selewat kayak saya, jangan buru-buru menyimpulkan bahwa pernyataan tersebut membawa makna buku yang ia baca adalah buku yang bagus. Belum tentu. Bisa jadi dia membaca buku itu dengan cepat karena ia skimming, apakah itu skimming karena bukunya nggak layak dibaca dengan lamban dan seksama, atau justru ia skimming karena pengin buru-buru pamer ke orang lain bahwa ia sudah kelar membaca buku itu.

Atau, ya, memang bukunya bagus seperti poin pertama, punya cerita seru, sangat seru, sehingga tak ada cara untuk memperlambat pembacaan.

*

SEKARANG tentang membaca dengan lambat.

Bicara tentang pamer, kadang-kadang telinga saya yang penuh prasangka buruk dan berjiwa sinis ini juga mendeteksi nada pamer pada beberapa orang yang berkata:

“Saya nggak bisa baca buku cepet. Saya pembaca yang lambat.”

Lagi-lagi, bisa jadi saya keliru. Bisa jadi sama sekali tak ada yang sedang pamer dalam pembahasan ini, kecuali telinga saya yang terlalu sinis dan suudzon. Mungkin saya sesuka hati aja menuduh orang-orang pamer kecepatan atau kelambatan membaca semata-mata karena saya merasa insecure sebab ternyata saya sendiri yang diam-diam di masa lalu, kini, atau nanti bakalan pamer kecepatan membaca (atau kelambatan). Woiya dong, bisa jadi.

Tapi for the sake of argument, mari asumsikan memang demikian yang terjadi. Ada orang-orang yang pamer kecepatan membaca mereka (atau kelambatan), dan dengan demikian saya yang seorang Cancer dan tersebab itu kelewat sensitif ini merasa terusik dan mulai mempertanyakan penting-tidaknya membaca buku dengan cepat atau lambat, dan itulah yang membuat tulisan ini lahir.

Oke, tentang membaca lambat. Seperti sebelumnya, mari kita coba cari apa yang membuat buku-buku tertentu dibaca dengan lambat. Mungkin begini:


1. Bukunya berat

Bukan, bukan berat kilogramnya. “Berat” dalam frasa “bukunya berat” biasanya merujuk pada konten, pembahasan, isu, atau wacana yang dimuat di buku itu. “Berat” kadang-kadang mengacu pada muatan yang mengandung isu-isu sosial-politik, sains, agama, atau wacana mana pun yang tergolong “serius”. Berat. Sehingga membacanya pun tak bisa main kebut begitu saja. Setiap halaman mesti direnungi, mau tak mau. Perlu diingat, “berat” di sini bisa memiliki makna positif maupun negatif. Perhatikan percakapan berikut:

A: “Kamu udah baca buku anu belum?”

B: “Udah, baru dikit sih, nggak bisa cepet bacanya. Bahasannya berat.”

Pernyataan singkat “…bahasannya berat.” dari B bisa bermakna dua hal: Ia malas membaca buku itu karena bahasannya terlalu berat bagi dia, atau ia tetap ingin meneruskan membaca karena masih tertarik dengan buku itu, kendati bagi dia pembahasannya berat. Dalam makna yang mana pun, bagi B, ia membaca buku anu dengan lambat.


2. Bukunya bikin puyeng

Contoh terbaik pada poin ini, jika mengambil pengalaman membaca saya sendiri, adalah novel The Satanic Verses. Kamu bisa melakukan kroscek atas apa yang akan saya katakan terhadap novel itu saat kamu membacanya sendiri. Tapi kira-kira beginilah kesan-kesan ringkas saya terhadap novel yang sempat dibakar oleh sekelompok orang itu karena muatannya yang dianggap kontroversial: Narasinya dipenuhi diksi yang sulit, timeline cerita tidak jelas, mana realitas dan bukan tidak jelas, tujuan hidup tokoh-tokoh utamanya tidak jelas.

Tapi jangan salah, saya tetap berniat meneruskan membacanya, kok. Sekadar menuntaskan rasa penasaran.

Saya hanya ingin bilang bahwa suatu buku dibaca dengan lambat sekali bisa jadi bukan karena ia mengandung sesuatu yang penting yang perlu direnungkan, tapi memang karena bukunya ribet aja. Susah dicerna, bukan dalam hal konteks, tapi bahkan teksnya pun bikin mata keliyengan, lebih-lebih kepala, dan lama-lama mungkin bisa bikin gangguan kandung kemih (nggak, nggak, ini saya lebay kok).

(Semoga lucu)

Jadi, kira-kira begitu!

*

Yang pengin saya katakan sebenarnya adalah, tingkat kecepatan membaca nggak selalu punya korelasi positif terhadap mutu pembacaan maupun mutu buku itu sendiri. Seperti sudah sempat diuraikan tadi, buku yang kelar dibaca begitu lekas belum tentu bagus, karena bisa jadi pembaca melakukan skimming atasnya dengan alasan tak ada hal penting dari buku itu yang perlu direnungi.

Begitupun buku yang membacanya butuh waktu lama, bahkan tersendat, belum tentu bukunya jelek. Bisa jadi ada sesuatu yang butuh dicerna lama. Atau, bisa jadi juga memang narasinya bikin pusing, struktur kalimatnya nggak enak, alur waktunya nggak jelas (padahal maksud si penulis pengin bikin itu jadi jelas), dan seterusnya.

Buat saya, yang penting bukan membaca cepat, tetapi membaca nikmat. Hal utama dalam membaca buku bukanlah seberapa cepat kamu merampungkannya, tapi seberapa paham kamu sama isi buku itu.

Jikalau kamu dapat membaca buku dengan sangat cepat, tetapi nggak ada dari buku itu yang diserap dan membekas di memori kamu, percuma. Ketimbang begitu, mending membaca pelan saja dan serap isinya sedikit demi sedikit.

Kecuali, tentu saja, bukunya seasyik dan seseru itu sampai bisa rampung hanya dalam semalam. Apa boleh buat, kan? Pastinya ada buku-buku seperti ini, yang membuat kita enggan berhenti membacanya saking seru dan bagus isinya, sehingga tak perlu waktu lama merampungkan membacanya. Kalau ketemu buku yang seperti ini, bersyukurlah. Dan baca ulang! Karena kenikmatan membaca adalah kamu dapat merasakan kenikmatan ini lagi dan lagi dan lagi dan lagi (kecuali buku yang kamu baca hasil minjem, buruan balikin oi!)

Terakhir. Supaya bisa di­-quote di Twitter:
Bukan seberapa cepat atau lambat kamu membaca buku, tapi seberapa banyak buku yang kamu baca mempengaruhi dirimu sebagai manusia.

Yaksiptul!



  • Kalau kamu sendiri, apakah kamu termasuk pembaca yang cepat atau pembaca yang lambat? Apa yang membuat kamu membaca buku-buku tertentu dengan cepat atau lambat? Share pengalaman membaca kamu di kolom komentar ya. Saya tunggu!

Panduan Membaca Haruki Murakami (1)

$
0
0


Tulisan ini dibuat untuk yang ingin mulai membaca Haruki Murakami.

Di Twitter, mungkin gara-gara saya sendiri keseringan mengoceh tentang Haruki Murakami, saya jadi sering menerima pertanyaan mengenai penulis tersebut. Paling sering pertanyaan seperti: “Kalau mau baca Haruki Murakami, bagusnya mulai dari bukunya yang mana ya?” Saya akan berpikir barang sejenak sebelum mengetik balasan. Saya tak segera menjawabnya, karena pertanyaan itu tricky.

Kenapa saya bilang tricky, karena saya tidak yakin apa yang diinginkan oleh si penanya. Apakah ia bertanya buku Haruki Murakami yang mana yang paling saya suka, sehingga ia ingin saya merekomendasikan buku tersebut, ataukah ia bermaksud meminta saya memberi saran buku apa sebaiknya yang dibaca oleh seseorang yang baru mulai membaca Haruki Murakami.

Kebingungan saya ini, pertama-tama, didasarkan pada asumsi bahwa buku-buku Murakami yang saya sukai belum tentu akan disukai oleh si penanya, sehingga saya jadi ragu untuk memberi rekomendasi. Tetapi, buku-buku Murakami yang tidak begitu saya senangi, bisa jadi akan disukai oleh si penanya dan membuatnya membaca buku Murakami yang lain, yang mana adalah harapan saya sebagai penggemar Murakami, tetapi hal itupun sulit bagi saya karena saya tidak mungkin merekomendasikan buku yang tidak benar-benar saya sukai.

Jadi, mari saya bikin saja panduan membaca Haruki Murakami ini.

. . . . . . . . . . . . . . . . . .

Sedikit pengantar mengenai profil Haruki Murakami: Ia adalah penulis Jepang yang merayakan Barat. Ia lahir di Kyoto, tahun 1949. Menurut pengakuannya di berbagai wawancara, ia kali pertama menulis novel pada usia ke-33, seusai menonton pertandingan baseball (pada suatu momen home run, ia mendadak mendapat ilham bahwa ia bisa menulis novel). Hingga saat ini ia telah menulis dan menerbitkan tidak kurang dari 20 buku, fiksi dan nonfiksi (memoarnya What I Talk About When I Talk About Running buku pegangan yang bagus buat penulis). Haruki Murakami beberapa kali digadang-gadang meraih Nobel Kesusastraan, meski hingga hari ini tidak terjadi juga. Tapi, ia tak risau.

Sekarang, mari masuk ke karyanya.

Dari 20 buku Murakami yang diterjemahkan ke bahasa Inggris, saya membaca 14 (beberapa di antaranya saya baca dalam versi bahasa Indonesia). Saya akan menulis keempatbelas buku itu secara acak (saya tidak ingat bagaimana urut-urutan Murakami yang saya baca) kemudian memilih yang terbaik menurut saya, lalu memberi sedikit penjelasan mengenai bukunya dan mana yang sebaiknya dibaca terlebih dahulu. Sekali lagi, ini hanya percobaan, jadi tidak harus dituruti.

      1.     Dengarlah Nyanyian Angin
2.     Pinball, 1972
3.     A Wild Sheep Chase
4.     Norwegian Wood
5.     The Wind-Up Bird Chronicle
6.     Kafka on the Shore
7.     Hard-Boiled Wonderland and the End of the World
8.     After the Quake
9.     After Dark
10.  Blind Willow, Sleeping Woman
11.  1Q84
12.  Colorless Tsukuru Tazaki and His Years of Pilgrimage
13.  The Strange Library
14.  What I Talk About When I Talk About Running

Personal favourite saya adalah: 5, 6, 7. Tapi, seringkali saya menyarankan kepada yang belum pernah membaca Murakami, untuk mulai membaca dengan: 4.

Kenapa begitu?

Begini.

Supaya gampang, saya akan memisahkan buku-buku Murakami menjadi dua kategori: Realis dan surealis. Umumnya, Murakami itu surealis abis. Tapi ketika dia lagi capek menulis buku yang surealis, dia bikinlah tuh buku yang realis, yang membuat saya sadar bahwa ternyata Murakami bisa menulis buku yang biasa-biasa saja. Ya, saya sedang berbicara tentang Norwegian Wood.

Nomor 3, 5, 6, 7, 8, 9, 10, 11, 13, adalah buku-buku Murakami yang bernuansa surealis. Pendek kata, hampir semua. Tapi sekali waktu Murakami menulis juga novel realis, seperti Norwegian Wood dan Colorless Tsukuru. Saya tidak begitu menyukai buku-buku itu, bukan karena ditulis dengan jelek, tapi semata karena menurut saya Murakami adalah seorang yang surealis, dan kekuatannya muncul di dalam cerita-cerita surealis, seperti di The Wind-Up Bird Chronicle, Kafka on the Shore, dan Hard-Boiled Wonderland, tiga novel favorit saya.

Kembali ke pertanyaan: “Kalau mau baca Haruki Murakami, bagusnya mulai dari bukunya yang mana ya?”

Sebagai diri saya sendiri, tentunya saya akan menyebut The Wind-Up Bird Chronicle, Kafka on the Shore, dan Hard-Boiled Wonderland. Tapi saya khawatir apakah si penanya juga menyukai cerita-cerita surealis dengan adegan-adegan seperti ikan sarden tumpah dari langit, kucing yang dibelah perutnya dan diambil jantungnya, atau langit dengan dua bulan purnama. Jika ternyata tidak, maka si penanya takkan repot-repot mencoba membaca buku Murakami yang lain.

Baik, apakah mungkin saya sarankan saja membaca novel Murakami yang realis, seperti Norwegian Wood? Oke, mungkin aman. Tapi ini pun tak menyelamatkan saya dari perasaan khawatir berikutnya: Jika si penanya ternyata menyukai Norwegian Wood, ia akan kaget atau setidak-tidaknya bingung begitu memasuki dunia Kafka on the Shore atau The Wind-Up Bird Chronicle karena perbedaan semesta yang kentara. Lalu memutuskan untuk tidak lagi membaca Murakami.

Pelik, pelik.

Jadi, begini saja. Bagi yang menyukai cerita-cerita sureal (kalau bingung sureal itu seperti apa, bayangkan saja cerita fantasi yang tiba-tiba ada hal nggak masuk akal muncul dalam cerita-walaupun sureal dan fantasi sebetulnya berbeda) bacalah The Wind-Up Bird Chronicle, Kafka on the Shore, dan Hard-Boiled Wonderland. Ketiga buku itu sepertinya baru tersedia dalam bahasa Inggris, kecuali Kafka on the Shore yang baru-baru ini saya lihat terjemahan bahasa Indonesia di toko buku, berjudul Dunia Kafka.

Bagi yang tidak begitu bisa menikmati cerita-cerita sureal, bacalah Norwegian Wood. Novel ini konon yang membuat nama Murakami dikenal secara luas. Selain muatannya yang juga terasa seperti buku roman populer (a la Murakami tentunya, jadi tetap akan ada karakter-karakter dengan aura aneh), juga karena novel ini diadaptasi ke layar lebar (di Youtube ada cuplikannya). Norwegian Wood sudah diterjemahkan ke bahasa Indonesia.

Apakah itu cukup membantu?


. . . . . . . . . . . . . . . . . .

Tentu saja, apa yang saya suka tak harus kamu suka. Jika ternyata ada beberapa atau banyak orang tak dapat menikmati dunia fiksi Murakami, kenapa pula saya harus repot-repot mengubah pikiran mereka. Memang akhirnya perkara selera saja. Tapi, saya rasa adalah hal yang menyenangkan juga kalau saya mencoba berbagi dan menjelaskan pengalaman saya dengan Murakami, serta mengapa saya menyukai buku-bukunya. Bukan hal aneh pula saya kira, jika saya berharap orang-orang lain juga menyukai buku-buku dan penulis yang saya suka.

Ini adalah salah satu usaha itu.

(Pada kesempatan berikutnya, saya akan mencoba menulis tentang bagaimana cara menikmati dunia fiksi Murakami).




  • ·      Apa kamu sudah pernah membaca buku-buku Haruki Murakami? Buku apa yang pertama kamu baca? Apa kamu menyukainya? Bagaimana kesan selama membaca Murakami? Share pengalaman kamu di kolom komentar ya. Saya tunggu!

Panduan Membaca Haruki Murakami (2)

$
0
0

Photograph by Glo



Pertanyaan: Bagaimana cara menikmati dunia fiksi Haruki Murakami?

Tulisan ini dibuat untuk yang sudah membaca Haruki Murakami dan tidak dapat menikmatinya dan bertanya-tanya bagaimana cara menikmati buku Murakami. Tulisan ini juga merupakan lanjutan dari bagian sebelumnya, Panduan Membaca Haruki Murakami (1). Di tulisan tersebut, saya mencoba memberi rekomendasi buku Haruki Murakami yang mana yang sebaiknya dibaca bagi mereka yang ingin mulai mengenal dunia fiksi Murakami.

Kini, setelah masing-masing memegang buku Murakami untuk kali pertama dan sudah mulai membaca dan ternyata mengernyit mengalami kesulitan mengikuti semesta fiksi Murakami, saya akan coba sedikit memberikan panduan sederhana, bagaimana kiranya kita dapat memahami, atau setidaknya menikmati dunia fiksi Murakami.

. . . . . . . . . . . . . . . . . .
  • Murakami = Sureal, Absurd

Seperti saya sebut dalamPanduan Membaca Haruki Murakami (1), secara umum dunia fiksi Murakami adalah dunia yang sureal. Harap dibedakan antara sureal dan fantasi. Fantasi, secara sederhana, adalah cerita yang di dalamnya terdapat makhluk mitikal, dan manusia menyadari status mitikal makhluk tersebut. Tapi sureal merupakan situasi yang absurd, tidak berada dalam lingkup nalar dan logika umumnya-namun diciptakan penulisnya dengan intensi agar situasi absurd tersebut diterima sebagai kewajaran, setidak-tidaknya tidak dipandang sebagai hal yang fantastis/mitikal (dalam pengertian cerita fantasi).

Contoh paling jamak, dan kemudian menjadi trademark Murakami, adalah kehadiran kucing yang bisa bicara. Jika kucing bicara ini hadir di novel Lord of the Rings atau Harry Potter, ia akan dipandang sebagai makhluk mitikal, setidak-tidaknya mengandung sihir atau terkena sihir-dan memang demikian intensi penulisnya. Tetapi kucing bicara pada cerita-cerita Murakami merupakan bagian kewajaran dalam semesta karakternya, dan penulisnya menyajikan absurditas tersebut dengan intensi agar dipandang secara wajar pula. Thus, kucing bicara di cerita Murakami adalah sesuatu yang absurd, sementara di novel fantasi tidak.

Kunci pertama: Hilangkan harapan akan bertemu hal-hal wajar dan normal. Normal adalah kata yang tak pernah eksis dalam dunia fiksi Murakami.

. . . . . . . . . . . . . . . . . .

  • Murakami = Landai, Ngalor-Ngidul


Jika kamu menyenangi cerita dengan plot yang bergerak cepat a la kisah detektif macam Dan Brown atau kepastian misi seperti dimiliki karakter-karakter dalam novel fantasi, hampir pasti kamu akan dibuat bosan oleh Murakami.

Tatkala cerita dibuka, tokoh utama novel-novel Murakami (maupun cerpen-cerpennya) tampak tak memiliki tujuan hidup-dan memang begitu kiranya, karena di situ lah poinnya (kita bicara ini di kesempatan lain). Tanpa tujuan, tokoh-tokoh Murakami akan melakukan kegiatannya sehari-hari: memasak spageti, membaca novel, jalan-jalan naik bus atau kereta atau taksi tanpa tahu ingin ke mana sebenarnya, pergi ke toko buku, mampir di kafe, semuanya tanpa maksud dan makna. Sekilas ini tampak menyalahi aturan menulis Kurt Vonnegut, yang berkata bahwa setiap tokoh harus memiliki keinginan, sekalipun itu hanya segelas air.

Tokoh-tokoh Murakami tak punya kenginan.

Inilah yang membuat alur cerita Murakami sekilas terlihat seperti ngalor-ngidul nggak jelas arahnya, dan inilah kiranya yang membuat beberapa pembaca jadi bosan. Mereka berharap menemukan dengan segera apa yang ingin diceritakan Murakami, tetapi setiap halaman yang dibalik dan dibaca hanya menyajikan hal-hal yang entahlah apakah ini akan membawa mereka ke satu tujuan yang sejak awal mereka harapkan.

Murakami sendiri berkata, di satu wawancara, ia menulis cerita-ceritanya seperti mengamati sebuah sumur: Ia sama sekali tak tahu benda apa yang akan muncul ke permukaan, sampai benda tersebut muncul. Seperti itu pula tokoh-tokohnya. Tidak menentukan tujuan hidup, tidak merasa harus memiliki tujuan hidup. Tokoh-tokoh Murakami adalah kasus sempurna dari slogan go with the flow. Begitu pula yang mesti kita lakukan untuk menikmati dunia fiksi Murakami.

Kunci kedua: Hilangkan harapan akan goal cerita yang jelas dan gamblang.

Go with the flow.

Enjoy the ride.

. . . . . . . . . . . . . . . . . .

  • Murakami = Kejutan


Jangan salah. Pada bagian-bagian awal, dan ini memang bisa berlangsung sangat panjang bahkan mungkin hingga sepertiga atau separuh buku, dunia fiksi Murakami memang terasa landai dan ngalor-ngidul. Tapi bertahanlah. Kamu akan sampai di satu titik ketika absurditas dimulai, keanehan-keanehan perlahan bermunculan, dan puncaknya adalah kejutan yang menyenangkan.

Tentu saja kejutan ini pun hadir dalam situasi yang absurd, tentu saja.

Poin dari membaca Murakami adalah, salah satunya, menikmati absurditas. Jika kita sudah dapat menerima kehadiran absurditas, situasi-situasi di luar logika, niscaya akan lebih mudah menikmati dunia fiksi Murakami. Pembaca yang sudah terbiasa dengan novel-novel fantasi saya kira akan lebih terbantu. Bukan berarti yang tidak membaca novel-novel fantasi akan kesulitan menikmati Murakami. Tetapi yang ingin saya katakan adalah, penting untuk memiliki kemampuan menikmati absurditas, karena hal tersebut saya kira merupakan bekal utama dalam memasuki dunia fiksi Murakami.

Kunci ketiga: Membuka diri terhadap ketidakjelasan.

. . . . . . . . . . . . . . . . . .

“Don’t pointless things also have their place in this imperfect world?” (Haruki Murakami)

Saya kira, kalimat retorik itu adalah kredo kepengarangan Murakami, jika tidak satu-satunya berarti salah satunya. Memasuki dunia fiksi Murakami berarti memasuki dunia yang (tampak) tak penting, tak jelas, dan membosankan. Tetapi, seperti ia katakan, bukankah hal-hal tak penting juga memiliki tempatnya di dunia yang toh tak sempurna ini? Melalui hal-hal tak penting dan tak jelas itulah Murakami mempertanyakan hal mendasar dalam hidup: Apa tujuan manusia hidup? Apa tujuan dan makna keberadaan manusia di dunia, jika tujuan dan makna itu memang ada?

Tapi kita akan bahas tentang ini lebih dalam lain kali, lengkap dengan contoh-contoh langsung dari tokoh-tokoh di novel-novelnya.



  • ·      Bagian apa yang paling kamu sukai dari buku-buku Murakami? Bagian mana yang tidak dapat kamu pahami? Apa yang membuat kamu kesulitan menikmati cerita-cerita Murakami? Share pendapat kamu di kolom komentar ya. Saya tunggu!




Jawa Pos, 3 April 2016

$
0
0


Ulasan saya untuk novel Gempa Waktu Kurt Vonnegut muncul di harian Jawa Pos. Tulisan di situ sudah disunting. Baca versi uncensored di sini.

Cat’s Cradle, Kurt Vonnegut

$
0
0



Novel ini bercerita tentang seorang penulis bernama Jonah. Pada bagian pembuka ia mengatakan kepada kita bahwa ia sedang mengerjakan sebuah buku. Ia juga bilang ia beragama Kristen, atau lebih tepat: pernah beragama Kristen. Ia kini menganut kepercayaan “Bokononisme”. Bokononisme diciptakan oleh seseorang bernama Bokonon dan penganut Bokononisme disebut Bokonis. Cat’s Cradle bercerita tentang bagaimana perjalanan si penulis bertemu orang-orang yang menjadi narasumber untuk buku yang sedang ia tulis: “The Day the World Ended”, dan kemudian membuatnya menjadi penganut Bokononism, dan menyaksikan akhir dunia.

Sebelum membaca novel ini, saya membaca novel Vonnegut yang lain, Gempa Waktu. Novel itu benar-benar lucu. Sumpah. Saya nggak menghitung berapa kali tertawa sepanjang membacanya. Yang saya tahu, menjelang selesai, saya sampai buru-buru keluar dari kamar untuk muntah-saya bahkan nggak sempat ke toilet. Separah itu, memang. Gempa Waktu mirip otobiografi parodi, karena di dalamnya Kurt Vonnegut hadir sebagai dirinya sendiri. Kilgore Trout, tokoh utama novel itu, merupakan alter-ego Vonnegut, dan melalui Trout lah Vonnegut melontarkan lawakan-lawakan satir terhadap perang dan kehidupan manusia.

Ketika kelar membaca Gempa Waktu saya baru sadar ternyata saya menyimpan buku Vonnegut yang lain di rak. Judulnya Cat’s Cradle. Langsung saya ambil. Orang-orang semakin hari semakin serius, termasuk saya sendiri, karena itu saya haus bacaan yang bikin ngakak.

Kurt Vonnegut adalah pilihan tepat.

Seperti tadi saya katakan di awal tulisan ini, Cat’s Cradle dibuka dengan narator utama yang memperkenalkan dirinya sendiri. Ia bilang namanya Jonah (saya langsung mengingat-ingat kisah Nabi Yunus). Bagian penting dari pembuka ini adalah saat Jonah memberitahu bahwa ia seorang Kristen, tadinya, karena ia kini beragama Bokononisme-ia seorang Bokononis. Juga, keterangan bahwa ia sedang menulis sebuah buku berjudul “The Day the World Ended” yang harusnya berisi tentang hal-hal apa yang orang-orang penting Amerika lakukan pada hari ketika bom atom pertama dijatuhkan di Hiroshima, Jepang (tentu saja ini adalah sebuah sindiran).

Demi mengumpulkan materi untuk bukunya itu, Jonah atau John mengontak narasumbernya. Mereka adalah tiga anak kandung Dr. Felix Hoenikker, salah satu ilmuwan yang menciptakan bom atom. Dengan satu dan lain cara, si penulis berhasil berkomunikasi bahkan bertemu Frank Hoenikker, Angela Hoenikker, dan Newt Hoenikker-anak-anak Dr. Felix Hoenikker-untuk salah satunya mencari tahu apa yang ayah mereka, “bapak” bom atom itu, lakukan ketika bom atom tersebut dijatuhkan di Hiroshima.

Anak-anaknya bilang, pada hari bom atom dijatuhkan, ayah mereka duduk di kursi di rumah dan bermain karet gelang. Cat’s Cradle adalah nama permainan karet gelang itu. Begini bentuknya:



Perjalanan si penulis mengumpulkan materi bukunya membawanya ke sebuah pulau bernama San Lorenzo. Ia akan mewawancarai narasumber terakhir, Felix Hoenikker. Kelak di pulau itu ia akan menemui kepercayaan baru, Bokononisme, dan sebagaimana yang terjadi-sebagaimana yang semestinya terjadi,” kata Bokonon-ia akan menjadi Bokononis.

Poin gentingnya: Dalam perjalanannya mengumpulkan materi untuk menulis, ia mewawancarai seorang rekan kerja Dr. Felix Hoenikker, dan menemukan fakta mengejutkan bahwa tiga orang anak Dr. Felix yakni Frank, Angela, dan Newt, membawa masing-masing bersama mereka kepingan sebuah benda kimia yang disebut ice-nine, hasil temuan ayah mereka, yang dapat membekukan apa saja termasuk lautan beserta isinya, dan dengan demikian dapat membuat dunia berakhir. The Day the World Ended.


. . . . . . . . . . . . . . . . . .


Subjek utama lelucon Vonnegut adalah kebodohan manusia dan tindakan Tuhan menciptakan mereka. Kebodohan manusia yang dirujuk Vonnegut salah satunya adalah peperangan. Lewat lelucon-lelucon satirnya ia memperlihatkan betapa konyolnya manusia yang masih mencoba memahami kenapa dunia ini dibuat, kenapa Tuhan menciptakan mereka, dan apa makna dari semuanya. Tuhan kesepian, kata Vonnegut dalam Cat’s Cradle, kemudian Dia “membangunkan lumpur”-lumpur adalah manusia-untuk menyaksikan kebesarannya, dan ketika lumpur bertanya “Apa makna dari semua ini?” Tuhan menjawab: “Maknanya? Hmm, maknanya… Itu tugasmu untuk memikirkannya,” lalu Tuhan ngeloyor, mungkin sambil siul-siul.

Hal menarik dari Cat’s Cradle adalah bagaimana Vonnegut menyampaikan pandangan personalnya terhadap hal-hal faktual melalui kisah fiktif, termasuk objek-objek di dalamnya (agama Bokononisme, materi kimiawi ice-nine, tokoh Bokonon pencipta agama Bokononisme, dan seterusnya-tidak eksis di dunia nyata) dan dengan demikian bukunya menjadi menarik untuk dibaca.

Ini mengingatkan saya kembali, lagi dan lagi, bahwa dalam menulis bagaimana cara menyampaikan sesuatu lebih penting dari apa yang ingin disampaikan. Tentu saja informasi tentang Perang Dunia atau peristiwa jatuhnya bom atom di Hiroshima atau kediktatoran Hitler atau komunisme Uni Soviet Rusia dapat dengan mudah didapatkan di Internet atau di sumber-sumber lain, tapi hanya memiliki materi soal itu apakah seseorang sudah pasti dapat menulis novel yang penting dan berbobot, lebih-lebih lagi, menyenangkan untuk dibaca?

Jika Vonnegut tak memiliki pandangan uniknya terhadap peristiwa-peristiwa besar di dunia, dan tak punya kemampuan mengarang yang baik, pasti buku yang ia tulis akan jadi tak lebih dari sekumpulan informasi yang saat ini bisa didapat di mana saja dengan mudah oleh siapapun. Cat’s Cradle bagaimanapun adalah novel, seperti yang diniatkan oleh penulisnya, sehingga ia menuntut kehadiran sebuah cerita, dan demi membuatnya menarik hingga dapat dibaca sampai selesai, cerita tersebut mesti dituturkan oleh penulis dengan kemampuan bercerita yang mumpuni.

Novel adalah kisah karangan. Ia menyampaikan kebohongan-kebohongan (fiktif) demi mengungkap kebenaran. Karena novel adalah produk yang personal, tentu saja kebenaran yang hendak diungkap pun merupakan kebenaran subyektif, berdasarkan pandangan personal penulisnya sendiri. Ini yang membuat sebuah novel menjadi unik, sekaligus, sekali lagi, menarik untuk dibaca. Jangan lupakan juga bahwa bagaimana cara menyampaikan pandangan personal tersebut dalam hal ini lebih penting daripada pandangan itu sendiri.


. . . . . . . . . . . . . . . . . .


Kurt Vonnegut menciptakan agama baru demi menyampaikan pandangan personal dan kebenaran subyektifnya terhadap kekacauan yang terjadi di dunia, mulai dari penciptaan manusia hingga peperangan. Ia mengarang peristiwa yang tak pernah terjadi-tentu saja dengan logika kuat-untuk menyindir sosok Hitler, Mussolini, Mao, yang oleh salah satu tokoh dalam ceritanya disebut sebagai “para musuh kebebasan”. Semua ini dilakukan dengan intensi membuat lelucon atas mereka.

Cat’s Cradle sendiri, saya kira, menjadi alegori terhadap pencarian manusia atas makna diciptakannya mereka untuk hidup di dunia. Ini tentu saja satu lelucon lain yang brilian dari Vonnegut. Lelucon ini dituturkan Newt Hoenikker kepada Jonah ketika ia bercerita tentang apa yang ayahnya-“bapak bom atom”- lakukan pada hari bom atom dijatuhkan di Hiroshima. Ayahnya bermain karet gelang, membentuk pola tertentu yang secara umum dikenal sebagai ‘cat’s cradle’ (ayunan kucing), dan dengan menyengir menunjukkannya kepada Newt.

Tetapi Newt kecil tak melihat ada kucing maupun ayunan pada pola karet gelang itu.


“See the cat? See the cradle?”


Parade Ironi Anton Chekhov

$
0
0


 
Keburukan terbesar manusia bukanlah ketika ia dengan sengaja berbuat jahat, tetapi tatkala ia menjadi sosok yang munafik. Barangkali ini yang coba dikatakan oleh Anton Pavlovich Chekhov, atau lebih dikenal sebagai Anton Chekhov, raja cerita pendek Rusia melalui kisah-kisah yang ia tulis dalam kumpulan cerita Pengakuan. Ia memotret kemunafikan para manusia. Sikap munafik itu, rata-rata, terbit ketika mereka dihadapkan pada satu benda paling keramat di dunia: uang.

Anton Chekhov lahir tahun 1860, sekitar tiga dekade setelah kelahiran Leo Tolstoy, dan empat dekade setelah Fyodor Dostoyevsky-- dua raksasa sastra Rusia, jika tidak dunia. Sepanjang usianya yang terhitung tidak begitu panjang, yakni empat puluh empat tahun, Anton Chekhov menulis tak kurang dari ratusan judul cerita pendek, belasan naskah drama, beberapa novela, dan juga karya nonfiksi. Buku Pengakuan, yang diterjemahkan langsung dari bahasa Rusia oleh almarhum Koesalah Soebagyo Toer adik sastrawan Pramoedya Ananta Toer ini berisi dua puluh lima cerita pendek yang dipilih dari sekian banyak karya Anton Chekhov itu.

Kedua puluh lima cerita pendek Anton Chekhov dalam Pengakuan terbilang berukuran amat pendek, mengingatkan pada cerita-cerita super pendek para penulis Amerika Latin, meski tidak persis sama-terutama soal humor. Jika sebagian cerita penulis Amerika Latin terasa lucu karena sarkasme dan situasi komikal, humor Chekhov terletak pada ironi dan hipokrisi manusia-manusianya.

Hal tersebut seolah telah diperingatkan Chekhov sejak pembukaan. Dalam cerita berjudul “Munafik”, ia menulis, “Jangan percaya kepada Yudas-Yudas, bunglon-bunglon! Di zaman kita ini orang lebih mudah kehilangan kepercayaan daripada sarung tangan tua.” Cerita itu sendiri berkisah tentang seorang pegawai kantor yang sosoknya senantiasa mengiba, pendiam, pemurung, manutan, tetapi suatu hari kepergok atasannya sedang mengomel berkomentar pedas tentang politik dan kebebasan berpendapat.

Ironi yang kental hadir hampir di setiap cerita Anton Chekhov. Salah satu yang sangat pekat ada dalam cerita “Pengakuan”, yang judulnya diambil sebagai buku ini. Cerita itu berkisah tentang seorang kasir yang korup, tetapi menemukan dirinya menjadi pusat perhatian orang-orang yang tadinya tak peduli padanya. Orang-orang mendekatinya karena ia punya banyak uang. Mereka memandang jijik pada si kasir ketika muncul gosip bahwa ia korupsi, tetapi mereka berkata demikian setelah mendapatkan bagian dari hasil korupsi si kasir.

Cerita berjudul “Satu-satunya Cara Berkenaan dengan Proses Organisasi Perkreditan Petersebug” cukup menggelitik. Dalam cerita tersebut seakan-akan Anton Chekhov mencoba memberi solusi atas praktik korupsi. Tokoh utama cerita itu juga seorang kasir. Ia kasir kesepuluh yang diangkat di kantornya setelah sembilan kasir sebelumnya dipecat lantaran ketahuan korupsi. Mencoba mencari akal agar kasir kesepuluh ini tidak korupsi, jejeran atasan organisasinya menaikkan gaji si kasir tiga kali lipat dan memberinya tiket teater, cerutu, sampanye-semua secara cuma-cuma.

Di samping kemunafikan dan korupsi, Chekhov juga menyoroti persoalan praktik suap. “Dalam Pertunjukan Hipnotis” memperlihatkan adegan seorang penonton yang menjadi sukarelawan pesulap. Di atas panggung, ia dihipnotis agar tidur, tapi karena itu bualan belaka, ia tetap terjaga. Lantas, saat memejam, tiba-tiba saja ada seseorang menyelipkan lembaran uang ke tangannya dan seketika itu ia pun tertidur.

Sifat humoris Chekhov terlihat di cerita “Cermin Perot” dan “Pergi”, sekadar menyebut dua dari beberapa yang lucu, jika tidak seluruhnya. Yang pertama disebut berkisah tentang seorang istri yang senang mematut diri di hadapan cermin perot karena cermin itu justru membuat dirinya yang buruk rupa menjadi cantik, sementara yang terakhir tentang seorang istri yang mengomeli praktik korupsi tapi ternyata suaminya mengaku bahwa ia membeli barang-barang si istri menggunakan uang hasil korupsi-si istri pergi, tetapi bukan meninggalkan si suami, melainkan hanya masuk ke kamar.

. . . . . . . . . . . . . . . . . .

Kumpulan cerita Pengakuan diterjemahkan dengan baik oleh Koesalah Soebagyo Toer (alm.). Terdapat beberapa jargon yang terdengar asing, terutama istilah-istilah jabatan dalam pemerintahan pada masa tsar Rusia. Namun, catatan kaki di halaman-halaman tertentu cukup membantu, selain juga penerjemah berusaha mencari padanan langsung dari istilah-istilah tersebut, sehingga tak mengganggu kenyamanan membaca.

Para penulis dapat belajar dari buku ini bagaimana menciptakan karakter yang menarik. Bukan melalui deskripsi, melainkan mengungkap apa yang mereka sembunyikan. “Hidup yang sesungguhnya dan yang paling menarik dari setiap orang adalah yang berlangsung dalam selubung rahasia, seperti dalam selubung malam,” kata Anton Chekhov di salah satu ceritanya. Selain itu, dapat pula belajar bagaimana merangkai dialog yang tidak sekadar percakapan tanpa arti, tetapi mengungkap watak masing-masing karakter dan membuat cerita bergerak maju.

Buku yang bagus memang tidak hanya menyajikan cerita yang bagus dengan isu yang penting, tetapi juga secara tidak langsung memperlihatkan bagaimana cara membuat cerita yang bagus.

. . . . . . . . . . . . . . . . . .

Cerita-cerita pendek Anton Chekhov memanfaatkan situasi untuk mengungkap watak asli karakter-karakternya. Ia tidak mendeskripsikan sifat suatu karakter melalui kata-kata, tetapi memperlihatkan bagaimana karakter tersebut bereaksi pada situasi tertentu. Dalam pada ini adalah kemunafikan dan hipokrisi manusia yang tadinya seperti tak kasatmata, tapi kemudian muncul ke permukaan tatkala dihadapkan pada harta dan kemungkinan-kemungkinan yang menguntungkan posisinya.

Dalam Pengakuan, Realisme Chekhov dikemas bagaikan fragmen-fragmen, dan jika seluruh fragmen tersebut disusun menjadi satu cerita panjang, maka akan terbentuklah secara lebih lengkap keadaan masyarakat Rusia jelang abad keduapuluh yang kala itu dipandang Chekhov sedang membusuk. Kemunafikan, praktik suap dan penjilatan, serta korupsi di mana-mana.

Korupsi, kolusi, nepotisme-- trisula keburukan manusia ini, ditambah dengan hipokrisi dan sosok-sosok “penjilat” demi posisi, harta, dan kekuasaan, menjadi serangkaian pertunjukan dalam parade ironi yang menyedihkan. Melalui cerita-ceritanya yang amat ringkas, Anton Chekhov dengan sukses menyajikan potret kebusukan dan kemuraman manusia, sambil barangkali diam-diam berharap agar pada akhirnya manusia sadar bahwa satu-satunya jalan keluar dari semua itu hanyalah melakukan perubahan radikal atas mentalitas yang bobrok dan juga  mempertajam nurani.

Dibanding para pendahulunya seperti Tolstoy dan Dostoyevsky, Chekhov lebih humoris, meski tentu saja dengan gayanya sendiri. Tetapi seperti dua raksasa sastra Rusia pendahulunya itu, cerita-cerita Chekhov juga bisa dibilang abadi.

Cerita-cerita dalam Pengakuan ditulis Chekhov tak kurang dari satu abad lalu. Kendati cerita-cerita tersebut telah berumur satu abad, mereka tetap relevan pada masa kini. Kemunafikan, aksi manipulasi, praktik suap dan korupsi, tak hanya terjadi di abad kesembilan belas atau kedua puluh, tetapi juga sekarang, di zaman digital abad duapuluh satu.

Begitulah salah satu, jika tidak satu-satunya, ciri cerita yang bagus. Selain memiliki nilai universal dan tingkat relevansi tinggi yang membuatnya dapat menjejak di belahan dunia bagian mana pun, kapanpun ia dibaca, cerita-cerita bagus mengandung urgensi yang takkan pudar ditelan zaman. Ia relevan ketika dibaca pada masanya, dan ia tetap relevan saat dibaca seratus, dua ratus, bahkan mungkin tiga ratus tahun kemudian. ***

Chekhov dan Orang-Orang Pintar yang Putus Asa

$
0
0



Orang-orang skeptis sesungguhnya adalah orang-orang optimis yang pernah dikecewakan. Saya membaca kalimat itu di internet dan setelah melihat sembari sedikit mempelajari orang-orang di dunia maya yang terlihat skeptis, atau sinis, saya merasa ada kebenaran dalam kalimat tersebut. Membaca cerita-cerita pendek Anton Chekhov dalam kumpulan Ruang Inap No.6 adalah bertemu dengan orang-orang skeptis, bahkan putus asa. Orang-orang skeptis sebetulnya masih memiliki keyakinan meski secuil, tetapi orang-orang putus asa betul-betul telah melepaskan harapannya pada apapun di dunia.

Tidak seluruh cerita dalam buku Ruang Inap No.6 memperlihatkan tokoh-tokoh yang putus asa, tapi hal tersebut kentara terpancar di dalam dua cerita yang panjangnya nyaris seukuran sebuah novelet. “Ruang Inap No. 6” dan “Riwayat yang Membosankan” menjadi cerita pembuka dalam kumpulan ini dan mereka menyampaikan keputusasaan dengan nuansa yang terasa depresif lagi kelam.

Tujuh cerita lainnya, “Pertaruhan”, “Manusia dalam Kotak”, “Bunglon”, “Wanita dengan Anjing”, “Karya Seni”, “Roman dengan Kontrabas”, dan “Bintara Prishibeyev” kebanyakan bernada lucu dengan pengecualian pada cerita “Wanita dengan Anjing” yang memiliki petunjuk akan hadirnya sebentuk tragedi.

Kita mulai dengan keputusasaan dalam “Ruang Inap No. 6”. Cerita ini sebagian besar berlangsung di semacam rumah sakit jiwa. Ruang inap yang disebut di dalam judul merupakan nama salah satu bangsal di rumah sakit itu. Isinya tentu orang-orang yang dianggap memiliki kelainan jiwa. Dua tokoh sentral dalam cerita itu adalah dua laki-laki bernama Ivan Dmitrich dan Andrei Yefimich-yang pertama disebut pasien, satunya lagi dokter.

Ivan Dmitrich orang terpelajar yang mengidap semacam paranoid dan ia dijebloskan ke Ruang Inap No. 6 karena hal tersebut, sementara Andrei Yefimich adalah orang putus asa yang kelak kita sorot, seorang dokter yang menemukan bahwa eksistensi manusia di dunia ini tak memiliki makna apapun dan sia-sia. Suatu ketika mereka pun bertemu, dan ternyata Andrei Yefimich yang tak pernah dibikin gumun oleh apapun karena ia tak memiliki asa terhadap apapun, tiba-tiba melihat ketertarikan mendalam pada dirinya saat ia berbicara dengan Ivan.

Dalam banyak hal, Ivan Dmitrich memiliki jalan pikiran bertolakbelakang Andrei, tetapi ini yang membuat Dokter Andrei tertarik. Andrei dibikin tertarik oleh Ivan ketika lelaki pengidap paranoid itu bicara tentang kesengsaraan hidup dan rasa sakit. “Rasa dingin, seperti rasa nyeri lain, bisa tidak dirasakan,” kata Andrei, “Anda bisa mengabaikannya.” Tetapi dengan berang Ivan Dmitrich menyergah Andrei. “Saya sekumpulan jaringan organis buatan Tuhan, dan jaringan tersebut wajib bereaksi terhadap setiap rangsangan. Dan saya bereaksi!” serunya. Dialog Ivan Dmitrich dan Andrei Yefimich saya kira adalah dialog terbaik kedua yang pernah saya baca setelah percakapan Alyosha Karamazov dan Ivan Karamazov dalam The Brothers Karamazov, Fyodor Dostoyevsky.

Kembali soal keputusasaan.

Andrei Yefimich putus asa pada banyak hal di dunia, salah satunya makna keberadaan manusia yang ia pandang nihil, sebagai buah dari kejengkelannya atas banyaknya manusia yang terlalu gemar mengurusi hal remeh-temeh dan tidak memikirkan persoalan-persoalan substansial (tentang kejengkelan seperti ini muncul di banyak cerita Chekhov). Orang-orang tidak ada yang sepintar Andrei, tidak ada yang bisa Andrei ajak bicara tentang makna eksistensi, filsafat, dan hal besar mendalam lainnya. Banyak sekali orang bodoh dan terlalu sedikit orang berilmu, begitu pikir Andrei, dan ia tampak stres sekali karenanya. Lama-kelamaan ia putus asa dan keputusasaannya tidak lagi mengarah hanya pada ketidakmampuan manusia berpikir sedalam dirinya, tetapi juga pada makna secara umum apa artinya mereka ini, termasuk dirinya, diciptakan di dunia yang begitu-begitu saja.

Profesor Nikolai Stepanovich dalam cerita “Riwayat yang Membosankan” adalah manifestasi keputusasaan yang berikutnya. Ia punya istri yang setiap pagi masuk ke kamar hanya untuk membahas hal remeh-temeh. Ia punya anak perempuan yang berpacaran dengan orang yang ia anggap tak setara ilmu dan pemikirannya menurut standarnya. Tetapi seperti kehadiran Ivan Dmitrich dalam “Ruang Inap No. 6”, ada sosok yang masih memantik ketertarikan Nikolai Stepanovich, kali ini seorang perempuan bernama Katya, yang merupakan anak asuh Nikolai, tetapi sangat dimusuhi oleh anak-istri Nikolai.

Bagaimana soal keputusasaan Profesor Nikolai? Tidak jauh beda penyebabnya dengan yang terjadi pada Dokter Andrei, yakni soal tidak adanya orang-orang dalam hidup mereka yang memiliki pemikiran seperti mereka-rumit, dalam, dan substansial. Hidup tak lagi ada artinya, seolah-olah sang profesor mengeluh demikian, sebab kehidupan semata tentang suatu nonsens bergerak menuju nonsens yang lain, tanpa henti dan tanpa makna khusus, begitu saja dan begitu seterusnya. Tidak ada bedanya mati atau hidup, sembuh atau sakit, berumur pendek atau panjang, terkenal atau terkucil, sukses atau melarat, berilmu atau bodoh-semuanya sama saja, semuanya akan “…ditakdirkan menjadi tanah dan pada akhirnya mendingin bersama kerak bumi.”

Pertanyaan-pertanyaan mengenai kekekalan dan makna keberadaan manusia di dunia menjadi penyebab terbesar keputusasaan tokoh-tokoh dalam cerita-cerita pendek Anton Chekhov. Pada cerita-ceritanya yang lain, seperti misalnya dalam kumpulan Pengakuan, ia lebih banyak protes dan memaki praktik busuk korupsi, kolusi, dan nepotisme yang ia lihat menjadi pemicu rusaknya peradaban Rusia (meski setelah membacanya kita tentu saja tahu hal tersebut tidak cuma berlaku di sana), sedangkan dalam kumpulan Ruang Inap No. 6, sedikit sekali ia bicara mengenai hal-hal tersebut, tetapi ia masuk lebih dalam lagi.

Walaupun terasa depresif, seperti pemikir pada umumnya, Anton Chekhov juga masih memiliki selera humor. Cerita “Bunglon” menampilkan sosok aparat yang berubah-ubah sikapnya atas sesuatu bergantung pada kepentingan hal yang sedang ia tangani, secara implisit menyindir ketidaktegasan dan sifat penjilat; “Karya Seni” tentang benda seni yang dioper dari satu tangan ke tangan lain karena ia terlalu vulgar; “Roman dengan Kontrabas” yang bernuansa roman klasik berkisah tentang pria musisi dan seorang puteri raja yang terjebak dalam situasi konyol, membikin tertawa geli; “Bintara Prishibeyev” tentang aparat yang kaku terhadap hukum dan norma yang membuat dirinya justru diadili. Kisah cinta dalam “Wanita dengan Anjing” terasa seperti roman Rusia umumnya. Sementara “Manusia dalam Kotak” menyinggung keterkungkungan manusia di dalam perangkap tembus pandang yang mereka buat sendiri demi kenyamanan dan jaminan hidup-membahas secara halus namun tajam tentang idealisme di tengah-tengah kebutuhan realitas kehidupan sehari-hari.

Orang-orang yang putus asa dalam cerita-cerita depresif Anton Chekhov adalah orang-orang pintar. Mereka memikirkan teramat dalam akan hal-hal substansial mengenai manusia, kehidupan, kematian, Tuhan, dan seterusnya. Tetapi seringkali terlihat bahwa orang-orang pintar ini tidak bahagia, atau setidak-tidaknya sulit sekali merasa bahagia. Mungkin itu sebabnya kebanyakan orang gila justru terlihat lebih bahagia ketimbang mereka yang waras-orang gila tidak capek-capek memikirkan makna keberadaan manusia, penciptaan, dan tetek-bengeknya. Semakin berpikir, semakin kita tidak bahagia.

Tokoh-tokoh Chekhov yang putus asa menunjukkan kenyataan pahit bahwa situasi dunia telah sebegitu buruknya dan keputusan-keputusan Tuhan sebegitu misteriusnya sehingga jikalau manusia ingin dapat merasakan bahagia, manusia perlu untuk tidak memikirkannya. ***

Lanzarote, Michel Houellebecq

$
0
0



Seorang teman pernah berkata: “Kota diciptakan bagi penghuninya, bukan turis.” Ia tidak mengucapkan kalimat itu langsung kepada saya, melainkan di satu kanal media sosial dan karena saya mengikutinya di sana, terbacalah oleh saya. Teman saya itu seorang pelancong. Ia telah berkunjung ke banyak negara di dunia. Ia juga seorang penulis dan untuk alasan itu ia sering menuliskan pengalaman perjalanannya di blog, majalah, maupun buku. Dalam berbagai kesempatan yang sempat saya hadiri, baik di jejaring media sosial maupun pertemuana kopi darat, ia tidak bosan-bosan menegaskan kalimat tadi, yang dengan satu dan lain cara menjadi semacam kredo baginya sebagai seorang pelancong.

Bentuk lebih lengkap kalimat itu kira-kira seperti ini: “Kota diciptakan bagi penghuninya, bukan turis. Maka setiap kota dibentuk sesuai kenyamanan dan kebutuhan penduduknya sendiri, bukan para pelancong yang datang ke sana.” Seingat saya, ia melontarkan kredo itu di kanal media sosialnya menyusul ribut-ribut seorang pelancong Indonesia terkenal-yang juga penulis buku-yang misuh-misuh perihal masalah yang ia hadapi ketika berkunjung ke suatu negara. Si pelancong ngomel panjang lebar tentang betapa tak becusnya negara tersebut dalam satu-dua hal, lantas, jika ingatan saya tak menipu, ia membandingkan pula ketidakbecusan negara itu dengan kehebatan negara lain.

Hal itulah yang kali pertama melintas di kepala tatkala saya mulai membaca Lanzarote. Ini novel tipis yang ditulis oleh Michel Houellebecq, seorang penulis asal Prancis. Ceritanya tentang seorang laki-laki dewasa-mungkin berusia sekira empat puluh tahun-yang karena merasa malam pergantian tahun akan menjadi saat-saat buruk baginya, secara impulsif pergi ke agen perjalanan dan kemudian membeli paket liburan ke suatu tempat. Setelah petugas memberinya rekomendasi ini dan itu, akhirnya ia memutuskan menerima tawaran paket liburan ke sebuah pulau terpencil di kawasan Spanyol, dekat Samudera Atlantik. Pulau itu bernama Lanzarote. Tetapi sepanjang perjalanan ke sana, sang narator mengoceh tentang hal-hal di tempat itu yang baginya nggak oke.

Secara singkat, Lanzarote adalah cerita tentang pengalaman berlibur si narator ke pulau tersebut. Tetapi tentu saja ini bukan sekadar cerita pelesir tak penting. Sebaliknya, meski tipis (hanya 87 halaman), ada satu-dua hal krusial disinggung Houellbecq melalui naratornya. Di antaranya adalah perkara stereotip penduduk beberapa negara Eropa dan sentimen negatif terhadap Islam.

Perlu diingat bahwa narator cerita adalah seorang pria Prancis. Prancis memang punya masalah dengan orang Arab, atau lebih khusus lagi, Islam. Saat membaca Lanzarote, saya teringat The Stranger – Albert Camus, di mana tokoh utamanya Meursault menembak mati seorang pria Arab di suatu pantai, dan terus saja menembakinya meski tahu pria itu sudah mati. Narator dalam Lanzarote juga bicara terang-terangan tentang ketidaksukaannya terhadap Arab/Islam, bahkan sejak pembuka buku. Itu salah satu penyebab petugas agen perjalanan akhirnya memberi rekomendasi pulau Lanzarote yang hedon dan tanpa orang Arab/Islam.

Di Lanzarote, narator kita bertemu dengan sepasang lesbian yang orang Jerman, dan seorang polisi asal Brussels, Belgia. Pasangan lesbian itu, Pam dan Barbara, dua perempuan yang berbahagia dan menjalani hidup dengan ringan. Sebaliknya si polisi, Rudi, terlihat begitu depresif. Sang narator, Pam, Barbara, dan Rudi berada dalam satu kelompok tur selama beberapa hari di Lanzarote. Lewat percakapan dengan Rudi, narator kita mengetahui polisi berusia nyaris setengah abad itu sedang amat terpuruk setelah ditinggal istri dan anaknya, ditambah pekerjaannya sebagai polisi di Brussels yang baginya merupakan pengalaman buruk. Belgia sendiri bagi dia “…an absurd country in steep decline; it is a country which should never have existed.” Rudi, didorong oleh kondisi psikis sekaligus pengalaman buruk dalam hidup dan pemikiran kritis-depresifnya, belakangan bergabung dengan sekte Azraelian-aliran kepercayaan yang meyakini manusia merupakan kreasi alien bernama Anakim.

Michel Houellbecq sendiri adalah penulis yang sering dikecam karena dianggap kerap menyebarkan hate speech terhadap komunitas muslim, begitu yang saya temukan di Internet. Namun, terlepas dari teks dalam Lanzarote yang memang menunjukkan hal tersebut, novela ini lucu. Selain mengoceh tentang stereotip orang-orang Italia (mata keranjang), Inggris (retorik), bahkan Prancis sendiri (egosentris), sang narator juga menyindir terang-terangan sifat umum penduduk asli suatu negara (native) yang tak mampu melihat keindahan negerinya sendiri sebelum ditunjukkan oleh para turis. Sang narator berkata, penduduk asli suatu negeri baru sadar kalau keindahan negerinya dikasih lihat oleh turis, dan setelah sadar mereka mengeksploitasinya dengan berbagai cara demi keuntungan besar.

Setelah mengoceh seputar stereotip dan menyindir sifat buruk penduduk asli suatu negara, pembicaraan bergeser ke soal keyakinan-agama alternatif, dalam hal ini. Sekte Azraelian yang percaya bahwa manusia diciptakan oleh alien bernama Anakim telah memutuskan untuk membangun satu kawasan yang akan dijadikan tempat mendaratnya Anakim, demi melihat progres hasil ciptaannya. Saya teringat sekte Bokononisme di novel Gempa Waktu – Kurt Vonnegut. Pencipta sekte Azraelian adalah kolumnis surat kabar Prancis bernama Philippe Leboueuf, yang di akhir buku tampil untuk memberi klarifikasi atas satu skandal terkait aliran kepercayaan ciptaannya.

Lanzarote ditutup, masih oleh sang narator menggunakan sudut pandang orang pertama, dengan informasi pecahnya skandal seks yang dilakukan oleh penganut Azraelian. Para penganut Azraelian melakukan praktik inses dan sebagiannya adalah pelaku pedofilia. Di antara yang kemudian diadili dan disorot pers adalah Rudi, teman sang narator semasa berlibur di Lanzarote, si polisi Brussels yang depresi usai ditinggal istrinya, seorang perempuan Moroko beragama Islam. Anehnya, tidak satu pun dari para pelaku pedofilia dan inses itu merasa bersalah atas perbuatan mereka. Mereka menganggap hal itu merupakan keputusan terbaik yang dapat manusia ambil demi mencapai kemanusiaan yang lebih baik. “We have given pleasure to our children. From earliest childhood we have taught them to experiene pleasure and to give pleasure to others. We have completely fulfilled out duty as parents,” merupakan opini umum penganut Azraelian yang tertangkap melakukan kekeliruan seksual.

Bagian yang juga menarik dari buku tipis ini adalah bab berisi surat yang ditulis oleh Rudi kepada sang narator, tatkala polisi itu check out dari hotel dan bergabung dengan sekte Azraelian. Dalam surat tersebut, Rudi mengucapkan terima kasih atas kebaikan sang narator selama mereka berlibur di Lanzarote, sembari menjelaskan apa yang terjadi padanya dan mengapa ia bergabung dengan sekte Azraelian. Menurutnya, Azraelian mengambil sikap lebih baik atas kebenaran penciptaan dan hubungan manusia dengan Yang Tertinggi, karena mereka berpikir menggunakan dasar-dasar sains yang inovatif dan radikal. Dan merupakan sesuatu yang ganjil apabila orang-orang beragama konvensional menuduh mereka sesat, di saat agama konvensional menghadapi pertanyaan-pertanyaan mendasar menggunakan cara-cara yang metaforik dan irasional. ***

Mengenal Rumah Sendiri Dari Mulut Orang Asing

$
0
0



Richard Lloyd Parry adalah jurnalis asal Inggris yang menjadi koresponden Asia untuk The Times London; sebelumnya ia bekerja di The Independent, harian milik Inggris, dan dalam kurun waktu itu ia menulis reportase dari berbagai negara di kawasan benua Asia. Pada 1998 ia melaporkan kejatuhan Suharto, juga tragedi berdarahyang berlangsung menyusul referendum kemerdekaan Timor Timur. Ia juga menulis tentang kanibalisme dan konflik antar-etnis di Kalimantan Barat.

Hasil reportase itu yang terkumpul dalam buku nonfiksi Zaman Edan: Indonesia Di Ambang Kekacauan (Serambi, 2008)-diterjemahkan dengan sangat enak dari versi bahasa Inggris In the Time of Madness: Indonesia on the Edge of Chaos (Vintage, 2005). Buku ini terdiri atas tiga bab utama, masing-masing mengenai kanibalisme dan konflik Dayak-Madura di Kalimantan Barat pada 1997 dan 1999, demonstrasi mahasiswa dan tragedi Trisakti menyusul jatuhnya Suharto pada 1998, dan kekacauan referendum kemerdekaan Timor Timur pada 1999.

Meskipun ini buku nonfiksi saya sama sekali tidak merasa sedang membaca karya nonfiksi, yang selama ini, setidaknya bagi saya yang belum banyak menghadapi karya nonfiksi, relatif terkesan kering dan membosankan. Zaman Edan ditulis dengan gaya naratif layaknya sebuah karya fiksi, lengkap dengan plot, penokohan, dan deskripsi detail pada hal-hal penting-serta yang paling membuatnya terasa seperti novel, adalah hadirnya perasaan, emosi, dan kadang pandangan personal penulisnya sendiri terhadap apa saja yang ia saksikan.

Tetapi tentu saja, Zaman Edan adalah karya nonfiksi, sebab itu yang ia tunjukkan di dalam narasinya merupakan fakta dan bukan sesuatu yang diimajinasikan. Sekumpulan mayat di tengah hutan dan rumah-rumah terbakar buah konflik antar-etnis di Kalimantan Barat pada 1997 dan 1999 bukanlah peristiwa fiktif yang menjadi fantasi Richard, melainkan benar-benar terjadi, aktual. Begitu pula beberapa mahasiswa yang mati tertembak pada Tragedi Trisakti jelang Suharto turun pada 1998. Begitu pula ketegangan antara kelompok pro-kemerdekaan Timor Timur di bawah pimpinan Xanana Gusmão dengan kelompok-kelompok pro-integrasi yang konon didukung jajaran militer Indonesia. Seluruh peristiwa berdarah yang menelan banyak nyawa manusia itu bukan karya fantasi, tetapi faktual.

Fakta yang dituturkan Richard, alih-alih lahir dari serangkaian riset pustaka, lebih seperti laporan pandangan mata dan pengalaman empiris. Ia menyaksikan langsung kepala-kepala terpenggal diletakkan di atas tong-tong kosong dan daun telinga yang telah disayat diambil dari pemiliknya bergelantungan di pinggang sang pembunuh. Ia juga berhadap-hadapan langsung dengan Xanana beserta pejuang Falintil dan tinggal bersama mereka. Apa yang disampaikan Richard melalui narasinya bisa dibilang merupakan laporan orang pertama yang berada di pusat kejadian peristiwa-peristiwa tragis itu.

*

Saya baru berusia delapan tahun ketika Richard berada di Indonesia dan melihat konflik antar-etnis di Kalimantan Barat. Desa tempat tinggal saya, Anjungan, juga disebut sebanyak dua kali di dalam tulisannya pada bab pertama: “Musibah yang Mendekati Aib”, yang merangkum pengalamannya berkunjung ke Singkawang, Salatiga, dan desa-desa di pedalaman yang merupakan tempat kejadian perkara konflik horisontal antar-etnis ketika itu. Saya sendiri hingga hari ini samar-samar mengingat apa yang terjadi di desa saya semasa kecil, pada tahun yang ditulis Richard: suasana sepi, ketegangan yang tidak saya pahami, dan pengungsi di rumah orangtua saya di sebuah kompleks dinas pertanian.

Konflik Dayak-Madura sendiri sebetulnya telah dimulai jauh sebelum Richard datang ke Indonesia. Tidak kurang dari lima puluh tahun yang lalu, membentang hingga awal tahun 2000, setidaknya ada sebelas kali konflik dengan beragam sebab dan hampir seluruhnya menelan korban jiwa. Siapapun bisa mengetahui tentang ini sekarang hanya dengan meramban di Internet. Tetapi perlu rasa ingin tahu yang lebih untuk menelusuri di mana akar permasalahannya-sesuatu yang hingga kini barangkali masih diperdebatkan jikapun masih dibahas.

Richard datang pada puncak konflik itu, dan merekam serta menuliskannya kembali dengan suatu cara yang membuat saya hampir tak mengenal daerah asal saya sendiri. Benarkah peristwa ini betul-betul terjadi di tempat saya? Mengapa hal semacam ini bisa terjadi? Apa sesungguhnya yang kami hadapi ketika saya berusia delapan tahun, berada di dalam rumah dan dilarang ibu bermain di luar? Tulisan Richard, yang saya baca belasan tahun kemudian, saat ini, membuat saya takjub sekaligus mengetahui lebih banyak tentang tragedi yang kala itu tengah berlangsung tak jauh dari tempat kami berada.

*

Ada semacam perasaan aneh yang saya alami ketika membaca reportase naratif Richard di bukunya Zaman Edan. Perasaan itu bukan muncul dari deskripsi visual yang bikin bergidik atas penggalan-penggalan kepala dan mayat korban pembantaian di dalam hutan, bukan pula gambaran situasi penuh ketegangan dari demonstrasi mahasiswa di Jakarta atau aksi mengancam kelompok pro-integrasi di Timor Timur. Perasaan yang saya alami adalah sensasi ganjil yang datang dari ketakjuban aneh saat mengetahui hal-hal di sekitar saya dituturkan oleh orang asing yang tidak saya kenal sama sekali.

Barangkali terlalu ceroboh mengatakan ini-mengingat bahwa saya tidak banyak membaca karya nonfiksi tentang Indonesia dari penulis Indonesia-tetapi saya kira ada secuil kebenaran dalam pernyataan ini: kadang-kadang kita menjadi lebih mengenal negeri sendiri setelah ada orang asing yang bercerita atau menuliskan tentangnya. Seperti opini Michel Houellebecq dalam Lanzaroteperihal kecuekan warga asli terhadap potensi wisata wilayah mereka sendiri dan mengeksploitasinya setelah “disadarkan” oleh turis yang memberitahu mereka tentang tempat tinggal mereka.

Saya mengetahui lebih banyak apa yang terjadi di Kalimantan Barat-tempat saya tinggal dan hidup sejak lahir hingga remaja-melalui tulisan reportase naratif Richard, jurnalis asal Inggris yang menaruh perhatian pada konflik di negara-negara benua Asia, bukan melalui orang-orang yang saya kenal dan tinggal di tempat saya tinggal. Saya mengetahui apa yang terjadi di rumah saya dari orang asing, tamu yang berkunjung. Tentu saya tak bermaksud menambah-nambah pandangan ceroboh yang mengatakan bahwa orang asing selalu lebih peduli pada negeri kita ketimbang kita sebagai penghuninya sendiri, karena faktanya tidak demikian, walaupun dalam beberapa situasi bisa jadi benar.

Tetapi saya beruntung bertemu Zaman Edan. Fakta bahwa saya mengetahui dari mulut orang asing mengenai apa yang terjadi di kampung halaman saya sendiri tidak mengurangi sedikitpun antusiasme saya akan informasi yang ia miliki. Saya menikmati membaca Zaman Edan dan seolah-olah berada di sebelah Richard, menyaksikan langsung apa yang ia saksikan-semuanya sebagai hasil dari narasi yang mengalir enak dan deskripsi detail yang mengerikan, tetapi tidak lebih membuat dengkul lemas dan jantung mencelus ketimbang menyaksikan peristiwa-peristiwa itu secara langsung.

Zaman Edan adalah buku penting, yang menawarkan informasi mengejutkan dan pengalaman membaca yang menyenangkan-sesuatu yang kelak terasa ganjil diucapkan mengingat muatan buku itu penuh dengan peristiwa tragis dalam sejarah manusia, terutama manusia Indonesia. Setelah Sejarah Tuhan – Karen Armstrong, ini adalah buku nonfiksi terbaik yang pernah saya baca. Barangkali akan jadi yang terbaik sepanjang tahun ini. ***

Apalah yang Kita Tahu Soal Cinta?

$
0
0




“What do any of us really know about love?”  

Saya selalu tertarik untuk mengetahui apa yang dikatakan para penulis tentang satu kata misterius ini: “cinta”. Orhan Pamuk, dalam The Museum of Innocence, memperlihatkan cinta sebagai sesuatu yang bisa terlarang namun kekal, atau setidaknya berusia panjang, serta memantik sejenis kegilaan bagi manusia yang mengalaminya. Mario Vargas Llosa, dalam In Praise of the Stepmother, menunjukkan cinta yang penuh hasrat. Sedangkan Haruki Murakami, menggambarkan cinta sebagai sesuatu yang terlihat ganjil, absurd, tampak sederhana namun sekaligus rumit. Lantas, bagaimana cinta menurut Raymond Carver?

Carver mengatakan apa yang ia katakan saat ia mengatakan tentang cinta lewat 17 cerita pendek dalam kumpulan What We Talk About When We Talk About Love. Omong-omong soal judulnya yang catchy, saya mendadak teringat pada buku berjudul mirip: What I Talk About When I Talk About Running, memoar yang bagus dari Haruki Murakami tentang berlari maraton dan menulis novel. Saya tahu Murakami juga membaca Carver, dan yakin dari buku inilah ia mendapatkan judul untuk memoarnya itu. Saya juga teringat pernah melihat sebuah film Indonesia dengan judul What We Don’t Talk About When We Talk About Love. Dan kalau meramban di mesin pencarian, siapapun akan melihat ada banyak kalimat yang merupakan hasil modifikasi judul buku Carver ini.

Mari kita tinggalkan pembicaraan mengenai judul dan masuk ke cerita-ceritanya.

Di permukaan, cerita-cerita Carver terlihat sederhana, dan sepertinya memang demikian. Namun, ketika kita membacanya dengan perlahan dan menyimak hal-hal kecil di dalamnya, kita akan tahu bahwa ada pergolakan yang tak sederhana di diri masing-masing karakter. Carver tidak mengatakan hal ini, tentu saja. Alih-alih, ia melakukan hal terbaik yang bisa dilakukan penulis kala ingin mengatakan sesuatu: Ia menunjukkannya.

Dalam cerita “Why Don’t You Dance”, seorang lelaki menjual hampir seluruh perabotan rumahnya. Ia meletakkan begitu saja tempat tidur, sofa, televisi, dan barang-barang lain di pekarangan rumahnya, selayaknya sebuah garage sale. Tak ada yang mengatakan apapun tentang apa yang laki-laki itu alami dan mengapa ia melakukan apa yang ia lakukan. Namun, pada satu bagian di pembukaan cerita itu, Carver menulis bagaimana laki-laki tersebut memandangi tempat tidur di halaman dari balik jendela dapurnya, dan ia melihat dua sisi tempat tidur itu: Sisi miliknya, dan sisi miliknya-- seorang perempuan.

Seorang lelaki memandangi dari balik jendela seorang pria tua dengan kamera mengambil gambar rumahnya, kemudian menjual gambar itu kepadanya. Laki-laki pemilik rumah pun, didorong rasa tak nyaman, menerima pria tua itu di rumahnya sebagai tamu lantas mereka berbincang-bincang. Cerita itu berjudul “Viewfinder”, dan Carver memperlihatkan kesepian yang dialami si laki-laki tanpa menjelaskan apa yang sebetulnya ia alami dan masalah cinta macam apa yang telah menimpanya.

Cerita-cerita Carver kebanyakan ditulis seperti ini. Ambigu, dan hampir selalu berakhir dengan menggantung tanpa kesimpulan yang jelas apalagi alur yang bulat. Tetapi justru karena itu saya menyukainya. Tidak ada yang selesai, sama dengan tidak ada yang dimulai dalam cerita-ceritanya. Alih-alih sebuah cerita pendek yang utuh dengan pembuka, konflik, dan penutup-- yang membentuk satu cerita bulat-cerita-cerita Carver lebih berupa sketsa-sketsa, atau lebih tepat mungkin kita sebut saja fragmen-fragmen. Fragmen-fragmen itu berasal dari suatu kisah yang lebih panjang lagi, yang hanya bisa kita bayangkan sendiri, dan mungkin di situ juga lah terletak kenikmatan lain dari membaca cerita-cerita Carver. Kita diberi sketsa-sketsa atau fragmen-fragmen yang muncul dan pergi begitu saja dan kita diizinkan untuk membayangkan sendiri bagaimana bentuk utuh dari mereka.

Kendati demikian, ada satu hal yang terjadi pada kumpulan cerita Carver, yang seingat saya jarang terjadi pada kumpulan cerita penulis lain: Meski cerita-ceritanya terlepas satu sama lain, dan hadir dalam wujud sketsa patah alih-alih satu cerita bulat utuh, kita bisa memandangi dari jauh ketujuhbelas cerita dalam kumpulan ini dan membayangkan mereka menjadi satu kesatuan kisah yang panjang.

Tentang apa cinta itu menurut Carver, ia menjelaskannya melalui cerita yang judulnya menjadi judul buku ini: What We Talk About When We Talk About Love. Cerita itu isinya empat orang sekawan yang sedang mengobrol dan tanpa ada yang sadar mereka masuk ke topik tentang apa itu cinta. Dari sana muncul satu-dua konflik kecil tetapi bukan yang sedang terjadi, melainkan kilas balik dari kisah tokoh-tokohnya. Cinta itu lebih kepada sesuatu yang spiritual, kata seorang laki-laki, tetapi disambut cerita istrinya yang mengisahkan masa lalu bersama pacar lamanya yang mencintainya dengan cara yang agak sinting dan penuh kekerasan. Itu bukan cinta, kata sang suami, tetapi sang istri bersikeras itu juga cinta. Ia menyakitiku, kata sang istri, tetapi begitulah cara dia menunjukkan cintanya. Sampai akhirnya sang suami sendiri, yang tadinya paling berminat memberi definisi atas cinta, berkata: “…it ought to make us feel ashamed when we talk like we know what we’re talking about when we talk about love.”

Apalah yang kita tahu tentang cinta. Setidak-tidaknya, Carver menjawab hal itu dengan menawarkan cerita-cerita cinta yang di dalamnya berada rasa sepi, sakit, kedukaan yang terlihat tanpa ujung. Dalam cerita-cerita cinta Carver ada banyak perselingkuhan dan sedikit kebahagiaan. Namun, yang paling baik dari semua itu adalah Carver sama sekali tidak terlihat mendramatisir hal-hal tersebut. Ia tidak tertarik melakukan itu. Kebahagiaan dan kedukaan adalah hal yang niscaya ada dalam sebentuk perasaan cinta, mereka bisa datang dan pergi kapanpun mereka mau. Mendramatisir kebahagiaan tak membuat seseorang menjadi lebih bahagia dari yang sebenarnya, dan mendramatisir kedukaan tentu saja tak ada gunanya.

Sketsa-sketsa dalam kumpulan cerita pendek tentang cinta Raymond Carver, sebagaimana cerita-cerita bagus lainnya, tak selalu memberi sensasi menghentak yang heboh, tetapi ia niscaya beresonansi dengan pengalaman batin dan hidup pembacanya. Orang-orang yang pernah jatuh cinta dan tidak puas dengan itu akan menemukan kisah mereka di dalam buku ini, mungkin berwujud lain, tetapi perasaan familier itu akan muncul.

Kesederhanaan narasi dan suasana dalam cerita-cerita Carver akan menyajikan gangguan yang subtil, membuat kita yang tadinya merasa tak ada masalah cinta yang besar dalam cerita-ceritanya, tiba-tiba menyadari bahwa ternyata ada sesuatu yang sangat gawat sedang dialami oleh karakter-karakter dalam cerita-cerita itu. Sesuatu yang mungkin lebih gawat dari sekadar hati yang patah dan cinta yang pergi.

Apa yang kita bicarakan ketika kita membicarakan tentang cinta? Ah, seperti kata salah seorang karakter Carver, apalah yang kita tahu tentang cinta. Manusia hanya merasakan apa yang mereka rasakan dan untuk mempermudah segalanya mereka menyebut itu cinta, tanpa tahu apakah yang mereka rasakan memang benar-benar cinta atau hanya sesuatu yang menyerupainya. ***

Menertawai Impian Manusia Ala John Steinbeck

$
0
0



Cerita-cerita yang ditulis dengan tujuan membuat orang lain menangis, biasanya dibuka justru oleh kisah lucu. Tragicomedy, adalah istilah yang mengacu pada genre kesusastraan yang membaurkan aspek-aspek komikal dan tragis; cerita memuat situasi-situasi yang ringan dan mengangkat mood, kemudian berakhir dengan sesuatu yang menghancurkan hati.

Persahabatan sederhana tapi rumit antara George Milton dengan Lennie Small di novela Of Mice and Men tampil di beberapa halaman pertama sebagai pemantik gelak tawa. Mengacu kalimat pembuka tulisan ini, tentu saja saya tidak tahu apakah John Ernst Steinbeck meniatkan novelanya untuk membuat pembacanya menangis, tetapi saya yakin siapapun yang membaca novela ini, akan tertawa lepas hanya untuk menyambut datangnya airmata ketika tiba di bagian akhir.

Of Mice and Men adalah novela yang plotnya digerakkan oleh karakter. Dua karakter utamanya, sepasang sahabat, George Milton dan Lennie Small, adalah pekerja kasar di suatu peternakan. Mereka berpindah dari satu peternakan ke peternakan lain demi mendapat uang dan menghidupi diri mereka. Sejak muncul di beberapa halaman pertama, kita sudah bisa segera mengetahui orang seperti apa George dan Lennie. Dengan sangat efektif, Steinbeck mengungkap watak mereka hanya melalui dialog.

Dialog adalah elemen penulisan yang berperan kuat dalam Of Mice and Men. Kita tahu George seorang penggerutu, berakal sehat, intuitif, gemar menilai orang, semuanya dari ucapan-ucapan yang ia lontarkan. Begitu pula Lennie, kita tahu ia agak lamban berpikir, lugu, tulus, juga dari kata-katanya dalam tiap percakapan. Tidak hanya memperlihatkan sifat-sifat karakter, dialog di Of Mice and Men juga digunakan Steinbeck untuk mengungkap apa yang terjadi di masa lalu (back story), sehingga latar belakang mengapa tokoh-tokohnya melakukan apa yang mereka lakukan dapat dimengerti tanpa harus menuliskan semacam kilas balik.

Saat menyimak dialog antara George si laki-laki penggerutu yang bertubuh kecil dengan Lennie si laki-laki berbadan besar dan berotak lemah, saya teringat pada hubungan Sungu Lembu dan Raden Mandasia dalam novel Raden Mandasia Si Pencuri Daging Sapi, Yusi Avianto Pareanom. Kejengkelan Sungu Lembu pada tingkah laku Raden Mandasia mirip-mirip kedongkolan George pada Lennie yang sering membuatnya terpaksa mengeluarkan Lennie dari masalah-masalah yang ia sebabkan karena keluguan dan kelemahan otaknya itu.

Tidak hanya George dan Lennie, karakter-karakter lain pun tampil begitu kuat dan mudah dibedakan antara satu dengan yang lain. Slim yang bijak, Curley yang arogan, Candy si tua, Crooks si negro, dan seterusnya. Lagi-lagi, watak mereka kelihatan jelas hanya lewat dialog-dialog mereka. Cara bicara menunjukkan sifat masing-masing karakter. Kurt Vonnegut bilang sebuah dialog mesti melakukan setidaknya satu dari dua hal berikut: mengungkap karakter atau mempertajam plot. Steinbeck melakukan keduanya sekaligus dalam Of Mice and Men.

Tentang ceritanya sendiri, seperti sempat saya singgung sedikit tadi, adalah mengenai dua orang yang bekerja dari satu peternakan ke peternakan lain. Tapi tidak cuma itu, tentu saja. Dua pekerja kasar ini, George dan Lennie, menganggap diri mereka tidak sama dengan pekerja-pekerja lain, yang hanya bekerja dari satu ranch ke ranch berikut, memperoleh sedikit upah, kemudian menghabiskan seluruh uangnya di rumah-rumah pelacuran untuk mabuk dan bercinta. Lantas apa yang membuat George dan Lennie merasa diri mereka berbeda? Karena mereka punya mimpi.

Mimpi mereka kiranya adalah mimpi semua orang: Kehidupan yang lebih baik. Lebih spesifik lagi, George dan Lennie ingin memiliki tanah yang mereka kelola sendiri. Mereka tidak ingin selamanya menjadi pekerja kasar di tanah orang lain, hanya mendapat upah tak seberapa dari kerja yang keras, dari si tuan tanah. Mereka ingin punya tanah sendiri, menanam apa yang mereka ingin tanam dan menuai hasilnya untuk mereka sendiri, memelihara hewan yang mereka ingin dan mendapat hasil dari ternaknya untuk menghidupi diri mereka sendiri, dan tidak lagi perlu bekerja buat orang lain.

Sebuah mimpi yang utopis, lebih-lebih bagi mereka, tetapi tak ayal mimpi utopis inilah yang membuat mereka bersemangat dan optimis untuk terus hidup. Efek mimpi itu lebih kentara berdampak pada Lennie yang berotak lamban. Ia ingin memelihara kelinci di tanahnya sendiri, karena di tanahnya sendiri tidak akan ada orang yang melarangnya memelihara kelinci seperti yang ia alami saat ini. Di saat-saat tertentu, ketika mereka sedang merasa lesu, Lennie kerap meminta George mengucapkan ulang rencana-rencana dan impian mereka, dan dengan kesal tetapi patuh George mengucapkannya, dan pada saat itulah mereka yang merasa hidup begitu sulit tiba-tiba mendapat energi kembali untuk bekerja dan mengumpulkan uang.

Tetapi seperti semua impian utopis, impian George dan Lennie pun ditertawakan oleh rekan-rekannya, termasuk Crooks si negro yang banyak membaca buku dan skeptis. Pernyataan Crooks si negro kutu buku, yang juga bisa dipandang sebagai pernyataan Steinbeck, yang juga bisa dianggap pesan besar dari keseluruhan Of Mice and Men, terangkum dalam satu paragraf dialog berikut:

I seen hunderds of men come by on the road ‘an on the ranches, with their bindles on their back an’ that same damn thing in their heads. Hunderds of them. They come, an’ they quit an’ go on; an’ every damn one of ‘em’s got a little piece of land in his head. An’ never a God damn one of ‘em ever gets it. Just like heaven. Ever’body wants a little piece of lan’. I read plenty of books out there. Nobody never gets to heaven, and nobody never gets no land. It’s just in their head.”

Realisme John Steinbeck dalam novela Of Mice and Men mewakili suara pekerja kelas bawah yang menggantungkan hidupnya pada upah tak seberapa, sehingga impian paling sederhana sekalipun semacam kehendak bekerja di lahan sendiri dan bagi diri sendiri menjadi tampak konyol dan begitu patut ditertawakan. Tak luput pula akhir tragis yang menimpa Lennie, tokoh yang paling tenggelam ke dalam impian utopis itu, semakin menguatkan gambaran akan kehidupan orang-orang yang berada di garis paling bawah tangga ekonomi. Bermimpi dan mati tanpa pernah melihat mimpi kecilnya terwujud.

Tapi mimpi memiliki kehidupan yang lebih baik merupakan mimpi milik semua orang, sehingga tak hanya Lennie si badan besar bernasib malang yang terpuruk dalam takdir tragis, tetapi kita semua juga bisa jatuh di jurang yang sama. Lagipula, pada kondisi yang berbeda-beda, kita semua adalah George dan Lennie. Kita semua adalah buruh. Kita semua bekerja di bawah kepentingan seseorang atau sesuatu, memiliki mimpi-mimpi yang utopis, dan tidak cukup berani untuk menertawai sendiri mimpi-mimpi itu. Padahal tahu, Tuhan terlalu sibuk untuk mengabulkan semua mimpi. ***


Wawancara Saya dengan Eka Kurniawan

$
0
0
Saya mewawancarai Eka Kurniawan tentang beberapa hal, termasuk novelnya yang terbaru, O. Hasil wawancara selama kurang lebih dua jam itu dapat dibaca di sini.


Interpreter of Maladies, Jhumpa Lahiri

$
0
0



Sebetulnya saya nggak pernah memikirkan hal ini, tetapi gara-gara membaca tulisan wawancara yang dilakukan seorang penulis terhadap seorang penulis lain (saya mengenal dan menyukai karya kedua penulis tersebut) saya jadi turut memikirkan salah satu bahasan dalam wawancara itu, yakni soal berapa banyak buku penulis perempuan yang dibaca oleh si narasumber. Saya bertanya sendiri, berapa banyak ya buku penulis perempuan yang saya baca? Nggak butuh waktu lama buat mengingat, saya langsung tahu bahwa selama ini buku yang saya baca lebih banyak ditulis oleh laki-laki ketimbang perempuan.

Lantas, memangnya kenapa? Ya, nggak kenapa-kenapa. Saya yang tadinya nggak kepikiran jadi penasaran saja, tapi rasa penasaran itu pun nggak tahu diarahkan ke mana. Respons saya atas pertanyaan tersebut sederhana: mengambil dari rak perpustakaan pribadi di kamar, sebuah buku yang ditulis perempuan. Ada cukup banyak sebenarnya novel maupun buku nonfiksi oleh penulis perempuan dalam rak saya, tetapi karena sedang nggak selera baca novel, puisi, maupun nonfiksi, akhirnya saya memutuskan mengambil sebuah kumpulan cerita: Interpreter of Maladies, karya Jhumpa Lahiri.

Interpreter of Maladies adalah karya debut Jhumpa Lahiri yang terbit pada tahun 1999 dan setahun kemudian langsung diganjar penghargaan Pulitzer. Buku ini berisi sembilan cerita pendek yang hampir seluruhnya sempat dimuat di media semacam The New Yorker dan The Louisville Review. Novel pertama Lahiri, The Namesake, juga melejitkan kepopulerannya seiring alihwahana novel tersebut ke film berjudul sama yang disutradarai Mira Nair, perempuan India seperti Lahiri. Tidak cuma itu, karya lainnya pun memenangi penghargaan: kumpulan cerita Unaccustomed Earth untuk Frank O’ Connor International Short Story Award dan The Lowland dinominasikan untuk Man Booker. Hampir tidak ada karya Lahiri yang tidak menyentuh penghargaan.

Dengan catatan gemilang semacam itu, saya bertanya-tanya lagi ke diri sendiri, kenapa saya belum membacanya ya? Ya, sudahlah. Mungkin belum tergerak saja, sebagaimana puluhan buku lain dalam rak perpustakaan pribadi saya yang juga belum dibaca. Intinya saya sudah akan mulai membaca Jhumpa Lahiri, penulis India-Amerika berzodiak Cancer-seperti saya-yang pada usianya ke-48 tahun sudah mendulang banyak penghargaan. Mari kita lihat bagaimana isi buku debutnya ini.

Saya terbiasa membaca kumpulan cerita secara urut, itu artinya membaca dari yang pertama, kedua, hingga terakhir. Cerita pendeknya panjang-panjang, sama seperti cerita-cerita yang umumnya dimuat di The New Yorker (kecuali semacam Etgar Keret) sekira lima belas halaman kalau diketik ulang di Word. Kendatipun demikian, saya membaca seluruh ceritanya dengan mengalir, santai saja. Setiap hari saya membaca satu cerita, menepis waktu yang sebenarnya masih tersedia untuk membaca cerita berikutnya, demi meresapi yang baru selesai saya baca.

Cerita pertama, A Temporary Matter, adalah kisah dengan konflik rumahtangga. Dua tokoh utamanya, pasangan muda Shoba dan Shukumar, menghabiskan hari-hari mereka saling menghindari. Usut punya usut, ternyata masalahnya berakar pada peristiwa meninggalnya bayi mereka. Semenjak tragedi tersebut, mereka jarang bicara lagi, suasana di rumah mulai berubah nggak nyaman, dan begitu terus sampai suatu hari datang surat pemberitahuan dari perusahaan listrik yang mengatakan bahwa di kompleks mereka akan kena pemadaman sementara akibat jalur listrik rusak terkena badai salju, dan semenjak itu mereka mulai bisa mengobrol baik sampai akhirnya terungkap bahwa sang istri ingin berpisah.

When Mr. Pirzada Came to Dine bercerita tentang hubungan satu keluarga India di Amerika dengan seorang warga India bernama Mr. Pirzada, yang terpisah dari istri dan anak-anaknya karena konflik politik di India. Cerita ini ditulis dengan latar pemisahan kerajaan Inggris-India tahun 1947 atau disebut Partition; memisahkan kerajaan itu menjadi kerajaan Pakistan-yang kelak terpisah lagi menjadi Pakistan dan Bangladesh-dan menyebabkan pembentukan negara Republik India. Dituturkan dari kacamata seorang anak perempuan yang tidak tahu menahu tentang konflik politik tersebut.

Cerita yang judulnya diambil menjadi judul buku, Interpreter of Maladies, berkisah tentang seorang sopir cum pemandu perjalanan yang mengantar satu keluarga keturunan India tetapi lahir di Amerika (pasutri itu mengutarakan info ini dengan rasa bangga) berkeliling di India. Melalui adegan demi adegan, kita tahu bahwa si sopir, Mr. Kapasi, ternyata punya pekerjaan sampingan yaitu sebagai penerjemah yang bekerja pada seorang dokter. Ia membantu para pasien yang orang India menyampaikan keluhan mereka kepada dokter yang hanya bisa berbahasa Inggris. “Penerjemah luka”, kalau saya boleh mengartikannya asal. Di tengah cerita Mr. Kapasi mulai naksir Mrs. Das, kliennya sendiri, yang ternyata menyimpan masalah serius mengenai rumahtangganya.

Menggunakan narasi yang sederhana dan sangat mengalir, Lahiri menunjukkan ketegangan-ketegangan subtil di dalam diri manusia maupun hubungan antar dua orang manusia atau lebih, yang lahir karena pertentangan budaya, dalam hal ini India dengan Amerika. Tokoh-tokohnya kebanyakan bersentuhan dengan konflik yang muncul karena pertentangan semacam itu. Kadang-kadang hadir potret sebentuk culture shock seperti di bagian-bagian tertentu dalam cerita saat keterangan simpel keluar dari celetukan narator tentang, misalnya, setir mobil di India yang terletak sebelah kanan (sementara di Amerika orang mengemudi di kiri). Atau, di momen-momen lain, Lahiri seolah menampilkan budaya India sebagai sesuatu yang menjadi terasing di tempat baru, kebiasaan-kebiasaan atau tradisi yang tergerus karena modernitas negara maju. Semua ini keluar dengan cara yang begitu halus, tidak ambisius, dalam deskripsi situasi yang sangat rinci.

Kembali ke persoalan penulis perempuan. Saya tidak tahu apakah karena Lahiri seorang perempuan sebab itu narasi miliknya terasa halus jika tidak lembut. Kita membaca Harper Lee dan tidak menemukan cara bertutur serupa. J. K. Rowling pun tidak. Jadi, ya, baiklah ini bukan tentang perempuan atau laki-laki. Ini soal pilihan cara bertutur dan teknik menulis yang pas. Lagipula saya sendiri nggak tahu kenapa awalnya saya mulai membaca dan menilai buku dari segi gender penulisnya. Oh iya, tadi ceritanya saya baru sadar kalau begitu sedikit membaca buku-buku dari penulis perempuan. Tetapi sebenarnya menarik juga kalau kita mencoba membaca lebih teliti dan membuat semacam perbandingan antara cara menulis penulis perempuan dan penulis laki-laki. Kapan-kapan deh ya.


Apapun itu, saya suka dengan kumpulan cerita Jhumpa Lahiri ini. Cerita-cerita Lahiri sangat enak dibaca, nggak bikin penat, tetapi meski terlihat sederhana sama sekali nggak sederhana. Kalau mau cari yang menulis dengan cara agak mirip, coba baca cerita-ceritanya Raymond Carver. Nah, Lahiri menulis kira-kira dengan pendekatan yang sama, walaupun jauh lebih rinci dan utuh daripada Carver. Selesai membaca Interpreter of Maladies, saya menemukan di dalam rak perpustakaan pribadi saya dua buku lain Lahiri, The Namesake dan Lowland, yang sepertinya akan jadi buku-buku berikutnya dalam daftar baca saya. ***

Persoalan Sementara (Jhumpa Lahiri)

$
0
0
Diterjemahkan dari buku Interpreter of Maladies  (Houghton Mifflin Harcourt, 1999)

-

Surat pemberitahuan bilang ini cuma persoalan sementara: selama lima hari ke depan akan ada pemadaman listrik di tempat mereka, mulai pukul delapan malam dan berlangsung selama satu jam. Satu jalur listrik rusak akibat badai salju terakhir, dan demi memperbaikinya teknisi menggunakan saat-saat malam hari yang cuacanya relatif lebih aman. Pekerjaan perbaikan itu hanya akan berdampak pada rumah-rumah di jalanan yang sunyi dengan barisan pohon di pinggir-pinggir, dekat dengan sederet ruko berdindingkan bata dan tempat troli, yang salah satunya ditinggali oleh Shoba dan Shukumar selama tiga tahun terakhir.
“Baik sekali mereka mau memberitahu kita,” Shoba berucap pasrah usai membaca pengumuman itu keras-keras, lebih ditujukan kepada dirinya sendiri alih-alih terhadap Shukumar. Ia menggeser tali tas kecilnya, yang penuh naskah, hingga terlolos dari pundak, dan membiarkannya tergeletak di lantai dekat pintu masuk rumah seiring ia melangkah ke dapur. Ia mengenakan mantel biru dongker, celana panjang katun abu-abu, dan sepatu kets putih-terlihat selayaknya perempuan 33 tahun yang pada masanya tidak pernah ingin ia jadikan teladan.
Ia baru pulang dari gym. Warna cranberrylipstiknya hanya terlihat pada bibir bagian luar dan bekas eyeliner tertinggal seperti jejak bubuk arang dekat bulu mata bawah. Di waktu-waktu tertentu ia memang jadi seperti ini, pikir Shukumar, kala pagi hari usai pesta atau nongkrong di bar, kala ia terlalu malas membasuh wajahnya dan terlalu ingin cepat-cepat jatuh ke dalam dekapan suaminya. Shoba menjatuhkan setumpuk surat begitu saja di atas meja tanpa menoleh. Matanya masih terpaku pada lembar pengumuman di tangan satunya lagi. “Tapi mestinya mereka ngerjain ini siang-siang.”
“Pas aku lagi di rumah, maksudmu,” kata Shukumar. Ia menggeser penutup kaca di atas panci berisi masakan daging domba, mengaturnya agar sedikit uap yang lolos. Sejak Januari ia bekerja di rumah, berusaha merampungkan bab akhir disertasinya soal pemberontakan agraris di India. “Kapan perbaikannya kelar?”
“Katanya sembilan belas Maret. Hari ini sembilan belas Maret, bukan?” Shoba mendekat ke papan styrofoam pada dinding di sebelah kulkas, yang di sana terdapat kalender bermotif artistik buatan William Morris. Ia menatapnya seakan-akan baru melihat benda itu, menyimak dengan serius motif pada separuh halaman kalender bagian atas, sebelum beralih ke baris dan kolom angka di bawahnya. Seorang teman memberi kalender tersebut sebagai hadiah Natal, kendatipun Shoba dan Shukumar tidak merayakannya.
“Kalau gitu, hari ini dong,” ujar Shoba. “Omong-omong, kamu ada janji sama dokter gigi Jum’at depan.”
Ia meraba giginya menggunakan lidah; pagi itu ia lupa menggosok gigi. Bukan hal baru. Seharian ia tidak keluar rumah, begitupun hari sebelumnya. Semakin lama Shoba berada di luar, semakin banyak pekerjaan yang istrinya lakukan, semakin ia ingin tinggal di rumah saja, tidak pergi bahkan hanya untuk mengecek isi kotak surat ataupun berbelanja buah atau anggur.
Enam bulan lalu, tepatnya September, Shukumar sedang menghadiri konferensi akademis di Baltimore tatkala Shoba berkantor-tiga minggu sebelum tenggat kelahiran bayi mereka. Ia enggan pergi ke konferensi tersebut, tapi istrinya memaksa; perhelatan itu penting baginya dalam membangun jaringan relasi, dan tahun depan ia akan mulai memasuki dunia kerja. Istrinya bilang ia sudah menyimpan nomor telepon hotelnya, dan salinan jadwal kegiatannya, dan nomor penerbangannya, dan ia sudah membuat janji dengan temannya Gillian agar di saat-saat darurat dapat mengantarnya ke rumah sakit. Tatkala pagi itu taksi menjemputnya untuk ke bandara, Shoba berdiri melambai kepadanya, dalam gaun terusan, dengan sebelah tangan ia letakkan santai di atas perut membuncit seolah-olah gundukan tersebut memang bagian tubuh yang sudah ada sejak awal.
Setiap kali ia memikirkan adegan itu, momen kali terakhir ia menyaksikan Shoba hamil, justru taksi yang menjemputnya yang paling ia ingat, sebuah station wagon-sedan panjang, merah dengan huruf-huruf biru. Bagian dalamnya jauh lebih luas dibanding mobil mereka. Kendatipun Shukumar memiliki tubuh setinggi enam kaki, dengan telapak tangan yang terlalu besar bagi saku jinnya, ia tetap merasa seperti kurcaci duduk di kursi belakang. Seiring taksi melaju di Beacon Street, ia membayangkan suatu hari ketika ia dan Shoba mungkin perlu membeli sebuah station wagon, untuk mengantar-jemput buah hati mereka menuju tempat les musik atau pergi ke dokter gigi. Ia membayangkan dirinya memegang setir, kala Shoba memutar badannya ke belakang demi menyodorkan sekotak jus buat anak mereka. Dahulu, bayang-bayang kegiatan mengasuh anak semacam ini mengganggu Shukumar, menambah-nambahkan kecemasan akan statusnya yang masih pelajar dan baru berusia 25 tahun. Tetapi, pada permulaan pagi hari musim gugur itu, tatkala pohon-pohon berat oleh daun-daun yang mulai menua, untuk kali pertama ia menyambut gambaran masa depan itu.
Di tengah-tengah konferensi tersebut, seorang panitia akhirnya berhasil menemukan ia di antara ruang-ruang dalam gedung yang semuanya kelihatan sama, dan kemudian menyerahkan kepadanya secarik memo. Hanya ada angka-angka, tapi Shukumar tahu itu nomor telepon rumah sakit. Saat ia kembali ke Boston, segalanya telah berakhir. Bayi mereka sudah wafat ketika lahir. Shoba tergolek di atas ranjang, tertidur, di dalam ruangan yang begitu kecilnya sampai-sampai tidak ada tempat cukup untuk berdiri di dekat istrinya, di lokasi yang berada pada sisi sayap rumah sakit yang tidak pernah mereka lihat waktu dibawa berkeliling dalam rangka tur persiapan orangtua baru. Ari-ari istrinya melemah dan ia melahirkan secara sesar, kendatipun ternyata tidak cukup cepat ditangani. Dokter menjelaskan bahwa hal seperti ini bisa terjadi. Ia tersenyum seramah yang ia bisa, dengan cara yang paling mungkin ia lakukan kepada orang yang hanya ia kenal secara profesional. Kondisi kesehatan Shoba akan membaik setelah beberapa minggu. Tidak ada indikasi bahwa ia takkan bisa mengandung lagi.
Belakangan, Shoba selalu raib pas Shukumar terbangun. Ia akan membuka mata dan menemukan helai-helai rambut hitam panjang istrinya yang menempel di bantal dan membayangkan istrinya sudah berbusana kerja, menyesap cangkir kopi ketiga, di ruang kantornya di pusat kota, tempat ia melacak kesalahan pengetikan buku-buku teks kemudian menandainya-dengan simbol-simbol yang suatu kali pernah istrinya jelaskan kepadanya-menggunakan sejumlah pensil berwarna. Istrinya berjanji akan melakukan hal sama buat disertasinya kalau ia sudah selesai. Ia merasa iri kepada pekerjaan istrinya yang begitu spesifik, tidak seperti pekerjaannya yang kurang jelas. Ia pelajar biasa yang dapat menyerap hal-hal rinci meski tanpa antusiasme sedikit pun. Hingga bulan September ia menjadi pelajar yang rajin, jika tidak berdedikasi, merangkum bab-bab, merancang kerangka argumentasi di atas lembaran-lembaran kuning. Tetapi, sekarang ia tergolek di kamar tidur mereka sampai bosan, memandangi lemari pakaian yang selalu Shoba biarkan setengah terbuka, memandangi deretan jas dan celana panjang korduroy bergantung di sana, yang tidak perlu ia pilih-pilih kala mengenakannya untuk pergi mengajar. Sepeninggalnya bayi mereka, ia sudah tidak bisa mundur dari tugas mengajar. Tetapi, pembimbingnya telah menyusun jadwal agar ia bisa rehat sepanjang semester musim semi. Saat itu, Shukumar kuliah tahun keenam. “Nah, dengan ini dan musim panas nanti pasti kamu akan semangat lagi,” begitu yang dikatakan pembimbingnya. “Bulan September kamu sudah bisa selesai.”
Tetapi, tidak ada yang membuat Shukumar kembali bersemangat. Alih-alih, ia merenungi bagaimana ia dan istrinya telah begitu ahli saling menghindar di dalam rumah berkamar tiga mereka, menghabiskan waktu sebanyak mungkin berkegiatan di lantai berbeda. Ia memikirkan bagaimana ia tidak lagi menunggu-nunggu akhir pekan, tatkala istrinya duduk berjam-jam di atas sofa dengan pensil berwarna dan naskah kerjaannya, sedemikian rupa sehingga ia khawatir memutar lagu di rumah sendiri merupakan perbuatan terlarang. Ia memikirkan tentang sudah begitu lama sejak kali terakhir istrinya menatap matanya dan tersenyum, atau membisikkan namanya di waktu-waktu yang kini telah langka, ketika mereka masih meraih tubuh satu sama lain sebelum akhirnya tertidur.
Pada mulanya ia percaya bahwa persoalan ini akan berlalu, bahwa ia dan Shoba bagaimanapun akan bisa melewatinya. Istrinya baru berusia 33 tahun. Ia orang yang tegar, dapat kembali berdiri di atas kakinya sendiri. Tetapi, pikiran ini pun tidak menghiburnya. Seringkali sudah hampir jam makan siang ketika Shukumar akhirnya beranjak dari tempat tidur dan turun demi secangkir kopi, menuang sisa dari teko yang Shoba tinggalkan untuknya-bersama sebuah mug kosong-di atas meja.


Shukumar memunguti kulit bawang putih dan membuangnya ke tempat sampah, di atas tumpukan lemak domba. Ia menyalakan keran air bak cuci, membasuh pisau dan talenan, dan menggosok jarinya dengan potongan lemon demi menghilangkan aroma bawang putih-ia belajar dari Shoba. Jam menunjukkan pukul setengah delapan malam. Melalui jendela, ia melihat langit hitam tetapi agak pudar. Tumpukan salju yang tidak rata masih menutupi sisi-sisi jalan, kendatipun cuaca sudah cukup hangat hingga orang-orang bisa berjalan-jalan tanpa mengenakan topi ataupun sarung tangan. Saat badai terakhir, salju turun nyaris setebal tiga kaki, hingga selama seminggu orang-orang harus berjalan di satu jalur setapak sempit di sisi parit. Selama seminggu, itulah alasan Shukumar tidak keluar rumah. Tetapi, kini parit sudah mulai meluas, dan air mengalir lancar menuju saluran-saluran di bawah trotoar.
“Dombanya belum matang sampai nanti jam delapan,” ujar Shukumar. “Kita mungkin bakal makan sambil gelap-gelapan.”
“Kita bisa pakai lilin,” Shoba menganjurkan. Ia menggerai rambutnya yang seharian dicepol, kemudian mencopot sepatu kets tanpa melepaskan talinya. “Aku mandi dulu, sebelum mati lampu,” katanya, melangkah ke tangga. “Sebentar aja.”
Shukumar memindahkan tas dan sepatu istrinya ke dekat kulkas. Istrinya tidak pernah seperti ini. Ia biasa menggantung mantelnya, meletakkan sepatunya di rak, dan melunasi tagihan sesaat setelah mereka datang. Tetapi, kini istrinya memperlakukan rumah mereka selayaknya hotel. Fakta bahwa ada sofa kuning tabrakan warna dengan karpet Turki biru-marun di ruang tamu rumah mereka tidak lagi mengusiknya. Di teras belakang, sebuah tas putih masih tergeletak di atas kursi rotan panjang, berisi renda yang tadinya ingin ia jahit menjadi gorden.
Sementara Shoba mandi, Shukumar masuk ke kamar mandi di lantai bawah dan menemukan di bawah wastafel sebuah sikat gigi baru. Bulu sikat gigi murah yang kaku itu membuat gusinya berdarah, dan ia meludah ke wastafel. Di dalam keranjang besi di kamar mandi mereka ada banyak sikat gigi cadangan. Shoba membelinya ketika ada obral dalam sebuah acara yang dikunjungi orang-orang secara impulsif.
Istrinya memang begitu. Ia kerap mengantisipasi hal-hal tak terduga, baik maupun buruk. Jikalau ia menemukan rok atau dompet yang ia suka, ia akan membeli masing-masing dua. Istrinya menyimpan bonus gaji di rekening lain atas namanya. Itu tidak mengganggu Shukumar. Ibunya sendiri terpuruk tatkala ayahnya wafat, lantas pergi begitu saja meninggalkan rumah tempat ia tumbuh besar demi kembali pulang ke Calcutta, menyerahkan semua persoalan kepada Shukumar. Ia senang Shoba tidak begitu. Ia takjub melihat kemampuan istrinya berpikir jauh. Tatkala istrinya masih sering berbelanja, dapur mereka senantiasa sedia berbotol-botol minyak zaitun dan minyak jagung-bergantung apakah mereka akan membuat masakan Italia atau India. Ada berkotak-kotak pasta beragam bentuk dan warna, berkarung-karung beras basmati, potongan utuh domba dan kambing beku dari tukang daging muslim di Haymarket, terbungkus dalam jumlah yang mustahil dihitung. Di hari-hari Sabtu lain, mereka menyusuri deretan rak yang kelak Shukumar kenal betul. Ia menyaksikan tak percaya ketika istrinya membeli lebih banyak makanan, sembari ia mengekor sambil mendekap tas-tas karton, seiring istrinya menyeruak melewati kerumunan orang, dan meski masih sangat pagi sudah berdebat dengan para pedagang yang masih terlalu muda tapi sudah ompong, yang mengambil dari dalam tas karton coklat sejumlah sayur artikok, buah plum, kunyit, ketela, dan menimbang mereka, dan menyerahkannya ke Shoba. Istrinya tidak keberatan berdesak-desakan, bahkan saat dia sudah hamil. Istrinya tinggi, berbahu lebar, dan memiliki pinggul dengan bentuk yang dokter kandungannya bilang memang ditakdirkan untuk beranak. Dalam perjalanan pulang, seiring mobil mereka menikung di Charles, mereka akan terkagum-kagum mengetahui banyaknya makanan yang mereka beli.
Semua itu tidak pernah terbuang mubazir. Tatkala teman-teman mampir ke rumah mereka, Shoba akan membuat masakan yang kelihatannya butuh setengah hari mempersiapkannya, menggunakan bahan-bahan yang ia simpan dalam botol dan dibekukan, bukan bahan-bahan masak kalengan murah melainkan paprika yang sudah ia baluri dengan rosmarin, dan saus chatni yang ia masak di hari minggu dengan mengaduk buah prone dan tomat dalam air mendidih. Sejumlah toples beling miliknya yang masing-masing sudah dinamai berjejer rapi di rak-rak di dapur dan tersegel, cukup, mereka bersepakat, untuk kebutuhan anak hingga cucu mereka. Kini, semuanya telah mereka habiskan. Berangsur-angsur, Shukumar telah menggunakan seluruh pasokan, menyiapkan makanan untuk mereka berdua, mengukur centong nasi, memanaskan daging beku hari demi hari. Setiap sore ia menekuri buku resep istrinya, mengikuti instruksi yang sudah istrinya tandai dengan pensil, agar menggunakan dua sendok teh sahang alih-alih satu, atau memakai kacang polong merah alih-alih yang kuning. Setiap resep tersebut sudah diberi tanggal, menunjukkan kapan kali pertama mereka menyantapnya. Tanggal 2 April, sayur kembang kol dengan adas. Tanggal 14 Januari, ayam dengan kacang almond dan anggur hijau. Sesungguhnya ia tidak ingat pernah memakan semua masakan itu, tetapi buktinya semua tercatat rapi oleh tangan istrinya-seorang penata aksara. Kini, Shukumar menikmati memasak. Membuatnya merasa produktif. Kalau bukan karena dirinya, ia yakin, Shoba bakal menyantap semangkuk sereal untuk makan malamnya.
Malam ini, dalam gelap, mereka akan makan bersama. Sebelumnya, berbulan-bulan mereka memasak sendiri-sendiri, dan ia akan membawa piringnya ke ruang kerjanya, membiarkan makanannya menjadi dingin sebelum menyantapnya tanpa jeda, sementara Shoba membawa piringnya ke ruang tengah dan menonton televisi, atau mengerjakan naskah dengan satu set pensil warna di tangan.
Pada waktu-waktu tertentu di malam hari, istrinya akan menghampiri. Tatkala ia mendengar langkah-langkah kaki sang istri, ia akan menyingkirkan novel yang sedang ia baca dan mulai mengetik di komputer. Istrinya akan memegangi bahunya dan bersama dirinya menatap layar biru monitor. “Jangan diforsir kerjanya,” istrinya akan berkata demikian usai hening satu-dua menit, dan setelahnya beranjak tidur. Itu satu-satunya momen dalam seharian istrinya mencari dirinya, tetapi ia malah merasa ganjil. Ia tahu istrinya memaksakan diri. Suatu kali, istrinya akan menghabiskan waktu melihat-lihat dinding kamar yang pada musim panas lalu telah mereka hias dengan bingkai bebek-bebek berbaris dan kelinci-kelinci bermain terompet dan drum. Pada akhir Agustus sudah ada boks bayi berwarna ceri terletak di bawah jendela, sebuah meja untuk mengganti pakaian bayi berwarna putih dengan kenop hijau permen, dan kursi goyang dengan bantal motif kotak-kotak. Shukumar telah membongkar semuanya sebelum menjemput Shoba di rumah sakit, ia mencopot bebek-bebek dan kelinci-kelinci di dinding menggunakan spatula. Untuk beberapa alasan, kamar itu tidak menghantuinya sebagaimana terjadi pada Shoba. Pada Januari, tatkala ia sudah tidak lagi bekerja di kubikelnya di perpustakaan, dengan hati-hati ia memasang meja kerjanya sendiri di dalam kamar itu, sebagian karena kamar itu membuatnya merasa tenang, dan sebagian lagi karena kamar itu tempat yang paling Shoba hindari.


Shukumar kembali ke dapur dan membuka laci satu demi satu. Ia mencari-cari sebatang lilin di antara gunting, pemecah dan pengocok telur, dan ulekan yang istrinya beli di sebuah pasar di Calcutta, yang ia gunakan untuk menumbuk bawang putih dan kapulaga, dahulu tatkala ia masih sering memasak. Akhirnya, ia menemukan senter, tapi tanpa baterai, serta sekotak lilin ulang tahun yang tinggal setengah terisi. Bulan Mei lalu Shoba memberinya kejutan pesta ulang tahun. Seratus dua puluh orang menyesaki rumah mereka-seluruhnya adalah teman-temannya sendiri, juga teman-temannya teman-teman mereka, yang kini perlahan-lahan mereka hindari. Sebotol anggur vinho verde berdiri santai dalam tumpukan es batu di sisi bathtub. Tatkala itu, Shoba sedang hamil lima bulan, dan ia meneguk jahe dari gelas koktail. Sebelumnya, ia membuat kue krim vanili dengan saus custard dan gula spun. Sepanjang malam, ia menggenggam jemari Shukumar yang panjang-panjang, dan melangkah di antara para tamu pesta.
            Setelah September, satu-satunya tamu mereka hanya ibunya Shoba. Ia datang dari Arizona dan menginap di rumah mereka selama dua bulan sejak Shoba pulang dari rumah sakit. Setiap malam ia memasak, menyetir sendiri ke supermarket, mencuci pakaian mereka, dan merapikannya. Ia perempuan yang religius. Ia membuat tempat bersembahyang yang sederhana-sebuah pigura foto dewi berwajah ungu, piring berisi kelopak-kelopak bunga marigold-di atas meja nakas kamar tamu, dan berdoa dua kali sehari demi kesehatan bakal cucunya. Ia bersikap sopan terhadap Shukumar, kendatipun tidak begitu ramah. Ia melipat pakaian menantunya dengan keahlian seorang penjaga toko swalayan. Ia menjahit kancing baru untuk mantelnya dan membuatkannya skarf krem kecoklatan, yang setelah selesai ia berikan kepada menantunya tanpa ekspresi apapun, seakan-akan pemilik skarf itu baru saja menjatuhkan benda tersebut dan tidak menyadarinya. Ia tidak pernah berbincang dengan menantunya mengenai Shoba; sekali waktu, tatkala menantunya menyinggung soal wafatnya bayi mereka, ia mendongak sejenak dari kegiatan menyulamnya, lantas berkata, “Tapi kamu bahkan tidak ada di sana.”
            Aneh sekali tidak ada satu pun lilin betulan di rumah ini, pikirnya. Aneh rasanya mengetahui Shoba tidak mempersiapkan apapun untuk situasi darurat yang lazim semacam ini. Sekarang ia mencari-cari sesuatu yang bisa dijadikan alas lilin ulang tahun itu, dan memutuskan memakai pot tanaman ivy yang biasanya diletakkan di jendela dekat wastafel dapur. Kendatipun tumbuhan dalam pot itu sudah setinggi beberapa inci, tanahnya begitu kering sehingga ia harus membasahinya terlebih dahulu demi menancapkan batang lilin-lilin ulang tahun di atasnya agar dapat berdiri tegak. Ia menyingkirkan semua benda di atas meja makan di dapur: tumpukan surat dan buku-buku dari perpustakaan yang belum dibaca. Ia teringat momen perdana mereka makan bersama di meja itu, tatkala mereka begitu antusias membayangkan akan menikah dan pada akhirnya dapat tinggal bersama di bawah satu atap-lebih tidak sabaran ingin bercinta daripada mengisi perut. Ia menyusun dua alas piring tenunan, kado pernikahan dari seorang paman di Lucknow, dan meletakkan piring serta gelas anggur yang biasanya mereka siapkan untuk tamu. Ia meletakkan pot tanaman ivy di tengah-tengah, berhiaskan sepuluh batang lilin ulang tahun. Ia menyetel radio pada frekuensi yang menyiarkan musik jazz.
            “Apa ini?” ujar Shoba tatkala ia turun. Kepalanya terbungkus handuk tebal putih. Ia melepas handuk itu dan menggantungnya di atas kursi, membiarkan rambutnya yang hitam dan masih basah terkulai di punggungnya. Terbengong-bengong, ia melangkah ke arah kompor seraya meraih rambutnya yang kusut. Ia mengenakan celana panjang katun, kaus, dan mantel usang berbahan flanel. Perutnya kini rata, pinggangnya ramping menyambung dengan pinggulnya yang montok, dan sabuk mantelnya terikat dalam simpul pita.
            Hampir pukul delapan malam. Shukumar meletakkan wadah berisi nasi di atas meja dan memasukkan kacang polong sisa kemarin ke microwave, kemudian memencet-mencet angka pada penunjuk waktu.
            “Kamu masak rogan josh,” Shoba mengamati wadah kaca berisi rebusan paprika.
            Shukumar mengambil sepotong daging domba matang, menyuwirnya cepat-cepat agar jarinya tidak melepuh. Ia mendorong bagian daging yang lebih besar menggunakan sendok demi melepaskan seluruhnya dari tulang. “Sudah siap,” ia berujar.
            Microwave berbunyi tepat sesaat sebelum listrik padam, dan suara musik pun lenyap.
            “Pas banget,” kata Shoba.
            “Aku cuma nemu lilin ulang tahun ini.” Ia menyalakan pot ivy itu, lantas menyimpan sisa lilin serta korek di dekat piringnya sendiri.
            “Nggak apa-apa,” kata istrinya, menyusuri pegangan gelas anggur dengan jemarinya. “Terasa romantis.”
            Dalam suasana remang, ia tahu bagaimana istrinya duduk: agak condong ke depan, menyilangkan kaki, dan menyandarkan sikut sebelah kiri di atas meja. Tadi waktu ia mencari lilin, Shukumar menemukan sebotol anggur dalam kotak kayu yang ia kira kosong. Ia menjepit botol anggur di antara pahanya sembari menancapkan lalu memutar sumbat botol. Ia khawatir anggurnya tumpah, sebab itu selagi menuangnya ia memegang gelas begitu dekat ke pangkuan. Mereka berdua mengambil makanan sendiri-sendiri, mengaduk nasi memakai garpu masing-masing, memicing waktu menyingkirkan daun salam dari rebusan. Setiap beberapa menit Shukumar menyalakan lilin baru dan menancapkannya di atas pot tanaman.
            “Rasanya kayak di India,” ujar Shoba, menyimak sang suami yang sedang berkutat dengan candelabra buatannya. “Kadang-kadang listrik padam sampai berjam-jam. Aku pernah datang ke annaprashana gelap-gelapan. Si bayi nangis nggak berhenti. Dia pasti kepanasan.”
            Bayi mereka tidak pernah menangis, renung Shukumar. Bayi mereka tidak akan pernah dapat annaprashana-perayaan bagi bayi kala memakan nasi pertamanya-kendatipun Shoba telah membuat daftar tamu, dan sudah memutuskan siapa dari tiga abangnya yang akan ia minta untuk menyuapi bayi mereka; kelak setelah ia berusia enam bulan jika laki-laki, tujuh bulan jika perempuan.
            “Kamu kepanasan?” ia bertanya kepada istrinya. Ia menggeser pot dengan lilin-lilin menyala menjauh ke sisi meja yang lain, ke arah tumpukan buku dan surat, membuat semakin sulit bagi mereka untuk saling melihat. Tiba-tiba ia merasa kesal tidak bisa naik ke ruangannya dan duduk di depan komputer saja.
            “Nggak, kok. Ini enak,” kata istrinya, mengetuk piring dengan garpu. “Beneran enak.”
            Ia menuang anggur untuk istrinya, yang membalas dengan ucapan terima kasih.
            Dulu, mereka tidak pernah seperti ini. Sekarang ia harus berusaha keras menemukan topik yang menarik bagi istrinya untuk dibahas, topik yang dapat membuat istrinya mendongak dari piring atau naskah kerjaannya. Tetapi pada akhirnya ia berhenti mencoba. Ia belajar menerima kesunyian di antara mereka.
            “Aku ingat dulu di rumah nenek, kalau sedang mati lampu kami harus mengatakan sesuatu,” lanjut Shoba. Ia hanya samar-samar menangkap wajah istrinya, tetapi dari nada bicaranya ia tahu istrinya sedang memicing, seolah-olah pandangannya berfokus pada satu benda yang jauh. Itu kebiasaan istrinya.
            “Misalnya?”
            “Terserah aja. Puisi, guyonan, atau informasi apa lah. Kalau kerabatku sering minta aku ngucapin nama teman-teman di Amerika. Aku nggak tahu kenapa hal itu menarik. Terakhir ketemu bibi, ia bertanya tentang empat gadis yang jadi teman sekolahku di Tucson. Aku bahkan sudah nggak ingat lagi.”
            Shukumar tidak pernah tinggal lama di India sebagaimana Shoba. Orangtuanya, yang bermukim di New Hampshire, sering ke sana tanpa dirinya. Kali pertama ia berkunjung waktu masih bayi, ia hampir meninggal terkena disentri. Ayahnya orang yang mudah panik, takut membawanya kembali ke sana kalau terjadi sesuatu lagi, lantas menitipkannya dengan bibi dan pamannya di Concord. Tatkala beranjak remaja, setiap musim panas ia lebih memilih ikut pagelaran kemah mendayung atau mengudap es krim, ketimbang liburan ke Calcutta. Sepeninggal ayahnya bersamaan ia memasuki tahun-tahun akhir kuliah, barulah negara itu menarik perhatiannya, dan ia mempelajari sejarahnya dari buku-buku panduan selayaknya materi perkuliahan. Kini ia berharap bisa punya kisah masa kecil sendiri di India.
            “Yuk,” ujar istrinya tiba-tiba.
            “Yuk apa?”
            “Ucapkan sesuatu.”
            “Ucapkan apa? Aku nggak bisa melawak.”
            “Nggak, bukan lawakan.” Istrinya berpikir sejenak. “Gimana kalau kita saling mengucapkan hal yang nggak pernah kita kasih tahu sebelumnya.”
            “Dulu waktu SMA aku sering main beginian,” Shukumar mengingat-ingat. “Waktu kami lagi mabuk.”
            “Maksudmu truth or dare. Nggak, ini beda. Oke, aku yang mulai.” Istrinya menyesap anggur. “Waktu pertama kali ke apartemenmu, aku mengintip buku alamatmu buat ngeliat ada namaku nggak di situ. Kalau nggak salah kita sudah kenal sekitar dua minggu.”
            “Aku lagi di mana, ya?”
            “Kamu lagi ngobrol di telepon sama ibumu, di ruangan lain. Aku pikir pasti kalian ngobrolnya lama. Aku penasaran apa kamu ngebahas aku.”
            “Aku ngebahas kamu nggak?”
            “Nggak. Tapi aku nggak menyerah. Nah, sekarang giliran kamu.”
            Ia tidak bisa memikirkan apapun, tetapi Shoba menunggu ia mengatakan sesuatu. Bulan-bulan terakhir istrinya tidak pernah terlihat seniat ini. Apa lagi yang belum ia utarakan kepada istrinya? Ia mengingat-ingat saat mereka kali pertama bertemu, empat tahun lampau di dalam ruang kelas di Cambridge, tatkala sekelompok penyair Bengali tengah membacakan sajak-sajak. Mereka duduk bersisian di bangku kayu. Shukumar segera bosan; ia tidak paham kata-kata dalam sajak-sajak itu, dan tidak bisa ikut seperti hadirin yang lain ketika mereka mengangguk khidmat atau menarik napas panjang pada kalimat-kalimat tertentu. Alih-alih, ia mengintip koran di pangkuannya, dan mencari tahu ketinggian derajat suhu di kota-kota sepenjuru dunia. Kemarin tiga puluh dua derajat selsius di Singapura, sepuluh derajat di Stockholm. Tatkala ia menoleh ke kiri, ia melihat perempuan di sebelahnya sedang menulis daftar belanja di bagian belakang selembar map, lantas ia terkesima menyadari betapa menawannya perempuan itu.
            “Oke,” katanya, sembari mengingat. “Waktu pertama kali kita pergi dinner, di restoran Portugis, aku lupa kasih tip buat waiter. Besoknya pagi-pagi aku balik ke sana, nyari tahu namanya, terus nitip uang ke manajer tempat itu.”
            “Kamu jauh-jauh balik ke Somerville cuma buat ngasih tip?”
            “Pakai taksi, kok.”
            “Kenapa kamu lupa kasih tip?”
            Lilin ulang tahun di meja padam, tetapi ia merekam wajah istrinya begitu jelas dalam kegelapan: sepasang bola mata besar yang mengerling, bibir tebal berona anggur, dan bekas luka jatuh dari kursi tinggi waktu kecil masih tampak berbentuk seperti tanda koma di dagunya. Hari demi hari, Shukumar menyadari, kecantikan istrinya yang dahulu membuatnya terkesima telah perlahan pudar. Kini istrinya butuh berdandan lebih tebal, bukan demi mempercantik dirinya melainkan, dengan suatu cara, justru menunjukkan karakter aslinya.
            “Malam itu, pas kita udah mau selesai makan, perasaanku campur aduk dan kepikiran ingin menikahi kamu,” katanya, untuk kali pertama mengakui hal tersebut, terhadap dirinya sendiri juga istrinya. “Mungkin itu bikin aku nggak fokus.”


Malam berikutnya Shoba pulang kerja lebih awal. Di dapur masih ada daging domba sisa semalam, dan Shukumar memanaskannya agar mereka sudah bisa makan malam pukul tujuh. Hari itu ia keluar rumah, berjalan di atas salju yang mulai mencair, demi membeli dari toko di sudut jalan sekotak lilin betulan dan baterai senter. Ia sudah memacakkan lilin tersebut di meja dapur di atas wadah berbentuk seperti kelopak teratai, tetapi mereka bersantap di bawah naungan sinar lampu berkap tembaga yang menggelantung di langit-langit di atas meja.
            Tatkala mereka selesai, Shukumar terkejut demi menyaksikan istrinya menumpuk piring bekas makan mereka dan membawanya ke wastafel. Ia mengira setelah itu istrinya akan langsung beranjak ke ruang tamu mengoreksi naskah.
            “Biarin saja piring kotornya,” ia berkata, seraya mengambil piring-piring itu dari tangan istrinya.
            “Nggak, lah,” balas istrinya, lantas menuang setetes sabun cuci cair ke spons. “Sudah hampir jam delapan.”
            Debaran di dadanya jadi lebih kencang. Sepanjang hari Shukumar telah menanti listrik padam. Ia memikirkan yang Shoba katakan semalam, tentang mengintip ke buku alamatnya. Rasanya menyenangkan mengingat-ingat sosok istrinya pada masa-masa itu, betapa pemberani sekaligus kikuk dirinya, dan betapa penuh harap. Mereka berdiri bersisian di hadapan wastafel, bayangan mereka memantul pada kaca jendela. Ia merasa malu, sebagaimana kali pertama ia berdiri bersisian dengan istrinya di depan kaca. Ia lupa kapan kali terakhir mereka berfoto. Mereka sudah tidak pernah lagi menghadiri pesta, tidak pernah lagi pergi ke manapun berdua. Foto-foto dalam kamera miliknya masih terdapat gambar-gambar Shoba, berada di halaman depan rumah, masih mengandung.
            Selesai mencuci piring, mereka bersandar di meja wastafel, mengeringkan tangan dengan handuk kecil-ujung ini di tangan Shukumar, ujung satunya di tangan Shoba. Tepat pukul delapan, listrik pun padam. Shukumar menyalakan sumbu lilin, terpukau dengan apinya yang panjang nan tenang.
            “Duduk di luar, yuk,” ujar Shoba. “Jam segini kayaknya masih hangat.”
            Mereka masing-masing memegang sebatang lilin dan pergi duduk di atas anak tangga di beranda. Rasanya aneh duduk di luar rumah di waktu salju masih berjatuhan. Tetapi malam ini semua orang keluar rumah, udara yang segar membuat orang-orang terjaga. Pintu-pintu rumah membuka dan menutup. Kelompok kecil warga melintas dengan senter di tangan.
            “Kami mau ke toko buku,” seru seorang pria berambut perak. Ia berjalan bersama istrinya, seorang perempuan kurus berjaket parasut yang membawa seekor anjing dengan tali kekang. Mereka keluarga Bradford, suatu kali pernah memasukkan ke kotak surat di rumah Shoba dan Shukumar sebuah kartu ucapan belasungkawa. “Katanya mereka punya genset.”
            “Harusnya,” balas Shukumar. “Kalau nggak, kalian bakal cari buku gelap-gelapan.”
            Istri tetangganya itu tertawa, lantas menggamit lengan suaminya. “Kalian ikut?”
            “Nggak, makasih,” Shoba dan Shukumar menjawab serempak. Shukumar kaget dengan hal tersebut.
            Ia menebak-nebak apa yang akan Shoba sampaikan kepadanya. Ia sudah memikirkan kemungkinan terburuk. Bahwa istrinya berselingkuh. Bahwa istrinya tidak suka ia sudah 35 tahun tetapi masih berstatus pelajar. Bahwa istrinya menyalahkannya karena ia dan ibunya berada jauh di Baltimore waktu istrinya melahirkan. Namun, ia tahu semua itu tidak benar. Istrinya setia, sebagaimana dirinya. Istrinya percaya kepadanya. Istrinya lah yang memaksanya pergi ke Baltimore. Apa lagi yang belum mereka tahu mengenai satu sama lain? Ia tahu istrinya mengepalkan tangan jikalau tidur, dan sedikit lasak jikalau bermimpi buruk. Ia tahu istrinya lebih suka semangka ketimbang melon. Ia tahu tatkala mereka pulang dari rumah sakit, hal pertama yang istrinya lakukan ketika masuk rumah adalah mengambili benda-benda dan melemparkannya ke lorong menjadi tumpukan: buku-buku dari rak, pot-pot tanaman dari jendela dapur, lukisan-lukisan dari dinding, foto-foto dari pigura, serta panci dan wajan dari gantungan dekat kompor. Shukumar tidak mencegahnya. Tatkala ia telah puas, istrinya berdiri memandangi tumpukan benda-benda itu, lantas bibirnya mengerucut seperti mau meludah. Kemudian, ia menangis.
            Ia mulai menggigil duduk di anak tangga beranda. Ia merasa harus bicara lebih dulu, menganggap ini gilirannya.
“Waktu ibumu ke rumah,” akhirnya istrinya yang bicara. “Pas aku bilang terpaksa kerja lembur, sebenarnya aku pergi bareng Gillian dan minum martini.”
            Ia mengamati paras istrinya, batang hidung ramping dan rahangnya kaku seperti pria. Ia ingat betul malam itu: ia makan dengan ibunya, lelah usai mengajar dua kelas berturut-turut, berharap Shoba ada bersama mereka agar istrinya bisa mengatakan sesuatu yang baik, karena dirinya senantiasa salah bicara. Sudah dua belas tahun sejak ayahnya wafat, dan ibunya berkunjung ke rumah mereka demi menemaninya berkabung. Setiap malam ibunya memasak makanan kesukaan ayahnya, lantas merasa begitu sedih dan kecewa mengetahui hanya ia sendiri yang menyantap makanan itu, dan airmatanya berlinang seiring Shoba mengusap-usap punggung tangannya. “Aku jadi ikut sedih,” kala itu Shoba berkata kepadanya. Kini, ia membayangkan Shoba bersama Gillian duduk di atas sofa beludru di bar-tempat yang biasa ia dan Shoba datangi usai menonton di bioskop-dan istrinya memastikan ekstra buah olive pesanannya ada di gelasnya, lantas mengambil sebatang rokok dari Gillian. Ia membayangkan istrinya curhat, dan Gillian bersimpati kepadanya atas kedatangan mertuanya. Gillian yang mengantar Shoba ke rumah sakit.
            “Giliranmu,” sang istri membuyarkan lamunannya.
            Di ujung jalan, Shukumar mendengar suara bor dan teriakan si teknisi. Ia memandangi fasad rumah-rumah berjejer di seberang jalan. Terlihat nyala lilin di jendela salah satunya. Terlepas cuaca yang sebenarnya sudah agak hangat, tampak asap membubung dari cerobong rumah itu.
            “Aku nyontek pas ujian mata kuliah Peradaban Asia,” ujarnya. “Waktu semester akhir, ujian terakhirku. Ayah meninggal beberapa bulan sebelumnya. Aku bisa lihat kertas ujian orang di sebelah. Cowok Amerika, maniak. Dia tahu bahasa Urdu dan Sanskrit. Aku nggak ingat contoh puisi di soal itu ghazal atau bukan. Aku nyontek jawaban dia.”
            Ia melakukan hal tersebut lebih dari lima belas tahun silam. Kini ia merasa lega telah mengungkap hal itu kepada istrinya.
            Istrinya menoleh, tidak kepadanya melainkan sepatunya-mokasin lawas yang ia injak saja seperti memakai sandal, bagian tumitnya tergencet rata dengan alas sepatu. Ia menduga apakah istrinya tidak senang atas ceritanya barusan? Istrinya meraih tangannya dan menggenggamnya. “Kamu nggak perlu kasih tahu alasan kamu nyontek,” ujarnya, seraya bergeser mendekat.
            Mereka duduk berdua hingga pukul sembilan, dan listrik pun kembali menyala. Mereka mendengar orang-orang bertepuk tangan dari beranda rumah masing-masing, dan televisi di rumah-rumah dihidupkan lagi. Keluarga Bradford berjalan melintas dan sembari menjilati es krim, mereka melambai. Shoba dan Shukumar membalas lambaian mereka. Kemudian, mereka berdua bangkit-masih bergenggaman tangan-dan masuk ke rumah.


Berikut-berikutnya, tanpa ada yang mengatur, situasi di antara mereka senantiasa berubah jadi arena mengumbar pengakuan-mengenai hal-hal sepele yang mereka lakukan demi mengecewakan satu sama lain, bahkan diri mereka sendiri. Keesokan hari Shukumar bimbang, antara harus mengaku soal ia menyobek foto seorang wanita di majalah langganannya dan menyelipkannya di buku yang ia bawa selama berminggu-minggu, atau mengaku bahwa ia sudah berbohong tatkala dulu berkata ia menghilangkan rompi rajutan yang istrinya berikan sebagai kado peringatan hari pernikahan mereka, dan bahwa ia menjual benda tersebut di Filene’s dan kemudian pergi minum-minum sendirian siang bolong di bar hotel. Pada hari itu, istrinya sudah memasak beragam hidangan untuk makan malam mereka. Rompi rajut itu membuatnya frustrasi. “Istriku kasih rompi rajut buat ngerayain nikahan kami,” ia curhat ke bartender, sedang kepalanya sudah goyang akibat cognag. “Lha, mestinya gimana?” balas si bartender. “Bung, kan, memang sudah nikah.”
            Mengenai foto wanita di majalah, ia tidak paham kenapa ia menyobeknya. Bukannya wanita itu lebih cantik dari Shoba. Wanita itu mengenakan gaun payet, mukanya cemberut dan kakinya kurus seperti kaki pria. Kedua lengan wanita itu terangkat, tangannya mengepal di dekat wajah, dan berpose seperti hendak meninju dirinya sendiri. Gambar tersebut iklan produk stoking. Tatkala itu Shoba sedang mengandung, perutnya ujug-ujug membuncit, begitu buncit sampai Shukumar enggan menyentuhnya. Pertama ia melihat foto wanita itu ia sedang tiduran di samping istrinya, yang tengah membaca buku. Begitu ia melihat majalah tersebut di tempat sampah, ia menemukan foto wanita itu dan menyobeknya dengan sangat berhati-hati. Setiap hari selama seminggu, ia mengintip foto itu. Libidonya naik, tetapi setelahnya ia merasa jijik dengan dirinya sendiri. Itu satu-satunya aksi berselingkuh yang pernah ia lakukan.
            Pada malam ketiga pemadaman listrik ia mengutarakan kepada istrinya tentang rompi rajut, dan pada malam keempat tentang foto wanita itu. Istrinya diam saja waktu ia bicara, tidak protes ataupun mencela. Istrinya mendengar saja, lalu meraih tangannya dan menggenggamnya seperti kemarin-kemarin. Pada malam ketiga pemadaman, istrinya bilang bahwa dulu suatu kali tatkala mereka pulang kuliah, saat ia mengobrol dengan seorang dosen, istrinya tidak memberitahu kalau ada remah-remah roti di dagunya. Kala itu istrinya sedang kesal kepadanya karena suatu hal, lantas membiarkan dirinya terus mengobrol dengan dosen mengenai beasiswa perkuliahan semester depan, tanpa memberi isyarat kepadanya bahwa dagunya kotor. Pada malam keempat pemadaman, ia mengaku bahwa sebenarnya ia tidak suka puisi yang pernah ia tulis, satu-satunya puisi yang ia tulis dan dimuat di suatu majalah sastra di Utah. Ia menulis puisi itu usai pertemuannya dengan Shoba. Istrinya bilang, puisinya kelewat sentimentil.
            Hal baru telah terjadi semenjak pemadaman: mereka kembali mengobrol. Pada malam yang ketiga, seusai makan, mereka duduk di sofa, dan begitu listrik padam ia mengecup pipi dan kening istrinya dengan agak kikuk, dan kendatipun sudah gelap, ia tetap memejam, dan tahu istrinya melakukan hal yang sama. Pada malam keempat, mereka melangkah canggung menaiki tangga menuju kamar tidur, sama-sama diam sejenak ketika menjejak di lantai atas, kemudian bercinta dengan keputusasaan yang telah terlupa. Istrinya menangis tanpa suara, membisikkan namanya, dan dalam kegelapan menyusuri alisnya menggunakan jemari. Dalam percintaan mereka, ia memikirkan apa lagi yang harus ia ceritakan besok malam, apa lagi yang istrinya ceritakan-dan semua ini membuatnya bergairah. “Peluk aku,” ia berkata, “dekap aku.” Begitu listrik kembali menyala, mereka telah tertidur pulas.


Pagi pada hari terakhir pemadaman, Shukumar mendapat surat pemberitahuan dari perusahaan listrik: jalur listrik sudah kembali normal, lebih awal dari jadwal semula. Ia kecewa. Ia sudah berencana memasak udang malaikari buat Shoba, tetapi tatkala ia tiba di swalayan ia sudah tidak selera lagi. Suasananya bakal berbeda, ia pikir, kalau listrik tidak padam. Dalam pandangannya, udang-udang itu terlihat kurus dan tidak menarik. Kotak-kotak santan siap saji itu berdebu dan kemahalan. Kendati demikian, ia tetap membeli semua, beserta sebatang lilin aromaterapi dan dua botol anggur.
            Istrinya pulang pukul setengah delapan malam. “Kayaknya permainan kita sampai di sini ya,” ujar Shukumar tatkala melihat istrinya membaca surat pemberitahuan.
            Istrinya menoleh. “Kamu masih bisa nyalain lilin kalau mau.” Malam ini istrinya tidak berangkat ke gym. Ia mengenakan kemeja di balik mantelnya. Ia sudah memulas riasannya lagi.
            Tatkala istrinya ke lantai atas untuk bersalin, Shukumar menuang anggur buat dirinya sendiri dan memutar lagu: album Thelonius Monk, favorit istrinya.
            Setelah istrinya kembali, mereka bersantap bersama. Istrinya tidak bilang terima kasih atau memujinya. Mereka makan saja dalam cahaya remang-remang, diterangi pendar lilin aromaterapi. Mereka telah melewati masa-masa krisis. Mereka melahap habis udang di meja. Mereka meneguk tandas botol anggur pertama dan langsung membuka yang kedua. Mereka duduk di situ sampai lilin hampir habis. Istrinya menggeser posisi, dan sesaat Shukumar mengira ia akan mengatakan sesuatu. Alih-alih, istrinya meniup lilin hingga padam, beranjak dari kursinya, menyalakan lampu, kemudian duduk lagi.
            “Nggak dibiarin gelap aja?” tanya Shukumar.
            Istrinya menyingkirkan piring di hadapan dan memasang gestur serius. “Aku mau kamu lihat aku saat aku mengatakan ini…,” ujarnya tenang.
            Jantungnya berdentam keras. Hari ketika istrinya memberitahu bahwa dirinya mengandung, ia bicara persis seperti ini, persis dengan ketenangan yang sama, seusai mematikan televisi saat ia sedang menonton pertandingan basket. Kala itu ia tidak siap. Sekarang sudah.
            Hanya saja ia enggan mendengar jikalau istrinya mengandung lagi. Ia tidak mau berpura-pura senang.
            “Aku sempat cari-cari apartemen, dan sudah dapat,” ujar istrinya seraya memicing, pandangannya terarah ke bahu kirinya. Bukan salah siapa-siapa, istrinya melanjutkan. Mereka sudah sama-sama lelah. Ia butuh menyendiri. Ia punya tabungan. Apartemen baru itu terletak di Beacon Hill, jadi ia bisa jalan kaki ke kantor. Ia sudah meneken kontrak sewanya tadi sebelum pulang.
            Istrinya enggan menatap matanya, tapi Shukumar memandanginya lekat-lekat. Jelas sekali istrinya sudah melatih ucapannya. Selama ini ia menghabiskan waktunya mencari apartemen, mengecek tekanan air, bertanya ke agen properti apakah ada fasilitas air panas di sana. Semua ini membuat Shukumar pening-mengetahui istrinya melewati malam-malam belakangan mempersiapkan hidup baru tanpa dirinya. Ternyata inilah inti permainannya.
            Kini, giliran ia bicara. Ada satu hal yang ia sudah bersumpah tidak akan memberitahu istrinya, dan selama setengah tahun terakhir ia berusaha tidak memikirkannya. Sebelum USG, istrinya meminta dokter merahasiakan jenis kelamin bayi mereka, dan Shukumar setuju. Istrinya ingin kejutan.
            Kelak, tatkala mereka sempat beberapa kali membahasnya, istrinya bilang setidaknya mereka telah berbagi rahasia. Istrinya seperti bangga dengan keputusannya itu, sebab dengan demikian ia dapat mencari perlindungan di dalam ketidaktahuan. Shukumar tahu, istrinya mengira hal tersebut juga menjadi misteri baginya. Setahu istrinya ia terlambat kembali dari Baltimore-tatkala segalanya telah berakhir dan istrinya tergolek lemah di ranjang rumah sakit. Padahal tidak. Ia tiba cukup awal demi melihat bayi mereka, dan pula sempat mendekapnya sebelum upacara kremasi dilakukan. Awalnya ia tersentak dengan saran mendekap jenazah bayinya, tetapi dokter berkata mungkin hal itu dapat membantunya melalui proses berduka. Shoba sudah terlelap. Sang bayi sudah dimandikan, matanya terpejam untuk selamanya.
            “Anak kita laki-laki,” ia berkata. “Kulitnya lebih kemerahan ketimbang coklat. Rambutnya hitam. Beratnya dua kilo. Tangannya mengepal terus, persis seperti kamu kalau lagi tidur.”
            Kini Shoba menoleh, tampak begitu nestapa. Suaminya menyontek saat ujian kuliah dan menyobek foto wanita dari majalah. Suaminya menghilangkan sweter pemberiannya dan pergi mabuk-mabukan. Ini semua yang suaminya katakan kepadanya. Suaminya mendekap bayi mereka, yang hanya mengetahui kehidupan di dalam rahim dirinya, di dalam ruangan remang di kamar terkucil di rumah sakit. Suaminya mendekap bayi mereka hingga perawat mengetuk pintu dan memboyong bayi itu pergi, dan ia berjanji tidak akan memberitahu Shoba, sebab ia masih mencintainya, dan rahasia itu satu-satunya kejutan yang ingin ia peroleh dalam hidupnya.

            Shukumar bangkit dan membereskan piring makan. Ia membawa piring-piring itu ke wastafel, tetapi alih-alih mencucinya ia justru memandang ke luar jendela. Di luar, malam masih hangat, dan keluarga Bradford terlihat berjalan bergandeng tangan. Saat ia masih memperhatikan mereka, mendadak lampu padam, lantas ia berbalik. Shoba yang mematikannya, kemudian kembali ke meja makan dan duduk lagi, dan beberapa saat kemudian Shukumar juga. Bersama mereka menangis, demi hal-hal yang kini telah mereka ketahui. ***

Piramid, Ismaïl Kadaré

$
0
0


Kali terakhir saya membaca buku dengan latar Mesir adalah novela Naguib Mahfouz, The Thief and the Dogs. Ceritanya tentang seorang mantan narapidana yang ingin memperbaiki hidup setelah bebas dari penjara, tetapi menemukan dirinya dikhianati oleh semua orang yang ia cintai. Kendatipun bergenre thriller, novela itu sangat puitis. Tidak seperti novel-novel dengan elemen suspense yang umumnya dituturkan dengan kalimat pendek-pendek demi membangun aura tegang, Naguib Mahfouz malah terlihat seperti berpuisi di dalam novelanya. Saya kira itu semata pilihan gaya menulis yang ia ambil, tapi begitu membaca Piramid, novel Ismaïl Kadaré, yang juga berlatarkan Mesir, saya melihat gaya narasi yang sama.

Ismaïl Kadaré adalah novelis dan penyair Albania. Tatkala mengetahui bahwa ia juga seorang penyair, saya baru mengerti mengapa narasi dalam Piramid terasa puitis (Naguib Mahfouz tidak dikenal sebagai penyair-karyanya kebanyakan prosa-tapi caranya menulis seperti berpuisi). Kadaré, sebagaimana Mahfouz, sepanjang karir mereka sebagai penulis sempat terganjal masalah dengan pemerintah atau kelompok di tempat tinggalnya. Mahfouz diteror kelompok Islam ekstremis di Mesir tahun 1994 karena salah satu novelnya yang dianggap kontroversial. Kadaré terpaksa menyelundupkan manuskrip novelnya keluar negeri karena tekanan dan penindasan rezim totaliter Enver Hoxha, pemimpin komunis Albania tahun 1944 hingga 1985.

Piramid, terjemahan dari bahasa Prancis La pyramide-ditulis Kadaré semula menggunakan bahasa Albania berjudul Pluhuri mbretëror -merupakan salah satu karyanya yang menginspirasi usaha penumbangan rezim totaliter Albania. Karena Kadaré senantiasa menulis novel-novelnya dalam bahasa Albania murni tanpa menyelipkan bahasa asing, ia dianggap sebagai pembaharu sastra Albania. Kesetiaan pada bahasa nasionalnya ini merupakan sesuatu yang unik dan dihargai atas dampaknya pada kelestarian bahasa Albania. Kendati demikian, Piramid diselesaikan dalam bahasa Prancis (sedikit mengingatkan saya pada Milan Kundera yang berhenti menulis dalam bahasa Ceko setelah eksil ke Prancis karena masalah dengan pemerintahnya, sejak itu mengalihbahasakan seluruh karyanya ke bahasa Prancis dan mulai menulis dalam bahasa Prancis). Saya sendiri membaca Piramid versi bahasa Indonesia, yang diterjemahkan amat baik oleh Dwi Pranoto.

Secara ringkas, Piramid bercerita tentang seorang firaun yang memerintahkan rakyatnya untuk membangun sebuah piramida bagi dirinya, sebagaimana tradisi Mesir yang telah tertoreh di gulungan-gulungan papirus seolah suratan takdir. Cheops, firaun baru dan masih muda, sebelumnya sempat membuat seluruh jajaran anak buahnya gempar, karena mengeluarkan pernyataan tak layak dan mencemaskan: ia tidak ingin dibuatkan piramida. Celetukan itu merupakan “…berita malapetaka” bagi para penghuni istana. Menurut mereka, firaun baru ini kelewat nyeleneh. Mana ada firaun yang tak mau memiliki piramida? Namun, setelah usaha demi usaha membujuk Cheops, firaun muda itu, akhirnya para penghuni istana berhasil meyakinkan pemimpin mereka bahwa bagaimanapun piramida dibutuhkan, bukan hanya bagi sang firaun, tetapi juga demi rakyat dan bahkan Mesir itu sendiri.

Bab-bab berikutnya adalah proses pembangunan piramida baru bagi sang firaun baru-ini merupakan sebagian besar isi novel Piramid. Kadaré menunjukkan bagaimana pembangunan sebuah piramida betul-betul sesuatu yang krusial bagi Mesir. Bagi firaun, penghuni istana, rakyat Mesir, dan bahkan negara-negara lain yang bertetangga dengan Mesir, pembangunan piramida adalah momen penting layaknya pernikahan pangeran kerajaan atau barangkali bencana nasional. Tahapan-tahapan pembangunan piramid dideskripsikan begitu rinci dan visual, sehingga tatkala membaca novel ini, saya merasa seperti sedang menonton film 10.000 BC.

Keseluruhan cerita dalam Piramid dituturkan secara kronologis, ini berarti tidak ada permainan alur maju-mundur maupun kilas balik. Agak berbeda dengan The Thief and the Dogs Naguib Mahfouz yang terdiri atas serentetan peristiwa, yang karena itu penuh adegan dan dialog, Piramid Kadaré sangat naratif, selayaknya tradisi mendongeng oral zaman dulu. Dialog sangat sedikit dan hanya muncul di bagian-bagian yang memerlukannya. Sisanya, kita mengetahui apa yang terjadi melalui narasi yang, seperti saya katakan tadi, kadang-kadang terasa mengalun dan puitis.

Piramid adalah cerita tentang usaha pemerintah melanggengkan kekuasaannya atas rakyat yang juga rada-rada masokis. Bagaimana tidak, pada saat firaun dan penghuni istana mengumumkan piramida akan mulai dibangun, seluruh rakyat di penjuru Mesir bersorak dan bergembira ria seakan-akan bakal memperoleh rezeki berlimpah, padahal yang terjadi sebaliknya, mereka sedang diseret masuk ke dalam penjara abadi penyiksaan. Penyiksaan ini diperlukan, kata penasihat, demi membangkitkan rasa hormat rakyat pada penguasa, menyegarkan kembali wibawa negara, dan yang paling luar biasa adalah: supaya rakyat tidak hidup bermalas-malasan. Penyiksaan kerja rodi membangun piramida, yang kelak memakan korban jiwa tak terhitung, bertujuan agar rakyat rajin berkegiatan dan produktif!

Rencana besar membangun sebuah piramida tidak terletak pada piramida itu sendiri, melainkan proses pembangunannya. Di sanalah terkandung trik penting dan nilai krusialnya. Piramida hanya akan selesai jika firaun menginginkannya. Jika piramida sudah hampir mencapai puncak, firaun dapat mengubah pikiran dan memerintahkan pembongkaran dan membangun dari awal, atau jika sudah kadung rampung, firaun akan memerintahkan untuk membuat piramida anak atau piramida pendamping, yang kendatipun umumnya berukuran lebih kecil, bisa berjumlah sebanyak yang diinginkan-semuanya sesuka-suka pemimpin. Kerja paksa penuh kesengsaraan itu akan terus berlangsung sejauh dibutuhkan, demi-seperti dinasihatkan para penghuni istana kepada Cheops sang firaun muda-membangkitkan moral, rasa hormat bahkan rasa takut, dan etos kerja rakyat Mesir demi negara dan pemimpinnya.

Tetapi, sebagaimana pada awalnya telah membuat Cheops cemas, pembangunan piramid inipun kelak betul-betul menjadi sebuah paradoks. Ia bingung apakah harus melecut rakyatnya bekerja keras agar piramida cepat rampung seperti tujuan semula yakni demi memacu etos kerja rakyat Mesir, tetapi mengingat bahwa piramida adalah makam bagi firaun, itu membuatnya curiga berat karena berarti orang-orang mengharapkan dirinya cepat mati. Demikian pula jikalau ia membiarkan proses pembangunan piramida berjalan lamban itu menunjukkan wibawanya sebagai firaun mulai pudar dan tidak dianggap, belum lagi kritik dari negara-negara tetangga yang bertanya-tanya kapan piramida selesai, bahkan menuduh bahwa piramida itu hanya omong-kosong Mesir beserta firaunnya. Cheops terjebak dalam usaha melanggengkan kekuasaan yang ia mulai sendiri.

Secara jitu, novel Piramid memperlihatkan bagaimana pemerintah selalu punya cara untuk melanggengkan kekuasaan, bahkan dengan metode-metode yang tak selalu disadari oleh rakyatnya. Kita boleh lebih kritis di masa sekarang ini, tidak seperti zaman rakyat Mesir di bawah pimpinan seorang firaun, tetapi metode hanyalah metode yang senantiasa bisa dimodifikasi. Kalau tidak secara terang-terangan, ya pakai cara halus dan terselubung. Satu-satunya cara agar tidak terperangkap oleh tentakel-tentakel negara yang tidak pernah berhenti mencoba mengontrol habis rakyatnya, adalah dengan merawat kesadaran, berpikir kritis, dan menajamkan nurani.


Dengan isu yang diangkat, penuturan yang mengalir, deskripsi peristiwa yang filmis, serta kompleksitas situasi yang terdapat di dalamnya, novel Piramid karya Ismaïl Kadaré masuk dalam daftar novel terbaik dunia yang pernah saya baca. ***
Viewing all 402 articles
Browse latest View live