Quantcast
Channel: Bernard Batubara
Viewing all 402 articles
Browse latest View live

Di Balik Proses Jatuh Cinta

$
0
0

Saya ingin bercerita sedikit tentang proses terbitnya buku terbaru saya: Jatuh Cinta Adalah Cara Terbaik untuk Bunuh Diri. Agar memudahkan, saya akan menyebut dengan nama yang lebih singkat: Jatuh Cinta.

Seperti pernah saya ceritakan di tulisan yang lalu, first draft atau naskah pertama Jatuh Cinta saya serahkan ke editor pada bulan Agustus. Saya mengirim dengan maksud untuk mencoba-coba saja, sebenarnya. Mengingat agak sulit menembus penerbit dengan naskah kumpulan cerita. Dibanding novel, kumpulan cerita memiliki segmen pembaca yang lebih khusus, mungkin itu sebabnya tidak banyak penerbit yang mau menerima naskah kumpulan cerita.

Alhamdulillah, ternyata kurang-lebih sebulan kemudian saya mendapat kabar baik. Editor saya, Widyawati Oktavia (Iwied), berkata bahwa naskah kumpulan cerita yang saya kirim telah diajukan dan didiskusikan di rapat redaksi. Hasilnya: Penerbit GagasMedia setuju untuk menerbitkan naskah tersebut. Tidak luput beberapa catatan yang menyertai kabar menggembirakan itu. Di antara catatan itu adalah, ada tiga cerita yang dicoret karena dianggap kurang kuat, dan saya harus menulis beberapa cerita baru untuk melengkapi benang merah buku, yakni kisah-kisah cinta dengan beragam rasa.

Tentang bagaimana gambaran cerita-cerita di dalam buku terbaru saya ini, silakan baca tulisan terdahulu saya. Kali ini saya ingin menunjukkan apa saja yang terjadi di balik proses terbitnya Jatuh Cinta.


Editing

Naskah saya kali ini digawangi oleh Gita Romadhona. Tidak secara langsung oleh Iwied karena dia sedang mengerjakan naskah saya yang lain. Namun, Iwied tetap mengawasi dan melakukan cek ulang hasil revisi.

Proses revisi berjalan lancar dan cukup singkat, tidak sampai dua minggu. Gita langsung melakukan penyuntingan setelah saya mengirim naskah utuh Jatuh Cinta versi baru dengan tambahan tiga cerita. Setelah mendapat kiriman catatan dari Gita, saya pun langsung mengerjakan revisi.

Setelah revisi selesai, Iwied mengirim naskah ke layouter untuk di-set ke bentuk halaman buku. Ilustrasi-ilustrasi buatan Ida Bagus Gede Wiraga (Hege) juga dimasukkan. Saya meminta kepada Iwied agar layout Jatuh Cinta dibuat senyaman mungkin untuk dibaca. Ukuran huruf, margin, kerning, semuanya diperhitungkan.Iwied melakukan cek ulang hasil revisi. Saya melihat langsung, karena kebetulan juga sedang ke kantor Penerbit GagasMedia di Jakarta.



Cek ulang layout bareng Iwied


Cover dan Bulu Burung

Beres dengan layout, kami berkutat dengan desain cover. Sejak awal saya sudah menyampaikan permintaan khusus kepada tim pracetak dan desain Penerbit GagasMedia agar judul buku Jatuh Cinta Adalah Cara Terbaik untuk Bunuh Diri menjadi sorotan utama pada cover. Saya ingin tulisan yang mengisi penuh halaman sampul. Berbeda dengan buku-buku saya sebelumnya yang memberi fokus pada objek atau ilustrasi, bukan teks judul.

Warna juga sempat jadi persoalan. Awalnya, saya hanya berpikir bahwa buku ini akan jadi berbeda dengan aura cover buku-buku saya sebelumnya, yang cenderung lembut, sepi, mellow, dan puitis. Saya tidak ingin buku terbaru saya terlihat puitis, apalagi lembut. Warna apa yang kira-kira masuk kriteria tersebut? Merah, hijau, biru, dan ungu, adalah beberapa pilihan. Kuning sempat menarik minat saya. Namun, akhirnya pilihan akhir jatuh kepada ungu. Alasannya adalah, setelah dibaca dengan lebih teliti, ternyata cerita-cerita di dalam Jatuh Cinta tidak semuanya manis, tidak pula seluruhnya pahit, melainkan keduanya.

Cinta itu bukan merah, yang berhasrat dan menggelora. Cinta bukan biru, yang dingin dan sendu. Cinta itu ungu. Karena ia menyimpan keduanya.

Kami mengerjakan cover Si Ungu mulai pukul delapan malam hingga pukul dua dini hari, di satu hari yang sama. Levina Lesmana (Lele) dan Jeffri Fernando (Jeffri) adalah dua orang hebat yang berada di balik pembuatan desain cover buku terbaru saya ini. Sempat kebingungan memberikan sentuhan akhir pada cover, karena kami bertiga merasa masih ada yang kurang. Sampai akhirnya Jeffri mengusulkan untuk memberi setangkai bulu burung, sebagai simbol sesuatu yang patah dan tercerabut dari tempatnya. Hati yang terlepas dari kamarnya. Bulu burung ini juga mewakili karakter salah satu tokoh dalam cerita berjudul Jatuh Cinta Adalah Cara Terbaik untuk Bunuh Diri, cerita yang judulnya dipakai untuk judul buku ketujuh saya ini.



Ngerjain cover sampai tengah malam


Begitulah, sedikit cerita tentang proses di balik pembuatan Jatuh Cinta. Sangat singkat, memang. Hanya sekitar tiga bulan. Meski demikian, saya berharap kesan yang didapatkan oleh pembaca nanti setelah membaca bukunya tidak singkat, tetapi memanjang hingga seterusnya.

Jatuh Cinta Adalah Cara Terbaik untuk Bunuh Diriakan hadir di toko buku Jabodetabek mulai minggu ini hingga akhir Desember 2014. Di luar pulau Jawa, sekitar bulan Januari 2015. Jika sudah tidak sabar, teman-teman bisa membelinya secara online di sini.

Selamat berburu!


Bara

Excerpt: Jatuh Cinta Adalah Cara Terbaik untuk Bunuh Diri

$
0
0
Ilustrasi: Ida Bagus Gede Wiraga



“Bril, aku tidak tahu mengapa aku menceritakan semua ini kepadamu. Aku baru mengenalmu dan kau bahkan bukan manusia.”

“Kau bisa bercerita apa pun, kalau itu membuat perasaanmu lebih ringan.”

Rahayu mengusap air matanya. “Yah…, aku rasa perasaanku sekarang lebih ringan. Bril, terima kasih.”

Sudah kukatakan kepadamu, bahwa Rahayu sangat cantik? Aku ralat, Rahayu bukan cantik, melainkan tidak membosankan. Ada perbedaan yang sangat jelas antara cantik dan tidak membosankan. Gadis-gadis di kampusku cantik (kau bertanya bagaimana cara malaikat kuliah? Tentu saja aku bisa kuliah, ayahku tidak disebut Dewa tanpa sebuah alasan), tapi semua gadis cantik itu membosankan. Semuanya berdandan dengan cara yang sama, mengenakan pakaian yang sama, gaya rambut yang sama, membicarakan hal yang sama, dan mengeluhkan hal yang sama. Membosankan. Rahayu tidak membosankan. Saat bersama Rahayu, entah bagaimana, aku merasa seperti sedang berada di Bumi sekaligus berada di Langit yang Tinggi. Aneh.

Aneh, tetapi menyenangkan.

Aku tidak perlu menceritakan bagian selanjutnya karena akan sangat membosankan bagimu, dan hal terakhir yang diinginkan seorang remaja sepertiku adalah menjadi membosankan bagi orang lain. Jadi, aku akan melewatkan bagian saat aku dan Rahayu jadi sering janjian untuk bertemu, menghabiskan jam-jam dengan berbicara banyak hal (pantai, musik, sejarah, agama, politik, sampai topik favoritku: novel kesukaan kami), dan merasa semakin dekat satu sama lain. Setiap kali kami harus berpisah karena Rahayu tak bisa pulang terlalu larut, yang kukerjakan hanya menghitung waktu untuk bertemu dengannya lagi esok hari. Bahkan, aku lupa dengan rencanaku kembali ke Langit.

Malah, aku memikirkan sesuatu yang lain, yang baru, yang-menurut seorang teman manusiaku-anarkis.

Aku ingin menjadi manusia.

Ya, cepat atau lambat, aku akan kembali ke Langit yang Tinggi. Kalaupun aku tidak berinisiatif untuk kembali, ayahku pasti akan mulai curiga dan mencariku di Bumi, lalu menyuruhku pulang. Intinya, karena aku malaikat, tempatku adalah di Langit. Selama apa pun aku tinggal di Bumi, aku tetap malaikat dan memiliki tugas, dan tugas-tugasku itu tidak bisa kulakukan kalau aku terus-menerus tinggal di Bumi.

Maka, kalau aku ingin terus bersama Rahayu, aku harus berubah menjadi manusia.

“Kamu anarkis, Bril!” kata teman manusiaku. Namanya Jon (sesungguhnya namanya Joko Purnomo, tapi ia tidak suka dengan namanya dan ia menggemari Chris John, maka semenjak itu ia memperkenalkan diri kepada semua orang dengan nama Jon). Kami sedang duduk-duduk di kantin kampus saat aku mengutarakan kenginanku.

“Apa pun sebutannya, Jon, aku ingin jadi manusia. Demi Rahayu.”

Edan, kamu. Apa kata ayahmu kalau dia tahu kamu ingin jadi manusia? Ah, edan.”

“Aku tidak peduli, Jon. Aku akan terbang ke Langit, lalu memberitahukan sendiri keinginanku kepada Ayah.”

Wong kenthir. Kalau kamu dihukum dan tak bisa balik lagi ke sini, gimana?”

“Kau tak akan tahu sebelum mencoba.” Aku menyeringai.

Jon menggeleng. Ia sudah paham aku tak bisa dilarang. Semakin diragukan, semakin aku yakin bahwa keinginanku adalah sesuatu yang harus kulaksanakan. Suatu hari nanti, saat aku berkata bahwa aku mencintainya, Rahayu boleh meragukanku, karena setelah itu aku akan semakin yakin untuk mencintainya dan akan membuktikan kepadanya bahwa aku tidak asal bicara. Begitulah seharusnya yang kau lakukan, Teman, saat orang-orang meragukanmu, kau harus tunjukkan kepada mereka bahwa mereka keliru.

Itulah yang kulakukan kepada Jon. Malamnya, aku terbang ke Langit yang Tinggi. Dengan dada membusung, rasa percaya diri yang genap, dan sikap optimistis, aku menghadap Ayah. Aku berlutut di hadapannya yang sedang duduk di singgasana sambil mengunyah anggur biru, lalu aku pun berkata, “Ayah. Aku ingin menjadi manusia.”

Apa kau sudah memperkirakannya? Apa kau sudah memperkirakan bagaimana reaksi ayahku saat melihatku kembali ke langit dan berkata kepadanya sesuatu yang sangat konyol seperti ingin menjadi manusia? Mungkin, kau sudah memperkirakannya. Namun, beginilah reaksi ayahku. Di luar dugaanku, ia tidak marah, tidak melemparku dengan piala berisi anggur putih ataupun mencengkeram tanganku. Tidak. Kau tahu apa yang ayahku lakukan? Ia tertawa.

Ayahku tertawa. Tawanya meledak, mungkin sampai terdengar ke seluruh penjuru langit dan sampai di tempatmu sebagai gelegar petir.

“Apa kau bilang? Ulangi lagi. Apa? Apa? Ayo ulangi lagi. Apa kau bilang?”

“Aku ingin menjadi manusia,” ulangku.

Ia tertawa lagi.

“Bocah! Apa yang kau lihat di Bumi sana, apa yang kau saksikan? Kau lihat kebenaran ucapanku, bukan?” Ia tertawa. “Sekarang kau bilang apa, ingin jadi manusia? Apa yang terjadi dengan kepalamu, terbentur batu kali? Tak pernah kudengar sebelumnya hal yang sangat konyol. Kau dengar itu? Tak pernah.” Lalu, ia tertawa lagi.

“Aku ingin menjadi manusia. Ayah seorang dewa dan tahu banyak hal, tolong beri tahu aku bagaimana caranya,” pintaku.

Kali ini, Ayah tidak tertawa.

“Kau benar-benar ingin jadi manusia? Di antara semua makhluk; kambing, kuda, kupu-kupu, pohon, jerapah, semut, penguin, laba-laba, yang memiliki kemampuan lebih mulia dan lebih indah, kau memilih untuk jadi manusia?”

Aku mengangguk.

“Kalau begitu,” kata Ayah, “kau harus bunuh diri.”

“Maaf? Apa?”

“Kau mendengarku. Kau harus bunuh diri.”

“Bunuh-diri?”

“Bocah, anakku, kau tak berharap ada cara yang mudah untuk mengubah dirimu menjadi sesuatu yang lain, lebih-lebih sesuatu yang seburuk manusia, bukan?”

“Tidak, Ayah, tentu tidak.”

“Berubah adalah hal yang sangat sulit, Anakku.” Tiba-tiba saja, untuk kali pertama dalam hidupnya, ayahku bicara dengan nada yang tidak terlalu membuat kesal. “Kau tahu berapa lama waktu yang kubutuhkan untuk berubah menjadi seperti yang ibumu mau? Empat musim, anakku, empat musim lamanya yang kubutuhkan untuk berubah menjadi laki-laki yang diinginkan ibumu! Perubahan itu niscaya, kata mereka. Tapi, mereka yang berkata seperti itu tak tahu apa-apa tentang laki-laki yang berusaha mengubah dirinya demi cinta. Kau mungkin bisa berubah, dengan semua upaya keras dan waktu yang banyak, tapi ada hal-hal yang tak bisa diubah. Katakanlah, kau bisa berubah jadi manusia, lalu apa yang akan kau lakukan dengan itu?”

“Aku mencintai seorang gadis, Ayah.”

Aku tak tahu mengapa aku memberitahukan hal itu, mungkin karena suasana yang muncul saat Ayah menceritakan keresahannya. Aku merasa, untuk kali pertama, bisa bicara dengan Ayah.

Ayah tertawa lagi. “Harusnya aku tahu”, katanya. “Ya, harusnya aku tahu. Terserah kau. Aku sudah memberitahukan apa yang ingin kau dengar. Kau lihat, kan, ayahmu ini tidak selamanya jahat seperti yang kau pikirkan. Jangan kira aku tak tahu apa yang kau pikirkan tentang ayahmu, Bocah. Kau tidak menyukaiku. Tapi, dalam hatimu kau tahu semua yang kukatakan benar. Kau jatuh cinta dengan manusia, lalu ingin menjadi manusia? Kau sudah tahu caranya. Kau harus bunuh diri.”

Bunuh diri.

Ayah melanjutkan, sembari meninggalkan singgasananya, lalu berjalan melewatiku, menuju pintu istana. “Tentu saja hanya orang bodoh dan ceroboh yang mau bunuh diri demi cinta.” Lalu, ia pun tertawa.





Tunjukkan Jatuh Cinta Milikmu

$
0
0





Buku terbaru saya, kumpulan cerita Jatuh Cinta Adalah Cara Terbaik untuk Bunuh Diri, sudah terbit.

Hingga akhir bulan ini, ia akan tiba di beberapa toko buku di kota-kota seputar pulau Jawa. Bulan Januari 2015 dijadwalkan untuk hadir di kota-kota lain di pulau Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, dan Bali (semoga saja hingga ke bagian paling timur Indonesia).

Kalau kamu kesulitan atau tidak menemukan toko buku di kotamu, kamu bisa memesan buku saya secara online. Buku akan diantar sampai ke alamat rumah. Beberapa di antara toko buku online itu menyediakan buku saya dengan edisi bertandatangan asli.

Daftar toko buku online yang menjual Jatuh Cinta Adalah Cara Terbaik untuk Bunuh Diri bisa dilihat di sini.

Jika kamu sudah memiliki buku ketujuh saya ini, saya berterima kasih dan menunggu catatan, komentar, atau ulasanmu. Kamu bisa menyampaikan kesan-kesan atau menuliskan reviewmu di halaman Goodreads Jatuh Cinta Adalah Cara Terbaik untuk Bunuh Diri, di sini.

Kabari saya kalau kamu sudah menemukan buku ini di kotamu. Saya akan meneruskan kabar darimu, sehingga teman-teman yang lain mengetahui dan bisa menemukan buku ini juga.

Saya juga akan sangat senang kalau kamu meluangkan waktu untuk berfoto dengan buku tersebut dan mengirimkannya ke saya lewat Twitter: @benzbara_.

Selamat berburu. Selamat berfoto. Selamat membaca. Saya tunggu kabar darimu!



Bara



Kronik Perjalanan Sepasang Angka Sembilan

$
0
0



Cerita Kecil tentang Kartu Ucapan, Tempat yang Tua, dan
Bagaimana Kita Diselamatkan oleh Benda-Benda Mati 








G,

Sejauh yang bisa kuingat, kartu ucapan pertama darimu yang kuterima adalah sebuah kartu berwarna hitam dengan tulisan Thank You berwarna putih di permukaannya. Saat itu tanggal 1 Juni 2014, aku baru menyelesaikan manuskrip novel terbaruku. Novel itu berlatarkan kota kelahiranku, dan beberapa kali aku pernah bercerita kepadamu tentang keinginanku menuliskan sesuatu tentang kota kelahiranku. Kamu memberiku selamat lewat kartu ucapan itu. Pada bagian dalam kartu yang berlipat dua tersebut, kamu menuliskan sesuatu tentang rasa syukur dan harapan. Jika waktu bisa diputar balik, katamu, aku akan memilih untuk tetap bertemu denganmu. Aku tersenyum membacanya, dan tersenyum lagi saat mengingatnya.

Kartu ucapan kedua kamu berikan sebulan setelah yang pertama. Tepatnya, pada awal bulan Juli 2014. Kali ini berukuran panjang. Seperti kartu sebelumnya, yang ini juga berwarna gelap,. Di balik warna-warna cerah yang tersemat pada pakaianmu di awal-awal kita berkenalan, aku menyadari bahwa kamu memiliki ketertarikan terhadap warna-warna gelap. Barangkali warna-warna gelap itu memberi kontras pada sesuatu yang lebih terang yang menyertainya, seperti kata-kata yang kamu tulis di kartu kedua itu: sebuah ucapan selamat ulang tahun, ungkapan syukur (kamu sering bersyukur, ini salah satu yang membuatku menyukaimu), dan kalimat cinta.

Kartu ucapan kedua itu kamu serahkan kepada sembilan yang pertama.

Sementara itu, aku lebih sering memberimu surat-surat kecil. Kadangkala hanya serupa memo di sehalaman kertas yang kusobek dari bloknot tempat aku sering merekam ide-ide tulisanku atau hal-hal lain yang kupikirkan. Pernah juga beberapa kali aku memberimu kartu ucapan, seperti ketika aku menghadiahkanmu sekotak karya Pramoedya Ananta Toer, atau saat suatu malam di sebuah kafe di sudut Kemang, aku menutup percakapan kita dengan menyodorkan kepadamu sebuah novel dan kartu berisi ucapan terima kasih.

Harusnya, memiliki ponsel, laptop, dan teknologi berkirim pesan secara digital membuat kita tidak perlu repot-repot mengungkapkan sesuatu lewat kartu ucapan atau surat-surat kecil. Namun, kita tidak menginginkan itu. Untuk beberapa hal, kita lebih menyukai sesuatu yang tua, kuno, dan tidak praktis. Menulis surat dan kartu ucapan, misalnya. Kita tahu, meski setiap malam telah banyak yang kita perbincangkan lewat telepon maupun messenger, tetap ada hal-hal yang hanya bisa disampaikan dengan tulisan tangan. Itu sebabnya kamu memberiku kartu ucapan dengan tulisan tanganmu sendiri, dan aku kerap memberimu surat-surat pendek dengan tulisan tanganku sendiri.

Tulisan tanganku dan tulisan tanganmu bertemu dengan cara yang tidak bisa dilakukan oleh perangkat-perangkat digital. Benda yang telah menjadi darah-daging manusia yang hidup di masa ini.

G,

Agustus 2014, kita pergi ke tempat yang tua. Aku lupa siapa yang mengusulkan pertama kali, tapi pada hari Minggu di bulan kedelapan itu kita berangkat ke Museum Fatahillah. Sayangnya, museum itu sedang tidak dibuka. Kita ke sana tepat pada saat berlangsungnya peringatan hari kemerdekaan. Saat itu, aku merekam wajahmu. Kamu mengenakan kaus putih dengan tulisan hitam berbunyi “Temui Aku di Perpustakaan” dalam bahasa Inggris. Aku mengenakan kaus serupa, namun dengan warna berkebalikan. Kita menghampiri tukang es potong dan membeli dua, lalu menghabiskannya dalam kendaraan. Sebelum menikmati es potong itu, kita berlari melewati jembatan yang udaranya tercemar aroma tumpukan sampah berenang di permukaan sungai di bawahnya. Aroma sampah itu membuat kita berlari sambil tertawa.

Kamu sangat senang pergi ke tempat yang tua. Aku menduga, mungkin pergi ke tempat yang berasal dari masa lalu membuatmu menemukan bagian yang sempat hilang darimu. Aku sering berkata bahwa kita punya jiwa yang tua. Kamu menyukai bangunan-bangunan berarsitektur klasik dan lagu-lagu lawas (kamu terkejut ketika di sebuah sore saat kita tengah melintasi jalan raya ibukota, aku memutar di ponselku lagu-lagu cinta evergreen, lagu-lagu yang didengar oleh ayah dan ibu kita). Di sebuah kartu ucapan yang kuberikan beserta buku-buku N. H. Dini,  aku menulis bahwa aku merasa pernah mengenalmu di beribu kehidupan sebelumnya. Aku merasakan itu benar, karena saat kita pertama kali bertatap wajah pada bulan November 2013, aku seperti melihat orang yang telah lama aku lihat. Padahal, tentu saja, itu pertama kalinya aku melihatmu secara langsung.

Sebulan setelah perjalanan ke museum ibukota, September 2014, aku membaca puisi di pelataran candi. Malam sebelumnya kamu memintaku untuk meminta tolong kepada sahabatku agar merekam saat-saat aku membacakan puisi. Maka, aku melakukannya. Rekaman itu kuserahkan kepadamu, beberapa hari setelahnya, disertai sebuah buku berisi puisi-puisi yang dibacakan penyair-penyair muda di depan pelataran candi. Puisi-Puisi di Jantung Tamansari, nama buku itu.

Bersama buku itu juga aku memberimu sebuah gelang yang kurangkai sendiri. Aku belum pernah merangkai gelang sebelumnya. Jika aku ingin memberi gelang ke seorang gadis, akan lebih praktis dan ringkas bila aku membeli gelang yang sudah jadi. Tapi aku tidak melakukannya kepadamu. Kamu bilang, kamu menyukai benda-benda buatan tangan, sekecil dan seremeh apapun benda itu. Maka dengan ketidaktahuan yang penuh, kenekatan yang hakiki, aku pergi ke toko buku membeli beberapa bungkus manik-manik berwarna-warni dan dua gulung benang.

G,

Mungkin kamu sadar dan bertanya-tanya mengapa aku memulai kronik ini dari bagian pertengahan kisah kita. Mungkin pula tidak. Aku memulainya dengan kartu ucapan yang kamu berikan, karena pada saat itu pertama kalinya kamu mengungkapkan rasa syukur atas kita.

Dengan rasa syukur pulalah, aku ingin mengajakmu kembali ke awal, mengingat bagaimana kita berkenalan, bertemu, dan menyadari bagaimana kehidupan kisah kita kerap diselamatkan oleh benda-benda mati.

Februari 2014. Aku masih ingat pertengkaran pertama kita.

Setibanya aku beranjak dari kota dengan penuh kenangan, kamu menjemputku di bandara. Kamu mengenakan kemeja dan celana pendek berwarna biru telur asin. Kacamata tidak lepas dari wajahmu yang, entah mengapa, menyimpan kegelisahan. Aku bisa menangkapnya saat menatap matamu dari jarak dekat, ketika kita bersantap malam di satu restoran cepat saji di sana. Aku memilih untuk mengenyahkannya, karena kupikir sering waktu kamu akan baik-baik saja.

Sayangnya, aku keliru.

Di perjalanan menuju tempat tinggal sementaraku di kotamu, kita berbicara dengan wajar, bercanda dengan wajar, dan tertawa dengan wajar. Semuanya seperti baik-baik saja. Namun, saat kita singgah di minimarket di dekat tempat tinggal sementaraku (kita biasa menghabiskan waktu di, bahkan menulis dan berdiskusi panjang), perselisahan pun tak dapat menahan dirinya lagi untuk muncul.

Kita membicarakan sesuatu. Sebuah masalah. Hal yang membuatmu gelisah dan pada akhirnya juga membuatku gelisah. Perdebatan dimulai. Ego menguat. Rasa terpojok di pihakku dan rasa jengkel di pihakmu. Seluruhnya memuncak saat kamu bersidekap dan membuang napas lelah, lalu hendak beranjak dari kursi dan keluar. Aku mendahuluimu. Pada saat itu aku nyaris tidak peduli dengan hujan amat deras di luar. Aku berjalan keluar minimarket, menyeberang jalan raya, pulang. Aku tidak tahu apa yang kamu lakukan. Setibanya di depan pintu kamar, ponselku berbunyi. Kamu mengirim pesan. Tas kamu tertinggal, aku di depan gang kosmu, datanglah kemari dan ambil. Aku membalasnya, Tidak, jika aku ambil, maka kamu akan pergi dan tidak kembali. Setelah beberapa saat, kamu membalas lagi, dan pesan terakhir pada malam itu membuatku bernapas lega.

Aku tidak pergi, datanglah kemari. Begitu katamu.

Beberapa bulan setelahnya, kamu bilang bahwa seandainya tas itu tidak tertinggal, barangkali kamu akan langsung pergi dan tidak menghubungiku lagi.

Kali kedua kita diselamatkan oleh benda mati adalah pada bulan Mei 2014, tepat tiga bulan setelah penyelamatan pertama. Kali ini oleh sepotong kaus.

Saat itu kita sedang bertengkar, atau mungkin lebih tepatnya berbicara dengan serius tentang satu hal. Satu hal yang kita pikir dapat menjadi dinding bagi segalanya, mengakhiri semua yang telah kita mulai. Saat menangkap kesungguhanmu, aku mengembuskan napas panjang dan bergumam dalam hati, Mungkin ini saatnya. Kita nyaris bersepakat untuk menutup cerita yang tengah berlangsung, sebelum akhirnya kamu menemuiku lagi untuk mengembalikan sepotong kaus yang tertinggal.

Secara tidak sadar, aku menyimpan harapan pada sepotong kaus itu, dan mengumpulkan keberanian untuk mengajakmu berjalan lagi. Kamu mengiyakan.

Sepotong kaus yang tertinggal itu kumasukkan kembali ke dalam tas yang dulu juga pernah tertinggal. Benda-benda mati menyelamatkan kita.

G,

Pertengkaran-pertengakaran itu membuatku cemas, khawatir, takut, sekaligus bersyukur. Aku cemas karena khawatir pertengkaran-pertengkaran itu membuat kita berpisah. Namun, aku bersyukur karena akhirnya kita bertengkar. Aku bersyukur atas pertengkaran-pertengkaran itu. Bagiku, pertengkaran adalah petunjuk bahwa kita sedang memperjuangkan sesuatu.

Tentu saja kamu juga tahu, bahwa dua orang tidak akan bertengkar jika mereka tidak sedang memperjuangkan apa-apa.

G,

Sudah berapa bulan yang kucatat di sini? Mari kuulang. Februari, Mei, Juni, Juli, Agustus, dan September. Sudah enam bulan. Tertinggal enam bulan yang belum kukisahkan.

Maret dan April 2014 adalah bulan-bulan penuh dengan buku. Aku memberimu buku-buku Pram dan N. H. Dini. Aku sangat ingin kamu membaca karya-karya Pram. Seperti yang pernah kukatakan kepadamu, Pram adalah satu-satunya penulis Indonesia yang beberapa kali dinominasikan untuk meraih penghargaan Nobel Sastra. Aku sangat senang ketika membaca sebuah tulisan di rumah mayamu, kamu mengungkapkan kegembiraanmu seusai membaca Gadis Pantai dan Bumi Manusia.

Di bulan ketiga 2014, kita pergi ke sebuah festival buku di salah satu daerah tua di ibukota. Cikini. Bulan Oktober di tahun yang sama, kita pergi ke satu toko buku bekas, juga di tempat yang sama. Aku menangkap rasa takjub dan gembiramu saat menelusuri tumpukan buku tua yang diletakkan tidak beraturan. Kamu seperti sedang menghirup aroma sejarah dan kisah-kisah yang datang dari masa lampau. Aroma itu menelusup ke lubang hidungmu, menguar di dalam dirimu, dan menciptakan binar di matamu.

Aku menyukaimu karena kamu menyukai benda-benda tua, hal-hal yang telah lewat dan terlupakan oleh orang-orang.

November 2014 adalah bulan milikmu. Sembilan yang kedua. Aku terbang ke kotamu sembari mengingat bahwa kamu sempat berbicara tentang angka delapan dan kita pernah tertawa lebar karenanya. Biarlah delapan menjadi misteri, katamu, karena tidak semuanya menuntut jawaban. Aku menyukai delapan itu (kamu tertawa saat aku bilang bahkan aku bangga dengan delapan kita), dan menyukai sembilanku dan sembilanmu. Sembilan kita.

G,

Bulan ini, Desember 2014, adalah bulan yang tepat untuk mengingat betapa kita sama-sama tidak pernah menyangka bahwa semuanya akan dan dapat berlangsung selama ini. Aku pernah berkata terus terang kepadamu, aku mengira ini hanya akan berlangsung tidak lebih dari beberapa masa. Ternyata, kamu juga memiliki sangkaan yang sama. Namun, seperti yang telah sering terjadi, Tuhan dan kehidupan menunjukkan di depan wajah kita bahwa kita keliru.

Hari ini, 25 Desember 2014, saat orang-orang berdebat tentang apakah sebuah ucapan boleh dan tidak boleh diberikan, kita memilih untuk mengingat hal lain. Bagaimana detik menjadi menit, menjadi jam, menjadi hari, menjadi minggu, menjadi bulan, dan menjadi tahun.

Satu tahun telah berlari, G. Kita tidak tahu apa saja yang telah terjadi, maka kita mengingat-ingat. Beginilah caraku mengingat.

Aku masih ingat saat kita pertama kali bertemu, dengan cara yang klasik dan klise. Bertegur sapa di sudut kafe, duduk berdua bersama minuman masing-masing yang mungkin lupa kita habiskan karena terlalu larut dalam percakapan-percakapan tentang banyak hal, lalu pulang dari sana sembari menyimpan rasa lain di dada sendiri-sendiri. Aku tidak tahu itu apa. Kamu juga barangkali tidak tahu itu apa.

Yang kita tahu, pertemuan pertama pada bulan milikmu setahun yang lalu itu, telah menjadi halaman yang tidak pernah kusangka akan kumiliki. Seperti sebuah buku yang tidak ada dalam daftar bacaanku. Ia muncul begitu saja, di hadapanku, diam namun menyimpan sorot yang seolah-olah berkata: Inilah kisahmu selanjutnya.

G,

Beginilah caraku mengingat, merekam, dan menyampaikan kepadamu betapa aku sangat bersyukur menemuimu. Terima kasih telah hadir di lintasan hidupku.

Selamat satu tahun.

Aku inginkan satu tahun lagi.

Dan lagi.

Dan lagi.

Dan lagi.




Dari yang sangat mencintaimu,



B

Jatuh Cinta: Virtual Book Tour

$
0
0


Mulai 26 – 30 Desember 2014, penerbit GagasMedia mengadakan Virtual Book Tour.

Dalam tur maya ini, 15 (lima belas) orang yang terdiri dari editor, teman, dan blogger yang akan membahas tiga buku. Di antaranya adalah buku ketujuh saya: Jatuh Cinta Adalah Cara Terbaik untuk Bunuh Diri.

Ada 5 (lima) orang yang akan menulis di blognya tentang Jatuh Cinta Adalah Cara Terbaik untuk Bunuh Diri, mereka adalah: Gita Romadhona, Herdiana Hakim, Dimas Tayo, Bimo Rafandha, dan yang terakhir Martina Sugondo. Mereka akan membahas sesuatu di blognya, dan yang terpenting adalah ini: mereka masing-masing akan membagi 1 eksemplar gratis Jatuh Cinta Adalah Cara Terbaik untuk Bunuh Diri.

Bagaimana cara mengikuti virtual blog tour ini, terutama: bagaimana cara mendapatkan buku gratis itu? (he he he) Mudah sekali. Kamu hanya perlu follow mereka di Twitter, baca tulisan blog mereka yang membahas buku saya, lalu tinggalkan komentar di sana.

Ini adalah jadwal Virtual Book Tour Jatuh Cinta. Catat tanggal, akun Twitter, dan tentu saja blognya. Selamat mengikuti tur jatuh cinta!


- 26 Desember 2014: Gita Romadhona
  Twitter: @gitaromadhona

- 27 Desember 2014: Herdiana Hakim
  Twitter: @herdianahakim

- 28 Desember 2014: Dimas Tayo
  Twitter: @dimastayo

- 29 Desember 2014: Bimo Rafandha
  Twitter: @bimorafandha

- 30 Desember 2014: Martina Sugondo
  Twitter: @_marsh113_


Yang Paling Relatif adalah Waktu

$
0
0


Catatan Akhir Tahun 2014



Tak ada yang lebih relatif di dunia ini selain waktu. Atau Waktu. Saya suka membayangkan kata Waktu dengan huruf besar. Bukan karena apa-apa, melainkan karena saya merasa Waktu adalah zat paling ajaib yang pernah diciptakan. Ia tidak bisa dihitung, dipotong, dilihat, dimusnahkan. Mungkin bisa dijebak dengan tulisan, kamera, atau rekaman video, namun tetap saja Waktu adalah Waktu yang tidak bisa dipegang, dirasakan, ataupun diukur.

Berapa lama waktu yang telah saya lalui sejak awal tahun 2014 hingga akhir tahun 2014? Jika menggunakan perhitungan manusia, tentu saja jawabannya adalah: satu tahun. Tapi kenapa saya merasa 1 Januari 2014 seperti baru kemarin? Saya merasa saya tidak sedang atau telah melewati satu tahun, melainkan hanya satu hari. Saya merasa waktu telah berlari. Teramat kencang. Perasaan baru kemarin saya mengucapkan Selamat tahun baru! kepada diri sendiri, eh tahu-tahu sekarang sudah bersiap-siap mengucapkan kalimat yang sama lagi. Waktu berlari, melesat, sampai-sampai saya lupa, apa saja yang telah saya alami sepanjang tahun ini.

Saya ingin mengingat:


Januari 2014.



Di bulan pertama 2014, saya telah mengambil keputusan besar. Dua keputusan besar sekaligus. Menjadi karyawan dan pindah ke Jakarta. Orang-orang yang mengenal saya tahu bahwa saya bukan tipe yang senang jadi karyawan, bekerja di bawah perintah orang lain, masuk ke dalam struktur, diikat oleh kontrak dan aturan-aturan, juga punya jam kantor. Memang ayah dan ibu saya sempat menginginkan saya untuk jadi polisi dan pegawai negeri, tapi toh itu tidak terjadi dan pada saat yang sama saya menyadari bahwa saya lebih senang hidup bebas, punya pemasukan tanpa harus bekerja secara rutin pukul sembilan hingga lima sore. Namun, akhirnya saya memutuskan untuk keluar dari zona nyaman saya, didorong rasa penasaran, ketertarikan terhadap pekerjaan yang ditawarkan, dan dukungan dari orang terdekat.

Saya memutuskan untuk menjadi karyawan. Menjadi editor di sebuah perusahaan penerbitan. Di Jakarta. Kota yang paling saya hindari. Kota terakhir yang akan saya pilih sebagai tempat tinggal jika saya tidak bisa bermukim di luar negeri. Seorang penulis, teman mengobrol, juga editor berinisial W yang menawari saya kesempatan baik itu. Dia menghubungi saya setelah mungkin dulu sempat mendengar celetukan saya bahwa saya ingin jadi editor. Saya menerima ajakan W karena dijanjikan untuk bekerja di Jogja, tempat saya tinggal sekarang. Jadi, cukup merasa aman karena tidak perlu tinggal seterusnya di Jakarta. Tapi toh tetap saja, saya musti magang selama kurang-lebih tiga bulan di kantor pusat di Jakarta, dan itu artinya saya harus tinggal di kota yang kata Dewi Lestari ‘penuh dualisme’ itu.


Februari 2014.

Bulan kedua saya memperoleh pengalaman pertama jalan-jalan ke luar negeri. Jangan tertawai saya, ya, karena saya akan terlihat norak di bagian ini. Tidak jauh-jauh perjalanan itu sebetulnya, cuma ke Singapura. Tapi saya tetap merasa girang karena saya belum pernah naik penerbangan internasional sebelumnya. He, he, he. Kami berempat waktu itu. Saya dan tiga orang yang memang pejalan. Saya sendiri bukan. Kami mendapat sponsor dari sebuah agency yang bekerjasama dengan badan pariwisata Singapura. Kami diongkosi untuk jalan-jalan ke tempat-tempat hiburan di sana. Tugas kami hanya mengunggah tweet, agar teman-teman di dunia maya mengetahui tentang tempat-tempat itu. Kapan pariwisata Indonesia bikin seperti yang beginian, ya?


Maret 2014.

Saya memasuki proses final penggarapan buku keenam, sebuah novel berjudul Surat untuk Ruth, yang manuskripnya sudah saya selesaikan Juni 2013. Novel yang mengambil latar Bali, Malang, dan Surabaya ini adalah novel paling tipis yang pernah saya tulis. Bercerita tentang cinta dan kehilangan, tema yang memang kerap saya garap, karena kemampuannya untuk menyentuh banyak orang. Di bulan Maret kami menyelesaikan semua yang harus diselesaikan: penyuntingan akhir, desain sampul, tata letak, dan rencana terbit. Pada bulan ini juga, saya selesai magang di Jakarta dan memulai profesi baru sebagai editor yang bekerja di Jogja.


April 2014.




Buku keenam saya terbit. Surat untuk Ruth. Kami meluncurkannya di Jakarta pada sebuah acara bazar dan festival buku. Yang datang cukup ramai. Saya senang sekaligus cemas pada saat itu, karena untuk pertama kalinya saya menulis dan menerbitkan novel yang memiliki nuansa berbeda dengan novel-novel roman populer saya sebelumnya, Cinta dengan Titik dan Kata Hati. Novel Surat untuk Ruth memiliki ambience yang lebih gloomy, pelan, dan isu yang juga meningkat usianya, yakni menjelang pernikahan. Saya sempat tidak yakin saat itu apakah buku tersebut bakal diterima dengan baik. Namun, alhamdulillah, ternyata Surat untuk Ruth tetap mendapat sambutan hangat oleh teman-teman pembaca.


Mei 2014.


Tur Surat untuk Ruth. Saya dan tim penerbit mendatangi beberapa kota di Indonesia. Di antaranya Jakarta, Depok, Bekasi, dan Surabaya. Saya menemui pembaca di kota-kota itu untuk memperkenalkan Surat untuk Ruth. Bertemu langsung dengan pembaca adalah pengalaman yang selalu menyenangkan, dan tidak pernah gagal membuat saya tersenyum dan bersyukur. Memang, saya lebih sering menulis untuk kepuasan diri sendiri, namun antusiasme dan komentar pembaca lah yang acapkali memberi energi tersendiri bagi saya, yang membuat saya terus menulis dengan semangat ingin berkembang lebih baik lagi.


Juni 2014.

Saya menyelesaikan naskah novel baru, sebuah roman berlatarkan kota kelahiran saya, Pontianak. Manuskrip tersebut berjudul nama tokoh-tokoh utamanya, Sarif & Nur. Manuskrip novel itu saya tulis setelah mendapat ajakan dari editor saya untuk bergabung dalam sebuah proyek novel konseptual bersama lima penulis lain. Tema proyek novel itu adalah ‘siklus hubungan cinta’, mulai dari pertemuan dengan orang asing, keragu-raguan akan cinta, berpacaran, putus, move on, hingga mendapatkan pasangan menikah. Saya kebagian di tahap berpacaran. Sarif & Nur berkisah tentang pemuda dan gadis Pontianak yang memiliki impiannya masing-masing, saling jatuh cinta karena alasan masing-masing, dan tergoncang pula hubungan mereka oleh alasan masing-masing. Saya menyisipkan satu-dua isu politik dan lingkungan dalam manuskrip ini, tentu saja dengan porsi yang terbilang kecil, karena saya tidak sedang bertendensi ingin menulis novel politik atau lingkungan. Manuskrip Sarif & Nur hingga saat ini masih dipelajari oleh editor. Rencananya akan diterbitkan pada bulan-bulan awal tahun depan, 2015.


Juli 2014.

Setiap tahun, bulan Juli adalah bulan istirahat. Saya mengingat hari lahir pada bulan ini. Sekaligus mengingat apa saja yang sudah saya lakukan sepanjang hidup saya. Melakukan refleksi dan evaluasi. Saya mengingat-ingat lagi, apa yang saya inginkan? Apa yang hendak saya capai? Apa yang sudah saya lakukan untuk hal itu? Apa yang saya tuju? Apa yang tidak pernah saya sentuh, kurang banyak saya lakukan, atau yang terlewat oleh penghilatan saya? Juli adalah waktu untuk memutar balik, melihat ke belakang, demi memberi perhatian lebih pada masa kini, dan merancang rencana yang lebih baik untuk diri sendiri di masa depan. Saya mendapat hadiah dari seorang yang spesial di hari ulang tahun saya. Kian spesial karena saya juga mendapat presiden baru. Dua peristiwa besar sekaligus terjadi di bulan ini: Piala Dunia dan Pemilihan Presiden. Sayangnya, tim sepakbola jagoan saya tidak menang, dan saya tidak ikut mencoblos presiden.


Agustus 2014.

Saya lebih banyak belanja buku di bulan ini. Ingin sekali saya bilang ‘Saya lebih banyak membaca’, namun kenyataannya tidak demikian. Kegilaan saya membeli buku mulai kumat lagi, untungnya tidak separah dahulu. Jauh lebih terkontrol. Tapi tetap saja, saya membeli lebih banyak dari yang bisa saya baca. Tumpukan buku di rak buku dan lemari pakaian semakin tinggi, sementara kemampuan dan fokus membaca saya tidak juga membaik. Yah, tidak apa-apa, saya toh tidak mendeklarasikan diri sebagai pembaca, melainkan penumpuk buku, book hoarder. He, he, he.


September 2014.





Bersentuhan lagi dengan puisi, meski tidak sangat intens. Hanya percikan gairah yang muncul kembali setelah sekian lama mati suri. Saya sedang dan masih tertarik untuk membaca dan menulis cerita pendek atau novel, ketimbang puisi. Persentuhan dengan puisi itu terjadi setelah pada suatu hari saya dihubungi oleh seorang penyair asal Jogja yang saya kagumi berinisial GM. Ia mengajak saya untuk berpartisipasi di sebuah festival pembacaan puisi. Saya diminta untuk mengirim beberapa puisi, dan jika dianggap layak, maka saya akan diundang untuk membaca puisi di acara tersebut. Saya membaca puisi di acara tersebut bersama kalau tidak salah sepuluh penyair muda lain (atau lebih, saya agak-agak lupa). Puisi-puisi terbaru yang saya bacakan itu diterbitkan dalam sebuah kumpulan puisi bersama dengan judul Puisi-Puisi di Jantung Tamansari.Buku puisi tersebut dicetak sangat terbatas dan hanya disebar di acara festival itu.


Oktober 2014.

Saya mulai menulis naskah novel baru. Judul sementaranya: Eros. Hingga saat ini, saya baru menyelesaikan bab pertama. Tampaknya perjalanan manuskrip ini akan perlahan. Saya tidak ingin tergesa-gesa. Namun, saya tetap memasang target. Terlebih karena editor saya sudah bertanya apa yang ingin saya kerjakan tahun depan. Saya menceritakan sedikit tentang Eros. Dari sana saya mendapat dorongan untuk memasang target. Saya ingin manuskrip Eros kelar tahun depan. Terbitnya? Saya belum tahu. Dari gelagatnya, editor saya ingin Eros terbit tahun depan bersama Sarif & Nur. Saya sendiri masih belum pasti dan yakin dengan rencana itu. Semoga saja kapanpun manuskrip-manuskrip tersebut terbit, mereka terbit dengan kondisi terbaik.

Di bulan ini pula, saya menjual hak adaptasi novel Surat untuk Ruth ke sebuah production house. Screenplay Production,nama production house itu. Seorang penulis skenario berinisial VH yang juga menjadi perwakilan Screenplay Production, menghubungi saya dan menyampaikan minatnya untuk mengadaptasi Surat untuk Ruth ke layar lebar. Kami bertemu di Jogja dan berbincang-bincang tentang konsep kreatif yang kami inginkan untuk film Surat untuk Ruth. Saya menemukan kesamaan visi dengan VH, dan itulah yang akhirnya membuat saya setuju menjual hak adaptasi Surat untuk Ruth. Saat ini, prosesnya masih berlangsung di VH dan Screenplay Productions. Mungkin sinopsis sedang ditulis atau novel masih dibaca ulang dan dipelajari, saya tidak tahu dan belum bertanya.Kapan tayangnya? Pula, saya belum tahu dan tidak bisa memastikan. Mungkin tahun 2015, bisa jadi juga tahun 2016. Semoga saja proses lebih lanjut segera berjalan dan kelak filmnya akan tayang dengan mutu yang baik.


November 2014.

Saya mengirim manuskrip baru ke penerbit, sebuah kumpulan cerita berjudul Jatuh Cinta Adalah Cara Terbaik untuk Bunuh Diri. Manuskrip ini saya buat dengan mengumpulkan cerita-cerita pendek yang saya tulis dalam rentang tahun 2013-2014, cerita-cerita yang belum pernah terpublikasikan dalam wujud buku. Beberapa di antaranya sudah sempat muncul di media massa dan blog pribadi saya. Sebagian yang lain cerita-cerita baru dan belum pernah muncul di mana pun. Secara mengejutkan, respons penerbit sangat gesit untuk manuskrip ini. Saya sendiri cukup kaget, mengingat agak sulit menembusi penerbit menggunakan naskah kumpulan cerita. Saya tidak tahu pertimbangan penerbit apa, tapi bukankah ini hal yang menggembirakan dan patut saya syukuri? Saya senang akan memiliki kumpulan cerita lagi setelah Milana yang terbit tahun 2013. Kebetulan, pada bulan ini saya juga sedang asyik membaca cerita-cerita pendek dari pengarang-pengarang muda dalam negeri dan pengarang-pengarang kontemporer luar negeri.

Sedikit bocoran yang mungkin tidak perlu-perlu amat diketahui: Buku Jatuh Cinta Adalah Cara Terbaik untuk Bunuh Diri diminta oleh seorang panitia seleksi karya sastra terbaik versi majalah Tempo untuk dinilai. Saya sudah meminta penerbit mengirim buku itu dan panitia sudah menerima. Tentu saja pergulatan buku itu akan sangat keras, karena saingannya adalah buku-buku lain yang saya yakin, punya kualitas lebih oke dari milik saya. Bukan bersikap inferior atau apa, tapi saya sadar akan mutu tulisan saya yang masih perlu banyak dipoles dan dikembangkan. Namun, saya tetap bersyukur, buku ini diingat, dilihat, dan sempat dibaca oleh tim panitia tersebut, yang saya pikir bukan terdiri dari orang-orang sembarangan.


Desember 2014.






Buku ketujuh saya terbit. Jatuh Cinta Adalah Cara Terbaik untuk Bunuh Diri. Satu hal paling menggembirakan atas terbitnya buku ini adalah, tidak ada perubahan judul dari penerbit. Usul saya untuk menggunakan judul yang panjang itu ternyata disetujui. Saya juga terlibat langsung menggarap desain sampulnya, bersama tim desainer penerbit. Juga ilustrasi isinya, yang saya pesan kepada seorang teman asal Bali. Saya banyak bersyukur atas terbitnya buku ini. Karena sejauh ini, Jatuh Cinta Adalah Cara Terbaik untuk Bunuh Diri adalah buku yang paling mendekati keinginan saya. Saya ingin menulis buku kumpulan cerita seperti ini, dan saya sangat gembira buku ini dapat terbit.



Begitulah, hal-hal yang dapat saya ingat yang terjadi sepanjang tahun ini. Di akhir tahun lalu, penghujung 2013, saya telah memutuskan untuk tidak membuat resolusi apa-apa. Berhenti berencana, mulai melakukan, kata saya di akhir catatan penghujung tahun itu. Dan, saya melakukannya. Tahun ini, saya tidak banyak berencana, dan lebih banyak melakukan apa saja yang ingin saya lakukan. Saya ingin membeli buku, maka saya membeli buku. Saya ingin membaca, maka saya membaca. Saya ingin menulis ini-itu, maka saya menulis ini-itu. Setelah dikumpul-kumpulkan sekarang, ternyata tidak membuat rencana apa-apa membantu saya untuk berbuat lebih banyak. Saya tidak terbebani dan cemas karena to-do list yang panjang dan belum juga mendapat ceklis. Saya lebih bebas, dan karenanya saya melakukan lebih banyak.

Maaf jika judul catatan ini tidak memberi pengaruh dan keterkaitan besar terhadap isinya. Saya hanya ingin membuat pembuka yang menarik, tapi tentu saja tidak ada yang bisa saya lakukan jika usaha saya itu gagal. He, he, he. Yang jelas, selama dua belas bulan terakhir, saya betul-betul merasa bahwa, sekali lagi, Waktu adalah relatif. Jika saya memikirkannya, ia terasa lama. Jika saya tidak memikirkannya, ia menjadi sebentar. Bagaimana cara kerja Waktu sebetulnya? Kenapa bagi seseorang ia menjadi sempit sehingga orang itu tak dapat berbuat banyak, sementara bagi seseorang yang lain ia begitu luas dan membuat orang itu mencapai banyak hal?

Ah, Waktu adalah Waktu, mau bagaimanapun saya memikirkannya. Saya lebih memilih untuk mengisi Waktu, dengan melakukan apa saja yang ingin saya lakukan.

Tapi, kenapa saya mengisi Waktu? Bukankah ia tidak kosong?

Ataukah, iya?



Bara

Yang Dibaca di 2014

$
0
0



Tahun, ini saya membaca lebih banyak sekaligus lebih sedikit. Secara jumlah buku yang dibaca, tahun ini lebih sedikit dibanding sebelumnya. Namun, secara ilmu, informasi, saya merasa mendapat lebih banyak.

Menurut statistik Goodreads, tahun lalu saya membaca 125 buku, 23.370 halaman. Tahun ini, hanya 75 buku, atau 17.327 halaman. Sebanyak 50 buku dari 75 yang saya baca tahun ini adalah buku-buku pengarang Indonesia, 25 buku karangan penulis luar negeri. Sebagian besar buku yang saya baca masih fiksi. Novel, kumpulan cerita, dan puisi. Paruh tahun kedua sebetulnya saya berniat untuk belajar membaca nonfiksi, karena tiba-tiba saja merasa sedikit jenuh dengan fiksi. Meski sudah membeli beberapa, sayangnya saya belum berhasil menyelesaikan satu buku nonfiksi pun.

Seperti yang sebelumnya, catatan ini juga saya buat untuk menjawab beberapa pertanyaan teman-teman tentang buku-buku yang saya baca, atau mereka yang meminta rekomendasi bacaan. Saya tidak yakin daftar baca saya menarik buatmu, tapi setidaknya kamu bisa mencoba beberapa buku di daftar ini sebagai alternatif, jika memang sedang mencari bacaan baru.

Saya membeli buku-buku dalam daftar baca di bawah ini di beberapa toko buku lokal dan impor: Gramedia, Periplus, Aksara, Kinokuniya. Tahun ini saya lebih banyak membeli buku di Kinokuniya. Yang paling sering saya sambangi Kinokuniya Plaza Senayan dan Kinokuniya Pondok Indah Mall. Keduanya di Jakarta.

Ini buku-buku yang saya baca di 2014. Semoga di antaranya bisa menjadi favoritmu.


Bara



Diurut dari yang paling terakhir dibaca:




Supernova: Ksatria, Puteri, dan Bintang Jatuh – Dewi Lestari
The Strange Library – Haruki Murakami
Kedai Bianglala – Anggun Prameswari
Aksara Amananunna – Rio Johan
The Book Thief – Markus Zusak (favorite!)
To Rise Again at a Decent Hour – Joshua Ferris
The Art of War – Sun Tzu
The Brief Wondrous Life of Oscar Wao – Junot Diaz (favorite!)
The Little Prince – Antoine de Saint-Exupéry
Kafka on the Shore – Haruki Murakami (favorite!)
Gadis Pantai – Pramoedya Ananta Toer
Lelaki Harimau – Eka Kurniawan
Dari Kirara untuk Seekor Gagak – Erni Aladjai
Babakan – Beni Setia
Bulu Matamu Padang Ilalang – Joko Pinurbo
Surat Kopi – Joko Pinurbo
Balada Para Nabi – Asep Sambodja
Kusampirkan Cinta di Jemuran – Asep Sambodja
Mata Badik Mata Puisi – D. Zawawi Imron
Ayahmu Bulan, Engkau Matahari – Lily Yulianti Farid
A Tale for the Time Being – Ruth Ozeki (favorite!)
Pagi dan Hal-Hal yang Dipungut Kembali – Goenawan Mohamad
Don Quixote – Goenawan Mohamad
Kumpulan Sajak 1980-2005 – Sitor Situmorang





Kumpulan Sajak 1948-1979 – Sitor Situmorang
Roman Semesta – Fitrawan Umar
Selected Poems – Czesław Miłosz
Rusa Berbulu Merah – Ahda Imran
Api Bawah Tanah – Raudal Tanjung Banua
Bunga di atas Batu – Aesna
Inferno – Dan Brown (favorite!)
The Curious Incident of the Dog in the Night Time – Mark Haddon
Kite Runner (Graphic Novel) – Khaled Hosseini
The Da Vinci Code – Dan Brown
Frankenstein – Mary Shelley
Such, Such Were the Joys – George Orwell
Love & Misadventure – Lang Leav
Hap! – Andi Gunawan
1984 – George Orwell (favorite!)
Interlude – Windry Ramadhina
Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas – Eka Kurniawan (favorite!)
Hanya Kamu yang Tahu Berapa Lama Lagi Aku Harus Menunggu – Norman Erikson Pasaribu
The Hen Who Dreamed She Could Fly – Sun-mi Hwang
Animal Farm – George Orwell (favorite!)
Sputnik Sweetheart – Haruki Murakami (favorite!)
Selamat Datang, Cinta – Odet Rahmawati
After Rain – Anggun Prameswari
Daun yang Jatuh Tak Pernah Membenci Angin – Tere-Liye




Corat-Coret di Toilet – Eka Kurniawan
Istri Konsul – Nh. Dini
Galila – Jessica Huwae
Rumah Kopi Singa Tertawa – Yusi Avianto Pareanom
Mata yang Enak Dipandang – Ahmad Tohari
Pinball, 1973 – Haruki Murakami
Sajak Sepatu Tua – W. S. Rendra
Penembak Misterius – Seno Gumira Ajidarma
Munajat Buaya Darat – Mashuri
Pindah – Lika Wangke, dkk.
Perempuan Lolipop – Bamby Cahyadi
Nyanyian Akar Rumput – Wiji Thukul
Lalu Aku – Radhar Panca Dahana
Tiga Menguak Takdir – Chairil Anwar, dkk.
Kopi, Kretek, Cinta – Agus R. Sarjono
Kaidah Terbang Lebah – Hasan Aspahani
Ai – Winna Efendi
Heaven on Earth – Kaka Hy
The Truth About Forever – Orizuka
Tears In Heaven – Angelia Caroline
Fortunately, The Milk – Neil Gaiman
Mahna Hauri – Hasan Aspahani
Jakarta 24 Jam – Faizal Reza, dkk.
Saia – Djenar Maesa Ayu




Gandari – Goenawan Mohamad
The Wedding – Nicholas Sparks

1Q84 – Haruki Murakami (favorite!)

Review Jatuh Cinta

$
0
0


Baca review atas buku saya di sini:


Kalau kamu menemukan review atas buku ini atau kamu menulis reviewmu sendiri, jangan ragu untuk beri tahu saya. Saya akan baca dan pajang review kamu di halaman ini.

10 Buku Favorit Tahun Ini

$
0
0


Seperti telah saya akui di tulisan sebelumnya tentang daftar buku yang saya baca tahun ini, tahun 2014 saya membaca buku lebih sedikit. Sebagian besar dari buku itu tidak menyisakan apa-apa di kepala saya selain statistik dan perasaan bahwa saya telah menebus dosa dengan mengurangi tumpukan buku yang belum dibaca. Mungkin hal itu terjadi karena saya membaca dengan kurang khidmat, atau mungkin buku-buku tidak menyasar saya sebagai pembacanya. Apapun bisa terjadi.

Yang jelas, dari sejumlah buku yang saya baca tahun ini, ada beberapa yang sangat saya suka. Bukan hanya saya terkagum-kagum pada kemampuan menulis pengarangnya, melainkan juga perasaan yang saya dapatkan saat membaca buku-buku ini. Sensasi menghantam kepala, sekaligus menghentak dada karena isu yang relatable dengan pengalaman hidup saya, juga cara pandang mereka terhadap kehidupan, dan cara mereka menyampaikan cara pandang itu lewat cerita.

Saya belum pernah melakukan ini, tapi saya kira mendaftar buku-buku favorit adalah salah satu cara untuk mengingatkan kepada diri saya sendiri, bahwa buku masih jadi tempat liburan yang menyenangkan, sekaligus gua penuh keajaiban tak habis-habis. Ia dapat mengubah cara saya melihat dunia, hal-hal kecil, juga memandang apa yang ditawarkan dalam hidup ini: kehidupan itu sendiri.

Untuk itu, buku-buku berikut adalah beberapa yang paling membuat saya merasakan sensasi semacam tadi. Jumlahnya lebih, sebetulnya, namun saya menggenapkannya saja menjadi 10 (sepuluh).

Ini adalah sepuluh buku favorit saya, yang saya baca di tahun ini:





The Book Thief – Markus Zusak

Mengambil narator dari sudut pandang Kematian, saya kira adalah hal paling cerdas yang dilakukan Zusak dalam buku ini. Kisah seorang gadis kecil, bersama ibu dan ayahnya yang semuanya Yahudi, bergulir di bawah pemerintahan Adolf Hitler. Aktivitas Nazi dan adegan-adegan kematian yang keras dibungkus oleh narasi lembut dan terkadang indah. Kata-katanya sangat mengalir. Saya nyaris menitikkan airmata di bagian akhir cerita.





The Brief Wondrous Life of Oscar Wao – Junot Díaz

Kalimat pertama yang saya ucapkan seusai membaca buku ini adalah: Shit. Saya mengumpat. Dan, ketika saya mengumpat saat atau seusai membaca buku, saya tahu bahwa saya sangat, sangat menyukainya. Membaca buku-buku Junot Díaz membuat saya bergumam kagum sekaligus mendapat pencerahan: “Ternyata novel bisa ditulis dengan cara seperti ini”. Bahasanya lincah, sembarangan, dan terkadang vulgar. Di buku ini, Díaz bercerita tentang kehidupan sebuah keluarga yang hidup di bawah pemerintahan diktator Rafael Trujillo.

Baca ulasan lengkapnya di sini.




Kafka on the Shore – Haruki Murakami

Favorit kedua saya setelah Dengarlah Nyanyian Angin. Murakami menggunakan teknik yang serupa 1Q84, plot ganda yang berjalan secara paralel, lalu di satu titik bertemu. Kadar sureal dalam buku ini cukup banyak. Masih dengan seksualitas dan hal-hal gaib yang tak terjelaskan oleh nalar, tentu saja. Namun, yang membuat saya menyukai buku ini adalah, betapa lama-kelamaan saya mulai merasa hal-hal gaib dan aneh itu perlahan-lahan menjadi bagian yang dapat dimaklumi, dimengerti, bahkan diterima. Seperti kucing yang berbicara dan segerombolan ikan jatuh dari langit.

Baca ulasan lengkapnya di sini.




A Tale for the Time Being – Ruth Ozeki

Saya tidak punya ekspektasi besar saat mulai membaca buku ini. Dan itulah hal terbaiknya. Paragraf pembukanya langsung membuat saya tertarik. Ruth Ozeki berkisah tentang dua tokoh utama yang hidup di dua generasi berbeda jauh. Satunya hidup di era modern, satunya lagi hidup di masa lampau. Mereka dihubungkan oleh sebuah buku diary. Bullying, perbandingan budaya tua dan modernitas, adalah beberapa hal yang dibahas. Ozeki mempertemukan kultur Jepang modern dengan budisme zen, dan menuliskannya dalam bahasa yang enak. Kau akan menemukan banyak jargon-jargon Jepang di sini.

Baca ulasan lengkapnya di sini.




Inferno – Dan Brown

Tidak pernah lagi saya menikmati sebuah buku tanpa menganalisisnya, betul-betul tenggelam dalam pembacaan, semenjak menamatkan serial Harry Potter, sepuluh tahun yang lalu. Sampai saya bertemu dengan buku ini. Dan Brown tahu betul bagaimana mengarang sebuah novel yang page turner. A totally page turner, I should say on this one. Saya tidak bisa meneliti elemen-elemen fiksi dan teknik menulis pengarangnya, karena saya terisap habis ke dalam cerita. Jika saya sedang rindu membaca novel yang membuat saya lupa makan dan tak ingin melepaskan novel itu dari tangan saya, maka saya tahu harus membaca novel karangan siapa.

Baca ulasan lengkapnya di sini.




1984 – George Orwell

Orwell meramalkan, dan ramalan itu luar biasa karena ditulis tak kurang dari setengah abad yang lalu namun masih relevan hingga saat ini. Kehidupan manusia di bawah kontrol pemerintah yang eksklusif, tertutup, dan tak tergoncangkan. Sebuah tirani di atas keinginan dan kebebasan. Buku dystopian terbaik yang pernah saya baca, dan akan selalu saya anjurkan bagi siapapun yang ingin membaca buku bagus.

Baca ulasan lengkapnya di sini.




Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas – Eka Kurniawan

Setelah era pengarang perempuan Indonesia yang mengemukakan isu seksualitas beberapa masa lampau, tidak ada lagi pengarang Indonesia yang dapat menggunakan kevulgaran dan seks dengan baik dan tepat. Sebagian besar, saya kira, hanya memasukkan unsur seks demi seks itu sendiri, atau lebih buruk: untuk sensasi. Eka Kurniawan tidak demikian. Di buku terbarunya yang terbilang tipis ini ia dengan sadar menggunakan bahasa vulgar dan memasukkan unsur seksualitas untuk membongkar sesuatu. Mungkin selubung kemunafikan manusia atau kesopanan yang meracuni. Meskipun Eka masih tampak sopan, karena ia menggunakan burung untuk menyebut kelamin, alih-alih istilah lain yang lebih gamblang.

Baca ulasan lengkapnya di sini.





Animal Farm – George Orwell

Saya tidak tahu bahwa fabel bisa dipakai untuk menyampaikan ideologi politik. Barangkali hanya Orwell yang bisa melakukannya dengan menyenangkan. Animal Farm bisa dibaca sebagai fabel, bisa pula dibaca sebagai manifesto sikap kritis terhadap sebuah pemerintahan. Di buku ini segerombolan binatang beragam jenis hidup di bawah otoritas seekor, atau dua ekor, babi. Analogi yang cerdas dan tepat untuk menggambarkan hubungan rakyat dengan negaranya, atau sebaliknya. Seringkali saya kagum bagaimana saya dapat lebih memahami tingkah laku dan sifat-sifat alamiah manusia dari menonton film atau membaca buku tentang binatang.

Baca ulasan lengkapnya di sini.




Sputnik Sweetheart – Haruki Murakami

Kisah cinta yang sederhana sekaligus tidak sederhana. Saya sudah terpikat sejak paragraf awal. Bagaimana seorang gadis mencintai seorang perempuan yang lebih tua. Dengan caranya sendiri, Murakami berhasil membuat saya merasa tidak sedang membaca sekadar cerita tentang dua orang lesbian, melainkan lebih dari itu. Absurditas di buku ini berada pada takaran yang pas, sehingga saya tidak terlalu repot bertanya-tanya, namun tidak juga kelewat merasa kering karena tidak ada hal-hal yang asyik untuk dibayangkan. Saya rasa siapapun yang ingin mengenal karya-karya Murakami, bisa memulainya dengan buku ini.

Baca ulasan lengkapnya di sini.





1Q84 – Haruki Murakami

Saya tak melihat buku ini sebagai apapun selain proyek ambisius Murakami. Saya bahkan takjub saat menyadari bahwa saya membacanya hingga kelar. Meski demikian, saya sangat menyukai beberapa adegan di dalamnya, dan sebagian besar adegan itu terkait dengan, lagi-lagi, hal-hal di luar nalar dan tak terjelaskan. Jika ada yang sudah membaca 1984 Orwell, saya katakan bahwa buku ini bukan epigon. Murakami memberi respons kebalikan dari 1984. Jika di 1984 ada Big Brother, maka di 1Q84 Murakami punya Little People. Jika di 1984 Orwell memberikan pemerintah totaliter dan otoriter, lewat 1Q84 Murakami menyodorkan sedikit komunisme. Sebagai informasi, buku ini tebalnya 1.400 halaman lebih.


Baca ulasan lengkapnya di sini.

Dua Kumcer Bagus

$
0
0




Aksara Amananunna, Rio Johan


Bisakah Anda bayangkan, bagaimana keadaan dunia kita tiga ratus tahun dari sekarang? Atau, lebih jauh lagi, seribu tahun? Bahkan, lima ribu tahun kemudian? Bagaimana wujud bumi, apa saja permasalahan-permasalahan yang dialami manusia, atau siapa yang berkuasa pada saat itu? Lewat Aksara Amananunna, Rio Johan menawarkan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan tersebut.

Setidaknya dua dari dua belas cerita dalam Aksara Amananunna adalah lompatan ke masa depan yang sangat jauh. Latar waktu yang digunakan Rio Johan untuk menyampaikan kisah-kisahnya berada pada rentang waktu yang tak tersentuh nalar. Di cerita pertama, “Undang-Undang Antibunuhdiri” berlatar tahun 21xx (dua ribu seratus sekian), mengisahkan tentang seorang perdana menteri yang kebingungan melihat lonjakan kasus bunuh diri di negaranya, sehingga merasa harus menetapkan undang-undang untuk melarang hal tersebut. Di “Ginekopolis” bahkan lebih jauh lagi, cerita tersebut berlatarkan tahun 8475, berkisah tentang sebuah negara yang dikuasai oleh perempuan, sementara lelaki hanya menjadi pekerja dan berada di kasta terbawah.

“Tahun 21xx, bunuh diri jadi isu nomor satu di negeri R. Tahun lalu saja ada sekitar 440.000 kasus bunuh diri: 140.000-nya laki-laki, sisanya perempuan.”

Membaca cerita-cerita yang ditulis Rio Johan di buku Aksara Amananunna seperti menonton film-film dengan tema dystopian atau post-apocalyptic. Kondisi dunia pasca-kiamat. Latar tempat di cerita-cerita pendeknya nyaris seluruhnya fiktif, rekaan. Rio membangun dunia rekaannya sendiri di atas tanah fiktif itu, lantas menuturkan adegan demi adegan yang surealis, namun dapat dengan mudah dibayangkan.

Kemampuan Rio mendongeng dengan bahasa yang jernih adalah poin penting dalam cerita-cerita pendeknya. Sebab, jika tidak, ia hanya akan mendorong jatuh pembaca ke dunia antah-berantah yang sulit digapai, apalagi dimengerti. Cerita-cerita surealis mesti disampaikan dengan bahasa yang mudah dan jelas, karena kisahnya sendiri sudah aneh, dan penulis hanya akan memberi kuadrat pada keanehan itu jika ia tidak bertutur dengan bahasa yang jernih. Setidaknya begitu menurut saya.

Keanehan-keanehan di Aksara Amananunna adalah bagian dari imajinasi Rio, dan agaknya mereka berakar dari kegemaran si penulis menonton film dan bermain video game. Bagi mereka yang juga gamer atau penyuka film-film dystopian/post-apocalyptic, tidak akan kesulitan membayangkan suasana yang digambarkan di zaman-zaman aneh seperti pada, misalnya, “Komunitas”. Cerita yang mengisahkan sebuah badan sadomasokis, penyedia jasa pemuasan hasrat bagi klien-kliennya yang kebanyakan orang-orang penting. Atau “Robbie, Jobbie”, cerita yang memiliki pola sama dengan “Komunitas”. Seorang pemuda ditawarkan pekerjaan yang janggal oleh sebuah badan misterius, dengan iming-iming gaji besar, namun akhirnya si tokoh utama terjebak dalam pekerjaan itu. Meski muatannya tidak persis sama dengan video game yang ada, namun nuansa dan objek-objek cerita (latar, karakter, konflik) memiliki akar referensi yang serupa.

Tidak ada permainan plot yang rumit dalam Aksara Amananunna. Kecuali “Riwayat Benjamin” dan “Susanna, Susanna!” yang menggunakan flashback di awal cerita, nyaris seluruh kisah di buku perdana Rio Johan ini memiliki plot linear. Agaknya itu adalah pilihan yang diambil Rio secara sadar, dan hal tersebut merupakan tindakan bijak. Barangkali, Rio memahami bahwa cerita-ceritanya mengandung keanehan dalam porsi besar, sehingga ia merasa harus memangkas permainan-permainan elemen fiksi yang tidak perlu, seperti bermain plot atau sudut pandang. Dialog-dialog pun mengalir dengna mudah, tidak dipaksakan untuk memuat kata-kata filosofis atau kalimat-kalimat yang quoteable, yangdapat dikutip dan diunggah ke Twitter.

Surealisme Rio Johan tidak sepenuhnya lepas dari realitas. Ia membawa kita pada batas kegilaan, memang, dengan menyuguhkan ide-ide liar tentang bagaimana manusia menghadapi masalah yang dapat membuatnya gila. Namun, masalah-masalah itu terdapat di dunia nyata, dunia yang realis. Salah satunya adalah perkara ambiguitas kelamin, yang dialami oleh seorang panglima sakti bernama Kevalier d’Orange. Pada cerita “Kevalier d’Orange”. Sang Kevalier mendapati dirinya dipergunjingkan oleh masyarakat, karena ia seorang laki-laki namun memiliki ciri-ciri fisik bagai seorang perempuan. Prasangka, gunjingan, dan tuduhan itu membuat Sang Kevalier terjebak dalam spekulasi besar, yang membuatnya mau tidak mau memenuhi tuntutan mayoritas untuk membuktikan siapakah dia sebenarnya, laki-laki atau perempuan.

Masalah lain yang berasal dari dunia realis dan disuguhkan Rio Johan lewat cerita surealis adalah bagaimana perempuan berada di atas laki-laki dalam “Ginekopolis”. Budaya patrilineal bangsa kita telah sejak lama membuat para perempuan tidak nyaman dengan ketidaksamarataan posisi mereka terhadap laki-laki. Maka muncullah Kartini, dan penerus-penerusnya hingga masa sekarang. Lewat “Ginekopolis” Rio Johan mengangkat kembali persoalan emansipasi, dengan konflik fiktif serius yakni perang gerilya kaum laki-laki yang diperbudak terhadap kerajaan perempuan, dibumbui sedikit humor satir.

Tidak hanya melompat ke masa depan dan zaman antah-berantah yang jauh di hadapan, Rio juga melontarkan dirinya ke masa lalu, pula teramat jauh. Jauh sekali, hingga sampai ke dunia saat bahasa tengah dikacaukan oleh Tuhan. Tokoh Amananunna di cerita “Aksara Amananunna” berjuang menemukan bahasanya yang hilang. Ia tidak berhasil, sampai akhirnya memutuskan untuk menciptakan bahasanya sendiri. Sayangnya, bahasa yang ia ciptakan pun terancam punah karena keturunannya tak dapat meneruskan bahasanya.

Lahir di awal tahun 90-an dan hidup di zaman digital, dikelilingi film-film fiksi sains dan konsol video game, Rio tahu di dunia sastra ia akan menempuh bahasa yang lain dengan para pendahulunya. Ia lahir dan bertumbuh di masa bahasa telah kacau, atau dikacaukan. Semua orang berusaha memaksakan bahasanya kepada orang lain. Semua orang berusaha menghilangkan bahasa orang lain. Lantas, dengan bekal yang ia miliki, dan kesadaran bahwa ia adalah bagian dari generasi baru, yang tak mesti mengikuti bahasa generasi pendahulunya, Rio pun menciptakan bahasanya sendiri.

Rio mungkin sadar bahwa bahasanya tidak dapat dimengerti oleh banyak orang. Seperti Amananunna yang mengelilingi kaki ziggurat Raja Nimrod, Rio berusaha menemukan bahasanya, ketika pihak-pihak di luar dirinya mengacaukan bahasa yang ia miliki.

Surealisme Rio Johan dan keliaran imajinasinya adalah bagian dari aksara bahasa yang ia ciptakan. Ia tahu tidak semua orang akan menerima bahasanya dengan mudah, apalagi menggunakan bahasanya. Keinginan agar bahasanya terus tumbuh dan merambat ke orang-orang lain ia redam dengan pikiran bahwa tak ada orang lain yang dapat mengekalkan bahasanya sendiri, selain dirinya sendiri.

Maka, seperti Amananunna yang melakukan cara terakhir untuk mengabadikan bahasanya sendiri, “mengukir aksara-aksara bahasanya di ceruk-ceruk ngarai, pada bebatuan besar, juga di dinding gua.” Rio pun menuliskan cerita-ceritanya. Ia melakukan itu agar, “setidaknya, dengan cara itu dia bisa meninggalkan jejak ciptaannya.”



***



Semua untuk Hindia, Iksaka Banu


Semua untuk Hindia, kumpulan cerita Iksaka Banu berisi lima belas cerita pendek tentang sejarah Indonesia, yang seperti kata blurb di sampul belakang bukunya, memiliki rentang latar waktu dari pra-kedatangan Cornelis de Houtman hingga awal Indonesia merdeka. Namun, jangan bayangkan cerita-cerita Iksaka Banu seperti cerita-cerita sejarah karangan penulis Indonesia lain pada umumnya, yang dituturkan lewat sudut pandang orang Indonesia itu sendiri. Kisah-kisah yang Iksaka Banu ceritakan dalam Semua untuk Hindia mengambil sudut pandang dari pihak lawan. Ia menulis cerita sejarah Indonesia pada masa penjajahan Belanda lewat kacamata si penjajah. Ya, di buku kumpulan ceritanya, Iksaka Banu ‘berpihak’ pada musuh.

Setidaknya, di awal cerita seolah-olah tampak demikian. Ketika kita membaca cerita tentang penjajahan Indonesia yang ditulis oleh pengarang Indonesia, namun ia menulisnya dari sudut pandang penjajah, barangkali kita menduga si penulisnya tengah berkhianat. Kita menduga ia sedang berusaha memutarbalik anggapan tentang penjajah, dengan menyodorkan cerita-cerita dari kacamata mereka. Namun, sebetulnya tidak demikian yang dilakukan oleh Iksaka Banu. Cerita-cerita pendek dalam Semua untuk Hindia ditulis dari kacamata tokoh-tokoh para penjajah, justru untuk kian menegaskan kekejaman dan keburukan si penjajah itu sendiri.

“Selamat Tinggal Hindia” menjadi pembuka yang meyakinkan. Berkisah tentang seorang wartawan Belanda yang pacarnya dibunuh oleh tentara NICA. Maria Geertruida Welwillend, atau Geertje, nama pacar si wartawan, adalah seorang guru di sekolah pribumi. Geertje adalah seorang perempuan Belanda yang berputar haluan dan memihak kelompok pemberontakan pribumi. Ia dibunuh atas dugaan usahanya meruntuhkan Hindia Belanda dan membangun Republik Indonesia.

Mengambil latar zaman penjajahan Belanda atas Indonesia, atau lebih tepatnya era pasca-penjajahan Belanda (karena di banyak cerita saya menangkap bahwa latar waktu sebenarnya adalah fase kekosongan kekuasaan setelah jatuhnya Belanda, sebelum masuknya Jepang) tidak membuat Iksaka Banu terjebak pada cerita-cerita perang atau yang semacamnya. Ia juga menulis kisah roman, tentu saja dengan tokoh-tokoh orang Belanda. Di “Stambul Dua Pedang” ada Cornelia van Rijk alias Sarni, seorang nyai yang dijadikan gundik pada usia 14 tahun, dan berselingkuh dari suaminya dengan seorang pemain opera stambul. Perselingkuhan itu tercium oleh sang suami, Adelaar van Rijk, seorang Belanda yang bekerja sebagai deputi administratur perkebunan tempat ayah Sarni bekerja. Adelaar dan Raden Adang Kartawiria, si pemain opera, akhirnya berduel untuk mempertahankan keinginan dan harga diri mereka sebagai laki-laki.

Kisah cinta lain terdapat di cerita “Mawar di Kanal Macan”, berputar antara Letnan Jan Nicholas Dapper dan Adelheid Ewald, keduanya warga Belanda. Nyonya Ewald memfitnah Jan dan menjebaknya dengan mengaku kepada pasukan Belanda bahwa mereka berdua tengah bersekongkol dalam usaha membunuh suami Adelheid. Adelheid membenci suaminya, Lambertus Ewald, karena “pria-pria terhormat seperti suamiku ternyata bisa memelihara, bahkan mengawini satu atau dua orang gundik.”

Membaca Iksaka Banu lewat Semua untuk Hindia seperti membaca Pramoedya Ananta Toer dari sisi yang berkebalikan. Jika Pram menceritakan masa penjajahan lewat Minke, yang pada awalnya memuja Eropa namun akhirnya sadar bahwa ia mesti berpihak dan membela bangsanya sendiri, maka Iksaka Banu bercerita dengan mengambil posisi di pihak Eropa.

“Racun untuk Tuan” berkisah tentang Fred Aachenbach, seorang asisten administratur perkebunan yang beristrikan seorang nyai bernama Imah. Rumah tangganya dengan Imah, sang gundik, terpaksa roboh karena belakangan Fred jatuh cinta pada Helena, sahabat kecilnya di Belanda. Fred mencerai Imah demi pernikahannya dengan Helena. Setelah itu ia mengingat pesan atasannya di perkebunan, Tuan Dirk van Zaandam, untuk selalu berhati-hati dengan perempuan pribumi, karena “Sekali kausakiti, atau kaubuat cemburu, saat itu pula kau harus hati-hati terhadap makanan dan minuman yang mereka hidangkan.”

Dialog-dialog Iksaka Banu di Semua untuk Hindia mengalir sangat lancar dan alamiah. Kelancaran dialognya itu membuat saya teringat pada Kunang-kunang di Manhattan milik Umar Kayam. Barangkali Iksaka Banu benar-benar hidup di zaman ketika cerita-cerita itu berlangsung, dan ia menyaksikannya, bahkan mengalaminya sendiri. Iksaka juga menggunakan elemen-elemen fiksinya dengan efektif. Tidak ada deskripsi yang boros atau berlebihan, gestur tokoh yang tidak perlu, atau narasi yang tidak berguna. Ia sangat sadar bahwa cerita pendek adalah ruang sempit yang mesti digunakan seefektif mungkin.

Iksaka banu menyisipkan sedikit surealisme dan nuansa horor di “Gudang Nomor 012B”, tentang hantu perempuan pencuri beras, yang ternyata belakangan diketahui perempuan itu bukanlah hantu, melainkan seorang perempuan biasa yang terkena lepra dan mengenakan gaun putih khas pakaian tidur perempuan Belanda. Cerita “Semua untuk Hindia” sendiri bercerita tentang pemberontakan warga Bali terhadap kompeni yang dibalut kisah cinta antara Bastiaan de Wit, seorang wartawan media Belanda, dengan seorang perempuan Bali.

Saya kira, seluruh cerita yang ditulis Iksaka Banu di Semua untuk Hindia adalah sebuah usaha untuk mempertanyakan posisi keberpihakan seseorang. Selain menuturkan kembali sejarah lewat sudut pandang yang berbeda, ia juga mendorong pembacanya untuk bertanya kepada diri sendiri. Ia seperti Jenderal Rost van Tonningen yang berkata kepada Bastiaan de Wit, wartawan yang meliput perangnya. “Berhentilah menulis hal buruk tentang kami, Nak. Aku dan tentaraku tahu persis apa yang sedang kami lakukan. Semua untuk Hindia. Hanya untuk Hindia. Bagaimana denganmu? Apa panggilan jiwamu?” Dan, barangkali, kita sebagai pembaca bisa memberi jawaban, atau bersikap seperti Bastiaan de Wit: “Aku tidak menjawab. Tak sudi menjawab.”

Kadang-kadang saya membayangkan, bagaimana seandainya guru-guru yang mengampu mata pelajaran Sejarah di sekolah-sekolah kita adalah mereka yang juga mencintai fiksi. Saya bayangkan mereka suka membaca novel-novel atau cerita-cerita pendek tentang sejarah. Jika saja itu terjadi, saya yakin mereka akan sadar bahwa ternyata ada cara lain yang lebih menyenangkan untuk menyampaikan fakta, yakni melalui kisah-kisah fiktif.

Dan, andaikata Iksaka Banu adalah seorang guru sejarah, maka saya akan dengan senang hati menjadi murid di kelasnya. Mendengarkan dengan seksama ia bercerita tentang sejarah Indonesia, dari kacamata musuh. Sejarah ditulis oleh para pemenang, kata Winston S. Churchill. Jika selama ini kita telah mendengar dan membaca sejarah dari mereka yang menang, tidakkah kita juga ingin tahu bagaimana sejarah di mata mereka yang kalah? Jika sampai hari ini kita menerima sejarah yang dituturkan oleh negeri sendiri atau sekutu, tidakkah kita tertarik untuk melihat sejarah dari mata ‘musuh’?


***

Mereka yang Telah Jatuh Cinta

$
0
0


Sudah sebulan sejak buku terbaru saya terbit: Jatuh Cinta Adalah Cara Terbaik untuk Bunuh Diri. Kumpulan berisi lima belas cerita pendek tersebut, sejauh ini, ternyata mendapat sambutan yang bisa saya bilang cukup baik.

Terus terang saja, pada awalnya saya merasa khawatir. Dapat dikatakan sebagian besar pembaca saya adalah mereka yang menyenangi kisah cinta. Terutama, kisah cinta yang berakhir manis, seperti yang saya tulis di beberapa novel remaja saya sebelumnya (Kata Hati, Cinta dengan Titik). Maka dari itu, ketika saya memutuskan untuk menulis cerita-cerita pendek yang bernuansa gelap, ada sedikit kekhawatiran, cerita-cerita tersebut kurang disambut baik. Meski kebanyakan cerita yang saya tulis itu masih bertema cinta, namun saya sadar bahwa Jatuh Cinta Adalah Cara Terbaik untuk Bunuh Diri memiliki cukup banyak perbedaan dari buku-buku saya, terutama novel-novel remaja saya.

Jatuh Cinta Adalah Cara Terbaik untuk Bunuh Diri, jika saya telisik, mungkin memiliki kesamaan nuansa dengan kumpulan cerita saya sebelumnya, Milana. Cara menulis, ambience, tema, gaya bahasa, keduanya memiliki kemiripan. Meski, pastinya, di buku terbaru saya ada beberapa perkembangan di sana-sini (setidaknya menurut ukuran saya sendiri).

Setiap hari saya dirundung harapan sekaligus kecemasan melihat bagaimana buku ketujuh saya ini direspons. Saya membuka-tutup-buka-tutup halaman buku itu di Goodreads, ingin tahu apa yang dikatakan para pembaca. Seperti biasa, ada komentar yang menyampaikan kepuasan, ada juga yang mengutarakan ketidakpuasan. Ini hal biasa, seharusnya. Namun, entah mengapa kali ini komentar sekecil apapun memberi dampak hebat bagi saya.

Bagaimanapun, karya saya telah dilepas dan kini giliran pembaca yang mengambil peran dalam perjalanan karya tersebut. Di bawah ini adalah foto-foto yang saya kumpulkan hasil kiriman pembaca di Twitter. Saya senang mengumpulkan dan menyimpan foto-foto tersebut, sekadar untuk mengingatkan saya kembali bahwa masih ada yang membaca karya saya, juga memberikan saya semangat untuk terus menulis lagi.

Bagi teman-teman yang belum mendapatkan bukunya dan ingin membeli Jatuh Cinta Adalah Cara Terbaik untuk Bunuh Diri, buku tersebut sudah tersedia di hampir seluruh kota besar di Indonesia, seperti: Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, Bandung, Tasikmalaya, Jogja, Magelang, Solo, Purwokerto, Jember, Semarang, Surabaya, Malang, Aceh, Medan, Pekanbaru, Jambi, Palembang, Lampung, Pontianak, Balikpapan, dan Lombok. Pulau Sulawesi belum tersentuh.

Jika kamu menemukan buku saya di toko buku di tempat kamu tinggal, jangan ragu untuk mengabari saya ya. Saya bisa diraih via Twitter (@benzbara_), Facebook (Bernard Batubara), maupun Instagram (@benzbara_).

Terima kasih untuk dukungannya, para pembaca dan teman-teman sekalian.



Bara



The Book Thief, Markus Zusak

$
0
0



Hal paling cerdas yang telah dilakukan Markus Zusak di novelnya The Book Thief, saya kira, adalah keputusannya untuk bercerita menggunakan sudut pandang Kematian. Andai Zusak tidak melakukannya dan bertutur memakai sudut pandang salah satu tokoh dalam kisah keluarga berlatar belakang perang Nazi Jerman itu, barangkali, sosok Liesel Meminger dan apa saja yang terjadi dengan orang-orang di sekitarnya tidak menjadi lebih menarik.

The Book Thief dibuka dengan deskripsi yang dilihat dari kacamata-dan digambarkan oleh-si narator utama: Kematian. Bab pertama pada bagian prolog novel tersebut diberi judul “Death and Chocolate”. Dengan sudut pandang orang pertama, Kematian menuturkan apa yang dia lihat, setiap kali terjadi kematian.

First the colours.
Then the humans.
That’s usually how I see things.
Or at least, how I try.

Zusak tidak memberitahu kepada pembaca bahwa yang sedang berbicara adalah Kematian, atau Malaikat Maut. Namun, lewat adegan-adegan terjadinya kematian manusia, tuturan “Aku”-narator saat melihat jenazah dan gerakannya menghampiri jenazah tersebut, menyaksikan jiwa jenazah itu melayang, lantas menangkap dan menyimpannya, kita tahu bahwa yang sedang berbicara sepanjang novel adalah Kematian.

Tokoh Kematian atau Malaikat Maut dibangun oleh Zusak menggunakan citraan yang berbeda dari persepsi kebanyakan orang atas kematian. Kematian, kita tahu, pada umumnya adalah sesuatu yang menakutkan. Menyeramkan. Menyebutkannya saja bikin bergidik. Namun, lewat tuturannya sebagai narator utama, Kematian di novel Zusak adalah sosok (sesuatu) yang lembut, bergerak dengan perlahan, bahkan indah. Jauh dari bayangan atau persepsi manusia atas kematian. Ini dapat dilihat dari bagaimana Kematian menyampaikan isi pikirannya, apa yang ia lihat, dan (bahkan) perasaannya. Atau, setidaknya, yang kita lihat sebagai perasaannya.

Di The Book Thief, Kematian adalah sesuatu yang hidup.

Lewat tuturan Kematian lah, kisah utama novel ini menguak, selapis demi selapis. Seorang gadis kecil yatim piatu bernama Liesel Meminger dititipkan kepada sebuah keluarga. Kelak, Liesel Meminger akan hidup dengan orangtua asuhnya, pasangan Jerman bernama Hans Hubermann dan Rosa Hubermann. Liesel Meminger sendiri adalah seorang Jerman. Kehidupan Liesel di keluarga barunya mudah sekaligus sulit. Mudah karena Hans Hubermann adalah laki-laki yang ramah dan menyenangkan. Sulit karena sebelumnya Liesel ditinggal oleh adik kandungnya yang tewas karena kecelakaan kereta api, dan ibu asuhnya, Rosa Hubermann, adalah perempuan yang keras dan kerap mengomelinya (namun belakangan kita tahu Rosa sebetulnya punya hati yang lembut dan sangat menyayangi Liesel).

Saya kira, keputusan Zusak menggunakan narator utama Kematian bukan tanpa alasan. Ia melakukannya tidak sekadar bertujuan agar ceritanya berbeda karena dituturkan lewat kacamata sosok non-manusia, melainkan terkait erat dengan isu dan peristiwa utama yang terjadi dalam novelnya, yakni Perang Dunia II di Eropa. Atau, sesuatu yang lebih spesifik lagi: Nazi Jerman dan Adolf Hitler.

Lewat narasi yang sangat mengalir, Zusak mengawinkan dua hal yang teramat kontras dalam novelnya: kekerasan dan keindahan. Cara bertutur Zusak, diwakili oleh Kematian sebagai narator utama, terasa lembut dan mengalun perlahan, bahkan narasinya terkadang terasa cantik. Lebih tepatnya, indah. Deskripsi adegan kematian, sesuatu yang terjadi pada detik-detik seorang manusia melepaskan nyawanya, terasa surealis namun indah. Seperti lukisan abstrak dengan warna-warna pastel nan lembut dan sederhana. Mengiringi keindahan dan kelembutan narasi tersebut adalah konteks cerita yang jelas-jelas keras: perang dunia, juga aktivitas kelompok Nazi Jerman. Kebrutalan mereka merusak rumah-rumah di sepanjang Himmel Street di kawasan rumah orangtua asuh Liesel Meminger dan pawai yang ujung-ujungnya adalah peristiwa pembakaran buku, menjadi sesuatu yang menegaskan kembali betapa hidup Liesel Meminger dan keluarga asuhnya, Hans-Rosa Hubermann, sangat sulit karena terkekang dan dibayangi oleh ancaman-ancaman.

Kian sulit lagi karena Hans Hubermann, meski ia seorang Jerman, bukanlah simpatisan Nazi. Berbeda dengan anak kandungnya yang telah mengabdikan dirinya untuk Nazi dan Hitler. Kembali, Zusak memasukkan konflik keluarga, yakni hubungan ayah dan anak yang memiliki prinsip hidup bertolakbelakang. Rosa Hubermann, sang istri dengan watak keras dan disiplin tinggi, pun merasakan dampak buruk dari peperangan dan kehadiran Nazi. Usaha cuci baju keliling Rosa terpaksa berhenti karena pada masa perang tak ada orang berpikir untuk menghabiskan uangnya membayar jasa pencucian baju.

Meski konteks yang diangkat terbilang berat (Perang Dunia, Nazi Jerman, Hitler, Yahudi) The Book Thief adalah novel remaja. Barangkali karena hal tersebut, Markus Zusak sadar bahwa ia tetap harus memberikan hiburan. Rudy Steiner, bocah lelaki penggemar atlet lari kulit hitam yang kemudian jatuh cinta pada Liesel Meminger, adalah salah satu karakter yang diciptakan Zusak untuk tujuan tersebut. Di sepanjang cerita saya dibuat tersenyum-senyum oleh tingkahnya dan interaksi Rudy dengan Liesel, juga bagaimana hubungan cinta monyet mereka terbangun dari rasa kesal, kejailan-kejailan, dan kenakalan-kenakalan.

Novel setebal 584 halaman ini benar-benar sebuah page turner. Seperti yang sempat saya bilang, narasi Zusak amat mengalir. Ia jarang menulis kalimat-kalimat panjang dengan kata-kata kiasan atau perumpaan yang sulit dicerna. Sebaliknya, kalimat-kalimatnya kerap pendek-pendek, menggunakan kosakata yang mudah dimengerti. Mungkin karena, lagi-lagi, The Book Thief adalah novel remaja (setidaknya di Goodreads dan beberapa situsweb, novel ini dikategorikan novel remaja).

Namun, justru di sana lah saya melihat kecerdasan Markus Zusak yang lain: kepiawaiannya menggabungkan isu berat dan kemasan novel remaja. Zusak tidak pretensius dengan menulis sesuatu yang berkoar-koar mengenai Nazi Jerman, Hitler, atau Perang Dunia II. Sehingga, novelnya tidak menjadi kumpulan fakta ataupun riset mengenai Nazi, melainkan literatur yang menyenangkan untuk dibaca.

Seingat saya, tidak banyak (atau bahkan belum ada?) novel remaja di Indonesia yang memiliki muatan seperti The Book Thief. Novel remaja dengan kemasan ringan dan bahasa yang mudah, namun mengandung konteks isu sosial, politik, atau sejarah. Saya bayangkan misalnya saja ada novel remaja dengan tokoh berusia empat belas tahun yang hidup di masa terjadinya kerusuhan antar suku di 1997, atau seorang gadis kelas enam SD yang bapaknya tahanan politik, dan semacamnya.


Jika ada yang menuliskan novel-novel seperti itu (saya berdoa semoga kelak ada dan banyak) tentu saja segmen novel remaja di Indonesia akan jadi lebih menarik, berwarna, dan menyenangkan.  ***

Colorless Tsukuru Tazaki

$
0
0



Murakami berhenti bersembunyi. Itu yang saya lihat ketika membaca paragraf pembuka Colorless Tsukuru Tazaki and His Years of Pilgrimage (selanjutnya saya sebut ‘Colorless Tsukuru’). Ia tidak lagi meletakkan kehidupan soliter dan ‘ideologi kesendirian’ sebagai sesuatu yang tersirat lewat adegan-adegan dan peristiwa-peristiwa yang dialami tokoh-tokoh dalam novelnya. Kali ini, Murakami secara gamblang langsung berkata kepada pembaca bahwa tokoh utama novelnya sudah lama ingin mati.

From July of his sophomore year in college until the following January, all Tsukuru Tazaki could think about was dying.

Tsukuru Tazaki memiliki empat orang sahabat. Keempatnya menyandang nama yang ternyata adalah warna-warna dalam bahasa Jepang: Akamatsu (red pine), Oumi (blue sea), Shirane (white root), dan Kurono (black field). Hanya Tsukuru Tazaki yang tidak mengandung arti warna pada namanya. Sejak saat itulah ia merasa berbeda dari keempat sahabatnya. Namanya tidak berwarna. Colorless Tsukuru.

Konflik Colorless Tsukuru langsung diperlihatkan semenjak awal. Murakami membawa saya ke dalam alam pikir Tsukuru yang-seperti tokoh-tokoh utama novelnya yang lain-depresif. Tsukuru memikirkan kematian selama berbulan-bulan, mencari cara untuk mengakhiri hidupnya dengan mudah dan cepat karena ia tidak ingin merepotkan orang lain. Lewat Tsukuru, Murakami menggambarkan dengan kuat bagaimana rasa kekosongan menguasai jiwa manusia.

Kalau saya tidak salah menghitung, Colorless Tsukuru adalah buku Murakami yang kesembilan belas (koreksi jika saya salah). Terbit berdekatan dengan novela berilustrasi The Strange Library. Ada rumor bahwa di akhir tahun 2014, Murakami ngebut mengeluarkan buku baru karena mengejar posisi di penghargaan kesusastraan Nobel (yang mana lagi-lagi tidak dia menangi).

Colorless Tsukuru memiliki konflik yang sederhana. Setidaknya lebih sederhana ketimbang, misalnya, Kafka on the Shore atau 1Q84. Novel dengan konflik persahabatan ini terasa lebih kasual dan realis, mirip Norwegian Wood. Tidak ada hal-hal gaib atau surealis yang terjadi di dalamnya. Tidak ada kucing berbicara, sarden berjatuhan dari langit, ataupun rembulan kembar. Murakami membuat ‘sekuel’ dari Norwegian Wood dengan kembali menulis novel ‘ringan’. Dan menurut saya, jika bisa dibandingkan vis-à-vis karena formatnya sama-sama realis, Colorless Tsukuru lebih bagus daripada Norwegian Wood.

Tidak banyak hal baru sebetulnya di Colorless Tsukuru. Karakter-karakternya, terutama karakter utama, masih pemuda yang (sekilas) normal, sederhana, tidak punya keinginan kuat akan sesuatu (kecuali kereta api), medioker, tidak merasa lebih dengan hidupnya tidak pula merasa kurang, dan seterusnya. Sama seperti Toru Watanabe di Norwegian Wood atau Tengo di 1Q84.

Yang menarik dari Murakami barangkali ketekunannya menggali sesuatu. Ibarat seorang penggali sumur yang andal, dia tidak akan pindah ke lubang lain sebelum lubang yang sedang ia gali mencapai kedalaman yang ia inginkan. Ia sendiri tidak tahu sedalam apa yang mesti ia capai, maka ia terus saja menggali.

Itu yang terjadi dengan elemen-elemen fiksi Murakami. Manusia yang terisolasi dari lingkungan sosialnya, ia gali sampai ke dalam. Bagaimana seorang yang sangat soliter memandang dunia maupun melihat ke dirinya sendiri. Kekosongan yang dirasakan seorang manusia karena penyebab-penyebab tertentu, keinginan untuk mati, dan perasaan dibuang dari kelompok. Hal-hal tersebut terus Murakami garap dari buku ke buku, tanpa mengetahui atau mengukur sejauh mana ia harus menggarapnya.

Di satu sisi, ini bisa menyebabkan kebosanan. Saya bercanda kepada diri sendiri, dengan angkuh mengatakan bahwa saya tahu alasan Murakami tidak menang Nobel Kesusastraan. Yakni karena ia tidak keluar dari sekat yang ia bangun di sekeliling dirinya. Ia terus-menerus menggali ke dalam, tanpa menangkap peristiwa yang terjadi di luar. Sangat mungkin analisis ceroboh saya ini keliru. Setidaknya dapat dilihat bahwa dari seluruh buku yang pernah ia tulis, hanya sedikit yang bisa dibilang Murakami melihat ‘ke luar’.

Namun, di lain sisi, bisa jadi ini menunjukkan salah satu kehebatan Murakami. Ia sangat tekun. Ia berfokus hanya pada satu lubang lantas menggali habis lubang itu sampai ia pikir tak ada gunanya ia menggali lebih dalam lagi. Hal ini dapat terlihat dari minimnya eksplorasi gaya tutur maupun tema. Dari buku ke buku, kita dapat menemukan benda-benda atau elemen-elemen yang terus muncul dan berulang. Murakami menyekat dirinya untuk berlari di satu lintasan panjang dan menulis hal itu-itu saja. Tetapi, seperti saya katakan sebelumnya, barangkali dengan melakukan hal tersebut dia mengasah kemampuan fokus dan kesabarannya sebagai seorang pengarang.

Tsukuru Tazaki dapat kita temukan di buku-bukunya yang lain dengan nama berbeda. Sifat, tingkah laku, dan kebiasaannya akan sama. Begitu pula dengan sahabat-sahabat Tsukuru, kita akan menemukan mereka di buku-buku lain milik Murakami dengan nama berbeda. Saya ingin menuduh Murakami telah terjebak pada suatu pola dan bentuk.

Mannerism. “Ciri khas” dalam sebuah karya (atau rangkaian karya, jika pengarangnya sudah menelurkan banyak buku) bisa menjadi keunggulan yang membedakan si pengarang dengan pengarang-pengarang lain, namun bisa juga jadi jurang yang berbahaya. Ciri khas membawa pengarangnya pada sebuah pakem, yang sadar atau tidak akan dia patuhi di karya-karya ia berikutnya. Padahal, ketika pakem sudah terbentuk, maka eksplorasi atau eksperimen tidak terjadi. Ketika eksplorasi atau eksperimen tidak terjadi, kreativitas menemui jalan buntu.

Lagi-lagi, saya tidak ingin ceroboh mengatakan bahwa Haruki Murakami telah menemui jalan buntu kreativitasnya. Walau bisa kita lihat dari bukunya yang satu dengan bukunya yang lain, tidak ada yang betul-betul berbeda dan baru (apakah hal ini bagus atau tidak bagi seorang penulis, masih bisa kita diskusikan lebih lanjut, namun saya sudah menyampaikan argumen tentang hal ini). Saya hanya membayangkan Murakami keluar dari kamarnya, melihat tempat-tempat baru, menemui orang-orang baru dan berbeda dengan dirinya, menjelajah ke area lain.

Jika itu terjadi, saya rasa akan ada kesegaran yang betul-betul baru dan berbeda dari karya Murakami. Dan, tentu saja ini adalah hiburan bagi pembaca setianya, yang telah berulang kali disuguhkan hal-hal serupa, tahun demi tahun.

Ah, apa-apaan ya. Saya jadi merasa terlalu sok tahu dan menggurui Murakami. Tidak tepat begitu, sih. Barangkali ini hanya wujud ekspresi saya yang perlahan-lahan mulai merasa bosan (namun saya tetap berencana menyelesaikan membaca semua bukunya) dengan hal-hal itu-itu saja yang kembali muncul, terus berulang dari satu buku ke buku lain. Jujur saja, saya jemu. Terhibur, namun jemu. Saya hanya berharap Murakami keluar dari sumurnya dan pergi ke pantai atau naik gunung.


Saya hanya penggemar yang menginginkan idolanya melakukan hal baru. ***

The Wind-Up Bird Chronicle, Haruki Murakami

$
0
0



Ini adalah kali ketigabelas, saya membaca buku Murakami. Bukan perjalanan yang pendek dalam mengikuti rekam jejak karya seorang pengarang, setidaknya bagi saya sendiri. Saya menyukai Joanne Kathleen Rowling dan Pramoedya Ananta Toer, namun tidak/belum membaca habis seluruh buku mereka. Dari JKR, tujuh buku serial Harry Potter, tiga buku serial The Hogwarts Library, dan satu dari serial novel kriminal sudah saya baca, menyisakan The Silkworm yang sampai saat ini masih parkir rapi di rak buku di kamar saya. Dari Pram, saya baru menamatkan serial Tetralogi Buru dan dua novel pendeknya, Bukan Pasarmalam dan Gadis Pantai. Namun kedua penulis favorit saya itu masih ‘kalah jumlah’ dari Murakami. Murakami adalah, bisa dibilang, penulis yang paling banyak saya baca bukunya.

Bermula dari rasa girang saat membaca Dengarlah Nyanyian Angin, saya mulai mengoleksi dan membaca buku-buku Murakami yang lain. Novel, kumpulan cerpen, dan karya nonfiksinya. Semua karyanya berakar pada satu tema: solitude. Hidup yang soliter. Keinginan untuk memisahkan diri (atau dalam beberapa bukunya, terpisahkan) dari masyarakat. Tokoh utama di novel-novel maupun cerpen-cerpen Murakami adalah manusia yang terisolasi. Namun, mereka sama sekali tidak keberatan dangan keadaan tersebut. Mereka menerimanya sebagai sesuatu yang wajar. Kondisi yang memang mewakili kepribadian mereka, barangkali.

Toru Okada pun tak berbeda. Seperti halnya Toru Watanabe, Tengo Kawana, dan Tsukuru Tazaki (saya baru sadar saat menuliskan ini, ternyata tokoh utama Murakami banyak berinisial T), ia adalah laki-laki yang merasa nyaman dengan hidup soliter, mengisolasi dirinya dari masyarakat atau dunia luar. Ini ditunjukkan dari hasratnya masuk ke dalam sumur dan duduk berjam-jam di sana. Ditinggal oleh kucing peliharaan dan istrinya yang hilang, Toru Okada, meski tetap menyimpan kegelisahan dan berusaha mencari mereka, sebetulnya sangat menikmati saat-saat kesendiriannya pasca kehilangan kucing dan istrinya.

Tokoh utama di karya-karya Murakami kerap menunjukkan sosok yang tak memiliki tujuan. Aimless. Hidup mereka berjalan layaknya sungai, go with the flow. Jarang kita temukan ambisi atau hasrat yang menggebu-gebu akan sesuatu, apalagi rasa takut akan kegagalan. Tokoh-tokoh utama Murakami merupakan sampel sempurna akan manusia yang hidup namun tak hidup.

Meski demikian, pada setiap novel Murakami akan muncul titik benturan yang membuat tokoh-tokoh itu mulai memiliki keinginan. Tetap saja tidak dapat disebut sebagai hasrat ataupun ambisi. Sekadar keinginan yang lebih kuat dari sekadar menjalani hidup yang medioker.

Di The Wind-Up Bird Chronicle, titik benturan itu adalah hilangnya Kumiko Okada, istri Toru Okada. Suatu malam Kumiko tak pulang ke rumah. Sampai keesokan harinya, Toru Okada tak melihat istrinya itu di dalam rumah. Ia menelepon ke kantor sang istri, dan kantornya menjawab bahwa Kumiko tidak masuk kerja sejak sehari yang lalu, itu adalah hari ketika kali terakhir Toru Okada melihat istrinya.

Pencarian Toru Okada membawa kita masuk ke poin berikutnya dari benang merah-untuk tidak menyebutnya template-novel Murakami: absurditas dan surealisme.

Oh, tunggu, sebelum masuk ke absurditas dan surealisme, kita akan mampir dulu di poin lain template Murakami, yakni tokoh sekunder perempuan yang memiliki kepribadian unik. Setelah Midori Kobayashi di Norwegian Wood dan Fuka-Eri di 1Q84, Murakami menghadirkan gadis lain dengan tiupan nyawa yang sama yang kali ini bernama May Kasahara. Oleh May Kasahara lah Toru Okada mendapatkan nama panggilan barunya, Mr. Wind-Up Bird. Gadis yang bekerja di perusahaan pembuat wig itu memiliki ciri-ciri serupa dengan Midori dan Fuka-Eri (pengecualian pada sifat introvert Fuka-Eri), yakni outgoing, memiliki pandangan yang unik akan sesuatu, dan menjadi ‘orang kedua’ setelah ‘perempuan resmi’ dalam relasi percintaan tokoh utama.

Absurditas dan surealisme Murakami selalu berusaha untuk mengaburkan pandangan pembaca akan mana yang nyata dan mana yang gaib. Murakami seperti hendak menghadirkan jukstaposisi, namun dengan cara yang teramat lembut dan format yang halus. Dunia lain di The Wind-Up Bird Chronicle dimulai ketika Toru Okada masuk ke dalam sumur dan menghabiskan waktunya di sana. Ia tertidur, lantas bermimpi. Di mimpinya, dunia kedua mengambil wujud. Dunia kedua di banyak novel Murakami adalah tempat tokoh utama menemukan petunjuk-petunjuk untuk menyelesaikan persoalannya di dunia nyata. Dalam hal ini, peristiwa misterius hilangnya istri Toru Okada.

Satu hal yang paling berbeda di The Wind-Up Bird Chronicle adalah keputusan Murakami memasukkan peristiwa nonfiksi. Yakni peristiwa perang. Barangkali ini yang membuat The Wind-Up Bird Chronicle menjadi salah satu novel Murakami yang ‘diakui’ dunia. Novel-novel Murakami hampir jarang memiliki unsur-unsur (tersurat) tentang permasalahan sosial dan politik. Ia agaknya lebih tertarik mengulik psikologi individu manusia dan relasi antarmanusia.

Dalam pada itu, membaca The Wind-Up Bird Chronicle memberi pengalaman yang (sedikit) berbeda bagi saya. Menjadi buku ketigabelas Murakami yang saya baca, The Wind-Up Bird Chronicle setidaknya menunjukkan kepada saya bahwa Murakami bisa, melihat ke luar. Ia bisa keluar dari sumur dan menangkap serta menuliskan hal-hal lain di luar dirinya. Ia bisa menceritakan sesuatu yang lebih ‘besar’ dan ‘luas’.

Meski demikian, tak dapat dipungkiri bahwa template Murakami membuatnya menjadi pengarang yang memiliki ciri khas kuat. Walaupun menurut saya, ‘pola’ atau mannerism bisa menjelma jadi jebakan bagi seorang penulis. Jika ia menelurkan 40 novel dan semuanya bertema seragam, dengan tokoh-tokoh yang karakternya tak jauh berbeda, plot yang mirip, minim eksplorasi maupun eksperimen, maka ia telah mendekati ajal kreativitasnya.

Apakah saat ini Murakami telah mendekati ajal kreativitasnya? Saya berdoa semoga saja tidak. Meski di dua buku terbarunya yang saya baca, Colorless Tsukuru Tazaki and His Years of Pilgrimage dan The Strange Library, mau tidak mau saya harus bilang bahwa saya tak mendapatkan pengalaman yang betul-betul segar.

Tentu saja pembaca tetap dapat menikmati buku yang ditulis dengan perulangan-perulangan tersebut, selama buku itu bagus dan enak dibaca. Dan barangkali perulangan adalah hal paling mudah dan senjata ampuh untuk menjaga minat pembaca. Toh, Nicholas Sparks tetap laris manis dengan bejibun novel romannya, Stephen King tetap besar dengan rangkaian novel thriller, tanpa perlu mencoba menulis genre lain.


Bukan berarti saya menyarankan Murakami untuk menulis novel fantasi atau fiksi sains (meski dalam beberapa hal sebetulnya ia telah melakukannya). Namun, saya percaya, seorang penulis, seperti juga tenaga kreatif lain, mesti terus-menerus menjebol dinding kreativitasnya dan tak pernah berhenti menjelajah kemungkinan-kemungkinan baru dalam bercerita. ***

Review Lelaki Harimau di Jawa Pos

$
0
0
Tulisan ini dimuat di Jawa Pos beberapa bulan lalu, kalau tidak salah bulan Oktober 2014. Hanya saya baru ingat ternyata belum sempat dipajang di sini. Jadi, saya pajang saja.


Ulasan saya atas novel Lelaki Harimau Eka Kurniawan dapat dibaca di sini dalam versi yang sedikit lebih panjang.




Review Aksara Amananunna di Jawa Pos

$
0
0
Catatan pembacaan saya atas buku Aksara Amananunna Rio Johan dimuat diJawa Pos edisi Minggu, 25 Januari 2015.


Tulisan tersebut dapat dibaca dalam versi yang sedikit lebih panjang di sini.



Jatuh Cinta di Joglosemar

$
0
0


Jumat – Sabtu lalu (23 – 25 Januari 2015), saya dan penerbit GagasMedia main-main ke Jogja, Solo, dan Semarang untuk bertemu para pembaca, sekaligus memperkenalkan buku terbaru saya, kumpulan cerita Jatuh Cinta Adalah Cara Terbaik untuk Bunuh Diri.

Kami memulai perjalanan dari Jogja, kota yang sebetulnya juga saya tinggali. Jadi, di kota ini saya hanya melakukan perjalanan dari kos ke toko buku.

Di Jogja (23/1) saya menemui teman-teman pembaca di Gramedia Sudirman. Acara dimulai sedikit terlambat, namun berjalan lancar. Beberapa hari sebelumnya, saya mengobrol di RRI Pro 2 Yogyakarta, juga bercerita tentang buku terbaru saya.





Hari kedua (24/1) saya dan kru GagasMedia beranjak ke kota kedua: Solo. Di Solo, kami menyambangi Radio PTPN Solo dan Gramedia Solo Square. Begitu tiba di lokasi, ternyata beberapa kursi sudah terisi. Acara berjalan menyenangkan karena saya mendapat pertanyaan-pertanyaan yang belum pernah saya terima.





Dari Solo, malam hari kami langsung melanjutkan perjalanan ke kota terakhir: Semarang. Tiba di Semarang pukul setengah duabelas malam. Saya kelelahan dan langsung tertidur. Sempat merasa pusing sepanjang perjalanan karena memang sedang kurang fit. Namun, bayang-bayang bertemu teman-teman pembaca membuat saya bersemangat. Saya tidak sabar ingin menyapa mereka.

Hari terakhir (25/1) pukul sepuluh di pagi hari saya bertandang ke Radio Gajahmada FM, untuk taping wawancara. Tanya-jawab dan obrolan santai dengan penyiar Gajahmada FM berlangsung seru dan bisa saya bilang cukup ‘berisi’. Alih-alih berbasa-basi tentang sumber ide menulis dan hal-hal standar lainnya, sang penyiar menanyakan perkara yang lebih spesifik tentang konteks buku dan perihal trivia lain yang sangat menghibur saya. Satu jam terlewati dan kami berpamitan untuk makan siang.




Sore harinya, kami beranjak dari hotel menuju Gramedia Pemuda yang ternyata sangat dekat letaknya dengan hotel. Tidak sampai 10 menit perjalanan. Saya sempat mengira venue akan sepi pengunjung karena toko buku yang dipakai kali ini bukan toko buku yang biasanya dipakai untuk acara meet and greet.

Namun, perkiraan saya keliru. Seiring talk show berlangsung, pengunjung bertambah dan memenuhi kursi-kursi yang telah disediakan. Bahkan, kru harus menambah beberapa kursi lagi untuk memberi tempat ke pengunjung baru.

Obrolan dan tanya-jawab dengan teman-teman pembaca di Gramedia Pemuda pun berjalan sangat menyenangkan. Seorang pembaca bertanya kepada saya tidak tentang menulis, melainkan membaca buku. Inilah yang dapat membuat hati saya senang: pertanyaan yang baru, sehingga saya terpancing untuk menceritakan hal baru.





Alhamdulillah. Tiga hari melakukan perjalanan jatuh cinta di tiga kota mengingatkan saya akan satu hal: pembaca adalah salah satu sumber energi yang besar bagi proses kreatif menulis saya. Saya tidak bisa menafikan kehadiran dan peran mereka dalam perjalanan karir saya sebagai penulis. Mereka yang membaca dan mengapresiasi, mengikuti, bahkan menunggu apa yang akan saya keluarkan selanjutnya.

Apa lagi yang dapat membuat mereka melakukan semua itu kalau bukan karena perasaan jatuh cinta?

Tidak ada hal yang bisa saya lakukan untuk merespons apa yang telah mereka lakukan kepada saya, selain mengucapkan terima kasih, dan terus berkarya dengan lebih baik.

Saya berjanji. Saya akan terus melakukan dua hal tersebut.



Bara


Jatuh Cinta di Surabaya dan Malang

$
0
0



Meneruskan perjalanan tur promo buku terbaru saya: Jatuh Cinta Adalah Cara Terbaik untuk Bunuh Diri, saya dan tim penerbit GagasMedia bertandang, kali ini, ke Jawa bagian Timur. Tepatnya ke Surabaya dan Malang.

Tanggal 13 Februari 2015, saya berangkat dari Jogja pukul enam pagi menggunakan kereta. Sancaka Pagi, nama keretanya. Ini bukan perjalanan pertama saya ke Surabaya. Beberapa buku saya sebelumnya membawa saya melakukan perjalanan ke Surabaya, juga untuk urusan promosi.

Hari itu hari Jumat, saya tiba di Surabaya tepat pukul duabelas siang. Di stasiun Surabaya Gubeng, saya sudah ditunggu Zaenal, kru pemasaran Agromedia, yang dalam tiga hari ke depan akan menemani saya berpindah dari satu tempat ke tempat lain untuk bertemu para pembaca.

Malamnya, kami bertandang ke Prima Radio Surabaya. Sempat ada masalah karena ternyata alamat radio yang kami simpan tidak valid. Akibatnya, kami harus menempuh jalan lebih jauh untuk menuju lokasi, dan kehilangan tak kurang dari setengah jam dari waktu talk show. Saya tiba di Prima Radio tigapuluh menit terlambat dari jadwal, dan menggunakan waktu yang tersisa sebaik-baiknya untuk bercerita sedikit tentang buku saya.



Hari kedua, Sabtu tanggal 14 Februari 2015, saya bertemu dengan teman-teman pembaca di Gramedia Tunjungan Plaza, masih di Surabaya. Acara dimulai pukul dua siang dan berakhir pukul empat sore. Meski setelahnya kami masih sempat berfoto bersama, dan saya mengobrol singkat dengan beberapa pembaca. Mereka sangat menyenangkan, karena begitu antusias mengikuti acara meet and greet dan tampak amat menyimak apa yang saya sampaikan.



Selesai di Gramedia Tunjungan Plaza, kami langsung melanjutkan perjalanan menuju Malang. Beranjak pukul setengah tujuh malam, kami tiba di Malang sekitar pukul sembilan. Terhitung cukup cepat, mengingat dari pengalaman saya biasanya butuh waktu paling lekas tiga jam perjalanan darat dari Surabaya ke Malang.

Setelah check-in di hotel, saya langsung istirahat karena merasa cukup lelah. Namun, saya menyimpan semangat yang besar untuk keesokan harinya. Agenda yang padat di Malang sudah menunggu.

Hari ketiga, Minggu 15 Februari 2015, seluruh agenda promo bertempat di Malang. Ada empat acara yang sudah terjadwal.

Pertama, pukul delapan lebih seperempat kami datang ke Radio Elfara FM, Malang. Di sana saya bicara tentang beberapa hal mengenai buku Jatuh Cinta Adalah Cara Terbaik untuk Bunuh Diri, dan hal-hal lain terkait tulis-menulis. Penyiar yang bertugas menyampaikan pertanyaan-pertanyaan yang menyenangkan. Talk show berjalan lancar dan berakhir sekitar pukul sepuluh pagi.



Dari Elfara, kami berpindah ke Toko Oen. Saya dijadwalkan bertemu dengan teman-teman dari klub buku Surabaya. Nama klub bukunya “Booklicious”. Teman-teman dari Booklicious datang tepat waktu. Bahkan, mereka sudah menunggu kami di lokasi. Saya menyalami tiga orang pertama, lalu kami mencari meja yang lebih lebar karena akan ada cukup banyak orang lagi yang datang.

Benar saja, tidak sampai sepuluh menit setelahnya, teman-teman Booklicious yang lain mulai berdatangan. Sepertinya tak kurang dari duapuluh orang berkumpul di meja panjang, dan kami berbincang-bincang santai tentang kepenulisan fiksi.

Ditemani es krim cokelat rekomendasi dari pramusaji, saya menjawab pertanyaan teman-teman Booklicious. Mulai dari bagaimana menciptakan karakter fiksi yang kuat, hingga trik-trik agar tulisan yang diambil dari kisah pribadi tidak tampak seperti curhatan colongan alias curcol.

Pertemuan menyenangkan itu berlangsung nyaris selama dua jam. Lebih panjang dari satu jam yang direncanakan.

Saya juga sempat bertemu dengan tim panitia Malang Membaca, yang menyelenggarakan acara “Festival Cerita dari Malang”, di mana saya menjadi salah satu pembicara dan pengisi kelas menulisnya. Acara ini akan dilangsungkan pada tanggal 27 dan 28 Februari 2015. Jika ingin mengikuti acara ini, silakan daftar atau cari informasinya di Twitter: [at]malangmembaca.



Selesai di Toko Oen, saya melangkah ke Gramedia Basuki Rachmat, yang hanya terletak di samping Toko Oen. Saya menyempatkan diri membeli novel The Godfather Mario Puzo edisi terjemahan Indonesia di area buku obral di pelataran toko, sebelum masuk dan naik ke lantai dua, menuju venue acara (sebelumnya saya mengisi perut di restoran cepat saji di seberang jalan, saya kelaparan karena lupa memesan makanan dan hanya makan segelas es krim di Toko Oen).

Beberapa kursi sudah terisi ketika saya tiba di venue. MC memanggil nama saya dan acara pun dimulai. Pada kesempatan tersebut, saya lebih banyak bercerita mengenai hal-hal yang melatarbelakangi keputusan saya menulis cerita-cerita pendek di dalam Jatuh Cinta Adalah Cara Terbaik untuk Bunuh Diri. Saya bercerita tentang kekerasan, dan bagaimana kekerasan menjadi salah satu tema besar di buku terbaru saya.



Perjalanan jatuh cinta di Surabaya dan Malang pun berakhir. Saya kembali ke Jogja keesokan paginya, juga menggunakan kereta. Kali ini Malioboro Express. Jika tidak sedang terburu-buru, saya memang lebih senang bepergian dengan kereta daripada pesawat terbang. Kereta api mengizinkan saya larut dalam waktu dan melankoli, tidak seperti pesawat terbang yang lebih sering membuat saya terburu-buru, tertidur, atau menghindar dari penumpang di sebelah saya.

Saya ingin mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang terlibat dalam perjalanan jatuh cinta di Surabaya dan Malang, terutama kepada teman-teman pembaca, yang sudah sudi meluangkan waktunya untuk menemui saya. Antusiasme, perhatian, dan semangat kalian adalah energi besar bagi saya untuk terus berkarya.

Perjalanan jatuh cinta berikutnya akan diteruskan di daerah JABODETABEK. Kira-kira akan berlangsung pada pertengahan bulan Maret. Tunggu jadwalnya, ya.

Sekali lagi, terima kasih Surabaya dan Malang. Kalian keren dan menyenangkan!



Bara


Cerpen: Perkenalan (Koran Tempo 15 Februari 2015)

$
0
0




Perkenalan
Cerpen Bernard Batubara

Dimuat di Koran Tempo, Minggu 15 Februari 2015


“Kamu harus tahu, Harumi sayang. Pada zaman ketika kekerasan begitu mudah dilakukan, hal terburuk yang bisa dimiliki seseorang adalah identitas.” Bong berkata demikian, tepat satu hari sebelum ia mati mengenaskan. Kepalanya ditemukan terpisah sejauh lima meter dari tubuhnya. Jasadnya tergeletak begitu saja di tengah jalan.

Pertama-tama, saya minta maaf kepada teman-teman semua, karena sudah membuka perkenalan ini dengan adegan yang kurang nyaman. Namun, apa boleh buat, begitulah memang yang saya alami. Maka, begitu pula yang akan saya sampaikan. Perkenalan ini akan singkat saja. Jadi, saya mohon teman-teman tidak pergi dari tempat ini.

Teman-teman semua.

Nama saya Harumi. Saya bukan orang Jepang. Saya akan bercerita tentang kehidupan saya. Namun, mengingat ucapan terakhir Bong, saya akan mengisahkan cuplikan masa lalu saya dengan mengubah seluruh identitas orang-orang yang ada di dalamnya. Mungkin juga identitas tempat-tempat.

Teman-teman silakan duduk dengan baik. Tidak perlu takut. Saya tidak akan berlama-lama. Saya juga merasa aneh bicara dengan suara yang bukan milik saya.

Baik. Untuk mempersingkat waktu, saya akan mulai dengan keluarga saya.

Nama papa saya Tuan Pemegang Kaki. Tentu saja, itu bukan nama asli. Dia suka membaca novel-novel pengarang Jepang terutama yang di dalamnya ada kisah-kisah tentang geisha. Nama mama saya Nyonya Pecah Belah. Dia suka melempari kepala saya dengan piring kaca, gelas kaca, atau sesekali menggunakan sendok nasi.

Tuan Pemegang Kaki memiliki obsesi terhadap geisha. Ia memburu dan mengumpulkan semua novel Jepang yang di dalamnya terdapat tokoh geisha. Pada suatu malamsaat saya berusia 8 tahun, Tuan Pemegang Kaki mengurung saya di kamar dan mendandani saya seperti seorang geisha. Dia memeluk saya dan mencium-cium pipi saya. Lama-lama dia mengelus leher saya dan meraba kaki hingga ke paha saya. Dia berhenti karena pintu kamar digedor keras oleh Nyonya Pecah Belah. Tampaknya Nyonya Pecah Belah merasa ini sudah giliran dia untuk melempari saya dengan gelas kaca baru, bonus dari sabun cuci piring yang dia beli saat belanja pagi tadi.

Tuan Pemegang Kaki membuka pintu sambil menggerutu. Nyonya Pecah Belah setengah berteriak saat melihat wajah saya penuh pupur dan gincu yang merah tebal di bibir saya. Dia berteriak lagi ke wajah Tuan Pemegang Kaki dan menamparnya tidak kurang dari sepuluh kali. Tuan Pemegang Kaki tidak melawan.

Itu bukan yang pertama kalinya.

Teman-teman yang saya sayangi.

Saya tahu saya terdengar dingin saat menceritakan semua ini. Tapi percayalah, pada saat peristiwa itu terjadi, saya merasakan panas yang tiada tara. Apalagi jika teman-teman tahu bahwa kejadian seperti itu tidak hanya berlangsung sekali dalam hidup saya. Melainkan, hmm, tidak terhitung. Mungkin lebih banyak dari gabungan jumlah jari tangan kita yang sedang berada dalam ruang kelas ini.

Satu-satunya hal yang bisa meredakan panas di kepala saya waktu itu adalah seorang laki-laki. Namanya Bong. Saya bertemu dengan Bong karena sebuah kecelakaan. Benar-benar kecelakaan.

Ketika itu, saya sedang menyeberang jalan di depan sekolah. Jalanan terlihat sepi, namun tiba-tiba sebuah sedan hitam melesat ke arah saya dan seketika saja saya tidak sadarkan diri.

Ketika saya siuman, saya melihat Bong di sebelah saya. Dia duduk di kursi. Saya terbaring di ranjang. Waktu itu saya belum tahu namanya Bong. Kami berkenalan setelah dia menjawab raut bingung saya saat melihat ke sekeliling ruangan.

“Kamu lagi di rumah sakit. Mobil yang saya kendarai nabrak kamu. Saya yang bawa kamu ke sini,” kata Bong. Wajah Bong putih dan kepalanya gundul. Bola matanya terlihat licin dan berkilau, seperti permukaan piring keramik hiasan yang biasa Nyonya Pecah Belah lemparkan ke kepala saya setiap subuh dan petang. Bong mengenakan kemeja warna putih. Saya mencium wangi dari tubuhnya. Untuk sesaat, saya merasa seperti berada di dalam hutan hujan, di antara hamparan tanah basah dan pohon-pohon.

“Jangan khawatir, saya akan bertanggungjawab.”

Saya tidak memikirkan Tuan Pemegang Kaki dan Nyonya Pecah Belah, atau meminta bantuan mereka. Karena saya tahu hal itu tidak berguna. Saya melihat punggung tangan saya terpasangi infus. Saya memegangi kepala dan merintih.

“Kata dokter, ada pendarahan di kepala kamu. Tapi kamu akan baik-baik saja. Siapa nama kamu?”

Nama? Siapa nama saya? Kepala saya bagaikan gong dan pertanyaan Bong saat itu terasa seperti pemukul kayu besar yang menghajar kepala saya. Ada bunyi gong yang berulang di dalam kepala saya, dan saya tidak berhasil menemukan apapun yang bisa digunakan untuk menjawab pertanyaan Bong, meski pertanyaan itu sangatlah sederhana.

Nama?

Siapa nama saya?

“Kamu tidak bisa ingat?” kata Bong, tampak khawatir.

Siapa nama saya?

Saya melihat ke Bong, masih merasa bingung. Bong menggeleng dan menghela napas panjang. Lalu, dia bicara lagi.

“Saya sempat buka tas kamu tadi, maaf, saya harus cari nomor telepon orangtuamu atau alamat rumahmu. Tapi, saya tidak menemukan apa-apa. Di tas kamu cuma ada buku catatan dan dua buah jeruk. Kamu tidak bawa dompet?”

Dompet? Saya menggeleng. Saya tidak pernah bawa dompet. Saya selalu bawa uang dengan melipat-lipatnya dan menyimpannya di kantong dada seragam sekolah.

“Apa nama kamu Harumi? Saya lihat gantungan kunci dengan huruf-huruf membentuk H-A-R-U-M-I di tas kamu. Tadinya saya ingin panggil kamu Harumi, tapi saya tidak yakin itu nama kamu. Kamu bukan orang Jepang.”

“Bukan,” kata saya.

Bong tertawa kecil. “Untuk sementara, saya panggil kamu Harumi saja. Saya akan coba cari kontak orangtua kamu.”

Saya hanya diam.

“Omong-omong, kamu suka baca novel tidak? Saya pernah baca novel Jepang. Tentang geisha. Ada seorang geisha bernama Harumi di sana. Lucu sekali.”

Saya tidak menjawab, kepala saya masih terasa sakit. Beberapa jam setelahnya, dengan cara yang tidak saya ketahui, Bong menemukan alamat rumah saya. Dia mengantarkan saya pulang setelah kondisi saya cukup membaik.

Teman-teman yang saya cintai.

Saat itu saya berusia 17 tahun, sama seperti teman-teman semua saat ini. Bong tigapuluh tahun di atas saya. Dia punya dua anak. Istrinya sudah meninggal saat melahirkan anak kedua mereka. Bong menceritakan ini ketika kami bertemu pasca minggatnya saya dari rumah.

Dua hari setelah pulang dari rumah sakit, saya membeli tiket pesawat menuju Surabaya, tempat nenek dari Papa. Namanya Nek Mun. Nek Mun baik sekali. Semenjak saya berusia 5 tahun, Nek Mun tinggal di rumah dan mengasuh saya. Nek Mun kembali ke kampungnya di Surabaya ketika saya berusia 15 tahun.

Nek Mun berteriak senang saat melihat saya di muka pintu. Dia memeluk saya sampai menangis. Saya juga ikut-ikutan menangis. Nek Mun bertanya ada apa saya pergi ke Surabaya, bagaimana keadaan Papa dan Mama, dan seterusnya. Saya jawab apa adanya saja.

Setelah mendengar cerita saya, Nek Mun menghela napas berat dan mulai berkisah.

Dahulu, Papa dan Mama baik-baik saja. Yang dimaksud Nek Mun dengan dahulu adalah ketika saya belum lahir. Saya lahir di tahun 1997. Kata Nek Mun Papa dan Mama tampak begitu bahagia ketika melihat saya. Saya hampir-hampir tidak percaya.

Setahun setelah itu, semuanya berubah. Kebahagiaan yang tadinya mengisi setiap sudut rumah, kini menjelma jadi teror tak berkesudahan. Saya masih berusia satu tahun, jadi saya tidak tahu apa yang sedang terjadi. Ini saya ceritakan dari apa yang dikisahkan oleh Nek Mun.

Teman-teman sekalian.

Papa saya, Tuan Pemegang Kaki, adalah laki-laki dari suku X. Sementara mama saya, Nyonya Pecah Belah, adalah perempuan dari suku Y. Tidak pernah ada masalah antara X dan Y sebelum 1997. Tapi setelah 1997, tiba-tiba X dan Y bagaikan air dan minyak. Mustahil menyatukan mereka, dengan cara bagaimanapun.

Nek Mun terus berkisah. Dia memberitahu apa yang dia lihat setelah 1997.

Kampung halaman Tuan Pemegang Kaki dan Nyonya Pecah Belah tidak saja dihuni oleh suku X dan Y, melainkan juga suku A, B, C, dan D. Pada suatu hari, Nek Mun pulang berbelanja sayur-mayur ketika dia melihat rumah orang-orang ditulisi kalimat-kalimat singkat berbunyi: “DI SINI SUKU A”, atau “ORANG SUKU C”. Nek Mun tidak paham apa maksud mereka menulisi dinding-dinding rumah sendiri dengan kalimat-kalimat seperti itu.

Belakangan, baru Nek Mun tahu, mereka melakukannya agar tidak diserang oleh X ataupun Y. Kedua suku itu bertikai karena suatu sebab yang hanya diketahui oleh Tuhan Yang Maha Mengetahui, kata Nek Mun.

Pertikaian kedua suku meruncing hingga tak bisa lebih tajam lagi. Dua belas jam setelah orang-orang mulai menulisi dinding-dinding rumah mereka, Nek Mun melihat Tuan Pemegang Kaki meraung di ruang tamu dan Nyonya Pecah Belah menggerung di dapur. Dua adik kandung Tuan Pemegang Kaki baru saja dikuburkan. Leher keduanya putus ditebas parang. Di pihak Nyonya Pecah Belah, satu korban. Kakak perempuannya tewas dibacok di dada.

Teman-teman yang saya sayangi.

Seperti janji saya, perkenalan ini singkat saja. Mohon maaf jika saya sudah mengganggu teman-teman dan seluruh penghuni sekolah ini. Saya tidak bermaksud demikian. Saya hanya butuh bercerita. Saya ingin menyampaikan hal-hal tadi, juga bahwa Bong, orang saya cintai, telah mati tanpa kepala. Saya sendiri mati setelahnya. Gantung diri di kamar. Saya pikir saat itu, ini cara paling mudah untuk menghampiri Bong.

Sebelum saya gantung diri, saya menerima kabar bahwa Bong ditemukan tergeletak di tengah jalan. Kepalanya terpisah sejauh lima meter dari tubuhnya. Ada yang bilang orang suku X memenggal Bong. Ada juga yang bilang itu perbuatan suku Y. Yang jelas, saya tahu, Bong bukan bagian dari X maupun Y. Ia tidak bersuku. Ia tidak berbangsa. Begitu yang Bong bilang kepada saya.

Teman-teman.

Maaf untuk peristiwa-peristiwa yang belakangan terjadi di sekolah ini. Jangan takut. Peristiwa-peristiwa itu bukan kerasukan. Hanya cara saya berkomunikasi. Seperti teman-teman tahu, saya tidak punya tubuh, meski saya punya pesan.

Saya meminjam tubuh salah satu di antara kalian karena tidak tahan melihat adegan-adegan di masa hidup saya dahulu, kini berulang lagi. Saya hanya ingin menunjukkan bahwa kekerasan seperti ini sudah pernah terjadi sebelumnya.

Bukankah manusia yang baik adalah manusia yang belajar dari sejarah, terutama yang paling penuh luka? Begitu kata Bong. Saya berharap teman-teman tidak melanjutkan pertempuran yang tidak menghasilkan apa-apa selain darah. Pacar saya sebelum Bong juga senang ikut teman-temannya yang tawuran. Dia berhenti setelah saya berkata kepadanya bahwa saya perempuan, kalau dia ingin darah, saya bisa memberikannya setiap bulan.

Teman-teman, saya akan segera pergi. Jangan khawatir, saya tidak akan kembali lagi dan merasuki siapapun. Saya sudah menyampaikan apa yang ingin saya sampaikan. Izinkan saya tutup perkenalan ini dengan mengucapkan terima kasih, terutama kepada gadis yang saya rasuki ini. Dia tubuh yang sangat pas dengan ruh saya.

Selamat tinggal.



(2014)



My Name Is Red, Orhan Pamuk

$
0
0



Latar waktu yang diambil Pamuk dalam kisah dengan setting Istanbul ini adalah sekitar abad ke-16. Sekelompok miniaturist-sepanjang membaca saya membayangkan mereka sebagai seniman rupa, pelukis, atau ilustrator-mendapat mandat dari Sultan untuk membuat sebuah buku. Ternyata, masalah dimulai ketika sang mandor menggunakan teknik lukis gaya Eropa, yang dianggap menyalahi aturan agama dan membuatnya terancam sebagai seorang kafir.

Hal pertama yang terlintas di kepala saya ketika membaca My Name Is Red adalah, Orhan Pamuk merupakan penulis yang tahu bagaimana cara menangkap perhatian pembaca dengan cepat. Bisa kita lihat langsung dari paragraf pertama novel ini. Dituturkan dari sudut pandang seorang mayat, Pamuk menggunakan narasi yang padat dan catchy untuk menggambarkan keadaan mayat tersebut yang baru saja dibunuh, dan dalam keadaan wajahnya hancur dan berdarah.

Paragraf novel yang tebalnya tak kurang dari 400 halaman ini dibuka dengan narasi yang saya pikir cukup dramatis. Membawa saya masuk ke dalam cerita dengan pertanyaan demi pertanyaan. Mengapa mayat tersebut menjadi mayat? Mengapa seseorang membunuhnya? Adegan pembuka My Name Is Red mengingatkan saya pada novel-novel Dan Brown. Misteri disodorkan sejak awal untuk membuat pembaca segera tertangkap dalam ketegangan dan rasa penasaran.

Selain mampu ‘mencekik’ leher pembaca sedari awal, saya melihat Pamuk sebagai penulis yang juga telaten. Pilihan kata yang ia ambil di sepanjang kisah di dalam My Name Is Red tidak bisa dibilang ‘biasa’, dan saya tidak bisa membayangkan penulis yang terburu-buru mampu merangkai, menata, dan memilih kata demi kata dengan sangat sabar seperti yang Pamuk lakukan.  

Pada novel-novel lain, biasanya si penulis hanya memberi perhatian penuh pada paragraf-paragraf atau bab-bab awal, dan di sisa novel hampir dapat dipastikan, baik plot maupun narasinya tiba-tiba saja menjadi ‘kendor’ atau ‘kempis’. Paling-paling menjelang akhir novel, barulah si penulis memadatkan lagi narasinya dan memberi usaha lebih untuk menata kalimat demi kalimat, metafora demi metafora. Tidak demikian dengan My Name Is Red. Jumlah halaman yang banyak dan tokoh-tokoh yang jumlahnya tak bisa dibilang sedikit (belum lagi seluruhnya menggunakan sudut pandang orang pertama) tidak membuat Pamuk kempis sedikit pun. Memang, di bagian tengah Pamuk tampak kelelahan memilih-milih kata, sehingga narasinya tidak terasa sepadat bagian-bagian awal, tapi tetap saja jika dilihat secara keseluruhan, My Name Is Red adalah novel dengan narasi yang padat dan diksi yang memukau.

Karakter-karakter dalam My Name Is Red sangat variatif, mulai dari seorang lelaki melankolis yang menyimpan rasa cintanya terhadap seorang perempuan selama dua belas tahun dalam pelarian, kakek yang memiliki affair dengan pembantu rumah tangganya, seorang perempuan yang terjebak dalam perasaan bimbang memilih dengan siapa ia harus menikah di antara kedua lelaki yang menginginkannya, seorang perempuan Yahudi yang berprofesi sebagai penjaja pakaian sekaligus mak comblang, sampai seniman-seniman dengan karakternya masing-masing.

Yang menyenangkan dari membaca novel Pamuk ini bukan hanya karena karakter-karakternya variatif, melainkan juga karena semuanya memiliki suara sendiri-sendiri, alias dituliskan menggunakan sudut pandang orang pertama. Kita bisa memandang dari kacamata masing-masing karakter dan dengan suaranya masing-masing. Tidak hanya tokoh-tokoh utama dan tokoh-tokoh sampingan, bahkan benda-benda mati (lukisan) pun berbicara. Seperti seekor anjing yang mengomel betapa ia tidak menyukai seorang pendakwah beserta kelompoknya yang dianggapnya tak memiliki nalar dan akal sehat (saya mengira si anjing merujuk kepada kelompok Islam fundamentalis), sebuah koin emas yang telah mengelana dari kantong ke kantong lain, seekor kuda yang gagah dan menawan, sampai sebuah warna merah yang menggambarkan dirinya sendiri.

Tentu saja, menghadirkan banyak tokoh dengan menggunakan sudut pandang pertama tidaklah cukup. Tidak sedikit novel yang gagal karena penulisnya memiliki ambisi berlebih untuk memunculkan begitu banyak tokoh, namun tidak dapat membedakan suara satu tokoh dengan tokoh yang lain. Untungnya, My Name Is Red bukan novel yang gagal (ya, tentu saja, Pamuk adalah salah satu peraih Nobel Kesusastraan).

Selain narasi dan permainan sudut pandang yang bikin melongo, saya kira Pamuk sukses dalam hal karakterisasi. Seluruh tokohnya hadir dengan watak dan suaranya sendiri-sendiri, yang membuat kita mampu membedakan suara satu tokoh dengan tokoh lain. Dengan mata tertutup, misalnya saja, saya dapat membedakan siapa yang berbicara di sebuah adegan, apakah Black Effendi ataukah Butterfly. Tanpa membaca namanya, hanya dengan membaca narasi dan dialognya, saya juga bisa mengetahui apakah yang sedang berbicara adalah si penjaja pakaian Eshter ataukah si janda Shekure.

Namun, dari semua hal, yang paling saya sukai adalah bagaimana Pamuk bercerita di dalam cerita. Saya mengingat bagaimana Syahrazad dalam dongeng mahsyur Seribu Satu Malam. Membaca My Name Is Red adalah membaca cerita-cerita dan dongeng-dongeng lain di dalam cerita utama. Philosophical artificers of boxes within boxes, kata John Updike dalam testimoninya yang saya temukan di sampul belakang. Salah satu dongeng ‘sisipan’ yang saya suka adalah tentang seorang raja yang mengurung putrinya karena dianggap terlalu cantik, namun kecantikan sang putri tak bisa dipenjara, ia menyelinap keluar kurungan dan tertangkap oleh seorang pelukis. Dan ada banyak lagi dongeng-dongeng lain.

Mengikuti konflik dan perseteruan yang terjadi di antara sekelompok seniman di dalam novel ini membuat saya teringat tentang satu adegan ketika saya kecil.

Saya baru saja usai mengaji dan sembari menunggu teman-teman saya yang lain selesai mengaji, saya mengeluarkan buku gambar dari dalam tas dan mulai menggambar wajah manusia. Saat kecil, saya suka menggambar wajah manusia, kadang dengan gaya manga kadang pula dengan gaya yang sekarang baru saya tahu disebut dengan istilah realis. Guru mengaji saya menegur saya yang tengah menggambar. Ia berkata bahwa dalam Islam kita dilarang menggambar makhluk hidup, karena itu artinya kita berusaha untuk menyaingi atau menyamai Tuhan, dan itu artinya dosa besar. Semenjak saat itu saya takut menggambar dan tidak lagi memupuk bakat terpendam saya itu (hingga saat ini saya merasa menggambar adalah bakat saya yang terpendam).

Selain hal tersebut, Pamuk juga mempertentangkan dua ideologi: Timur dan Barat. Dalam hal ini Timur diwakili oleh Islam (Istanbul, Timur Tengah) dan Barat diwakili oleh Venetian (Eropa) yang di dalam novel selalu mereka sebut sebagai infidel, kafir. Pertentangan ini berpusat pada tokoh Enishte Effendi, seniman muslim yang terpukau dengan gaya menggambar orang-orang Eropa, yang menangkap objek dan melukisnya hingga tampak lebih nyata dan indah dari aslinya, yang bertentangan dengan ‘ajaran’ dalam Islam: bahwa apa yang kita gambar seharusnya adalah apa yang juga dilihat oleh Tuhan. Manusia semestinya menggambar sebuah benda lewat persepsi Tuhan atas benda tersebut. Tidak boleh kurang, tidak boleh lebih.


Terlepas dari itu semua, saya selalu merasa bahwa sepanjang hidupnya manusia akan selalu berusaha untuk mencari tahu tentang penciptanya, dengan cara apapun. Mempertentangkan dua ideologi yang berseberangan, melakukan hal-hal di luar norma, bahkan mengambil risiko dicap kafir seperti dalam novel ini, hanyalah beberapa hal yang bisa dilakukan manusia untuk mencapai misi tersebut. ***
Viewing all 402 articles
Browse latest View live