Quantcast
Channel: Bernard Batubara
Viewing all 402 articles
Browse latest View live

Jika Aku Milikmu: Kegagalan dan Penebusan

$
0
0


Di Balik Penulisan “Jika Aku Milikmu”


*

Semuanya bermula dari ajakan Widyawati Oktavia, editor Penerbit GagasMedia. Kepada saya, Iwied, begitu kami akrab memanggilnya, ia mengundang untuk menulis satu novel dalam proyek seri dari GagasMedia bertajuk "Indonesiana". Saat itu, kalau saya tidak keliru mengingat, adalah penghujung tahun 2012. Ajakan itu saya iyakan, akan tetapi saya gagal memenuhi tenggat yang diberikan Iwied dan GagasMedia.

Waktu itu, saya sudah menulis sebagian dari novel tersebut: sebuah cerita cinta berlatarkan kota kelahiran saya, pontianak. tokohnya: Sarif dan Nur. Dalam seri novel tersebut, ada kira-kira enam penulis yang bergabung. Ketika itu, Tampaknya saat itu manuskrip dari penulis lain sudah terkumpul, sementara saya belum menyerahkan apapun ke Iwied. Karena merasa tidak dapat merampungkan naskah dalam waktu dekat, dan lagipula tenggat waktu sudah saya terabas hingga jauh, akhirnya saya memutuskan untuk mundur dari proyek “Indonesiana”.

Berselang kurang-lebih satu tahun dari itu, Iwied mengirimi saya surel. Isinya, sebuah ajakan lain. GagasMedia sedang akan menggarap proyek seri novel baru, kali ini bertajuk “Love Cycle”, konsep besarnya adalah enam orang penulis menulis masing-masing satu novel cinta, yang jika konflik utama novelnya dirangkai, akan membentuk suatu siklus relationship. Selain karena tertarik dengan konsepnya, saya merasa ingin menebus kegagalan saya di proyek sebelumnya. Tanpa berpikir dua kali, saya menyanggupi undangan Iwied untuk menulis satu novel di seri “Love Cycle”.

Tentu saja saya meneruskan manuskrip sebelumnya yang belum rampung dan pada awalnya ditulis untuk masuk ke dalam seri “Indonesiana”. Saat itu manuskrip tersebut berjudulkan nama dua tokoh utamanya: Sarif, dan Nur. Karena konsep seri novelnya berubah, maka nuansa kontennya pun bergeser. Dari yang tadinya saya berniat untuk mengisi cerita “Sarif & Nur” dengan banyak aspek budaya Melayu Pontianak (lokalitas), berubah jadi berfokus pada konflik relationship tokoh-tokohnya, romance-nya, meski cerita tetap berlatarkan Kota Pontianak.

Saya memulai pengerjaan “Sarif & Nur” pada Januari 2014. Ketika itu, saya berstatus sebagai karyawan. Ini kali pertama saya menjadi karyawan, memiliki jam kantor, dan mau tidak mau membuat pola kerja saya dalam menulis jadi berubah. Tadinya saya bisa menulis kapanpun, biasanya siang hingga sore hari (walau sesekali saya menulis pada malam hari). Namun, saat menggarap “Sarif & Nur”, saya hanya bisa memanfaatkan waktu selepas berkantor, yakni di atas pukul enam petang.

Selama enam bulan, saya mendisiplinkan diri, menulis satu halaman demi satu halaman. Dimulai pada bulan pertama 2014, berakhir pada penghujung Mei 2014. Draf pertama masih saya utak-atik sendiri karena, seperti biasanya, amat berantakan. Draf kedua selesai beberapa minggu setelahnya, dan barulah draf tersebut berani saya serahkan ke Iwied. Manuskrip utuh “Sarif & Nur” (Jika Aku Milikmu) pun resmi berada di tangan penerbit.

Yang saya kerjakan berikutnya adalah: menunggu.

Saya menunggu sambil bekerja sebagai editor di Penerbit GagasMedia, tempat yang juga akan menerbitkan manuskrip novel terbaru saya ini. Dalam tahap menunggu, saya sempat menerbitkan satu buku di GagasMedia, kumpulan cerita Jatuh Cinta Adalah Cara Terbaik untuk Bunuh Diri (cerita tentang proses terjadinya buku ini dapat dibaca di sini). Barulah ketika tiba pertengahan tahun 2015, ketika saya tidak lagi bekerja di GagasMedia, saya mendapat kabar terbaru tentang manuskrip “Sarif & Nur”. Kabar dari Iwied: novel tersebut segera terbit.

*

Tidak ada hambatan yang begitu berarti dalam pengerjaan novel terbaru saya ini, kecuali beberapa pertimbangan seputar muatan ceritanya: apakah akan banyak mengangkat budaya Melayu Pontianak, seperti yang tadinya saya niatkan, atau mengesampingkan soal lokalitas dan berfokus pada konflik cinta tokoh-tokoh utamanya. Saya memutuskan untuk melakukan yang terakhir. Yah, sebenarnya bisa-bisa saja menggarap keduanya. Namun, ada sedikit persoalan yang membuat saya tidak memilih memperbanyak muatan ‘lokalitas’ di novel terbaru saya tersebut. Tentang ini, barangkali kita akan membicarakannya lebih panjang di kesempatan lain.

Pendek kata, Jika Aku Milikmu siap terbit. Awalnya, buku kedelapan saya ini akan berjudul “I Fall For You”, mengikuti dua buku sebelumnya dalam seri “Love Cycle” GagasMedia. Namun, di detik-detik terakhir, penerbit memutuskan sedikit mengubah konsep buku, dengan: 1. Mengubah judulnya menjadi berbahasa Indonesia, dan 2. Mengubah konsep sampulnya. Jadilah akhirnya buku saya masuk ke dalam “Love Cycle: Season 2” bersama satu buku dari penulis lain. Versi akhir dan final buku terbaru saya menjadi berjudul, Jika Aku Milikmu.

Ini penting untuk disampaikan juga: Saya menyukai perubahan tersebut di atas.

*

Tentang apa itu isi Jika Aku Milikmu, kamu bisa membacanya di sini. Satu-satunya yang penting saat ini yang ingin saya kabarkan adalah: Buku ini dicetak hanya 2.500 eksemplar, untuk cetakan pertamanya. Ini terus terang jauh lebih sedikit dari buku-buku saya sebelumnya. Sebagian dari jumlah tersebut sudah didistribusikan, dan kini tersedia dan dapat dibeli di sejumlah toko-toko buku online, seperti dalam daftar di sini. Sisanya, barulah disebar ke toko-toko buku jaringan di seluruh Indonesia (Gramedia, dan kawan-kawan).

Apa informasi penting yang perlu teman-teman ketahui tentang jumlah eksemplar cetakan pertama tersebut? Yaitu bahwa stok buku yang akan tersedia di toko buku Gramedia dan teman-temannya akan sangat sedikit, setidaknya lebih sedikit dari yang sebelum-sebelumnya. Jadi, saran saya, bersiaplah untuk menyambangi toko buku terdekat, sesaat setelah mendapat informasi bahwa Jika Aku Milikmu sudah tersedia di sana. Jangan sampai kehabisan.

Saran saya, kamu memesan di toko-toko buku online, untuk menghindari kehabisan stok di Gramedia. Bagi yang memesan secara online, akan mendapatkanJika Aku Milikmu edisi bertandatangan resmi, plus selembar stiker dengan ilustrasi manis bertuliskan penggalan kalimat dari bukunya. Sekali lagi, kamu dapat memesannya di toko-toko buku online di daftar ini.

*

Akhirnya, saya ingin mengucapkan terima kasih kepada kamu yang telah membeli dan membaca Jika Aku Milikmu. Bagi yang belum, jangan sampai kehabisan bukunya ya. Saya menunggu komentarmu tentang buku tersebut di halaman Goodreads Jika Aku Milikmu.Bagi yang sudah memilikinya, mention saya di Twitter, unggah foto kamu dengan bukunya, dan saya akan memasang fotomu jadi profile picture Twitter saya: @benzbara_.

Selamat berburu, dan selamat membaca Jika Aku Milikmu!



~ Bara

Jika Aku Milikmu: Cetakan ke-2

$
0
0

Hore!


Alhamdulillah, belum sampai dua minggu sejak rilis, Jika Aku Milikmu masuk cetakan ke-2.

Dalam cetakan kedua, ada beberapa bagian yang mengalami perbaikan. Tentu tidak mengubah jalan cerita, hanya sedikit koreksi di satu-dua titik, agar lebih baik dari cetakan sebelumnya.

Bagi teman-teman yang belum dan ingin memilikinya, hingga hari ini (24 Oktober 2015) Jika Aku Milikmu sudah tersedia di toko buku Gramedia di daerah Medan, Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, Bandung, Jogja, Solo, Semarang, Purwokerto, dan Surabaya. Semoga teman-teman masih bisa mendapatkan cetakan pertamanya. Kalau tidak, terutama di kota-kota selain yang sudah saya sebutkan, teman-teman akan bertemu dengan Jika Aku Milikmu cetakan kedua.

Jika Aku Milikmu juga bisa langsung dipesan di beberapa toko buku online, di antaranya: Bukabuku, Bukubukularis, Demabuku, dan Kutukutubuku. Kamu akan mendapatkan buku bertandatangan dan bonus stiker berilustrasi kalau membeli Jika Aku Milikmu di toko buku online tersebut.

Jangan lupa kirim fotomu bersama Jika Aku Milikmu ke twitter saya, @benzbara_.

Terima kasih!

~ Bara

To Kill A Mockingbird, Harper Lee

$
0
0



Seratus lima puluh halaman pertama novel ini membuat saya bosan. Alur yang lamban dan arah cerita yang tidak jelas mau ke mana, mau tidak mau memancing saya berpikir keras mengapa novel ini menjadi salah satu novel terbaik dunia sepanjang masa. Saya menunggu dan menunggu dan setiap sepuluh halaman, saya menghela napas panjang, mencoba menahan diri untuk tidak menutup buku dan mengembalikannya ke rak di kamar saya. Untungnya, seperti yang sering terjadi, rasa penasaran saya lebih kuat daripada rasa bosan yang telah mendera sejak halaman pertama. Bermodalkan rasa penasaran tersebut, saya melanjutkan membaca buku pertama dan satu-satunya-sebelum lima puluh tahun kemudian prekuelnya terbit-dari penulis Amerika ini, yang sempat diganjar Pulitzer Prize tahun 1961. Novelnya sendiri terbit tahun 1960.

Harper Lee lahir tahun 1926 di Monroeville, Alabama, Amerika Serikat; ia juga bertumbuh besar di sana. Maycomb County, kota imajiner dalam To Kill A Mockingbird yang menjadi sentral seluruh cerita, disepakati oleh banyak orang diciptakan Lee berdasarkan tempat kelahirannya sendiri. Kota itu digambarkan sebagai kota yang penduduknya memiliki ciri khas masing-masing dan ciri khas tersebut lama-lama menjadi stereotipe, bahkan kemudian menjelma tuntutan bagi keturunan termuda untuk bersikap sebagaimana keluarganya dikenal.

Scout Finch, seorang gadis cilik yang menjadi tokoh utama novel, misalnya, di satu bagian diberitahu oleh anggota keluarganya untuk “Berkelakuanlah seperti seorang Finch.” Begitu pula dengan keluarga lain, yang telah mewarisi secara turun-temurun cara bersikap, karakter, termasuk hal-hal buruk yang telah dihapal seisi Maycomb County. Maka, adalah sah bagi seseorang menganggap jika kau seorang bernama belakang Cunningham, maka kau pasti miskin dan tidak mampu membayar makananmu sendiri. Menarik ketika saya tiba-tiba menyadari bahwa bisa saja Harper Lee menggunakan stereotipe pada keluarga-keluarga di Maycomb County sebagai pengantar menuju isu inti yang ia ingin angkat: rasisme.

Maksudnya begini, jika kau Cunningham dan berarti kau miskin, Crawford berarti kau tukang gosip, apakah itu berarti jika kau berkulit hitam maka kau pasti melakukan hal-hal menjijikkan yang dapat dilakukan seorang manusia, seperti misalnya mencari kesempatan memperkosa wanita berkulit putih?

To Kill A Mockingbird berjalan lamban bagi saya, sampai bagian pertama selesai dan bagian kedua dimulai. Atticus Finch, ayah Scout Finch, adalah pengacara. Ia sedang menangani kasus yang menimpa Thomas Robinson, seorang budak kulit hitam. Dari sini tempo cerita meningkat. Konflik barulah terasa, dan ketegangan terbangun. Salah satu bagian paling saya suka di novel ini adalah persidangan Atticus Finch. Semua orang tahu bahwa belum pernah tercatat dalam sejarah seorang budak kulit hitam menang dalam persidangan orang kulit putih. Meski demikian, Atticus Finch memberikan ‘perlawanan’ sengit bagi pihak pelapor, kelarga Ewell, yang salah satu anggota keluarganya, Mayella Ewell, mengaku telah diperkosa oleh Tom Robinson. Pertanyaan demi pertanyaan dilontarkan Atticus kepada saksi-saksi dari pihak lawan. Lantai bawah ruang sidang diisi hanya orang-orang kulit putih dan di balkon berdiri orang-orang kulit hitam, semuanya menyimak jalan persidangan dengan perasaan yang sama seperti saya: tegang.

Saya sudah lupa bahwa novel ini sempat membuat saya bosan di seratus lima puluh halaman pertamanya. Akhirnya, saya dapat membaca hingga selesai.

Bagi saya, hal menarik dari To Kill A Mockingbird bukanlah isu rasisme yang ia usung, melainkan hal-hal lain yang ada di dalamnya. Misalnya soal parenting. Saya suka melihat bagaimana Atticus Finch mendidik anak-anaknya dengan selalu meladeni dan menjawab pertanyaan-pertanyaan mereka-yang seperti anak-anak umumnya, merupakan pertanyaan-pertanyaan ‘dewasa’ melebihi usia mereka-tanpa berbohong. Misal saat Scout bertanya kepada Atticus, apa itu ‘rape’. Atticus juga mendidik anak-anaknya untuk bertanggungjawab dan ia senantiasa bersikap fair kepada Scout dan Jem Finch.

Meski bukan satu-satunya karakter favorit saya, Atticus Finch memang menarik banyak simpati. Ia laki-laki yang, tidak hanya dapat diteladani perilakunya sebagai orangtua, tetapi juga sikapnya sebagai manusia. Atticus berada pada posisi sulit. Ia orang kulit putih yang menjadi kuasa hukum budak kulit hitam. Ia seperti mengerjakan pekerjaan ‘kotor’, begitu orang-orang Maycomb County memandangnya. Ia juga dianggap pengkhianat karena tindakan pembelaaannya itu. Meski demikian, Atticus tidak pernah kehilangan empati dan sikap adilnya terhadap setiap orang yang ia kenal. Ia sama sekali tidak tampak marah atau kesal, apalagi ingin membalas, saat pasca persidangan Thomas Robinson, Mr. Robert Ewell memakinya di dekat kantor pos dan meludahinya. Anak-anaknya tidak menyukai hal tersebut tapi Atticus hanya berkata kepada mereka bahwa Mr. Ewell telah melalui hidup yang sulit dan di persidangan, Atticus telah membuatnya kehilangan harga dirinya di depan banyak orang, sehingga wajar Mr. Ewell melakukan hal itu terhadapnya.

To Kill A Mockingbird adalah novel tentang praduga. Tentang bagaimana manusia kerap membangun sangkaan-sangkaan dalam kepalanya terhadap manusia lain, dan ini seringkali terjadi karena kita tidak pernah benar-benar mengenal orang yang kita ‘dakwa’. Dan, sesering itu pula, dakwaan kita keliru. Harper Lee menunjukkannya lewat karakter-karakter seperti Mrs. Dubose yang kerap menyumpahserapahi Atticus kepada Scout dan Jem karena ayah mereka membela budak kulit hitam, namun ternyata Mrs. Dubose menyiapkan hadiah manis buat Jem setelah ia meninggal dunia. Ada pula Nathan “Boo” Radley, yang semenjak bagian awal novel digambarkan seperti orang gila yang mengurung diri di rumahnya selama puluhan tahun, ternyata adalah orang yang, seperti kata Scout, “…he was real nice.” dan sebagai respons ucapan anaknya tersebut, Atticus Finch berkata, “Most people are, Scout, when you finally see them.

Yang membuat To Kill A Mockingbird bertahan hingga setengah abad adalah, saya kira, pesannya yang sangat universal. Isu rasisme tidak hanya terjadi di Amerika dan dengan demikian novel ini tidak hanya relatable dengan kondisi manusia-manusia di Amerika pada masa dulu hingga sekarang, melainkan seluruh orang. Lebih dari sekadar rasisme, seperti saya sebut sebelumnya, bahwa novel debut Harper Lee ini adalah tentang praduga. Kita tahu sama tahu, praduga tumbuh dan bermukim di balik tengkorak kepala kita. Bukan hanya persoalan kulit hitam dan kulit putih, tapi juga praduga yang melekat pada identitas-identitas lain: etnis, agama. Praduga-praduga terhadap identitas seorang manusia, terutama praduga yang buruk, sering menjadi bibit tumbuhnya konflik. Berapa kali konflik horisontal terjadi akibat penajaman stigma dan tidak dikelolanya praduga dalam tiap-tiap kepala manusia?


Hal terakhir dari novel ini yang menarik perhatian saya: bagaimana penulisnya memilih tokoh utama seorang gadis kecil. Scout Finch, saya kira, menjadi metafor yang digunakan Harper Lee untuk menunjukkan kemurnian dan kejernihan mata seseorang dalam memandang orang lain dan dunia. Anak kecil tidak bermain dalam praduga, mereka berkenalan dan bermain dengan siapa saja yang mereka senangi, siapapun mereka dan beragama apapun mereka. Orang dewasa lah yang merepotkan dirinya sendiri dengan praduga-praduga. ***

All the Light We Cannot See, Anthony Doerr

$
0
0



Saya selalu percaya bahwa penulis prosa yang baik adalah penyair yang baik. Atau, barangkali lebih tepat jika saya katakan begini: penyair yang baik memiliki modal untuk menjadi penulis prosa yang baik. Penyair memerlukan metafora, terutama yang segar, dalam usaha menyampaikan gagasan-gagasannya. Bisa dibilang metafora adalah senjata pamungkas seorang penyair. Dengan demikian, penulis prosa yang senang menulis puisi (atau mungkin memang juga seorang penyair) akan mengarang prosa dengan kosakata dan metafora yang segar, sehingga membuat tulisannya tidak hanya memiliki gagasan tajam sebagai kekuatan utama, tetapi juga pembangunan suasana adegan dan penggambaran situasi yang jauh dari kata ‘kering’. Itu adalah hal pertama yang terlintas di kepala saya, saat membaca novel All the Light We Cannot See, Anthony Doerr.

Anthony Doerr adalah pengarang berkebangsaan Amerika berusia 47 tahun dan sudah menerbitkan beberapa buku. Novelnya All the Light We Cannot See meraih penghargaan Pulitzer Prize tahun 2015. Dari beberapa ulasan dan wawancara tentang novel tersebut, saya mengetahui bahwa Doerr membutuhkan waktu tidak kurang dari sepuluh tahun untuk merampungkan novel itu. Sebagian dari waktunya ia gunakan untuk meriset Saint-Malo, kota lepas pantai di Prancis dengan tembok-tembok tinggi sebagai jubahnya, yang menjadi salah satu latar cerita di novel.

All the Light We Cannot See adalah novel multiplot. Beberapa alur berjalan secara paralel, namun plot utama adalah cerita tentang dua orang anak kecil (yang kemudian seiring cerita berjalan menjadi remaja) yang hidup semasa perang dunia kedua. Anak kecil pertama, Marie-Laure, adalah gadis Prancis. Ia buta. Ia tinggal berdua ayahnya, seorang juru kunci di suatu museum di Paris. Anak kecil yang satu lagi, Werner, adalah remaja Jerman. Ia menyukai elektronika dan hal-hal terkait gelombang suara, dan ia sangat menyukai radio. Werner kemudian menjadi anggota Hitler Youth, bersekolah, dan dikirim sebagai pasukan garis depan Jerman melawan Prancis. Cerita tentang Marie-Laure dan Werner berjalan masing-masing, hingga kelak di satu titik, karena perang, jalan hidup mereka bersinggungan.

Mengingat kembali paragraf pembuka tulisan ini, saya tidak tahu apakah Doerr juga seorang penyair, atau mungkin dia senang menulis atau membaca puisi. Yang jelas, All the Light We Cannot See adalah novel yang puitis. Barangkali, novel tentang perang dengan narasi paling puitis yang pernah saya baca sejauh ini. Doerr dapat menggambarkan peluru melesat, ledakan bom granat, bangunan-bangunan runtuh, asap membubung-situasi perang yang amat chaos-dengan cara sedemikian rupa lewat narasi yang terasa lembut dan mengalun karena dibungkus metafora dan pilihan kata yang membuat saya sering lupa bahwa adegan yang sedang saya baca adalah adegan peperangan. Chaos perang yang terdapat di dalam cerita bahkan, akibat cara menulis Doerr dan narasinya itu, seringkali malah terkesan ‘indah’. Untuk bagian ini, saya sempat teringat kepada satu novel dengan tema yang lebih kurang sama: The Book Thief karangan Markus Zusak. Doerr dan Zusak menuliskan suasana perang dengan cara yang mirip, meskipun Doerr terlihat lebih detail dalam menggambarkan objek-objek.

Namun, meski narasi Doerr puitis, ia sama sekali tidak menjadi lambat. Metafora yang ia pakai dan nuansa‘lembut’dari adegan-adegan cerita tidak membuat saya terseret-seret saat membaca novelnya. Terasa aneh memang. Biasanya narasi yang puitis membuat tempo pembacaan menjadi menurun, tapi saya berhasil menyelesaikan 530 halaman All the Light We Cannot See dalam waktu kurang dari seminggu. Bagi saya, itu termasuk cepat. Ketika saya mencari penyebabnya, mungkin karena selain puitis, narasi Doerr juga filmis. Deskripsi menjadi salah satu kekuatan novel Doerr. Ia seperti penulis yang senang mengumpulkan objek-objek dan kemudian menuangkan mereka ke dalam satu paragraf. Wawasannya yang komperehensif mengenai kota (Saint-Malo), perangkat radio, sains, dan bahkan burung-burung, ia tumpahkan ke paragraf-paragraf novel, membuat tulisannya penuh dengan benda-benda-tetapi tidak membuatnya sesak.

Sedikit menjadi kejutan, setidaknya bagi saya, adalah melihat bagaimana Doerr menggunakan elemen-elemen seperti mitos dan fantasi untuk membuat All the Light We Cannot See tidak berhenti sebagai sekadar novel realis lain tentang perang dunia kedua. Diceritakan sebuah batu permata yang dinamakan Sea of Flames, memiliki mitos kuno bahwa siapapun yang memiliki dan menyimpannya, akan hidup abadi, namun akan kehilangan orang-orang di sekelilingnya yang ia cintai. Seorang komandan pasukan Nazi Jerman yang terobsesi dengan batu permata memburu batu ini, yang disimpan di museum tempat ayah Marie-Laure, si tokoh utama novel, bekerja. Berkali-kali Doerr mengaitkan peristiwa kehilangan yang terjadi sepanjang novel dengan keberadaan batu permata ini (tidak saya ketahui apakah batu permata tersebut benar-benar ada atau tidak). Saya selalu tertarik dengan novel atau cerita-cerita yang memadukan unsur realis dan unsur-unsur ‘tidak realis’ seperti mitos, legenda, atau sejarah mistis. Saya melihat hal itu sebagai usaha penulis untuk mengarang cerita yang menarik dibaca (baca: imajinatif) dan tidak sekadar jadi agregator informasi penting yang sebenarnya kini dapat dicari dengan mudah di wikipedia.

Barangkali yang tidak hadir dalam novel ini adalah perkembangan jiwa dan sikap karakter-karakternya. Meski alur cerita terbentang dalam kurun waktu yang terhitung amat lebar (1934-2014 = 70 tahun!), sama sekali tidak terdapat perubahan pada karakter. Tokoh-tokoh novel tidak berkembang, walau usia mereka terus bertambah, terutama dua tokoh sentral cerita: Marie-Laure dan Werner, yang memulai novel sebagai anak kecil dan telah menjadi remaja saat cerita berakhir. Marie-Laure dan Werner kecil sama saja dengan Marie-Laure dan Werner remaja. Suara, cara bicara, cara berpikir, keinginan-keinginan, sifat, tidak ada yang berubah, dan sebenarnya ini terasa aneh. Namun, mungkin memang hal tersebut tidak menjadi fokus Doerr, dan ia tidak menganggapnya penting. Satu lagi, suara dari setiap karakter novel terdengar sama. Marie-Laure, Werner, ayah Marie-Laure, saudara Werner, dan tokoh-tokoh sisanya kadang-kadang tidak bisa dibedakan satu sama lain. Mereka berbicara dengan cara dan intonasi yang mirip-mirip. Ini, barangkali, lebih mengganggu dari karakter-karakter yang tidak berkembang.


Untungnya, kejanggalan-kejanggalan itu tidak mengganggu pembacaan saya sama sekali. Saya tetap menikmati keseluruhan isi novel, dari awal hingga selesai. Agak aneh karena biasanya saya pasti suntuk saat membaca novel dengan kondisi-kondisi seperti saya sebutkan barusan. Mungkin karena saya ‘memaafkannya’. Saya memaklumi kekurangan-kekurangan yang saya temukan, sebab saya telah menemukan hal lain yang membuat saya terhibur dan menyukaibuku itu. Bukankah kita kadang-kadang melakukannya? Kita memaafkan kekurangan suatu buku, film, atau mungkin seorang manusia, karena kita telah menemukan hal lain darinya yang sudah cukup membuat kita bahagia. Seringkali kita tidak menyadari bahwa sesungguhnya kita tidak benar-benar menginginkan sesuatu yang sempurna. Kita hanya butuh sesuatu yang telah membuat kita bahagia, dan hal-hal seterusnya di belakang tidak lagi begitu penting. ***

The Museum of Innocence, Orhan Pamuk

$
0
0



Seberapa lama seseorang dapat mempertahankan rasa cintanya, terutama ketika cinta tersebut tidak berakhir manis? Jawabannya adalah: sembilan tahun. Ya, selama itulah seorang laki-laki bernama Kemal, menjaga dan merawat cintanya terhadap seorang gadis bernama Füsun. Setidaknya, selama sembilan tahun itu Kemal mengalami masa-masa terberatnya dalam mencintai. Saya mendadak teringat pada sebaris puisi oleh salah seorang penyair favorit saya: Jatuh cinta dan mencintai adalah dua penderitaan yang berbeda. Saya ingat membaca larik tersebut dengan tersenyum, meski saya tidak paham apa arti senyuman saya sendiri.

Buku pertama Orhan Pamuk yang saya baca adalah My Name Is Red, dan saya sangat menyukainya. Novel itu bercerita tentang misteri pembunuhan seorang seniman, berlatarkan Turki abad keenambelas. Plotnya rumit, dengan sudut pandang penceritaan yang berpindah-pindah. Pamuk terlihat lincah sekali di novel tersebut. Sebaliknya, di The Museum of Innocence, novel pertama yang ia tulis setelah meraih penghargaan Nobel Kesusastraan 2006, ia tampak lebih santai, sederhana, dan tidak ambisius. Dapat dilihat dari minimnya akrobat sudut pandang, permainan diksi, atau pun muatan konflik sosial-politik seperti yang ia tulis dalam My Name Is Red (walaupun di akhir novel terdapat permainan sudut pandang dan di sepanjang cerita Pamuk sesekali menggambarkan suasana konflik politik di Istanbul, namun ini sedikit sekali porsinya dan tidak memberi dampak kentara terhadap plot utama cerita).

Seperti My Name Is Red (Turki: Benim Adım Kırmızı, terjemahan bahasa Inggris oleh Erdağ Göknar) saya juga membaca The Museum of Innocence dalam versi terjemahan bahasa Inggris-judul aslinya Masumiyet Müzesi. Sang penerjemah, Maureen Freely, juga mengalihbahasakan beberapa buku Orhan Pamuk yang lain: The Black Book, Snow, Other Colors: Essays and a Story, dan Istanbul: Memories and the City-yang terakhir merupakan memoar sang penulis, yang ia tulis pada masa-masa terberat dalam hidupnya, di antaranya karena perceraian dan kematian ayahnya. Membandingkan hasil terjemahan Erdağ Göknar untuk My Name Is Red dan Maureen Freely untuk The Museum of Innocence barangkali bukan tindakan yang tepat, karena muatan kedua novel tersebut berbeda, bahkan cukup kentara, baik dari sisi genre, isu, teknik, maupun tendensi sang pengarang. Namun, yang bisa saya katakan setelah membaca kedua novel itu adalah, terjemahan Maureen Freely jauh lebih mudah dipahami. Tentu saja sangat mungkin ini karena cerita The Museum of Innocence lebih sederhana jika dibandingkan My Name Is Red.

The Museum of Innocence, dalam bentuk maupun jiwanya adalah suatu novel roman. Ia mengisahkan cerita cinta pria berusia tigapuluhan yang datang dari keluarga kelas atas di Istanbul dengan seorang gadis dari keluarga sederhana, yang belakangan diketahui memiliki hubungan darah (walau hanya sepupu jauh) dengan si pria. Perbedaan kelas sosial dan ekonomi antara dua tokoh sentral novel ini memang akan dibahas, tapi ternyata tidak menjadi masalah yang amat penting. Konflik tetap berakar pada obsesi dan penderitaan si narator yang juga tokoh utama, Kemal. Rasa cintanya terhadap si gadis, Füsun, membuatnya mengalami masa-masa terberat dalam hidupnya.

Cerita dimulai dengan adegan percintaan Kemal dan Füsun di sebuah apartemen, yang kelak akan menjadi tempat Kemal menyimpan barang-barang yang ia ‘curi’ dari Füsun (juga, nantinya, dari rumah keluarga gadis itu). Adegan tersebut berlangsung pada pertengahan 1975-latar waktu ini nanti akan digunakan pula untuk, salah satunya, menggambarkan kondisi politik pada masa itu-dan dideskripsikan dengan sangat rinci. Saya bahkan bisa membayangkan suasana musim semi dan cuaca dingin di dalam ruangan tempat Kemal dan Füsun sedang bercinta, juga melihat sebelah anting-anting yang terlepas dan melayang di udara, jatuh dari telinga Füsun. Bab pertama novel diberi judul The Happiest Moment of My Life, dan kontradiktif terhadap paragraf terakhir bab tersebut, yang mana Orhan Pamuk segera memberitahu masalah yang dialami oleh tokoh utama novelnya, yakni bahwa ternyata Kemal, yang baru saja usai bercinta dengan Füsun, telah memiliki tunangan gadis lain. Bab demi bab berikutnya adalah tentang bagaimana Kemal menjalani hubungan terlarangnya dengan Füsun.

Meski di sepanjang cerita kita akan melihat kenestapaan Kemal karena cintanya terhadap Füsun merupakan hal yang terlarang, tidak lazim, dan terjadi pada waktu yang tidak tepat, pria tersebut terus-menerus berusaha menunjukkan kepada pembaca bahwa ia berbahagia dengan keadaan tersebut. Ia berbahagia dengan apa yang ia rasakan, cinta yang ia miliki terhadap Füsun, di samping rencana masa depan yang terpampang di hadapannya bersama tunangannya, Sibel. Orhan Pamuk memperlihatkannya melalui narasi sudut pandang pertama yang amat intim dan personal. Kemal menceritakan apapun yang ia pikirkan dan rasakan dengan amat rinci, sehingga meski ia menceritakan tuturannya kepada pembaca umum, saya merasa seperti sedang berhadap-hadapan dengan seorang kawan lama dan mendengarkannya berkisah tentang pahit-manis cinta yang ia alami.

The Museum of Innocence yang menjadi judul novel, adalah nama museum yang didirikan oleh Kemal. Alih-alih menghimpun benda-benda bersejarah, museum tersebut menyimpan barang-barang pribadi atau benda apapun yang memiliki keterkaitan dengan gadis yang ia cintai hingga akhir hayatnya, Füsun. Tentu saja, benda-benda pribadi itu juga bisa dianggap bersejarah, setidaknya bagi Kemal. Menariknya, seakan ingin bermain-main dan mengaburkan batas antara fiksi dan realitas, Orhan Pamuk juga mendirikan museum dengan nama yang sama. The Museum of Innocence adalah satu museum di Çukurcuma, Beyoğlu, salah satu distrik di Istanbul, Turki. Isinya juga sama seperti yang dibangun oleh Kemal dalam novel The Museum of Innocence, benda-benda milik atau yang memiliki hubungan dengan Füsun, sehingga membuat kita boleh bertanya apakah Füsun dan tokoh-tokoh lain di novel yang ditulis Pamuk adalah pseudonim dari orang-orang yang memang ada di dunia nyata. Tapi, tentu saja, ini tidak begitu penting.


Membaca The Museum of Innocence, pada beberapa bagian, mengingatkan saya dengan The Great Gatsby milik Fitzgerald. Kedua tokoh utama di novel tersebut, Kemal dan Jay Gatsby, sama-sama seorang pria kaya-raya yang mengalami kisah hidup tragis karena jatuh cinta. Hanya saja, jika Jay Gatsby pada awalnya berasal dari keluarga miskin, tidak demikian dengan Kemal. Kemal memang datang dari keluarga yang telah kaya, persis seperti Orhan Pamuk. Sekadar informasi, Pamuk sempat dikritik atas status sosial dan ekonominya. Ia dianggap tidak benar-benar memahami kehidupan rakyat Istanbul karena ia tidak pernah hidup susah, dan oleh sebab itu ia tidak berhak menulis apapun atau (sok) bersimpati terhadap rakyat Istanbul. Namun, Orhan Pamuk berkata di suatu wawancara, bahwa jikapun ada ‘tugas moral’ yang diemban oleh seorang penulis, itu adalah berempati pada orang-orang yang memiliki kondisi berbeda dengan dirinya. ***

The Festival of Insignificance, Milan Kundera

$
0
0




Lucu. Itu kesan yang saya dapat setiap kali membaca buku Milan Kundera. Saat kali pertama membaca The Book of Laughter and Forgetting, saya sudah memperoleh kesan bahwa orang ini senang membicarakan sesuatu yang serius dengan cara yang tidak serius. Ia bicara tentang politik, malaikat, cinta, dengan selera humor yang menyenangkan, sampai-sampai kita merasa tidak yakin apakah harus menanggapinya dengan serius atau tidak. Meski demikian, sebenarnya Kundera selalu serius. Ia pernah bicara kepada istrinya, Vera, seperti dikutip dan tertulis pada lembar jaket buku The Festival of Insignificance, bahwa ia punya ambisi besar dalam membicarakan hal-hal serius dengan cara yang sama sekali tidak serius. Sebagai respons atas keinginannya itu, Vera berkata kepadanya: “Bersiaplah, kelak kamu akan menemui banyak musuh.”

Tetapi saya tidak percaya bahwa Milan Kundera akan menemui banyak musuh. Malahan sebaliknya. Ia akan mendapat banyak sekali teman. Tentu saja ini akan terjadi jika semua orang memiliki selera humor yang setara dengan dirinya. The Festival of Insignificance (sejak kali pertama mengetahui judul buku barunya ini saya kerap membayangkan bagaimana terjemahan bahasa Indonesia yang bagus untuknya: “Parade Hal-Hal Sepele”?) adalah buku yang dipenuhi hal-hal sepele: pusar wanita, ketidakhadiran diri seseorang, hingga rasa kebelet buang air kecil. Tetapi di balik hal-hal sepele yang ‘dirayakan’ Kundera lewat narasinya yang anekdotal, sebenarnya tersimpan permenungan akan hal-hal yang lebih subtil, semuanya seputar manusia dan kehidupan.

Misalnya saja, tokoh Alain yang muncul pada halaman pertama novel-sebelumnya saya sempat membaca bagian Alain ini di laman New Yorker daring sebagai satu cerita pendek yang utuh, meski tidak tahu bahwa ternyata cerita pendek tersebut adalah bagian dari novel Kundera yang kelak akan terbit-berkontemplasi memikirkan pusar wanita. Ia masuk ke dalam permenungannya akan pusar wanita setelah melihat beberapa gadis mengenakan pakaian yang memperlihatkan pusar mereka. Ia bertanya-tanya, jika biasanya bagian tubuh yang ‘dipertontonkan’ adalah buah dada, paha, dan bokong, karena pada bagian-bagian tersebut dianggap memiliki nilai erotis dan sesuatu yang istimewa, apakah kini zaman telah berubah, sehingga nilai erotis tersebut tidak lagi terletak di sana, melainkan telah berpindah ke pusar? Mengapa perempuan memperlihatkan pusarnya? Apa signifikansi sebentuk pusar? Belakangan, kita akan tahu, bahwa permenungan Alain perihal pusar ini memiliki kaitan dengan satu bagian dari masa lalunya bersama ibunya. Pusar menjadi hal yang tampak tidak penting sekaligus (ternyata) penting.

Satu hal tentang ketidak-signifikan-an yang cukup menarik dibahas oleh Kundera adalah ketika salah satu tokohnya bercerita tentang seorang temannya. Si teman berada di suatu pesta, ketika di sana ada seorang perempuan cantik nan menarik. Seorang laki-laki, yang juga rekan dari si teman, tampaknya adalah sosok ekstrovert yang berusaha mencari perhatian si perempuan, seperti juga beberapa laki-laki lain dalam pesta tersebut. Si teman, alih-alih ikut berusaha merebut perhatian si perempuan, malah ngeloyor begitu saja meninggalkan area pesta, dan tidak satu pun yang menyadari bahwa ia sudah tidak berada di kerumunan, saking tidak signifikannya sosoknya. Anehnya, si perempuan malah ngeh, dan alih-alih terpikat oleh beberapa laki-laki yang berusaha menarik perhatiannya, ia malah terdorong untuk mengikuti si teman yang tadi diam-diam ngeloyor pergi. Insignifikansi seseorang dan ketidakhadirannya ternyata menjadi sesuatu yang menarik perhatian perempuan, ketimbang mereka yang merayakan kesignifikanan dan menekankan betapa pentingnya diri mereka.

Ide yang diangkat Milan Kundera di The Festival of Insignificance ini menarik, karena di tengah-tengah orang-orang yang berusaha menjadi penting dengan berbagai cara, Kundera ingin berkata bahwa dunia ini juga tempat bagi hal-hal tidak penting, lho, dan demikian hal-hal tidak penting tersebut layak dirayakan. Seperti pernah dikatakan oleh Haruki Murakami, “Bukankah hal-hal sepele juga memiliki tempatnya di dunia yang jauh dari sempurna ini?” Narasi anekdotal Kundera mengingatkan saya bahwa untuk mampu menikmati hidup secara utuh, kita tidak hanya harus meraih hal-hal besar dan penting, tetapi juga sangat perlu menengok, memberi perhatian khusus, bahkan merayakan-menyelenggarakan parade, festival-atas hal-hal sepele yang mengitari hidup kita.

Omong-omong soal Milan Kundera, saya baru teringat bahwa ia, meski lahir di Ceko, bisa juga disebut penulis Prancis. Ia lahir pada tahun 1929 di Brno, tetapi kemudian hidup dalam pengasingan di Prancis sejak 1975, dan menjadi warga berkebangsaan Prancis sejak 1981. Beberapa karya awalnya ditulis dalam bahasa Ceko, seperti The Book of Laughter and Forgetting (diterjemahkan ke bahasa Indonesia menjadi “Kitab Lupa dan Gelak Tawa”) dan The Unbearable Lightness of Being, sementara itu karya-karyanya yang lebih mutakhir seperti Slowness, Identity, dan yang paling baru, The Festival of Insignificance, ditulis Kundera dalam bahasa Prancis. Saya membaca The Festival of Insignificance edisi bahasa Inggris, hasil terjemahan Linda Asher dari bahasa Prancis. Usut punya usut, Linda Asher juga menerjemahkan beberapa karya Milan Kundera yang lain, sekaligus beberapa penulis Prancis lain, salah satunya Victor Hugo. Sesekali saya membayangkan, apa yang dirasakan Milan Kundera saat menuliskan karyanya dalam bahasa yang berbeda? Apakah ia pernah merasakan ada ekspresi-ekspresi yang bisa ia gambarkan dalam bahasa Ceko tetapi tidak melalui bahasa Prancis, misalnya? Tetapi, bagi pembaca, sebenarnya ini tidak sangat penting.

Yang lebih penting dari Milan Kundera untuk barangkali dijadikan panutan, baik oleh seorang penulis, pembaca, maupun manusia pada umumnya, adalah selera humornya yang unik. Kehidupan yang amat serius ini juga perlu dan layak ditertawakan. Beberapa hal dalam hidup hanya dapat dimengerti-atau mungkin lebih tepat dinikmati-lewat guyonan.  Sejauh yang mampu saya lihat, tidak banyak penulis yang memiliki tendensi berguyon seasyik Milan Kundera. Lebih-lebih lagi, narasi dalam format anekdotnya, yang sederhana dan tidak pretensius. Membaca tulisan-tulisan Kundera membuat saya merasa sedang mengakrabi kembali fragmen-fragmen anekdot yang sewaktu kecil dulu sering saya temukan di buku-buku pelajaran bahasa Indonesia, biasanya dalam format baku “kisah kakek-nenek” yang divariasikan muatannya. Kecerdasan anekdot, kita tahu, terletak pada kemampuannya menertawai kehidupan dan mengubah hal-hal serius menjadi joke yang menghibur. Dan, meski baru membaca dua dari sekian banyak bukunya, saya kira tidak berlebihan kalau saya bilang bahwa Milan Kundera adalah raja anekdot dalam dunia sastra kontemporer. ***

Tips Menulis dari Stephen King

$
0
0


"Kamu menjadi penulis sesederhana karena kamu membaca dan menulis." - Stephen King


20 tips menulis dari Stephen King:

1. Menulislah untuk dirimu sendiri, baru kemudian memikirkan pembaca.

2. Jangan gunakan kalimat pasif.

3. Jangan gunakan kata keterangan.

4. Jangan gunakan kata keterangan, terutama setelah frasa 'ia berkata'. Misal: 'Pencet tombol hijau itu,' ia berkata dengan tegas.

5. Tidak perlu terlalu memikirkan tata bahasa yang kelewat sempurna. Poin dari bercerita bukanlah menggunakan bahasa yang sempurna, melainkan membuat pembaca terlibat dalam cerita.

6. Keajaiban ada di dalam dirimu. jangan menulis dengan rasa takut. percaya dirilah saat menulis.

7. Baca, baca, dan baca. Kalau kamu tidak punya waktu untuk membaca, kamu tidak akan punya waktu atau bahan untuk menulis.

8. Jangan mengkhawatirkan ekspektasi orang lain.

9. Matikan televisi saat kamu menulis.

10. Kamu punya waktu tiga bulan untuk menyelesaikan naskahmu. jangan terlalu lama.

11. Salah satu rahasia menjadi penulis yang sukses adalah: menjaga kesehatan.

12. Tulislah satu kata demi satu kata.

13. Singkirkan segala macam distraksi. Jauhkan ponsel dan bentuk-bentuk distraksi lain yang mengganggu konsentrasimu menulis.

14. Menulislah dengan gayamu sendiri.

15. Gali lebih dalam cerita yang akan kamu tulis.

16. Beristirahatlah sesekali.

17. Singkirkan bagian cerita yang membosankan dan jangan ragu untuk menghapus (membunuh) tokoh-tokoh kesayangan atau bagian yang kamu sukai, jika memang mereka tidak berguna.

18. Hasil risetmu jangan sampai lebih dominan dari cerita yang ingin kamu sampaikan.

19. Kamu menjadi penulis sesederhana karena kamu membaca dan menulis. cara belajar menulis yang paling baik adalah dengan membaca yang banyak dan menulis yang banyak.

20. Menulis adalah tentang bersenang-senang.

Tips menulis dari Stephen King ini saya terjemahkan secara bebas dari sini: Stephen King's Top 20 Rules for Writers 

Identity, Milan Kundera

$
0
0



Meski bukan karyanya yang paling saya favoritkan, saya senang membaca novel pendek Milan Kundera yang berjudul Identity. Karena di dalam buku ini, lewat narasi tentang seorang laki-laki, seorang perempuan, dan hubungan percintaan mereka, Kundera berbicara tentang banyak hal: persahabatan, kehadiran anak kecil, cinta, kebebasan individu, ambisi, dan tentu saja, identitas.

Ini adalah buku ketiga dari Kundera yang saya baca, setelah The Book of Laughter and Forgetting dan The Festival of Insignificance. Saya suka dengan cara Milan Kundera menulis. Terkesan sederhana dan mudah. Namun, sesungguhnya dipenuhi pola dan perhitungan. Pada suatu wawancara di The Paris Review, ia berkata bahwa hampir semua bukunya ia tulis dalam tujuh bagian, dan menurutnya itu bentuk paling ideal dalam menyampaikan hal-hal yang ingin ia sampaikan melalui karyanya. Meski demikian, yang saat ini saya baca tidak ia tulis menggunakan pola tersebut. Ya, saya rasa penulis tidak harus selalu mematuhi aturan yang ia ciptakan sendiri.

Seperti yang telah saya duga sebelumnya, walau ukurannya tipis, Identity bicara tentang cukup banyak hal. Mengingatkan saya bahwa seorang penulis meski efektif dalam menyampaikan gagasan-gagasannya. Kalau perlu, satu halaman dapat memuat banyak ide, dan tidak membuang-buang kertas hanya untuk memanjang-manjangkan narasi yang tidak berguna. Walau, ya, tentu saja ada banyak novel tebal dalam ukuran epik yang juga bagus. Namun, seringkali penetrasi yang dimunculkan novel-novel tipis, seperti Bukan Pasarmalam (Pramoedya Ananta Toer), Pedro Paramo (Juan Rulfo), dan Dengarlah Nyanyian Angin (Haruki Murakami)-sekadar menyebut beberapa novel tipis favorit saya-terasa lebih menghentak, mengena, dengan narasi yang singkat. Milan Kundera melakukannya lewat Identity.

Berikut adalah beberapa hal yang saya temukan sepanjang membaca novel tipis tersebut.


Cinta

Menurut Milan Kundera: tatapan seseorang yang sedang jatuh cinta adalah tatapan yang mengisolasi. ia bilang di bukunya, 'However much he may tell her he loves her and thinks her beautiful, his loving gaze could never console her. because the gaze of love is the gaze that isolates.' Alih-alih memandang tatapan cinta adalah tatapan yang menenangkan, Kundera berpendapat berbeda.

Kundera juga berkata bahwa, kita bisa saja merasa dan bahkan tenggelam dalam sebentuk nostalgia, bahkan ketika orang yang kita cintai berada di hadapan kita. Bukankah itu merupakan hal yang aneh? Bila syarat merindukan seseorang adalah ketidakhadirannya, bagaimana bisa kita tenggelam dalam perasaan rindu, nostalgia, terlempar ke masa lalu yang jauh, saat orang yang kita cintai sebenarnya sedang berada di dekat kita, di samping kita?

Perasaan seseorang, kata Kundera, adalah sesuatu yang tidak dapat diatur dan dikendalikan oleh apapun. tidak ada yang bisa mencegah perasaan, atau lebih tepatnya hati seseorang, dari merasakan sesuatu, apalagi menyensornya. itu artinya: bahkan ketika kita merasa 'memiliki' seseorang karena ia adalah kekasih kita, kita tidak punya kontrol sama sekali atas apa yang sedang ia rasakan dalam hatinya (apakah itu untuk yang terbaik atau terburuk).


Keheningan

Tidak ada cinta yang bisa bertahan dalam keheningan, kata Milan Kundera. Meskipun sebenarnya ia juga berkata: “Two people in love, alone, isolated from the world, that's very beautiful.” Menurutnya, dalam sepasang manusia yang sedang jatuh cinta dan saling mencintai, percakapan merupakan sesuatu yang niscaya dan dibutuhkan.

Tetapi, seakan membantah pendapatnya sendiri, ia berkata bahwa kamu tidak dapat menilai besarnya afeksi, rasa cinta seseorang kepada pasangannya dan sebaliknya, berdasarkan jumlah kata-kata yang mereka pertukarkan, berdasarkan sebarapa banyak mereka bercakap-cakap. Keheningan juga adalah cara seseorang mendalami, meresapi, bahkan menyampaikan dan menyatakan cintanya.


Anak

Betapapun kita tak acuh terhadap dunia, kehadiran seorang anak akan membuat kita secara otomatis berubah menjadi peduli, ikut dalam perbaikan dunia, dan mencoba memahami bahkan menerima kebodohan-kebodohan yang terjadi di dalamnya. kita tidak bisa menolak dan membuang wajah kita dari dunia yang memusingkan kita sesaat setelah kita memiliki seorang anak. Kenapa? Ya, karena ke dalam dunia itulah, kita akan mengirim anak-anak kita.


Persahabatan

Persahabatan, menurut milan kundera, adalah bukti bahwa ada sesuatu di dunia ini yang lebih kuat daripada ideologi, agama, bahkan bangsa dan negara. Persahabatan merupakan aliansi melawan ketidakberuntungan, yang tanpanya, seseorang tidak akan sanggup bertahan menghadapi musuh-musuhnya di dunia.


Ambisi

Bila kamu tidak memiliki keinginan untuk meraih sesuatu, tidak berhasrat untuk menggapai kesuksesan (apapun pengertian kesuksesan bagimu), kamu sebenarnya sedang mempersiapkan dirimu menuju keruntuhan.


Kebebasan

Tidak ada kebebasan, kata Milan Kundera, selain kebebasan memilih untuk hidup dalam kepahitan atau kegembiraan. Dan, sesuatu atau seseorang yang merupakan musuh dari kebebasan, tidak berhak mendapatkan kebebasan.

*

Secara umum, Identity ingin berkata bahwa seorang individu dapat memiliki lebih dari satu macam kepribadian, atau identitas, yang muncul di waktu-waktu berbeda. Ketika kita mengira telah mengenal seseorang dengan baik, sebenarnya kita hanya mengenal satu bagian dari dirinya. Manusia bukan seperti permukaan bola yang bila dilihat dari sisi mana pun, akan menampakkan bagian yang sama. Manusia adalah sesuatu yang lebih menyerupai permukaan kristal, terdiri atas banyak fragmen, yang bila kita lihat dan amati dari sudut berbeda, maka akan menampakkan hal yang berbeda pula, seringkali sesuatu yang kemudian membuat kita terkejut dan tidak menyangka. Melalui kisah cinta sepasang kekasih, Kundera dengan Identity memperlihatkan bagaimana seorang manusia dapat bertahan hidup dalam dualitas dan kegandaan sifat maupun karakter, dan bagaimana orang lain bereaksi dan menyikapi hal tersebut.

Membaca Identity membuat saya kian yakin terhadap efektifnya kisah cinta sebagai pembungkus hal-hal lain yang menjadi agenda penting seorang penulis. Seluruh kisah Identity sebenarnya adalah kisah cinta, tetapi tidak semata-mata sebentuk kisah cinta, karena kisah cinta tersebut hanya menjadi jembatan bagi Kundera untuk menyampaikan hal-hal lain, di antaranya yang sudah saya rangkum di atas. Saya kira selamanya kisah cinta akan dapat menyentuh lebih banyak orang ketimbang kisah-kisah lain, dan dengan demikian menjadi alat paling ampuh dalam menyampaikan hal-hal yang tidak begitu mudah dipahami, seperti politik, filsafat, konflik sosial, dan seterusnya. Kisah cinta yang tampak mudah dan klise menjadi kaya dan berguna ketika kita menemukan bahwa ternyata di dalamnya terkandung hal-hal selain cinta.


Tapi, tanpa mendedahinya dengan ide-ide dan pemikiran filsafat, konflik sosial dan politik, bukankah kisah cinta itu sendiri sebenarnya sudah merupakan sesuatu yang rumit? ***

Etgar Keret

$
0
0



Sebelum bertemu dengan cerita-cerita pendek Etgar Keret, saya belum pernah sekalipun membaca karya penulis dari Israel. Dari Jepang, saya membaca Haruki Murakami, Natsume Soseki, dan Yasunari Kawabata; dari Jerman saya membaca Hermann Hesse; dari Amerika Latin saya membaca Gabriel Garcia Marquez dan Mario Vargas Llosa; tapi belum pernah saya membaca karya penulis Israel. Fakta bahwa negara tersebut termasuk salah satu negara yang memiliki kisah paling menarik (sejarah maupun konfliknya), membuat saya bertanya-tanya kepada diri sendiri mengapa belum pernah satu kali pun sepanjang sejarah membaca saya, saya membaca karya penulis yang berasal dari sana. Tetapi, syukurlah, setelah suatu hari melihat namanya disebut dalam percakapan singkat di Twitter bersama dua orang teman penulis sebaya, akhirnya saya mencari dan menemui karya-karya Etgar Keret.

Pertemuan pertama saya dengan karya Etgar Keret adalah cerita pendek berjudul “Creative Writing”. Saya membacanya di The New Yorker. Saya sudah agak lupa bagaimana isinya. Lebih-kurangnya, cerita itu mengisahkan sepasang suami-istri yang mengikuti kelas penulisan kreatif pada saat pernikahan mereka sedang bermasalah. Yang jelas, saya ingat cerita itu lucu, agak aneh, dan menyenangkan. Begitulah kesan pertama saya terhadap Etgar Keret: lucu, aneh, dan menyenangkan. Dan itu lebih dari cukup bagi saya untuk mencari karya-karyanya yang lain.

Namun, saya harus menunda rasa bersemangat saya, karena setelah pergi ke beberapa toko buku impor yang biasanya saya datangi, saya tidak dapat menemukan satu pun buku Keret. Syukurlah, seorang teman penulis mengirimi saya e-book tiga karya Keret: Suddenly, A Knock on the Door, The Nimrod Flip Out, dan The Girl on the Fridge. Tapi karena saya belum terbiasa membaca e-book, mereka pun hanya berakhir sebagai file yang tidak pernah saya sentuh. Hanya satu kali saya membaca The Girl on the Fridge versi e-book dan, meski saya menyukainya cerita yang saya baca kala itu, saya tak meneruskan membacanya.

Akhirnya, lewat suatu toko buku daring yang sempat mengumumkan bahwa mereka dapat mencarikan buku-buku yang ingin dicari oleh pelanggannya, saya mencoba peruntungan: saya memesan kepada mereka buku-buku Etgar Keret yang saya tahu. Mereka hanya dapat menemukan The Girl on the Fridge dan buku Keret yang paling baru, The Seven Good Years: A Memoir. Saya memutuskan hanya membeli The Girl on the Fridge. Ketika buku itu telah saya pegang, tidak dapat menahan rasa penasaran, saya langsung membacanya.

Seperti kebanyakan karya Etgar Keret, The Girl on the Fridge merupakan kumpulan cerita pendek. Cerita-cerita yang ia tulis berukuran super-pendek, hanya sepanjang kira-kira 500-700 kata. Dalam buku, itu biasanya berarti tiga sampai empat halaman. Itu pun sudah yang paling panjang. Kebanyakan hanya satu sampai dua halaman. Saya teringat kepada cerita-cerita pendek para penulis Amerika Latin. Beberapa bulan sebelumnya, saya membaca antologi cerita pendek Amerika Latin versi terjemahan bahasa Indonesia oleh Ronny Agustinus, berjudul Matinya Burung-Burung. Buku yang bagus sekali. Membaca cerita-cerita pendek Etgar Keret di The Girl on The Fridge membuat saya teringat kepada buku tersebut.

Dan, seperti cerita-cerita super-pendek para penulis Amerika Latin pula, cerita-cerita Etgar Keret kocak dan satir. Ia tidak hanya menulis hal-hal yang terjadi di Israel, tapi juga kadang-kadang menulis tentang cinta dan rumah tangga. Salah satu favorit saya adalah cerita pendeknya berjudul Crazy Glue dan Nothing. Yang pertama tentang seorang istri yang merekatkan telapak kakinya ke langit-langit rumah menggunakan lem dan yang terakhir tentang seorang perempuan yang memiliki kekasih seorang ‘nothing’. Selain kocak dan satir, beberapa cerita pendek Etgar Keret juga bernuansa sureal. Hal lain lagi yang menyenangkan.

Saya kerap iri pada penulis-penulis yang memiliki selera humor bagus. Mereka dapat menulis sesuatu yang penting dan membuat pembacanya berpikir sembari tidak lupa membuat kita tertawa. Saya kira itu hal yang amat sulit dilakukan: membuat orang lain berpikir sekaligus tertawa, atau tertawa sekaligus berpikir. Ketika menyebut soal humor, saya teringat pada Milan Kundera. Humor adalah satu hal yang tidak bisa dilepaskan dari penulis Ceko yang kini tinggal di Prancis itu. Kini, setelah membaca The Girl on the Fridge, ada nama lain yang mendekam dalam kepala saya ketika saya membicarakan rasa iri terhadap penulis-penulis yang memiliki selera humor bagus: Etgar Keret.

Pilihan bentuk super-pendek dan kadang-kadang nyaris seperti flash-fiction yang diambil Etgar Keret pada banyak karyanya tidak lantas memunculkan rasa tidak puas saat membaca cerita-cerita pendeknya, melainkan sebaliknya. Ruang yang amat sempit membuat Keret menyampaikan gagasannya dengan amat efektif. Ia dapat menyampaikan satu hal hanya dalam beberapa paragraf, yang oleh penulis lain sekaliber dirinya bahkan di atasnya, barangkali membutuhkan puluhan hingga ratusan halaman. Keefektifan berucap inilah yang dimiliki Keret, selain karakter-karakter yang juga amat unik dan terkadang, ya, aneh.

Selain melontarkan ingatan saya pada cerita-cerita super-pendek dari para penulis Amerika Latin, cerita-cerita pendek Etgar Keret juga mengingatkan saya pada seorang penulis lain yang juga saya sukai: Junot Díaz. Ia penulis asal Republik Dominika. Favorit saya darinya tentu saja novel The Brief Wondrous Life of Oscar Wao. Walaupun kumpulan cerita pendeknya This Is How You Lose Her juga menarik, tapi tidak cukup mengalahkan kekaguman saya terhadap novelnya yang meraih Pulitzer Prize itu. Yang membuat saya teringat pada Junot Díaz adalah cara berbahasa Etgar Keret dalam cerita-ceritanya: simpel, bergaya slang, dan penuh umpatan. Mereka juga memiliki selera humor dan cara pandang terhadap dunia yang mirip-mirip. Mereka menertawai dan membuat lelucon atas hal-hal serius dalam kehidupan mereka sendiri, atau lingkungan sekitarnya. Saya bahkan merasa bila Junot Díaz terlahir sebagai seorang Yahudi di Israel, maka ia akan menjadi Etgar Keret. Atau sebaliknya.


Perkenalan dengan Etgar Keret adalah perkenalan yang sangat menyenangkan. Saya hanya butuh waktu dua malam untuk selesai membaca The Girl on the Fridge. Caranya bercerita unik dan tidak terasa dirancang-rancang. Seolah-olah keanehan, surealisme, dan kenyelenehan cara pandang dalam narasi, dialog, maupun karakter-karakter pada cerita-ceritanya merupakan hal alamiah yang telah ia miliki sejak bayi. Saya berharap dapat membaca buku-buku Etgar Keret yang lain. Saya juga berharap dapat menemukan lebih banyak lagi penulis seperti Etgar Keret. Penulis yang lucu, aneh, dan menyenangkan. ***

20 Buku Favorit di 2015

$
0
0



Tahun ini, saya tidak banyak membaca. Bahkan, jauh lebih sedikit ketimbang dua tahun sebelumnya, di mana rata-rata saya membaca setidaknya seratus buku sepanjang satu tahun. Tahun ini, menurut catatan resmi Goodreads (saya sering menggunakan media sosial tersebut untuk merekam perjalanan membaca saya) saya hanya membaca 57 buku, terdiri dari novel, buku puisi, buku cerita pendek, dan nonfiksi. Jika ditambah dengan beberapa buku yang tidak terdapat datanya di Goodreads sehingga saya tidak bisa mencatatkannya di sana, kira-kira saya hanya membaca 60 buku lebih sedikit.

Jumlah yang amat sedikit bila dibandingkan dengan dua tahun sebelumnya. Namun, saya justru merasa gembira, karena dari yang sedikit itu, tahun ini saya lebih sering menemukan buku bagus. Oleh karena itu, jika tahun sebelumnya saya hanya memilih sepuluh buku dalam daftar buku favorit yang saya baca, maka tahun ini saya menambahnya menjadi dua puluh. Semata-mata karena saya tidak bisa memangkasnya menjadi hanya sepuluh buku karena saya menyukai seluruh dua puluh buku ini.

Daftar dua puluh buku favorit yang saya baca di 2015 ini bisa juga dibaca sebagai rekomendasi dari saya jika ada yang sedang mencari bacaan baru. Perlu dicatat bahwa tidak semua dari daftar ini adalah buku yang terbit pada tahun 2015, bahkan kebanyakan terbit sudah lama. Tetapi buku-buku tersebut baru saya baca di tahun 2015. Demikianlah saya susun daftar ini semata untuk mengingat kembali apa saja yang sudah saya baca dan berbagi informasi bacaan favorit karena, ya, bukankah itu menyenangkan, saling berbagai bacaan kesukaan?


Misteri pembunuhan seorang seniman ilustrasi di Turki abad ke-16. Novel yang padat informasi, narasi dengan intensitas tinggi, cara bertutur yang unik, dan dipenuhi cerita-cerita berbingkai. Penuturan dari berbagai sudut pandang orang pertama membuat teka-teki dan misteri di dalamnya kian kentara terasa. Salah satu novel yang menurut saya wajib dibaca oleh semua orang, setidaknya sekali seumur hidupnya.


Kisah cinta yang berujung tragis, antara seorang laki-laki kelas atas dengan seorang gadis kelas bawah di Istanbul pada tahun 1975, berbalut obsesi dan intrik-intrik. Melankoli kota dan individu-individu sangat terasa lewat narasi yang jernih dan rinci, pula penuh deskripsi tempat, adegan, dan suasana. Roman yang menunjukkan dengan baik bagaimana seorang manusia kadang tidak dapat membedakan antara perasaan cinta dan obsesi.


Memutarbalikkan paradigma manusia akan arti kematian dan kehidupan. Novel tipis yang menghentak kepala, jika tidak meruntuhkan gagasan yang selama ini telah terbangun di diri kita, dalam hal memandang dua topik tersebut: mati dan hidup.

4.    Sejarah Tuhan, Karen Armstrong

Buku nonfiksi terbaik yang saya baca tahun ini. Memuat informasi pengantar yang cukup komperehensif tentang sejarah agama-agama di dunia. Tidak hanya agama samawi, tetapi bahkan yang lebih tua lagi, mulai dari cerita tentang keberadaan dan penyembahan dewa-dewa, hingga munculnya kepercayaan ateis dengan ragam sub-lininya. Ditulis dengan jernih dan mudah dipahami. Sangat saya rekomendasikan bagi yang tertarik mengetahui bagaimana hubungan manusia dengan agama, tuhan, dan ketuhanan.

5.    Sejarah Islam, Karen Armstrong

Buku yang memuat secara ringkas namun cukup lengkap tentang perjalanan agama Islam, salah satu agama dengan penganut terbanyak di dunia, semenjak kelahirannya seribu empat ratus tahun yang lalu, hingga perkembangannya dari masa ke masa, sampai sekarang. Ditulis dengan objektif dan menyeluruh. Salah satu referensi penting bagi yang ingin mengenal sejarah Islam.


Bertahanlah hingga separuh buku, maka akan terasa betapa serunya novel ini. Jangan kalah dengan rasa bosan yang mungkin mendera sejak halaman pertama hingga seratus lima puluhan. Begitu memasuki paruh kedua buku, plot akan semakin menarik dan ketegangan semakin intens. Dialog-dialog yang mengalir di meja persidangan menciptakan keseruan yang teramat. Buku terbaik tentang bagaimana manusia gemar menghakimi manusia lain yang tidak ia kenal apalagi pahami.


Novel tentang politik memori dan amnesia massal. Ditulis dengan keseriusan yang tersamar di balik selera humor yang menyenangkan dari penulisnya. Kocak, sekaligus bikin merenung. Salah satu dari sekian karya Milan Kundera yang penting dibaca.


Kisah hubungan cinta (relationship) seorang laki-laki dan seorang perempuan yang disisipi pemikiran-pemikiran mendalam Kundera soal psikologi manusia, persahabatan, ambisi, dan identitas individu. Pertanyaan-pertanyaan tentang apakah yang dapat dilihat sebagai identitas sebenarnya dari seorang individu mewarnai adegan demi adegan yang dirangkai lewat plot yang menarik.

Salah satu karya Milan Kundera yang paling ringan, sekaligus tidak ringan. Membicarakan dan mengulik hal-hal paling tidak signifikan dari manusia: pusar, rasa ingin kencing, dan ketidakberadaan. Kocak dan penuh anekdot-anekdot yang bikin ngakak sekaligus mikir.


Buku terbaik dari Murakami. Tebal, panjang, dan intens. Seperti biasa, ditulis dengan gaya realis sekaligus surealis. Memasukkan di dalamnya adegan-adegan yang membuat pilu dan bergidik dari perang Vietnam, tanpa kehilangan elemen sureal yang menjadi ciri khas dari setiap narasinya. Sesekali pula kompleks dan mengecoh.


Semacam fiksi-sains yang tidak sains-sains amat, tapi sebagaimana buku-buku Murakami yang lain, tetap enak dibaca dan sangat page turner. Tentang seorang karyawan IT yang ternyata dijebak dalam sebuah proyek ambisius milik profesor yang mempekerjakannya, yang membuatnya, melalui serangkaian adegan aneh dan ganjil dengan nuansa petualangan, menemui ‘akhir dunia’nya. Penutup cerita buku ini amat memukau dan membuat saya melemparkannya ke dinding saking kesalnya.


Buku kumpulan cerita pendek yang ditulis Murakami yang terinspirasi oleh peristiwa gempa di Kobe tahun 1995. Berisi enam cerita pendek yang terhitung agak panjang jika memakai ukuran cerita pendek di surat kabar Indonesia. Favorit saya adalah Super-Frog Saves Tokyo, bercerita tentang seorang laki-laki yang pulang ke apartemen dan menemukan seekor katak raksasa telah menunggunya dan meminta bantuannya untuk bertarung melawan seekor cacing raksasa di saluran bawah tanah kota untuk menyelamatkan Jepang.


Proyek ‘istirahat’ Murakami setelah berlelah-lelah menulis 1Q84. Minim unsur surealis dan dalam banyak hal mirip Norwegian Wood. Tentang empat sekawan dengan karakternya masing-masing, yang terpecah karena satu hal, dan membuat sang tokoh utama, Tsukuru Tazaki, yang paling merasa tidak memiliki apa-apa dibanding tiga temannya, hidup dalam penyendirian dan keterasingan terhadap banyak hal dalam hidupnya. Depresif, seperti semua buku Murakami.


Novel perang yang puitis, disebabkan oleh efek deskripsinya yang teramat detail. Penulisnya seperti menggunakan kaca pembesar dalam setiap adegan, untuk melihat objek-objek di adegan tersebut dengan sangat dekat hingga terlihat kerinciannya. Tentang pendudukan tentara Nazi Jerman di Saint-Malo, salah satu kota dekat Paris, Prancis. Rasa saat membaca novel ini seperti The Book Thief, Markus Zusak.


Pelan namun tidak melankolis. Tokoh utama novel ini, terdorong oleh secarik surat kabar yang berisi pengumuman hilangnya seorang gadis, melakukan suatu pencarian yang kemudian membuat ia teringat akan memorinya sendiri di masa lalu tentang ayahnya. Cerita bergulir dalam konteks pendudukan Nazi Jerman di Paris, Prancis.


Buku kumpulan cerita pendek yang super-pendek. Panjang tiap cerita hanya satu hingga dua halaman, khas cerita-cerita penulis Amerika Latin, hanya saja kali ini yang membuat adalah penulis asal Israel. Penuh humor gelap dan satir. Kocak. Bahasanya sederhana dan sesekali dihiasi nada slang dan dialek orang Israel. Dalam hal humor dan gaya bahasa, membacanya membuat teringat pada cerita-cerita pendek maupun novel Junot Díaz (This Is How You Lose Her, The Brief Wondrous Life of Oscar Wao).

17.Cantik Itu Luka, Eka Kurniawan

Setidaknya bagi saya sendiri, pernyataan berikut tidak terlampau berlebihan: ini adalah novel terbaik yang pernah ditulis orang Indonesia setelah Bumi Manusia milik Pramoedya Ananta Toer. Sangat lucu dengan adegan-adegan yang intens dan seringkali dialog yang menghibur. Penuh metafora yang hiperbolik dan juga dihiasi unsur-unsur surealis. Nuansa lawas yang melekat dalam ceritanya bikin saya teringat pada film-film kolosal di Indosiar, dalam pengertian yang baik. Frontal, vulgar, dan menyenangkan!


Seperti To Kill A Mockingbird, membosankan di awal hingga pertengahan, namun menghentak pada paruh kedua. Tentang misteri peristiwa bunuh diri seseorang yang kemudian motifnya coba diungkap tokoh utamanya dengan memanggil bagian-bagian memori masa lalunya, membuatnya memikirkan ulang apa yang ia pikirkan di masa lalu, dan bila perlu mengubah seluruh hal yang pernah ia katakan dan lakukan di waktu itu. Semacam cerita tentang penyesalan dan penemuan ulang arti hidup yang sebenarnya.


Kisah cinta, hasrat, dan obsesi terlarang seorang bocah laki-laki terhadap ibu tirinya. Terlihat dan terasa ganjil, dan memang demikian adanya. Dipenuhi alusi-alusi menggunakan lukisan mitikal klasik, dan dituturkan dengan kelucuan tiada tara, khas selera humor dan kegilaan penulis Amerika Latin. Tipis, namun padat dan intens.


Salah satu kumpulan cerita terbaik dari penulis Indonesia yang pernah saya baca sejauh ini. Menawarkan perspektif lain dalam memandang kolonialisme. Cerita-cerita di dalamnya berlatarkan penjajahan Belanda atas Indonesia, namun kali ini dituturkan dari sudut pandang para penjajah itu sendiri. Buku yang menarik.


Demikian daftar buku favorit yang saya baca tahun 2015. Seperti saya katakan sebelumnya, daftar ini bisa juga dibaca sebagai cara saya merekomendasikan bacaan bagi yang sedang ingin mencari bacaan baru. Barangkali apa yang saya suka juka menjadi apa yang teman-teman suka. Barangkali juga tidak. Yang jelas, saya senang berbagi bacaan yang saya sukai, seperti juga saya senang mendengar orang lain memberitahu, membicarakan, dan menjelaskan buku-buku yang ia sukai. Itu seperti pertukaran hal-hal yang kita sukai dan tentu saja hal tersebut sangat menyenangkan.

Jika kamu punya daftarmu sendiri, jangan ragu untuk membaginya dengan saya. Silakan berikan tautan daftarmu pada kolom komentar di bawah tulisan ini.

Terima kasih dan selamat merayakan Maulid Nabi Muhammad SAW.



~ Bara

Cerita tentang Seorang Sopir Bus yang Ingin Menjadi Tuhan (Etgar Keret)

$
0
0

Diterjemahkan dari versi bahasa Inggris di buku The Bus Driver Who Wanted to be God (Riverhead Books, 2015).

*

Ini cerita tentang seorang sopir bus yang tidak pernah mau membukakan pintu busnya bagi orang-orang yang terlambat. Tidak bagi siapapun. Tidak bagi seorang murid tertindas di sekolahnya yang berlari bersisian dengan bus sembari menatap bus dengan tatapan memelas, dan apalagi tidak bagi orang-orang yang menggedor keras pintu bus seakan-akan mereka tidak terlambat dan bahwa si sopir bus lah yang tidak tepat waktu, dan bahkan tidak pula bagi nenek bertubuh kecil yang mendekap bungkusan belanja seraya berusaha keras menyetop bus dengan lambaian tangannya yang gemetar. Si sopir bus tidak membukakan pintu bagi mereka semua bukan karena ia jahat, sebab secuil pun ia tidak punya bakat jahat di dalam dirinya. Ini perkara prinsip.

Begini prinsip si sopir bus:

Katakanlah, bus tertunda jadwalnya bila ia membukakan pintu bagi seseorang yang terlambat kurang dari tiga puluh detik, dan bila ia tidak membukakan pintu bus membuat orang tersebut kehilangan lima belas menit dalam hidupnya, itu tetap akan adil, karena tiga puluh detik telah terselamatkan dari hidup seluruh penumpang bus. Nah, jika di bus ada 60 orang tak bersalah yang tiba di halte bus tepat waktu, bila dijumlahkan mereka semua akan kehilangan tiga puluh menit, yang mana itu dua kalinya waktu terbuang milik si orang terlambat tadi.

Inilah satu-satunya alasan si sopir bus tidak akan mau membukakan pintu bagi orang-orang terlambat. Ia tahu, para penumpang tidak akan memahami prinsipnya, begitu pula mereka yang terlambat dan mengejar bus seraya memberinya beragam isyarat agar berhenti-mereka tidak akan mengerti. Ia juga tahu, bahwa orang-orang menganggap ia menyebalkan, dan secara pribadi lebih mudah baginya menerima senyum dan ucapan terima kasih dari mereka sambil membiarkan mereka memandangnya dengan anggapan demikian.

Kecuali bila sebenarnya ia menyadari bahwa ia hanya bisa memilih satu dari dua hal berikut: antara senyum disertai ucapan terima kasih, atau kebaikan publik.

Seseorang yang paling dirugikan oleh prinsip si sopir bus ini adalah Eddie, tapi tidak seperti orang-orang lain dalam cerita ini, Eddie bahkan tidak akan pernah mencoba mengejar bus bila ia terlambat, ya, sebegitu malas dan tersia-siakannya memang orang ini. Nah, Eddie adalah seorang asisten koki di restoran bernama The Steakaway, yang mana nama tersebut merupakan hasil permainan kata terbaik yang bisa dipikirkan oleh pemiliknya (Stick-away!). Makanan di restoran itu tidak istimewa, tapi Eddie sendiri adalah pemuda yang baik-saking baiknya dia, kalau ada masakannya yang tidak begitu enak, ia sendiri yang akan membawa makanan itu ke meja pelanggan dan sekaligus meminta maaf.

Pada salah satu adegan meminta maaf inilah, Eddie bertemu Kebahagiaan, atau setidaknya secicip Kebahagiaan, dalam wujud seorang gadis yang teramat baik hatinya karena ia bahkan mencoba menelan habis daging sapi bakar yang Eddie bawakan untuknya, hanya agar pemuda itu merasa senang. Dan gadis ini tidak mau memberi tahu Eddie namanya ataupun nomor ponselnya, tapi gadis ini cukup manis karena ia bersedia menemui Eddie keesokan harinya pada pukul lima sore, di tempat yang mereka sepakati-Dolphinarium, tepatnya.

Nah, sialnya, Eddie punya satu masalah-sesuatu yang telah membuatnya kelewatan banyak hal sepanjang hidupnya. Tidak, sesuatu ini bukan semacam pembengkakan adenoid atau sejenis itu, tapi tetap saja, hal ini sudah banyak merugikannya. Yakni, ia punya semacam penyakit yang membuatnya selalu tertidur sepuluh menit lebih lama dari seharusnya, dan tidak satu alarm pun pernah berhasil membangunkannya. Itulah kenapa ia kerap terlambat berangkat ke The Steakaway, juga terlambat naik bus yang dikemudikan oleh si sopir bus yang senantiasa lebih memihak kepentingan publik ketimbang urusan pribadi.

Akan tetapi, kali ini Eddie mau tidak mau harus mengatasi masalahnya, karena taruhannya adalah Kebahagiaan, dan alih-alih tidur sore seperti biasa, ia memutuskan tetap terjaga sambil menonton televisi. Agar aman, ia tidak hanya memasang satu jam alarm, melainkan tiga. Tapi sial sekali, penyakit ini betul-betul tidak tersembuhkan, dan Eddie tetap tertidur selayaknya bayi, di hadapan televisi yang menayangkan kanal anak-anak. Ia terbangun oleh lengkingan suara jutaan, milyaran, alarm-terlambat sepuluh menit, tergopoh-gopoh keluar rumah tanpa mengganti pakaian, dan berlari menuju halte bus.

Ia tidak ingat lagi caranya berlari, dan kakinya bahkan sesekali terpelecok. Kali terakhir ia berlari adalah sebelum ia menyadari bahwa ia bisa juga membolos dari jam pelajaran olahraga, waktu itu ia kelas enam SD, hanya saja tidak seperti pada jam pelajaran olahraga tersebut, sekarang ia berlari sangat sangat sangat sangat kencang, karena ia tahu bila tidak melakukannya ia akan kehilangan sesuatu, dan segenap rasa sakit di dadanya serta panggilan sayup-sayup dari bungkus Lucky Strike di kantung bajunya tidak dapat mencegahnya dari usahanya Mengejar Kebahagiaan.

Tidak ada yang dapat menghalanginya kecuali si sopir bus kita, yang baru saja menutup pintu bus, dan akan segera beranjak. Si sopir bus melihat Eddie lewat kaca spion, tapi seperti sudah kami jelaskan sebelumnya, ia punya prinsip-prinsip yang teramat masuk akal yang, lebih dari apapun, didasarkan pada sikap menjunjung tinggi keadilan, juga perhitungan aritmatika sederhana. Tapi Eddie tidak peduli dengan perhitungan aritmatika si sopir bus. Untuk kali pertama sepanjang hidupnya, ia benar-benar ingin tiba di suatu tempat pada waktu yang tepat. Dan itulah kenapa ia tetap mengejar bus, meski ia tidak punya peluang sedikit pun.

Tiba-tiba saja, keberuntungan Eddie datang, tapi cuma separuh keberuntungan: kira-kira seratus meter dari halte bus sebelumnya, ada traffic light. Dan, hanya beberapa detik sebelum bus mencapainya, lampu merah menyala.Eddie berhasil menyusul bus dan menggapai pintu masuk sopir bus. Saking kelelahannya, ia tidak mampu lagi mengetuk kaca pintu. Ia hanya menatap si sopir bus dengan mata yang berembun, sembari memegangi lututnya, ngos-ngosan.

Dan, melihat Eddie seperti itu, si sopir bus teringat akan sesuatu-jauh di masa lalunya, dari suatu waktu ketika ia bahkan belum terpikir untuk menjadi seorang sopir bus, dari suatu waktu ketika ia masih ingin menjadi Tuhan.

Itu memori yang agak sedih sebenarnya, karena pada akhirnya ia gagal menjadi Tuhan, tapi juga membahagiakan, karena ia kemudian menjadi sopir bus, yang mana adalah keinginan keduanya setelah menjadi Tuhan. Dan tiba-tiba si sopir bus teringat akan janjinya kepada diri sendiri bahwa bila ia dapat menjadi Tuhan, ia akan menjadi Tuhan yang baik dan pengampun, dan akan mendengarkan doa-doa seluruh makhluk-Nya. Jadi, ketika dari bangku sopirnya ia melihat Eddie berlutut di jalanan aspal, ia tidak lagi bisa mempertahankan prinsipnya, dan meski dengan seluruh pertimbangan kepentingan publik dan perhitungan aritmatikanya itu, ia membukakan pintu, dan Eddie pun naik-tanpa mengucapkan terima kasih, karena ia betul-betul kehabisan napas.

Hal terbaik yang bisa kamu lakukan adalah berhenti membaca cerita ini di sini, karena meski Eddie akhirnya tiba di Dolphinarium tepat pada waktunya, Kebahagiaan tidak datang, karena Kebahagiaan sudah memiliki seorang kekasih. Hanya karena gadis itu terlalu baik ia tidak dapat mengatakan hal tersebut kepada Eddie, jadi ia memilih membiarkan pemuda itu melakukan apa yang ingin ia lakukan.

Eddie menanti dan menanti, di bangku yang mereka berdua sepakati, nyaris selama dua jam penuh. Sepanjang penantiannya, ia terus memikirkan hal-hal depresif mengenai kehidupan, dan sembari berpikir, ia memandangi senja yang lumayan indah, dan mengira bila menunggu lebih lama lagi bisa-bisa ia akan jadi penjaga malam.


Dalam perjalanan pulang, saat ia sangat putus asa, ia melihat bus di kejauhan berhenti di halte dan menurunkan penumpang, dan pada saat itu ia tahu bahwa meskipun ia punya tenaga untuk berlari, ia toh tidak akan sanggup menyusul bus itu. Jadi ia tetap berjalan pelan, dan pada tiap langkahnya ia merasa-rasai jutaan sel otot yang kelelahan, dan ketika ia sedikit lagi tiba di halte, bus masih di situ, menunggunya. Dan meskipun para penumpang di dalam berteriak-teriak dan mengomel agar bus segera berangkat, si sopir bus menunggu Eddie, dan ia tidak sedikit pun menginjak pedal gas hingga Eddie duduk di dalam bus. Ketika akhirnya bus berangkat, si sopir bus melihat ke arah Eddie melalui kaca spion dalamnya, dan mengerling simpati kepadanya, dan itu membuat segalanya jadi terasa dapat tertanggungkan. ***

Lubang di Tembok (Etgar Keret)

$
0
0
Diterjemahkan dari versi bahasa Inggris di buku The Bus Driver Who Wanted to be God (Riverhead Books, 2015). Terjemahan bahasa Inggris dari Ibrani oleh Miriam Shlesinger.

*


Di Bernadotte Avenue, tepat di sebelah Central Bus Station, terdapat lubang di suatu permukaan tembok. Dulunya ada ATM di situ, tapi kemudian rusak atau semacamnya, atau mungkin juga tidak ada yang pernah menggunakannya, jadi orang-orang bank mencopot mesin ATM itu dan tidak pernah memasangnya lagi.

Seseorang pernah berkata kepada Udi bahwa bila kau meneriakkan keinginanmu di hadapan lubang itu, maka keinginan tersebut akan terwujud, tapi Udi tidak sepenuhnya percaya. Faktanya, suatu hari saat ia dalam perjalanan pulang dari menonton film di bioskop, ia meneriaki lubang di tembok tersebut dan berkata bahwa ia ingin Dafne Rimalt jatuh cinta kepadanya, dan setelahnya tidak terjadi apapun.

Dan suatu hari, ketika ia merasa sangat kesepian, ia kembali meneriaki lubang di tembok itu dan berkata bahwa ia ingin punya teman seorang malaikat, dan ternyata malaikat itu betul-betul muncul, tapi ia tidak bersikap layaknya seorang teman dan selalu saja menghilang di saat Udi sedang membutuhkannya. Malaikat ini kurus, suka merunduk, dan senantiasa mengenakan jas hujan yang menutupi sepasang sayapnya. Orang-orang di jalan mengira ia benar-benar hunchback-makhluk bungkuk. Kadang-kadang, kalau mereka hanya berdua, si malaikat akan mencopot jas hujannya. Sekali waktu ia bahkan membolehkan Udi menyentuh bulu-bulu sayapnya. Tapi saat ada orang lain bersama mereka, ia mengenakan jas hujannya kembali.

Suatu hari anak-anak keluarga Klein bertanya kepada si malaikat, apa yang ia sembunyikan di balik jas hujan itu, dan ia menjawab itu adalah ransel penuh buku-buku yang bukan miliknya dan ia tidak ingin buku-buku itu basah.

Sejujurnya, ia selalu berbohong.

Ia menceritakan Udi kisah-kisah yang dapat membuatmu sekarat saking terlalu menakjubkannya: tentang tempat-tempat di alam surga, tentang orang-orang yang beranjak ke tempat tidur tanpa mencabut kunci mobilnya, dan tentang kucing-kucing yang tidak takut terhadap apapun bahkan tidak tahu apa arti dari “tahi kucing”. Malaikat tersebut bersumpah cerita-cerita itu benar adanya.

Udi nyaris gila dibuatnya, dan ia berusaha keras mempercayainya. Beberapa kali ia bahkan meminjaminya sejumlah uang ketika malaikat itu sedang kesulitan. Sedang si malaikat sama sekali tidak berbuat apapun untuk Udi. Ia hanya berceloteh dan berceloteh dan berceloteh terus, melantur dengan cerita-cerita tololnya. Sepanjang enam tahun Udi mengenalnya, ia tidak pernah melihatnya melakukan hal-hal luar biasa.

Ketika Udi menjalani pelatihan dasar wajib militer, dan ia betul-betul butuh seseorang untuk diajak bicara, si malaikat tiba-tiba menghilang selama dua bulan penuh. Kemudian, ia kembali dengan wajah brewok dan ekspresi jangan-tanyakan-apa-yang-terjadi. Jadi Udi tidak bertanya apapun kepadanya, dan di suatu hari Sabtu mereka duduk berdua di atas atap, mengenakan celana pendek, meresapi pancaran sinar matahari, dan merasa lesu. Udi memandangi atap rumah-rumah lain yang di atasnya banyak kabel berkelindan serta alat pemanas dari energi matahari dan ia juga memandangi langit.

Tiba-tiba ia menyadari sesuatu, selama bertahun-tahun ia bersama si malakat, ia tidak pernah satu kali pun menyaksikan malaikat itu terbang.

“Gimana kalau kau terbang sedikit,” ia berkata kepada si malaikat. “Pasti kau merasa lebih enakan.”

Dan si malaikat berkata: “Lupakan. Gimana kalau ada yang lihat?”

“Ayolah,” kata Udi. “Sedikit saja. Demi aku.” Tapi si malaikat, disertai suara yang jorok, malah menggali dahaknya dengan satu sedotan melalui tenggorokan dan meludahi atap rumah.

“Ya sudahlah,” kata Udi. “Aku bertaruh, kau memang tidak bisa terbang.”

“Tentu saja bisa,” si malaikat membalas. “Aku cuma tidak mau ada orang yang melihatku, itu saja.”

Di atas atap rumah di seberang jalan, mereka melihat beberapa bocah melempar bom air. “Tahu tidak,” Udi tersenyum. “Dulu, waktu aku kecil, sebelum bertemu denganmu, aku sering banget ke sini dan melempari orang-orang di jalanan dengan bom air. Aku akan melemparkan ke arah antara kanopi satu dengan yang lain,” ia menjelaskan, sembari mencondongkan tubuhnya dan mengacungkan jari ke arah kanopi di toko sembako dan kanopi di toko sepatu. “Orang-orang akan mendongak, dan yang mereka lihat hanya kanopi. Mereka tidak akan tahu dari mana datangnya bom-bom air itu.”

Si malaikat juga berdiri, dan melihat ke jalanan di bawah mereka. Ia membuka mulutnya, hendak mengucapkan sesuatu. Sekonyong-konyong, Udi mendorong si malaikat hingga ia limbung. Udi cuma bermain-main. Ia tidak berniat menyakiti si malaikat, cuma ingin ia terbang sedikit demi hiburan. Tapi si malaikat jatuh sejauh lima lantai, mendarat bagai sekarung kentang.

Terpana, Udi melihat malaikat itu tergeletak di trotoar. Tubuh si malaikat masih utuh, kecuali sepasang sayap yang agak berkedut, seperti sekarat. Itulah momen ketika ia akhirnya paham bahwa dari semua hal yang pernah malaikat tersebut ceritakan kepadanya, tidak satu pun yang benar. Si malaikat bahkan bukanlah malaikat, cuma tukang bohong yang memiliki sepasang sayap. ***

Rahim (Etgar Keret)

$
0
0
Diterjemahkan dari Inggris di buku The Bus Driver Who Wanted to be God (Riverhead Books, 2015). Terjemahan Inggris dari Ibrani oleh Miriam Shlesinger.


*


Pada ulang tahunku yang kelima, ibuku divonis kanker, dan dokter bilang rahim ibu harus diangkat. Itu hari yang sedih. Kami semua naik mobil Subaru milik ayah, pergi ke rumah sakit, dan menunggu sampai dokter keluar dari ruang operasi sambil menangis. “Belum pernah saya lihat rahim seindah itu,” ia bilang, seraya melepas masker. “Saya jadi merasa seperti pembunuh.”

Ibuku memang punya rahim yang indah. Saking indahnya, rumah sakit mendonasikan rahim tersebut ke museum. Dan pada hari Sabtu, kami sengaja ke sana, dan paman memotret kami yang berpose di sebelah rahim ibu. Waktu itu ayahku sudah tidak ada lagi. Ia menceraikan ibu sehari setelah operasi pengangkatan rahim. “Perempuan tanpa rahim bukan perempuan. Dan laki-laki yang tetap bersama perempuan yang bukan perempuan, bukanlah laki-laki,” ia berkata kepada abangku dan aku, sesaat sebelum ia naik pesawat menuju Alaska. “Nanti setelah dewasa, kalian akan paham.”

Ruangan tempat rahim ibuku dipamerkan gelap sekali. Satu-satunya cahaya berasal dari rahim itu sendiri, berpendar lembut seperti cahaya di dalam kabin pesawat saat terbang di malam hari. Dalam foto, benda tersebut tampak biasa saja, karena terpapar sinar flash dari kamera, tapi saat aku melihatnya langsung dari dekat, aku benar-benar mengerti kenapa waktu itu dokter sampai menangis dibuatnya. “Kau berasal dari sana,” pamanku bilang, menunjuk ke arah rahim. “Di dalam sana, kau seperti pangeran, tahu tidak. Ibumu itu memanglah…”

Pada akhirnya, ibuku meninggal. Pada akhirnya semua ibu akan meninggal. Dan ayahku menjadi seorang penjelajah di kutub utara dan pemburu paus.

Gadis-gadis yang aku pacari selalu salah paham saat aku mengintip rahim mereka. Mereka pikir itu tindakan yang bikin ilfil. Tapi salah satu dari mereka, yang tubuhnya aduhai sekali, bersedia menikah denganku. Aku sering memukuli pantat anak-anakku bahkan sejak mereka bayi, karena tangisan mereka benar-benar menggangguku. Kenyataannya mereka cepat mengerti dan sama sekali berhenti menangis saat memasuki usia sembilan bulan, jika tidak lebih awal. Awalnya tiap mereka berulang tahun aku membawa mereka ke museum untuk melihat rahim nenek mereka, tapi mereka tidak tertarik, dan istriku akan marah, jadi kemudian aku membawa mereka menonton film-film Walt Disney saja.

Suatu hari mobilku diderek, dan kantor polisi berada tidak jauh, jadi mumpung sedang dekat dari museum, aku mampir. Rahim ibu tidak di tempat biasanya. Mereka memindahkannya ke ruang sebelah yang penuh gambar-gambar, dan ketika aku memperhatikan rahim ibu lebih dekat, aku melihat benda itu dikerubungi bintik-bintik hijau. Aku bertanya ke satpam kenapa tidak ada yang membersihkannya, tapi dia cuma mengangkat bahu. Aku memohon kepada pengurus pameran agar diizinkan membersihkannya sendiri kalau-kalau mereka kekurangan orang, tapi pengurus tersebut menyebalkan sekali. Dia bilang aku tidak boleh menyentuh apapun karena bukan karyawan museum.

Istriku bilang petugas itu benar, dan sejauh yang ia tahu, memamerkan rahim di tempat publik merupakan perbuatan sinting, lebih-lebih kalau di tempat itu banyak anak kecil. Tapi aku tidak sependapat. Aku tidak bisa memikirkan apapun. Jauh dalam hatiku, aku tahu kalau aku tidak segera menyelinap ke museum dan mengambil rahim ibu dan merawatnya, aku akan menjadi seseorang yang bukan diriku lagi. Maka seperti ayahku di malam ketika ia pergi, aku sangat tahu apa yang harus aku lakukan.

Dua hari kemudian sepulang kerja, aku mengendarai mobil van menuju museum, tepat saat museum hampir tutup. Ruangan-ruangannya kosong dan sepi, tapi kalaupun aku kepergok oleh seseorang, aku tidak khawatir. Aku punya senjata dan rencana yang sangat rapi. Tapi masalahnya adalah, rahim ibuku menghilang. Petugas pameran terkejut memergokiku, tapi saat aku dengan gesit menekan tenggorokannya dengan gagang pistol Jericho baruku, ia langsung mengatakan apa yang ingin aku ketahui:

Rahim ibuku sudah dijual sehari sebelumnya kepada seorang kolektor Yahudi yang meyakinkan bahwa rahim tersebut harus dikirim ke salah satu komunitas pusat di Alaska. Dalam proses pengirimannya, benda tersebut dicuri oleh salah satu cabang organisasi Front Lingkungan. Front merilis pernyataan resmi bahwa sebuah rahim tidak boleh disimpan dan dimiliki oleh siapapun, itu sebabnya mereka memutuskan untuk melepasnya ke alam bebas. Menurut berita Reuters, Front Lingkungan ini termasuk suatu gerakan yang radikal dan berbahaya. Seluruh operasi mereka dijalankan lewat kapal pembajak yang dipimpin oleh seorang pensiunan pemburu paus.

Aku mengucapkan terima kasih kepada petugas pameran dan menyimpan kembali pistolku.


Dalam perjalanan pulang, semua lampu di jalan tampak berwarna merah. Aku terus saja berkendara meliuk dari satu jalur ke jalur lain tanpa melihat ke kaca spion, sambil berusaha keras mengenyahkan sesuatu yang seperti tersangkut di tenggorokanku. Aku mencoba membayangkan rahim ibuku mengambang di tengah-tengah samudera arktik penuh dengan ikan tuna dan lumba-lumba. ***

Memecahkan Celengan Babi (Etgar Keret)

$
0
0
Diterjemahkan dari versi bahasa Inggris di buku The Bus Driver Who Wanted to be God (Riverhead Books, 2015). Terjemahan dari bahasa Ibrani ke bahasa Inggris oleh Miriam Shlesinger.


*


Ayah tidak mau membelikanku boneka Bart Simpson. Ibu bilang boleh, tapi Ayah bilang aku terlalu dimanjakan. “Kenapa?” katanya kepada Ibu. “Kenapa pula harus kita turuti kemauan anak ini? Dia cuma perlu merengek sedikit dan kau langsung mengabulkan apa yang dia mau.” Ayah bilang aku tidak dapat menghargai uang, dan bila aku tidak belajar sedari kecil, kapan lagi? Anak-anak yang diberi boneka Bart Simpson dengan cara mudah akan tumbuh dewasa jadi preman yang suka memalaki pedagang kaki lima, karena mereka terbiasa mendapatkan apa yang mereka inginkan dengan cara yang mudah. Jadi alih-alih membelikanku boneka Bart Simpson, Ayah membelikanku sebuah celengan babi buruk rupa dan dengan demikian aku akan tumbuh dewasa dengan baik-baik saja dan tidak akan jadi seorang preman.

Kini, meskipun aku membencinya, setiap pagi aku harus minum cokelat. Segelas cokelat campur kulitnya berarti sekeping shekel, dan kalau tanpa kulit artinya setengah shekel, dan bila aku muntah aku tidak dapat apapun. Aku meloloskan keping-keping shekel ke punggung celengan babi yang berlubang, dan saat aku mengocoknya ia bergemerincing. Kelak saat si babi sudah penuh dan tidak bergemerincing lagi waktu dikocok, aku bisa dapat boneka Bart Simpson dan papan skate sekaligus. Begitu kata Ayah, dan menurutnya ini cara yang mendidik.

Sebenarnya, si babi ini imut. Hidungnya terasa dingin kalau kau sentuh, dan dia tersenyum saat kau memasukkan sekeping shekelmelalui punggungnya ataupun setengah shekel, tapi yang paling menyenangkan adalah dia tetap tersenyum meski kau tidak memasukkan apa-apa. Aku memberinya nama: Pesachson. Dari nama merk kotak surat di rumah.

Pesachson tidak seperti mainanku yang lain, dia lebih tenang, tidak punya lampu dan per pegas dan baterai yang suatu waktu bisa soak. Kau cuma perlu mengawasinya supaya dia tidak melompat dari meja. “Pesachson, hati-hati! Kau itu buatan Cina,” kataku saat aku melihatnya agak mencondongkan tubuh dan melongo ke lantai, dan dia tersenyum kepadaku dan dengan sabar menungguku menurunkannya.

Aku tergila-gila dengan senyumannya. Demi dia lah aku rela setiap pagi minum cokelat dengan kulit, supaya aku bisa memasukkan sekeping shekel melalui punggungnya dan melihat betapa senyumnya tidak pernah bergeser sedikit pun. “Aku menyayangimu, Pesachson,” kataku kemudian. “Jujur ya, aku lebih menyayangimu ketimbang Ibu atau Ayah. Dan aku akan selalu menyayangimu, tidak peduli apapun yang terjadi, bahkan kalaupun kau jadi preman. Tapi jangan sekali-sekali kau melompat dari meja, ya!”

Kemarin, ayah mengambil Pesachson dari meja dan lalu mengocok-ngocoknya ke atas dan ke bawah dengan kasar. “Hati-hati, Yah,” kataku, “Ayah bikin Pesachson sakit perut.” Tapi Ayah terus saja mengocoknya.

“Tidak ada bunyi gemerincing, kau tahu itu artinya apa, Yoavi? Besok kau dapat boneka Bart Simpson dan papan skate.

“Asyik!” seruku. “Bart Simpson di atas papan skate, asyik. Tapi jangan kocok Pesachson lagi, itu bikin dia nggak nyaman.”

Ayah meletakkan Pesachson kembali ke atas meja, kemudian pergi mencari Ibu. Setelah beberapa saat, ia muncul lagi bersama Ibu.

Ayah menggenggam martil.

“Apa kubilang.” kata Ayah kepada Ibu. “Sekarang anak ini tahu bagaimana cara menghargai sesuatu. Begitu, kan, Yoavi?”

“Tentu, aku tahu,” kataku, “tentu… tapi itu martilnya buat apa?”

“Ini untukmu,” kata Ayah, dan ia meletakkan martil tersebut di tanganku. “Hati-hati.”

“Tentu, aku akan hati-hati,” kataku, dan aku memang benar-benar berhati-hati, tapi beberapa saat kemudian Ayah tampak geram.

“Ayo, pecahkan babinya.”

“Apa?” tanyaku, “pecahkan Pesachson?”

“Ya, ya, Pesachson,” kata Ayah. “Ayo, pecahkan. Kau berhak dapat Bart Simpson, kau sudah berjuang keras.”

Pesachson tersenyum kepadaku dengan satu senyum yang sedih, senyum seekor babi Cina yang tahu bahwa akhir hidupnya akan tiba.

Masa bodo dengan Bart Simpson. Aku, menghajar kepala sahabat terbaikku dengan martil?

“Aku tidak mau Bart.” Aku mengembalikan martil itu ke Ayah. “Pesachson saja cukup untukku.”

“Kau tidak paham,” kata Ayah. “Tidak apa-apa, ini namanya mendidik. Sini, Ayah pecahkan untukmu.”

Seketika saja Ayah sudah mengangkat martilnya, dan aku menatap mata Ibu yang tampak jeri dan senyum lemah Pesachson dan aku tahu semua ini bergantung pada tindakanku, kalau aku tidak berbuat apa-apa dia akan segera mati.

“Ayah.” Aku menarik-narik celana Ayah.

“Apa, Yoavi?” kata Ayah. Tangannya yang menggenggam martil masih bersiaga.

“Aku minta satu shekel lagi, ya, aku mohon,” kataku. “Aku minta satu shekel buat aku masukkan, besok, habis minum cokelat. Habis itu baru kita pecahkan, besok, aku janji.”

“Satu shekel lagi?” Ayah tersenyum dan meletakkan martil ke atas meja.

“Iya. Lihat, kan, aku sudah mengerti dan dewasa,” kataku. “Besok.” Saat itu, airmata sudah tersangkut di tenggorokanku.

Ketika mereka meninggalkan ruangan, aku memeluk Pesachson sangat erat dan akhirnya airmataku mengalir. Pesachson tidak berkata apa-apa, hanya bergemetar dengan heningnya di dalam dekapanku. “Jangan takut,” aku berbisik di telinganya, “aku akan menyelamatkanmu.”

Malamnya, aku menunggu Ayah selesai menonton televisi di ruang tengah sampai ia masuk kamar dan tidur. Kemudian, diam-diam aku menyelinap keluar rumah bersama Pesachson. Kami berjalan sangat jauh sampai tiba di padang rumput luas yang penuh dengan duri. “Babi suka sekali dengan padang rumput luas,” kataku kepada Pesachson sembari meletakkannya di tanah, “apalagi padang yang banyak durinya. Kau akan betah di sini.”

Aku menunggu jawaban, tapi Pesachson tidak mengatakan apapun, dan saat aku menyentuh hidungnya untuk mengucapkan selamat tinggal, dia hanya menatapku dengan sedih. Dia tahu dia tidak akan pernah bertemu denganku lagi. ***


Catatan: Shekel adalah mata uang Israel. 

Terkokang dan Terkunci (Etgar Keret)

$
0
0
Diterjemahkan dari versi bahasa Inggris di buku The Bus Driver Who Wanted to be God (Riverhead Books, 2015). Terjemahan dari bahasa Ibrani ke bahasa Inggris oleh Miriam Shlesinger.


*


Ia berdiri di sana di tengah-tengah gang, sekitar dua puluh meter dariku, kain keffiyeh menyelubungi wajahnya, dan ia mencoba melakukan provokasi dengan bergerak mendekat: “Zspecial Force bangsat,” ia berteriak, logat Arabnya kental.

“Kenapa, oi, pahlawan? Bosmu yang mata satu itu menyodomimu terlalu kasar? Kau jadi susah lari, ya?” Ia membuka risleting celana dan menunjukkan penisnya: “Kenapa, Zspecial Force? Kontolku kurang oke ya buatmu? Tapi cukup oke buat adik perempuanmu, kan? Cukup oke buat ibumu, kan? Cukup oke buat temanmu itu, Abutbul. Gimana kabar dia, Abutbul itu? Sudah baikan si pemuda malang itu? Kemarin kulihat helikopter zspecial mengangkut dia pergi. Dia mengejarku seperti orang gila. Setengah blok dia mengejarku seperti seorang majnun. Blatsh! Mukanya pecah kayak buah semangka.”

Aku menggeser senapanku, sampai aku mendapatkan titik tewasnya dalam arah tembakku.

“Tembak aku, homo!” ia berteriak, kemudian melepaskan pakaiannya dan memancingku. “Tembak di sini.” Ia menunjuk letak jantung di dadanya.

Aku melepas pengaman, kemudian menahan napas. Ia menunggu dengan berkacak pinggang, tampak tidak peduli sama sekali. Jantungnya berada jauh di balik kulit dan dagingnya, terletak dengan sempurna tepat di garis tembakku.

“Kau tak mungkin menembak, pengecut bangsat. Tapi kali-kali saja kalau kau menembak komandanmu yang mata satu itu, dia tak bakal menyodomimu lagi, ya tidak?”

Aku menurunkan senapanku, dan ia kembali menunjukkan sikap penuh kebencian. “Yallah-cepatlah, aku mau balik, nih, bangsat. Besok aku akan ke sini lagi. Kapan kau ditugaskan untuk berpatroli di sini lagi? Jam dua lewat sepuluh? Sampai ketemu besok.” Ia berbalik, beranjak menyusuri gang, tapi tiba-tiba langkahnya terhenti dan ia menoleh ke arahku sambil mencengir: “Titip salam buat Abutbul ya, bilang dari Hamas. Katakan ke dia kami benar-benar minta maaf soal lemparan bata itu.”

“Kenapa, oi, homo?” ia berteriak lagi. “Otakmu rusak gara-gara disodomi terlalu sering oleh komandanmu si mata satu itu?”

Kemudian, aku menyobek kain pelapis seragam lapanganku dan menyelubungi wajahku dengannya. Kini yang tampak hanya sepasang mataku. Aku mengambil senapanku, mengokangnya, dan memastikan pengamannya terpasang. Aku memegang gagang senapan dengan kedua tangan, mengangkatnya ke atas kepala dan mengayunnya beberapa kali, lalu melepaskannya dengan tiba-tiba. Benda tersebut terbang, melayang-layang, kemudian mendarat di tanah, tergeletak tepat di antara kami.

Kini aku persis seperti dirinya. Kini, aku pun memiliki kesempatan untuk menang.

“Itu buatmu, ya majnun,” aku berteriak.

Untuk beberapa saat ia hanya menatapku, terheran-heran. Kemudian, ia bergegas menuju senapan itu. Ia bergerak hendak mengambilnya, dan dalam waktu bersamaan aku berlari ke arahnya. Ia lebih cepat dariku. Ia akan mendapatkannya lebih dulu.

Tapi aku akan menang, karena kini aku persis seperti dirinya, dan dengan senapan di tangannya, ia jadi persis seperti diriku. Ibunya dan adik perempuannya akan jadi orang Yahudi, teman-temannya akan terkapar di ranjang-ranjang rumah sakit, dan ia akan berdiri di sana memandangiku seperti seorang bangsat dengan senapan di tangannya, dan ia tidak akan mampu berbuat apa-apa.

Mana bisa aku kalah?

Ia mengambil senapan itu, kemudian melepas pengamannya-aku terlambat sejauh lima meter. Sebelah kaki menekuk, ia meninting dan menarik pemicu.

Dan kemudian ia melihat apa yang aku lihat sepanjang beberapa bulan berada di tempat ini, di lubang neraka ini:

Senapan itu cuma sampah. Besi seberat tiga setengah kilo yang tak berguna. Betul-betul tidak berfungsi. Percuma saja mencoba. Sebelum ia dapat bangkit, aku sudah menendangnya dengan keras tepat di hidung. Saat ia terguling, aku menjambak rambutnya dan mencopot keffiyeh-penutup wajahnya. Aku menatapnya lekat-lekat. Kemudian, seperti orang sinting, aku menghantamkan wajahnya ke tiang telepon. Lagi dan lagi, lagi dan lagi, lagi dan lagi.


Sekarang mari serahkan dia ke komandan bermata satu untuk disodomi. ***

Etgar Keret Sang Pengejek

$
0
0


Jika Anda membaca cerpen-cerpen Etgar Keret yang ukurannya bisa dikatakan super pendek (mengingatkan saya kepada cerpen-cerpen penulis Amerika Latin) Anda akan menemukan selera humor yang menyenangkan dari seorang laki-laki Yahudi, yang, di beberapa cerpennya tampak menghindar dari hasrat membahas kondisi sosial politik secara mentah tetapi memilih mengarang situasi-situasi fiksional yang amat imajinatif dan sering tidak tertebak juntrungannya. Sebentar saja Anda akan tahu, ketika membaca cerpen-cerpen Keret, bahwa orang ini gemar mengejek. Ia mengejek banyak hal: situasi, cara pandang, bahkan rasa optimis dan kebahagiaan. Tetapi di lain kesempatan ia juga, tanpa ambisius dan lebih kepada efek alamiah yang muncul di alur cerita-ceritanya, menumbuhkan kepercayaan baru pada hal-hal baik dan bersahaja.

Dua hal itulah yang setidaknya saya tangkap ketika membaca cerpen-cerpennya di kumpulan cerpen The Bus Driver Who Wanted to be God (Riverhead Books, 2015). Kumpulan tersebut berisi 22 cerpen dengan satu di antaranya berukuran sepanjang novela, yakni Kneller’s Happy Campers, yang jadi salah satu cerita favorit saya dalam buku ini. Sebagian besar diterjemahkan dari bahasa Ibrani oleh Miriam Shlesinger-penerjemah yang sama untuk kumpulan cerpen The Girl on the Fridge, beberapa yang lain diterjemahkan oleh Margaret Weinberger-Rotman, Anthony Berris, Dan Ofri, dan Dalya Bilu. Tidak diberi keterangan rinci cerpen yang mana diterjemahkan oleh siapa, tapi sepanjang membaca saya tidak merasa ada perbedaan hasil terjemahan yang kentara antara satu cerpen dengan yang lain. Menunjukkan bahwa kualitas hasil terjemahannya merata.

Kembali ke persoalan mengejek. Pada awalnya saya mengira Etgar Keret hanya seorang cerpenis yang punya selera humor bagus, tapi ketika membaca ulang cerpen-cerpennya, kurang tepat rasanya jika dikatakan bahwa karakter humoris Etgar Keret dipandang muncul sebagai hasil dari kemampuannya melucu, karena ia tidak sedang melucu-ia mengejek. Melucu dan mengejek adalah dua hal yang berbeda. Yang pertama dilakukan dengan tujuan ingin membuat orang lain tertawa, sementara yang terakhir dilakukan benar-benar untuk melecehkan atau merendahkan sesuatu. Jika akhirnya ejekan tersebut memunculkan kelucuan dan membuat kita tertawa, tentu saja kemampuan si pengejek patut diacungi jempol. Itu menunjukkan, saya kira, si pengejek telah menyentuh sesuatu yang berada di balik kesadaran kita. Ia menyentuh sesuatu yang tadinya tidak pernah kita hirau, atau mungkin sesuatu yang diam-diam ingin kita ejek juga tetapi kita terlalu penakut untuk mengejek hal tersebut, karena barangkali itu sesuatu yang juga terlihat mulia.

Kegemaran Etgar Keret mengejek sudah terlihat dari cerpen pertama dalam The Bus Driver Who Wanted to be God, yang berjudul kurang lebih sama dengan bukunya: The Story About a Bus Driver Who Wanted to be God. Ceritanya tentang, ya, seorang sopir bus yang dulunya ingin menjadi Tuhan tapi gagal dan kini jadi sopir bus. Meski demikian ia tetap bahagia karena menjadi sopir adalah cita-cita keduanya setelah menjadi Tuhan. Sopir bus ini punya aturan ketat mengenai keterlambatan penumpang: ia tidak mau memperlambat busnya bagi siapapun yang terlambat naik. Prinsip hidup si sopir bus kemudian dibentrokkan dengan jalan hidup seorang pemalas bernama Eddie. Mungkin tak tepat disebut pemalas, tapi Eddie orangnya pasrahan dan tak pernah mengejar apapun dalam hidupnya. Ia tidak punya ambisi atau keinginan menggebu terhadap apapun. Sampai suatu hari ia bertemu dengan Kebahagiaan (‘secicip Kebahagiaan’, Keret mengoreksi narasinya) dalam wujud seorang gadis. Ia menyukai si gadis. Mereka membuat janji bertemu. Dalam usahanya menepati janji temu itulah Eddie terhambat oleh si sopir bus yang sama sekali tidak toleran terhadap siapapun yang telat naik bus (Eddie punya “penyakit” selalu bangun sepuluh menit terlambat dari alarm yang telah ia pasang sendiri) Tapi kemudian di akhir cerita kita ditunjukkan bahwa Eddie gagal menemui Kebahagiaan karena Kebahagiaan telah memiliki pacar, dan si sopir bus teringat akan cita-citanya dulu yang ingin menjadi Tuhan, dan ia akhirnya melanggar prinsipnya sendiri dan menjadi sopir bus yang pengasih dan pengampun-seperti sosok Tuhan yang dahulu ia inginkan-- kala ia menunggu Eddie yang berjalan lunglai menuju halte sepulang dari pertemuannya dengan Kebahagiaan yang gagal total. Tentu saja semua ini disampaikan melalui gaya bernarasi yang santai dan kadang-kadang cenderung nyeleneh.

Cerita kedua yang saya kira dapat menjadi contoh untuk meneliti kegemaran Keret mengejek sesuatu adalah cerita berjudul Hole in the Wall-- tentang seorang remaja yang bertemankan malaikat. Dikisahkan begini: ada mitos yang mengatakan bahwa jika seseorang meneriakkan keinginannya di hadapan sebuah lubang antah-berantah di satu sisi dinding di sudut kota (lubang ini, kata narator, tadinya bekas mesin ATM yang sudah dicabut gara-gara tak pernah ada yang pakai) keinginannya akan terkabulkan. Tokoh utama cerita berteriak ia ingin seorang sahabat berupa malaikat, dan ternyata keinginannya itu benar-benar terwujud. Tapi karena ini adalah cerita yang ditulis oleh Etgar Keret, kita tentu tidak akan berharap malaikat yang muncul adalah sosok malaikat pada umumnya yang terlihat indah, menawan, megah, dan dapat melakukan hal-hal ajaib. Malaikat dalam cerita ini seorang hunchback, kerap mengenakan mantel untuk menyembunyikan sepasang sayapnya, dan sering minta duit. Suatu hari tokoh utama menyuruh si malaikat terbang, karena sepanjang tahun-tahun pertemanan mereka si malaikat sama sekali tak pernah terbang-sesuatu yang tentu saja terlihat ganjil karena siapapun tahu malaikat seharusnya bisa terbang. Si malaikat enggan terbang sebab ia tidak ingin ada yang melihatnya terbang, jika tidak sosok malaikatnya akan terbongkar. Adegannya adalah mereka berdua sedang duduk-duduk malas di atas atap rumah. Tokoh utama memancing si malaikat untuk berdiri di tepian atap, lalu sekonyong-konyong mendorongnya hanya agar si malaikat terpaksa harus terbang. Tapi apa yang terjadi, ternyata si malaikat jatuh ke jalanan, ambruk menghantam aspal “bagai sekarung kentang”. Ketika itu tokoh utama kita sadar bahwa si malaikat bukanlah malaikat, hanya pembual yang memiliki sepasang sayap.

Melalui dua cerpen tadi Keret mengejek impian manusia untuk mendapatkan kebahagiaan. Lewat narasinya yang santai, ia mendorong saya dari tepian atap rumah hingga ambruk menghantam aspal, hanya agar saya sadar bahwa Kebahagiaan tidak selalu hadir lewat situasi-situasi yang utopis, melainkan mewujud dalam sesuatu yang realistis yang, kadangkala, tidak muncul secara megah ataupun berbunga-bunga. Bahkan dalam cara pandang lebih ekstrem, kita bisa menganggap Keret sedang berkata bahwa tidak ada yang namanya malaikat, dan tidak ada yang namanya Kebahagiaan. Lalu apa yang ada? Yang ada adalah kesialan, nasib buruk, dan kebaikan yang muncul dari perbuatan remeh-temeh orang lain (seperti sopir bus yang melanggar prinsipnya dan menunggu Eddie).


Banyak yang diejek Keret dalam cerpen-cerpennya: politik, paradigma, perang, kematian-- tapi saya rasa Anda akan lebih senang jika membaca sendiri cerpen-cerpennya dan mungkin menemukan hal selain yang saya temukan. Buku bagus selalu memberi efek yang beragam bagi setiap pembaca dan pembacaan. Saya harap Anda menemukan kesenangan dalam cerpen-cerpen Etgar Keretkarena ia adalah penulis cerpen yang barangkali, tanpa bermaksud melebih-lebihkan, akan menjadi cerpenis favorit saya sepanjang masa. ***

The Naïve and the Sentimental Novelist, Orhan Pamuk

$
0
0



Berangkat dari esei Friedrich Schiller (penyair, filsuf, dan sejarawan asal Jerman) berjudul, dalam bahasa Inggris, On Naïve and Sentimental Poetry, yang ditulis tahun 1795-1796, Orhan Pamuk menuliskan eseinya sendiri. Esei tersebut sebetulnya adalah materi kuliah umum yang ia sampaikan di Harvard University sekitar tahun 2010 (tak ada keterangan khusus soal ini sebetulnya, saya hanya menebak demikian karena seperti ditulis Pamuk dalam epilog bukunya, pada Oktober 2009 ia bertemu dengan seorang teman yang mengajaknya memberi kuliah di Harvard dan ia masih menggodok konsep materinya, jadi mungkin ia menyampaikan kuliah tersebut di tahun 2010). Materi kuliah umum Pamuk itu kemudian dibukukan dan terbit dengan judul mirip esei Schiller yang ia jadikan inspirasinya: The Naïve and the Sentimental Novelist (Vintage, 2010).

Saya belum membaca esei Schiller itu, tapi jika melihat apa yang disampaikan Pamuk lewat bukunya, barangkali kita bisa juga membayangkan isi esei Schiller kurang-lebih sama dengan milik Pamuk, hanya berbeda topik. Jika Pamuk bicara tentang novelis (dan di beberapa tempat ia juga bicara tentang membaca novel), maka Schiller bicara tentang puisi, atau seperti dijelaskan Pamuk, dapat dilihat sebagai esei panjang tentang karya seni secara umum. Catatan ini tentu saja tidak akan membahas esei Schiller. Tapi keterangan soal esei Schiller penting disampaikan, seperti Pamuk menyampaikannya, dalam rangka memperlihatkan bahwa satu karya seorang penulis dipengaruhi oleh karya penulis yang lain.

Jadi, mari kita mulai membicarakan buku nonfiksi Orhan Pamuk ini.

Secara umum, apa yang dibicarakan Pamuk terangkum oleh judul dan tagline bukunya: The Naïve and the Sentimental Novelist: Understanding What Happens When We Write and Read Novels (diterjemahkan dari bahasa Turki oleh Nazim Dikbas). Dalam bukunya yang termasuk tipis itu (tidak sampai 200 halaman) Pamuk berbicara cukup banyak tentang jenis-jenis penulis. Lebih tepatnya dua, yakni penulis yang naif dan yang sentimental. Selain itu, Pamuk juga berceloteh tentang apa saja yang ia alami ketika membaca novel. Saya kira ini yang membuat bukunya terasa lebih menyenangkan; ia tidak hanya menjelaskan bagaimana seorang penulis ketika menuliskan novelnya, tapi juga bagaimana pengalaman otentik seorang penulis ketika membaca buku.

Soal penulis yang naif dan yang sentimental, Pamuk menjelaskan lewat narasi yang sangat mengalir (setiap membaca tulisan Pamuk kita akan selalu merasa ia sedang bicara langsung kepada kita) bahwa yang pertama adalah penulis yang menuliskan novelnya dalam kondisi ekstatik, atau mabuk, sedang yang terakhir adalah yang menuliskan novelnya dengan kesadaran tinggi, ketelitian akut, dan bahkan kesediaan untuk merepotkan diri menulis sekaligus membaca referensi demi keabsahan dan kekuatan teks novelnya. Penulis naif adalah penulis yang membiarkan dirinya mengalir bersama inspirasi, goes with the flow, sedang penulis sentimental adalah penulis yang perlu menyiapkan semua hal sebelum menulis: bahan riset, sinopsis, kerangka novel, dan seterusnya (apakah di titik ini Anda mulai mengira-ngira jenis penulis yang manakah diri Anda?)

Selain memaparkan pengertian penulis naif dan penulis sentimental, seperti saya katakan tadi, Pamuk juga meletakkan definisi tersebut dalam konteks membaca novel (atau bisa juga buku pada umumnya). Ada pembaca yang naif, ada yang sentimental. Sedikit mengulang penjelasan di paragraf sebelum ini, pembaca naif adalah mereka yang membaca dengan perasaan tenggelam sepenuhnya, terbawa oleh arus plot, percakapan, dan peristiwa-peristiwa yang terjadi di dalam buku; sedang pembaca sentimental adalah mereka yang, sembari membaca buku, terus meneliti, mencatat, menilai, serta membedah misalnya, bagaimana cara penulis menyusun dialog-dialog, merangkai plot, membuat pembuka dan penutup cerita, dan seterusnya. Secara singkat bisa dirangkum begini: penulis/pembaca yang naif adalah yang menulis/membaca dengan “mabuk”, sedang penulis/pembaca yang sentimental adalah yang menulis/membaca sembari menganalisis.

Di bagian-bagian lain, Pamuk juga bercerita tentang masa-masa mudanya saat ia melahap banyak novel, yang kelak jadi bahan bakar inspirasinya sendiri sebagai penulis. Selebihnya-- dan ini ditulis dengan cukup rinci, saya kira-- Pamuk tanpa ragu memaparkan bagaimana cara ia menuliskan novel-novelnya selama ini, secara teknis maupun konseptual. Pada bab “Literary Character, Plot, Time” ia menjelaskan bagaimana protagonis dalam novelnya muncul, terkait dengan tujuan penciptaan dan fungsi karakter itu sendiri, serta bagaimana karakter menjalani kehidupan menggunakan alur waktu tertentu yang telah diciptakan untuknya; bab “Words, Pictures, Objects” menjelaskan bagaimana novel ditulis dengan pendekatan visual dan dinikmati dengan cara serupa; bab “Museums and Novels” menjelaskan bagaimana novel dapat berfungsi seperti sebuah museum dalam hal mengabadikan objek-objek dan budaya dari suatu bangsa di kurun waktu zaman tertentu; dan terakhir bab “The Center” membongkar tentang apa itu pusat-inti novel dan bagaimana pentingnya seorang penulis menemukan atau menciptakan pusat-inti novelnya. Semua ini, saya kira, sangat menarik dibaca jika Anda sendiri adalah seorang penulis atau setidaknya ingin tahu bagaimana seorang penulis bekerja.

Dalam pemaparan mengenai elemen-elemen novel, untuk mendukung teorinya, Pamuk kerap menggunakan, sebagai contoh, karya dari penulis-penulis yang ia sukai: Leo Tolstoy, Fyodor Dostoyevsky, Gustave Flaubert, Homer, James Joyce, Miguel de Cervantes, Herman Melville, dan tidak luput pula Ahmed Hamdi Tanpinar, penulis Turki seperti dirinya. Berkali-kali ia mengutip bagian dari Anna Karenina, dan tidak kurang seringnya memuji betapa bagusnya novel tersebut. Ia juga menyebut The Brothers Karamazov, Ulysses, Moby-Dick, dan mengambil bagian yang relevan dari buku-buku itu untuk menjelaskan apa yang sedang ia bicarakan. Sehingga buku The Naïve and the Sentimental Novelist ini bisa juga dilihat sebagai rekomendasi bacaan dari Pamuk sendiri, dan sejujurnya bagian yang paling saya sukai dari buku ini adalah ya, ini. Tidak ada yang lebih menyenangkan daripada mendapat daftar bacaan dari penulis yang kita sukai. Karena tentu saja dari buku-buku yang direkomendasikan secara tidak langsung itu, kita dapat belajar lebih banyak hal lagi.

The Naïve and the Sentimental Novelist adalah buku nonfiksi Pamuk pertama yang saya baca. Saya sangat menikmatinya, dan meski secara format merupakan karya nonfiksi, Pamuk menuliskannya dengan cara bernarasi yang mirip novel. Jika kita memasang mode “sentimental” saat membaca bukunya ini, kita dapat melihat bahwa Pamuk benar-benar menyusun alur materi kuliah umumnya sebagaimana ia merancang plot sebuah novel: mulai dari pembuka yang umum, materi yang lebih kompleks, hingga ke penutup yang merangkum keseluruhan ide bukunya. Saya bahkan sempat menggumam, Pamuk sebetulnya tidak sedang menulis buku nonfiksi, melainkan novel. The Naïve and the Sentimental Novelist adalah novel yang disamarkan dengan label nonfiksi.


Saya termasuk yang tidak begitu percaya seorang penulis dapat seketika menjadi penulis yang baik hanya dengan membaca tips menulis dari orang lain, tapi saya ingin bilang bahwa buku Pamuk ini dapat jadi pegangan bagus bagi siapa saja yang mau belajar menulis novel. ***

Istanbul, Orhan Pamuk

$
0
0



Terutama bagi perantau seperti saya, sulit untuk menulis tentang sebuah kota. Maksudnya menulis secara komperehensif, bukan hanya soal keindahannya atau bukan pula semata mengutuki kesemrawutannya. Seperti misalnya: mudah bagi seseorang menulis panjang-lebar tentang kemacetan Jakarta, tapi bagaimana dengan sisi-sisinya yang lain? Sisi-sisi yang indah, menarik, dan menyedot setiap orang dari berbagai tempat di Indonesia hingga mendatangi kota tersebut. Tapi, mungkin menulis tentang sebuah kota memang persoalan memilih, sama seperti menulis tentang hal-hal lain. Menulis seperti memotret, kita memilih mana yang ingin kita perlihatkan dan mana yang tidak ingin kita perlihatkan.

Orhan Pamuk, dalam memoarnya Istanbul: Memories and the City (Vintage, 2006: terjemahan bahasa Inggris oleh Maureen Freely) memilih satu hal: Melankoli. Dari banyak yang bisa ia tulis tentang kota di Turki yang telah ia tinggali selama lebih dari setengah abad itu, ia memilh subyek melankoli. Kenapa melankoli? Menurut Pamuk, hal itulah yang melekat pada Istanbul dan para Istanbullus-penghuni Istanbul.

Tetapi melankoli yang Pamuk bahas bukanlah sejenis melankoli personal, yang biasa melanda kita secara tiba-tiba saat mengenang atau memikirkan sesuatu dengan alasan yang bisa unik di masing-masing orang-melainkan, Pamuk sedang bicara soal “melankoli kolektif”. “Melankoli kolektif” ini adalah sejenis melankoli yang dialami secara bersama-sama oleh seluruh Istanbullus. Melankoli tersebut datang dari keruntuhan besar kekaisaran Ottoman di masa lalu. Dalam bahasa Turki ada kata yang, menurut Pamuk, dapat mewakili lebih tepat: Hüzun, yang kurang-lebih artinya juga kesedihan atau melankoli. Melankoli inilah yang menyelubungi setiap sudut kota Istanbul. Ke mana pun seseorang melemparkan pandangannya, yang ia lihat hanyalah sisa-sisa kejayaan kekaisaran di masa lalu.

Meski berbicara tentang melankoli kolektif suatu kota dan para pemukimnya, Pamuk tak memulai memoarnya dengan membicarakan Istanbul. Ia lebih dahulu menceritakan dirinya sendiri beserta keluarganya. Ia bertutur tentang masa kecilnya; bagaimana ia kerap membayangkan ada Orhan lain di suatu tempat yang selalu bahagia dan punya kehidupan berbeda dengan dirinya (saya teringat mitos doppleganger); bagaimana ia sering bersaing dengan abangnya, bahkan sampai bertengkar, dalam usaha mengambil perhatian ibunda dan sang nenek; bagaimana keluarga besarnya tinggal di satu apartemen; bagaimana saat muncul permasalahan di hubungan perkawinan kedua orangtuanya dan berujung pada perceraian; bagaimana ia punya cita-cita ingin menjadi pelukis; dan seterusnya.

Dari memori masa kecil itu, barulah Pamuk bergerak ke kota. Ia menggambarkan dengan filmis bagaimana lanskap Bosphorus tempat ia sering melihat kapal-kapal melintas dan sekali waktu bertabrakan sehingga membuat seluruh warga Istanbul berkumpul menontonnya (saya teringat orang-orang Indonesia yang gemar menonton musibah seperti misalnya kecelakaan atau ledakan bom). Ia juga mendeskripsikan sudut-sudut jalan Beyoglu yang masih menyimpan rumah para pasha.

Selebihnya, Pamuk bercerita tentang bagaimana para penulis dan seniman lukis kesukaannya memandang dan memaknai Istanbul. Ia menyebut, misalnya saja, Antoine Ignace Melling (1763-1831) pelukis kelahiran Karlsruhe, Jerman, yang melukis lanskap Bosphorus dengan, seperti kata Pamuk, “detail sehari-hari dan nuansa arsitektur yang tidak pernah dicapai seniman Eropa mana pun.” Dalam usaha melengkapi penjelasannya tentang hüzun atau melankoli kolektif Istanbul, Pamuk menyebut beberapa penulis Turki (semuanya hidup di abad ke-18 dan ke-19)-Yahya Kemal (1884-1958), Resat Ekrem Koçu (1905-1975), Abdülhak Sinasi Hisar (1887-1963), dan Ahmet Hamdi Tanpinar (1901-1962-lantas menggambarkan bagaimana keempat penulis tersebut mendiskusikan hüzun-nya masing-masing. Barangkali Pamuk melakukan ini untuk menegaskan bahwa ia tidak merasakan melankoli itu sendirian.

Saya melihat Istanbul: Memories and the City sebagai rekam sejarah keluarga, kota, dan daftar seniman kesukaan Pamuk. Secara konstan, Pamuk berpindah-pindah dari ingatan masa kecilnya ke sejarah Istanbul dan kehidupan seniman-seniman kesukaannya saat mereka tinggal atau sekadar berkunjung ke Istanbul.

Ketika membaca sebuah buku tentang suatu kota, hal pertama yang saya lihat adalah siapa penulisnya. Maksud saya, siapakah dia kaitannya dengan kota yang ia tuliskan. Apakah si penulis warga asli kota tersebut, peneliti atau sejarawan yang tidak berasal dari kota itu, ataukah sekadar turis? Tentu saja ini penting setidaknya bagi saya, untuk membuat saya yakin bahwa semua yang ditulis dalam buku tersebut dapat dipercaya. Dalam pada itu, yang membuat Istanbul dapat dipercaya, selain karena ia ditulis oleh seorang Istanbullus, tetapi juga ditulis oleh seorang Istanbullus yang tidak pernah tinggal di mana pun di luar Istanbul selama tidak kurang dari 50 tahun (kecuali saat Pamuk pernah dipaksa keluar dari Turki saat ia bicara tentang pembantaian massal suku Armenia oleh kekaisaran Ottoman; tapi ia balik lagi ke Turki). Sehingga, misalnya, meski bukan ditulis oleh seorang sejarawan, saya kira Istanbul dapat disejajarkan dengan buku-buku lain tentang sejarah Turki secara umum atau Istanbul secara khusus.

Selain memori personal dan melankoli sejarah, hal lain yang menarik dalam memoar Pamuk ini adalah bagaimana di suatu bagian ia bercerita tentang kehidupan orang-orang kelas atas Istanbul. Pamuk sendiri sebetulnya berasal dari keluarga kaya-raya (meski ia menyebut keluarganya sempat mengalami kebangkrutan, tapi sepertinya tak terlalu berpengaruh terhadap kehidupannya). Anehnya, Pamuk ternyata mengejek kebiasaan dan perilaku orang-orang kaya Istanbul. Pamuk mengacu pada para keluarga kaya-raya Istanbul yang lebih kaya dari keluarganya. Ia mengejek kegemaran orang-orang kaya Istanbul bergosip dan pamer harta-benda dengan bergaya mewah. Ia juga tidak suka melihat  bagaimana ibunya berusaha untuk masuk ke dalam lingkaran orang-orang kaya itu. Di titik ini saya teringat salah satu tokoh di novel Dengarlah Nyanyian Angin, Haruki Murakami, yang kerap menyatakan kebenciannya terhadap orang-orang kaya meski dirinya sendiri berasal dari keluarga kaya-raya.

Salah satu hal konyol yang Pamuk temukan pada orang-orang kaya Istanbul ini adalah bagaimana mereka berusaha untuk menjadi “modern”. Sejak keruntuhan kekaisaran Ottoman di masa lalu yang jauh, Mustafa Kemal Ataturk-founding father RepublikTurki-membawa ide modernisasi ke hadapan rakyat Turki. Modernisasi ini dilakukan pertama-tama dengan melenyapkan apa-apa yang berasal dari “ketimuran” Ottoman: pakaian, rumah-rumah kayu, atribut-atribut lain yang menyimpan nuansa kekaisaran. Dari sana segala melankoli bermula. Sayangnya modernisasi ini, seperti dikatakan Pamuk, masih berkutat pada yang berada di kulit: pakaian, peralatan rumah tangga, industrialisasi, benda-benda.


Seorang reporter Inggris pernah bertanya kepada Pamuk di suatu wawancara apakah menurutnya modernisasi di Turki berhasil. Pamuk menjawab pertanyaan itu dengan pertanyaan lain: “Apa arti modernitas? Jika itu berarti pertumbuhan ekonomi dan industri, bisa jadi Turki sudah modern. Tapi jika modernitas berarti sekularisme, demokrasi, dan respek terhadap setiap individu, saya tidak yakin apakah Turki sudah modern atau belum.” Mendengar pernyataan Pamuk itu, saya kira apa yang ia gelisahkan tidak hanya relevan pada situasi terkini di Turki, melainkan juga negara-negara lain yang saat ini membanggakan modernitas tapi toh penduduknya masih saja selalu rusuh setiap menemui perbedaan. ***

tentang melamun

$
0
0


menyimak manusia di jalan raya itu kegiatan yang menyenangkan.

meski lebih sering kerja di dalam ruangan, saya senang berada di luar. merasakan panas matahari dan angin yang berembus. melihat orang-orang, motor, dan mobil yang bergerak.

saya suka melihat sesuatu yang bergerak. karenanya saya senang memperhatikan jalanan. di jalan semuanya bergerak. pergerakan itu memperlihatkan sesuatu yang hidup. saya senang berdiam dan memperhatikan orang-orang lain bergerak. saya suka membayangkan apa yang sedang mereka lakukan, atau ke mana mereka menuju.

di luar ruangan, di jalan raya, semuanya tampak hidup, karena semuanya bergerak. ada yang santai, banyak yang tergesa-gesa. tapi kalau kita perhatikan, sebenarnya orang-orang tidak pernah berhenti bergerak. bahkan ketika tubuh kita berhenti, perasaan dan pikiran kita bergerak.

*

kalau belum pernah, coba sesekali pergi ke tempat makan/minum di luar ruangan dekat jalan raya. lalu cari seseorang dan perhatikan rautnya. kalau sering nongkrong di kafe beramai-ramai, coba sesekali pergi sendir, tapi nggak ke kafe di dalam ruangan, melainkan suatu tempat di luar.

bisa melipir ke minimarket 24 jam lalu parkir di situ. duduk di pelatarannya kalau ada kursi. atau makan di warung yang bisa melihat ke jalan. duduk sendirian, sambil ngemil atau minum kopi.

lalu diam dan simak sekeliling.

lihat orang-orang lewat, menikmati apapun yang sedang terjadi dalam momen tersebut. kalau beruntung, kamu akan menemukan peristiwa menarik. mungkin interaksi antara dua orang yang asing bagimu. atau sekadar kejadian sepele yang tidak akan menarik jika tidak kamu perhatikan, tapi karena kini kamu memperhatikannya, dengan satu dan lain cara kamu melihat hal menarik.

kalau kamu punya pasangan yang juga senang melamun, lebih asyik lagi. bisa melamun bareng. tapi, melamun sendirian juga amat nyaman.

*

menurut saya penting menyediakan waktu melamun untuk menyimak sekeliling, karena kadang-kadang kita terlalu sibuk dengan diri sendiri. saat terlalu sibuk dengan diri sendiri, kita jadi lupa bahwa ada banyak hal yang sedang terjadi di sekitar kita. hal-hal yang menarik pula.

sesekali perlu melupakan diri sendiri untuk menikmati hal-hal kecil yang terjadi di sekeliling-- di luar diri kita. karena, kadang-kadang saat kita memiliki pertanyaan untuk diri sendiri, sebetulnya jawabannya bisa kita temukan dari hal-hal di sekeliling.

nggak harus juga menyimak orang-orang. duduk melamun juga bisa sambil memperhatikan awan bergerak, daun-daun bergoyang-- mengawasi alam.

*

nggak harus juga berusaha mencari peristiwa menarik saat melamun. kadang, kita melakukannya sekadar untuk 'menyadari' keberadaan hal-hal.

saat sibuk sendiri dengan pekerjaan, rencana-rencana, pertemuan-pertemuan, dan semuanya-- kita nggak sadar, di langit sana awan lagi bergerak. kita nggak sadar daun-daun bergoyang ditiup angin; pasir dan debu beterbangan dilewatin mobil. bahkan kita nggak sadar kita lagi bernapas. kita nggak sadar; di dalam tubuh kita, semua organ dari yang besar sampai yang kecil sedang bekerja. jantung lagi memompa darah. paru-paru lagi memompa oksigen dan mengeluarkan karbondioksida; sel-sel darah lagi mengangkut nutrisi ke seluruh tubuh; lambung mencerna.

semuanya bekerja untuk kehidupan kita, tanpa pernah kita sepenuhnya sadari.

diam, melamun, dan menyimak-- membuat kita menyadari bahwa selain hidup kita sendiri, ada banyak hal kecil yang penting sedang berlangsung di waktu bersamaan.

ketika sudah mulai menyadari hal-hal yang jarang kita sadari, hidup dengan segala tantangannya adalah pengalaman indah dan layak disyukuri.  setelah melamun, biasanya jadi dapat suntikan energi untuk menjalani hidup lagi, menghadapi masalah-masalah lagi. jiwa jadi terisi.

*

tentu saja, kadang-kadang melamun juga bikin sedih. itu karena saat melamun kita juga jadi punya kesempatan mendalami perasaan diri sendiri. tapi percayalah, apakah membuat kamu sedih atau bersyukur, berdiam dan melamun akan bikin kamu lebih meresapi hidup. dan, itu menyenangkan. apalagi kalau kamu merasa sudah terlalu hectic dengan kegiatan sehari-hari. ciptakan satu momen 'hening' buat dirimu sendiri. hentikan semuanya untuk sementara waktu.

mari menjadi para pelamun!

*

diskusi, membaca, nonton, bekerja, olahraga-- semua bikin kepala, dompet, dan kesehatan terjaga-- tapi jiwa? jiwa bisa 'terisi' dengan melamun.

ada tiga hal di diri manusia yang, kalau ia ingin baik-baik saja dan merasa lengkap, semuanya harus terisi: yakni pikiran, tubuh, dan jiwa. pikiran (otak) diisi dengan asupan ilmu. informasi dari riset, bacaan, tontonan, diskusi-diskusi dengan orang-orang berilmu, dan berpikir. fisik (tubuh) -- 'diisi' dengan berolahraga. kemampuan motorik anggota tubuh dijaga dengan memfungsikannya, menggunakannya secara rutin. jiwa -- diisi dengan sesuatu yang spiritual. kalau punya agama, diisi dengan beribadah, membangun hubungan sama tuhan.

selain dengan beribadah, bagi saya, 'mengisi jiwa' juga bisa dilakukan dengan cara melamun sendirian. menyimak alam dan lingkungan sekeliling.

seseorang hanya bisa stabil ketika tiga hal tersebut-- pikiran, tubuh, dan jiwa-- berada dalam keseimbangan. semuanya diberi 'nutrisi'. kalau pikiran dan tubuh kamu sudah terisi, tapi jiwa tidak, mungkin di saat-saat tertentu kamu akan merasa seperti 'kosong' atau 'hampa'. kalau pikiran dan jiwa kamu sudah terisi, tapi tubuh tidak, suatu waktu akan jatuh sakit karena kesehatan nggak terjaga. kalau jiwa dan tubuh kamu terisi, tapi pikiran tidak, mungkin kamu bisa ketinggalan dengan semua informasi di dunia yang berjalan cepat.

kalau dalam islam, semua yang ada di alam ini bertasbih kepada tuhan. jadi saat kita menyimak alam, kita sedang mendengarkan mereka bertasbih. mendengarkan alam bertasbih mungkin sama seperti mendengarkan orang lain bertasbih atau mengaji, kita cuma dengar tapi kecipratan pahala.

*

mari menarik diri sejenak dari kesibukan dan arus waktu. bungkus diri sendiri dengan selubung transparan. melamun. menikmati suasana sekitar. menyadari pergerakan alam.


menyimak diri sendiri dengan mencermati sekitar.

The Brothers Karamazov, Fyodor Dostoyevsky

$
0
0



Membaca karya sastra klasik adalah sesuatu yang belum pernah saya lakukan. Terlalu banyak hal yang membuat saya enggan, atau setidaknya terus menunda membaca karya-karya sastra klasik, dan semua itu berakar pada macam-macam prasangka: semua buku sastra klasik “berat”, ukurannya terlalu tebal, bahasanya sulit dimengerti, dan seterusnya. Sebagai penulis, saya merasa “harus” membaca karya sastra klasik, untuk alasan yang juga tidak benar-benar saya pahami. Mungkin karena beberapa penulis kesukaan saya membaca banyak karya sastra klasik. Sebagai pembaca, saya menganggap membaca karya sastra klasik sebagai suatu tantangan, yang cepat atau lambat harus saya jawab. Saya memutuskan tahun ini adalah waktunya untuk menjawab tantangan itu.

Karya sastra klasik pertama yang saya baca: The Brothers Karamazov, Fyodor Dostoyevsky (1821-1881). Ia penulis Rusia, dan novel tersebut merupakan karya terakhirnya. Sepanjang 60 tahun usianya, ia menulis cukup banyak buku, sekitar 20 hingga 30. Beberapa yang sering disebut: Crime and Punishment, The Idiot, Notes from Underground, dan karya terakhirnya yang ternyata berukuran paling tebal di antara seluruh karyanya, The Brothers Karamazov.

Saya rasa hal berikut penting untuk disampaikan. Sebetulnya saya memutuskan untuk mulai membaca The Brothers Karamazov setelah menonton sebuah film berjudul Karamazovi. Film tersebut rilis tahun 2008, dibuat oleh Petr Zelenka, seorang sutradara asal Republik Ceko. Ceritanya tentang satu kelompok teater yang sedang rehearsal pementasan untuk tampil di suatu festival (tapi festival ini tidak ditampilkan). Mereka menampilkan adaptasi dari novel The Brothers Karamazov. Jadi, film Karamazovi bukan adaptasi novel The Brothers Karamazov, melainkan film tentang sekelompok pemain teater yang mementaskan adaptasi dari The Brothers Karamazov. Filmnya menarik sekali, dan karena itu saya jadi tertarik untuk mulai membaca novelnya. Karya yang bagus selalu mendorong kita untuk menikmati karya bagus lain.

Meski hanya mengambil cuplikan dari novelnya, Karamazovi cukup mewakili apa yang diceritakan Dostoyevsky dalam The Brothers Karamazov (tentu saja mereka tidak bisa menampilkan keseluruhan novel dan siapapun yang masih berharap versi film dari novel harus persis seperti novelnya lebih baik mulai mengganti hobi menonton film jadi, misalnya, memelihara kukang). Karakter-karakter pada novel terwakili dengan baik wataknya oleh para pemain Karamazovi. Emosi yang begitu intens membuat saya seakan-akan dapat segera memahami apa saja yang dibicarakan Dostoyevsky dalam novelnya.

Sepulang dari menonton Karamazovi, saya segera mengambil dari rak di kamar, The Brothers Karamazov, dan mulai membacanya.

Dalam keterkejutan saya, prasangka buruk saya sendiri yang utama terhadap karya sastra klasik gugur sudah. The Brothers Karamazov tidak melelahkan, ribet, ataupun membuat saya terseret-seret membacanya, seperti awalnya saya khawatirkan (saya ingat saya mengkhawatirkan hal sama ketika kali pertama membaca Bumi Manusia). Halaman demi halaman terbaca begitu saja tanpa henti. Narasi di bab awal memaparkan karakter Fyodor Karamazov seketika saja menarik saya ke dalam dunia The Brothers Karamazov. Rasa penasaran langsung muncul. Ketika sebuah buku telah berhasil menumbuhkan rasa penasaran di kepala pembaca, saya menganggap buku itu sudah menang. Sisanya menikmati.

Pada kulitnya, The Brothers Karamazov adalah cerita parricide-pembunuhan yang dilakukan anggota keluarga terhadap anggota keluarga lain. Dalam pada ini, anak kepada ayahnya. Tiga bersaudara Karamazov: Dmitri Karamazov, Ivan Karamazov, Alexey (Alyosha) Karamazov, dicurigai telah bertanggungjawab atas kematian ayah mereka, Fyodor Karamazov. Novel dibuka dengan penjelasan dari narator tentang kematian Fyodor Karamazov. Namun, The Brothers Karamazov bicara lebih banyak dari sekadar kasus pembunuhan. Ia berbicara perihal sifat-sifat dasar manusia mulai dari keinginan berbuat baik maupun buruk, keadilan, agama, tuhan dan ketuhanan, sampai keberadaan dan ketidakberadaan tuhan.

Semua yang dibicarakan Dostoyevsky di dalam The Brothers Karamazov terurai lewat percakapan-percakapan di antara karakter-karakternya, yang, harus saya katakan, amat menarik. Karakter-karakter Dostoyevsky, saya kira, tidak hanya mewakili diri mereka sendiri, melainkan menjadi simbol dan representasi dari banyak manusia lain yang memiliki sifat dasar serupa. Dmitri Karamazov yang tukang mabuk dan main perempuan tapi senantiasa mempertahankan harga diri dan martabatnya; Ivan Karamazov yang apatis terhadap kebaikan dan ketuhanan tapi pada akhirnya melakukan hal baik terhadap saudaranya; Alyosha yang bijak dan religius tapi kerap dibuat bingung oleh beragam manusia yang ia temui; juga Fyodor Karamazov yang gemar menyalahkan dan mendramatisir dirinya sendiri. Belum lagi karakter-karakter lain yang tidak kalah berkesan: Smerdyakov anak “tidak sah” dari Fyodor Karamazov dengan seorang perempuan gila, Agrafena Syvetlov alias Grushenka si perempuan yang manipulatif, Katerina si perempuan terdidik, dan seluruh karakter pendukung lain termasuk Kolya Krassotskin si bocah cerdas dan Ilusha, temannya.

Kata seorang pengacara pada akhir novel, Karamazov bersaudara memiliki sejenis ekstremitas internal yang membuat mereka dapat melakukan dua hal berlawanan (baik dan buruk, misalnya) di waktu yang berdekatan, jika tidak bersamaan. Bukankah “ekstremitas internal” semacam begini sebetulnya dimiliki secara inheren oleh seluruh manusia?

Selain karakter-karakternya yang berkesan, bagian yang sangat perlu dinikmati saat membaca The Brothers Karamazov adalah dialog-dialognya. Hampir seluruh plot digerakkan oleh dialog. Dari dialog kita dapat mengetahui jalan pikiran watak tokoh-tokohnya. Melalui dialog oleh tokoh-tokohnya pula, Dostoyevsky menyampaikan pemikiran-pemikirannya. Salah satu favorit saya adalah bab The Grand Inquisitor, dialog antara Ivan Karamazov dengan Alexey Karamazov alias Alyosha, walaupun sebetulnya hampir tidak bisa disebut sebagai dialog karena pada bagian tersebut Ivan bermonolog (kepada Alyosha) tentang isi pikirannya sendiri-ia bicara soal tuhan, kebaikan, kejahatan, dan ketidakmengertiannya pada kekejaman atas anak-anak.

Meski datang dari Rusia, menulis dengan bahasa Rusia, dan menamai tokoh-tokoh novelnya dengan nama Rusia, serta beberapa kali menyebut-nyebut Rusia dalam narasinya, sebetulnya Dostoyevsky tidak berbicara tentang Rusia. Seperti semua novel bagus, The Brothers Karamazov mengandung universalitas, yang membuat semua orang yang membacanya dapat seketika merasa terhubung dan memahami apa yang tengah ia bicarakan meski tidak berasal dari Rusia dan tak tahu apa-apa tentang budaya dan situasi Rusia. Semua novel bagus memiliki nilai universalitas semacam itu. Hal tersebut yang membuat suatu novel terus dibaca bahkan setelah berabad-abad, melampaui zaman ketika ia dituliskan.


“Berat”, bertele-tele, melelahkan, sukar dicerna, bahasanya ribet, dan seterusnya dan seterusnya-tidak satu pun dari semua prasangka itu terbukti, ketika saya selesai merampungkan The Brothers Karamazov. Segala yang terjadi hanyalah kebalikannya. Novel ini serunya sama seperti menonton film Hollywood dengan aktor orang-orang Rusia yang bercakap-cakap tentang hal-hal yang saya sukai. Singkat kata, pengalaman pertama saya membaca karya sastra klasik membuat saya belajar setidaknya satu hal penting: prasangka buruk adalah hal yang sama sekali tidak perlu dan sia-sia. Baik kepada manusia maupun kepada buku. ***
Viewing all 402 articles
Browse latest View live