Quantcast
Channel: Bernard Batubara
Viewing all 402 articles
Browse latest View live

The Stranger, Albert Camus

$
0
0



Seorang pria melihat ibunya yang baru saja meninggal sedang disemayamkan, dan ketika seluruh pelayat hadir dengan wajah muram dan airmata menetes di pipi mereka, pria tersebut sama sekali tidak menangis. Bahkan, ia tidak sedikit pun menunjukkan tanda-tanda bahwa ia bersedih atas kematian ibunya. Seolah-olah ibunya yang sedang terbujur kaku sebagai mayat itu bukanlah ibunya, melainkan sebatang pohon yang baru saja ditebang, atau seekor lalat yang baru tuntas ditepuk.

Albert Camus memulai novela berjudul The Stranger ini dengan menampilkan gambaran karakter yang sangat kuat, sekaligus barangkali nyeleneh dan agak kurang masuk akal bagi sebagian orang. Terutama mereka yang berpikir bahwa manusia seharusnya merasakan emosi begini atau begitu.

Bukan hal keliru, memang, jika sebagian yang membaca The Stranger akan menganggap si lelaki yang berperan sebagai tokoh utama tersebut mengidap kelainan jiwa karena tidak menangis bahkan tidak menunjukkan tanda-tanda emosional sedikit pun saat melihat mayat ibunya, atau saat mendapat kabar bahwa ibunya meninggal. Bahkan, ia tidak ingat kapan tepatnya ibunya meninggal, hari ini atau kemarin, kemarin atau hari ini. Baginya sama saja.

Saya katakan bukan hal yang keliru, karena tokoh-tokoh lain di dalam The Stranger pun beranggapan demikian. Dapat dilihat ketika si tokoh utama terlibat masalah hukum setelah di siang bolong, di tepi pantai tempat ia berlibur bersama beberapa temannya, ia menembak mati seorang Arab. Lima tembakan di tubuh bagian depan.

Saat ditanya di persidangan tentang alasannya menembak laki-laki Arab tersebut, si tokoh utama awalnya diam karena tiba-tiba ia merasa jawaban yang akan berikan bakal terdengar sangat konyol di khayalak persidangan. Namun, ia tetap harus menjawab, karena ia pun ingin menjawab. Dan, benar saja dugaannya, saat ia memberikan jawaban atas pertanyaan itu, semua orang tertawa, termasuk jaksa penuntut umum.

Jawabannya ketika ditanya mengapa ia menembak mati laki-laki Arab tersebut adalah karena ia merasa sinar matahari pada saat itu sangat menyengat dan ia merasa pusing dan akhirnya ia pun menarik pelatuk dan menembak korban.

Semua orang merasa si tokoh utama memiliki kelainan jiwa. Apalagi ketika jaksa penuntut umum menyampaikan hasil penyelidikannya. Ia menemukan dan menyampaikan di persidangan bahwa si tokoh utama-yang telah jadi tersangka pada saat itu-diketahui lewat saksi-saksi, tidak menangis sama sekali dan tidak menunjukkan tanda-tanda emosi ketika menghadiri pemakaman ibunya. Bahkan, si tokoh utama pergi berkencan dengan seorang perempuan keesokan harinya dengan kondisi bahagia, seolah tak pernah terjadi apa-apa. Seolah ibunya tidak pernah meninggal.

Dengan cerdas, Albert Camus menggiring pikiran kita hingga berada di posisi yang barangkali sama seperti tokoh-tokoh lain di dalam cerita. Seperti mereka, kita akan melihat si tokoh utama ini sebagai orang yang mengidap kelainan jiwa. Jangan-jangan ia pernah mengidap trauma masa kecil atau semacamnya, pikir kita.

Namun, kenyataannya si tokoh utama tidak mengidap trauma masa kecil atau apapun (setidaknya dari yang terlihat pada teks). Ia, dengan pemikirannya sendiri, memang merasa tidak ingin menangis. Tidak ada hal yang mendorong ia untuk menangis. Kematian Maman, ibunya, adalah sesuatu yang baginya normal-normal saja. Jika hari ini ibunya mati, atau kemarin, atau besok, atau tahun depan, sama saja. Semuanya tetap akan berjalan normal dan seperti biasa. Kematian ibunya bukanlah peristiwa yang signifikan.

Tidak sulit memahami jalan pikiran si tokoh utama di novela The Stranger (atau jalan pikiran pengarangnya) ketika kita mengetahui bahwa Albert Camus adalah seorang eksistensialis (silakan cari di Google apa itu eksistensialis). Meski tidak tampak di awal-awal cerita, pada akhirnya kita akan mengerti mengapa si tokoh utama memiliki jalan pikiran demikian dan mengambil tindakan-tindakan seperti di dalam cerita.

Membaca The Stranger Albert Camus mengingatkan saya pada novel-novel dan cerita-cerita pendek Haruki Murakami. Saya bahkan merasa mereka seperti abang-beradik. Camus abangnya, Murakami adiknya. Bisa kita bilang mereka berdua adalah eksistensialis. Tidak sulit mengetahuinya. Hanya dengan melihat tindakan dan cara berpikir tokoh utama dalam novel mereka, hal tersebut dapat terlihat.

Yang lebih ingin saya soroti dan bahas dari novela setebal 120 halaman ini adalah, kesederhanaan bahasanya. Berkali-kali saya berpikir bahwa pengarang-pengarang sekelas pemenang Nobel Kesusastraan pastilah memiliki karya-karya dengan bahasa yang berat. Bahasa yang berat maksud saya adalah pemilihan kata yang tidak lazim. Seperti novel yang dijejali kata-kata langka dari dalam kamus.

Namun, The Stranger sama sekali tidak demikian. Saya menyelesaikan membaca The Stranger hanya dalam beberapa jam. Mungkin tidak lebih dari tiga jam. Salah satunya karena bahasa Camus sangat mudah dipahami. Tidak ada kata-kata dalam Bahasa Inggris yang sulit, yang membuat saya mesti mengubek-ubek Google Translate untuk dapat memahami maksudnya.

Begitu pula dengan plot. The Stranger tak menggunakan model lain selain bentuk yang linear. Alur maju. Camus tidak menawarkan permainan flashback, foreshadowing, atau fragmen-fragmen yang rumit. Kisah tokoh utama yang dianggap memiliki kelainan jiwa oleh tokoh-tokoh lain di dalam cerita dikisahkan dengan cara yang amat sederhana.

Kadangkala saya berpikir bahwa penulis-penulis yang matang memang akan menuju bentuk dan cara yang sederhana. Seperti orang bijak atau orang pintar yang dapat menyampaikan hal rumit lewat pernyataan-pernyataan sederhana. Orang yang kerap menggunakan bahasa rumit, menurut saya, justru adalah orang yang tak benar-benar paham dengan apa yang ingin ia ucapkan sendiri.

Meski demikian, meski dengan bahasa dan alur yang sederhana, kita tahu apa yang dimunculkan oleh Camus lewat tokoh utama di The Stranger bukanlah hal yang sederhana. Camus menggali hingga ke dalam jiwa manusia, lalu memunculkan ke permukaan pertanyaan demi pertanyaan yang barangkali, secara sadar maupun tidak, menghantui kita semua. Mengapa seseorang harus punya tujuan hidup? Apakah tujuan hidup itu? Apakah hidup itu sendiri dan apakah itu kehidupan? Apakah kematian?

The Stranger juga membuat kita bertanya dan berasumsi, barangkali apa yang disebut kelainan jiwa hanyalah kewarasan dalam perspektif lain. Saya sering menduga dan curiga, jangan-jangan orang gila, atau yang setidaknya kita kerap sebut orang gila, hanyalah orang yang punya bentuk kewarasan yang berbeda dengan kita, manusia ‘waras’. Orang gila atau orang yang punya kelainan jiwa hanya memiliki dunia yang berbeda dengan kita. Dan, tentu saja, itu bukan hal yang aneh.


Lalu, jika benar demikian, apakah salahnya memiliki dunia yang berbeda? Apakah salahnya menjadi gila di dunia yang waras, atau menjadi waras di dunia yang gila? Bukankah waras dan gila hanya masalah mana yang lebih mendominasi? Seperti orang gila yang berada di dunia orang waras tidak dapat disebut orang waras, apakah orang waras yang diletakkan di dunia penuh orang gila tidak boleh disebut orang gila? ***

After the Quake, Haruki Murakami

$
0
0



Ini buku keempatbelas dari Haruki Murakami yang saya baca, sekaligus kumpulan cerita keduanya yang saya baca setelah Blind Willow, Sleeping Woman. Saya tidak berharap banyak akan menemukan hal baru dari tulisan-tulisannya. Saya membaca kumpulan cerpennya ini hanya karena saya ingin menghabiskan tumpukan buku-bukunya yang belum saya baca, dan karena dua minggu terakhir saya sedang fokus membaca buku-buku kumpulan cerita pendek. After the Quake saya baca bersamaan dengan In Praise of the Stepmother, Mario Vargas Llosa, juga dua kumpulan cerita pendek dari pengarang Indonesia (di catatan berikutnya saya akan menulis tentang buku-buku tersebut).

Hal lain yang membuat saya ingin membaca After the Quake adalah, karena katanya kumpulan cerita Murakami ini ditulis sebagai respons si penulis atas peristiwa gempa Kobe. Saya tidak pernah mendengar tentang gempa Kobe sebelumnya. Baru saat hendak membaca buku ini. Namun, keterangan tersebut-Murakami menulis cerita pendek sebagai respons atas gempa Kobe-cukup membuat saya tertarik untuk membaca. Karena kita tahu, Murakami jarang sekali menulis cerita yang memuat, hm, katakanlah, ‘peristiwa sosial’.

Kebanyakan cerita-cerita Murakami adalah cerita-cerita yang sureal, penuh elemen fantasi, dan absurd. Kau bisa tiba-tiba saja melihat ribuan ekor ikan sarden berjatuhan dari langit, atau seorang laki-laki yang kausnya mendadak berlumur darah. Jarang kita temukan peristiwa-peristiwa ‘sosial’ di dalam cerita-cerita Murakami. Barangkali hanya di novelnya The Wind-Up Bird Chronicle yang memuat banyak cuplikan perang Vietnam.

Saya berani bilang bahwa Murakami merupakan pengarang yang tidak peduli-peduli amat untuk memasukkan unsur ‘permasalahan sosial’ ke dalam cerita-cerita karangannya. Ia lebih gemar menggali kondisi psikologi individu manusia dengan merangkai peristiwa-peristiwa yang sureal dan absurd. Maka, ketika membaca After the Quake, saya menduga-duga, apakah benar kali ini Murakami kembali (setelah saya membaca The Wind-Up Bird Chronicle) memasukkan unsur ‘permasalahan sosial’ ke dalam cerita-ceritanya?

Ternyata, jawabannya adalah: tidak.

Enam cerita di dalam kumpulan cerita After the Quake (saya membaca versi terjemahan Bternyata bukanlah cerita-cerita seperti yang saya bayangkan. Saya membayangkan cerita-cerita yang ditulis Murakami benar-benar merupakan rekonstruksi sejarah dengan, mungkin, mengambil sudut pandang penceritaan yang lain (memang agak naif harapan semacam ini). Ternyata, seluruh cerita di dalam buku ini hanya menggunakan peristiwa gempa Kobe sebagai pemicu efek samping yang mengubah jalan hidup tokoh utama, sehingga konflik pun muncul dan cerita bergulir tanpa ada signifikansi yang besar terhadap peristiwa gempa Kobe itu sendiri.

Cerita UFO in Kushiro mengisahkan Komura, seorang laki-laki yang istrinya tidak melakukan pekerjaan apapun di rumah selain menonton televisi dan menyaksikan berita-berita mengerikan seputar gempa Kobe, hingga suatu hari istrinya pergi begitu saja dari rumah dan tidak kembali lagi. Memang konflik cerita dipicu oleh peristiwa gempa Kobe, namun ceritanya sendiri bukan tentang gempa Kobe, melainkan permasalahan klasik dalam buku-buku Murakami, yakni eksistensialisme.

Landscape with Flatiron tentang seorang laki-laki yang punya kebiasaan dan kegemaran unik: membuat api unggun. Kebiasaannya ini ia dapatkan setelah keluarganya menjadi korban gempa Kobe. Sekilas tampak seperti cerita tentanggempa Kobe, namun sebenarnya tidak. All God’s Children Can Dance, Thailand, Super-Frog Saves Tokyo, dan Honey Pie pun tak jauh berbeda. Semuanya cerita-cerita yang, menurut saya, dapat berdiri sendiri dan bergulir sebagaimana mestinya tanpa peristiwa gempa Kobe. Atau, peristiwa gempa Kobe pada cerita-cerita tersebut bisa diganti oleh peristiwa apa saja yang traumatik.

Barangkali Murakami memang benar-benar tidak tertarik merekonstruksi sejarah, seperti pengarang-pengarang lain ketika mereka menulis novel atau cerita pendek berlatarkan ‘peristiwa sosial’ atau ‘permasalahan sosial’. Sebetulnya tidak masalah bagi saya, toh saya sudah cukup paham bagaimana Murakami memandang sebuah fiksi. Baginya, saya kira, fiksi adalah tempat berimajinasi dan bercerita, bukan wadah untuk menjejalkan atau menimbun fakta sejarah, apalagi jika melakukannya demi tujuan agar cerita-ceritanya dianggap berbobot dan bermutu.

Saat membaca After the Quake, saya justru lebih fokus pada bagaimana Murakami bisa melepaskan bebannya dari ‘peristiwa sosial’ yang ia angkat. Ia tidak merasa harus memasukkan data-data atau beberapa adegan peristiwa tersebut. Ia kembali ke cerita. Ia tahu bahwa cerita, bagaimanapun, mesti menghibur. Ia melakukannya sangat baik di cerita pendek berjudul Super-Frog Saves Tokyo, yang menampilkan adegan seorang laki-laki kembali ke apartemennya di siang bolong dan menemukan seekor kodok raksasa telah menunggunya (kodok raksasa itu meminta bantuannya untuk berkelahi dengan seekor cacing yang mungkin juga raksasa, demi menyelamatkan sebuah kota di Jepang agar tidak terkena dampak gempa besar).

Satu hal menarik dari enam cerita pendek di kumpulan cerita After the Quake adalah bagaimana Murakami tetap memiliki selera humor yang baik, bahkan ketika ia sedang menulis sebuah cerita yang berlandaskan ‘peristiwa sosial’ besar: gempa. Ia tidak tenggelam dalam arus opini bahwa cerita yang ditulis menggunakan ‘peristiwa sosial’ sebagai pondasinya, mestilah juga membahas dalam porsi besar peristiwa tersebut.

Saking tidak signifikannya peristiwa gempa Kobe di dalam After the Quake (melihat porsi adegan atau narasi yang membahas peristiwa itu sendiri)saya seringkali lupa bahwa cerita-cerita tersebut ditulis sebagai respons untuk gempa Kobe. Cerita-cerita itu bisa kita nikmati bahkan jika tidak tahu sama sekali tentang terjadinya gempa Kobe. Itulah yang saya rasakan saat membaca buku ini.

Saya kira begitulah cerita yang baik. Cerita yang tetap dapat dibaca dan dinikmati oleh orang-orang yang tidak memiliki pengetahuan tentang peristiwa nonfiksi di dalam cerita tersebut. Tentu saja, jika seseorang memiliki pengetahuan akan peristiwa yang ditulis atau diangkat secara tersirat di sebuah karya fiksi, ia akan dapat melakukan pemaknaan yang lebih. Tapi, jikapun tidak, ia tetap bisa menikmati alur, karakterisasi, dialog-dialog, dan adegan-adegan cerita tersebut.

Lagipula, jika ingin menulis banyak tentang fakta peristiwa sejarah, bukankah ada banyak bentuk-bentuk tulisan lain yang lebih cocok ketimbang cerita pendek atau novel? Tulisan opini atau esei, misalnya. Atau barangkali, artikel investigasi? Saya percaya selalu ada bentuk tulisan yang paling tepat untuk sebuah ide atau keinginan si penulis. Cerita bukan tempat berkhotbah. Tidak pula layak, saya kira, menjejali cerita dengan data dan fakta sejarah yang bertumpah ruah, sehingga penulisnya mengesampingkan plot dan elemen-elemen fiksi lain.


Tentu saja hal ini masih bisa dan sangat boleh diperdebatkan. Tentang cerita untuk cerita, atau cerita untuk ‘misi kemanusiaan’. Tentang seni untuk seni, atau seni untuk ‘rakyat’. Tentang bagaimana kenikmatan dari sebuah cerita mestinya dibebaskan dari beban pesan moral apalagi misi kemanusiaan. Meski, tidak pula berarti memasukkan ‘misi kemanusiaan’ adalah hal yang keliru dan ambisius. Semuanya sah-sah saja, sebetulnya. Asalkan cerita ditulis dengan bagus dan dapat dinikmati. ***

In Praise of the Stepmother, Mario Vargas Llosa

$
0
0



Kali pertama saya membaca buku dari pengarang Amerika Latin adalah novela berjudul Memories of My Melancholy Whore, Gabriel García Márquez. Saya menyukai novela itu, yang bercerita tentang laki-laki yang ingin bercinta dengan gadis belia sebagai usaha untuk merayakan ulang tahunnya yang ke-90. Setelah itu, saya membaca Pedro Páramo, juga novela, karangan Juan Rulfo. Saya sangat, sangat menyukainya. Semenjak itu, saya mulai memberikan perhatian khusus pada karya-karya pengarang Amerika Latin. Termasuk Mario Vargas Llosa, yang sebetulnya sudah saya simpan bukunya sejak dua tahun lalu, namun baru sempat saya baca tahun ini.

Sebagai penggemar kesusastraan Jepang (sebetulnya saya baru membaca Yasunari Kawabata, Ryu Murakami, Haruki Murakami, dan Natsume Sōseki) ada setidaknya satu hal yang tertangkap oleh saya dari karya-karya pengarang Amerika Latin, yang saya merasa tertarik untuk membandingkannya dengan karya-karya pengarang Jepang, yakni tentang bagaimana mereka menggubah tema (atau subtema) seksualitas. Ada semacam karakteristik yang khas yang muncul di novel-novel pengarang Amerika Latin dan Jepang saat mereka menggambarkan adegan-adegan percintaan, dan elemen-elemen lain di dalamnya.

Saya menyinggung perihal seksualitas karena di dalam novela In Praise of the Stepmother, hal itulah yang menjadi plot utama. Atau setidaknya, bungkus yang dipakai Llosa untuk menyampaikan hal-hal lain, seperti interpretasinya terhadap sejarah, mitologi, dan religiusitas.

Dõna Lucrecia, si ibu tiri, memiliki affair terlarang dengan anak tirinya sendiri, Alfonso, atau seperti panggilan sayang Dõna Lucrecia kepadanya, Fonchito. Hubungan terlarang ini berjalan di belakang sang suami, Don Rigoberto, laki-laki pencinta kebersihan dan ritual (lewat adegan-adegan yang digambarkan Llosa, saya menduga ia juga mengidap semacam obsessive compulsive disorder). Affair si anak dan ibu tirinya akhirnya terbongkar, dan di keluarga kecil bahagia itu, terjadilah tragedi.

Membaca plot utama, dan gambaran adegan-adegan yang ditulis Llosa, agaknya In Praise of the Stepmother bisa kita masukkan ke dalam genre yang belakangan ini sepertinya kembali populer: erotika. Genre erotika tiba-tiba saja kembali dibicarakan setelah kemunculan novel laris sedunia berjudul Fifty Shades of Grey (saya sendiri belum membacanya). Adegan-adegan seks di novela Mario Vargas Llosa ini digambarkan dengan apa adanya, tanpa sensor, bahkan di beberapa bagian terasa berapi-api, seperti penggambaran adegan seks oleh pengarang-pengarang Amerika Latin lain yang pernah saya baca.

Yang membuatnya menarik untuk diperbandingkan dengan novel-novel dari para pengarang Jepang adalah, bagaimana seksualitas hadir dengan tone atau nuansa yang sama sekali berbeda. Di novel-novel Yasunari Kabawata, misalnya, adegan-adegan percintaan dideskripsikan dengan sangat lembut, perlahan, subtil, dan sesekali dikombinasikan dengan deskripsi suasana alam, bagaikan membaca haiku-haiku Jepang. Di novel-novel Haruki Murakami, seksualitas muncul sebagai sesuatu yang nyaris tidak berarti. Maksudnya, bukan sesuatu yang mesti dilakukan dengan pikiran-pikiran gugup atau aneh, namun merupakan hal yang wajar dan mengalir begitu saja. Seorang gadis di dalam novel Haruki Murakami bisa berkata dengan santainya kepada cowok di sebelahnya, “Kamu lagi capek ya? Sini, aku bantu melepaskan rasa tegangmu. Aku bisa kasih kamu handjob.

Sementara itu, di novel-novel dari pengarang Amerika Latin, termasuk In Praise of the Stepmother, adegan-adegan percintaan muncul dengan bergelora, berhasrat, berapi-api, layaknya adegan-adegan intim di serial telenovela. Saya tidak tahu persis dan pastinya hanya menduga-duga, namun barangkali begitulah cara orang-orang Jepang dan Amerika Latin memandang seks. Yang satu lembut, perlahan, sekaligus seringkali absurd dan aneh, yang satunya lagi berapi-api seolah tak ada waktu lain untuk berhubungan badan.

Tentu saja bukan hanya perkara seksualitas yang ditulis Mario Vargas Llosa di dalam novelanya ini (saya membaca versi terjemahan Bahasa Inggris oleh Helen Lane, terbitan Picador). Llosa menggunakan seksualitas untuk mengantarkan pandangan-pandangan dan interpretasinya terhadap hal-hal yang berputar di antara sejarah, mitologi, dan religiusitas. Lewat bab-bab yang menunjukkan aktivitas ritual Don Rigoberto (mandi, membersihkan telinga, buang hajat) Llosa juga berbicara tentang ketidaksempurnaan dan ‘lubang-lubang’ pada diri manusia serta bagaimana memandang ‘lubang-lubang itu sebagai cara untuk mencapai kebahagiaan.

Selain membandingkan elemen seksualitas pada novela Llosa ini dengan novel-novel dari pengarang Jepang, saat membaca In Praise of the Stepmother saya juga mau tidak mau teringat My Name Is Red karangan penulis Turki, Orhan Pamuk. Pamuk menggunakan banyak sudut pandang dalam My Name Is Red untuk menuturkan ceritanya, selain bertutur dari tokoh-tokoh utama dan sampingan yang kesemuanya adalah manusia, Pamuk juga memasukkan bab-bab yang tokoh utamanya adalah benda-benda mati (sekeping koin, warna merah, anjing dan kuda yang berupa lukisan). Llosa melakukan hal serupa. Selain menuturkan cerita dari sudut pandang Dõna Lucrecia dan Don Rigoberto, Llosa juga menggunakan tokoh-tokoh abstrak yang sebetulnya berada di luar cerita (Raja Candaules, Dewi Venus, Monster, Cinta) namun memiliki porsi untuk memberi lapisan pemahaman lain atas apa yang sedang berusaha disampaikan oleh Llosa lewat konflik gelap keluarga kecil Don Rigoberto.

Lewat tokoh-tokoh abstrak tersebut, Llosa menggunakan alusi-alusi untuk menyampaikan gagasan-gagasannya akan makna cinta, berahi, dan romantisme. Hubungan terlarang antara Dõna Lucrecia si ibu tiri dan anak tirinya, Alfonso (serta barangkali juga si pembantu, Justiniana) dituturkan dengan sangat artistik oleh Llosa lewat rangkaian kata-kata yang tidak bisa tidak dibaca lebih dari dua atau tiga kali agar benar-benar dapat menangkap inti dari artinya.

Seperti juga yang dilakukan oleh Juan Rulfo dan Gabriel García Márquez sang maestro realisme magis, teks Mario Vargas Llosa adalah sesuatu yang indah, sekaligus rumit dan berlabirin. Meski jarak perjalanannya pendek, mau tidak mau kita menerima tawaran Llosa untuk berbelok ke cabang-cabang jalan yang lain terlebih dahulu, agar dapat meresapi apa yang sebetulnya memang hanya dapat dimengerti lewat perjalanan bercabang itu.

Dan, bukankah seperti semua hal di dunia ini juga,  bahwa untuk memahami sesuatu yang kadangkala terasa mudah, kita harus menempuh perjalanan pikiran yang sangat panjang untuk sampai ke tujuan. Pun, kita mesti melakukannya dengan tulus, dan seringkali harus mengosongkan pengetahuan yang sudah dimiliki, agar bisa masuk ke dalam sebuah arena, tempat jawaban atas seluruh pertanyaan bersembunyi: sebuah labirin.

At first, you will not see me or hear me, but you must be patient and keep looking. With perseverance and without preconceptions, freely and with desire, look. With your imagination unleashed and your penis ready and willing-preferably erect-look. One enters there as the novice nun enters the cloister, without petty calculations, giving everything, demanding nothing, and in one’s soul the certainty that it is forever. Only on that condition, very gradually, the surface of dark purples and violets will begin to move, to become iridescent, to take on meaning and reveal itself to be what it in truth is, a labyrinth of love (pg. 117). ***

Jatuh Cinta di Samarinda

$
0
0




Minggu (29/3) kemarin, saya dapat kesempatan yang sebetulnya cukup langka. Yakni, bertemu dengan teman-teman pembaca di Samarinda, Kalimantan Timur. Saya bilang langka, karena memang jarang penerbit memasukkan jadwal talk show di daerah Kalimantan. Biasanya hanya di pulau Jawa. Tapi kemarin, dalam rangka Samarinda Book Fair 2015, saya akhirnya bisa bertandang ke Samarinda (dan pada hari berikutnya ke Balikpapan untuk mengisi kelas menulis) dan menemui teman-teman pembaca di sana.

Hari Sabtu (28/3) saya terbang dari Jogja. Karena tidak ada penerbangan langsung dari Jogja ke Samarinda, jadi saya mendarat di Balikpapan terlebih dahulu. Setelah mengagumi bentuk dan kebersihan bandara Sepinggan, saya dijemput oleh sopir dan kami langsung beranjak menuju Samarinda. Pada saat itu hampir pukul sembilan di malam hari. Kata pak sopir, perjalanan ke Samarinda akan ditempuh selama dua setengah hingga tiga jam.

Pemandangan yang saya temui di perjalanan dari Balikpapan ke Samarinda membawa perasaan saya ke kampung halaman sendiri. Kami melewati jalan raya yang diapit oleh hutan. Sama seperti jalan yang saya tempuh dari Pontianak ke Anjongan dan sebaliknya. Menyusuri jalan raya Balikpapan – Samarinda membuat saya merasa pulang. Apalagi, di tengah jalan Papa menelepon dan kami mengobrol.

Seperti perkiraan, kami tiba di Samarinda hampir pukul dua belas malam.

Setelah mobil parkir di pelataran hotel tempat saya akan menginap, saya turun dan melangkah menuju lobi. Sopir sudah beranjak pergi. Di dalam, saya bertemu dengan Baihaqi, perwakilan tim promosi Kelompok Penerbit Agromedia, yang akan menemani saya selama saya berada di Samarinda dan Balikpapan dua hari ke depan. Sebetulnya Baihaqi tidak hanya menemani saya, melainkan juga Moammar Emka dan Hikmat Kurnia. Saya tidak perlu lagi menjelaskan siapa Moammar Emka. Pak Hikmat Kurnia, dia adalah direktur Kelompok Agromedia.

Kami-Saya, Moammar Emka, dan Hikmat Kurnia-dijadwalkan untuk mengisi sesi penulisan kreatif dalam rangka Samarinda Book Fair 2015, di gedung olah raga Segiri, Kota Samarinda. Pada acara tersebut, masing-masing dari kami akan berbicara tentang penulisan fiksi, penulisan nonfiksi, dan dunia penerbitan.

Keesokan paginya, saya berangkat ke GOR Segiri bersama Baihaqi. Jarak dari hotel yang kami tempati dan GOR Segiri sangat dekat, tidak sampai sepuluh menit perjalanan. Tiba di GOR Segiri pukul sepuluh kurang lima belas menit, beberapa kursi di depan panggung sudah terisi. Panitia menyiapkan alat-alat untuk saya menyampaikan materi. Saya menyiapkan diri.

Karena persiapan teknis dan menunggu peserta datang, sesi saya dimulai lima belas menit agak terlambat dari yang sudah dijadwalkan. Saya pun mulai menyampaikan materi yang sudah saya siapkan. Materi tersebut bertajuk “Bagaimana Caranya Bercerita?” dan berisi hal-hal mendasar dalam penulisan kreatif. Materi itu sudah pernah saya sampaikan pula di beberapa kelas menulis sebelumnya di tempat-tempat lain.

Peserta yang tadinya cukup sedikit, lama-lama bertambah ramai seiring topik presentasi semakin masuk ke detail. Saya merasa gembira karena semua yang hadir tampak serius menyimak apa yang saya sampaikan. Saya bisa melihatnya dari bagaimana mereka bersemangat ingin mengajukan pertanyaan saat sesi tanya-jawab dibuka.



Selesai menyampaikan materi dan tanya-jawab, saya turun dari panggung dan menemui beberapa pembaca. Sempat dihampiri oleh seorang jurnalis dari Kaltim Post yang ingin melakukan wawancara, juga bertemu dengan Nisa, perwakilan @PembacaBara di Samarinda (teman-teman sila cek akun Twitter @PembacaBara untuk bergabung dengan teman-teman yang lain J).

Menjelang sore, saya dan tim bergerak menuju Gramedia Big Mall Samarinda untuk talk show “Jatuh Cinta” dan book signing. Tiba di lokasi tepat waktu, ternyata host acara sudah bercuap-cuap seru dengan teman-teman pembaca yang sudah duduk rapi di kursi-kursi di area venue. Acara dibuka dan saya pun menceritakan beberapa hal tentang buku terbaru saya, Jatuh Cinta Adalah Cara Terbaik untuk Bunuh Diri. Interaksi berlangsung seru dan menyenangkan. Acara ditutup dengan foto bareng kru sales toko buku Gramedia Big Mall Samarinda dan teman-teman pembaca di Samarinda.



Malam harinya, kami-Moammar Emka, Hikmat Kurnia, Baihaqi, dan Tanto (tim pemasaran Agromedia Samarinda)-beranjak ke Balikpapan. Menyusuri jalan raya yang telah gelap, semua merasa kelaparan. Kami menepikan kendaraan di salah satu warung durian di pinggir jalan, dan menyantap durian serta lai (sejenis durian namun berbeda, daging buahnya lebih kuning dan tidak mengandung alkohol).

Senin (30/3) pagi, saya dan Baihaqi berkendara ke Gedung Perpustakaan Kota Balikpapan. Saya dijadwalkan untuk mengisi kelas Akademi Berbagi (Akber) Balikpapan. Ini agenda tambahan, sebetulnya. Saat saya mengunggah pengumuman acara di Samarinda, seorang tweeps menyapa saya di Twitter dan mengajak saya menjadi tamu Akber Balikpapan. Saya mengarahkan agar menghubungi tim GagasMedia. Rencana pun disusun dan akhirnya kelas diagendakan pada hari Senin.

Meski kelas diselenggarakan di hari kerja, ternyata ruangan yang dipakai terisi penuh. Ada setidaknya empat puluh orang berasal dari beragam segmen usia dan pekerjaan yang hadir di kelas menulis Akber Balikpapan kemarin. Saya melihat murid SMA, beberapa pemuda dan pemudi yang saya kira barangkali mahasiswa, pegawai negeri, dan seorang laki-laki yang mungkin berusia tak kurang dari lima puluh tahun. Saya takjub. Ternyata menulis masih menjadi minat banyak orang.

Saya memulai kelas hari itu dengan menyampaikan materi yang saya sampaikan di Samarinda Book Fair 2015 di hari sebelumnya. Ditambah satu materi bonus tentang personal branding. Tanya-jawab berlangsung dengan menyenangkan. Peserta tampak antusias dan betul-betul menyimak.



Begitulah dua hari kegiatan di Samarinda dan Balikpapan. Terima kasih untuk teman-teman yang telah hadir dan ikut meramaikan acara-acara di dua kota tersebut. Sesungguhnya mereka lah yang membuat acara-acara itu berkesan.

Sampai bertemu lagi!


Bara

Wawancara oleh Alanda Kariza

$
0
0
Pertengahan tahun lalu, Alanda Kariza, seorang penulis dan aktivis pergerakan anak muda mengirimi surel dan mewawancarai saya. Wawancara itu ia lakukan untuk mengisi rubrik di blognya bertajuk "Ketika Menulis". Saya tampilkan keseluruhan wawancara tersebut di sini. Anda juga bisa menengoknya di blog Alanda dalam versi yang sama sekali tidak berbeda.

Selamat membaca.



1.     Alanda Kariza (AK): Anda telah menerbitkan sejumlah buku dan mempublikasikan sejumlah cerita pendek. Karya mana yang menjadi favorit Anda sampai saat ini, dan mengapa? 

Bernard Batubara (BB): Saya menulis puisi, cerita pendek, dan novel. Karya favorit saya adalah buku pertama saya, Angsa-Angsa Ketapang, kumpulan puisi yang terbit pada awal tahun 2010. Buku itu saya terbitkan secara mandiri (self-publishing) dengan kesadaran bahwa tidak ada penerbit major yang mau menerbitkan naskah kumpulan puisi saya. Pada waktu itu, semua penerbit major hanya menerbitkan kumpulan puisi dari penyair-penyair besar. Penyair yang tak punya nama seperti saya bisa dipastikan tak menarik perhatian mereka. Maka, saya mengumpulkan uang bulanan dari orangtua (saat itu usia saya 20 tahun, kuliah tahun ketiga) dan mencetak kumpulan puisi pertama saya, hanya 50 eksemplar. Itu pun saya bagi-bagikan gratis ke teman-teman sesama penulis muda, dan orang-orang terdekat. Setelah menerbitkan buku itu, selama sebulan saya hanya makan nasi dan mi instan.

2.     AK: Boleh dibilang, Anda merupakan salah satu penulis Indonesia yang cukup produktif. Kapan biasanya Anda menulis? Apakah Anda lebih senang menulis di pagi atau malam hari?

BB: Sebenarnya sih masih banyak yang jauh lebih produktif, mereka bisa menerbitkan empat sampai lima novel dalam satu tahun. Saya, sejauh ini, paling banyak dua buku dalam setahun (kombinasi antara kumpulan cerpen dan novel). Saya menulis ketika saya ingin menulis. Untungnya, saya selalu merasa ingin menulis. Saya bisa menulis kapan saja. Pada suatu fase, saya menulis setiap bangun subuh, pukul empat sampai pukul enam pagi, sebelum berangkat kuliah. Pada fase yang lain, terutama setelah saya lulus kuliah, saya menulis siang hingga malam hari, pukul satu sampai pukul delapan atau sembilan malam. Pada fase sekarang, yakni ketika saya sudah menjadi karyawan dan memiliki jam berkantor, saya menulis setelah jam kantor usai, pukul tujuh sampai sebelas malam. Saya pernah menjadi morning person dalam waktu yang sangat lama, sebelum akhirnya kebiasaan bangun pagi itu berubah setelah saya tidak lagi kuliah. Saya sulit bangun pagi karena hampir setiap hari saya begadang untuk menulis. Kalau ada jam-jam favorit untuk menulis, mungkin malam hari, sekitar pukul delapan sampai tengah malam. Tapi, pada dasarnya, saya bisa menulis kapan saja, asalkan tidak sedang diajak bicara.

3.     AK: Di mana Anda sering menulis? Apakah ada preferensi tertentu - misalnya, harus di tempat umum, atau justru di tempat sepi? 

BB: Oh, saya tidak bisa menulis di tempat sepi. Maksudmu kamar, atau pantai yang kosong tanpa manusia? Saya menyukai tempat-tempat sepi, karena tempat-tempat sepi membuat saya tenang dan nyaman dengan diri saya sendiri. Namun, kalau untuk menulis, saya lebih memilih tempat-tempat yang ‘bersuara’. Saya butuh suara-suara untuk tetap sadar dan melek. Saya pernah mencoba menulis di dalam kamar, tapi seringnya malah mengantuk dan berakhir dengan ketiduran. Ternyata, saya tidak bisa menulis jika suasana di sekeliling saya terlalu hening. Keheningan membuat saya mengantuk, dan kalau mengantuk tentunya lebih enak tidur daripada menulis.

Saya menyelesaikan sebagian besar naskah novel dan cerita pendek saya di kafe. Kafe memberikan saya suara-suara, dalam kadar yang pas. Ada suara-suara orang-orang yang sedang berbicara, suara-suara mesin penyeduh kopi, suara-suara langkah-langkah kaki, semuanya membuat saya tetap sadar dan tidak mengantuk, sehingga saya bisa berpikir untuk menuliskan cerita-cerita saya. Meskipun saya membutuhkan suara-suara untuk menulis, saya tidak bisa menulis sambil mendengarkan lagu lewat earphone. Dan, tentu saja, saya tidak bisa menulis di tengah-tengah pesta atau aksi demonstrasi.

4.     AK: Bagaimana susunan meja kerja yang Anda miliki?

BB: Karena saya jarang menulis di dalam kamar, saya tidak punya meja kerja. Lagipula, kamar kos-kosan saya tidak memberi ruang yang cukup untuk saya membeli meja kerja. Di rumah orangtua saya di Pontianak, saya memiliki meja kerja, tapi saya belum pernah menulis dan menyelesaikan naskah apapun di sana karena saya hanya pulang ke rumah orangtua sekali dalam setahun, setiap menjelang lebaran. Meja kerja saya adalah di manapun tempat saat saya menulis: meja bundar kecil di sudut kafe, meja di kamar hotel saat saya sedang bepergian keluar kota, meja di minimarket 24 jam. Selama ada meja, dan saya sedang ingin menulis, maka itulah meja kerja saya.

Oh, ya, biasanya saat menulis, di atas ‘meja kerja’ saya pasti ada hal-hal ini: laptop, bloknot, pulpen, novel atau kumpulan cerpen atau buku puisi, dan sebotol air mineral (berganti-ganti dengan iced lemon tea atau double shots iced shaken espresso, tergantung saat itu saya sedang ingin minum apa).

5.     AK: Bagaimana Anda biasanya menulis? Alat apa saja yang Anda gunakan (misalnya: laptop, ponsel, buku catatan, dan sebagainya)?

BB: Sebagian sudah saya jawab di pertanyaan sebelumnya. Saat merancang outline atau plotuntuk novel, membuat bagan karakter, saya menulis di bloknot. Saat menulis draf puisi juga saya menggunakan pulpen dan bloknot. Saat menulis draf utuh naskah novel atau puisi yang sudah selesai ditulis di bloknot, barulah saya mengetik di laptop. Beberapa kali saya pernah menulis puisi di ponsel, saat sedang dalam perjalanan dan tidak sempat menulis di bloknot. Namun demikian, saya belum pernah menulis cerita pendek dan novel utuh di ponsel (saya pernah bertemu dengan orang yang menulis novel pertamanya, seluruh naskah novel pertamanya di ponsel, tidakkah itu menakjubkan?)

6.     AK: Apakah Anda biasa mendengarkan musik ketika sedang menulis? Musik yang seperti apa? 

BB: Sekali-kali, saya mendengarkan musik. Meskipun sempat saya katakan sebelumnya bahwa saya sulit berkonsentrasi kalau menulis sambil mendengarkan musik. Saya mendengarkan musik, seringnya, hanya untuk membangun mood. Lagu-lagu yang saya dengarkan biasanya sesuai dengan adegan yang sedang ingin saya tulis, dan ambience yang ingin saya dapatkan di dalam adegan itu. Misal, saya sedang ingin menulis adegan yang mellow dan sedih, maka saya mendengarkan lagu-lagu mellow dan sedih. Atau, saat saya ingin menulis adegan cute dan manis, maka saya mendengarkan lagu-lagu yang bernuansa manis. Begitu pula saat saya ingin menulis adegan pertengkaran atau marah-marah, maka saya mendengarkan lagu rock, metal, atau bahkan underground (tapi ini jarang sekali, karena di cerita-cerita yang saya tulis jarang ada orang marah-marah).

Kadangkala, saya mendengarkan musik yang sesuai dengan karakter dalam novel. Draf terbaru saya, Sarif & Nur (sedang menunggu giliran penyuntingan di penerbit, direncanakan terbit tahun ini), tokohnya adalah seorang pemain biola, dan di dalam plotnya banyak lagu-lagu klasik yang muncul, maka saat menuliskan Sarif & Nur saya selalu mendengarkan lagu-lagu Brahms, Bach, dan Chopin.

7.     AK: Bagaimana "hari menulis" Anda biasanya berjalan? (Misalnya, bangun jam 3 pagi lalu menulis, atau mungkin, bangun jam 8 pagi, menulis, makan siang, menulis lagi, dsb.)

BB: Saya punya “hari menulis” ini jika saya sedang mengerjakan sebuah novel. Untuk cerita-cerita pendek ‘lepas’, saya menulis kapanpun saya ingin menulis, tanpa pola tertentu. Untuk puisi, karena pendek-pendek, ‘pola’nya seperti menulis cerita pendek, kapanpun saya ingin. Sebelum saya memiliki jam berkantor, saya punya “hari menulis”, dan berlangsung kira-kira seperti ini: Bangun tidur pukul sembilan, sarapan, mandi, pergi ke kafe setelah makan siang, menulis sampai petang, makan malam, lanjut menulis sampai tengah malam, pulang ke kos. Rutinitas ini berlangsung hingga draf pertama novel saya selesai.

8.     AK: Bisakah Anda menceritakan bagaimana proses yang biasanya Anda lalui ketika menerbitkan sebuah karya - mulai dari membuat kerangka tulisan sampai akhirnya tulisan tersebut diterbitkan? 

BB: Saya selalu membuat sinopsis dan outline sebelum menulis draf novel. Setelah sinopsis dan outline beres, saya menulis draf pertama. Proses menulis draf pertama hingga selesai biasanya memakan waktu satu hingga dua bulan (saat ini, karena kewajiban saya bertambah, durasi yang saya butuhkan untuk menyelesaikan satu naskah novel pun menjadi lebih lama, bisa empat hingga lima bulan). Setelah draf pertama selesai, saya endapkan. Proses pengendapan naskah berlangsung tiga minggu hingga satu bulan. Setelah pengendapan, saya baca ulang, dan memulai revisi mandiri (self-editing) untuk menghasilkan draf kedua. Draf kedua ini yang saya kirim ke editor. Setelah draf naskah diterima oleh editor, saya tinggal menunggu editor memulai proses penyuntingan (lama waktu menunggu tergantung kesibukan editor pada saat itu). Proses penyuntingan naskah sendiri biasanya berlangsung satu sampai dua bulan. Setelah penyuntingan, masuk ke tahap perancangan tata letak (layout) dan sampul (cover). Editor akan mengirimi contoh layout dan pilihan cover. Sebagai penulis, saya diberi hak untuk memilih layout dan cover mana yang saya inginkan untuk novel saya. Setelah semuanya beres, maka tinggal menunggu tanggal naik cetak.Seluruh proses ini berlangsung selama kurang-lebih empat sampai lima bulan.

Setelah buku naik cetak dan didistribusikan ke toko-toko buku, biasanya saya diberi jadwal talkshow, untuk bertemu pembaca dan mempromosikan buku terbaru saya. Ini adalah kesempatan untuk membuat orang-orang yang telah membaca buku saya semakin ingin membaca buku terbaru saya, dan orang-orang yang belum pernah membaca buku saya, menjadi penasaran dan ingin membaca buku saya. Bukankah salah satu tugas pengarang adalah mempengaruhi orang lain dengan tulisannya? Termasuk mempengaruhi mereka untuk membeli buku kita. Hehehe.

Saya kira, bagian terpenting dari pertanyaanmu dan penjelasan saya untuk pertanyaan ini adalah, setiap orang yang ingin menjadi penulis (published author) harus mengetahui tahapan-tahapan ini, sehingga tidak buru-buru atau cepat patah arang dan menyalahkan penerbit untuk proses yang memakan waktu lama. Terbitnya sebuah buku bukan proses yang lekas seperti memasak mi instan, kecuali kamu ingin bukumu seperti mi instan: Mungkin cepat saji dan bisa segera disantap, tapi tidak sehat dan berbahaya. Begitu pula jika ingin menjadi seorang penulis, tidak ada yang instan, semua butuh proses. Kamu akan menghadapi kesulitan yang seperti tidak ada ujungnya, kehilangan mood, memeras otak untuk mendapatkan ide dan plot yang bagus, kekeringan inspirasi, dan lain sebagainya. Jika kamu tidak tahan dengan proses ini, lebih baik kamu memelihara ikan atau burung. Sebab, sebagaimana tidak ada pelaut handal terlahir dari samudera yang tenang, tidak ada penulis besar lahir dari proses yang gampang. ***


Sepotong Cerita tentang Seorang Pria Pianis

$
0
0

Waktu itu pertengahan maret, malam hari, saya menghadiri acara pembukaan sebuah festival sastra internasional di sebuah tempat di bilangan Cikini, dan selama tak kurang dari tiga puluh menit, saya menyaksikan keindahan yang belum pernah saya lihat seumur hidup saya.

Saya dan banyak orang lain berada di sebuah ruangan. teater kecil, namanya. ya, kami sedang di Taman Ismail Marzuki, menonton malam pembuka Asean Literary Festival 2015. setelah melihat pembacaan puisi, muncullah sesosok pria berpakaian rapi, memberi salam ke arah kami, lalu ia pun duduk di singgasananya: sebuah bangku panjang yang berada tepat berhadapan dengan grand piano.

Ia mengangkat kedua telapak tangan ke udara, lalu mulai memencet tuts-tuts piano.

Selama beberapa menit, saya tersihir. saya yakin, orang-orang lain di dalam teater kecil itu juga terkesima. Pria di atas panggung yang sedang bermain piano itu sesungguhnya tidak sedang bermain piano. Saya yakin ia sedang merapal mantra lewat bunyi-bunyian. dan benarlah, kami tersihir.

Ia membawakan beberapa lagu yang ia sebut dengan rhapsody nusantara. Di sebuah lagu, ia bahkan bermain hanya menggunakan satu tangan. Ia melakukannya sebagai cara berempati dan menunjukkan bahwa lagu tersebut terinspirasi oleh saudara-saudara difabel.

Saya tidak bisa melakukan apa-apa selain berdecak kagum di dalam hati, dan menggeleng. Sialan orang ini, saya membatin.

Tentu saja umpatan itu bukanlah umpatan, melainkan ekspresi ketakjuban saya.

*

Keesokan harinya, giliran saya yang berada di panggung, bersama dua orang teman sebaya sesama pencinta tulisan. Kami berbicara tentang bagaimana generasi kami, yang ternyata sudah dilabeli sebagai generasi digital, menyampaikan cerita-cerita dan tulisan-tulisan kami.

Saat jeda berbicara, saya melempar pandangan ke hadirin yang duduk di depan kami. di salah satu kursi, saya menemukan sosok yang tidak asing. Ia adalah pria pianis itu. Berbeda dengan malam sebelumnya saat saya melihat ia mengenakan setelan jas rapi, siang itu saya melihat ia tampak sangat santai. Ia hanya mengenakan kaus berwarna cerah dan jeans.

Saya berkata dalam hati, seusai sesi bicara ini, saya harus menemuinya.

*

Saya bergegas mengambil satu kopi buku puisi saya sendiri di stan penerbit, dan buru-buru menghampirinya yang sedang berjalan di bawah terik matahari.

“Permisi, Mas,” saya mencegatnya, “Saya Bernard Batubara. Ini buku puisi saya, saya mau kasih untuk mas.”

Pria pianis itu menerimanya dengan senang hati. Saya tahu, ia menyukai puisi. Karena bertahun-tahun lampau saya menemukan videonya memainkan musik untuk puisi karangan penyair yang saya sukai, Hasan Aspahani. Bibirku Bersujud di Bibirmu, tajuk puisi itu. Maka, saya beri pria pianis itu buku puisi saya sendiri. Tidak ada ekspektasi apa-apa, selain berharap ia senang menerima buku itu dan menjadikannya tambahan koleksi. Syukur-syukur ia mau membacanya.

Lalu, dua malam yang lalu, ia menunjukkan gambar ini ke khalayak, dan menggamit saya beserta beberapa orang lain yang ternyata adalah rekan-rekannya.

Alangkah kagetnya saya, tentu saja. Saya tidak pernah membayangkan ia menulis lagu yang berasal dari puisi saya. Senang atau gembira kurang cukup untuk menggambarkan perasaan saya saat melihat gambar ini. Saya hanya bisa memandangi gambar ini terus-menerus sambil membayangkan bagaimana wujudnya.


Pria pianis itu bernama Ananda Sukarlan​. Ia menggubah komposisi lagu barunya dari sebuah puisi di buku Angsa-Angsa Ketapang. Begini lirik puisi itu:


Memo: Sepasang Daun Ketapang
kelak kita akan menguning dan tak lagi
mampu bertahan di ranting yang kian
renta ini
tapi percayalah saat jatuh dan tersapu
nanti akan ada yang menyatukan kita
kembali
dalam rimbun rumah api.

Saya kira, pria pianis itu, ia telah melakukan bentuk penghargaan tertinggi yang bisa dilakukan oleh seorang seniman (sekaligus penghargaan tertinggi yang bisa saya terima) yang tentunya akan membuat dunia seni jadi lebih menyenangkan ketika semakin banyak orang melakukannya.

Ia, pria pianis itu, mengapresiasi karya menggunakan karya. ***




***

Jatuh Cinta di Joglosemar

$
0
0


Jumat – Sabtu lalu (23 – 25 Januari 2015), saya dan penerbit GagasMedia main-main ke Jogja, Solo, dan Semarang untuk bertemu para pembaca, sekaligus memperkenalkan buku terbaru saya, kumpulan cerita Jatuh Cinta Adalah Cara Terbaik untuk Bunuh Diri.

Kami memulai perjalanan dari Jogja, kota yang sebetulnya juga saya tinggali. Jadi, di kota ini saya hanya melakukan perjalanan dari kos ke toko buku.

Di Jogja (23/1) saya menemui teman-teman pembaca di Gramedia Sudirman. Acara dimulai sedikit terlambat, namun berjalan lancar. Beberapa hari sebelumnya, saya mengobrol di RRI Pro 2 Yogyakarta, juga bercerita tentang buku terbaru saya.





Hari kedua (24/1) saya dan kru GagasMedia beranjak ke kota kedua: Solo. Di Solo, kami menyambangi Radio PTPN Solo dan Gramedia Solo Square. Begitu tiba di lokasi, ternyata beberapa kursi sudah terisi. Acara berjalan menyenangkan karena saya mendapat pertanyaan-pertanyaan yang belum pernah saya terima.





Dari Solo, malam hari kami langsung melanjutkan perjalanan ke kota terakhir: Semarang. Tiba di Semarang pukul setengah duabelas malam. Saya kelelahan dan langsung tertidur. Sempat merasa pusing sepanjang perjalanan karena memang sedang kurang fit. Namun, bayang-bayang bertemu teman-teman pembaca membuat saya bersemangat. Saya tidak sabar ingin menyapa mereka.

Hari terakhir (25/1) pukul sepuluh di pagi hari saya bertandang ke Radio Gajahmada FM, untuk taping wawancara. Tanya-jawab dan obrolan santai dengan penyiar Gajahmada FM berlangsung seru dan bisa saya bilang cukup ‘berisi’. Alih-alih berbasa-basi tentang sumber ide menulis dan hal-hal standar lainnya, sang penyiar menanyakan perkara yang lebih spesifik tentang konteks buku dan perihal trivia lain yang sangat menghibur saya. Satu jam terlewati dan kami berpamitan untuk makan siang.




Sore harinya, kami beranjak dari hotel menuju Gramedia Pemuda yang ternyata sangat dekat letaknya dengan hotel. Tidak sampai 10 menit perjalanan. Saya sempat mengira venue akan sepi pengunjung karena toko buku yang dipakai kali ini bukan toko buku yang biasanya dipakai untuk acara meet and greet.

Namun, perkiraan saya keliru. Seiring talk show berlangsung, pengunjung bertambah dan memenuhi kursi-kursi yang telah disediakan. Bahkan, kru harus menambah beberapa kursi lagi untuk memberi tempat ke pengunjung baru.

Obrolan dan tanya-jawab dengan teman-teman pembaca di Gramedia Pemuda pun berjalan sangat menyenangkan. Seorang pembaca bertanya kepada saya tidak tentang menulis, melainkan membaca buku. Inilah yang dapat membuat hati saya senang: pertanyaan yang baru, sehingga saya terpancing untuk menceritakan hal baru.





Alhamdulillah. Tiga hari melakukan perjalanan jatuh cinta di tiga kota mengingatkan saya akan satu hal: pembaca adalah salah satu sumber energi yang besar bagi proses kreatif menulis saya. Saya tidak bisa menafikan kehadiran dan peran mereka dalam perjalanan karir saya sebagai penulis. Mereka yang membaca dan mengapresiasi, mengikuti, bahkan menunggu apa yang akan saya keluarkan selanjutnya.

Apa lagi yang dapat membuat mereka melakukan semua itu kalau bukan karena perasaan jatuh cinta?

Tidak ada hal yang bisa saya lakukan untuk merespons apa yang telah mereka lakukan kepada saya, selain mengucapkan terima kasih, dan terus berkarya dengan lebih baik.

Saya berjanji. Saya akan terus melakukan dua hal tersebut.



Bara


Love Cycle Online Festival

$
0
0




Novel terbaru saya (yang insyaallah akan rilis bulan JULI tahun ini) adalah sebuah roman remaja berlatarkan kota pontianak.

Novel tersebut akan diterbitkan GagasMedia​ dalam sebuah seri novel yang dinamai 'LOVE CYCLE', karena di dalam seri itu akan ada 6 penulis dengan 6 novel yang jika disusun akan membentuk sebuah siklus hubungan cinta platonik: jatuh cinta - pendekatan - pacaran - patah hati - move on - menikah.

Dalam rangka merayakan rilisnya keenam novel seri LOVE CYCLE, maka diadakan sebuah kompetisi bernama: LOVE CYCLE ONLINE FESTIVAL.

Festival ini merupakan kompetisi berkelompok. Ada 6 kelompok yang masing-masing diketuai oleh 6 penulis. Setiap kelompok akan beranggotakan paling banyak 16 orang. mulai tanggal 18 - 30 Mei 2015, akan ada 6 jenis lomba yang diikuti oleh 6 kelompok ini. macam-macam pertandingannya seru: lomba membuat playlist, lomba menulis, dan lain-lain.

Anggota kelompok pemenang akan mendapatkan dari Gagasmedia paket novel seri LOVE CYCLE (ada enam novel).

Bagaimana cara mengikuti LOVE CYCLE ONLINE FESTIVAL ini? Kamu harus mendaftar (sekaligus memilih ingin bergabung dengan tim mana) terlebih dahulu di sini

FYI, saya menjadi host di Tim Pacaran.

Jadi, siapapun yang ingin bergabung dan berjuang di kompetisi ini bersama saya, silakan buka blog di atas dan join dengan tim saya, Tim Pacaran. Saya jamin kalian tidak akan menyesal bergabung dengan tim saya.

Ha, ha, ha!

Pendaftaran berlangsung mulai hari ini hingga 14 mei, cuma seminggu. Ingat, setiap tim dibatasi maksimum hanya 16 orang. Hingga saat ini sudah ada 3 orang yang bergabung dengan tim saya, Tim Pacaran, jadi jangan sampai terlambat.

Go!

The Search Warrant, Patrick Modiano

$
0
0




Patrick Modiano adalah novelis berkebangsaan Prancis yang pada usianya ke-69 tahun menjadi peraih Nobel Kesusastraan. "For the art of memory with which he has evoked the most ungraspable human destinies and uncovered the life-world of the occupation,” kata panitia penghargaan Nobel untuk karya-karya Modiano, yang saya baru tahu ternyata ada tak kurang dari 30 novel. Angka yang menurut saya cukup fantastis dan menunjukkan produktivitas Modiano sebagai penulis.

Pernyataan panitia Nobel tadi, terutama penggalan ‘for the art of memory’ adalah kunci untuk memasuki dunia dalam novel Modiano. Memory, bisa kita terjemahkan sebagai kenangan atau ingatan (saya selalu merasa kedua hal tersebut berbeda) menjadi bahan penting yang menggerakkan informasi dalam cerita yang ditulis Modiano. Saya tidak menyebut ‘menggerakkan plot’, karena di The Search Warrant, plot atau alur adalah sesuatu yang samar dan tidak berjejak.

Cerita dibuka dengan keterangan bahwa si narator-yang ternyata adalah penulisnya sendiri, Modiano-suatu ketika di tahun 1988, secara tidak sengaja melihat iklan orang hilang pada sebuah edisi koran Paris Soir tahun 1941. Iklan tersebut menyebutkan bahwa telah hilang seorang gadis bernama Dora Bruder, lengkap dengan ciri-ciri dan pakaian terakhir yang dikenakan sebelum gadis itu hilang. Yang memasang iklan itu di koran adalah orangtua si gadis sendiri.

Iklan tersebut mendorong si narator untuk melakukan pencarian, bukan terhadap keberadaan si gadis tentu saja (karena sudah 47 tahun berlalu sejak edisi koran yang memuat iklan orang hilang itu), melainkan terhadap alasan mengapa gadis itu menghilang. Si narator mendapatkan informasi bahwa gadis itu kabur dari asrama sekolah katolik tempat ia tinggal. Di kemudian hari, si narator menemukan nama gadis tersebut, Dora Bruder, pada sebuah catatan resmi berisi daftar orang-orang Yahudi yang dideportasi dari Paris ke Auschwitz tahun 1942.

Menjadi penulis sekaligus narator dalam kisah yang ia tulis, membuat Modiano tampak seperti sedang tidak menulis novel. Setidaknya demikian yang saya lihat. The Search Warrant (atau dalam versi sebelumnya, Dora Bruder) menjadi semacam memoar nonfiksi tentang pencarian penulisnya terhadap sesosok manusia yang mengalami tragedi besar dalam hidup, sekaligus si penulis menceritakan bagian dari kehidupannya sendiri. Kelak, kita akan mengetahui bahwa novel yang ditulis Modiano berdiri di batas antara realitas dan fiksi, antara memoar dan karangan.

Lewat kupasan demi kupasan ingatan si narator, kita dibawa ke bagian tragedi dari kehidupan manusia, mungkin satu yang tergelap. Tragedi tersebut luput dari catatan sejarah. Terlupakan. Benar bahwa The Search Warrant merupakan salah satu bentuk dan usaha meditasi penulisnya untuk menemukan bagian yang terlupakan itu, mencatatnya, dan mengabarkannya kepada orang-orang yang menurut ia harus tahu. Atau, mungkin saja, ia mencatat ingatan-ingatan tersebut untuk dirinya sendiri.

Hal tersebut bisa dilihat ketika si narator, pada satu titik, menemukan hubungan antara jalan hidup Dora Bruder dan ayahnya sendiri. Ayah si narator (yang berarti adalah ayah Patrick Modiano) juga sempat ditangkap oleh Nazi Jerman dan dijebloskan ke camp. Mungkin, hal ini pula yang sejak awal menyebabkan si narator terdorong untuk mencari jejak dan informasi apapun mengenai Dora Bruder dan kedua orangtuanya. Di banyak bagian dalam cerita, si narator membanding-bandingkan kesulitan-kesulitan yang ia alami semasa kecilnya (kalau saya tidak salah ingat, ia juga pernah nyaris ditangkap Nazi Jerman atas laporan dan tuduhan istri baru ayahnya) dengan Dora Bruder, gadis yang berpuluh tahun kemudian jejaknya ia cari.

Saya sangat beruntung bisa menemukan dan membaca novel Patrick Modiano, karena tampaknya ia adalah penulis peraih Nobel Kesusastraan yang bukunya paling sedikit hadir di rak-rak toko buku, setidaknya yang biasa saya sambangi (Periplus, Kinokuniya, Aksara). Membandingkan dengan Alice Munro, peraih Nobel Kesusastraan sebelumnya, yang mengisi nyaris tiga baris rak sastra Kinokuniya Plaza Senayan. Atau, Gabriel García Márquez, yang sama banyaknya. Saya tidak tahu kenapa bahkan setelah setahun penganugerahaan Nobel Kesusastraan 2014, hanya satu novel Modiano yang muncul di Indonesia. Itu pun bukan ‘karya unggulan’nya (di banyak artikel pasca pengumuman peraih Nobel Kesusastraan 2014, saya lebih sering melihat judul Honeymoon dan The Missing Person).

Saat baru mulai membaca The Search Warrant, saya mengunggah foto buku tersebut di Instagram. Seseorang meninggalkan komentar bahwa dia membaca Honeymoon, namun tidak dapat menyelesaikannya karena bosan. Menurut dia, terjemahannya jelek. Namun, saya menduga, rasa bosan itu bukan muncul karena terjemahan yang jelek (kalau dia membaca versi terjemahan Bahasa Inggris, sih, sepertinya akan baik-baik saja ya. Atau tidak?) melainkan memang gaya tutur Patrick Modiano cenderung membosankan, jika dibaca oleh orang-orang yang menghendaki klimaks dan ketegangan-ketegangan eksplisit.

Dugaan yang sembrono tersebut membawa saya ke pertanyaan lain: Apakah pengarang-pengarang Prancis memang memiliki gaya tutur serupa? Saya baru membaca Antoine de Saint-Exupéry, Albert Camus, dan Patrick Modiano. Pastinya terlalu sedikit untuk menarik kesimpulan. Maka saya hanya menduga-duga. Sebab, saat membaca ‘dongeng’ The Little Prince dan novela The Stranger, saya mendapatkan kesan yang sama seperti saat membaca The Search Warrant: cerita dituturkan dengan landai, tanpa pengaturan ketegangan dan klimaks yang terlihat sangat direncanakan seperti, misalnya saja, novel-novel Dan Brown, atau untuk membandingkannya dengan penulis peraih Nobel Kesusastraan juga, Orhan Pamuk dan Naguib Mahfouz. Cerita-cerita yang ditulis pengarang Prancis (oke, saya lagi-lagi melakukan usaha generalisasi yang ngawur) atau maksud saya, The Search Warrant, terasa seperti sebuah solilokui penulisnya sendiri.

Seperti banyak novel bagus yang saya baca, The Search Warrant tampak tidak begitu peduli dengan aturan-aturan penulisan kreatif. Ia tidak terlihat sadar bahwa di dalam ceritanya ia harus membangun karakter (Modiano berperan sebagai Modiano, Dora Bruder adalah Dora Bruder, orangtua Dora Bruder juga tidak mendapat deksripsi watak yang rinci, seperti sebagaimana aturan penulisan kreatif pada umumnya), menerangkan latar tempat secara eksplisit (memang disebutkan tempat-tempat tapi karena present-time cerita tidak terjelaskan, jadi latar lokasi ini hanya berada dalam tuturan ingatan si narator), mengatur ketegangan-ketegangan hingga klimaks, merangkai dialog-dialog bermutu, dan seterusnya. Meski tanpa kepatuhan pada ‘aturan-aturan’ penulisan semacam itu, The Search Warrant tetap menjadi sebuah novel yang bagus.

Membaca The Search Warrant membuat saya, untuk kali kesekian, menyadari bahwa ada banyak cara menulis novel yang bagus. Pada awalnya, menulis memang merupakan keterampilan, yang di dalam kelas-kelas penulisan kreatif telah diformulasikan langkah-langkah dan tahapan-tahapannya. Bahkan, aturan-aturannya. Namun, teknik adalah sesuatu yang dipelajari untuk dilupakan. Pada akhirnya, insting dan intuisi murni si penulis yang akan menentukan bentuk tulisan yang ia pikir paling baik untuk gagasan-gagasannya. Lebih lagi, visi seorang penulis lah yang mesti dijadikan ‘aturan’ penulisan bagi dirinya sendiri. Visi tersebut adalah bagaimana seharusnya sebuah novel (jika ia seorang novelis) ditulis, bahkan dibaca. ***


Haruki Murakami yang Tak Terkategorisasi

$
0
0




Saya sudah membaca separuh lebih dari jumlah total buku yang ditulis Haruki Murakami. Sangat jarang saya membaca nyaris seluruh buku yang pernah ditulis seseorang. Hal tersebut hanya bisa terjadi jika saya benar-benar menyukai tulisan orang itu. Jadi, bisalah kalau dikatakan bahwa saya sangat menyukai Murakami. Ya, saya tidak sembunyi-sembunyi untuk mengakuinya: saya tergila-gila dengan tulisan Murakami.

Buku terakhir yang saya baca sebelum menulis catatan ini adalah Hard-Boiled Wonderland and the End of the World. Seperti yang biasa saya lakukan setiap sedang membaca buku, saya menceritakan progres membaca saya atas buku ini kepada partner saya, G. Dengan semangat seorang anak kecil, saya menceritakan ulang beberapa bab pertama Hard-Boiled Wonderland and the End of the World ke G, dan dia bertanya: “Itu novel science-fiction?” Saya, dengan tersenyum jail, hanya menggeleng dan menjawab: “Bukan, ini bukan novel science-fiction, bukan pula novel sastra. Ini hanya novel Murakami.”

Saya merespons pertanyaan G dengan jawaban seperti itu karena saya selalu merasa bahwa novel-novel  (berikut cerita-cerita pendek) Murakami tidak amat cocok jika dimasukkan ke dalam kategori ‘sastra’, baik itu ‘sastra serius’ maupun ‘sastra populer’.

(Kita akan berdiskusi panjang tentang apa itu ‘sastra’, ‘sastra serius’, dan ‘sastra populer’. Tapi bolehkah kita bersepakat dengan pengertian sederhana yang saya tawarkan: ‘sastra serius’ adalah novel yang ditulis dengan bahasa ‘rumit’ dan kandungan politik yang kental dan eksplisit, lalu ‘sastra populer’ adalah novel yang ditulis dengan bahasa pop dan persoalan-persoalan ‘ringan’ sebagai konflik cerita? Saya menawarkan pengertian macam begini sekadar untuk menjadi landasan argumen saya yang mengatakan bahwa novel-novel Murakami tidak bisa dikategorikan ke novel sastra atau novel fantasi atau novel science-fiction.)

(Tenang saja, saya sendiri tidak sepenuhnya bersepakat dengan tawaran itu)

Jadi begini, mengapa, misalnya saja, Hard-Boiled Wonderland and the End of the World tidak bisa dimasukkan ke dalam kategori science-fiction, seperti yang diduga oleh G? Padahal, seperti yang saya ceritakan dengan menggebu-gebu ke G, salah satu tokoh di dalam novel tersebut adalah seorang tenaga IT (saya bersemangat karena saya pun mantan mahasiswa IT, walau saya sudah melupakan nyaris seluruh hal yang pernah saya pelajari). Pekerjaan tokoh di novel itu berkaitan dengan pengolahan, penyimpanan, dan rekayasa data. Atau, mengapa novel Kafka on the Shore tidak bisa dimasukkan ke kategori novel fantasi, padahal di dalamnya ada adegan di mana tiba-tiba sekumpulan ikan sarden jatuh dari langit (atau yang paling ikonik dari Murakami: kucing yang mendadak bisa berbicara)?

Sesungguhnya, saya tidak benar-benar tahu jawabannya. Mohon maaf. Saya hanya merasa kurang cocok aja novel-novel Murakami, meski dia mengandung unsur science (atau fantasi) diletakkan di bawah kategori science-fiction atau fantasi. Cukup banyaknya jargon atau deskripsi yang ditulis Murakami yang memberikan nuansa science-fiction di Hard-Boiled Wonderland and the End of the World tidak membuat saya bersepakat untuk meletakkannya di kategori science-fiction.

Yang ingin saya katakan: dengan absurditas dan surealismenya yang ia kemas sedemikian rupa, Murakami sudah membuat saya merasa bahwa buku-bukunya layak dikumpulkan ke dalam satu kategori baru: Novel Murakami. Bukan sastra, fantasi, science-fiction, atau apapun, hanya Novel Murakami.

Merangkai teks dalam format dan konten yang membuat ia menjadi lintas genre tentu bukan perkara mudah. Barangkali Haruki Murakami sendiri tidak berniat untuk melakukannya. Ia hanya menulis menggunakan bahan-bahan yang ia ciduk dari dalam sumur: sangat mungkin ia sendiri pun tidak pernah mengira dan merencanakan bahan-bahan yang akan ia pakai menulis.

Jika kita menulis novel, ada keuntungan lebih dari mengetahui genre novel yang akan kita tulis. Jika kita telah memantapkan hati untuk menulis novel roman, misalnya saja, tentu saja plot utama harus merupakan masalah percintaan, menggunakan konflik cinta platonik sebagai pusat pergerakan cerita. Jika kita ingin membuat novel horor atau kriminal, tentu saja unsur-unsur tertentu semacam teror, misteri, harus dimasukkan. Namun, ternyata ada yang lebih penting dari mengetahui genre, atau bahkan lebih penting dari semua hal yang menyangkut elemen-elemen penuilsan, yakni membuat tulisan yang bagus, terlepas apapun genrenya.

Maksud saya, tentu ada saat-saat ketika kita ingin menulis tapi tidak betul-betul tahu, tulisan kita akan cocok masuk ke genre mana. Kita hanya berangkat dengan sebuah ide kecil dan sederhana. Bahkan, kita tidak tahu akan bergerak atau berkembang ke arah mana ide tersebut. Kita belum menentukan dan tidak dapat memastikan cerita yang kita tulis akan menjadi cerita roman, misteri, science-fiction, horor, atau mungkin bisa jadi cerita kita akan memuat semuanya. Saya ingin mengatakan bahwa hal itu tidak perlu dicemaskan. Dari pengalaman membaca saya yang masih sangat singkat, novel bagus biasanya memuat banyak ‘genre’ di dalamnya.

Saya menulis catatan ini sedikit banyak karena teringat pada pernyataan, yang saat itu saya terjemahkan sebagai keluhan, yang berbunyi kira-kira begini: Aku lagi nulis, tapi nggak tahu ini masuk ke genre apa, sejarah atau romance. Ia berkata bahwa ia menulis tentang kerusuhan yang terjadi puluhan tahun lalu di tempat ia tinggal, tapi ia tidak yakin apakah itu membuat novelnya jadi novel sejarah, karena konflik cinta pun sangat kental di dalamnya. Saya ingat menjawab keluhannya dengan sesuatu yang barangkali tidak amat solutif. Tulis saja, kata saya, tulis sampai selesai.

Saya tidak bilang bahwa menulis cerita dengan menentukan genre terlebih dahulu adalah hal yang keliru. Tentu saja tidak. Menentukan genre dapat membuat kita lebih fokus karena sudah tahu cerita tersebut akan diserahkan ke segmen pembaca yang mana. Namun, ketika kecemasan-kecemasan dan kegelisahan-kegelisahan yang ingin kita tuang dalam tulisan tidak langsung menemukan bentuk atau genrenya, apakah mereka layak ditunda pengerjaannya? Saya akan menggeleng. Pastinya tidak. Lebih utama adalah mewujudkan gagasan, dan tidak jarang gagasan muncul tanpa label genre menempel di tubuhnya.

Mana tahu, dengan menulis novel yang tak terkategorisasi, justru akan membuat novel tersebut mencapai beragam segmen pembaca. Ya, ya, dugaan ini terdengar sangat ambisius dan ceroboh. Lagi-lagi saya tidak bermaksud demikian. Ah, pokoknya kamu paham lah maksud saya. Semoga.

Oh ya, saya ketikkan lagi kutipan dialog saya dengan G di sebuah kedai kopi di Jakarta, saat dengan semangatnya saya menceritakan Hard-Boiled Wonderland and the End of the World. Saya menyukai dialog tersebut karena untuk kali pertama, sepertinya, saya sangat menyukai sebuah novel sampai-sampai tidak tahu novel itu harus digolongkan ke kategori yang mana.

Hard-Boiled Wonderland and the End of the World itu apa? Science-fiction? Fantasi?” tanya G.

No,” kata saya sembari tersenyum. “It’s just a Murakami novel.” ***

.

$
0
0

Bernard Batubara adalah penulis. Lahir 9 Juli 1989 di Pontianak, Kalimantan Barat; saat ini tinggal di Yogyakarta. Belajar menulis puisi, cerita pendek, dan novel sejak medio 2007. Buku-bukunya yang telah terbit: Angsa-Angsa Ketapang (2010), Radio Galau FM (2011), Kata Hati (2012), Milana (2013), Cinta. (2013), Surat untuk Ruth (2013), dan Jatuh Cinta Adalah Cara Terbaik untuk Bunuh Diri (2014). Radio Galau FM dan Kata Hati telah diadaptasi ke layar lebar. Surat untuk Ruth sedang dalam proses adaptasi ke layar lebar oleh Screenplay Productions, direncanakan tayang 2016. Novel terbarunya, I Fall For You (Gagasmedia) akan terbit: Juli 2015.

Mencintai dan Mempercayai

$
0
0


Ini adalah bagian keenam atau terakhir dari cerita estafet berjudul HOME yang ditulis oleh enam orang berbeda dalam rangka mengikuti lomba menulis berantai kompetisi Love Cycle dari GagasMedia. Baca tulisan-tulisan sebelumnya di sini: Home - Part 1 (oleh Falen Pratama), Home - Part 2 (oleh Nikmal Abdul), Home - Part 3 (oleh Rabbani Rhi), Home - Part 4 (oleh Erina Erin), dan Home - Part 5 (oleh Fara Aulias).


HOME - Part 6



Orang yang sangat curigaan sama pacarnya, biasanya karena dia pernah punya pengalaman buruk di masa lalu.

Itu yang Roni katakan kepadaku saat kami makan siang sama-sama kemarin. Apa arti kalimat Roni itu sebenarnya? Apa dia mau bilang kalau aku pernah punya pengalaman buruk sebelum pacaran dengan Derry, makanya aku mencurigai Derry selingkuh dariku? Aku tidak mencurigai Derry. Aku hanya, hmm, punya feeling yang nggak enak dengan, siapa itu nama mantannya-Kara?

Namanya kok bagus sekali, sih. Menyebalkan.

Lagian, bukannya wajar ya, aku punya feeling nggak enak atas kehadiran Kara. Apalagi Derry dengan santainya melaporkan kepadaku dia makan siang dengan cewek itu. Bahkan, mengajaknya? Tuhan. Apa dia nggak berpikir itu bikin perasaanku sangat nggak nyaman?

Tapi, mungkin Roni ada benarnya. Setelah aku ingat-ingat, aku pernah pacaran dengan seorang cowok, yang jauh lebih good looking dari Derry. Tapi, good looking ternyata bukan jaminan. Justru karena ganteng, dia jadi sadar punya nilai lebih yang bisa dipakai buat menarik perhatian cewek. Bisa ditebak, kami putus karena dia berselingkuh.

Hampir sebulan aku tidak menghubungi Derry. Maksudku, aku tidak menghubunginya duluan. Derry yang menghubungiku. Itu pun jarang, karena katanya tugas kuliahnya banyak. Tapi, sikapnya yang begitu malah membuat kecurigaanku makin kuat. Jangan-jangan dia bukannya bikin tugas, tapi senang-senang ketemuan dengan-argh, aku benci harus menyebut namanya-Kara.

Aku sedang mengobrol dengan Roni di WhatsApp, saat ponselku berbunyi. Panggilan dari Derry. Sebenarnya dia sudah meneleponku beberapa kali, tapi tidak aku angkat. Malas.

“Sayang, lagi ngapain?” katanya.

“Nggak lagi ngapa-ngapain,” jawabku.

“Aku udah telepon dari tadi kok nggak diangkat?”

“Hm, nggak apa-apa.”

“Kamu kenapa, sih?”

“Kamu yang kenapa?”

“Lho? Kok aku?”

“Iya. Kamu sibuk banget belakangan. Ngapain aja?”

“Kan, aku udah bilang…”

“Tugas? Kenapa aku nggak yakin ya kamu ngerjain tugas?””

“Maksud kamu?” Dia diam sebentar, lalu melanjutkan. “Oh, aku tahu. Ini masalah Kara?”

Aku diam.

“Sayang,” katanya, “aku nggak ada apa-apa sama Kara. Kita cuma ketemu beberapa kali, itu aja. Maaf ya kalau kamu jadi nggak nyaman.”

“Aku udah pernah cerita belum, sih, ke kamu? Kalau aku pernah…”

“Diselingkuhin? Iya, kamu udah pernah cerita.”

Aku diam lagi.

“Dengar ya, Sayang. Masa lalu nggak harus berulang. Kita cuma perlu belajar, lalu berhati-hati supaya nggak melakukan kesalahan yang sama. Kamu pernah diselingkuhin oleh orang yang kamu sayang, bukan berarti aku juga bakal kayak begitu. Ketakutan kamu di masa lalu nggak harus bikin kamu paranoid dengan hubunganmu yang sekarang.”

“Tapi…”

“Kamu percaya sama aku, ya. Aku sayang sama kamu, dan aku akan berusaha untuk jaga terus kepercayaan kamu. Kalau kamu nggak nyaman, mulai besok aku nggak akan ketemu sama Kara lagi.”

“Eh, nggak begitu, maksudnya…”

“Lagian, kamu tahu nggak, sih, kalau Kara tuh udah nikah?”

“Ha?”

Derry cerita, Kara mantannya ternyata sudah menikah. Iya, dia baru masuk kuliah semester pertama dan menikah muda karena satu hal yang nggak perlu aku ceritakan.

Dipikir-pikir, paranoidku nggak beralasan. Derry selama ini selalu baik. Aku rasa kata-kata Derry benar. Kejadian di masa lalu, betapapun sudah bikin aku terluka, harusnya nggak bikin aku mencurigai masa sekarangku. Saat memutuskan untuk mencintai, aku juga harus mempercayai. ***

The Sense of an Ending, Julian Barnes

$
0
0




Selain tradisi minum teh dan bangunan-bangunan berarsitektur klasik a la kastil mirip sekolah sihir Hogwarts di novel berseri Harry Potter karangan J. K. Rowling (imajinasi saya akan Inggris terbentuk saat membaca Harry Potter, yah mau tak mau), barangkali yang juga khas dari Inggris (dan dengan demikian orang-orang Inggris) adalah sarkasmenya. Meskipun belum pernah bertemu dan berbincang langsung dengan orang Inggris asli, agaknya saya bisa mengamini dugaan tersebut dari melihat karakter-karakter orang Inggris di beberapa film yang pernah saya tonton dan, tentu saja, di novel-novel yang ditulis oleh orang Inggris.

Saya mencomot novela Julian Barnes, The Sense of an Ending, dari rak buku karena ukurannya yang kecil dan tipis. Setelah membaca novel tebal Haruki Murakami Hard-Boiled Wonderland and the End of the World, seperti biasa, stamina saya terkuras. Maka, seperti biasa pula, buku-buku berikutnya yang saya baca dapat dipastikan adalah novela, atau kumpulan cerita pendek. Pola seperti ini sudah berlangsung cukup lama. Novel tebal, novela atau kumpulan cerita pendek, novel tebal lagi, novela atau kumpulan cerita pendek lagi, begitu terus. Ini saya lakukan sebagai trik untuk mengatur napsu membaca saya agar tidak cepat butek oleh masifnya jumlah teks yang masuk ke kepala.

Sebetulnya, saya belum banyak membaca penulis Inggris (bukan berarti saya sudah banyak membaca penulis selain Inggris juga, sih). Dari catatan saya, saya baru membaca Julian Barnes, George Orwell, Neil Gaiman, dan tentu saja penulis kesukaan saya semasa kecil, Joanne Kathleen Rowling, beserta alter-egonya, Robert Galbraith. Meski demikian, dari yang sedikit itu, setidaknya saya boleh menarik kesimpulan sementara, yakni bahwa orang Inggris punya kemampuan luar biasa dalam melempar sarkasme.

Lihat saja bagaimana dialog-dialog penuh sarkasme bertebaran dalam percakapan-percakapan antar guru Hogwarts School of Witchcraft and Wizardry di ketujuh seri novel Harry Potter. Severus Snape adalah guru yang terkenal dengan sindiran-sindiran pedasnya terhadap murid-murid. Atau, Ronald Weasley, sahabat kental Harry Potter, juga kerap melontarkan sindiran a la keluarga Weasley. Kalau kita membaca novela semi-fabel Animal Farm milik Eric Arthur Blair alias George Orwell, kita akan tahu bahwa novela itu adalah sarkasme besar atas tingkah laku manusia terutama kaitannya dengan tipu-tipu muslihat dunia politik. Neil Gaiman juga kerap menyisipkan sindiran tajamnya terhadap sikap orang dewasa (dan kedewasaan) lewat cerita semi-fantasi semi-sureal di novela The Ocean at the End of the Lane.

Sarkasme yang sama saya temukan di sepanjang cerita The Sense of an Ending, novela Julian Barnes yang mendapat penghargaan kesusastraan Man Booker Prize tahun 2011. Sarkasme itu muncul lewat dialog karakter-karakternya, tapi terutama lewat narasi si tokoh utama. Namun, yang membedakan sarkasme Julian Barnes dengan sarkasme J. K. Rowling, George Orwell, dan Neil Gaiman, adalah bagaimana sarkasme yang muncul di novela Barnes ternyata belakangan mempengaruhi kehidupan tokoh utamanya, sekaligus menjadi titik belok plot utama cerita, dan juga merupakan inti keseluruhan novel tersebut. Sarkasme dalam tulisan Barnes tidak hanya ditujukan kepada publik di luar teks, tetapi juga berdampak pada karakter di dalam teks itu sendiri.

Adalah seorang lelaki berusia 60-an tahun bernama Tony Webster yang, lewat dirinya, Barnes menyampaikan sarkasmenya. Atau, marilah kita anggap yang melontarkan sarkasme adalah Tony Webster, dan dengan demikian sarkasme yang akan kita bicarakan adalah sarkasme milik Tony Webster. The Sense of an Ending ditulis dalam dua bagian, atau dua bab. Bab pertama merupakan ingatan-ingatan Tony Webster, kilas baliknya ke masa-masa remaja. Pada bagian inilah sarkasme Tony Webster hampir selalu terlontar, dan-setidaknya bagi saya-terasa sangat menghibur.

Bersama tiga orang sahabatnya, Tony Webster menjalani masa-masa remaja yang meskipun tidak membosankan, tidak juga bisa dibilang luar biasa. Satu-satunya hal ‘tidak biasa’ yang terjadi pada periode kehidupan Tony Webster saat itu adalah kabar bunuh diri seorang murid di kelasnya. Hal ‘tidak biasa’ lain yang terjadi di hidup Tony Webster mengambil wujud seorang manusia, yakni satu dari tiga sahabatnya sendiri, seorang bernama Adrian. Tony Webster juga punya pacar bernama Veronica, yang terhadapnyalah, sarkasme kocak Tony Webster kerap ditujukan (selain tentu saja kepada hal-hal lain).

Pada awalnya, sarkasme Tony Webster tidak mengandung hal-hal yang amat serius. Sindiran-sindiran terselubung dalam kalimat-kalimatnya, baik itu berwujud dialog maupun narasi (The Sense of an Ending ditulis dengan sudut pandang orang pertama), hanya berputar pada hubungan Tony Webster dengan teman-teman sekolah, guru, pacarnya, dan keluarga pacarnya. Namun, sarkasme yang tidak amat serius ini, ternyata berpuluh tahun kemudian memberi dampak besar pada kehidupan Tony Webster sendiri. Sindiran-sindiran yang pada suatu hari memuncak dan tersampaikan lewat sepucuk surat yang ia kirimkan kepada Veronica dan Adrian, berbalik kepadanya sebagai realitas yang menyakitkan. Omong-omong, ia mengirim surat tersebut setelah Veronica putus darinya dan berpacaran dengan Adrian, sahabatnya sendiri.

Sarkasme yang berbalik itulah yang ditulis Julian Barnes di bagian kedua novela. Kehidupan-kini Tony Webster, sebagai duda beranak satu, yang ia harapkan menjadi kehidupan penuh ketenangan, terusik oleh kabar yang mengejutkan: Adrian, sahabat kentalnya (dan juga pacar baru mantan pacarnya dulu, Veronica) tewas bunuh diri. Kabar ini menjungkirbalikkan ketenangan hidup Tony Webster. Bukan hanya lantaran karena sahabatnya bunuh diri, melainkan juga karena seumur hidupnya, Tony Webster melihat dan meyakini bahwa Adrian adalah sosok rasional, cerdas, penuh pertimbangan dan perhitungan, yang dengan segala intelektualnya, sangat tidak mungkin melakukan tindakan ‘irasional’ semacam bunuh diri. Setidaknya, demikian yang diyakini oleh Tony Webster. Sampai ia berkontak kembali dengan mantan pacarnya, Veronica, dan dari sana sebuah misteri perlahan-lahan berkelindan di seputar peristiwa kematian Adrian. Buku harian Adrian, yang Tony Webster yakini sebagai warisan untuknya, menjadi penghubung ia dan Veronica.

Sindiran-sindiran kocak pada bagian pertama The Sense of an Ending yang membuat saya terbahak nyaris di setiap halaman, secara perlahan berubah menjadi satu misteri. Yang tadinya tidak amat serius menjadi mulai serius. Lalu, di bagian akhir novela, misteri dan keseriusan itu ditutup dengan hal yang paling sering berhasil membuat kita menyukai sebuah cerita: kejutan. Ternyata yang keluar dari saya sebagai reaksi saat membaca novel Barnes tidak hanya suara tawa karena menyimak sarkasme kocaknya, tetapi juga ekspresi kening berkerut dan umpatan kaget, masing-masing saat mengikuti misteri dan akhirnya bertemu dengan penutup ceritanya.

Begitulah. Buku yang bagus selalu memuat lebih dari satu hal. Bahkan, seringnya, banyak hal. Hal-hal itu bisa kita temukan dalam sekali baca, bisa juga setelah membacanya ulang. Jelasnya, seperti seorang manusia yang menarik karena memiliki banyak sisi, buku yang menarik juga senantiasa menawarkan banyak nuansa dan emosi. Selalu jamak dan kompleks. Tidak pernah satu, tidak pernah tunggal. Sehingga kita tahu, itulah yang membuat buku menyenangkan untuk dibaca. ***

The Stranger, Albert Camus

$
0
0



Seorang pria melihat ibunya yang baru saja meninggal sedang disemayamkan, dan ketika seluruh pelayat hadir dengan wajah muram dan airmata menetes di pipi mereka, pria tersebut sama sekali tidak menangis. Bahkan, ia tidak sedikit pun menunjukkan tanda-tanda bahwa ia bersedih atas kematian ibunya. Seolah-olah ibunya yang sedang terbujur kaku sebagai mayat itu bukanlah ibunya, melainkan sebatang pohon yang baru saja ditebang, atau seekor lalat yang baru tuntas ditepuk.

Albert Camus memulai novela berjudul The Stranger ini dengan menampilkan gambaran karakter yang sangat kuat, sekaligus barangkali nyeleneh dan agak kurang masuk akal bagi sebagian orang. Terutama mereka yang berpikir bahwa manusia seharusnya merasakan emosi begini atau begitu.

Bukan hal keliru, memang, jika sebagian yang membaca The Stranger akan menganggap si lelaki yang berperan sebagai tokoh utama tersebut mengidap kelainan jiwa karena tidak menangis bahkan tidak menunjukkan tanda-tanda emosional sedikit pun saat melihat mayat ibunya, atau saat mendapat kabar bahwa ibunya meninggal. Bahkan, ia tidak ingat kapan tepatnya ibunya meninggal, hari ini atau kemarin, kemarin atau hari ini. Baginya sama saja.

Saya katakan bukan hal yang keliru, karena tokoh-tokoh lain di dalam The Stranger pun beranggapan demikian. Dapat dilihat ketika si tokoh utama terlibat masalah hukum setelah di siang bolong, di tepi pantai tempat ia berlibur bersama beberapa temannya, ia menembak mati seorang Arab. Lima tembakan di tubuh bagian depan.

Saat ditanya di persidangan tentang alasannya menembak laki-laki Arab tersebut, si tokoh utama awalnya diam karena tiba-tiba ia merasa jawaban yang akan berikan bakal terdengar sangat konyol di khayalak persidangan. Namun, ia tetap harus menjawab, karena ia pun ingin menjawab. Dan, benar saja dugaannya, saat ia memberikan jawaban atas pertanyaan itu, semua orang tertawa, termasuk jaksa penuntut umum.

Jawabannya ketika ditanya mengapa ia menembak mati laki-laki Arab tersebut adalah karena ia merasa sinar matahari pada saat itu sangat menyengat dan ia merasa pusing dan akhirnya ia pun menarik pelatuk dan menembak korban.

Semua orang merasa si tokoh utama memiliki kelainan jiwa. Apalagi ketika jaksa penuntut umum menyampaikan hasil penyelidikannya. Ia menemukan dan menyampaikan di persidangan bahwa si tokoh utama-yang telah jadi tersangka pada saat itu-diketahui lewat saksi-saksi, tidak menangis sama sekali dan tidak menunjukkan tanda-tanda emosi ketika menghadiri pemakaman ibunya. Bahkan, si tokoh utama pergi berkencan dengan seorang perempuan keesokan harinya dengan kondisi bahagia, seolah tak pernah terjadi apa-apa. Seolah ibunya tidak pernah meninggal.

Dengan cerdas, Albert Camus menggiring pikiran kita hingga berada di posisi yang barangkali sama seperti tokoh-tokoh lain di dalam cerita. Seperti mereka, kita akan melihat si tokoh utama ini sebagai orang yang mengidap kelainan jiwa. Jangan-jangan ia pernah mengidap trauma masa kecil atau semacamnya, pikir kita.

Namun, kenyataannya si tokoh utama tidak mengidap trauma masa kecil atau apapun (setidaknya dari yang terlihat pada teks). Ia, dengan pemikirannya sendiri, memang merasa tidak ingin menangis. Tidak ada hal yang mendorong ia untuk menangis. Kematian Maman, ibunya, adalah sesuatu yang baginya normal-normal saja. Jika hari ini ibunya mati, atau kemarin, atau besok, atau tahun depan, sama saja. Semuanya tetap akan berjalan normal dan seperti biasa. Kematian ibunya bukanlah peristiwa yang signifikan.

Tidak sulit memahami jalan pikiran si tokoh utama di novela The Stranger (atau jalan pikiran pengarangnya) ketika kita mengetahui bahwa Albert Camus adalah seorang eksistensialis (silakan cari di Google apa itu eksistensialis). Meski tidak tampak di awal-awal cerita, pada akhirnya kita akan mengerti mengapa si tokoh utama memiliki jalan pikiran demikian dan mengambil tindakan-tindakan seperti di dalam cerita.

Membaca The Stranger Albert Camus mengingatkan saya pada novel-novel dan cerita-cerita pendek Haruki Murakami. Saya bahkan merasa mereka seperti abang-beradik. Camus abangnya, Murakami adiknya. Bisa kita bilang mereka berdua adalah eksistensialis. Tidak sulit mengetahuinya. Hanya dengan melihat tindakan dan cara berpikir tokoh utama dalam novel mereka, hal tersebut dapat terlihat.

Yang lebih ingin saya soroti dan bahas dari novela setebal 120 halaman ini adalah, kesederhanaan bahasanya. Berkali-kali saya berpikir bahwa pengarang-pengarang sekelas pemenang Nobel Kesusastraan pastilah memiliki karya-karya dengan bahasa yang berat. Bahasa yang berat maksud saya adalah pemilihan kata yang tidak lazim. Seperti novel yang dijejali kata-kata langka dari dalam kamus.

Namun, The Stranger sama sekali tidak demikian. Saya menyelesaikan membaca The Stranger hanya dalam beberapa jam. Mungkin tidak lebih dari tiga jam. Salah satunya karena bahasa Camus sangat mudah dipahami. Tidak ada kata-kata dalam Bahasa Inggris yang sulit, yang membuat saya mesti mengubek-ubek Google Translate untuk dapat memahami maksudnya.

Begitu pula dengan plot. The Stranger tak menggunakan model lain selain bentuk yang linear. Alur maju. Camus tidak menawarkan permainan flashback, foreshadowing, atau fragmen-fragmen yang rumit. Kisah tokoh utama yang dianggap memiliki kelainan jiwa oleh tokoh-tokoh lain di dalam cerita dikisahkan dengan cara yang amat sederhana.

Kadangkala saya berpikir bahwa penulis-penulis yang matang memang akan menuju bentuk dan cara yang sederhana. Seperti orang bijak atau orang pintar yang dapat menyampaikan hal rumit lewat pernyataan-pernyataan sederhana. Orang yang kerap menggunakan bahasa rumit, menurut saya, justru adalah orang yang tak benar-benar paham dengan apa yang ingin ia ucapkan sendiri.

Meski demikian, meski dengan bahasa dan alur yang sederhana, kita tahu apa yang dimunculkan oleh Camus lewat tokoh utama di The Stranger bukanlah hal yang sederhana. Camus menggali hingga ke dalam jiwa manusia, lalu memunculkan ke permukaan pertanyaan demi pertanyaan yang barangkali, secara sadar maupun tidak, menghantui kita semua. Mengapa seseorang harus punya tujuan hidup? Apakah tujuan hidup itu? Apakah hidup itu sendiri dan apakah itu kehidupan? Apakah kematian?

The Stranger juga membuat kita bertanya dan berasumsi, barangkali apa yang disebut kelainan jiwa hanyalah kewarasan dalam perspektif lain. Saya sering menduga dan curiga, jangan-jangan orang gila, atau yang setidaknya kita kerap sebut orang gila, hanyalah orang yang punya bentuk kewarasan yang berbeda dengan kita, manusia ‘waras’. Orang gila atau orang yang punya kelainan jiwa hanya memiliki dunia yang berbeda dengan kita. Dan, tentu saja, itu bukan hal yang aneh.


Lalu, jika benar demikian, apakah salahnya memiliki dunia yang berbeda? Apakah salahnya menjadi gila di dunia yang waras, atau menjadi waras di dunia yang gila? Bukankah waras dan gila hanya masalah mana yang lebih mendominasi? Seperti orang gila yang berada di dunia orang waras tidak dapat disebut orang waras, apakah orang waras yang diletakkan di dunia penuh orang gila tidak boleh disebut orang gila? ***

Metafora Padma: Koran Tempo, 7 Juni 2015

$
0
0



Cerita pendek terbaru saya, “Metafora Padma” dimuat di Koran Tempo, Minggu 7 Juni 2015. Jika teman-teman ingin membaca, silakan cari korannya.

Selamat hari Minggu.

- BB

Seekor Burung Kecil Biru di Naha, Linda Christanty

$
0
0




PADA masa ketika hidup sudah sedemikian sulit dan setiap orang bersusah-payah mencari cara untuk menghibur diri sendiri, apa pentingnya menulis tentang konflik, kerusuhan, dan pembantaian manusia?

Tiga belas tulisan tentang konflik, tragedi, dan rekonsiliasi dalam kumpulan feature Linda Christanty, Seekor Burung Kecil Biru di Naha, membantu saya untuk menjawab pertanyaan tersebut.

Saya membaca “Berdamai dari Bawah”, sambil membayangkan suasana di halaman Rumoh Geudong di desa Billie Aron, Teupin Raya, Aceh, yang seperti disebut di dalam tulisan, terkenal sebagai tempat penyekapan dan penyiksaan di masa Aceh berstatus Daerah Operasi Militer atau DOM. Dialog-dialog dengan Khatijah binti Amin, seorang perempuan Aceh yang ditangkap tentara karena suaminya anggota pasukan Hasan Tiro, pencetus Gerakan Aceh Merdeka (GAM), dengan sendirinya membangun visual yang mencekam di kepala, menampakkan kekejaman dan kepedihan. Juga percakapan-percakapan dengan Nurhaida, Sanusi, Saliza, Zubaidah, Beniati, Marhamah, Dwi-semuanya warga Aceh-tentang peristiwa pembakaran, penembakan, yang terbungkus isu-isu konflik etnis dan agama.

Kisah yang agak komikal tentang kepongahan Panglima Amir, seorang laki-laki Bangka mantan pejabat kolonial Belanda pada tahun 1830, dituturkan lewat tulisan “Panglima Amir dan Ayamnya”. Perseteruan Panglima Amir dengan seorang lanun yang dipicu oleh kekesalan dan rasa iri pada seekor ayam jantan raksasa, kemudian berkembang menjadi adegan penghancuran dan perbudakan orang-orang Bangka oleh Panglima Raman, seorang anak dari saudagar Bugis-Wajo, bersama Punggawa Sengkang, seorang pedagang budak dari Makassar.  “Kakek Saya, Opa Manusama, dan Opa Willem” mengungkap kisah perjuangan orang-orang pascaproklamasi di Pulau Bangka, yakni perlawanan Tentara Keamanan Rakyat (TKR) terhadap tentara Nederlandsch Indië Civil Administratie (NICA) dan Tentara Tionghoa Indonesia (TTI).

Berjalan ke bagian Timur dari Indonesia, kekerasan hinggap di Maluku, dan diceritakan dalam tulisan “Percik Api di Timur”. Ini feature terpanjang dalam buku Seekor Burung Kecil Biru di Naha. Isinya tentang bagaimana persoalan perselisihan batas-batas wilayah tinggal antara orang-orang Makian dan Kao di Halmahera Utara berkembang menjadi konflik antaragama.

Tidak hanya konflik di dalam negeri, Linda Christanty juga menuturkan konflik serupa yang terjadi di luar negeri.

Seperti kisah seorang perempuan India bernama Irom Sharmila. Dalam “Mendengar Bisikan Sungai Brahmaputra”, Linda, lewat mulut orang-orang yang ia temui di sebuah festival sastra di Guwahati, Assam, India, menceritakan bagaimana Sharmila melawan hukum darurat militer dan melayangkan protes terhadap pembunuhan orang-orang tak bersalah oleh aparat bersenjata di Manipur. Dalam “Karbala”, Linda menuturkan secuplik peristiwa yang barangkali menjadi awal mula perseteruan dua mazhab di agama Islam, Sunni dan Syi’ah.

“Seekor Burung Kecil Biru di Naha” menampilkan sebuah percakapan dengan Akiko, seorang warga Jepang, tentang pendudukan Jepang atas negara-negara Asia, termasuk bagaimana ratusan ribu perempuan Indonesia dijadikan budak seks atau jugun ianfu. Kehancuran Partai Komunis Thailand (PKT) meluncur dari bibir seorang perempuan berusia setengah abad bernama Punne Suangsatapananon, ditulis Linda dalam “Kenangan Punne”, yang dibumbui sedikit kisah cinta, karena pacar Punne adalah anggota PKT yang ditangkap dan dibunuh oleh tentara pemerintah.

Rudolf Hess, petinggi Nazi dan wakil Hitler, tidak luput dari catatan Linda, dan kisah di penjara Spandau dan pembantaian yang ia lakukan direkam dalam tulisan “Tentang Dua Tragedi: Masa Nazi di Jerman dan 1965”-tulisan ini juga mengungkap bagaimana Suharto, setelah kejahatan kemanusiaan yang ia lakukan semasa hidup, mati tanpa pernah diadili, bahkan dikenang sebagai ‘Bapak Pembangunan Nasional’. Sebagai penutup, “Continental Club” ditulis untuk menggambarkan sejarah dan konflik di kota-kota selatan di Amerika Serikat, termasuk di dalamnya terdapat peristiwa pembunuhan John F. Kennedy, juga tentang Benteng Alamo di Texas, sebuah bangunan yang dibangun pada 1718 untuk melindungi para misionaris dari serangan orang-orang Indian.

Nuansa agak berbeda dari tulisan-tulisan Linda mengenai konflik antaretnis, antaragama, maupun antarbangsa (yang di dalamnya terdapat peran militer, wacana politik, dan kawan-kawannya) terdapat pada tulisan berjudul “Rumah Bagi Mereka yang Tua”. Kali ini, yang lebih terasa adalah suasana sentimentil yang amat personal. Meski ceritanya bersifat pribadi, tapi siapapun anak rantau yang membacanya, saya yakin akan merasakan melankoli serupa: rindu pada kampung halaman, rindu kembali kepada orangtua. Begitu pula pada “Nama Saya Wanda”, tidak terdapat adegan-adegan pembantaian atau konflik antaragama maupun antaretnis di dalamnya, melainkan konflik di dalam diri seorang transgender dan keluarga tempat ia lahir, yang tidak kalah rumit dan pelik dari konflik perang antarbangsa maupun dunia.

Tulisan-tulisan Linda Christanty amat jernih, teratur, dan mudah dibaca. Sesekali ia membuka narasinya dengan deskripsi, yang membuat kita membayangkan sebuah tempat, di mana tempat tersebut ternyata memiliki sejarah kekerasan. Di waktu lain, Linda mengantarkan kita ke dalam premis-premisnya menggunakan pernyataan-pernyataan, yang meski dituturkan tanpa berapi-api, lembut, nyaris terasa datar, tetap membawa ketegasan yang kuat, yang menjelaskan posisinya dalam setiap peristiwa-peristiwa yang ia catat dan kabarkan.

Ibarat api, kekerasan-dalam wujudnya yang samar dan kerap menyaru ke dalam identitas sehingga membuat manusia membunuh sesamanya hanya karena perbedaan suku bangsa, ras, atau agama-tidak pernah puas hanya berkobar di satu tempat. Konflik telah pecah sejak berabad-abad yang lalu, dan dalam rentang masa yang teramat panjang itu, kekerasan telah melompat dari satu bagian dunia ke bagian dunia yang lain, menghantam satu bangsa ke bangsa yang lain. Namun, jika kita ingin menatap dengan mata yang jernih, seringkali akar kekerasan yang sesungguhnya bukanlah perbedaan identitas. Masalah sebenarnya dari setiap konflik bukanlah persoalan etnis, agama, atau bangsa, melainkan seringkali terjadi karena provokasi dan hasutan oknum-oknum yang punya kepentingan pribadi-agenda-agenda politik. Konflik di banyak tempat di Indonesia ditunggangi dan diatur oleh kelompok-kelompok yang memiliki kekuasaan dan kekuatan untuk memecah-belah komunitas-komunitas di masyarakat yang tadinya hidup berdampingan dengan damai sentosa.

Membaca Seekor Burung Kecil Biru di Naha membuat saya menemukan sedikit jawaban tentang mengapa seseorang perlu mencatat, menelisik, mempelajari, dan mengabarkan peristiwa-peristiwa konflik dan kekerasan yang terjadi di mana saja, lebih-lebih di tempat tinggalnya sendiri. Pentingnya terus-menerus mengabarkan konflik lewat tulisan bukanlah untuk mengobarkan amarah terpendam di masa lalu, apalagi menyulut kembali api sentimen negatif antarkelompok yang pernah bertikai, melainkan untuk senantiasa mengingatkan kepada setiap dari kita bahwa kekerasan tidak pernah menyenangkan. Bahwa ada yang menghendaki kita saling membunuh. Bahwa selama kita masih berpikir kekerasan merupakan solusi atas masalah-masalah pelik, maka kedamaian akan selamanya menjadi utopia. ***

The Book of Laughter and Forgetting, Milan Kundera

$
0
0




Pada awalnya, sedikit sulit bagi saya ketika berusaha memasuki dunia novel Milan Kundera karena belum familier dengan sejarah Republik Ceko, negara asal Kundera, yang ia olah dalam bukunya yang saya baca, The Book of Laughter and Forgetting.

Kundera lahir di Ceko pada tahun 1925. Saat berusia setengah abad, ia terpaksa pergi meninggalkan tempat kelahirannya dan hidup sebagai seorang eksil di Perancis. Entah sebagai bentuk protes atau kekecewaannya terhadap Ceko (atau dalam usahanya melupakan Ceko? Saya cuma menduga-duga dan dugaan saya tidak berlandaskan apapun yang kuat) ia bahkan melakukan penerjemahan ulang atas karya-karyanya, yang pada awalnya ditulis dalam bahasa Ceko, menjadi bahasa Perancis. Pada kata penutup The Book of Laughter and Forgetting (versi bahasa Indonesia: Kitab Lupa dan Gelak Tawa) Kundera berkata bahwa karya-karyanya dalam bahasa Perancis itu lebih mendekati keaslian daripada yang berbahasa Ceko.

The Book of Laughter and Forgetting dibuka dengan sebuah deskripsi atas foto Klement Gottwald dan Vladimír Clementis. Klement Gottwald adalah tokoh komunis Ceko, perdana menteri Ceko pada 1946 – 1948, dan presiden Republik Ceko pada 1948 – 1953. Vladimír Clementis merupakan tokoh berpengaruh Partai Komunis Ceko yang pada foto tersebut digambarkan berdiri di samping  Klement Gottwald. Clementis dihilangkan dari foto terkenal yang diambil pada 1948 tersebut sebagai bagian dari propaganda pemerintah di masa itu.

Saya kesampingkan deskripsi foto Gottwald dan Clementis dan memutuskan untuk terus membaca bagian pertama novel, ‘Lost Letters’. Laki-laki bernama Mirek, yang tampaknya seorang aktivis, dibuntuti oleh beberapa orang saat ia hendak menemui Zdena, perempuan yang ia cintai tapi kemudian dirinya menyesal. Mirek hendak menghancurkan surat-surat cinta yang pernah ia kirim untuk perempuan itu. Namun, di perjalanan, ia ditangkap oleh sekelompok orang yang membuntutinya dan akhirnya ia dijebloskan ke penjara.

The Book of Laughter and Forgetting terdiri dari tujuh bagian yang memiliki premis serupa. Namun, ketujuh bagian tersebut memiliki plot yang tidak sangat berkesinambungan, sehingga sebenarnya The Book of Laughter and Forgetting bisa saja dibaca sebagai sekumpulan novela. Payung besar ketujuh novela tersebut adalah tentang melupakan, forgetting. Alih-alih menganggapnya sebagai karya fiksi, saya lebih memandang novel Kundera ini sebagai karya fiksi-semiotobiografi, karena meskipun membalutnya dengan cerita yang dikarang, si penulis juga menuturkan kisah hidupnya sendiri di beberapa bagian.

Tokoh-tokoh dalam novel Kundera adalah orang-orang yang bertarung dengan memorinya sendiri. ‘Mama’, ibunda mertua dari Marketa, yang merupakan istri laki-laki bernama Karel, hampir saja memergoki aktivitas seksual terlarang Marketa, Karel, Eva-teman dari Marketa dan Karel-ketika ia teringat akan seorang temannya di masa lalu yang memiliki wajah mirip Eva. Memori, pada ‘Mama’, membawa plot cerita ke titik baliknya dan menyeretnya dari klimaks.

Tamina, seorang perempuan yang bekerja di sebuah kafe, diceritakan dalam bagian ‘Lost Letters’ kedua, berjuang untuk mendapatkan kembali buku harian pribadi dan surat-surat cinta yang pernah ia tulis untuk mendiang suaminya. Kalau tidak salah ingat, ketika masih bernyawa, si suami digambarkan hidup sebagai eksil. Dalam usahanya mendapatkan barang-barang pribadinya tersebut yang tersimpan di rumah orangtuanya di Praha (Tamina tidak tinggal di Praha), ia bercinta dengan seorang laki-laki bernama Hugo. Sialnya (atau untungnya?), selama mereka bercinta, Tamina tidak bisa mengenyahkan memori mendiang suaminya. Berkali-kali, pada wajah Hugo, ia melihat wajah suaminya sendiri. Hugo, yang diharapkan Tamina dapat membantunya mengambil barang-barang pribadinya itu, akhirnya mengetahui bahwa Tamina hanya memanfaatkannya untuk agendanya sendiri. Ia marah dan Tamina kesal. Pada Tamina, memori mendiang suaminya membuatnya gagal mendapatkan kembali benda-benda pribadi berharganya.

Politik memori dan amnesia sosial adalah apa yang saya kira coba dikatakan oleh Kundera. Kerap ia bertutur bagaimana warga kota Praha merupakan manusia-manusia yang tidak lagi memiliki kontrol atas ingatannya sendiri. Dari waktu ke waktu, dari satu masa penjajahan ke masa penjajahan lain atas kota tersebut, nama-nama jalan di kota terus-menerus berubah dan berganti, sehingga orang-orang tidak lagi ingat bagaimana nama asli jalan-jalan tersebut. Bahkan, tidak lagi merasa bahwa itu penting untuk diingat. Bukankah ‘pelupaan massal’ ini juga terjadi di tempat-tempat lain, tidak terkecuali di tempat kita tinggal, di negara kita? Atau bahkan, di diri kita sendiri? ‘Pelupaan’ yang dituturkan oleh Kundera bisa menelusup hingga ke berbagai lapisan konteks. Sejarah umum maupun sejarah individu. Dan, memang demikianlah sepertinya yang ia tuliskan di dalam The Book of Laughter and Forgetting. Kundera menuliskan bagaimana manusia-manusia dibuat lupa oleh sejarah kota dan bangsa mereka sendiri, dan tentu saja, ‘pelupaan’ ini bukannya tidak dirancang dan direncanakan. Ingat kembali foto Klement Gottwald dan Vladimír Clementis, yang dimanipulasi setelah kudeta demi kepentingan ‘membentuk’ sejarah dan membuat orang-orang lupa pada elemen-elemen yang sebenarnya dan seharusnya muncul di foto tersebut.

Di samping bahasa yang mudah (saya membaca The Book of Laughter and Forgetting terjemahan bahasa Inggris dari versi Perancis) hal yang kentara dalam tulisan-tulisan Kundera adalah humor. Kundera punya selera humor yang menyenangkan. Pada bab ketiga, ‘The Angels’ yang pertama (karena ada dua kali ‘The Angels’) ia menuliskan semacam ‘sejarah tawa’, tentang bagaimana pada mulanya tawa ‘diciptakan’ oleh setan. Tawa setan adalah tawa yang asli, yang lepas, yang tulus. Sementara itu, kelompok malaikat yang tidak menyenangi tawa setan dan khawatir tawa tersebut semakin meluas, melakukan perlawanan dengan tawa versi malaikat, tawa yang digambarkan sebagai tawa beragenda. Saya membayangkan tawa malaikat seperti tawa karakter-karakter aristokrat atau orang super kaya di cerita-cerita komik atau anime. Kundera menuliskan bahwa, oleh malaikat, tawa setan dipandang sebagai ‘ancaman’ atas kebaikan, karena tawa tersebut membuat seseorang lupa. Lupa daratan, istilah yang kita pakai. Saya jadi teringat di dalam Islam pun dikatakan bahwa seseorang tidak boleh tertawa terlalu lebar, ngakak, karena pada momen itu setan dapat masuk ke dalam dirinya. Saya tertawa berkali-kali membaca bagian ini.

Selain humor, yang menyenangkan dari cerita-cerita Kundera adalah kenyataan bahwa cerita-cerita tersebut tetap dapat dinikmati walau kita tidak mengetahui konteks atau peristiwa aktual atau wacana yang melandasi cerita tersebut. Walau kita tidak tahu tentang sejarah pendudukan Rusia atas Ceko dan tahu hanya sedikit tentang perang dunia dan wacana komunisme, kita tetap dapat menikmati cerita-cerita Kundera, setidaknya sebagai sebuah cerita. Saya kira, salah satu ciri cerita yang baik adalah cerita yang tetap dapat dinikmati meskipun si pembaca tidak memiliki wawasan kontekstual atas cerita tersebut. Tentu saja, cerita yang baik juga adalah cerita yang jikalau si pembaca memiliki wawasan kontekstual atas cerita tersebut, ia akan mendapatkan pembacaan yang lebih lengkap, luas, dan dalam. ***


Teaser: I FALL FOR YOU

$
0
0
Teaser Cover Buku Kedelapan


Tiga hari lalu dapat kiriman dari editor lewat e-mail. Isinya adalah catatan revisi untuk manuskrip novel terbaru saya,I FALL FOR YOU

Rencananya, I Fall For You akan jadi buku kedelapan saya, dan bakal terbit bulan AGUSTUS 2015.

Jadi, sekarang saya lagi ngerjain revisinya. Doakan proses revisinya lancar dan bisa rilis tepat waktu ya! Oh iya. I Fall For You akan terbit lewat penerbit GagasMedia.

(PS: Gambar ini bukan cover lengkap dari I Fall For You, cuma teaser. Cover lengkap menyusul. Terima kasih!)

26

$
0
0



Bagi saya, hidup tidak hanya sebuah anugerah, melainkan juga sebuah amanah.

Sejak beberapa tahun lalu, saya membiasakan diri untuk membuat semacam catatan kecil setiap kali saya tiba di tanggal lahir saya. Tidak ada tujuan khusus. Hanya cara sederhana saya untuk mengingat apa saja yang sudah saya alami dan dapatkan. Apa saja yang telah datang ke hidup saya, juga yang pergi.

Bagi saya, penting untuk mengingat dan mencatat hal-hal tersebut. Agar saya tahu bahwa Tuhan masih peduli pada saya. Masih ‘mengurusi’ saya. Barangkali suatu hari nanti saya akan lupa pada apa yang saya ingat dan catat saat ini, seperti juga saya lupa pada hal-hal lain yang sempat saya ingat. Tak masalah. Kita tidak pernah didesain untuk mengingat semua hal selamanya. Pengalaman dan memori senantiasa datang dan pergi seperti udara yang kita hirup dan lepaskan dengan teratur. Yang saya lakukan sebatas menangkap udara tersebut dan mengamatinya. Tersenyum kepadanya. Seraya bersyukur.

Saya mengingat, setahun belakangan, ternyata terjadi hal-hal besar di hidup saya yang sederhana ini. Besar, setidaknya bagi saya. Besar, karena untuk melakukan hal tersebut saya harus melawan segala bentuk kekhawatiran dan ketakutan saya.

·      Awal tahun lalu, saya memutuskan untuk bekerja sebagai karyawan. Posisi yang sebelumnya tidak pernah menarik minat saya. Menjadi pekerja kantoran adalah hal terakhir yang ingin saya lakukan untuk mencari penghidupan. Tapi, toh, ternyata saya melakukannya. Seorang kawan baik mengajak saya bergabung sebagai editor di tempat ia bekerja. Saya berpikir beberapa kali dan berdiskusi dengan G tentang ajakan tersebut. Terus terang, saya tidak begitu menyukai kota tempat kantor teman saya itu berlokasi. Oke, mari kita sebut saja. Jakarta. Saya tidak menyukai kota penuh kemacetan itu dan teman saya mengetahuinya. Masalah ini teratasi karena ternyata saya akan ditempatkan di Jogja, tempat saya tinggal kala itu (dan hingga sekarang). Namun, bukan hanya itu, masalahnya adalah saya tidak bisa bekerja di bawah perintah orang lain. Sesungguhnya, saya tidak suka diperintah. Menjadi karyawan berarti saya masuk ke dalam sebuah sistem, sebuah struktur, yang membuat saya berada di bawah orang lain. Namun, saya pikir saya harus mencoba. Saya harus merasakan bagaimana bekerja untuk orang lain. Setelah saya menjalaninya, ada banyak hal yang saya pelajari tentang bekerja dalam sebuah struktur perusahaan. Apa arti kerja tim dan tanggungjawab, bagaimana memahami karakter orang lain sekaligus belajar menghadapinya. Ada banyak yang saya pelajari. Sampai di sebuah titik saya memutuskan untuk…

·      Mundur. Saya berhenti dan mengundurkan dari kantor tempat saya bekerja. Bukan, bukan karena pekerjaan saya tidak menyenangkan. Sebaliknya, pekerjaan saya saat itu adalah surga kecil dunia saya. Saya bekerja di bidang yang saya sukai, dengan rekan-rekan yang juga sudah saya anggap sebagai teman dekat, atasan yang amat menyenangkan, dan tugas-tugas yang tidak pernah saya anggap sebagai pekerjaan melainkan kesenangan. Puji Tuhan, gaji saya bagus. Saya bekerja di Jogja yang suasananya kondusif dan mendapat ilmu banyak serta kesempatan networking luas di Jakarta. Apa yang kurang? Tidak ada. Namun, seiring waktu, saya menyadari satu hal: ambisi saya bukan menjadi karyawan, bukan menjadi seorang editor. Akhir 2014, teman-teman penulis sebaya yang saya kagumi karyanya menuai banyak prestasi gemilang. Jujur saja, saya iri. Saya bersyukur dan gembira atas pencapaian mereka sekaligus merasa rendah diri. Delapan tahun menulis, apa yang sudah saya capai? Dibandingkan teman-teman saya itu, mereka lebih cemerlang daripada saya. Saya tahu, nasib karir kepenulisan setiap orang berbeda. Tapi apa yang mereka capai adalah apa yang selama ini saya inginkan. Maka, saya memutuskan untuk mundur sebagai karyawan. Karena untuk mengejar ambisi saya sebagai penulis (saya tidak akan malu mengucapkan ini, ya, saya memang ambisius) saya butuh ruang dan waktu yang luas agar bisa fokus. Saya tidak dapat melakukannya jika pikiran saya terbagi untuk pekerjaan. Akhirnya, saya mengatakannya kepada atasan saya dan minta diizinkan untuk resign. Ketika mereka bertanya apa alasan saya keluar, saya mengatakan apa yang baru saja saya tulis.

·      Barangkali ini adalah satu bentuk dari apa yang orang-orang sebut sebagai quarter-life crisis.Meskipun saya tidak merasa krisis-krisis amat. Tetapi setidaknya ada fase dalam hidup saya, di antara usia saya yang ke-25 dan 26, saya sempat merasa bimbang. Itu adalah saat-saat saya mempertimbangkan apakah terus bekerja sebagai orang kantoran dengan risiko kehilangan waktu menulis, atau meneruskan aktivitas menulis saya dengan lebih fokus sembari mengambil risiko kehilangan status karyawan dan gaji bulanan. Apakah menjaga kepastian finansial dan mengorbankan renjana, ataukah mengikuti hasrat renjana dan kehilangan pemasukan rutin. Lewat pertimbangan yang tidak singkat, saya memilih yang terakhir. Saya tidak bisa memilih keduanya. Bagi saya, menulis bukan sesuatu yang bisa dibagi-bagi dengan hal lain. Penulis-penulis lain tetap dapat menulis buku bagus sembari bekerja sebagai karyawan. Saya tidak punya kemampuan itu. Energi saya sedikit dan kemampuan fokus saya tidak dapat dibagi-bagi untuk beberapa hal sekaligus. Maka, begitulah saya mengambil risiko kehilangan pekerjaan yang, puji Tuhan, sangat nyaman. Saya memilih jalan yang tidak nyaman. Jalan yang penuh ketidakpastian. Jalan yang sepi. Jalan kepenulisan.

·      Keputusan tersebut tidak serta-merta membuat saya dapat fokus menulis. Tetap saja ada halangan. Ketika saya telah punya banyak waktu dan kesempatan menulis, datanglah setan klasik bernama rasa malas. Di masa-masa seperti ini, kehadiran seorang partner yang tidak pernah bosan mengajak saya berdiskusi dan brainstorming ide-ide apapun sangat membantu. Saya berterima kasih kepadanya. Setiap kali rasa malas mendera, saya mengingat kembali alasan saya cabut dari pekerjaan dan memutuskan untuk hanya menulis. Hikmah lain yang sangat saya syukuri dari melepaskan pekerjaan adalah, saya jadi bisa pulang kampung lebih awal dan menghabiskan waktu bersama keluarga lebih banyak. Tahun ini saya berada di rumah hampir selama sebulan. Waktu bersama keluarga yang lebih panjang dari biasanya membuat saya memiliki kesempatan untuk kembali mengenal ibu, ayah, dan adik saya. Orang-orang terpenting dalam hidup saya yang selama ini jarang saya sentuh karena ketika berada di perantauan saya terlalu sibuk dengan ambisi-ambisi sendiri. Ada fase dalam hidup mereka yang telah luput oleh perhatian saya. Tanpa saya sadari, hal tersebut membuat lubang di dada saya. Saya merasa tidak lengkap. Setelah saya tidak lagi bekerja sebagai karyawan, saya mendapatkan kesempatan berharga untuk menambal lubang itu.

Bagi saya, hidup adalah sebuah anugerah, sekaligus merupakan amanah.

Sebuah anugerah karena saya memiliki kesempatan untuk merasakan cinta dari orang-orang terpenting dalam hidup saya, dan dapat membalas cinta mereka. Sebuah amanah karena merupakan tugas saya untuk melakukan yang terbaik bagi mereka.

Selama seperempat abad, saya selalu berpikir bagaimana caranya memberikan seluruh kemampuan saya untuk memuaskan banyak orang. Saya lupa, itu adalah tindakan yang sia-sia dan melelahkan. Mencari penghargaan, perhatian, dan pujian dari orang-orang banyak membuat saya kehilangan pandangan dari orang-orang yang lebih penting, yang jumlahnya sebenarnya sedikit. Saya melupakan yang sedikit itu. Saya bahkan melupakan diri saya sendiri. Ambisi saya membuat saya mengejar sesuatu yang barangkali tidak akan pernah saya raih.

Di suatu hari di awal Juli, diiringi ucapan selamat dari adik saya dan pacarnya, saya mengucapkan sesuatu dalam hati:

Bahwa saya harus bersyukur untuk hidup saya, bahwa hidup saya adalah sebuah pesan tugas untuk membuat orang-orang yang saya cintai berbahagia, bahwa saya harus bertanggungjawab atas pilihan-pilihan yang telah saya ambil.

Saya berkata kepada diri saya sendiri.

Bahwa hidup bukan perkara menghibur dan membuat senang sebanyak-banyaknya orang yang bahkan tidak pernah saya kenal. Bahwa hidup adalah soal menjaga kebahagiaan mereka yang telah membuat saya bahagia sejak terlahir ke dunia dan merasakan kehidupan. ***

Colorless Tsukuru Tazaki

$
0
0



Murakami berhenti bersembunyi. Itu yang saya lihat ketika membaca paragraf pembuka Colorless Tsukuru Tazaki and His Years of Pilgrimage (selanjutnya saya sebut ‘Colorless Tsukuru’). Ia tidak lagi meletakkan kehidupan soliter dan ‘ideologi kesendirian’ sebagai sesuatu yang tersirat lewat adegan-adegan dan peristiwa-peristiwa yang dialami tokoh-tokoh dalam novelnya. Kali ini, Murakami secara gamblang langsung berkata kepada pembaca bahwa tokoh utama novelnya sudah lama ingin mati.

From July of his sophomore year in college until the following January, all Tsukuru Tazaki could think about was dying.

Tsukuru Tazaki memiliki empat orang sahabat. Keempatnya menyandang nama yang ternyata adalah warna-warna dalam bahasa Jepang: Akamatsu (red pine), Oumi (blue sea), Shirane (white root), dan Kurono (black field). Hanya Tsukuru Tazaki yang tidak mengandung arti warna pada namanya. Sejak saat itulah ia merasa berbeda dari keempat sahabatnya. Namanya tidak berwarna. Colorless Tsukuru.

Konflik Colorless Tsukuru langsung diperlihatkan semenjak awal. Murakami membawa saya ke dalam alam pikir Tsukuru yang-seperti tokoh-tokoh utama novelnya yang lain-depresif. Tsukuru memikirkan kematian selama berbulan-bulan, mencari cara untuk mengakhiri hidupnya dengan mudah dan cepat karena ia tidak ingin merepotkan orang lain. Lewat Tsukuru, Murakami menggambarkan dengan kuat bagaimana rasa kekosongan menguasai jiwa manusia.

Kalau saya tidak salah menghitung, Colorless Tsukuru adalah buku Murakami yang kesembilan belas (koreksi jika saya salah). Terbit berdekatan dengan novela berilustrasi The Strange Library. Ada rumor bahwa di akhir tahun 2014, Murakami ngebut mengeluarkan buku baru karena mengejar posisi di penghargaan kesusastraan Nobel (yang mana lagi-lagi tidak dia menangi).

Colorless Tsukuru memiliki konflik yang sederhana. Setidaknya lebih sederhana ketimbang, misalnya, Kafka on the Shore atau 1Q84. Novel dengan konflik persahabatan ini terasa lebih kasual dan realis, mirip Norwegian Wood. Tidak ada hal-hal gaib atau surealis yang terjadi di dalamnya. Tidak ada kucing berbicara, sarden berjatuhan dari langit, ataupun rembulan kembar. Murakami membuat ‘sekuel’ dari Norwegian Wood dengan kembali menulis novel ‘ringan’. Dan menurut saya, jika bisa dibandingkan vis-à-vis karena formatnya sama-sama realis, Colorless Tsukuru lebih bagus daripada Norwegian Wood.

Tidak banyak hal baru sebetulnya di Colorless Tsukuru. Karakter-karakternya, terutama karakter utama, masih pemuda yang (sekilas) normal, sederhana, tidak punya keinginan kuat akan sesuatu (kecuali kereta api), medioker, tidak merasa lebih dengan hidupnya tidak pula merasa kurang, dan seterusnya. Sama seperti Toru Watanabe di Norwegian Wood atau Tengo di 1Q84.

Yang menarik dari Murakami barangkali ketekunannya menggali sesuatu. Ibarat seorang penggali sumur yang andal, dia tidak akan pindah ke lubang lain sebelum lubang yang sedang ia gali mencapai kedalaman yang ia inginkan. Ia sendiri tidak tahu sedalam apa yang mesti ia capai, maka ia terus saja menggali.

Itu yang terjadi dengan elemen-elemen fiksi Murakami. Manusia yang terisolasi dari lingkungan sosialnya, ia gali sampai ke dalam. Bagaimana seorang yang sangat soliter memandang dunia maupun melihat ke dirinya sendiri. Kekosongan yang dirasakan seorang manusia karena penyebab-penyebab tertentu, keinginan untuk mati, dan perasaan dibuang dari kelompok. Hal-hal tersebut terus Murakami garap dari buku ke buku, tanpa mengetahui atau mengukur sejauh mana ia harus menggarapnya.

Di satu sisi, ini bisa menyebabkan kebosanan. Saya bercanda kepada diri sendiri, dengan angkuh mengatakan bahwa saya tahu alasan Murakami tidak menang Nobel Kesusastraan. Yakni karena ia tidak keluar dari sekat yang ia bangun di sekeliling dirinya. Ia terus-menerus menggali ke dalam, tanpa menangkap peristiwa yang terjadi di luar. Sangat mungkin analisis ceroboh saya ini keliru. Setidaknya dapat dilihat bahwa dari seluruh buku yang pernah ia tulis, hanya sedikit yang bisa dibilang Murakami melihat ‘ke luar’.

Namun, di lain sisi, bisa jadi ini menunjukkan salah satu kehebatan Murakami. Ia sangat tekun. Ia berfokus hanya pada satu lubang lantas menggali habis lubang itu sampai ia pikir tak ada gunanya ia menggali lebih dalam lagi. Hal ini dapat terlihat dari minimnya eksplorasi gaya tutur maupun tema. Dari buku ke buku, kita dapat menemukan benda-benda atau elemen-elemen yang terus muncul dan berulang. Murakami menyekat dirinya untuk berlari di satu lintasan panjang dan menulis hal itu-itu saja. Tetapi, seperti saya katakan sebelumnya, barangkali dengan melakukan hal tersebut dia mengasah kemampuan fokus dan kesabarannya sebagai seorang pengarang.

Tsukuru Tazaki dapat kita temukan di buku-bukunya yang lain dengan nama berbeda. Sifat, tingkah laku, dan kebiasaannya akan sama. Begitu pula dengan sahabat-sahabat Tsukuru, kita akan menemukan mereka di buku-buku lain milik Murakami dengan nama berbeda. Saya ingin menuduh Murakami telah terjebak pada suatu pola dan bentuk.

Mannerism. “Ciri khas” dalam sebuah karya (atau rangkaian karya, jika pengarangnya sudah menelurkan banyak buku) bisa menjadi keunggulan yang membedakan si pengarang dengan pengarang-pengarang lain, namun bisa juga jadi jurang yang berbahaya. Ciri khas membawa pengarangnya pada sebuah pakem, yang sadar atau tidak akan dia patuhi di karya-karya ia berikutnya. Padahal, ketika pakem sudah terbentuk, maka eksplorasi atau eksperimen tidak terjadi. Ketika eksplorasi atau eksperimen tidak terjadi, kreativitas menemui jalan buntu.

Lagi-lagi, saya tidak ingin ceroboh mengatakan bahwa Haruki Murakami telah menemui jalan buntu kreativitasnya. Walau bisa kita lihat dari bukunya yang satu dengan bukunya yang lain, tidak ada yang betul-betul berbeda dan baru (apakah hal ini bagus atau tidak bagi seorang penulis, masih bisa kita diskusikan lebih lanjut, namun saya sudah menyampaikan argumen tentang hal ini). Saya hanya membayangkan Murakami keluar dari kamarnya, melihat tempat-tempat baru, menemui orang-orang baru dan berbeda dengan dirinya, menjelajah ke area lain.

Jika itu terjadi, saya rasa akan ada kesegaran yang betul-betul baru dan berbeda dari karya Murakami. Dan, tentu saja ini adalah hiburan bagi pembaca setianya, yang telah berulang kali disuguhkan hal-hal serupa, tahun demi tahun.

Ah, apa-apaan ya. Saya jadi merasa terlalu sok tahu dan menggurui Murakami. Tidak tepat begitu, sih. Barangkali ini hanya wujud ekspresi saya yang perlahan-lahan mulai merasa bosan (namun saya tetap berencana menyelesaikan membaca semua bukunya) dengan hal-hal itu-itu saja yang kembali muncul, terus berulang dari satu buku ke buku lain. Jujur saja, saya jemu. Terhibur, namun jemu. Saya hanya berharap Murakami keluar dari sumurnya dan pergi ke pantai atau naik gunung.


Saya hanya penggemar yang menginginkan idolanya melakukan hal baru. ***
Viewing all 402 articles
Browse latest View live