Quantcast
Channel: Bernard Batubara
Viewing all 402 articles
Browse latest View live

A Tale for the Time Being, Ruth Ozeki

$
0
0





Meski saya sendiri pernah menulis novel dengan sudut pandang orang pertama, saya bukan penggemar novel-novel dengan penceritaan lewat sudut pandang orang pertama. Menurut saya, novel-novel yang ditulis menggunakan sudut pandang orang pertama terkadang terlalu membuat saya tenggelam hanya pada satu tokoh, yakni tokoh utama, dan membuat saya tidak bisa mendapatkan informasi cukup dari tokoh-tokoh lain, dan karenanya saya tidak bisa memahami karakter mereka. Akibat buruknya adalah, saya tidak merasa utuh, karena isi cerita menjadi sangat subjektif dan personal. Bahkan kadang-kadang terasa tidak adil.

Tidak semua novel dengan sudut pandang orang pertama membosankan, tentunya. Ada novel-novel dengan sudut pandang orang pertama yang bagus dan menyenangkan. Salah satunya adalah A Tale For the Time Being, karangan novelis Jepang bernama Ruth Ozeki. Pertama kali saya melihat novel ini pada sebuah acara festival sastra di Ubud setahun yang lalu, dan saya tidak ngeh ketika itu penulisnya turut hadir. Setahun kemudian, barulah saya tertarik membaca novel ini, dan saya menyukainya.

Tampaknya memang kurang tepat kalau saya menyebut A Tale for the Time Being sebagai novel yang ditulis dengan sudut pandang orang pertama, karena di dalam novel ini terdapat dua macam sudut pandang, dari dua tokoh utama. Ya, tokoh utama di dalam novel ini ada dua orang, atau setidaknya saya menganggapnya demikian. Karena jika diperhatikan, memang hanya ada satu tokoh utama dalam novel ini, yakni seorang novelis bernama Ruth (saya duga si novelis dalam novel adalah orang yang menulis novel tersebut, Ruth Ozeki sendiri). Namun, ada satu tokoh lagi yang saya kira sangat bisa dianggap tokoh sentral, karena sebagian besar cerita berputar pada kisah hidupnya, yakni seorang gadis belia bernama Nao. Naoko Yasutani.

Nao dan Ruth, dua orang perempuan yang hidup pada lintasan waktu berbeda, dipertemukan lewat tulisan, dalam sebuah buku harian. Ruth menemukan buku harian itu terdampar di pinggir pantai, bersama dengan sebuah kotak makan bergambar Hello Kitty (buku harian tersebut ada di dalamnya). Ruth membawa kotak makan itu pulang, membukanya, dan menemukan sebuah buku harian. Awalnya, Ruth tidak begitu tertarik, namun setelah ia mulai membaca halaman demi halaman, tanpa ia sadari ia sudah terisap dalam kisah hidup si pemilik buku harian, Nao.

Apakah isi buku harian itu? Inilah yang membentuk isi cerita. Nao menuliskan kisah hidupnya sendiri, keluarganya, dan nenek buyutnya; seorang biarawati budha berusia 104 tahun, bernama Jiko. Nao menulis tentang Jiko, dengan diawali bercerita tentang ayahnya yang dipecat karena perusahaannya bangkrut, kepulangan mereka ke Jepang (sebelumnya mereka tinggal di Sunnyvale, California), depresi yang diderita ayahnya, keretakan dan ketidakharmonisan keluarga mereka karena peristiwa tersebut, dan adegan-adegan bullying yang dialami Nao di sekolah atas akibat dari statusnya yang siswa baru pindahan dari luar Jepang.

Nao, yang telah lama terbiasa dengan kebiasaan dan gaya hidup orang Amerika, telah teralienasi di sekolah barunya di Jepang bahkan sebelum ia sempat merasa teralienasi. Teman-teman di sekolahnya sering mengejeknya dengan kata-kata yang membuat tidak nyaman. Beberapa orang temannya sempat memotret Nao yang sedang membersihkan darah haid di toilet sekolah, hampir memperkosa Nao, dan melelang celana dalam Nao yang berdarah. Bahkan, puncaknya, mereka membuat video pemakaman Nao dan mengunggahnya ke Youtube, mengganggap Nao sudah tidak ada di dunia. Semua peristiwa ini, ditambah keadaan di rumah yang sangat tidak nyaman, membuat Nao ikut-ikutan depresi dan berpikir untuk mengakhiri hidupnya. Namun, sebelum ia memiliki kesempatan untuk melakukannya, ayahnya mempertemukan ia dengan Jiko, sang biarawati budha berusia seabad, nenek buyut Nao. Meski di awal Nao merasa aneh, perlahan-lahan mulai mengetahui kisah hidup Jiko, pemikiran-pemikirannya, dan membuat Nao merasa memiliki teman dan gairah hidup kembali.

Ruth Ozeki menggunakan dua macam sudut pandang penceritaan dalam A Tale for the Time Being: sudut pandang orang pertama untuk bab-bab Nao, dan sudut pandang orang ketiga serba tahu untuk bab-bab Ruth. Karena A Tale for the Time Being adalah cerita tentang Ruth yang membaca cerita tentang Nao, maka bisa dikatakan bahwa membaca A Tale for the Time Being adalah membaca cerita di dalam cerita. Cerita berbingkai. Suara yang muncul saat membaca bagian Nao (ia berusia 16 tahun), benar-benar terasa sangat remaja, dan bagian Ruth (sepertinya berusia 30-an), terasa dewasa.

Dalam A Tale for the Time Being, Ruth Ozeki merekam dan menyampaikan banyak hal yang sangat identik dengan Jepang. Mungkin lebih tepatnya Jepang modern. Misalnya saja, fenomena atau kecenderungan orang-orang Jepang untuk bunuh diri. Saya tidak memiliki data, namun jika seseorang menyebut Jepang, maka salah satunya yang akan melintas di kepala saya adalah angka bunuh diri yang tinggi di sana. Sebabnya bisa macam-macam, tapi dari yang saya tahu, kebanyakan karena tekanan di pekerjaan. Itu pula yang dialami oleh Haruki Yasutani, ayah Nao.

Ketika saya mengatakan Ruth Ozeki banyak merekam hal-hal yang identik dengan Jepang, maka ia benar-benar melakukannya. Dari kecenderungan mengalami depresi dan keinginan bunuh diri, sampai ‘budaya’ hentai alias serba-serbi kartun/manga porno, ada di dalam A Tale for the Time Being. Ruth Ozeki juga mengangkat lokasi-lokasi populer di Jepang seperti Akihabara dan Harajuku. Ia menampilkan adegan-adegan yang di dalamnya terdapat orang-orang sedang melakukan cosplay (costume player), bermain arcade game, dan geng-geng jalanan anak sekolah. Ruth Ozeki juga tampak ingin mengawinkan, atau sekurangnya membangun jembatan antara budaya Jepang kuno dan modern. Pada adegan-adegan di tempat kediaman Jiko, nenek buyut Nao, Ruth Ozeki menunjukkan ritual-ritual budha zen (saya tidak tahu istilah yang tepat untuk ini) dan ia membahas cukup banyak tentang itu, seakan-akan ingin memberikan sentuhan ‘klasik’ atau ‘kuno’ pada alur ceritanya yang sebenarnya sangat modern (setting di bagian Ruth dan suaminya Oliver: sudah ada Google, Youtube, dan lain-lain). A Tale for the Time Being merupakan usaha Ruth Ozeki untuk mempertemukan dua zaman yang berselang ribuan tahun.

Membaca A Tale for the Time Being memang terasa seperti membaca sebuah dongeng. Saya tidak bisa langsung menangkap apa yang dimaksud oleh si pengarang, tapi saya tidak peduli. Meski terkadang terkesan melantur (ada sedikit sentuhan Haruki Murakami di sana) saya menyukai cara bertutur Ruth Ozeki. Ia bercerita dengan pelan, teratur, dan sesekali menghanyutkan. Ada pula bagian-bagian yang surreal dan tidak logis. Tapi, lagi-lagi, seperti semua buku bagus, saya tidak peduli apakah ia masuk akal atau tidak masuk akal, karena ketika kita telah menyukai dan jatuh cinta pada sesuatu, kita tidak lagi memikirkan apakah hal tersebut masuk akal atau tidak masuk akal.

Seperti kata Jiko: Masuk akal, tidak masuk akal, sama saja. ***


Pengumuman: Puisi Pindah Rumah

$
0
0

Demi kenyamanan membaca, saya memindahkan puisi-puisi saya dari blog lama ke rumah yang baru. Jika teman-teman ingin mampir, silakan ke sini: Bisikan-Bisikan





Membaca Puisi di FKY 26

$
0
0



Beberapa hari yang lalu, saya diberi kesempatan berharga untuk tampil membacakan beberapa puisi di acara "Puisi-Puisi di Jantung Tamansari" dalam rangka pergelaran Festival Kesenian Yogya (FKY) ke-26. Pada kesempatan tersebut, saya membacakan lima puisi baru yang saya tulis tahun ini. Puisi-puisi tersebut dapat dibaca di sini: BisikanBisikan



Negeri Angin

$
0
0


                            Ilustrasi oleh Ida Bagus Gede Wiraga



Negeri Angin
Cerpen Bernard Batubara


Alkisah, di Negeri Angin, segalanya dikuasai oleh angin. Mulai dari masalah dapur dan rumahtangga hingga intrik-intrik di gedung dewan rakyat, semua dipengaruhi oleh angin. Mulai perkara anak sekolahan hingga masalah sengketa tanah dan warisan, semua bergantung pada angin. Begitu berkuasanya angin sampai-sampai semua warga penghuni Negeri Angin melayangkan doanya kepada angin.

Di Negeri Angin, tak ada yang namanya polisi. Setidaknya, semakin hari polisi semakin berkurang perannya dan lama-kelamaan tak ada lagi pemuda dan pemudi berminat untuk menjadi polisi. Sebabnya tak lain adalah setiap perkara kriminal yang dibawa ke kantor polisi, segera saja terbawa pergi oleh angin.

Begitu pula perihal yang paling marak dan disoroti di Negeri Angin, yakni perihal korupsi. Para aktivis anti korupsi semakin lama semakin surut semangatnya menyelidiki kasus-kasus korupsi sebab setiap perkara yang mereka bawa ke Komisi Pemberantasan Korupsi, beberapa hari kemudian langsung lenyap, melayang terbawa angin.

Sama pula dengan para aktivis kemanusiaan. Setelah bertahun-tahun berjuang melawan lupa, mereka pada akhirnya lesu juga, sebab tuduhan demi tuduhan dan tuntutan demi tuntutan atas kasus pelanggaran hak-hak kemanusiaan yang mereka koar-koarkan tak butuh waktu lama untuk kemudian terbawa hilang oleh hembusan angin.

Di Negeri Angin, hanya angin lah yang paling berkuasa. Angin yang mengatur ada atau tidaknya sebuah kabar. Datang atau perginya sebuah kasus. Muncul atau lenyapnya sebuah perkara.

***

“Kau tahu desas-desus itu?” Seorang pejabat kementerian berbisik kepada koleganya di dalam sebuah restoran mewah. Melantun musik slow jazz dan suara rendah Diana Krall yang syahdu. Terdengar pula denting garpu dan pisau juga suara riuh rendah obrolan pengunjung lain. Pramusaji berputar ke sana ke sini membawakan pesanan.

“Desas-desus apa, Pak?”

“Telah muncul sosok misterius.”

“Maksud Bapak?”

“Ya. Kabarnya, ada seseorang yang mampu menangkap angin. Dan dia telah menangkap angin dari berbagai penjuru Negeri Angin ini.”

“Begitu? Berbahaya sekali.”

“Ya. Ya. Berbahaya sekali. Tidak baik untuk bisnis kita. Dan kondisi pada umumnya, kau mengerti?

“Mengerti, Pak.”

Kedua pria bertubuh tambun dan berkemeja rapi itu sama-sama terlihat gelisah. Dua gelas anggur merah di atas meja bertaplak sutra masih utuh tak sempat terminum. Dua piring steak pun hanya tercuil sedikit. Lagu kini berganti ke sebuah lantunan bernada bossanova.

“Kabarnya, dia, sosok misterius itu, keluar menangkap angin setiap malam Jum’at kliwon. Kasus-kasus yang sudah terbang terbawa angin satu demi satu telah ditangkapnya. Kau tahu kasus suap yang melibatkan Tuan B dan Tuan C? Itu sudah ditangkap anginnya. Kasus proyek M? Itu pun. Semua sudah kembali ke kantor polisi dan penyelidikannya dimulai kembali.” Ia mengetuk-ngetukkan jari telunjuknya yang gemuk dan pendek ke meja. “Kalau betul apa yang didesas-desuskan itu, hanya tinggal menunggu waktu hingga angin kasus kita ditangkapnya.”

“Gawat ini, Pak. Gawat ini.” Kolega pejabat tersebut tampak cemas. “Sosok misterius itu, adakah namanya Pak?”

“Orang-orang menyebutnya, Sang Penangkap Angin.”

***

Sang Penangkap Angin berdiri tegap di puncak sebuah gedung pencakar langit. Ia memicingkan mata, melempar pandangannya ke sudut-sudut kota di Negeri Angin. Di tempat itu, pada senjakala yang sama seperti beberapa tahun lalu, ia bertemu dengan kekasihnya. Seorang perempuan yang kelak menjelma menjadi udara.

“Duhai, udaraku, kekasihku. Lihatlah aku, berkelana dari satu kota ke kota lain di Negeri Angin ini. Menangkap angin demi angin untuk menemukan engkau dan rinduku yang telah terbang terbawa olehmu. Tapi tak kutemukan jua. Ke mana kah engkau, kekasihku, Udara?”

Tak ada jawaban dari angin di sekeliling Sang Penangkap Angin. Hanya terdengar olehnya siulan burung-burung dan dirasakan pada tengkuknya semilir angin kecil seolah merayu dirinya.

“Sebab tak kutemukan juga engkau dan rinduku yang lenyap diterbangkan angin beberapa tahun lalu, maka aku menangkap angin yang lain. Angin yang kutangkap itu, kekasihku, Udaraku, angin yang alangkah kotornya. Penuh suara-suara dan perkara-perkara busuk. Penuh hal-hal yang tak terselesaikan atau sengaja tak diselesaikan oleh para manusia. Aku menangkap angin demi angin itu, kekasihku, hanyalah untuk mengembalikan kepada mereka agar mereka menuntaskan apa yang sudah mereka mulai. Tentunya engkau setuju pada tujuanku, kekasihku, Udaraku?”

Setelah menarik napas yang panjang dan memejamkan mata sejenak, Sang Penangkap Angin melompat dari pinggir gedung pencakar langit itu. Ia merentangkan tangan dan ia tak terjatuh ke tanah, melainkan terbang. Ia terbang dan terus terbang, menuju cahaya termerah dari senjakala.

***

“Gawat, Pak. Gawat! Angin kasus kita sudah ditangkap. Angin kita itu!”

“Sialan! Sang Penangkap Angin kurang ajar. Kita harus beri dia pelajaran. Tidak bisa dibiarkan seperti ini, kau tahu? Tidak bisa!”

“Beri dia pelajaran, Pak? Bagaimana caranya, Pak?”

“Sewa mata-mata. Sewa pembunuh bayaran. Kumpulkan aparat yang bisa dibayar dan suruh mereka mencari dan menyingkirkan Sang Penangkap Angin. Jangan biarkan makhluk itu terus menangkap angin! Berbahaya, kau tahu? Berbahaya!”

“Ya, berbahaya Pak. Tapi bagaimana kalau gagal? Kabarnya Sang Penangkap Angin bukan manusia. Dia bisa terbang! Manusia seperti apa bisa terbang, Pak?”

“Ah, kalau perlu bayar dukun. Pendekar. Semuanya! Aku mau kepala Sang Penangkap Angin besok malam ada di meja kantorku. Kepalanya saja!”

***

Sang Penangkap Angin terbang dan terbang dari satu puncak gedung ke puncak gedung yang lain. Ia telah menangkap angin dan mengembalikan berbagai kasus ke kantor polisi dan lembaga-lembaga penyelidik. Kasus korupsi, pelanggaran hak asasi manusia, kekerasan dalam rumah tangga, penculikan, pembunuhan, satu per satu telah dimulai kembali proses peradilannya. Para pelaku terutama mereka yang berada pada kursi pemerintahan mulai cemas dan gelisah. Para korban setiap malam berdoa kepada Sang Penangkap Angin agar angin yang membawa terbang kasus yang menimpa mereka segera tertangkap dan diproses kembali oleh pihak berwenang.

“Kekasihku, Udaraku,” kata Sang Penangkap Angin, bergumam seraya ia terbang melintasi langit, “kadang aku lelah dengan apa yang kulakukan ini. Tak kunjung habisnya angin yang kutangkap. Peristiwa-peristiwa kotor dan tak terselesaikan itu seakan tak berbatas jumlahnya. Sampai kapan aku harus menangkap angin? Berapa banyak lagi kasus-kasus tak terselesaikan yang masih terbang terbawa oleh angin entah ke mana? Lebih-lebih lagi kekasihku, Udaraku, siapakah yang meniupkan angin itu? Siapa yang menciptakan Negeri Angin ini? Kenapa pula diciptakan negeri seperti ini? Negeri di mana permasalahan-permasalahan bangsanya tak pernah terselesaikan dan terbang begitu saja oleh angin? Kekasihku, ingin rasanya aku bertemu pencipta Negeri Angin ini.”

Bersamaan dengan itu, tiba-tiba terdengar suara letusan entah dari mana datangnya. Sang Penangkap Angin merasakan panas, panas sekali pada punggungnya. Ia menoleh ke belakang, tampak oleh matanya yang memicing seorang penembak jitu mengintainya dari puncak gedung di kejauhan. Ah, Kekasihku, ia membatin, rupanya tiba juga waktuku, mereka takkan membiarkanku menangkap angin lagi, sebab kehadiranku mengganggu kehidupan mereka.

Sang Penangkap Angin merasakan pandangannya mulai kabur. Ia mengerjap-ngerjapkan mata. Sekali lagi terdengar letusan keras. Timah panas menembus batok kepalanya dari belakang. Penembak jitu yang lain lagi. Sang Penangkap Angin tak mampu terbang. Tubuhnya seakan tak berbobot, jatuh bebas…

Di Negeri Angin, hanya angin yang paling berkuasa. Angin yang mengatur ada atau tidaknya sebuah kabar. Datang atau perginya sebuah kasus. Muncul atau lenyapnya sebuah perkara. Bahkan Sang Penangkap Angin pun kini telah terbang lagi, ke atas sana, dipanggil oleh Sang Angin.


***

Penulis Muda Berbakat Ini Datang Dari Kota yang Bahkan Tidak Punya Toko Buku - Wawancara dengan Hipwee.com

$
0
0


Jarang saya bertemu dengan media yang memberikan pertanyaan-pertanyaan menarik. Seringnya pertanyaan yang saya terima selalu itu dan itu saja. Bukan kenapa-kenapa, saya juga manusia dan punya rasa bosan. Pertanyaan-pertanyaan berulang membuat saya bosan. Hipwee.com mengajak saya bertemu dan untunglah, mereka bertanya kepada saya hal-hal yang belum pernah ditanyakan oleh orang lain. Dalam artikel ini, mereka merangkum dengan baik apa yang saya ceritakan dalam wawancara tersebut.

Silakan baca: "Bernard Batubara: Mengikuti Passion Bukan Berarti Kamu Nggak Bisa Sukses!"

Mengenakan Kacamata

$
0
0




SAYA memiliki mata yang sehat. Begitulah yang saya yakini. Setidaknya hingga saya menginjak usia ke-25 tahun, karena sehari setelah itu, saya mendapati kenyataan yang cukup memukul.

Hari itu diawali dengan sangat normal. Saya sedang pergi ke sebuah mal, berdua dengan seorang perempuan yang saya sebut sebagai kekasih. Namanya G. Saya dan G usai menyantap sate padang di food court, dan kami melangkah ke sebuah toko optik. G bilang ingin melihat-lihat frame kacamata. Saya mengikutinya.

Sangat jarang saya masuk ke toko optik, karena memang tidak punya kepentingan. Mata saya sehat, untuk apa masuk ke toko optik? Hanya orang-orang berkacamata yang rajin main ke toko optik, atau orang-orang yang senang mengenakan kacamata, atau ingin membeli kacamata. Saya tidak termasuk ketiga golongan pengunjung toko optik itu.

Lalu, ketika saya sedang melihat-lihat santai kacamata yang berderet rapi di dalam rak berkaca, G memanggil saya: “Kamu nggak mau coba cek kesehatan mata?” katanya. Saya menoleh dan mengangkat alis. “Untuk apa?” jawab saya. “Mataku sehat-sehat saja, kok.” G bicara dengan santai, seperti biasanya, dia bilang apa salahnya saya mengecek kesehatan mata saya, kalau memang tidak ada apa-apa, ya bagus, dan kalau ada apa-apa, saya bisa mengetahuinya sejak dini. Saya pikir, betul juga, apa ruginya. Toh, untuk mengecek kesehatan mata di toko optik tidak dipungut biaya sepeser pun.

G akhirnya bicara kepada petugas toko dan berkata bahwa saya ingin mengecek kesehatan mata. Petugas mengangguk dan meminta kami untuk menunggu sebentar. Tidak berapa lama, saya dipersilakan masuk ke sebuah ruangan khusus untuk melakukan pengecekan. Saya duduk di kursi yang telah dipersiapkan, dan serangkaian tes pun dilakukan. Seiring saya diberi huruf-huruf dan gambar-gambar untuk diilhat, petugas hanya bertanya “Kelihatan, tidak? Kalau begini, kelihatan atau tidak?” Saya menjawab sesuai dengan apa yang saya rasakan. Setelah selesai, saya dipersilakan keluar dan menunggu hasil tes.

Alangkah terkejutnya saya, ketika petugas menunjukkan kertas hasil tes dan mengatakan bahwa mata saya minus sekaligus silindris. Dalam hati saya berkata: serius? Selama ini saya merasa, dan menganggap, mata saya sehat-sehat saja. Wong saya masih bisa melihat benda-benda dengan jelas, dekat maupun jauh. Jadi, tidak mungkin hasil tesnya minus. Ini pasti kesalahan.

G melihat hasil tes itu, dan menyarankan saya untuk mencoba cek kesehatan mata di toko optik lain, hanya untuk memastikan, karena dia tahu saya tampak terguncang melihat kenyataan tersebut. Mata saya minus.

Beberapa hari setelahnya, saya pergi ke sebuah mal dan melakukan cek kesehatan mata di tiga toko optik berbeda sekaligus. Semua hasil tes itu menyatakan hal yang sama: mata saya minus.

***

DAHULU, saya senang membeli dan mengenakan kacamata, hanya untuk gaya-gayaan. Menurut saya, orang yang mengenakan kacamata tampak pintar dan intelek, maka saya senang mengenakan kacamata. Namun, saya tidak pernah berharap betul-betul memiliki mata minus. Saya ingin mata saya sehat.

Demikianlah perasaan saya menjadi campur aduk, ketika mengetahui dan mencoba menerima kenyataan bahwa mata saya minus sekaligus silindris. Dan, karena mata saya minus dan silindris, maka saya harus mengenakan kacamata. Kali ini, saya mengenakan kacamata bukan untuk gaya-gayaan, namun betul-betul karena saya memerlukannya sebagai alat bantu. Rasanya sulit untuk mempercayai hal ini: saya butuh bantuan alat hanya untuk melihat.

Atas saran G, saya mencari frame kacamata yang murah, walau sebenarnya saya tertarik dengan satu model frame di toko optik yang pertama kali kami datangi. G bilang sebaiknya jangan langsung beli frame mahal. Karena G mengenakan kacamata jauh sebelum saya (ia mulai mengenakan kacamata sejak SMA), maka saya mempercayai sarannya. Saya mencari frame kacamata di lapak pinggir jalan, dan membeli sebuah seharga tiga puluh ribu rupiah.

Saya membawa frame kacamata baru itu ke toko optik, dan memesan lensa dengan ukuran sesuai kebutuhan saya. Setelah tiga hari, saya dikabari oleh toko optik, dan kacamata saya pun telah siap dipakai.

Alangkah kagetnya saya ketika pertama kali mengenakan kacamata. Tiba-tiba saja, benda-benda yang saya lihat menjadi tampak lebih tajam, warna-warna terlihat lebih jelas dan kontras, huruf-huruf di lampu neon lebih terbaca, dan cahaya-cahaya tidak lagi terlalu menyilaukan seperti sebelumnya. Saat pertama kali mengenakan kacamata, tiba-tiba saja semuanya jadi lebih benderang. Saya bahkan merasa seperti sedang berada di dunia yang lain. Dunia yang lebih cerah.

Dunia yang lebih berwarna.

***

SEMPAT terbawa beberapa saat oleh sensasi yang menakjubkan, saya mencoba meredam perasaan itu. Saya berpikir, jika dengan mengenakan kacamata, ternyata penglihatan saya menjadi lebih tajam dan jelas, berarti sebelumnya saya melihat hal yang “keliru”? Benda-benda yang saya yakini bentuknya, warnanya, ukurannya, jangan-jangan sebenarnya tidak demikian? Jangan-jangan, selama ini, saya hanya meyakini bahwa apa yang saya lihat adalah memang demikian adanya, padahal yang terjadi tidak demikian? Jangan-jangan, hanya karena tidak mau mengenakan kacamata dan merasa mata saya sehat-sehat saja, selama ini saya meyakini hal yang salah?

***

MEMBACA, dan menulis, juga tak pernah lepas dari perihal keyakinan. Seseorang yang memiliki banyak koleksi buku dan membaca buku buku “berat” yakin bahwa bacaannya lebih banyak, bagus, dan bermutu ketimbang orang lain. Seorang penulis yang menerbitkan novel-novel sastra dan hanya menulis puisi dan cerpen untuk dimuat di koran minggu yakin bahwa apa yang ia tulis lebih “tinggi”, “adiluhung”,  dan “berbobot” ketimbang penulis novel-novel roman populer dan novel-novel cinta remaja.

Sayangnya, hampir dari mereka semua (mungkin) tidak pernah mencoba melakukan sesuatu dari sisi yang lain, sisi yang mereka anggap lebih rendah hanya karena tidak sama dengan mereka. Penulis cerpen-cerpen dan novel sastra tidak mencoba menulis novel teenlit, pembaca novel-novel pemenang Nobel Sastra tidak mencoba membaca novel-novel metropop atau personal literature komedi. Beberapa mungkin mencoba dan tidak berhasil. Beberapa mencoba dan berhasil. Beberapa dengan cepat merespons: apa gunanya?

Mengenakan kacamata adalah suatu bentuk usaha untuk melihat sesuatu dengan lebih jelas. Saya menduga, dan tentu saja dugaan ini bisa sangat ceroboh dan tidak valid, bahwa orang-orang yang saya sebut di paragraf sebelumnya merasa memiliki mata yang sehat, sehingga tidak perlu mengenakan kacamata.

Paradigma yang tertanam dalam kepala, “sastra” adalah agung, sementara teenlit adalah sesuatu yang tak layak ditulis, terus-menerus tumbuh dan mengakar sehingga menjadi prinsip, lalu menjelma keyakinan. Untuk apa mengenakan kacamata penulis teenlit? Penglihatan saya sudah bagus, tajam, dan benar. Inilah keyakinan saya dan keyakinan saya adalah mutlak.

***


SAMPAI hari ini, saya terus mengenakan kacamata dan panik kalau lupa membawanya saat bepergian. Saya butuh kacamata, saya butuh alat bantu untuk melihat hal-hal, terutama keyakinan-keyakinan yang selama ini saya anggap benar. Sebab, bisa jadi, di antara mereka yang saya sebutkan di atas, ternyata saya melihat diri saya sendiri.

Ah, lagipula ini hanya perkara mengenakan kacamata. ***

Beberapa Hal Penting dari William Faulkner

$
0
0




UNTUK menjadi novelis yang baik, diperlukan 99% bakat, 99% disiplin, dan 99% kerja keras. Penulis yang baik tidak pernah merasa puas dengan apa yang telah ia buat. Ia akan selalu mengincar sesuatu yang lebih tinggi. Jangan cemas dan buru-buru ingin menjadi lebih hebat dari penulis senior, jadilah lebih baik dari dirimu sendiri. Penulis yang baik akan merampok, meminjam, atau mencuri dari siapapun dan semua orang, untuk menyelesaikan apa yang ia tulis.

LINGKUNGAN yang dibutuhkan penulis adalah tempat yang damai, tenang, menyenangkan, dan tidak kelewat : Untuk berkarya, seorang penulis tidak butuh kebebasan finansial. Ia hanya butuh sebatang pensil dan lembaran kertas. Penulis yang baik tidak pernah mengirim proposal pengajuan dana untuk berkarya. Ia terlalu sibuk menulis sesuatu. Jika ia seorang penulis yang baik, ia tidak akan mengeluh tidak punya waktu, atau tidak punya uang cukup untuk menulis. Penulis yang baik tidak punya waktu untuk mencemaskan kesuksesan, atau berharap menjadi kaya. Dan ia hanya bisa dimusnahkan oleh kematian.


TIDAK ada jalan pintas untuk menyelesaikan sebuah tulisan, kecuali belajar dari kesalahan. Jika seseorang hanya ingin mempelajari teknik, suruh ia belajar ilmu bedah atau melapis batu bata. Seorang penulis kelas-satu paham bahwa tak ada nasehat yang cukup bagus bagi dirinya, selain dari kesalahan-kesalahan yang telah ia lakukan sendiri.




Lelaki Harimau, Eka Kurniawan

$
0
0



Membaca novel-novel Eka Kurniawan adalah membaca karya-karya pengarang dunia di dalam satu buku, kata seseorang yang saya tidak ingat namanya. Karena saya baru membaca sedikit, maka yang saya tangkap juga tidak banyak. Saat membaca kalimat pembuka Lelaki Harimau, saya hanya teringat pada satu nama: Gabriel García Márquez.

Senja ketika Margio membunuh Anwar Sadat, Kyai Jahro tengah masyuk dengan ikan-ikan di kolamnya,…

Foreshadowing atau ‘peramalan’adalah teknik Eka Kurniawan yang paling sering saya temukan, setidaknya pada dua novelnya yang belum lama ini saya baca, Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas dan Lelaki Harimau ini. Menurut sumber, teknik foreshadowing seperti yang dipakai pada bagian pembuka Lelaki Harimau itu pertama kali dipopulerkan, atau mungkin sering digunakan, oleh Gabriel García Márquez. Contoh yang sangat bagus adalah novela Chronicle of a Death Foretold (Kronik Kematian yang Telah Diramalkan), berkisah tentang pembunuhan seseorang yang diketahui seisi kota namun tak ada satu pun orang mencegah. Dalam Chronicle of a Death Foretold, cerita juga dimulai lewat cara seperti pembuka Lelaki Harimau (buku tersebut sudah saya kirim ke kampung halaman, jadi maaf saya tidak bisa memberi contohnya di sini).

Hal yang segera muncul ketika seorang pengarang menggunakan teknik foreshadowing sebetulnya adalah sesuatu yang paling dihindari oleh penulis cerita, yakni spoiler. Dalam pengertian yang ceroboh, menurut saya foreshadowing adalah ‘jurus ampuh’ untuk membocorkan spoiler kepada pembaca, yang mana justru sangat dihindari, bahkan dibenci. Ketika seseorang menggunakan teknik foreshadowing, maka dia memampangkan jelas-jelas inti cerita, klimaks, bahkan bisa jadi ending-nya. Dalam hal ini, Eka Kurniawan melakukan yang terakhir. Ya, kalimat pembuka Lelaki Harimau adalah juga merupakan ending novel tersebut.

Lalu, kalau sudah tahu ending ceritanya, bagaimana dong? Untuk apa dibaca lagi, kan sudah tahu akhirnya seperti apa? Di sini lah letak tantangan foreshadowing. Saya memandang foreshadowing lebih memberikan tantangan kepada penulisnya ketimbang pembaca. Apa tantangan itu? Jelas sekali, karena si pengarang sudah membocorkan klimaks dan ending ceritanya, maka misi besar saat menuliskan novelnya menjadi: bagaimana cara membuat pembaca tetap membaca dari awal hingga selesai, paragraf demi paragraf, halaman demi halaman, meski mereka telah mengetahui apa yang terjadi di akhir cerita?

Itulah, saudara-saudara, kekuatan Eka Kurniawan. Setidaknya dalam Lelaki Harimau dan Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas (saya belum membaca Cantik Itu Luka, dan lupa sebagian besar cerpennya di buku-buku yang lain; hanya ingat Gerimis yang Sederhana) Eka menunjukkan kelihaiannya bermain-main dengan teknik andalan maestro realisme magis Gabriel García Márquez ini. Adegan pembuka yang mengandung spoiler (tidak tanggung-tanggung, Eka memberikan ending-nya!) dibelokkan ke adegan lain, yakni Kyai Jahro yang sedang masyuk dengan ikan-ikan di kolamnya. Untuk menyamarkan dan mengalihkan perhatian pembaca, seakan-akan tepat pada saat ia telah menunjukkan ending ceritanya secara gamblang di hadapan wajah kita ia lantas ingin membuat kita lupa, Eka melanjutkan adegan dengan kegiatan Kyai Jahro dan ia menuliskannya dengan kalimat-kalimat panjang, membawa dan menggiring perhatian pembaca ke hal lain.

 Senja ketika Margio membunuh Anwar Sadat, Kyai Jahro tengah masyuk dengan ikan-ikan di kolamnya, ditemani aroma asin yang terbang di antara batang kelapa, dan bunyi falseto laut, dan badai jinak merangkak di antara ganggang, dadap, dan semak lantana. Kolamnya menggenang di tengah perkebunan coklat, yang meranggas kurang rawat, hanya berguna bagi pabrik tempe yang merampok daunnya setiap petang… (dan seterusnya)

Eka mencoba mengalihkan perhatian dari ending cerita yang telah ia bocorkan di kalimat pertama, dengan menggunakan kalimat-kalimat majemuk yang panjang dan terus terangkai, dan memang saya sempat teralihkan sejenak. Saya lupa bahwa di kalimat pertama, ada informasi bahwa seseorang telah membunuh seseorang. Siapa Margio itu? Siapa Anwar Sadat? Kenapa Margio membunuh Anwar Sadat, apa masalahnya? Tapi, seolah-olah tidak peduli dan melakukan saja apa yang ingin ia lakukan, Eka malah memperlihatkan adegan tokoh yang lain lagi. Bukan Margio dan bukan Anwar Sadat.

Saat membaca setiap tulisan Eka Kurniawan, cerpen-cerpen dan novel-novelnya, saya selalu mendapatkan sensasi seperti sedang menonton sebuah film. Bukan hanya deskripsi yang cukup visual, melainkan permainan plot, yang layaknya sebuah plot film Hollywood nomor wahid. Dalam Lelaki Harimau, Eka menggunakan sudut pandang orang ketiga, dengan berbagai filter. Jika dibentangkan secara lurus, alur cerita Lelaki Harimau sebetulnya sangat pendek, namun permainan plot yang maju-mundur, dan pergantian sudut pandang (berpindah-pindah antara Kyai Jahro, Mayor Sadrah, Margio, Anwar Sadar, dan tokoh-tokoh lain) membuat Lelaki Harimau tampak seolah-olah panjang.

Dengan teknik demikian lah, Eka mengungkap misteri demi misteri dalam ceritanya. Bagaimana Margio membunuh Anwar Sadat, kehidupan Margio dan peristiwa-peristiwa yang ia alami sebelum ia melakukan pembunuhan itu, mengapa ia melakukannya. Eka juga melengkapi pengetahuan pembaca dengan informasi profil dan kehidupan tokoh-tokoh lain, juga lewat teknik yang sama, plot maju-mundur, dan berpindah-pindah kamera. Kalau penjelasan saya tentang plot dan teknik maju-mundur berpindah-pindah perspektif ini membingungkan dan sulit dibayangkan, tontonlah film Vantage Point. Anda akan paham dengan apa yang saya maksud.

Pada lapisan kulit yang lebih dalam, lewat Lelaki Harimau Eka memaparkan bermacam-macam isu. Mulai dari kekerasan, dendam, birahi, sampai cinta. Namun, semua lapisan kulit itu rupanya hanya menjadi pembungkus dari intisari yang menjadi penyebab nyaris seluruh konflik. Kekerasan, dendam, birahi, dan cinta, semuanya bermula dan bersumber dari satu titik kecil dan menyakitkan: kemiskinan. Setidaknya, saya melihatnya demikian.

Tentu saja di dunia ini tidak ada yang sempurna, Lelaki Harimau pun memiliki bagian yang sempat membuat saya menguap lebar dan melakukan skimming di banyak halaman. Hal ini terjadi pada bagian pertengahan, ketika Eka mengisahkan kehidupan Margio dan keluarganya sebelum ia menemukan ‘harimau’ yang kemudian merasuk dalam dirinya. Sebabnya saya menguap dan melakukan skimming tak lain daripada Eka mulai tampak malas menggunakan kelihaiannya, plot dengan perspektif berpindah-pindah itu berhenti di sana, dan seterusnya adalah alur yang linear dan teramat mudah ditebak. Betul-betul membosankan, mengingat di bagian awal novel ini menarik perhatian dengan sangat efektif dan jitu. Mungkin Eka berpikir bagian tersebut harus dituliskan menggunakan alur linear, karena fokusnya kali ini terletak pada informasi dan latar belakang, alih-alih bermain-main dengan plot. Tapi, tetap saja, apapun itu saya telah menguap di bagian pertengahan hingga nyaris akhir (meskipun, hal ini seketika termaafkan ketika saya sampai pada kalimat terakhir Lelaki Harimau).

Eka Kurniawan adalah pengarang yang matang teknik. Ia paham bahwa menulis adalah perkara menyampaikan apa dengan cara bagaimana. Ia tahu, untuk menyampaikan gagasan yang ia inginkan, ia harus mencari cara yang tepat pula. Bukan hanya tepat, tetapi yang paling tepat. Ia mengerti, ia mesti menemukan cara terbaik untuk mengucapkan apa yang ingin ia ucapkan. Hanya ada satu kalimat “Aku cinta kamu” di dunia ini, namun ada berapa ribu cara mengucapkannya?

Dan, Lelaki Harimau adalah gagasan yang ingin Eka sampaikan, dengan cara terbaik yang bisa ia dapatkan. ***


Gadis Pantai, Pramoedya Ananta Toer

$
0
0




Adalah hal yang penting bagi seorang pengarang, untuk tidak menghamburkan kata-kata. Setidaknya begitu yang saya pahami ketika selesai membaca Gadis Pantai, novel Pramoedya Ananta Toer. Kata pengantar novel ini mengatakan bahwa Gadis Pantai adalah bagian pertama dari trilogi yang tidak lengkap. Maksudnya tidak lengkap adalah, dua buku terakhir tidak pernah terbit, dikarenakan pencekalan oleh pemerintah pada zaman itu. Meski demikian, meski Gadis Pantai berdiri sendiri, menurut saya ia tidak kehilangan keistimewaannya.

Mengapa saya membuka catatan ini dengan sebuah pesan, untuk tidak menyebutnya peringatan, tentang bagaimana seharusnya seorang pengarang memperlakukan kata-kata? Karena hal itulah yang pertama kali saya tangkap saat membaca beberapa halaman awal Gadis Pantai.


Empatbelas tahun umurnya waktu itu. Kulit langsat. Tubuh kecil mungil. Mata agak sipit. Hidung ala kadarnya. Dan jadilah ia bunga kampung nelayan sepenggal pantai keresidenen Jepara Rembang.


Pram terlihat sangat efektif dalam menggambarkan sesuatu, atau menyampaikan sebuah gagasan. Begitu pula ketika ia melukiskan suasana sebuah adegan atau menunjukkan watak dan sosok karakter-karakternya. Ia tidak memerlukan tiga sampai empat paragraf hanya untuk memberitahukan kepada pembaca bahwa si tokoh utama adalah seorang gadis belia berusia 14 tahun yang manutandan bernasib buruk, atau tokoh antagonisnya adalah pejabat pemerintah yang jahat dan ditakuti. Cukup beberapa kalimat pendek, gambaran gestur dan dialog yang khas, sosok-sosok dalam Gadis Pantai pun terekam sudah dengan jelas dalam kepala, melekat hingga akhir cerita, bahkan hingga setelahnya.

Contoh paling baik untuk menunjukkan hal ini, salah satunya adalah bagaimana Pram memasukkan satu ciri khas Bendoro Bupati, pejabat administrasi pemerintahan Belanda yang rencananya hendak menyunting Gadis Pantai, yang kemudian menjadi entrance scene yang teramat khas. Yakni bunyi selop.


“Bendoro sudah bangun,” kepala kampung memperingatkan.
Semua tegang menegakkan tubuh. Pendengaran tertuju pada sepasang selop yang berbunyi berat sayup terseret-seret di lantai. Bunyi kian mendekat dan akhirnya nyata terdengar: buuutt.


Bunyi selop Bendoro itu diletakkan Pram di beberapa tempat sepanjang pembukaan cerita, dan itu adalah ciri yang kecil dan mungkin terlewatkan, namun setidaknya di kepala saya ‘bunyi selop’ itu menjadi entrance scene si tokoh antagonis ini yang membuatnya memorable, mudah diingat. Hebatnya lagi, efek ‘bunyi selop’ inimemberikan efek khusus. Ketika membaca frasa ‘bunyi selop’ yang terseret-seret, saya langsung merasakan apa yang dirasakan oleh Gadis Pantai, ibu, bapak, dan pembantu si Bendoro: ketakutan. Padahal, si Bendoro tidak melakukan apa-apa, hanya melangkahkan kakinya. Namun, Pram membuat ‘bunyi selop’ itu menjadi satu efek bunyi yang memberikan kesan angker, dan pada satu waktu juga, entah bagaimana, memunculkan kesan bahwa si tokoh ini memiliki kekuasaan besar dan menjadi penanda ‘posisi’ tokoh tersebut dalam cerita, atau kehidupan Gadis Pantai.

Tidak hanya pada Gadis Pantai dan Bendoro, tokoh pendukung seperti ayahnya Gadis Pantai juga digambarkan wataknya dengan cara yang sangat efektif. Lagi-lagi, Pram tidak memerlukan deskripsi panjang lebar untuk memberi tahu kepada pembaca bagaimana sifat dan perangai ayah Gadis Pantai. Cukup dengan dialog yang sangat singkat seperti saya kutip di bawah ini, kita sudah mendapat bayangan yang cukup jelas tentang sosok tersebut.


“Sst. Jangan nangis, nak. Hari ini kau jadi istri orang kaya.”
Ia terisak-isak, tersedan, akhirnya melolong. Ia tak pernah merasa miskin dalam empat belas tahun ini.
Pemandangan pantai sepanjang jalan, tumbuhan laut yang jadi semak-semak, kadal-kadal laut yang bercanda-ria dan ketam pasir yang mondar-mandir bermandi matari, semua tak menarik hatinya. Irama telapak kuda tak terdengar olehnya. Ia mengangkat kepala sebentar waktu dokar berhenti dan bapaknya turun dari dokar depan, menghampirinya, dan: “Kau mau diam tidak?”


Kecenderungan mendeskripsikan sesuatu dengan panjang lebar, saya kira, adalah salah satu dari tujuh dosa pengarang (saya belum menentukan enam yang lain) yang hampir selalu saya temukan di buku-buku yang saya baca. Tentu saja, dapat dipastikan, saya juga pernah bahkan sering terjebak dalam kecenderungan yang sama. Sebagai pengarang, saya kerap merasa tidak yakin apakah pembaca sudah menangkap apa yang ingin saya gambarkan, sehingga saya merasa perlu menambah deskripsi lebih detail. Namun, alih-alih memberikan gambaran yang kian kuat, seringkali deskripsi panjang lebar tersebut malah membuat eneg dan capek.

Efektivitas dalam bercerita adalah kemampuan yang wajib dimiliki oleh seorang pengarang, jika tidak maka bukunya akan berisi ratusan halaman penuh hal-hal yang layak dilewatkan begitu saja, tidak perlu dibaca kalimat per kalimat. Cerita yang tidak disampaikan dengan efektif, akan membuat pembaca melakukan skimming (jika ia pembaca yang cepat maka ia bahkan tak membutuhkan sepuluh menit untuk menyelesaikan novel setebal dua ratus halaman)dan si pengarang pada akhirnya hanya dapat berharap buku yang ia tulis tidak menjadi bahan tuduhan para pencinta lingkungan perihal menyia-nyiakan pohon untuk sesuatu yang lebih sia-sia.

Gadis Pantai memberikan contoh yang baik saat kita berbicara tentang efektivitas. Tidak hanya saat menggambarkan suasana, profil, dan watak tokoh, namun Pram juga sangat efektif dalam menulis dialog. Ia tidak merasa perlu membubuhkan aksi pada setiap akhir kalimat sehingga membuat halaman-halaman novel penuh dengan “…katanya”, atau “…ujarnya” dan tentu saja membuat kegiatan membaca novel jadi tak jauh beda seperti mengalami siksaan lahir batin. Dialog-dialog Gadis Pantai dengan ayahnya, ibunya, Bendoro, mBok, kusir, Mardinah, dan tokoh-tokoh lain, dituliskan hanya karena memang dialog-dialog itu perlu untuk dituliskan, tanpa menambahkan hal-hal yang tidak perlu seperti aksi-aksi yang mengiringi kalimat-kalimat dialog tersebut. Hanya informasi penting, clue perihal watak tokoh, isi pikiran dan pandangan tokoh, yang dimasukkan Pram ke dalam dialog-dialog di adegan-adegan Gadis Pantai.


“Mas Nganten,” Mardinah berteriak, kemudian melompat turun dari dokar dan memburu. “Ke mana? Banyak ular di akar-akaran bakau di pantai tanpa penghuni begini.”

Tanpa memandang Mardinah Gadis Pantai berkata lemah, “Bukankah itu yang kau inginkan?”

“Duduk saja di dalam dokar.”
“Mungkin sekali kalau ada takdir, seekor ular gigit aku, dan kau bisa senang gantikan aku sebagai wanita utama.”
“Tidak mungkin.”
“Mengapa tidak mungkin.”
“Mas Nganten tahu sendiri sahaya cuma seorang janda.”
“Tapi kau wanita bukan?”
“Ah, Mas Nganten begitu lama di gedung tak juga mengerti para pembesar cuma mau terima wanita langsung dari tangan Gusti Allah.”
“Kau?”
“Sahaya bekas lelaki lain.”
“Lantas. Mengapa surat itu kau paksa-paksa padaku?”
“Ayolah, naik ke atas Mas Nganten.”
“Naiklah. Aku lebih suka bicara dengan kusir.”
“Bendoro akan marah.”
“Lebih enak buat kau kan?”
“Tidak enak buat sahaya naik ke atas, sedang Mas Nganten masih di bawah.”
“Kau sering membuat surat untuk orang lain?”
“Lantas, siapa yang mesti sahaya surati? Tetapi sahaya bisa menulis.”
“Apakah semua keturunan pembesar begitu?”
“Begitu bagaimana Mas Nganten?”
“Ya, begitu seperti iblis.”


Pram pun tidak ragu untuk ‘melompatkan’ adegan, ia tidak merasa harus menuliskan cerita dari hari ke hari. Dalam satu halaman Gadis Pantai, bisa terdapat dua adegan yang waktu terjadinya berselang satu minggu bahkan satu bulan. Perpindahan adegan itu dituliskan tanpa menggunakan ‘pemisah’, bahkan tampak seperti dua paragraf yang terjadi pada satu waktu, namun ternyata tidak. Pram melakukan perpindahan itu dengan halus sehingga membuat saya tidak rewel bertanya-tanya apa yang terjadi pada kehidupan si tokoh di selang waktu yang ‘bolong’ itu. Informasi diberikan dengan baik dan lubang-lubang pada plot pun ‘tertambal’ dengan rapi.


Di catatan lain tentang novel Pram, saya sempat menuliskan bahwa jika ada orang yang bertanya bagaimana contoh novel yang bagus, saya akan tanpa ragu menjawab Bumi Manusia. Membaca Gadis Pantai menguatkan keyakinan itu, bahwa Pram memang pengarang ‘paket komplit’, ia tidak hanya memiliki isu yang ‘besar’, namun juga kemampuan, teknik menulis yang mumpuni. Pram memiliki konteks, dan tidak lupa bahwa menulis adalah sebuah keterampilan, dan sebuah keterampilan hanya dapat dibuktikan dari seberapa terampil si pengarang menuturkan ceritanya. ***

Kafka on the Shore, Haruki Murakami

$
0
0




Saya pernah berkata kepada seseorang, dalam usaha membuat ia tertarik membaca novel pengarang yang sedang sangat saya gandrungi. Saya bilang kepadanya: Membaca Haruki Murakami itu harus sabar dan ikhlas, jangan memiliki prasangka dan dugaan-dugaan, juga tidak perlu menggotong-gotong wawasan luas yang sudah kamu miliki. Lepaskan ekspektasi dan apapun yang biasanya kau sematkan pada buku yang sedang kau baca, lepaskan itu semua, karena hanya dengan demikian kau bisa menikmati dan mendapatkan intisari dari tulisan-tulisan Murakami. Membaca novel-novel Murakami itu ibarat memasuki dunia yang benar-benar berbeda, sekaligus sebenarnya tidak sangat-sangat berbeda (ini biasanya hanya bisa dipahami jika telah menyampai separuh jalan cerita). Namun, sebelum mulai membaca, kita harus mengosongkan isi gelas, melepaskan prinsip-prinsip dan nilai-nilai dan ukuran-ukuran yang selalu kita pakai untuk mendakwa setiap buku yang pernah kita baca sebelumnya, karena niscaya nilai-nilai dan ukuran-ukuran itu tidak berlaku bagi novel-novel Murakami. Bukan karena novel-novel Murakami berada di atas ukuran-ukuran itu, melainkan semata-mata dunia fiksi Murakami adalah dunia kosong, terkadang membosankan, monoton, absurd, aneh, dan hanya dengan keikhlasan dan kesabaran yang bulat seseorang baru dapat memasuki dan menikmati dunianya.

Ocehan saya di atas berlaku pula untuk Kafka on the Shore. Salah satu novel Murakami yang cukup tebal ini (nyaris lima ratus halaman) juga hampir tak mungkin bisa dinikmati oleh pembaca yang tidak sabaran. Sebab, alih-alih merasakan kesenangan apalagi mendapatkan sesuatu, bisa jadi belum apa-apa novel tersebut sudah dilempar ke kasur atau dikembalikan ke rak buku. Saya sendiri hampir melakukannya. Namun, saya berhasil menaklukkan perasaan untuk meletakkan kembali buku itu ke rak, meneruskan membaca, dan menyelesaikannya.

Murakami menulis Kafka on the Shore menggunakan teknik yang kurang lebih serupa dengan 1Q84. Novel yang nama tokoh utamanya diambil dari salah satu pengarang favorit Murakami ini ditulis dengan menggunakan model multi-plot, atau plot berganda. Jika Anda membaca 1Q84, maka Anda akan menemukan apa yang saya maksud. Di dalam 1Q84, ada dua plot utama: Tengo dan Aomame, ditambah satu plot ekstra di akhir buku yakni Ushikawa. Ketiga plot tersebut berjalan secara paralel. Tengo, Aomame, dan Ushikawa bergerak di jalur masing-masing, menghadapi permasalahannya sendiri-sendiri, tidak (atau lebih tepatnya, belum) bertemu, hingga pada satu titik akhirnya mereka melihat satu sama lain. Dua plot utama 1Q84, yakni plot milik Tengo dan Aomame, justru benar-benar baru bersilang di akhir cerita. Di dalam Kafka on the Shore, juga terdapat tiga plot berbeda yang berjalan secara paralel: yang pertama plot milik si tokoh utama, anak laki-laki berusia 15 tahun bernama Kafka Tamura; plot milik seorang laki-laki berusia 52 tahun bernama Nakata, yang memiliki keterbelakangan mental dan mampu berbicara dengan kucing; dan plot di mana terjadi sebuah peristiwa, yang dituliskan dengan teknik reportase dan transkrip wawancara (belakangan baru terungkap bahwa plot ketiga ini menjadi dasar atau latar belakang kehidupan Nakata, si lelaki pencari kucing).

Diceritakan bahwa Kafka Tamura kabur dari rumah untuk menjauhi ayahnya dan menjadi seorang pemuda berusia 15 tahun yang tangguh dan bebas. Hanya bermodalkan tas berisi barang-barang yang ia ambil di kamar ayahnya dan uang secukupnya, Kafka memulai perjalanannya. Ia berkelana tanpa tahu arah: naik bus ke tujuan yang ia tidak tahu, pergi ke perpustakaan yang tak ia kenal, dan menginap di hotel hanya untuk kemudian meninggalkan hotel tersebut tanpa check-out maupun pemberitahuan.

Dalam perjalanannya itu, Kafka bertemu orang-orang asing, yang sedikit demi sedikit mengarahkannya kepada sebuah tujuan. Orang-orang asing ini, tentu saja, memiliki ‘keunikan’. Seperti lumrahnya cerita-cerita yang ditulis Murakami, selalu tokoh-tokohnya tampak absurd, ‘sakit’, atau sedikitnya bukan dari jenis manusia yang ‘lazim’. Sakura adalah gadis yang mengaku memiliki pacar dan hubungan yang stabil, namun memberikan ‘servis’ untuk Kafka saat pertama kali Kafka menginap di apartemennya, hanya karena merasa Kafka tampak kelelahan dan ia ingin melepaskan rasa lelah itu dari Kafka (ia menambahkan alasan bahwa Kafka terasa seperti saudaranya sendiri, apakah ini juga menjadi alasan ia memberikan ‘servis’ itu? Entahlah). Ayah Kafka alias Johnnie Walker, ia menangkapi kucing liar, menggorok leher mereka, membelah dada kucing-kucing itu dan memakan jantungnya, lalu menyusun kepala-kepala kucing yang telah mati di dalam kulkas. Oshima, penjaga perpustakaan pengidap hemofilia dan bias gender (Kafka selalu merujuknya dengan him, sebelum akhirnya ia mengetahui bahwa Oshima adalah seorang perempuan dengan kelainan hormon sehingga dadanya tidak tumbuh seperti perempuan). Miss Saeki, tentu tidak kalah ‘sakit’, ia mengalami trauma dan kehilangan yang teramat besar setelah kekasihnya tewas dalam sebuah demonstrasi mahasiswa di Jepang.

Lewat semesta yang magis, aneh, sering tak masuk akal, Murakami mengupas sisi-sisi gelap manusia: amarah, kebencian, rasa bersalah, dan hasrat seksual. Seperti pada cerita-ceritanya yang lain, tentu saja di Kafka on the Shore juga terdapat adegan-adegan seks, yang diceritakan dengan sangat-Murakami. Satu hal yang agak berbeda di Kafka on the Shore adalah Murakami tampak lebih humoris, lewat sindiran-sindiran dan dialog-dialog menyimpang dari karakter-karakter yang juga komikal, seperti Hoshino dan Colonel Sanders. Murakami pun terlihat berusaha lebih sering menyentuh isu peperangan dan isu-isu sosial lainnya, yang mana sebelumnya jarang ia sentuh (walaupun, yah, masih sebatas menyentuh).

Sulit untuk menikmati novel-novel Murakami jika tak bisa memahami letak keindahan sebuah absurditas. Belum lagi Murakami mengawinkan absurditas itu dengan sesuatu yang ‘magis’, untuk tidak menyebutnya cerita beraliran realisme magis. The Boy Named Crow adalah salah satu manifestasi absurditas tersebut. Pada awalnya menduga The Boy Named Crow benar-benar seorang anak laki-laki manusia, saya kemudian mengubah pendapat saya karena lama-kelamaan tokoh tersebut lebih tampak seperti bagian lain, katakanlah alter-ego, dari Kafka Tamura sendiri. Lebih jauh lagi, semakin sulit rasanya memahami Kafka on the Shore (dan cerita-cerita Murakami lainnya) ketika absurditas itu dikawinsilangkan dengan plot yang lambat dan berjalan paralel secara tidak terburu-buru (masing-masing plot benar-benar ‘menikmati’ waktunya), serta adegan-adegan yang tampak tidak masuk di akal.

Namun, toh, setidaknya saya masih mampu berusaha bersabar dan mulai menemukan ketertarikan pada Kafka on the Shore saat adegan kemunculan Johnnie Walker, dan mendapatkan fokus membaca lagi di halaman-halaman berikutnya. Absurditas, bagian-bagian yang sureal, dan lubang-lubang nalar di Kafka on the Shore yang saya lihat, entah mengapa tidak mengurangi sedikit pun kenikmatan membaca.


Di situ lah, saya kira, letak kehebatan Murakami. Dengan segala hal-hal aneh dan tak lazim yang ia tebarkan di sepanjang novelnya, ia bisa membuat saya tidak memedulikan lubang-lubang itu. Murakami menambal lubang-lubang itu dengan memberikan informasi yang cukup untuk membuat saya merasa lubang-lubang itu wajar-wajar saja, sehingga ketika saya melihat lubang-lubang dan keanehan-keanehan lain, saya tidak lagi memikirkannya. Tidak penting. Bagi saya, satu-satunya yang penting adalah saya, setelah memulai pembacaan dengan keikhlasan dan kesabaran, pada akhirnya dapat menikmati isi dan jalan cerita. Lagi-lagi, keikhlasan dan kesabaran adalah dua kunci dasar untuk menikmati novel-novel Murakami, baik itu Kafka on the Shore maupun yang lain. Tentu saja tidak semua orang harus bisa ikhlas dan sabar, tapi sejauh yang pernah saya alami, keikhlasan dan kesabaran selalu memberi sesuatu yang menyenangkan. ***

The Little Prince, Antoine de Saint-Exupéry

$
0
0



Buku yang baik, setidaknya menurut saya, adalah buku yang berlakon seperti kristal. Ia memiliki fragmen-fragmen, dan ketika dibaca dari sudut yang berbeda, maka ia akan memantulkan hal-hal yang berbeda pula. Buku yang baik juga seperti sebuah diorama, ia tampak beku, diam, dan tetap, namun jika kita melihatnya pertama kali saat berusia 5 tahun, dan melihatnya lagi saat kita sudah berusia 30 tahun, kita akan menemukan sesuatu yang baru, yang belum pernah kita lihat sebelumnya.

Sensasi semacam itulah yang saya rasakan saat membaca The Little Prince, karangan Antoine de Saint-Exupéry. Saint-Exupéry adalah pengarang berkebangsaan Perancis, salah satu yang paling diingat di antara penulis-penulis pada angkatannya, dan masih dikenang hingga sekarang karena buku dongeng semi-otobiografi yang terbit pasca kematiannya ini.

The Little Prince bercerita tentang seorang pilot yang terdampar di gurun pasir karena mesin pesawatnya rusak. Di ambang sadar dan tak sadar, ia mendengar suara seseorang yang memintanya menggambar seekor domba. “Draw me a sheep.” Si pilot celingukan karena tak melihat siapa yang berbicara. “Draw me a sheep.” Lagi-lagi terdengar, dan si pilot tak menemukan siapa-siapa. Lalu, ia melihat sesosok yang kecil, sangat kecil, dan ternyata suara itu berasal dari sana. Sosok itulah yang kemudian dipanggil si pilot sebagai The Little Prince.

Pangeran kecil yang misterius meminta si pilot menggambarkan seekor domba untuknya. Si pilot, tampak bingung, berkata kepada pangeran kecil bahwa ia tidak bisa lagi menggambar, karena bakat menggambarnya sudah dikandaskan saat ia masih berusia 6 tahun, oleh pendapat orang dewasa yang mengatakan bahwa gambarnya tidak betul dan aneh.

Saint-Exupéry membuka The Little Prince dengan sindiran untuk orang dewasa, melalui narasi di mana tokoh utama (si pilot) mengingat tentang masa kecilnya, ketika ia menggambar sesuatu yang dipandang orang dewasa sebagai sebuah topi, padahal ia tidak bermaksud menggambar sebuah topi, melainkan seekor gajah yang sedang berada di dalam perut ular boa. Orang dewasa tidak melihat bentuk ular boa dan gajah pada gambarnya, dan semenjak itulah ia merasa orang dewasa tidak bisa memahami apa-apa dan tidak memiliki daya imajinasi, dan hanya menyukai angka-angka.


Whenever I encountered a grown-up who seemed to me at all enlightened, I would experiment on him with my drawing Number One, which I have always kept. I wanted to see if he really understood anything. But he would answer, “That’s a hat.” Then I wouldn’t talk about boa constrictors or jungles or stars. I would put myself on his level and talk about bridge and golf and politics and neckties. And my grown-up was glad to know such a reasonable person.


Hal paling menyenangkan dari membaca dongeng adalah ia menyampaikan gagasan dengan tidak mendikte, melainkan menggunakan alegori. Begitulah semestinya sebuah cerita, dan begitulah semestinya seorang pencerita, tidak mendikte ataupun berkhotbah, melainkan menggunakan perumpamaan-perumpamaan dan perbandingan-perbandingan tanpa memaksakan kepada pembaca bahwa perumpamaan dan perbandingan tersebut harus dipahami dengan hanya satu cara, cara si penulis. Dalam menggunakan alegori, yang terpenting adalah bagaimana menunjukkan sesuatu, bukan mengatakan. Show, don’t tell. Kita tahu Si Kancil nakal bukan karena ada seseorang yang mengatakan bahwa dia nakal, melainkan kita diperlihatkan perbuatan-perbuatan Si Kancil, sehingga kita mengerti bahwa Si Kancil itu hewan yang nakal. Saint-Exupéry menuliskan petualangan kecil The Little Prince berkelana dari satu planet ke planet lainnya, bertemu dengan orang-orang yang tidak ia pahami, untuk menunjukkan betapa orang dewasa telah kehilangan kemampuan untuk menghargai hal-hal kecil yang bermakna.

Meski The Little Prince tampak seperti buku dongeng atau bacaan untuk anak-anak, sebetulnya buku ini adalah bacaan untuk orang dewasa. Bahkan, di bagian pengantar, Saint-Exupéry sendiri menuliskan ‘pengakuan’nya. Saya kira The Little Prince kurang-lebih seperti Animal Farm, dengan sifat-sifatnya yang seperti dongeng atau fabel, tetapi sebenarnya ditujukan untuk orang dewasa. Tentu saja anak-anak tetap dapat menikmati ceritanya sebagai sebuah dongeng petualangan yang agak sureal.

Saya pikir, butuh kemahiran dan daya fokus yang tinggi dari seorang pengarang untuk menulis sebuah buku yang memiliki bungkus anak-anak, namun kandungan isu tentang dan untuk orang dewasa. Cerita anak-anak adalah cerita yang ditulis hanya untuk anak-anak, dan cerita dewasa adalah cerita yang ditulis hanya untuk orang dewasa, tapi cerita yang bisa dibaca dan dinikmati sekaligus oleh anak-anak (sebagai dongeng) dan orang dewasa (konten dan isu sesungguhnya) adalah cerita yang dihasilkan melalui daya berpikir, teknik, dan kemampuan menulis tingkat tinggi. Setidaknya, saya berpikir demikian.

Kembali ke paragraf pertama dari catatan ini, tentang bagaimana saya menemukan hal lain setelah membaca ulang The Little Prince, meski tidak dalam selang waktu yang teramat jauh. Saya membaca The Little Prince pertama kali tanpa mengetahui riwayat hidup Saint-Exupéry, hanya membaca buku ini dengan apapun yang ada di dalamnya, di luar konteks dan keadaan zaman atau kehidupan pengarang ketika buku ini dituliskan. Yang saya temukan adalah seorang pilot terdampar di gurun, bertemu sosok misterius bertubuh mini yang berasal dari planet mini nun di dunia antah berantah (saya masih memikirkan kemungkinan si pilot mengalami halusinasi berat pasca kecelakaan tersebut), dan mereka pun berteman seiring si sosok misterius bertubuh mini itu menceritakan bagaimana perjalanannya hingga ia sampai di Bumi. Namun, ketika saya sedikit mencari riwayat Saint-Exupéry (1900-1944), bagaimana ia tumbuh besar dan menjadi penerbang pada usia ke-12, lalu tewas dalam sebuah tragedi kecelakaan pesawat pada usia ke-44, saya menemukan hal yang betul-betul berbeda ketika membaca ulang The Little Prince (sebagai informasi tambahan, The Little Prince diterbitkan posthumous, artinya manuskrip yang diterbitkan setelah pengarangnya meninggal).

Kecelakaan pesawat yang dialami oleh si tokoh utama sekaligus narator dalam The Little Prince benar-benar dialami oleh Saint-Exupéry. Peristiwa itu terjadi pada tahun 1935, Saint-Exupéry jatuh bersama pesawat dan navigatornya André Prévot di gurun Sahara saat mencoba memecahkan rekor balap udara (mereka menyebutnya raid) dengan rute dari Paris ke Saigon, Vietnam. Sebelum akhirnya ditemukan, mereka terdampar selama empat hari, mengalami kelelahan, dehidrasi, dan berhalusinasi. Ini kemudian menjadi inspirasi The Little Prince.


Look at this landscape carefully to be sure of recognizing it, if you should travel to Africa someday, in the desert. And if you happen to pass by here, I beg you not to hurry past. Wait a little, just under the star! Then if a child comes to you, if he laughs, if he has golden hair, if he doesn’t answer your questions, you’ll realize who he is.



Itulah sebabnya mengapa saya mengira tokoh utama dalam The Little Prince mengalami halusinasi. Kalaupun The Little Prince benar-benar produk halusinasi, ini adalah halusinasi yang sangat bermanfaat, karena menjadi sebuah dongeng yang dibaca oleh jutaan orang, dan dimaknai berbeda oleh setiap orang yang membacanya, sehingga membuat halusinasi Saint-Exupéry menjadi salah satu halusinasi paling penting sepanjang sejarah manusia. ***

The Brief Wondrous Life of Oscar Wao, Junot Díaz

$
0
0



Fukú. Begitu Díaz memulai prolog The Brief Wondrous Life of Oscar Wao. Belakangan, barulah ‘diterangkan’ bahwa jargon yang berarti ‘kutukan’ ini sebetulnya adalah plesetan dari Fuck U, atau setidaknya saya menganggapnya begitu. Tokoh utama, Oscar Wao (bernama asli Oscar, tambahan Wao ia dapatkan saat diejek oleh teman-teman Yunior, narator dalam novel ini) adalah anak bungsu dari sebuah keluarga Dominican yang dipercaya memiliki kutukan. Fukú. Kutukan itu diwariskan dari generasi ke generasi. Sebelum tiba di kehidupan pribadi Oscar, kutukan tersebut terlebih dahulu dialami oleh kakak, ibu, nenek, dan kakek Oscar. The Brief Wondrous Life of Oscar Wao adalah sebuah kisah yang saya terjemahkan sebagai dongeng tentang perjalanan sebuah kutukan.

Pertama kali saya membaca tulisan Junot Díaz adalah kumpulan cerpennya berjudul This Is How You Lose Her(2013). Buku itu memuat kalau tidak salah delapan cerpen, seluruhnya tentang kisah cinta yang dibungkus isu-isu transmigran. Junot Díaz punya cara bercerita yang, bisa saya katakan, nyeleneh. Ia mencampur-baurkan bahasa Inggris dan Spanyol, hingga di satu testimoni bukunya ada yang menyebut Díaz menulis dengan Spanglish, Spain-English. Saya sempat terkejut dengan gaya bahasanya yang cukup vulgar, bahkan cenderung kasar (kata-kata F bertebaran di sana-sini, di kemudian hari saya bahkan mengidentikkan kata-kata F dengan buku-buku Junot Díaz). Namun, setelah saya membaca terus, saya sangat menikmatinya. Bukan karena kata-kata F yang bertaburan, melainkan karena Díaz menggunakan kata-kata F itu sebagai elemen humor dalam cerita-ceritanya. Saya kurang paham apa arti sebenarnya dari istilah ini, tapi saya pikir tulisan Díaz mungkin apa yang disebut sebagai black humor atau dark comedy.

Sebuah testimoni di sampul belakang The Brief Wondrous Life of Oscar Wao mengatakan bahwa novel Junot Díaz “…impossible to categorize, which makes it good.” Saya agaknya bersepakat dengan komentar itu. Sempat memikirkan tentang apakah menulis sebuah novel sebaiknya menggunakan formula atau tata cara yang teratur dengan ketentuan-ketentuan yang telah dibuat, saya ditampar habis-habisan oleh novel Junot Díaz. Membaca tulisan-tulisan Junot Díaz membuat saya bergumam, antara kesal, kagum, dan takjub, “Ternyata menulis novel bisa dengan cara seperti ini.” Ketika itulah saya tahu, bahwa sebetulnya tak peduli cara seperti apa yang kau gunakan, orang hanya ingin membaca novel bagus. Junot Díaz menunjukkan itu.

Seperti membaca novel bagus lainnya, kita punya perasaan bahwa novel yang sedang kita baca adalah novel bagus, bahkan ketika baru memasuki bagian pertama, paragraf pertama, atau kalimat pertama. Itulah yang terjadi dengan sayasaat membaca novel ini. Saya membuka halaman pertama dan langsung berkata dalam hati: this is going to be a nice trip.

Terlahir gendut, bermata minus, berambut awut-awutan, dan tak memiliki wajah menarik, Oscar menjadi anomali di antara rata-rata pemuda Dominicana. Ia hanya tertarik dengan video game, novel-novel dan film-film fiksi sains. Seorang ghetto nerd, seperti disebut Díaz. Tapi bukan berarti Oscar tak suka perempuan. Bahkan, dengan seluruh hobinya yang membuat ia kian jauh dari pergaulan sosial dan teman-temannya, ia memiliki satu keinginan sederhana namun kuat, dan ia menyimpan terus keinginan itu sampai dewasa: ia ingin memiliki kekasih, ia ingin mendapatkan cinta, ia ingin dicintai. Sayangnya, kutukan yang mengalir di keluarganya, tampaknya mengalir pula dalam darahnya. Oscar kehilangan cinta pertamanya saat ia berusia 7 tahun dengan cara yang menyakitkan, dan semenjak itu ia tak pernah memiliki seorang kekasih, meski ia telah mencoba ribuan cara.

Tak berbeda dengan dirinya, kakak kandung Oscar juga, ia sadari atau tidak, menyimpan warisan kutukan itu. Fukú. Seperti Oscar, Lola juga terlahir sebagai gadis Dominicana yang anomali. Ia tak punya buah dada besar, pantatnya kempis, tubuhnya kurus, dan bahkan pada satu titik rendah dalam kehidupannya, ia memangkas habis rambutnya sampai botak. Lola melakukan ini sebagai bentuk pemberontakan dan perlawanan terhadap ibu kandungnya, Belicia Cabral, yang membawa kutukan itu, fukú, dari ayah kandung yang tak pernah ia kenal, seorang profesor doktor dan akademisi terpandang bernama Abelard.

Membaca judul novel ini, The Brief Wondrous Life of Oscar Wao, saya mengira cerita akan berpusat pada tokoh utama bernama Oscar Wao, dan ia akan menjadi tokoh tunggal di mana seluruh plot bermula atau bermuara padanya. Ternyata saya keliru. The Brief Wondrous Life of Oscar Wao adalah kronik tentang sebuah keluarga. Lebih tepatnya lagi, kronik tentang sebuah keluarga Republik Dominika yang hidup di bawah rezim seorang diktator: Rafael Leónidas Trujillo Molina.

Rafael Leónidas Trujillo Molina, alias El Jefe, adalah politikus dan tentara yang kemudian memerintah Republik Dominika selama 31 tahun (kita juga punya sosok yang hampir sama dengan El Jefe yang memerintah Indonesia selama 31 tahun). Ia memegang tampuk tertinggi pemerintahan sejak 1930 hingga tewas dibunuh pada 1961. Junot Díaz mengambil rentang waktu ini untuk membangun plot cerita Oscar Wao dan keluarganya. Saya tidak tahu mana yang datang lebih dulu ke kepala Díaz, gagasan tentang rezim Trujillo, atau kisah tentang Oscar. Saya pikir keduanya bisa saja datang di waktu yang bersamaan (tapi saya cenderung mengira gagasan tentang rezim El Jefe datang lebih dulu).

Satu hal yang sangat saya senangi dari Junot Díaz adalah penulis ini punya cara yang menyenangkan untuk menyampaikan informasi ‘berat’ tentang tragedi politik dan dunia sekitarnya. Dimulai dengan seorang karakter culun dengan serba-serbi kisah cintanya yang gagal dan membuat saya tertawa-tawa, Díaz sedikit demi sedikit menyeret saya masuk ke dalam sejarah kelam Republik Dominika. Semakin menyenangkan ketika menyadari bahwa saya tak sadar sedang diseret ke sana! Saya hanya tertarik dan tertawa-tawa mengikuti kelucuan kisah Oscar, kakaknya, lalu ibunya, sampai kakeknya dan di sana lah saya tak bisa lagi tertawa, sebab Díaz menunjukkan kekejaman dan kebrutalan El Jefe, dan betapa orang-orang yang hidup di Republik Dominika tak bisa berkutik selain menuruti keinginan sang diktator, sebab El Jefe mengisolasi negaranya dari dunia luar. Hidup Oscar dan keluarganya berada dalam cengkeraman kaki-tangan El Jefe, meski pada akhirnya, sebagai sebuah anomali besar, setiap anggota keluarga Oscar memiliki jiwa seorang pelawan, pemberontak, dan keinginan murni untuk hidup dan menangkal kutukan abadi itu. Seperti La Inca, tokoh nenek, si abuela yang percaya pada kekuatan doa-doa.

Zafa.


Saya kira, The Brief Wondrous Life of Oscar Wao adalah sebuah pesan tak langsung kepada kita bahwa hidup selalu perihal pertempuran antara fukú dan zafa, kutukan dan doa, nasib buruk dan niat baik, iblis dan malaikat, penjahat dan pahlawan. Satu-satunya perbedaan dari kedua hal yang terkadang bisa menjadi sama kuat itu adalah, kutukan bisa datang dalam berbagai wujud, namun penangkalnya, zafa, selalu sama, yakni niat baik, tekad kuat, dan ketulusan. Setiap orang mungkin saja memiliki kutukan dalam hidupnya, atau setidaknya yang ia anggap sebagai kutukan. Namun, sesungguhnya tak ada yang mendominasi dalam dunia sempit ini, di sebelah fukú, senantiasa berdiam zafa, menunggu dipanggil oleh hati yang jernih dan berharap. Maka, kita tahu, dengan kehadiran dua hal yang berkontraposisi itu, fukú dan zafa, dunia adalah sebuah arena pertempuran yang abadi. Tak pernah usai. ***

Seni Berperang atawa Mengecoh Tuan Besar Halaman Kosong

$
0
0

Menulis, saya kira, adalah bentuk perjuangan. Kita berjuang untuk mendapatkan inspirasi, mengumpulkan segenap energi dan motivasi supaya bisa segera memulai menulis kalimat pertama, menjaga stamina agar dapat menyelesaikan tulisan yang panjang, mempertahankan irama tulisan dan menemukan cara terbaik menyampaikan gagasan, melindungi diri dari segala macam distraksi, sampai melawan setan terkuat yang mencegah jari-jari menggerakkan dirinya untuk menulis: mood.

Menulis juga berarti berperang. Kita melawan rasa malas, atau hasrat untuk menulis ide lain pada saat ada tulisan yang belum kelar. Kita berperang melawan ego dan gejolak untuk menumpahkan seluruh pengetahuan ke dalam plot cerita yang sebenarnya tak cocok atau cukup memadai untuk pengetahuan itu (sehingga kerap membuat si narator atau tokoh utama tampak keminter). Bahkan setiap menulis, kita berperang melawan halaman kosong.

Salah satu pertanyaan yang sering saya dapatkan setiap hadir di acara-acara kepenulisan adalah, bagaimana caranya menulis jika sedang tidak mood? Saya hampir selalu menjawab pertanyaan itu dengan sebuah pernyataan tegas dan tanpa kompromi: Saya tidak percaya dengan takhayul bernama mood. Saya percaya pada komitmen dan keinginan kuat. Ketika seorang memiliki dua hal tersebut, mood menjadi mitos. Hanya orang-orang yang hidup di dunia tak kasat mata yang percaya pada mitos.

Tapi, tunggu dulu. Benarkah komitmen dan keinginan kuat adalah satu-satunya (atau dua-duanya) hal yang membuat menulis menjadi (seharusnya) lancar-lancar saja? Benarkah mood hanya mitos yang layak disingkirkan ke tempat sampah dan dibakar habis? Ataukah jangan-jangan hasil pembakaran mood itu terbang ke langit, memenuhi udara, dan jatuh kembali ke keyboard laptop penulis dan membuatnya seketika macet, tak dapat memikirkan satu kata pun, kehilangan kemampuan atau kesanggupannya untuk meneruskan apalagi menyelesaikan tulisannya?

Benarkah kita harus terus, wajib menulis, bahkan ketika sedang tidak merasa ingin?

He will win who knows when to fight and when not to fight, kata Sun Tzu. Sun Tzu memandang perang sebagai sebuah seni (meskipun ada yang mengatakan bahwa judul asli bukunya bukanlah The Art of War, melainkan The Science of War) dan dengan demikian ada banyak hal yang dapat ditelisik dari sebuah perang, untuk kemudian menemukan hal-hal apakah yang menjadi penentu kemenangan (atau kekalahan) dalam perang. Salah satunya adalah seperti yang barusan saya kutip. Ternyata, menjadi pemenang dalam sebuah peperangan tidak selamanya perkara memiliki sumber daya yang banyak, mesin-mesin tempur canggih, dan jumlah prajurit yang masif, tetapi juga punya strategi yang terukur dan beralasan. Seorang pemenang adalah dia yang tahu kapan harus bertempur dan kapan tidak. Pertanyaannya: apakah seorang penulis (yang akan memenangi ‘peperangan’) adalah dia yang tahu kapan harus menulis dan kapan tidak?

Menulis memang bukan pekerjaan menunggu wangsit. Tapi, menulis juga bukan pekerjaan 9-to-5, seperti jam kantor. Penulis bukan pabrik. Novel bukan produk pabrikan. Stok bahan baku tidak selalu tersedia dan cuaca selalu berubah-ubah. Sebuah negara tidak memulai perang kapanpun ia mau, melainkan perlu melihat-lihat banyak kondisi: mengukur kekuatan musuh, mempelajari zona perang, mengintai pergerakan lawan, menyusun strategi tempur, dan memastikan logistik cukup. Jika menulis diperlakukan sebagai aktivitas ‘kantoran’ yang harus dilaksanakan setiap hari ‘kerja’, tak peduli sedang mood atau tidak, tak peduli logistik mencukupi atau tidak, tak peduli ada ide atau tidak, tak peduli ingin menulis atau tidak, tidakkah itu artinya sama saja dengan maju selangkah lagi menuju kekalahan?

Tapi, kata Murakami, menulis adalah melatih daya tahan untuk hidup dalam pola yang monoton. Yang dimaksud dengan pola yang monoton adalah ‘jam ngantor’ itu tadi. Jika Murakami adalah seorang jendral yang memimpin kesatuan tempur, maka ia adalah jendral yang setiap hari mengirimkan pasukannya untuk berperang, 9-to-5, 24/7, tanpa henti dan tanpa ambil peduli apakah pasukannya sedang mood untuk berperang atau tidak, apakah makanan, amunisi, dan obat-obatan masih cukup atau tidak.

Bisa jadi strategi berperang tiap penulis berbeda. Suatu kecerobohan membandingkan Murakami dengan Sun Tzu, dan mungkin suatu kecerobohan pula membandingkan berperang dengan menulis. Meski begitu, saya percaya seorang penulis harus menulis jika dan hanya jika ia sedang merasa cemas, betul-betul cemas. Kecemasan itu muncul dari uap kopi panas yang ia minum di pagi hari, hadir di sela-sela kalimat halaman koran yang ia baca, mengikutinya dalam perjalanan ke kantor, duduk di sampingnya saat sedang menonton film di bioskop sendirian, berlari tepat di belakangnya saat sedang jogging sore-sore, menungguinya saat sedang mandi, berbaring di sebelahnya saat hendak tidur, dan menjadi hantu dalam mimpinya. Jika dan hanya jika kecemasan itu telah menghantui, barulah seorang penulis harus menulis.

Berperang, kata Sun Tzu, sebetulnya adalah seni mengecoh. Ketika kita kuat, buatlah musuh mengira kita lemah. Ketika ketika lemah, buatlah musuh mengira kita sangat kuat. Ketika kita memiliki pasukan tempur yang banyak, buatlah musuh mengira jumlah kita hanya sedikit. Ketika jumlah kita sedikit, buatlah musuh mengira kita sangat banyak. Ketika kita punya mesin perang yang canggih, buatlah musuh mengira kita hanya membawa senjata usang. Ketika kita hanya punya senjata usang, buatlah musuh mengira kita menyimpan senjata rahasia yang berbahaya. Menulis, jangan-jangan, juga adalah seni mengecoh atau menipu. Ketika halaman kosong di laptop mengira kita tidak memiliki ide, tulis 3.000 kata dalam sehari. Ketika halaman kosong merasa kita punya tumpukan hasrat untuk ditumpahkan, tahan. Whatever you think you are, make the enemy think the opposite.


Dengan begitu, ketegangan antara Sang Jenderal berpena (keyboard, jika di zaman modern ini) dengan musuhnya, Tuan Besar Halaman Kosong, akan berlangsung terus-menerus. Pekerjaan penulis adalah mengecoh Tuan Besar Halaman Kosong sehingga ia tidak dengan mudah menaklukkan penulis, meski pada waktu-waktu tertentu penulis memang benar-benar lemah di hadapannya (Tuan Besar Halaman Kosong tak boleh tahu tentang kenyataan ini). Tidak setiap hari seorang penulis mesti berhadap-hadapan dengan Tuan Besar Halaman Kosong, tentu saja. Mungkin, di hari-hari tertentu, penulis hanya menghabiskan waktunya seharian, semalaman, untuk mengintai gerak-gerik Tuan Besar Halaman Kosong, apa yang sedang ia rencanakan, jalur mana yang akan ia tempuh, senjata macam apa yang ia pakai untuk membunuh, bahkan dengan siapa saja ia bersekutu. Sebab, kita tahu, karena ia sama-sama berada dalam zona perang dan sadar bahwa peperangan ini tidak akan usai sampai salah satu pihak meraih kemenangan mutlak dan pihak yang lain jatuh terkapar atau memohon ampun dan menyerahkan diri, Tuan Besar Halaman Kosong juga memiliki strategi, memahami bahwa berperang adalah sebuah seni, mengintai gerak-gerik Sang Penulis sembari menyiapkan strategi paling jitu, sambil menyesap kopi dan membaca The Art of War Sun Tzu di barak tempurnya. ***

Dua Novel di API 2014

$
0
0


Goodreads Indonesia (twitter: @bacaituseru) mengadakan Anugerah Pembaca Indonesia 2014. Saat ini sudah sampai tahap polling pertama. Untuk melakukan VOTE, teman-teman perlu mendaftarkan akun Goodreads dan bergabung dengan grup "Goodreads Indonesia".

Dua novel saya, Cinta. dan Surat untuk Ruth masuk daftar long list 1 untuk kategori Buku Fiksi TerfavoritJika teman-teman pernah membaca salah satu atau kedua novel tersebut dan menyukainya, saya berharap teman-teman mau VOTE salah satu dari kedua novel tersebut di sini: Polling Long List API 2014

Terima kasih!

~ Bara

To Rise Again at a Decent Hour, Joshua Ferris

$
0
0



Saya tertarik membeli dan membaca novel ini karena; pertama, ia adalah satu dari kalau tidak salah enam nominasi penghargaan Man Booker Prize 2014 (kalah dari The Narrow Road to the Deep North milik Richard Flanagan); kedua, karena judul dan sampulnya menarik; ketiga, karena penulisnya membuka cerita dengan berceloteh soal mulut. The mouth is a weird place, katanya. Not quite inside and not quite out, not skin and not organ, but something in between: dark, wet, admitting access to an interior most people would rather not contemplate-where cancer starts, where the heart is broken, where the soul might just fail to turn up.

Joshua Ferris membuka novelnya dengan bertutur mengenai mulut dan mencoba berfilosofi dengannya, meskipun saya tidak begitu menangkap apa poin filosofinya itu, selain untuk memberikan petunjuk bahwa tokoh utama dalam novel adalah seseorang yang memiliki hubungan dekat kepada mulut. Usut punya usut, ternyata tokoh utama novel ini adalah seorang dokter gigi bernama Paul C. O’Rourke yang memiliki klinik kesehatan gigi di Park Avenue, Manhattan. Paul bekerja di sebuah klinik gigi yang tidak besar bersama tiga orang karyawan (salah satu dari mereka adalah pacarnya), dan pada suatu hari mengalami sebuah masalah yang mengganggu kehidupannya.

Awalnya, saya tertarik dengan cara bertutur Joshua Ferris, karena ia berbicara dengan ringkas, tanpa deskripsi gestur atau latar yang berlebih, dan nada jutek yang menghibur. Namun, lama-kelamaan, saya mulai jengkel. Jika di awal tadi saya bilang bahwa mulut adalah hal yang membuat saya tertarik untuk membaca novel ini, maka mulut pula lah yang membuat saya ingin cepat-cepat menyelesaikan (bukan dalam arti yang baik) dan meninggalkan novel ini selama-lamanya.

Masalahnya adalah, Paul C. O’Rourke tak bisa mengerem mulutnya, ia terlalu gemar menggerutu.

Saya percaya bahwa karakter dalam novel harus simpatik. Simpatik bukan berarti baik. Karakter antagonis, tokoh yang suka menyiksa atau membunuh, bahkan mafia sekalipun dapat menjadi simpatik. Simpatik artinya mendapatkan pengertian atau ‘belas kasih’ dari pembaca. Bagi penulis, menciptakan karakter yang simpatik artinya membangun karakter yang manusiawi, artinya memunculkan kehidupan masa lalu, alasan-alasan dan motivasi yang membuat tokoh tersebut melakukan apa yang ia lakukan di masa sekarang, yang membentuk cara tokoh memandang kehidupan.

Paul C. O’Rourke dalam To Rise Again at a Decent Hour adalah dokter gigi yang gemar menggerutu, tanpa sebab yang benar-benar jelas. Ia terus dan terus menggerutu tentang banyak hal. Salah satunya adalah pekerjaannya sendiri, yang tidak memberinya waktu untuk beristirahat dan menikmati hal-hal lain (well, kau seorang dokter, apa yang kau harapkan, Paul?). Hal berikutnya yang ia gerutukan setiap hari adalah ketergantungan karyawan-karyawannya terhadap Internet dan social media. Paul menggerutu tentangFacebook, E-mail, website, bahkan emoticon. Joshua Ferris menggambarkan karakter Paul sebagai manusia yang tidak begitu menyukai perkembangan teknologi, terpisah dari euphoria dunia maya, dan memilih untuk melakukan hal-hal dengan cara manual, cara lama. Namun, Ferris tampak tak tertarik atau tak punya waktu untuk memberikan fondasi kuat, mengapa Paul menjadi seperti itu, mengapa ia tampak membenci Internet dan social media. Satu-satunya kepingan masa lalu Paul yang ditampilkan Ferris hanyalah informasi tentang ayahnya yang meninggal (bunuh diri?) dan… itu saja. Sama sekali tidak menjelaskan mengapa Paul menjadi Paul yang sekarang.

Hal menyebalkan lainnya dari novel ini adalah, masih seperti sebelumnya, Paul terlalu gemar menggerutu. Joshua Ferris, lewat Paul, terus-menerus menjelaskan satu objek dalam paragraf panjang, kadang teramat panjang, dengan informasi-informasi sekunder yang berekor, seolah-olah Ferris tak yakin pembaca memiliki kecerdasan yang cukup untuk mengerti apa yang ia maksudkan. Penjelasan panjang-lebar Ferris betul-betul tidak efektif dan membuat saya melakukan skimming hampir separuh novel. Ketika membaca tulisan yang memiliki penjelasan sekunder terlalu panjang untuk satu hal, kau dapat melakukan skimming dan takkan ketinggalan satu informasi penting pun, karena penjelasan tetek bengek tersebut tidak menggerakkan plot. Apalagi kalau dituturkan dengan cara yang tidak menghibur.

Saking sebalnya dengan Paul atau Ferris yang terlalu gemar menggerutu, saya sampai heran kenapa novel ini bisa masuk nominasi Man Booker Prize. Tapi biarlah, bukan itu poin catatan saya kali ini. Saya mencoba untuk tetap positif selama membaca, bahkan saya mencoba untuk mencari-cari kira-kira apa yang membuat novel ini masuk nominasi Man Booker Prize. Mungkin karena isu yang diangkat. Paul C. O’Rourke, dokter yang gemar menggerutu, suatu hari bertemu dengan seorang pasien aneh yang berpamitan dan tiba-tiba mengucapkan satu hal aneh kepada Paul. Ulm. Semenjak itu, Paul mengalami hal-hal janggal. Tiba-tiba, saat seorang karyawannya meramban di Internet, ia menemukan website klinik kesehatan gigi mereka. Padahal Paul tidak pernah membuat website untuk kantornya. Website misterius itu diiringi peristiwa-peristiwa misterius lain, yang diakhiri dengan keterkejutan Paul saat mengetahui bahwa dirinya adalah keturunan, atau bagian dari sebuah bangsa yang terasing dan terlupakan sejak ribuan tahun lalu, sebuah bangsa dan kepercayaan yang lebih tinggi dari Yahudi dan bangsa-bangsa lain.

Saya membaca novel ini bersamaan dengan novel adaptasi dari film Deat Poets Society, dan merasakan kontras yang cukup kentara. Di Dead Poets Society, seluruh tokoh, baik para murid, guru, maupun orangtua murid yang tampak keras dengan anak-anaknya, semuanya memiliki alasan dan motivasi yang jelas mengapa mereka menjadi mereka yang sekarang, mengapa mereka melakukan hal-hal yang mereka lakukan. Tokoh-tokoh dalam To Rise Again at a Decent Hour tidak memiliki itu, alih-alih, mereka malah (hampir seluruh tokoh, bahkan sampai ke tokoh sampingan) semuanya tampak menyebalkan dengan ‘tidak bersimpati’ satu sama lain, membuat saya melihat klinik kesehatan gigi Paul C. O’Rourke seperti sebuah tempat kumpulan orang-orang yang menyebalkan.


Setidaknya, dari membaca novel ini, saya dapat memperingati diri sendiri untuk tidak menciptakan tokoh yang gemar menggerutu tanpa alasan jelas, menghindar dari memberi penjelasan dan deskripsi yang kelewat panjang-lebar sampai meledek tingkat kecerdasan pembaca, dan terus belajar menulis lagi. Novel ini mengingatkan saya kembali bahwa kita tidak hanya bisa belajar dari buku-buku bagus, tapi juga dari buku-buku yang kurang bagus, untuk tidak mengulangi kesalahannya dan tidak menjadikannya inspirasi. ***

[ manuskrip ] ariyani

$
0
0


Hasrat saya menulis novel tidak mencegah apalagi mengurangi kesukaan saya terhadap cerita pendek. Di sela-sela membaca novel, saya masih suka membaca cerita-cerita pendek. Sesekali saya menulis cerita pendek, terutama untuk menangani kilatan-kilatan ide yang banyak namun tidak bisa segera saya jadikan novel.

Sembari menunggu kabar tentang manuskrip novel terbaru saya dari editor, saya mengumpulkan beberapa cerita pendek yang pernah saya tulis dari tahun 2010-2013. Dengan agak nekat (karena saya tahu kumpulan cerita pendek lebih sulit lolos seleksi ketimbang novel) saya kirimkan kumpulan itu ke editor saya. Saya tidak berharap banyak. Kalaupun naskah tersebut tidak bisa diterbitkan, tidak masalah. Setidaknya, rasa penasaran saya sudah tersampaikan.

Di luar dugaan, editor saya memberi kabar baik. Penerbit tertarik dengan manuskrip kumpulan cerita yang saya kirim, dan ingin menerbitkannya. Tentu saja dengan beberapa catatan. Di antaranya adalah menyingkirkan beberapa cerita yang kurang kuat, dan menambah beberapa cerita baru.

Merespons catatan tersebut, saya menulis tiga cerita baru. Total cerita dalam manuskrip versi akhir yang saya kirim ke editor adalah 16 cerita. Karena cerita-cerita pendek tersebut berasal dari rentang waktu yang cukup panjang (empat tahun), maka mungkin nanti teman-teman pembaca akan melihat perubahan gaya menulis dan tema dari cerita satu ke cerita lain.

Meski gambar di atas menampilkan judul sementara yang panjang, saya beri nama manuskrip ini: Ariyani. Diambil dari nama tokoh di salah satu dari tiga cerita yang baru saya tulis khusus untuk melengkapi buku ini. Judul panjang di gambar di atas itu juga cerita baru, teman-teman akan menemukannya pula di dalam buku ini nanti.

Manuskrip Ariyanimasih mengambil tema besar: cinta. Sayangnya, mungkin teman-teman tidak akan menemukan cerita cinta dengan akhir bahagia di sini. Entah kenapa saya mengalami kesulitan untuk menulis cerita pendek tema cinta dengan ending yang bahagia. Tapi, semoga kelak saat membacanya teman-teman tetap terhibur dan puas.

Saat ini, Ariyani sudah dipegang oleh editor, dan sedang dibaca ulang. Proses revisi rencananya akan berlangsung bulan ini, karena Ariyanidirencanakan untuk segera terbit. Semoga saja semuanya berlangsung lancar. Termasuk manuskrip novel Sarif & Nur yang sekarang juga masih proses editing oleh editor. Total ada 2 manuskrip saya-novel dan kumpulan cerita pendek-yang sedang diproses di penerbit.

Saya harap teman-teman mau ikut berdoa, agar kedua manuskrip tersebut, Sarif & Nur dan Ariyani, dapat segera lahir dengan baik, dan menemui teman-teman pembaca setia semuanya.



Bara

Film: Surat untuk Ruth

$
0
0




Adalah editor saya untuk buku Surat untuk Ruth, Siska Yuanita, yang memperkenalkan saya dengan Ve Handojo, orang yang kemudian menyampaikan kepada saya bahwa kantor tempat ia bekerja berminat untuk mengadaptasi novel saya ke layar lebar.

Saya tahu nama Ve Handojo lewat Twitter, belum pernah bertemu langsung. Setelah mencari-cari, saya baru tahu bahwa ia adalah salah satu penulis skenario dalam film omnibus Rectoverso Dee Lestari, dan saya menyukai film itu. Saya pun berkomunikasi via surel dengan Mbak Siska dan Mas Ve. Kami berkenalan dan bersepakat untuk bertemu di Jogja, membicarakan lebih jauh tentang rencana tersebut.

Lewat pertemuan itu, saya mengetahui dua hal: Pertama, kantor tempat Mas Ve bekerja adalah Screenplay Productions. Kedua, Mas Ve memiliki visi yang menarik terhadap film Surat untuk Ruth.

Pertemuan pertama kami di Jogja lebih banyak membahas ide-ide kreatif dan visi dari masing-masing pihak, bagaimana Mas Ve mewakili production house memandang film Surat untuk Ruth, dan bagaimana saya memandangnya dari kacamata penulis. Ternyata, Mas Ve memiliki pandangan yang bagi saya cukup menarik. Saya menyukai bagaimana ia menginginkan wujud film ini nantinya, dan pandangannya kurang lebih mirip dengan keinginan saya. Hal itulah yang membuat saya-setelah tiga kali pertemuan (yang kedua saya main langsung ke kantor Mas Ve, yang terakhir kami bertemu lagi di Jogja)-akhirnya setuju untuk menjual hak adaptasi film Surat untuk Ruth ke Screenplay Productions.


Pertanyaan-Pertanyaan

Pertanyaan satu: Apa peran saya dalam proses pembuatan film Surat untuk Ruth? Saya tidak menulis skenario, tidak pula menjadi aktor dalam filmnya. Saya akan menulis sinopsis hingga treatment (semacam kerangka atau outline pada novel), untuk kemudian diteruskan menjadi skenario utuh oleh Mas Ve. Ini sekaligus menjawab siapa penulis skenario film Surat untuk Ruth.

Pertanyaan dua: Siapa sutradara film Surat untuk Ruth dan siapa saja aktor dan aktris yang akan terlibat? Saya belum tahu. Tahap menentukan sutradara dan cast sepertinya baru bisa dilakukan setelah skenario selesai. Meski demikian, saya akan sangat senang kalau teman-teman pembaca punya usul atau bayangan, kira-kira siapa aktor dan aktris yang cocok memerankan tokoh-tokoh di Surat untuk Ruth (silakan sampaikan lewat kolom komentar di bawah tulisan ini). :D

Pertanyaan tiga: Kapan film Surat untuk Ruth tayang? Saya belum tahu. Saat ini kami baru akan mulai tahap pertama, yakni menulis sinopsis cerita. Jika semua berjalan lancar, mungkin Surat untuk Ruth akan tayang akhir tahun 2015, atau tahun 2016. Ya, ya, saya juga berharap filmnya segera jadi. He, he, he.

Pertanyaan empat: Apakah judul filmnya tetap sama dengan novel? Alhamdulillah, Mas Ve sudah bilang bahwa salah satu bagian dari novel Surat untuk Ruth yang akan dipertahankan di filmnya adalah judul. Bahkan, judul itulah yang pada awalnya menarik minatnya untuk mengadaptasi novel tersebut ke layar lebar. Lalu, bagaimana dengan bagian-bagian lainnya, apakah ada yang diubah? Mari kita bersepakat bahwa tidak mungkin memindahkan seratus persen isi novel ke film (jika pun bisa, apa gunanya?). Membuat karya baru artinya memberikan sesuatu yang baru, sesuatu yang lebih. Jika ada hal-hal yang bisa diubah, maka perubahan itu akan dilakukan. Tentu saja bagian-bagian penting, adegan-adegan kunci di dalam novel, akan tetap dipertahankan. Yang jelas, perubahan atau segala hal yang dilakukan terhadap versi film dari Surat untuk Ruth nanti dilakukan hanya untuk satu tujuan: memuaskan para penonton, juga pembacanya.


Saya berharap teman-teman berkenan untuk berdoa bersama saya, agar proses adaptasi Surat untuk Ruth berjalan lancar. Kita semua ingin segera menonton filmnya, namun kita juga tidak ingin filmnya menjadi abal-abal. Maka dari itu, kami tidak akan melakukan proses ini secara terburu-buru, melainkan berhati-hati dan dengan keseriusan yang baik.

Saya akan terus mengabarkan lewat blog ini jika ada berita terbaru mengenai proses pengadaptasian Surat untuk Ruth. Jika teman-teman ingin mengetahui kabar yang lebih cepat, teman-teman bisa follow Twitter resmi film Surat untuk Ruth di: @SuratuntukRuth dan Instagram di: @suratuntukruth.

Saran, masukan, usul apapun mengenai film Surat untuk Ruth, silakan sampaikan ke saya lewat Twitter (@benzbara_) ataupun di kolom komentar post ini. Dengan senang hati akan saya kumpulkan dan sampaikan ke PH. Jadi, jangan ragu. :D


Terima kasih!




Bara

ilustrasi di buku terbaru

$
0
0

Di buku terbaru saya (yang akan terbit bulan depan, semoga) Jatuh Cinta adalah Cara Terbaik untuk Bunuh Diri, akan ada beberapa ilustrasi. Ilustrasi-ilustrasi tersebut melengkapi setiap cerita. Total ada 15 cerita, sehingga akan ada 15 ilustrasi. Yang saya pajang ini adalah salah duanya.

Sang ilustrator adalah IBG Wiraga (Hege). Saya menyukai gaya ilustrasinya yang sederhana namun detail, dreamy, dan terkadang surreal. Saya sudah pernah kerjasama dengan Hege untuk buku puisi saya, Angsa-Angsa Ketapang, edisi revisi. Saya pikir saya ingin ilustrasi-ilustrasi dia hadir kembali di buku terbaru saya. Maka saya pun menghubunginya, dan dia menyanggupi. Editor dan penerbit pun sepakat untuk menggunakan ilustrasi-ilustrasi Hege. Kalau ingin lihat karya Hege yang lain, mampirlah ke blognya: http://ibgwiraga.com

Apa kamu suka ilustrasi ini? :)

Buku Baru: Jatuh Cinta Adalah Cara Terbaik untuk Bunuh Diri

$
0
0



“Aku tidak bersepakat dengan banyak hal, kau tahu.
Kecuali, kalau kau bilang bahwa jatuh cinta adalah cara terbaik untuk bunuh diri.

Untuk hal itu, aku setuju.”


Kebanyakan orang lebih senang menceritakan sisi manis dari cinta.
Sedikit sekali yang mampu berterus terang mengakui
dan mengisahkan sisi gelap cintanya.
Padahal, meski tak diinginkan, selalu ada keresahan
yang tersembunyi dalam cinta.

Bukankah kisah cinta selalu begitu?
Di balik hangat pelukan dan panasnya rindu antara dua orang,
selalu tersimpan bagian muram dan tak nyaman.
Sementara, setiap orang menginginkan cinta yang tenang-tenang saja.

Cinta adalah manis. Cinta adalah terang. Cinta adalah putih.
Cinta adalah senyum. Cinta adalah tawa.

Sayangnya, cinta tak sekadar manis. Cinta tak sekadar terang.
Cinta tak melulu tentang senyum dan tawa. Ini kisah cinta yang sedikit berbeda.

Masih beranikah kau untuk jatuh cinta?

-

"Cinta yang Bara ungkap di buku ini bukan lagi sebatas manis dan perih, melainkan juga sisi gelap. Saya menemukan proses pendewasaan dalam cerpen-cerpen Bara. Dibandingkan dengan karya-karya ia sebelumnya, kali ini ada warna yang berbeda."
—Dewi ‘Dee’ Lestari, penulis

“Kisah-kisah cinta Bernard Batubara memukau saya. Caranya menggambarkan percintaan sepasang kekasih kadang kala memberi ruang untuk membayangkan adegan yang lebih panjang. Di dalamnya, ikut terungkap pula situasi sosial dan masalah kemanusiaan di dunia kontemporer kita.”

—Linda Christanty, penulis


Buku terbaru Bernard Batubara. Sebuah kumpulan cerita cinta. 
Terbit Desember 2014, GagasMedia.

Akan diluncurkan pada 13 Desember 2014 di Kembang Kencur, Gedung Promenade, Pejaten, Jakarta, dalam acara Kumpul Penulis dan Pembaca GagasMedia. Informasi HTM dan pendaftaran lihat website >> Kumpul Penulis dan Pembaca Segera daftar, karena terbatas. Ditutup 5 Desember.

Jatuh Cinta + Signed Edition

$
0
0


HAI. Para pembaca yang baik hati. Buku terbaru saya, Jatuh Cinta Adalah Cara Terbaik untuk Bunuh Diri sekarang sudah bisa dipesan di toko buku online yang bekerjasama dengan penerbit.


Buku yang dijual berharga diskon + edisi bertandatangan (terbatas).


Berikut daftar toko bukunya:




(klik untuk membuka tautan dan memesan)



Bukan pre-order, karena buku akan diantar pada tanggal yang sama dengan kehadiran buku di toko-toko buku konvensional, sekitar akhir bulan Desember sampai awal Januari 2015.



Viewing all 402 articles
Browse latest View live