Quantcast
Channel: Bernard Batubara
Viewing all 402 articles
Browse latest View live

The Wind-Up Bird Chronicle, Haruki Murakami

$
0
0



Ini adalah kali ketigabelas, saya membaca buku Murakami. Bukan perjalanan yang pendek dalam mengikuti rekam jejak karya seorang pengarang, setidaknya bagi saya sendiri. Saya menyukai Joanne Kathleen Rowling dan Pramoedya Ananta Toer, namun tidak/belum membaca habis seluruh buku mereka. Dari JKR, tujuh buku serial Harry Potter, tiga buku serial The Hogwarts Library, dan satu dari serial novel kriminal sudah saya baca, menyisakan The Silkworm yang sampai saat ini masih parkir rapi di rak buku di kamar saya. Dari Pram, saya baru menamatkan serial Tetralogi Buru dan dua novel pendeknya, Bukan Pasarmalam dan Gadis Pantai. Namun kedua penulis favorit saya itu masih ‘kalah jumlah’ dari Murakami. Murakami adalah, bisa dibilang, penulis yang paling banyak saya baca bukunya.

Bermula dari rasa girang saat membaca Dengarlah Nyanyian Angin, saya mulai mengoleksi dan membaca buku-buku Murakami yang lain. Novel, kumpulan cerpen, dan karya nonfiksinya. Semua karyanya berakar pada satu tema: solitude. Hidup yang soliter. Keinginan untuk memisahkan diri (atau dalam beberapa bukunya, terpisahkan) dari masyarakat. Tokoh utama di novel-novel maupun cerpen-cerpen Murakami adalah manusia yang terisolasi. Namun, mereka sama sekali tidak keberatan dangan keadaan tersebut. Mereka menerimanya sebagai sesuatu yang wajar. Kondisi yang memang mewakili kepribadian mereka, barangkali.

Toru Okada pun tak berbeda. Seperti halnya Toru Watanabe, Tengo Kawana, dan Tsukuru Tazaki (saya baru sadar saat menuliskan ini, ternyata tokoh utama Murakami banyak berinisial T), ia adalah laki-laki yang merasa nyaman dengan hidup soliter, mengisolasi dirinya dari masyarakat atau dunia luar. Ini ditunjukkan dari hasratnya masuk ke dalam sumur dan duduk berjam-jam di sana. Ditinggal oleh kucing peliharaan dan istrinya yang hilang, Toru Okada, meski tetap menyimpan kegelisahan dan berusaha mencari mereka, sebetulnya sangat menikmati saat-saat kesendiriannya pasca kehilangan kucing dan istrinya.

Tokoh utama di karya-karya Murakami kerap menunjukkan sosok yang tak memiliki tujuan. Aimless. Hidup mereka berjalan layaknya sungai, go with the flow. Jarang kita temukan ambisi atau hasrat yang menggebu-gebu akan sesuatu, apalagi rasa takut akan kegagalan. Tokoh-tokoh utama Murakami merupakan sampel sempurna akan manusia yang hidup namun tak hidup.

Meski demikian, pada setiap novel Murakami akan muncul titik benturan yang membuat tokoh-tokoh itu mulai memiliki keinginan. Tetap saja tidak dapat disebut sebagai hasrat ataupun ambisi. Sekadar keinginan yang lebih kuat dari sekadar menjalani hidup yang medioker.

Di The Wind-Up Bird Chronicle, titik benturan itu adalah hilangnya Kumiko Okada, istri Toru Okada. Suatu malam Kumiko tak pulang ke rumah. Sampai keesokan harinya, Toru Okada tak melihat istrinya itu di dalam rumah. Ia menelepon ke kantor sang istri, dan kantornya menjawab bahwa Kumiko tidak masuk kerja sejak sehari yang lalu, itu adalah hari ketika kali terakhir Toru Okada melihat istrinya.

Pencarian Toru Okada membawa kita masuk ke poin berikutnya dari benang merah-untuk tidak menyebutnya template-novel Murakami: absurditas dan surealisme.

Oh, tunggu, sebelum masuk ke absurditas dan surealisme, kita akan mampir dulu di poin lain template Murakami, yakni tokoh sekunder perempuan yang memiliki kepribadian unik. Setelah Midori Kobayashi di Norwegian Wood dan Fuka-Eri di 1Q84, Murakami menghadirkan gadis lain dengan tiupan nyawa yang sama yang kali ini bernama May Kasahara. Oleh May Kasahara lah Toru Okada mendapatkan nama panggilan barunya, Mr. Wind-Up Bird. Gadis yang bekerja di perusahaan pembuat wig itu memiliki ciri-ciri serupa dengan Midori dan Fuka-Eri (pengecualian pada sifat introvert Fuka-Eri), yakni outgoing, memiliki pandangan yang unik akan sesuatu, dan menjadi ‘orang kedua’ setelah ‘perempuan resmi’ dalam relasi percintaan tokoh utama.

Absurditas dan surealisme Murakami selalu berusaha untuk mengaburkan pandangan pembaca akan mana yang nyata dan mana yang gaib. Murakami seperti hendak menghadirkan jukstaposisi, namun dengan cara yang teramat lembut dan format yang halus. Dunia lain di The Wind-Up Bird Chronicle dimulai ketika Toru Okada masuk ke dalam sumur dan menghabiskan waktunya di sana. Ia tertidur, lantas bermimpi. Di mimpinya, dunia kedua mengambil wujud. Dunia kedua di banyak novel Murakami adalah tempat tokoh utama menemukan petunjuk-petunjuk untuk menyelesaikan persoalannya di dunia nyata. Dalam hal ini, peristiwa misterius hilangnya istri Toru Okada.

Satu hal yang paling berbeda di The Wind-Up Bird Chronicle adalah keputusan Murakami memasukkan peristiwa nonfiksi. Yakni peristiwa perang. Barangkali ini yang membuat The Wind-Up Bird Chronicle menjadi salah satu novel Murakami yang ‘diakui’ dunia. Novel-novel Murakami hampir jarang memiliki unsur-unsur (tersurat) tentang permasalahan sosial dan politik. Ia agaknya lebih tertarik mengulik psikologi individu manusia dan relasi antarmanusia.

Dalam pada itu, membaca The Wind-Up Bird Chronicle memberi pengalaman yang (sedikit) berbeda bagi saya. Menjadi buku ketigabelas Murakami yang saya baca, The Wind-Up Bird Chronicle setidaknya menunjukkan kepada saya bahwa Murakami bisa, melihat ke luar. Ia bisa keluar dari sumur dan menangkap serta menuliskan hal-hal lain di luar dirinya. Ia bisa menceritakan sesuatu yang lebih ‘besar’ dan ‘luas’.

Meski demikian, tak dapat dipungkiri bahwa template Murakami membuatnya menjadi pengarang yang memiliki ciri khas kuat. Walaupun menurut saya, ‘pola’ atau mannerism bisa menjelma jadi jebakan bagi seorang penulis. Jika ia menelurkan 40 novel dan semuanya bertema seragam, dengan tokoh-tokoh yang karakternya tak jauh berbeda, plot yang mirip, minim eksplorasi maupun eksperimen, maka ia telah mendekati ajal kreativitasnya.

Apakah saat ini Murakami telah mendekati ajal kreativitasnya? Saya berdoa semoga saja tidak. Meski di dua buku terbarunya yang saya baca, Colorless Tsukuru Tazaki and His Years of Pilgrimage dan The Strange Library, mau tidak mau saya harus bilang bahwa saya tak mendapatkan pengalaman yang betul-betul segar.

Tentu saja pembaca tetap dapat menikmati buku yang ditulis dengan perulangan-perulangan tersebut, selama buku itu bagus dan enak dibaca. Dan barangkali perulangan adalah hal paling mudah dan senjata ampuh untuk menjaga minat pembaca. Toh, Nicholas Sparks tetap laris manis dengan bejibun novel romannya, Stephen King tetap besar dengan rangkaian novel thriller, tanpa perlu mencoba menulis genre lain.


Bukan berarti saya menyarankan Murakami untuk menulis novel fantasi atau fiksi sains (meski dalam beberapa hal sebetulnya ia telah melakukannya). Namun, saya percaya, seorang penulis, seperti juga tenaga kreatif lain, mesti terus-menerus menjebol dinding kreativitasnya dan tak pernah berhenti menjelajah kemungkinan-kemungkinan baru dalam bercerita. ***

Review Lelaki Harimau di Jawa Pos

$
0
0
Tulisan ini dimuat di Jawa Pos beberapa bulan lalu, kalau tidak salah bulan Oktober 2014. Hanya saya baru ingat ternyata belum sempat dipajang di sini. Jadi, saya pajang saja.


Ulasan saya atas novel Lelaki Harimau Eka Kurniawan dapat dibaca di sini dalam versi yang sedikit lebih panjang.



Review Aksara Amananunna di Jawa Pos

$
0
0
Catatan pembacaan saya atas buku Aksara Amananunna Rio Johan dimuat diJawa Pos edisi Minggu, 25 Januari 2015.


Tulisan tersebut dapat dibaca dalam versi yang sedikit lebih panjang di sini.



Jatuh Cinta di Joglosemar

$
0
0


Jumat – Sabtu lalu (23 – 25 Januari 2015), saya dan penerbit GagasMedia main-main ke Jogja, Solo, dan Semarang untuk bertemu para pembaca, sekaligus memperkenalkan buku terbaru saya, kumpulan cerita Jatuh Cinta Adalah Cara Terbaik untuk Bunuh Diri.

Kami memulai perjalanan dari Jogja, kota yang sebetulnya juga saya tinggali. Jadi, di kota ini saya hanya melakukan perjalanan dari kos ke toko buku.

Di Jogja (23/1) saya menemui teman-teman pembaca di Gramedia Sudirman. Acara dimulai sedikit terlambat, namun berjalan lancar. Beberapa hari sebelumnya, saya mengobrol di RRI Pro 2 Yogyakarta, juga bercerita tentang buku terbaru saya.





Hari kedua (24/1) saya dan kru GagasMedia beranjak ke kota kedua: Solo. Di Solo, kami menyambangi Radio PTPN Solo dan Gramedia Solo Square. Begitu tiba di lokasi, ternyata beberapa kursi sudah terisi. Acara berjalan menyenangkan karena saya mendapat pertanyaan-pertanyaan yang belum pernah saya terima.





Dari Solo, malam hari kami langsung melanjutkan perjalanan ke kota terakhir: Semarang. Tiba di Semarang pukul setengah duabelas malam. Saya kelelahan dan langsung tertidur. Sempat merasa pusing sepanjang perjalanan karena memang sedang kurang fit. Namun, bayang-bayang bertemu teman-teman pembaca membuat saya bersemangat. Saya tidak sabar ingin menyapa mereka.

Hari terakhir (25/1) pukul sepuluh di pagi hari saya bertandang ke Radio Gajahmada FM, untuk taping wawancara. Tanya-jawab dan obrolan santai dengan penyiar Gajahmada FM berlangsung seru dan bisa saya bilang cukup ‘berisi’. Alih-alih berbasa-basi tentang sumber ide menulis dan hal-hal standar lainnya, sang penyiar menanyakan perkara yang lebih spesifik tentang konteks buku dan perihal trivia lain yang sangat menghibur saya. Satu jam terlewati dan kami berpamitan untuk makan siang.




Sore harinya, kami beranjak dari hotel menuju Gramedia Pemuda yang ternyata sangat dekat letaknya dengan hotel. Tidak sampai 10 menit perjalanan. Saya sempat mengira venue akan sepi pengunjung karena toko buku yang dipakai kali ini bukan toko buku yang biasanya dipakai untuk acara meet and greet.

Namun, perkiraan saya keliru. Seiring talk show berlangsung, pengunjung bertambah dan memenuhi kursi-kursi yang telah disediakan. Bahkan, kru harus menambah beberapa kursi lagi untuk memberi tempat ke pengunjung baru.

Obrolan dan tanya-jawab dengan teman-teman pembaca di Gramedia Pemuda pun berjalan sangat menyenangkan. Seorang pembaca bertanya kepada saya tidak tentang menulis, melainkan membaca buku. Inilah yang dapat membuat hati saya senang: pertanyaan yang baru, sehingga saya terpancing untuk menceritakan hal baru.





Alhamdulillah. Tiga hari melakukan perjalanan jatuh cinta di tiga kota mengingatkan saya akan satu hal: pembaca adalah salah satu sumber energi yang besar bagi proses kreatif menulis saya. Saya tidak bisa menafikan kehadiran dan peran mereka dalam perjalanan karir saya sebagai penulis. Mereka yang membaca dan mengapresiasi, mengikuti, bahkan menunggu apa yang akan saya keluarkan selanjutnya.

Apa lagi yang dapat membuat mereka melakukan semua itu kalau bukan karena perasaan jatuh cinta?

Tidak ada hal yang bisa saya lakukan untuk merespons apa yang telah mereka lakukan kepada saya, selain mengucapkan terima kasih, dan terus berkarya dengan lebih baik.

Saya berjanji. Saya akan terus melakukan dua hal tersebut.



Bara


Jatuh Cinta di Surabaya dan Malang

$
0
0



Meneruskan perjalanan tur promo buku terbaru saya: Jatuh Cinta Adalah Cara Terbaik untuk Bunuh Diri, saya dan tim penerbit GagasMedia bertandang, kali ini, ke Jawa bagian Timur. Tepatnya ke Surabaya dan Malang.

Tanggal 13 Februari 2015, saya berangkat dari Jogja pukul enam pagi menggunakan kereta. Sancaka Pagi, nama keretanya. Ini bukan perjalanan pertama saya ke Surabaya. Beberapa buku saya sebelumnya membawa saya melakukan perjalanan ke Surabaya, juga untuk urusan promosi.

Hari itu hari Jumat, saya tiba di Surabaya tepat pukul duabelas siang. Di stasiun Surabaya Gubeng, saya sudah ditunggu Zaenal, kru pemasaran Agromedia, yang dalam tiga hari ke depan akan menemani saya berpindah dari satu tempat ke tempat lain untuk bertemu para pembaca.

Malamnya, kami bertandang ke Prima Radio Surabaya. Sempat ada masalah karena ternyata alamat radio yang kami simpan tidak valid. Akibatnya, kami harus menempuh jalan lebih jauh untuk menuju lokasi, dan kehilangan tak kurang dari setengah jam dari waktu talk show. Saya tiba di Prima Radio tigapuluh menit terlambat dari jadwal, dan menggunakan waktu yang tersisa sebaik-baiknya untuk bercerita sedikit tentang buku saya.



Hari kedua, Sabtu tanggal 14 Februari 2015, saya bertemu dengan teman-teman pembaca di Gramedia Tunjungan Plaza, masih di Surabaya. Acara dimulai pukul dua siang dan berakhir pukul empat sore. Meski setelahnya kami masih sempat berfoto bersama, dan saya mengobrol singkat dengan beberapa pembaca. Mereka sangat menyenangkan, karena begitu antusias mengikuti acara meet and greet dan tampak amat menyimak apa yang saya sampaikan.



Selesai di Gramedia Tunjungan Plaza, kami langsung melanjutkan perjalanan menuju Malang. Beranjak pukul setengah tujuh malam, kami tiba di Malang sekitar pukul sembilan. Terhitung cukup cepat, mengingat dari pengalaman saya biasanya butuh waktu paling lekas tiga jam perjalanan darat dari Surabaya ke Malang.

Setelah check-in di hotel, saya langsung istirahat karena merasa cukup lelah. Namun, saya menyimpan semangat yang besar untuk keesokan harinya. Agenda yang padat di Malang sudah menunggu.

Hari ketiga, Minggu 15 Februari 2015, seluruh agenda promo bertempat di Malang. Ada empat acara yang sudah terjadwal.

Pertama, pukul delapan lebih seperempat kami datang ke Radio Elfara FM, Malang. Di sana saya bicara tentang beberapa hal mengenai buku Jatuh Cinta Adalah Cara Terbaik untuk Bunuh Diri, dan hal-hal lain terkait tulis-menulis. Penyiar yang bertugas menyampaikan pertanyaan-pertanyaan yang menyenangkan. Talk show berjalan lancar dan berakhir sekitar pukul sepuluh pagi.



Dari Elfara, kami berpindah ke Toko Oen. Saya dijadwalkan bertemu dengan teman-teman dari klub buku Surabaya. Nama klub bukunya “Booklicious”. Teman-teman dari Booklicious datang tepat waktu. Bahkan, mereka sudah menunggu kami di lokasi. Saya menyalami tiga orang pertama, lalu kami mencari meja yang lebih lebar karena akan ada cukup banyak orang lagi yang datang.

Benar saja, tidak sampai sepuluh menit setelahnya, teman-teman Booklicious yang lain mulai berdatangan. Sepertinya tak kurang dari duapuluh orang berkumpul di meja panjang, dan kami berbincang-bincang santai tentang kepenulisan fiksi.

Ditemani es krim cokelat rekomendasi dari pramusaji, saya menjawab pertanyaan teman-teman Booklicious. Mulai dari bagaimana menciptakan karakter fiksi yang kuat, hingga trik-trik agar tulisan yang diambil dari kisah pribadi tidak tampak seperti curhatan colongan alias curcol.

Pertemuan menyenangkan itu berlangsung nyaris selama dua jam. Lebih panjang dari satu jam yang direncanakan.

Saya juga sempat bertemu dengan tim panitia Malang Membaca, yang menyelenggarakan acara “Festival Cerita dari Malang”, di mana saya menjadi salah satu pembicara dan pengisi kelas menulisnya. Acara ini akan dilangsungkan pada tanggal 27 dan 28 Februari 2015. Jika ingin mengikuti acara ini, silakan daftar atau cari informasinya di Twitter: [at]malangmembaca.



Selesai di Toko Oen, saya melangkah ke Gramedia Basuki Rachmat, yang hanya terletak di samping Toko Oen. Saya menyempatkan diri membeli novel The Godfather Mario Puzo edisi terjemahan Indonesia di area buku obral di pelataran toko, sebelum masuk dan naik ke lantai dua, menuju venue acara (sebelumnya saya mengisi perut di restoran cepat saji di seberang jalan, saya kelaparan karena lupa memesan makanan dan hanya makan segelas es krim di Toko Oen).

Beberapa kursi sudah terisi ketika saya tiba di venue. MC memanggil nama saya dan acara pun dimulai. Pada kesempatan tersebut, saya lebih banyak bercerita mengenai hal-hal yang melatarbelakangi keputusan saya menulis cerita-cerita pendek di dalam Jatuh Cinta Adalah Cara Terbaik untuk Bunuh Diri. Saya bercerita tentang kekerasan, dan bagaimana kekerasan menjadi salah satu tema besar di buku terbaru saya.



Perjalanan jatuh cinta di Surabaya dan Malang pun berakhir. Saya kembali ke Jogja keesokan paginya, juga menggunakan kereta. Kali ini Malioboro Express. Jika tidak sedang terburu-buru, saya memang lebih senang bepergian dengan kereta daripada pesawat terbang. Kereta api mengizinkan saya larut dalam waktu dan melankoli, tidak seperti pesawat terbang yang lebih sering membuat saya terburu-buru, tertidur, atau menghindar dari penumpang di sebelah saya.

Saya ingin mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang terlibat dalam perjalanan jatuh cinta di Surabaya dan Malang, terutama kepada teman-teman pembaca, yang sudah sudi meluangkan waktunya untuk menemui saya. Antusiasme, perhatian, dan semangat kalian adalah energi besar bagi saya untuk terus berkarya.

Perjalanan jatuh cinta berikutnya akan diteruskan di daerah JABODETABEK. Kira-kira akan berlangsung pada pertengahan bulan Maret. Tunggu jadwalnya, ya.

Sekali lagi, terima kasih Surabaya dan Malang. Kalian keren dan menyenangkan!



Bara


Cerpen: Perkenalan (Koran Tempo 15 Februari 2015)

$
0
0




Perkenalan
Cerpen Bernard Batubara

Dimuat di Koran Tempo, Minggu 15 Februari 2015


“Kamu harus tahu, Harumi sayang. Pada zaman ketika kekerasan begitu mudah dilakukan, hal terburuk yang bisa dimiliki seseorang adalah identitas.” Bong berkata demikian, tepat satu hari sebelum ia mati mengenaskan. Kepalanya ditemukan terpisah sejauh lima meter dari tubuhnya. Jasadnya tergeletak begitu saja di tengah jalan.

Pertama-tama, saya minta maaf kepada teman-teman semua, karena sudah membuka perkenalan ini dengan adegan yang kurang nyaman. Namun, apa boleh buat, begitulah memang yang saya alami. Maka, begitu pula yang akan saya sampaikan. Perkenalan ini akan singkat saja. Jadi, saya mohon teman-teman tidak pergi dari tempat ini.

Teman-teman semua.

Nama saya Harumi. Saya bukan orang Jepang. Saya akan bercerita tentang kehidupan saya. Namun, mengingat ucapan terakhir Bong, saya akan mengisahkan cuplikan masa lalu saya dengan mengubah seluruh identitas orang-orang yang ada di dalamnya. Mungkin juga identitas tempat-tempat.

Teman-teman silakan duduk dengan baik. Tidak perlu takut. Saya tidak akan berlama-lama. Saya juga merasa aneh bicara dengan suara yang bukan milik saya.

Baik. Untuk mempersingkat waktu, saya akan mulai dengan keluarga saya.

Nama papa saya Tuan Pemegang Kaki. Tentu saja, itu bukan nama asli. Dia suka membaca novel-novel pengarang Jepang terutama yang di dalamnya ada kisah-kisah tentang geisha. Nama mama saya Nyonya Pecah Belah. Dia suka melempari kepala saya dengan piring kaca, gelas kaca, atau sesekali menggunakan sendok nasi.

Tuan Pemegang Kaki memiliki obsesi terhadap geisha. Ia memburu dan mengumpulkan semua novel Jepang yang di dalamnya terdapat tokoh geisha. Pada suatu malamsaat saya berusia 8 tahun, Tuan Pemegang Kaki mengurung saya di kamar dan mendandani saya seperti seorang geisha. Dia memeluk saya dan mencium-cium pipi saya. Lama-lama dia mengelus leher saya dan meraba kaki hingga ke paha saya. Dia berhenti karena pintu kamar digedor keras oleh Nyonya Pecah Belah. Tampaknya Nyonya Pecah Belah merasa ini sudah giliran dia untuk melempari saya dengan gelas kaca baru, bonus dari sabun cuci piring yang dia beli saat belanja pagi tadi.

Tuan Pemegang Kaki membuka pintu sambil menggerutu. Nyonya Pecah Belah setengah berteriak saat melihat wajah saya penuh pupur dan gincu yang merah tebal di bibir saya. Dia berteriak lagi ke wajah Tuan Pemegang Kaki dan menamparnya tidak kurang dari sepuluh kali. Tuan Pemegang Kaki tidak melawan.

Itu bukan yang pertama kalinya.

Teman-teman yang saya sayangi.

Saya tahu saya terdengar dingin saat menceritakan semua ini. Tapi percayalah, pada saat peristiwa itu terjadi, saya merasakan panas yang tiada tara. Apalagi jika teman-teman tahu bahwa kejadian seperti itu tidak hanya berlangsung sekali dalam hidup saya. Melainkan, hmm, tidak terhitung. Mungkin lebih banyak dari gabungan jumlah jari tangan kita yang sedang berada dalam ruang kelas ini.

Satu-satunya hal yang bisa meredakan panas di kepala saya waktu itu adalah seorang laki-laki. Namanya Bong. Saya bertemu dengan Bong karena sebuah kecelakaan. Benar-benar kecelakaan.

Ketika itu, saya sedang menyeberang jalan di depan sekolah. Jalanan terlihat sepi, namun tiba-tiba sebuah sedan hitam melesat ke arah saya dan seketika saja saya tidak sadarkan diri.

Ketika saya siuman, saya melihat Bong di sebelah saya. Dia duduk di kursi. Saya terbaring di ranjang. Waktu itu saya belum tahu namanya Bong. Kami berkenalan setelah dia menjawab raut bingung saya saat melihat ke sekeliling ruangan.

“Kamu lagi di rumah sakit. Mobil yang saya kendarai nabrak kamu. Saya yang bawa kamu ke sini,” kata Bong. Wajah Bong putih dan kepalanya gundul. Bola matanya terlihat licin dan berkilau, seperti permukaan piring keramik hiasan yang biasa Nyonya Pecah Belah lemparkan ke kepala saya setiap subuh dan petang. Bong mengenakan kemeja warna putih. Saya mencium wangi dari tubuhnya. Untuk sesaat, saya merasa seperti berada di dalam hutan hujan, di antara hamparan tanah basah dan pohon-pohon.

“Jangan khawatir, saya akan bertanggungjawab.”

Saya tidak memikirkan Tuan Pemegang Kaki dan Nyonya Pecah Belah, atau meminta bantuan mereka. Karena saya tahu hal itu tidak berguna. Saya melihat punggung tangan saya terpasangi infus. Saya memegangi kepala dan merintih.

“Kata dokter, ada pendarahan di kepala kamu. Tapi kamu akan baik-baik saja. Siapa nama kamu?”

Nama? Siapa nama saya? Kepala saya bagaikan gong dan pertanyaan Bong saat itu terasa seperti pemukul kayu besar yang menghajar kepala saya. Ada bunyi gong yang berulang di dalam kepala saya, dan saya tidak berhasil menemukan apapun yang bisa digunakan untuk menjawab pertanyaan Bong, meski pertanyaan itu sangatlah sederhana.

Nama?

Siapa nama saya?

“Kamu tidak bisa ingat?” kata Bong, tampak khawatir.

Siapa nama saya?

Saya melihat ke Bong, masih merasa bingung. Bong menggeleng dan menghela napas panjang. Lalu, dia bicara lagi.

“Saya sempat buka tas kamu tadi, maaf, saya harus cari nomor telepon orangtuamu atau alamat rumahmu. Tapi, saya tidak menemukan apa-apa. Di tas kamu cuma ada buku catatan dan dua buah jeruk. Kamu tidak bawa dompet?”

Dompet? Saya menggeleng. Saya tidak pernah bawa dompet. Saya selalu bawa uang dengan melipat-lipatnya dan menyimpannya di kantong dada seragam sekolah.

“Apa nama kamu Harumi? Saya lihat gantungan kunci dengan huruf-huruf membentuk H-A-R-U-M-I di tas kamu. Tadinya saya ingin panggil kamu Harumi, tapi saya tidak yakin itu nama kamu. Kamu bukan orang Jepang.”

“Bukan,” kata saya.

Bong tertawa kecil. “Untuk sementara, saya panggil kamu Harumi saja. Saya akan coba cari kontak orangtua kamu.”

Saya hanya diam.

“Omong-omong, kamu suka baca novel tidak? Saya pernah baca novel Jepang. Tentang geisha. Ada seorang geisha bernama Harumi di sana. Lucu sekali.”

Saya tidak menjawab, kepala saya masih terasa sakit. Beberapa jam setelahnya, dengan cara yang tidak saya ketahui, Bong menemukan alamat rumah saya. Dia mengantarkan saya pulang setelah kondisi saya cukup membaik.

Teman-teman yang saya cintai.

Saat itu saya berusia 17 tahun, sama seperti teman-teman semua saat ini. Bong tigapuluh tahun di atas saya. Dia punya dua anak. Istrinya sudah meninggal saat melahirkan anak kedua mereka. Bong menceritakan ini ketika kami bertemu pasca minggatnya saya dari rumah.

Dua hari setelah pulang dari rumah sakit, saya membeli tiket pesawat menuju Surabaya, tempat nenek dari Papa. Namanya Nek Mun. Nek Mun baik sekali. Semenjak saya berusia 5 tahun, Nek Mun tinggal di rumah dan mengasuh saya. Nek Mun kembali ke kampungnya di Surabaya ketika saya berusia 15 tahun.

Nek Mun berteriak senang saat melihat saya di muka pintu. Dia memeluk saya sampai menangis. Saya juga ikut-ikutan menangis. Nek Mun bertanya ada apa saya pergi ke Surabaya, bagaimana keadaan Papa dan Mama, dan seterusnya. Saya jawab apa adanya saja.

Setelah mendengar cerita saya, Nek Mun menghela napas berat dan mulai berkisah.

Dahulu, Papa dan Mama baik-baik saja. Yang dimaksud Nek Mun dengan dahulu adalah ketika saya belum lahir. Saya lahir di tahun 1997. Kata Nek Mun Papa dan Mama tampak begitu bahagia ketika melihat saya. Saya hampir-hampir tidak percaya.

Setahun setelah itu, semuanya berubah. Kebahagiaan yang tadinya mengisi setiap sudut rumah, kini menjelma jadi teror tak berkesudahan. Saya masih berusia satu tahun, jadi saya tidak tahu apa yang sedang terjadi. Ini saya ceritakan dari apa yang dikisahkan oleh Nek Mun.

Teman-teman sekalian.

Papa saya, Tuan Pemegang Kaki, adalah laki-laki dari suku X. Sementara mama saya, Nyonya Pecah Belah, adalah perempuan dari suku Y. Tidak pernah ada masalah antara X dan Y sebelum 1997. Tapi setelah 1997, tiba-tiba X dan Y bagaikan air dan minyak. Mustahil menyatukan mereka, dengan cara bagaimanapun.

Nek Mun terus berkisah. Dia memberitahu apa yang dia lihat setelah 1997.

Kampung halaman Tuan Pemegang Kaki dan Nyonya Pecah Belah tidak saja dihuni oleh suku X dan Y, melainkan juga suku A, B, C, dan D. Pada suatu hari, Nek Mun pulang berbelanja sayur-mayur ketika dia melihat rumah orang-orang ditulisi kalimat-kalimat singkat berbunyi: “DI SINI SUKU A”, atau “ORANG SUKU C”. Nek Mun tidak paham apa maksud mereka menulisi dinding-dinding rumah sendiri dengan kalimat-kalimat seperti itu.

Belakangan, baru Nek Mun tahu, mereka melakukannya agar tidak diserang oleh X ataupun Y. Kedua suku itu bertikai karena suatu sebab yang hanya diketahui oleh Tuhan Yang Maha Mengetahui, kata Nek Mun.

Pertikaian kedua suku meruncing hingga tak bisa lebih tajam lagi. Dua belas jam setelah orang-orang mulai menulisi dinding-dinding rumah mereka, Nek Mun melihat Tuan Pemegang Kaki meraung di ruang tamu dan Nyonya Pecah Belah menggerung di dapur. Dua adik kandung Tuan Pemegang Kaki baru saja dikuburkan. Leher keduanya putus ditebas parang. Di pihak Nyonya Pecah Belah, satu korban. Kakak perempuannya tewas dibacok di dada.

Teman-teman yang saya sayangi.

Seperti janji saya, perkenalan ini singkat saja. Mohon maaf jika saya sudah mengganggu teman-teman dan seluruh penghuni sekolah ini. Saya tidak bermaksud demikian. Saya hanya butuh bercerita. Saya ingin menyampaikan hal-hal tadi, juga bahwa Bong, orang saya cintai, telah mati tanpa kepala. Saya sendiri mati setelahnya. Gantung diri di kamar. Saya pikir saat itu, ini cara paling mudah untuk menghampiri Bong.

Sebelum saya gantung diri, saya menerima kabar bahwa Bong ditemukan tergeletak di tengah jalan. Kepalanya terpisah sejauh lima meter dari tubuhnya. Ada yang bilang orang suku X memenggal Bong. Ada juga yang bilang itu perbuatan suku Y. Yang jelas, saya tahu, Bong bukan bagian dari X maupun Y. Ia tidak bersuku. Ia tidak berbangsa. Begitu yang Bong bilang kepada saya.

Teman-teman.

Maaf untuk peristiwa-peristiwa yang belakangan terjadi di sekolah ini. Jangan takut. Peristiwa-peristiwa itu bukan kerasukan. Hanya cara saya berkomunikasi. Seperti teman-teman tahu, saya tidak punya tubuh, meski saya punya pesan.

Saya meminjam tubuh salah satu di antara kalian karena tidak tahan melihat adegan-adegan di masa hidup saya dahulu, kini berulang lagi. Saya hanya ingin menunjukkan bahwa kekerasan seperti ini sudah pernah terjadi sebelumnya.

Bukankah manusia yang baik adalah manusia yang belajar dari sejarah, terutama yang paling penuh luka? Begitu kata Bong. Saya berharap teman-teman tidak melanjutkan pertempuran yang tidak menghasilkan apa-apa selain darah. Pacar saya sebelum Bong juga senang ikut teman-temannya yang tawuran. Dia berhenti setelah saya berkata kepadanya bahwa saya perempuan, kalau dia ingin darah, saya bisa memberikannya setiap bulan.

Teman-teman, saya akan segera pergi. Jangan khawatir, saya tidak akan kembali lagi dan merasuki siapapun. Saya sudah menyampaikan apa yang ingin saya sampaikan. Izinkan saya tutup perkenalan ini dengan mengucapkan terima kasih, terutama kepada gadis yang saya rasuki ini. Dia tubuh yang sangat pas dengan ruh saya.

Selamat tinggal.



(2014)



My Name Is Red, Orhan Pamuk

$
0
0



Latar waktu yang diambil Pamuk dalam kisah dengan setting Istanbul ini adalah sekitar abad ke-16. Sekelompok miniaturist-sepanjang membaca saya membayangkan mereka sebagai seniman rupa, pelukis, atau ilustrator-mendapat mandat dari Sultan untuk membuat sebuah buku. Ternyata, masalah dimulai ketika sang mandor menggunakan teknik lukis gaya Eropa, yang dianggap menyalahi aturan agama dan membuatnya terancam sebagai seorang kafir.

Hal pertama yang terlintas di kepala saya ketika membaca My Name Is Red adalah, Orhan Pamuk merupakan penulis yang tahu bagaimana cara menangkap perhatian pembaca dengan cepat. Bisa kita lihat langsung dari paragraf pertama novel ini. Dituturkan dari sudut pandang seorang mayat, Pamuk menggunakan narasi yang padat dan catchy untuk menggambarkan keadaan mayat tersebut yang baru saja dibunuh, dan dalam keadaan wajahnya hancur dan berdarah.

Paragraf novel yang tebalnya tak kurang dari 400 halaman ini dibuka dengan narasi yang saya pikir cukup dramatis. Membawa saya masuk ke dalam cerita dengan pertanyaan demi pertanyaan. Mengapa mayat tersebut menjadi mayat? Mengapa seseorang membunuhnya? Adegan pembuka My Name Is Red mengingatkan saya pada novel-novel Dan Brown. Misteri disodorkan sejak awal untuk membuat pembaca segera tertangkap dalam ketegangan dan rasa penasaran.

Selain mampu ‘mencekik’ leher pembaca sedari awal, saya melihat Pamuk sebagai penulis yang juga telaten. Pilihan kata yang ia ambil di sepanjang kisah di dalam My Name Is Red tidak bisa dibilang ‘biasa’, dan saya tidak bisa membayangkan penulis yang terburu-buru mampu merangkai, menata, dan memilih kata demi kata dengan sangat sabar seperti yang Pamuk lakukan.  

Pada novel-novel lain, biasanya si penulis hanya memberi perhatian penuh pada paragraf-paragraf atau bab-bab awal, dan di sisa novel hampir dapat dipastikan, baik plot maupun narasinya tiba-tiba saja menjadi ‘kendor’ atau ‘kempis’. Paling-paling menjelang akhir novel, barulah si penulis memadatkan lagi narasinya dan memberi usaha lebih untuk menata kalimat demi kalimat, metafora demi metafora. Tidak demikian dengan My Name Is Red. Jumlah halaman yang banyak dan tokoh-tokoh yang jumlahnya tak bisa dibilang sedikit (belum lagi seluruhnya menggunakan sudut pandang orang pertama) tidak membuat Pamuk kempis sedikit pun. Memang, di bagian tengah Pamuk tampak kelelahan memilih-milih kata, sehingga narasinya tidak terasa sepadat bagian-bagian awal, tapi tetap saja jika dilihat secara keseluruhan, My Name Is Red adalah novel dengan narasi yang padat dan diksi yang memukau.

Karakter-karakter dalam My Name Is Red sangat variatif, mulai dari seorang lelaki melankolis yang menyimpan rasa cintanya terhadap seorang perempuan selama dua belas tahun dalam pelarian, kakek yang memiliki affair dengan pembantu rumah tangganya, seorang perempuan yang terjebak dalam perasaan bimbang memilih dengan siapa ia harus menikah di antara kedua lelaki yang menginginkannya, seorang perempuan Yahudi yang berprofesi sebagai penjaja pakaian sekaligus mak comblang, sampai seniman-seniman dengan karakternya masing-masing.

Yang menyenangkan dari membaca novel Pamuk ini bukan hanya karena karakter-karakternya variatif, melainkan juga karena semuanya memiliki suara sendiri-sendiri, alias dituliskan menggunakan sudut pandang orang pertama. Kita bisa memandang dari kacamata masing-masing karakter dan dengan suaranya masing-masing. Tidak hanya tokoh-tokoh utama dan tokoh-tokoh sampingan, bahkan benda-benda mati (lukisan) pun berbicara. Seperti seekor anjing yang mengomel betapa ia tidak menyukai seorang pendakwah beserta kelompoknya yang dianggapnya tak memiliki nalar dan akal sehat (saya mengira si anjing merujuk kepada kelompok Islam fundamentalis), sebuah koin emas yang telah mengelana dari kantong ke kantong lain, seekor kuda yang gagah dan menawan, sampai sebuah warna merah yang menggambarkan dirinya sendiri.

Tentu saja, menghadirkan banyak tokoh dengan menggunakan sudut pandang pertama tidaklah cukup. Tidak sedikit novel yang gagal karena penulisnya memiliki ambisi berlebih untuk memunculkan begitu banyak tokoh, namun tidak dapat membedakan suara satu tokoh dengan tokoh yang lain. Untungnya, My Name Is Red bukan novel yang gagal (ya, tentu saja, Pamuk adalah salah satu peraih Nobel Kesusastraan).

Selain narasi dan permainan sudut pandang yang bikin melongo, saya kira Pamuk sukses dalam hal karakterisasi. Seluruh tokohnya hadir dengan watak dan suaranya sendiri-sendiri, yang membuat kita mampu membedakan suara satu tokoh dengan tokoh lain. Dengan mata tertutup, misalnya saja, saya dapat membedakan siapa yang berbicara di sebuah adegan, apakah Black Effendi ataukah Butterfly. Tanpa membaca namanya, hanya dengan membaca narasi dan dialognya, saya juga bisa mengetahui apakah yang sedang berbicara adalah si penjaja pakaian Eshter ataukah si janda Shekure.

Namun, dari semua hal, yang paling saya sukai adalah bagaimana Pamuk bercerita di dalam cerita. Saya mengingat bagaimana Syahrazad dalam dongeng mahsyur Seribu Satu Malam. Membaca My Name Is Red adalah membaca cerita-cerita dan dongeng-dongeng lain di dalam cerita utama. Philosophical artificers of boxes within boxes, kata John Updike dalam testimoninya yang saya temukan di sampul belakang. Salah satu dongeng ‘sisipan’ yang saya suka adalah tentang seorang raja yang mengurung putrinya karena dianggap terlalu cantik, namun kecantikan sang putri tak bisa dipenjara, ia menyelinap keluar kurungan dan tertangkap oleh seorang pelukis. Dan ada banyak lagi dongeng-dongeng lain.

Mengikuti konflik dan perseteruan yang terjadi di antara sekelompok seniman di dalam novel ini membuat saya teringat tentang satu adegan ketika saya kecil.

Saya baru saja usai mengaji dan sembari menunggu teman-teman saya yang lain selesai mengaji, saya mengeluarkan buku gambar dari dalam tas dan mulai menggambar wajah manusia. Saat kecil, saya suka menggambar wajah manusia, kadang dengan gaya manga kadang pula dengan gaya yang sekarang baru saya tahu disebut dengan istilah realis. Guru mengaji saya menegur saya yang tengah menggambar. Ia berkata bahwa dalam Islam kita dilarang menggambar makhluk hidup, karena itu artinya kita berusaha untuk menyaingi atau menyamai Tuhan, dan itu artinya dosa besar. Semenjak saat itu saya takut menggambar dan tidak lagi memupuk bakat terpendam saya itu (hingga saat ini saya merasa menggambar adalah bakat saya yang terpendam).

Selain hal tersebut, Pamuk juga mempertentangkan dua ideologi: Timur dan Barat. Dalam hal ini Timur diwakili oleh Islam (Istanbul, Timur Tengah) dan Barat diwakili oleh Venetian (Eropa) yang di dalam novel selalu mereka sebut sebagai infidel, kafir. Pertentangan ini berpusat pada tokoh Enishte Effendi, seniman muslim yang terpukau dengan gaya menggambar orang-orang Eropa, yang menangkap objek dan melukisnya hingga tampak lebih nyata dan indah dari aslinya, yang bertentangan dengan ‘ajaran’ dalam Islam: bahwa apa yang kita gambar seharusnya adalah apa yang juga dilihat oleh Tuhan. Manusia semestinya menggambar sebuah benda lewat persepsi Tuhan atas benda tersebut. Tidak boleh kurang, tidak boleh lebih.


Terlepas dari itu semua, saya selalu merasa bahwa sepanjang hidupnya manusia akan selalu berusaha untuk mencari tahu tentang penciptanya, dengan cara apapun. Mempertentangkan dua ideologi yang berseberangan, melakukan hal-hal di luar norma, bahkan mengambil risiko dicap kafir seperti dalam novel ini, hanyalah beberapa hal yang bisa dilakukan manusia untuk mencapai misi tersebut. ***

The Stranger, Albert Camus

$
0
0



Seorang pria melihat ibunya yang baru saja meninggal sedang disemayamkan, dan ketika seluruh pelayat hadir dengan wajah muram dan airmata menetes di pipi mereka, pria tersebut sama sekali tidak menangis. Bahkan, ia tidak sedikit pun menunjukkan tanda-tanda bahwa ia bersedih atas kematian ibunya. Seolah-olah ibunya yang sedang terbujur kaku sebagai mayat itu bukanlah ibunya, melainkan sebatang pohon yang baru saja ditebang, atau seekor lalat yang baru tuntas ditepuk.

Albert Camus memulai novela berjudul The Stranger ini dengan menampilkan gambaran karakter yang sangat kuat, sekaligus barangkali nyeleneh dan agak kurang masuk akal bagi sebagian orang. Terutama mereka yang berpikir bahwa manusia seharusnya merasakan emosi begini atau begitu.

Bukan hal keliru, memang, jika sebagian yang membaca The Stranger akan menganggap si lelaki yang berperan sebagai tokoh utama tersebut mengidap kelainan jiwa karena tidak menangis bahkan tidak menunjukkan tanda-tanda emosional sedikit pun saat melihat mayat ibunya, atau saat mendapat kabar bahwa ibunya meninggal. Bahkan, ia tidak ingat kapan tepatnya ibunya meninggal, hari ini atau kemarin, kemarin atau hari ini. Baginya sama saja.

Saya katakan bukan hal yang keliru, karena tokoh-tokoh lain di dalam The Stranger pun beranggapan demikian. Dapat dilihat ketika si tokoh utama terlibat masalah hukum setelah di siang bolong, di tepi pantai tempat ia berlibur bersama beberapa temannya, ia menembak mati seorang Arab. Lima tembakan di tubuh bagian depan.

Saat ditanya di persidangan tentang alasannya menembak laki-laki Arab tersebut, si tokoh utama awalnya diam karena tiba-tiba ia merasa jawaban yang akan berikan bakal terdengar sangat konyol di khayalak persidangan. Namun, ia tetap harus menjawab, karena ia pun ingin menjawab. Dan, benar saja dugaannya, saat ia memberikan jawaban atas pertanyaan itu, semua orang tertawa, termasuk jaksa penuntut umum.

Jawabannya ketika ditanya mengapa ia menembak mati laki-laki Arab tersebut adalah karena ia merasa sinar matahari pada saat itu sangat menyengat dan ia merasa pusing dan akhirnya ia pun menarik pelatuk dan menembak korban.

Semua orang merasa si tokoh utama memiliki kelainan jiwa. Apalagi ketika jaksa penuntut umum menyampaikan hasil penyelidikannya. Ia menemukan dan menyampaikan di persidangan bahwa si tokoh utama-yang telah jadi tersangka pada saat itu-diketahui lewat saksi-saksi, tidak menangis sama sekali dan tidak menunjukkan tanda-tanda emosi ketika menghadiri pemakaman ibunya. Bahkan, si tokoh utama pergi berkencan dengan seorang perempuan keesokan harinya dengan kondisi bahagia, seolah tak pernah terjadi apa-apa. Seolah ibunya tidak pernah meninggal.

Dengan cerdas, Albert Camus menggiring pikiran kita hingga berada di posisi yang barangkali sama seperti tokoh-tokoh lain di dalam cerita. Seperti mereka, kita akan melihat si tokoh utama ini sebagai orang yang mengidap kelainan jiwa. Jangan-jangan ia pernah mengidap trauma masa kecil atau semacamnya, pikir kita.

Namun, kenyataannya si tokoh utama tidak mengidap trauma masa kecil atau apapun (setidaknya dari yang terlihat pada teks). Ia, dengan pemikirannya sendiri, memang merasa tidak ingin menangis. Tidak ada hal yang mendorong ia untuk menangis. Kematian Maman, ibunya, adalah sesuatu yang baginya normal-normal saja. Jika hari ini ibunya mati, atau kemarin, atau besok, atau tahun depan, sama saja. Semuanya tetap akan berjalan normal dan seperti biasa. Kematian ibunya bukanlah peristiwa yang signifikan.

Tidak sulit memahami jalan pikiran si tokoh utama di novela The Stranger (atau jalan pikiran pengarangnya) ketika kita mengetahui bahwa Albert Camus adalah seorang eksistensialis (silakan cari di Google apa itu eksistensialis). Meski tidak tampak di awal-awal cerita, pada akhirnya kita akan mengerti mengapa si tokoh utama memiliki jalan pikiran demikian dan mengambil tindakan-tindakan seperti di dalam cerita.

Membaca The Stranger Albert Camus mengingatkan saya pada novel-novel dan cerita-cerita pendek Haruki Murakami. Saya bahkan merasa mereka seperti abang-beradik. Camus abangnya, Murakami adiknya. Bisa kita bilang mereka berdua adalah eksistensialis. Tidak sulit mengetahuinya. Hanya dengan melihat tindakan dan cara berpikir tokoh utama dalam novel mereka, hal tersebut dapat terlihat.

Yang lebih ingin saya soroti dan bahas dari novela setebal 120 halaman ini adalah, kesederhanaan bahasanya. Berkali-kali saya berpikir bahwa pengarang-pengarang sekelas pemenang Nobel Kesusastraan pastilah memiliki karya-karya dengan bahasa yang berat. Bahasa yang berat maksud saya adalah pemilihan kata yang tidak lazim. Seperti novel yang dijejali kata-kata langka dari dalam kamus.

Namun, The Stranger sama sekali tidak demikian. Saya menyelesaikan membaca The Stranger hanya dalam beberapa jam. Mungkin tidak lebih dari tiga jam. Salah satunya karena bahasa Camus sangat mudah dipahami. Tidak ada kata-kata dalam Bahasa Inggris yang sulit, yang membuat saya mesti mengubek-ubek Google Translate untuk dapat memahami maksudnya.

Begitu pula dengan plot. The Stranger tak menggunakan model lain selain bentuk yang linear. Alur maju. Camus tidak menawarkan permainan flashback, foreshadowing, atau fragmen-fragmen yang rumit. Kisah tokoh utama yang dianggap memiliki kelainan jiwa oleh tokoh-tokoh lain di dalam cerita dikisahkan dengan cara yang amat sederhana.

Kadangkala saya berpikir bahwa penulis-penulis yang matang memang akan menuju bentuk dan cara yang sederhana. Seperti orang bijak atau orang pintar yang dapat menyampaikan hal rumit lewat pernyataan-pernyataan sederhana. Orang yang kerap menggunakan bahasa rumit, menurut saya, justru adalah orang yang tak benar-benar paham dengan apa yang ingin ia ucapkan sendiri.

Meski demikian, meski dengan bahasa dan alur yang sederhana, kita tahu apa yang dimunculkan oleh Camus lewat tokoh utama di The Stranger bukanlah hal yang sederhana. Camus menggali hingga ke dalam jiwa manusia, lalu memunculkan ke permukaan pertanyaan demi pertanyaan yang barangkali, secara sadar maupun tidak, menghantui kita semua. Mengapa seseorang harus punya tujuan hidup? Apakah tujuan hidup itu? Apakah hidup itu sendiri dan apakah itu kehidupan? Apakah kematian?

The Stranger juga membuat kita bertanya dan berasumsi, barangkali apa yang disebut kelainan jiwa hanyalah kewarasan dalam perspektif lain. Saya sering menduga dan curiga, jangan-jangan orang gila, atau yang setidaknya kita kerap sebut orang gila, hanyalah orang yang punya bentuk kewarasan yang berbeda dengan kita, manusia ‘waras’. Orang gila atau orang yang punya kelainan jiwa hanya memiliki dunia yang berbeda dengan kita. Dan, tentu saja, itu bukan hal yang aneh.


Lalu, jika benar demikian, apakah salahnya memiliki dunia yang berbeda? Apakah salahnya menjadi gila di dunia yang waras, atau menjadi waras di dunia yang gila? Bukankah waras dan gila hanya masalah mana yang lebih mendominasi? Seperti orang gila yang berada di dunia orang waras tidak dapat disebut orang waras, apakah orang waras yang diletakkan di dunia penuh orang gila tidak boleh disebut orang gila? ***

After the Quake, Haruki Murakami

$
0
0



Ini buku keempatbelas dari Haruki Murakami yang saya baca, sekaligus kumpulan cerita keduanya yang saya baca setelah Blind Willow, Sleeping Woman. Saya tidak berharap banyak akan menemukan hal baru dari tulisan-tulisannya. Saya membaca kumpulan cerpennya ini hanya karena saya ingin menghabiskan tumpukan buku-bukunya yang belum saya baca, dan karena dua minggu terakhir saya sedang fokus membaca buku-buku kumpulan cerita pendek. After the Quake saya baca bersamaan dengan In Praise of the Stepmother, Mario Vargas Llosa, juga dua kumpulan cerita pendek dari pengarang Indonesia (di catatan berikutnya saya akan menulis tentang buku-buku tersebut).

Hal lain yang membuat saya ingin membaca After the Quake adalah, karena katanya kumpulan cerita Murakami ini ditulis sebagai respons si penulis atas peristiwa gempa Kobe. Saya tidak pernah mendengar tentang gempa Kobe sebelumnya. Baru saat hendak membaca buku ini. Namun, keterangan tersebut-Murakami menulis cerita pendek sebagai respons atas gempa Kobe-cukup membuat saya tertarik untuk membaca. Karena kita tahu, Murakami jarang sekali menulis cerita yang memuat, hm, katakanlah, ‘peristiwa sosial’.

Kebanyakan cerita-cerita Murakami adalah cerita-cerita yang sureal, penuh elemen fantasi, dan absurd. Kau bisa tiba-tiba saja melihat ribuan ekor ikan sarden berjatuhan dari langit, atau seorang laki-laki yang kausnya mendadak berlumur darah. Jarang kita temukan peristiwa-peristiwa ‘sosial’ di dalam cerita-cerita Murakami. Barangkali hanya di novelnya The Wind-Up Bird Chronicle yang memuat banyak cuplikan perang Vietnam.

Saya berani bilang bahwa Murakami merupakan pengarang yang tidak peduli-peduli amat untuk memasukkan unsur ‘permasalahan sosial’ ke dalam cerita-cerita karangannya. Ia lebih gemar menggali kondisi psikologi individu manusia dengan merangkai peristiwa-peristiwa yang sureal dan absurd. Maka, ketika membaca After the Quake, saya menduga-duga, apakah benar kali ini Murakami kembali (setelah saya membaca The Wind-Up Bird Chronicle) memasukkan unsur ‘permasalahan sosial’ ke dalam cerita-ceritanya?

Ternyata, jawabannya adalah: tidak.

Enam cerita di dalam kumpulan cerita After the Quake (saya membaca versi terjemahan Bternyata bukanlah cerita-cerita seperti yang saya bayangkan. Saya membayangkan cerita-cerita yang ditulis Murakami benar-benar merupakan rekonstruksi sejarah dengan, mungkin, mengambil sudut pandang penceritaan yang lain (memang agak naif harapan semacam ini). Ternyata, seluruh cerita di dalam buku ini hanya menggunakan peristiwa gempa Kobe sebagai pemicu efek samping yang mengubah jalan hidup tokoh utama, sehingga konflik pun muncul dan cerita bergulir tanpa ada signifikansi yang besar terhadap peristiwa gempa Kobe itu sendiri.

Cerita UFO in Kushiro mengisahkan Komura, seorang laki-laki yang istrinya tidak melakukan pekerjaan apapun di rumah selain menonton televisi dan menyaksikan berita-berita mengerikan seputar gempa Kobe, hingga suatu hari istrinya pergi begitu saja dari rumah dan tidak kembali lagi. Memang konflik cerita dipicu oleh peristiwa gempa Kobe, namun ceritanya sendiri bukan tentang gempa Kobe, melainkan permasalahan klasik dalam buku-buku Murakami, yakni eksistensialisme.

Landscape with Flatiron tentang seorang laki-laki yang punya kebiasaan dan kegemaran unik: membuat api unggun. Kebiasaannya ini ia dapatkan setelah keluarganya menjadi korban gempa Kobe. Sekilas tampak seperti cerita tentanggempa Kobe, namun sebenarnya tidak. All God’s Children Can Dance, Thailand, Super-Frog Saves Tokyo, dan Honey Pie pun tak jauh berbeda. Semuanya cerita-cerita yang, menurut saya, dapat berdiri sendiri dan bergulir sebagaimana mestinya tanpa peristiwa gempa Kobe. Atau, peristiwa gempa Kobe pada cerita-cerita tersebut bisa diganti oleh peristiwa apa saja yang traumatik.

Barangkali Murakami memang benar-benar tidak tertarik merekonstruksi sejarah, seperti pengarang-pengarang lain ketika mereka menulis novel atau cerita pendek berlatarkan ‘peristiwa sosial’ atau ‘permasalahan sosial’. Sebetulnya tidak masalah bagi saya, toh saya sudah cukup paham bagaimana Murakami memandang sebuah fiksi. Baginya, saya kira, fiksi adalah tempat berimajinasi dan bercerita, bukan wadah untuk menjejalkan atau menimbun fakta sejarah, apalagi jika melakukannya demi tujuan agar cerita-ceritanya dianggap berbobot dan bermutu.

Saat membaca After the Quake, saya justru lebih fokus pada bagaimana Murakami bisa melepaskan bebannya dari ‘peristiwa sosial’ yang ia angkat. Ia tidak merasa harus memasukkan data-data atau beberapa adegan peristiwa tersebut. Ia kembali ke cerita. Ia tahu bahwa cerita, bagaimanapun, mesti menghibur. Ia melakukannya sangat baik di cerita pendek berjudul Super-Frog Saves Tokyo, yang menampilkan adegan seorang laki-laki kembali ke apartemennya di siang bolong dan menemukan seekor kodok raksasa telah menunggunya (kodok raksasa itu meminta bantuannya untuk berkelahi dengan seekor cacing yang mungkin juga raksasa, demi menyelamatkan sebuah kota di Jepang agar tidak terkena dampak gempa besar).

Satu hal menarik dari enam cerita pendek di kumpulan cerita After the Quake adalah bagaimana Murakami tetap memiliki selera humor yang baik, bahkan ketika ia sedang menulis sebuah cerita yang berlandaskan ‘peristiwa sosial’ besar: gempa. Ia tidak tenggelam dalam arus opini bahwa cerita yang ditulis menggunakan ‘peristiwa sosial’ sebagai pondasinya, mestilah juga membahas dalam porsi besar peristiwa tersebut.

Saking tidak signifikannya peristiwa gempa Kobe di dalam After the Quake (melihat porsi adegan atau narasi yang membahas peristiwa itu sendiri)saya seringkali lupa bahwa cerita-cerita tersebut ditulis sebagai respons untuk gempa Kobe. Cerita-cerita itu bisa kita nikmati bahkan jika tidak tahu sama sekali tentang terjadinya gempa Kobe. Itulah yang saya rasakan saat membaca buku ini.

Saya kira begitulah cerita yang baik. Cerita yang tetap dapat dibaca dan dinikmati oleh orang-orang yang tidak memiliki pengetahuan tentang peristiwa nonfiksi di dalam cerita tersebut. Tentu saja, jika seseorang memiliki pengetahuan akan peristiwa yang ditulis atau diangkat secara tersirat di sebuah karya fiksi, ia akan dapat melakukan pemaknaan yang lebih. Tapi, jikapun tidak, ia tetap bisa menikmati alur, karakterisasi, dialog-dialog, dan adegan-adegan cerita tersebut.

Lagipula, jika ingin menulis banyak tentang fakta peristiwa sejarah, bukankah ada banyak bentuk-bentuk tulisan lain yang lebih cocok ketimbang cerita pendek atau novel? Tulisan opini atau esei, misalnya. Atau barangkali, artikel investigasi? Saya percaya selalu ada bentuk tulisan yang paling tepat untuk sebuah ide atau keinginan si penulis. Cerita bukan tempat berkhotbah. Tidak pula layak, saya kira, menjejali cerita dengan data dan fakta sejarah yang bertumpah ruah, sehingga penulisnya mengesampingkan plot dan elemen-elemen fiksi lain.


Tentu saja hal ini masih bisa dan sangat boleh diperdebatkan. Tentang cerita untuk cerita, atau cerita untuk ‘misi kemanusiaan’. Tentang seni untuk seni, atau seni untuk ‘rakyat’. Tentang bagaimana kenikmatan dari sebuah cerita mestinya dibebaskan dari beban pesan moral apalagi misi kemanusiaan. Meski, tidak pula berarti memasukkan ‘misi kemanusiaan’ adalah hal yang keliru dan ambisius. Semuanya sah-sah saja, sebetulnya. Asalkan cerita ditulis dengan bagus dan dapat dinikmati. ***

In Praise of the Stepmother, Mario Vargas Llosa

$
0
0



Kali pertama saya membaca buku dari pengarang Amerika Latin adalah novela berjudul Memories of My Melancholy Whore, Gabriel García Márquez. Saya menyukai novela itu, yang bercerita tentang laki-laki yang ingin bercinta dengan gadis belia sebagai usaha untuk merayakan ulang tahunnya yang ke-90. Setelah itu, saya membaca Pedro Páramo, juga novela, karangan Juan Rulfo. Saya sangat, sangat menyukainya. Semenjak itu, saya mulai memberikan perhatian khusus pada karya-karya pengarang Amerika Latin. Termasuk Mario Vargas Llosa, yang sebetulnya sudah saya simpan bukunya sejak dua tahun lalu, namun baru sempat saya baca tahun ini.

Sebagai penggemar kesusastraan Jepang (sebetulnya saya baru membaca Yasunari Kawabata, Ryu Murakami, Haruki Murakami, dan Natsume Sōseki) ada setidaknya satu hal yang tertangkap oleh saya dari karya-karya pengarang Amerika Latin, yang saya merasa tertarik untuk membandingkannya dengan karya-karya pengarang Jepang, yakni tentang bagaimana mereka menggubah tema (atau subtema) seksualitas. Ada semacam karakteristik yang khas yang muncul di novel-novel pengarang Amerika Latin dan Jepang saat mereka menggambarkan adegan-adegan percintaan, dan elemen-elemen lain di dalamnya.

Saya menyinggung perihal seksualitas karena di dalam novela In Praise of the Stepmother, hal itulah yang menjadi plot utama. Atau setidaknya, bungkus yang dipakai Llosa untuk menyampaikan hal-hal lain, seperti interpretasinya terhadap sejarah, mitologi, dan religiusitas.

Dõna Lucrecia, si ibu tiri, memiliki affair terlarang dengan anak tirinya sendiri, Alfonso, atau seperti panggilan sayang Dõna Lucrecia kepadanya, Fonchito. Hubungan terlarang ini berjalan di belakang sang suami, Don Rigoberto, laki-laki pencinta kebersihan dan ritual (lewat adegan-adegan yang digambarkan Llosa, saya menduga ia juga mengidap semacam obsessive compulsive disorder). Affair si anak dan ibu tirinya akhirnya terbongkar, dan di keluarga kecil bahagia itu, terjadilah tragedi.

Membaca plot utama, dan gambaran adegan-adegan yang ditulis Llosa, agaknya In Praise of the Stepmother bisa kita masukkan ke dalam genre yang belakangan ini sepertinya kembali populer: erotika. Genre erotika tiba-tiba saja kembali dibicarakan setelah kemunculan novel laris sedunia berjudul Fifty Shades of Grey (saya sendiri belum membacanya). Adegan-adegan seks di novela Mario Vargas Llosa ini digambarkan dengan apa adanya, tanpa sensor, bahkan di beberapa bagian terasa berapi-api, seperti penggambaran adegan seks oleh pengarang-pengarang Amerika Latin lain yang pernah saya baca.

Yang membuatnya menarik untuk diperbandingkan dengan novel-novel dari para pengarang Jepang adalah, bagaimana seksualitas hadir dengan tone atau nuansa yang sama sekali berbeda. Di novel-novel Yasunari Kabawata, misalnya, adegan-adegan percintaan dideskripsikan dengan sangat lembut, perlahan, subtil, dan sesekali dikombinasikan dengan deskripsi suasana alam, bagaikan membaca haiku-haiku Jepang. Di novel-novel Haruki Murakami, seksualitas muncul sebagai sesuatu yang nyaris tidak berarti. Maksudnya, bukan sesuatu yang mesti dilakukan dengan pikiran-pikiran gugup atau aneh, namun merupakan hal yang wajar dan mengalir begitu saja. Seorang gadis di dalam novel Haruki Murakami bisa berkata dengan santainya kepada cowok di sebelahnya, “Kamu lagi capek ya? Sini, aku bantu melepaskan rasa tegangmu. Aku bisa kasih kamu handjob.

Sementara itu, di novel-novel dari pengarang Amerika Latin, termasuk In Praise of the Stepmother, adegan-adegan percintaan muncul dengan bergelora, berhasrat, berapi-api, layaknya adegan-adegan intim di serial telenovela. Saya tidak tahu persis dan pastinya hanya menduga-duga, namun barangkali begitulah cara orang-orang Jepang dan Amerika Latin memandang seks. Yang satu lembut, perlahan, sekaligus seringkali absurd dan aneh, yang satunya lagi berapi-api seolah tak ada waktu lain untuk berhubungan badan.

Tentu saja bukan hanya perkara seksualitas yang ditulis Mario Vargas Llosa di dalam novelanya ini (saya membaca versi terjemahan Bahasa Inggris oleh Helen Lane, terbitan Picador). Llosa menggunakan seksualitas untuk mengantarkan pandangan-pandangan dan interpretasinya terhadap hal-hal yang berputar di antara sejarah, mitologi, dan religiusitas. Lewat bab-bab yang menunjukkan aktivitas ritual Don Rigoberto (mandi, membersihkan telinga, buang hajat) Llosa juga berbicara tentang ketidaksempurnaan dan ‘lubang-lubang’ pada diri manusia serta bagaimana memandang ‘lubang-lubang itu sebagai cara untuk mencapai kebahagiaan.

Selain membandingkan elemen seksualitas pada novela Llosa ini dengan novel-novel dari pengarang Jepang, saat membaca In Praise of the Stepmother saya juga mau tidak mau teringat My Name Is Red karangan penulis Turki, Orhan Pamuk. Pamuk menggunakan banyak sudut pandang dalam My Name Is Red untuk menuturkan ceritanya, selain bertutur dari tokoh-tokoh utama dan sampingan yang kesemuanya adalah manusia, Pamuk juga memasukkan bab-bab yang tokoh utamanya adalah benda-benda mati (sekeping koin, warna merah, anjing dan kuda yang berupa lukisan). Llosa melakukan hal serupa. Selain menuturkan cerita dari sudut pandang Dõna Lucrecia dan Don Rigoberto, Llosa juga menggunakan tokoh-tokoh abstrak yang sebetulnya berada di luar cerita (Raja Candaules, Dewi Venus, Monster, Cinta) namun memiliki porsi untuk memberi lapisan pemahaman lain atas apa yang sedang berusaha disampaikan oleh Llosa lewat konflik gelap keluarga kecil Don Rigoberto.

Lewat tokoh-tokoh abstrak tersebut, Llosa menggunakan alusi-alusi untuk menyampaikan gagasan-gagasannya akan makna cinta, berahi, dan romantisme. Hubungan terlarang antara Dõna Lucrecia si ibu tiri dan anak tirinya, Alfonso (serta barangkali juga si pembantu, Justiniana) dituturkan dengan sangat artistik oleh Llosa lewat rangkaian kata-kata yang tidak bisa tidak dibaca lebih dari dua atau tiga kali agar benar-benar dapat menangkap inti dari artinya.

Seperti juga yang dilakukan oleh Juan Rulfo dan Gabriel García Márquez sang maestro realisme magis, teks Mario Vargas Llosa adalah sesuatu yang indah, sekaligus rumit dan berlabirin. Meski jarak perjalanannya pendek, mau tidak mau kita menerima tawaran Llosa untuk berbelok ke cabang-cabang jalan yang lain terlebih dahulu, agar dapat meresapi apa yang sebetulnya memang hanya dapat dimengerti lewat perjalanan bercabang itu.

Dan, bukankah seperti semua hal di dunia ini juga,  bahwa untuk memahami sesuatu yang kadangkala terasa mudah, kita harus menempuh perjalanan pikiran yang sangat panjang untuk sampai ke tujuan. Pun, kita mesti melakukannya dengan tulus, dan seringkali harus mengosongkan pengetahuan yang sudah dimiliki, agar bisa masuk ke dalam sebuah arena, tempat jawaban atas seluruh pertanyaan bersembunyi: sebuah labirin.

At first, you will not see me or hear me, but you must be patient and keep looking. With perseverance and without preconceptions, freely and with desire, look. With your imagination unleashed and your penis ready and willing-preferably erect-look. One enters there as the novice nun enters the cloister, without petty calculations, giving everything, demanding nothing, and in one’s soul the certainty that it is forever. Only on that condition, very gradually, the surface of dark purples and violets will begin to move, to become iridescent, to take on meaning and reveal itself to be what it in truth is, a labyrinth of love (pg. 117). ***

Jatuh Cinta di Samarinda

$
0
0




Minggu (29/3) kemarin, saya dapat kesempatan yang sebetulnya cukup langka. Yakni, bertemu dengan teman-teman pembaca di Samarinda, Kalimantan Timur. Saya bilang langka, karena memang jarang penerbit memasukkan jadwal talk show di daerah Kalimantan. Biasanya hanya di pulau Jawa. Tapi kemarin, dalam rangka Samarinda Book Fair 2015, saya akhirnya bisa bertandang ke Samarinda (dan pada hari berikutnya ke Balikpapan untuk mengisi kelas menulis) dan menemui teman-teman pembaca di sana.

Hari Sabtu (28/3) saya terbang dari Jogja. Karena tidak ada penerbangan langsung dari Jogja ke Samarinda, jadi saya mendarat di Balikpapan terlebih dahulu. Setelah mengagumi bentuk dan kebersihan bandara Sepinggan, saya dijemput oleh sopir dan kami langsung beranjak menuju Samarinda. Pada saat itu hampir pukul sembilan di malam hari. Kata pak sopir, perjalanan ke Samarinda akan ditempuh selama dua setengah hingga tiga jam.

Pemandangan yang saya temui di perjalanan dari Balikpapan ke Samarinda membawa perasaan saya ke kampung halaman sendiri. Kami melewati jalan raya yang diapit oleh hutan. Sama seperti jalan yang saya tempuh dari Pontianak ke Anjongan dan sebaliknya. Menyusuri jalan raya Balikpapan – Samarinda membuat saya merasa pulang. Apalagi, di tengah jalan Papa menelepon dan kami mengobrol.

Seperti perkiraan, kami tiba di Samarinda hampir pukul dua belas malam.

Setelah mobil parkir di pelataran hotel tempat saya akan menginap, saya turun dan melangkah menuju lobi. Sopir sudah beranjak pergi. Di dalam, saya bertemu dengan Baihaqi, perwakilan tim promosi Kelompok Penerbit Agromedia, yang akan menemani saya selama saya berada di Samarinda dan Balikpapan dua hari ke depan. Sebetulnya Baihaqi tidak hanya menemani saya, melainkan juga Moammar Emka dan Hikmat Kurnia. Saya tidak perlu lagi menjelaskan siapa Moammar Emka. Pak Hikmat Kurnia, dia adalah direktur Kelompok Agromedia.

Kami-Saya, Moammar Emka, dan Hikmat Kurnia-dijadwalkan untuk mengisi sesi penulisan kreatif dalam rangka Samarinda Book Fair 2015, di gedung olah raga Segiri, Kota Samarinda. Pada acara tersebut, masing-masing dari kami akan berbicara tentang penulisan fiksi, penulisan nonfiksi, dan dunia penerbitan.

Keesokan paginya, saya berangkat ke GOR Segiri bersama Baihaqi. Jarak dari hotel yang kami tempati dan GOR Segiri sangat dekat, tidak sampai sepuluh menit perjalanan. Tiba di GOR Segiri pukul sepuluh kurang lima belas menit, beberapa kursi di depan panggung sudah terisi. Panitia menyiapkan alat-alat untuk saya menyampaikan materi. Saya menyiapkan diri.

Karena persiapan teknis dan menunggu peserta datang, sesi saya dimulai lima belas menit agak terlambat dari yang sudah dijadwalkan. Saya pun mulai menyampaikan materi yang sudah saya siapkan. Materi tersebut bertajuk “Bagaimana Caranya Bercerita?” dan berisi hal-hal mendasar dalam penulisan kreatif. Materi itu sudah pernah saya sampaikan pula di beberapa kelas menulis sebelumnya di tempat-tempat lain.

Peserta yang tadinya cukup sedikit, lama-lama bertambah ramai seiring topik presentasi semakin masuk ke detail. Saya merasa gembira karena semua yang hadir tampak serius menyimak apa yang saya sampaikan. Saya bisa melihatnya dari bagaimana mereka bersemangat ingin mengajukan pertanyaan saat sesi tanya-jawab dibuka.



Selesai menyampaikan materi dan tanya-jawab, saya turun dari panggung dan menemui beberapa pembaca. Sempat dihampiri oleh seorang jurnalis dari Kaltim Post yang ingin melakukan wawancara, juga bertemu dengan Nisa, perwakilan @PembacaBara di Samarinda (teman-teman sila cek akun Twitter @PembacaBara untuk bergabung dengan teman-teman yang lain J).

Menjelang sore, saya dan tim bergerak menuju Gramedia Big Mall Samarinda untuk talk show “Jatuh Cinta” dan book signing. Tiba di lokasi tepat waktu, ternyata host acara sudah bercuap-cuap seru dengan teman-teman pembaca yang sudah duduk rapi di kursi-kursi di area venue. Acara dibuka dan saya pun menceritakan beberapa hal tentang buku terbaru saya, Jatuh Cinta Adalah Cara Terbaik untuk Bunuh Diri. Interaksi berlangsung seru dan menyenangkan. Acara ditutup dengan foto bareng kru sales toko buku Gramedia Big Mall Samarinda dan teman-teman pembaca di Samarinda.



Malam harinya, kami-Moammar Emka, Hikmat Kurnia, Baihaqi, dan Tanto (tim pemasaran Agromedia Samarinda)-beranjak ke Balikpapan. Menyusuri jalan raya yang telah gelap, semua merasa kelaparan. Kami menepikan kendaraan di salah satu warung durian di pinggir jalan, dan menyantap durian serta lai (sejenis durian namun berbeda, daging buahnya lebih kuning dan tidak mengandung alkohol).

Senin (30/3) pagi, saya dan Baihaqi berkendara ke Gedung Perpustakaan Kota Balikpapan. Saya dijadwalkan untuk mengisi kelas Akademi Berbagi (Akber) Balikpapan. Ini agenda tambahan, sebetulnya. Saat saya mengunggah pengumuman acara di Samarinda, seorang tweeps menyapa saya di Twitter dan mengajak saya menjadi tamu Akber Balikpapan. Saya mengarahkan agar menghubungi tim GagasMedia. Rencana pun disusun dan akhirnya kelas diagendakan pada hari Senin.

Meski kelas diselenggarakan di hari kerja, ternyata ruangan yang dipakai terisi penuh. Ada setidaknya empat puluh orang berasal dari beragam segmen usia dan pekerjaan yang hadir di kelas menulis Akber Balikpapan kemarin. Saya melihat murid SMA, beberapa pemuda dan pemudi yang saya kira barangkali mahasiswa, pegawai negeri, dan seorang laki-laki yang mungkin berusia tak kurang dari lima puluh tahun. Saya takjub. Ternyata menulis masih menjadi minat banyak orang.

Saya memulai kelas hari itu dengan menyampaikan materi yang saya sampaikan di Samarinda Book Fair 2015 di hari sebelumnya. Ditambah satu materi bonus tentang personal branding. Tanya-jawab berlangsung dengan menyenangkan. Peserta tampak antusias dan betul-betul menyimak.



Begitulah dua hari kegiatan di Samarinda dan Balikpapan. Terima kasih untuk teman-teman yang telah hadir dan ikut meramaikan acara-acara di dua kota tersebut. Sesungguhnya mereka lah yang membuat acara-acara itu berkesan.

Sampai bertemu lagi!


Bara

Breaking News: I Fall For You

$
0
0



Selamat siang, teman-teman pembacaku yang baik hatinya.

Hari ini saya mau memberikan kabar terbaru tentang buku kedelapan saya, sekaligus novel keempat saya, "I FALL FOR YOU". 

Sebelumnya, "I FALL FOR YOU" dijadwalkan terbit oleh Penerbit GagasMedia pada bulan Agustus 2015. Namun, karena proses penggodokan naskah di tim redaksi, maka jadwal terbit dimundurkan.

"I FALL FOR YOU" akan terbit pada akhir September 2015.

Bersama dengan itu, juga akan ada beberapa perubahan:

1) JUDUL "I FALL FOR YOU" akan diubah, menjadi berbahasa Indonesia. Bukan merupakan terjemahan langsung dari kalimat tersebut, melainkan akan dicari judul baru.

2) TAGLINE novel, yang sebelumnya "I Can't Smile Without You" juga akan diubah, menjadi berbahasa Indonesia.

3) DESAIN COVER, yang sebelumnya akan dibuat seperti dua novel terdahulu dalam serial Love Cycle, juga akan diubah, menyesuaikan konten dan nuansa cerita di "I FALL FOR YOU" yang sudah lebih dewasa ketimbang dua novel sebelumnya.

Jadi, saat terbit nanti, "I FALL FOR YOU" tidak akan bernama I FALL FOR YOU, tetapi akan menggunakan judul baru, yang saat ini belum ditentukan.

(Tapi untuk mempermudah kita ngobrolin novel ini, sementara judul barunya belum ada, kita masih pakai "I FALL FOR YOU" dulu ya!)

Update berikutnya:

Saat ini, "I FALL FOR YOU"sudah masuk tahap pra-cetak. Itu artinya, naskah novel sudah mulai di-setting atau di-layout oleh tim pra-cetak. Cover juga sudah mulai dibuat. Menurut tim redaksi, polling cover akan dilakukan minggu depan. Ah, saya nggak sabar pengin lihat cover novel baru ini. Kamu juga, kan? :D

Sekian dulu kabar terbaru dari novel terbaru saya, "I FALL FOR YOU" (yang akan berubah judulnya). Kalau ada pertanyaan, sampaikan di kolom komentar di bawah ini ya.

Terima kasih, teman-teman pembacaku yang baik hatinya!

Cheers!

- Bara

Ilustrasi di Novel Terbaru

$
0
0





Ini adalah salah satu dari beberapa ilustrasi yang akan ada di novel terbaru saya. Dibuat dengan sangat indah oleh ilustrator favorit saya, Ida Bagus Gede​ Wiraga.

Saya sudah bekerjasama dengan Hege (panggilan akrabnya) sejak pengerjaan buku puisi saya edisi revisi,Angsa-Angsa Ketapang. Saya memintanya untuk membuat cover dan ilustrasi isi di buku tersebut. Kerjasama berikutnya saya dengan Hege di Jatuh Cinta Adalah Cara Terbaik untuk Bunuh Diri. dia membuat beberapa ilustrasi di buku itu, yang salah satu ilustrasinya akhirnya juga dipakai sebagai elemen utama di covernya.

Sekarang, lewat Penerbit Gagasmedia, Hege kembali menorehkan goresan ilustrasinya di novel terbaru saya (sampai hari ini judul pastinya belum ditentukan). Ilustrasi ini dikirim oleh editor saya, Widyawati Oktavia​, lewat Whatsapp tadi malam. Saya takjub dengan hasilnya. Terasa lembut dan puitis, seperti ilustrasi-ilustrasi lain Hege untuk buku-buku saya yang sebelumnya. Saya sangat menyukai ilustrasi ini.

Ini hanya salah satu, yang artinya masih ada beberapa ilustrasi lain lagi dari Hege yang akan muncul di novel terbaru saya.

Novel terbaru saya akan terbit bulan September ini. Tanggalnya masih rahasia. Saat ini, novel tersebut sedang memasuki tahap pracetak: setting isi dan perancangan cover. Semoga berjalan lancar dan teman-teman semua dapat segera menikmati isinya.

Terima kasih!

- Bara

Alih Wahana Puisi ke Musik Klasik

$
0
0
Minggu, 13 September 2015, saya mendapatkan kesempatan berharga untuk menghadiri sebuah acara yang menakjubkan. "Tea With Ananda", pertunjukan musik klasik oleh Ananda Sukarlan.

Di sana, saya menyaksikan secara langsung sesuatu yang belum pernah saya lihat sebelumnya: Ananda Sukarlan menggubah dua puisi saya menjadi komposisi musik klasik, yang dinyanyikan dan dimainkan dengan sangat apik nan indah oleh tiga anak muda berbakat: Mariska Setiawan (soprano), Nikodemus Lukas (tenor), dan Jessica Sudarta (harpist). Mereka menyanyikan puisi "Sepasang Daun Ketapang" dan "Kita" dari buku Angsa-Angsa Ketapang.

Selalu menakjubkan melihat orang lain mengapresiasi sebuah karya dengan membuat karya baru atas karya tersebut. Alih wahana adalah satu cara paling ampuh untuk memperluas ranah penikmat suatu karya.

Saat kemarin melihat puisi saya dinyanyikan sebagai komposisi musik klasik, saya merinding dan takjub. Saya belum pernah mengalami yang seperti ini. Benar-benar hal yang baru bagi saya.

Terima kasih kepada para musisi klasik muda dan berbakat yang sudah memberi pertunjukan yang menakjubkan, dan tentu saja terima kasih kepada mas Ananda Sukarlan.

Teman-teman dapat menyaksikan video pertunjukan itu di Youtube. Yang saya pajang juga di sini. Selamat menikmati.

~ Bara



Buku Kedelapan: Jika Aku Milikmu

$
0
0




Pagi ini, beranda kamar saya kedatangan sekeping biru langit. Samar-samar saya mendengar gesekan biola memainkan melodi ‘Minuet’. Saat saya membuka pintu, ada sesosok gadis berdiri di hadapan saya.
“Nama saya Nur, Kamu Bernard yang menuliskan saya? Salam kenal ya.'
Kemudian, dia pergi lagi, sembari menggesek biolanya. Begitu saja, dia lalu terbang ke biru langit, meninggalkan saya termangu.
Sebelum beranjak, dia sempat menitipkan gambar ini untuk saya tunjukkan ke kamu.
Selamat pagi dari buku ke-8. Terima kasih buat semua yang sudah membantu memilih covernya. Saya menyukai warna biru langit muda ini.
Semoga JIKA AKU MILIKMU, novel terbaru saya ini, bisa segera menemui teman-teman!

~ Bara

Jika Aku Milikmu Bertandatangan

$
0
0


Senin lalu, saya membubuhkan tandatangan ke sekian jumlah Jika Aku Milikmu, novel terbaru saya.

Stok terbatas novel bertandatangan ini dipersembahkan untuk pembaca setia. Walaupun setelah menandatangani semua eksemplar, pinggang saya jadi pegal-pegal dan jari tangan agak kram, nggak masalah. Saya senang, karena berbuat sesuatu untuk pembaca. Bahkan, saya bahagia melakukannya!

Edisi bertandatangan Jika Aku Milikmu hanya bisa diperoleh di toko-toko buku online. Daftar toko buku online yang menyediakannya akan saya beritahukan nanti, setelah dikabari oleh penerbit.

Ingat: Jika Aku Milikmu bertandatangan asli ini hanya tersedia dengan stok terbatas. Jadi, semoga beruntung ya!

~ Bara

Jika Aku Milikmu Selesai Cetak

$
0
0


Gambar pertama buku terbaru saya, JIKA AKU MILIKMU, langsung dari gudang distributor. Akhirnya, buku ini selesai dicetak. Alhamdulillah.

Menurut penerbit dan distributor, Jika Aku Milikmu siap muncul di toko-toko buku mulai minggu depan. Biasanya, di minggu pertama akan hadir di wilayah jabodetabek. Dalam dua minggu, akan hadir di pulau Jawa. Kemudian, dalam tiga minggu sampai satu bulan, sudah siap dibeli di seluruh toko buku di Indonesia.

Semoga proses distribusinya berjalan lancar. Sampai bertemu dengan buku kedelapan saya!

~ Bara

Jika Aku Milikmu: Edisi Bertandatangan

$
0
0




Akhirnya, novel terbaru saya JIKA AKU MILIKMU sudah mulai dijual.

Di atas adalah daftar toko buku online yang menyediakan buku terbaru saya. Jika kamu membeli di toko-toko buku online tersebut, kamu akan mendapatkan edisi bertandatangan, plus bonus stiker-quote. Perlu diingat bahwa stok untuk buku edisi bertandatangan dan bonusnya ini amat terbatas. Jadi, silakan segera memesan sebelum kehabisan.

JIKA AKU MILIKMU akan tersedia di toko-toko buku jaringan (offline) seperti Gramedia dan kawan-kawannya dalam dua minggu hingga satu bulan ke depan.

Selamat berburu!

~ Bara



How To Keep The Readers Reading

$
0
0



How To Keep The Readers Reading, atau bagaimana membuat pembaca betah membaca cerita yang kita tulis.

Ringkasan materi ini saya sampaikan di kelas menulis tempo hari di Tebet, Jakarta. Seperti sempat saya ocehkan sebelumnya, pada dasarnya kelas menulis adalah ruang untuk memberi alternatif, bukan menjejalkan pakem. Begitu pula apa yang saya sampaikan dalam materi kelas tempo hari (berikut ini), juga adalah alternatif.

Berikut 8 tahap membuat cerita yang menarik:


1. Begin With A "Chaos"

mulailah ceritamu dengan 'kekacauan'. dengan begitu, pembaca langsung tertarik dan perhatian mereka langsung terebut, begitu membaca paragraf pertama.

2. Then, Slow It Down

Setelah adegan pertama yang mengandung konflik, langkah berikutnya, hilangkan chaos-nya. Perlambat tempo cerita. Misal, di bagian ini bisa kita isi dengan flashback, untuk merunut kenapa kekacauan yang muncul di adegan pertama bisa sampai terjadi.

3. Give Background

cerita yang baik adalah cerita yang berlapis. berikan latar belakang  (back story) terhadap adegan-adegan dan kepribadian tokoh: ungkap kenapa mereka bisa memiliki sifat seperti itu, atau memutuskan melakukan suatu tindakan. bangun cerita pendukung.

4. Raise the Tension

Setelah tadi tempo cerita relatif santai, sekarang naikkan lagi tensi. Munculkan kembali ketegangan di tengah-tengah cerita. Seni bercerita adalah seni mengatur ketegangan dan berdiri di antara kontraksi dan relaksasi. Pembaca perlu dibuat tegang, juga butuh diberi ruang bernapas. Dinamika ini diciptakan agar pembaca tidak bosan dan tetap penasaran dan terus membaca.

5. Make it Worse

Kurt Vonnegut berkata, 'be a sadist'. Ketika memberi masalah terhadap tokoh kita, jangan langsung diselesaikan. Buat masalahnya jadi semakin buruk, keadaannya jadi tambah sulit, benar-benar terpojok, sampai-sampai tokoh itu putus asa, dan tidak tahu harus melakukan apa untuk menyelesaikan masalahnya. Buat seburuk mungkin, agar karakter/kepribadian asli dia keluar. Jangan tanggung-tanggung.

6. Reveal A Secret

Setiap manusia punya rahasia. Setiap rahasia selalu menarik untuk diungkap. Setelah cerita berjalan dengan cukup, keluarkan satu rahasia terdalam tokoh, yang menjadi motif terbesar mengapa ia melakukan apa yang ia lakukan. Kejutkan pembaca di bagian ini.

7. Bring It To The End, Make It 'Staccato'

Maksudnya staccato adalah, percepat tempo. Tek, tek, tek, tek. Bangun narasi dengan ketegangan yang semakin tinggi. Cepat, cepat, cepat.

8. Finish it, beautifully

Skhiri dengan cantik. Bayangkan seolah-olah seperti kita sedang menutup suatu pertunjukan sulap, kita harus menutupnya dengan megah dan spektakuler. Jika ingin akhir yang sedih, buat sangat sedih. Jika senang, amat bahagia. Jangan tanggung. Jangan ragu untuk mengakhirinya dengan tiba-tiba, karena dapat membuat tulisan meninggalkan kesan yang membekas. Namun, pastikan juga kalau kita berhasil menulisnya dengan bagus, sebelum memutuskan untuk mengakhiri cerita dengan tiba-tiba (kalau ceritanya jelek, menutup tiba-tiba justru bikin pembaca jengkel)

Sekian, semoga berguna.

Terima kasih.

~ Bara

6 Hal Penting Tentang Menulis

$
0
0

Teju Cole


Materi ini saya sampaikan kali pertama di kelas menulis fiksi di Comic Cafe, Tebet, Jakarta, hari Sabtu yang lalu (10/10). Hal-hal di bawah ini saya sarikan dari '8 letters to a young writer', Teju Cole. Saya belum pernah membaca buku Teju Cole, tapi saya membaca tulisannya tersebut tentang penulisan, dan banyak poin yang saya sendiri sepakati karena sesuai dengan pengalaman dan visi saya dalam menulis.

Berikut adalah hal-hal penting yang dibutuhkan seorang penulis untuk membuat tulisannya kuat dan berkesan:


1. Simplicity (simplisitas berbahasa)

Kalau kita bisa mengungkapkan sesuatu dengan kata-kata yang sederhana, tidak perlu menggunakan kata-kata rumit. 'Never use big words where small ones will do,' kata George Orwell, ketika ia dikritik William Faulkner atas kesederhanaan kosakata pada tulisannya. Orwell bukan tidak bisa merancang metafora rumit atau menggunakan pilihan kata canggih, tapi ia memilih kata-kata yang ampuh, dan yang ampuh bagi Orwell adalah kata-kata yang sederhana.

Kata-kata yang sederhana membuka ruang untuk mempertajam gagasan. Dan, itulah yang harus dilakukan penulis: pertajam gagasan ceritanya. Tentu saja metafora tidak dilarang, bahkan itu menunjukkan kejeniusan si penulis. Akan tetapi, kata-kata yang canggih tidak semestinya dipakai hanya untuk menutupi ketidakmampuan penulis mengungkap dan mempertajam gagasannya dengan bahasa yang jernih.

Kikis segala macam distorsi dan 'noise' yang tidak perlu. Sampaikan gagasan yang tajam dengan bahasa yang jernih. Ketika menulis, be clean and direct.


2. Freedom (kebebasan cara menulis)

Dengarkan tips menulis dari saya, lalu lupakan. Seperti yang pernah saya singgung sebelumnya, pada akhirnya setiap penulis mesti menemukan jalan heningnya sendiri, menemukan gaya dan visinya masing-masing, mengenakan 'pakaian' yang pas dan cocok dengannya.

Menulis adalah mempelajari dasar-dasar penulisan, berlatih terus-menerus, kemudian 'bend the rules'. Ubah aturannya, berontaklah, berinovasi, dan bereksperimen.


3. Voice (membangun karakter khas pada narator)

Simplitas bahasa dan gagasan yang kuat kadang-kadang tidak cukup untuk membuat seorang pembaca menyukai tulisan kita. Yang membuat satu penulis dengan penulis lain berbeda adalah 'karakter' tulisan.

Tidak cukup memiliki teknik bernyanyi yang mumpuni, seorang penyanyi menjadi mencolok di antara penyanyi lainnya karena dia punya 'timbre', warna suara. 'Voice' yang dimaksud di sini adalah 'timbre' tersebut. 'Warna suara' pada narasi yang membuat narasi seorang penulis berkarakter dan mudah diingat.

Apakah narator dalam tulisan kita seorang pengamat, penggerutu, tukang bercanda, orang yang cuek, atau bahkan terlalu peduli? 'Karakter' narator akan mengeluarkan voice itu, dan karakter adalah yang kita butuhkan untuk membuat pembaca mengenal dan mengingat gaya menulis kita.


4. Inwardness (memasuki inner-self karakter)

Seorang penulis menulis buku berdasarkan pengalamannya sendiri. Tetapi, mengapa kita bisa merasa seakan-akan teks tersebut ditujukan untuk kita, personally, atau bahkan ditulis berdasarkan cerita hidup kita sendiri? Ini yang disebut dengan universalitas karakter.

'Relatable', atau perasaan keterkaitan pada satu tokoh atau satu cerita adalah yang membuat kita menyukai buku, bukan begitu? Perasaan keterkaitan itulah pula yang perlu kita munculkan dalam cerita yang kita tulis.

Untuk melakukannya, kita perlu masuk sangat dalam ke alam pikiran karakter, dan menghindari 'archetype' atau membuat karakter-karakter 'template'. Manusia memang memiliki sifat-sifat yang kadangkala mirip, tetapi perlu diingat pula bahwa manusia juga sekaligus unik, punya pikirannya sendiri dan jalan hidup yang tidak bisa disamakan dengan yang lain.

Buatlah karakter yang tidak terlampau 'jamak' sehingga semua orang bisa dengan mudah mengenalnya, tetapi juga tidak terlalu 'unik' sehingga semua orang merasa asing dengannya.


5. Artistry (menyerap pelajaran dari seni lain)

Seperti manusia tidak dapat bertahan hidup hanya dengan mengonsumsi satu macam makanan, penulis juga tidak bisa berkembang hanya dengan membaca buku. Cabang seni lain akan memberi kontribusi yang beragam dan sangat bermanfaat untuk kemampuan menulis.

Dari film, kita bisa belajar bagaimana menulis cerita yang tidak bertele-tele, penyuntingan yang ketat, dan dengan demikian merancang alur cerita yang efektif. Dari musik, kita bisa belajar menulis menggunakan pola: intro, verse, bridge, refrain, verse, bridge, refrain, outro, coda; ini berguna untuk merancang ketegangan-relaksasi alur cerita.


6. Observation (melihat hal sehari-hari lebih dekat)

Salah satu kerja besar seorang penulis adalah menangkap apa yang dilewatkan oleh orang lain. Dalam adegan sehari-hari, sesungguhnya banyak hal yang menarik jika saja kita ingin berhenti sejenak melakukan kesibukan kita sendiri, lalu melemparkan pandangan ke satu sudut dan mengamatinya dengan lebih dekat.

Di kota/desa mana kita tinggal? Apa yang kita ketahui tentang tempat tinggal kita sendiri? Jika kita ingin memikirkannya, kita akan takjub betapa kita tidak begitu mengenal tempat tinggal kita sendiri. saat duduk di sudut kafe, layangkan pandangan ke para barista yang sedang sibuk, atau seorang lelaki tua membaca koran sendirian; apa yang sedang mereka pikirkan? Apa masalah yang tengah mereka hadapi? Bagaimana kehidupan percintaan mereka?

Masuk ke dalam keseharian, ambil jarak dan amati hal-hal di luar diri kita. Tangkap apa yang terlewat. Look closer.


Semoga berguna.


Terima kasih.

~ Bara
Viewing all 402 articles
Browse latest View live