Tiga Novel Michael Ondaatje
Insomniac City, Bill Hayes
Kenapa Mau Jadi Penulis?
-->
- Uang
- Ketenaran
“I think everybody should get rich and famous and do everything they ever dreamed of so they can see that it’s not the answer.” (Jim Carrey)
Perpisahan yang Manis
-->
Mengenal Bayang-Bayang Lenin
Tulisan ini sebelumnya sudah saya unggah di akun Medium. Tapi mendadak akun saya langsung kena suspend, tanpa notifikasi apapun dari Medium. Apa saya melanggar peraturannya Medium? Tapi apa yang saya langgar ya. Apa karena tulisan saya mengandung tema komunisme? Enggak tahu juga.
Lomba Menulis
Teman saya itu waktu sekolah mengambil jurusan IPA lalu berkuliah di jurusan Ekonomi. Saat ini ia berkuliah di semester tiga sambil bekerja sampingan sebagai fotografer. Ia memotret apa saja mulai dari makanan hingga upacara perkawinan. Kami berkenalan ketika ia sudah berkuliah. Ia cerita ke saya tentang cita-cita masa kecilnya ingin jadi penulis ketika tahu bahwa saya menulis novel.
"Kamu masih bisa jadi penulis kalau mau." Itu yang saya katakan kepadanya. Saya memang percaya bahwa tidak pernah ada kata terlambat untuk menjadi penulis. Kalaupun tidak menjadikan kegiatan menulis sebagai pekerjaan, menulis tetap kegiatan yang bermanfaat untuk melatih cara berpikir yang teratur dan jernih. Menulis bisa membantu kita memahami pikiran-pikiran kita sendiri.
Teman saya mengangkat pundaknya. "Tapi apa yang harus aku tulis? Aku enggak punya ide."
Nah, kalau itu sesuatu yang saya tidak percayai. Kita selalu punya ide. Kita selalu punya sesuatu untuk diceritakan. Hidup kita tersusun dari cerita-cerita. Bahkan, sebelum kita terlahir ke dunia, orangtua kita juga hidupnya tersusun dari cerita-cerita. Sebelum dan sesudah kita hidup, cerita akan selalu ada. Saat kita hidup, kita sedang menjalani dan menciptakan cerita kita sendiri.
"Jawabanmu abstrak banget." kata teman saya lagi. "Coba kasih saran yang lebih praktis."
Bertahun-tahun, saya menulis fiksi. Saya mengarang cerita. Kadang-kadang saya mengambil cerita dari kehidupan orang lain, kadang-kadang dari kehidupan diri saya sendiri. Namun, cerita pendek dan novel punya aturannya sendiri. Aturannya hanya satu dan sangat sederhana:
Setiap hal yang muncul di cerita harus berdasarkan sebuah alasan.
Maka dari itu, hal yang paling penting dalam menulis adalah menjawab pertanyaan mengapa. Mengapa tokoh-tokohnya melakukan hal-hal yang mereka lakukan? Mereka lokasi ceritanya di situ dan bukan di sini? Mengapa si anu bertemu dengan si ini tetapi tidak dengan si itu? Semuanya harus memiliki alasan yang masuk akal dan kuat. Harus ada penjelasan yang menyertai setiap keputusan.
Salah satu cara terbaik untuk berlatih memaparkan alasan adalah dengan menulis ulasan. Review. Saya sering mengulas buku di blog saya ini. Kadang-kadang saya mengulas film. Ulasan atau review menjadi ruang yang sangat pas untuk latihan menjelaskan alasan-alasan di balik pendapat kita tentang sesuatu. Mengapa kita menyukai sesuatu. Mengapa kita berpikir ada yang bisa lebih dikembangkan dari sesuatu.
Saya senang mengundang kalian semua untuk berlatih menulis review. Tentu saja saya juga senang mengatakan bahwa latihan ini tidak cuma-cuma. Ada hadiah besar yang menanti para pemenang.
Bukalapak mengadakan lomba blog BukaReview. Berlangsung dari 22 Oktober 2018 hingga 31 Desember 2018. Total hadiah sebesar 60 juta rupiah untuk tiga pemenang. Ada beragam pilihan topik review yang bisa dipilih sehingga kesempatan untuk ikut serta semakin besar. Saya sendiri akan jadi salah satu juri lomba blog BukaReview.
Silakan lihat syarat & ketentuan lomba blognya di sini: Lomba Blog BukaReview. Untuk mendaftar silakan ke sini:Pendaftaran Lomba Blog BukaReview.
Selamat Datang
Bisikan Busuk adalah blog pribadi Bernard Batubara (Bara): penulis penuh-waktu, yang lahir pada Juli 1989 di Pontianak, Kalimantan Barat; kini tinggal di Yogyakarta. Bara belajar menulis puisi, cerita pendek, dan novel sejak 2007. Buku-bukunya yang telah terbit: Angsa-Angsa Ketapang (2010), Radio Galau FM (2011), Kata Hati (2012), Milana (2013), Cinta. (2013), Surat untuk Ruth (2013), Jatuh Cinta Adalah Cara Terbaik untuk Bunuh Diri (2014), Jika Aku Milikmu (2015), Metafora Padma (2016), dan Elegi Rinaldo (2016). Radio Galau FM dan Kata Hati telah diadaptasi ke layar lebar. Buku terbarunya terbit Maret 2017, Luka Dalam Bara.
MOBIL BEKAS
Rahasia Menembus Penerbit Ala Bernard Batubara!
-->
Untuk Seorang Perempuan yang Memintaku Menjadi Hujan
Hotel Nyaman di Malang Dekat Alun-Alun
-->
Mencari Rasa yang Dulu Pernah Ada
Tiga Buku 2017
Tiga buku saya yang terbit tahun 2017. Dua kumpulan tulisan pendek bertema cinta dan satu novel adaptasi dari film layar lebar. Ketiganya masih tersedia dan bisa dibeli di toko-toko buku konvensional maupun online.
Luka Dalam Bara belum lama ini meraih penghargaan Anugerah Pembaca Indonesia 2017 yang diselenggarakan oleh Goodreads Indonesia, kategori Sampul Buku Fiksi Terfavorit (Ilustrator: Alvin Resqy), sedangkan Mobil Bekas dan Kisah-Kisah dalam Putaran dan Untuk Seorang Perempuan yang Memintaku Menjadi Hujan baru saja rilis.
Tahun depan ada buku baru? Belum tahu. Kita nikmati dulu sisa-sisa tahun ini sembari membayangkan yang seru-seru untuk tahun 2018.
10 Buku Favorit di 2017
Sejujurnya saya kurang happy dengan pencapaian membaca saya di tahun ini, terutama menyangkut jumlah buku yang saya baca. Sejak saya merekam daftar buku yang saya baca di Goodreads, dari tahun ke tahun jumlah buku setiap tahunnya semakin sedikit saja. Tahun ini saya hanya membaca 19 buku dari target 50 buku. Berarti rata-rata saya membaca tidak lebih dari 2 buku setiap bulannya.
Penyebab paling utama dari menurunnya jumlah buku yang selesai saya baca di tahun ini adalah saya menemukan kegemaran baru: belajar menyeduh kopi. Saya berkenalan dengan banyak teman baru dari dunia kopi. Bahkan, saya sempat ikut "sekolah" kopi. Selama beberapa bulan penuh praktis saya tidak membaca buku apapun. Meski sebenarnya dalam masa-masa belajar tentang kopi, saya membaca beberapa buku tentang kopi.
Dalam rangka menjaga tradisi, seperti tahun-tahun sebelumnya, saya akan menulis daftar buku-buku favorit yang saya baca di tahun ini. Karena saya hanya membaca tidak lebih dari dua puluh buku, jadi membuat daftar ini sama dengan mengambil separuhnya. Untunglah, buku-buku yang saya baca memang kebanyakan bagus, jadi tak begitu sulit memilihnya.
Berikut 10 buku favorit yang saya baca sepanjang tahun 2017:
1. Brave New World (Aldous Huxley)
Novel distopia yang lebih mencekam dari sensasi yang diberikan 1984 George Orwell. Saya menganggap hubungan George Orwell dan Aldous Huxley seperti guru dan murid, karena sama-sama penulis Inggris dan jarak kelahirannya hampir satu dekade. Brave New World dibuka dengan adegan yang mengerikan: sekelompok pelajar diajak study tour ke gedung yang berisi pabrik bayi. Kekuatan novel ini ada pada visi distopia Aldous Huxley, yang sangat relevan dengan pemikiran apapun tentang bagaimanakah itu dunia yang stabil.
2. Other Colors: Essays and A Story (Orhan Pamuk)
Kumpulan tulisan nonfiksi Orhan Pamuk. Kebanyakan tentang masa kecil, keluarga, tips membaca dan menulis, dan tentu saja: Istanbul. Ada juga satu bab yang berisi ulasan Orhan Pamuk atas buku-buku yang pernah dia baca. Tulisan-tulisannya pendek dan enak dikunyah. Kalau sudah pernah baca dan suka novelnya Orhan Pamuk, di buku ini akan kelihatan bagaimana cara Pamuk memandang seni penulisan novel, yang kemudian menjadi landasan praktis saat dia menuliskan novel-novelnya. Ada bonus satu cerita pendek di akhir buku, bercerita tentang almarhum ayahnya dan Pamuk kecil.
3. Slaughterhouse-five (Kurt Vonnegut)
Novel tentang pengalaman Kurt Vonnegut jadi pasukan Amerika waktu Perang Dunia Kedua. Seperti biasa, isinya lucu. Tapi dibanding, misalnya, Gempa Waktu atau Cat's Cradle, yang ini lebih gelap dan terasa lebih serius. Mungkin karena Vonnegut mengalami sendiri apa yang dia tuliskan. Saya bayangkan tentu sulit melucu tentang perang jika betul-betul pernah berada di dalamnya. Menurut review yang umum, ini buku Vonnegut paling notable. Saya sendiri masih lebih suka Gempa Waktu.
4. Human Acts (Han Kang)
Novel polifonik berlatar sejarah tentang pemberontakan sipil di Korea Selatan yang dikenal dengan sebutan Gwangju Uprising, tahun 1980. Buku ini lebih brutal dibanding The Vegetarian, debut Han Kang di dunia sastra internasional. Satu lagi karya yang menegaskan pertanyaan-pertanyaan Han Kang tentang kekerasan dalam diri manusia, dan adakah kemungkinan memiliki jiwa yang polos nan bersih di dunia yang bersimbah kekerasan. Rada bernuansa sureal karena ada bab yang dituturkan oleh mayat (sedikit mengingatkan pada My Name Is Red Orhan Pamuk).
5. The White Book (Han Kang)
Buku Han Kang yang berbentuk cukup unik. Awalnya saya mengira buku ini novel, tapi ketika saya baca ternyata secara format lebih mirip kumpulan puisi. Tapi enggak juga bisa dianggap sepenuhnya sekadar kumpulan puisi karena alur ceritanya cukup jelas. Saya tidak bisa menamai buku ini buku puisi atau novel, atau bahkan sekadar kumpulan prosa. Hal yang penting buat saya adalah bukunya bagus. Soal isinya, buku ini masih bertema kekerasan. Kali ini dituturkan melalui dunia perempuan dan gagasan-gagasan tentang kehamilan, kelahiran, kehidupan, dan kematian. Buku Han Kang paling menyentuh yang pernah saya baca.
6. Sapiens (Yuval Noah Harari)
Buku nonfiksi dari sejarawan Israel. Tahun ini sepertinya jadi salah satu karya nonfiksi yang populer di dunia. Isinya tentang rangkuman sejarah manusia yang dibagi atas tiga periode revolusi (Revolusi Kognitif, Revolusi Pertanian, Revolusi Sains) serta spekulasi-spekulasi tentang masa depan manusia. Bahasanya mudah dicerna dan cukup provokatif. Memang tidak begitu detail karena penulisnya sendiri mengaku dia terpaksa melakukan generalisasi untuk memberikan gambaran umum atas periode kehidupan manusia yang sangat panjang. Buku "lanjutan" dari ini, Homo Deus, juga bagus.
7. Homo Deus (Yuval Noah Harari)
Sekuel Sapiens. Jika Sapiens berisi rangkuman sejarah manusia dari kali pertama ada di bumi hingga masa saat ini, Homo Deus lebih banyak memberikan situasi perkembangan sains dan pengaruhnya terhadap visi manusia dan kehidupan di masa depan. Seperti buku sebelumnya, juga banyak spekulasi menarik yang ditawarkan Yuval Noah Harari di sini, termasuk narasi tentang usaha-usaha korporasi besar dunia mengatasi kematian dan menjadi manusia amortal.
8. Muslihat Musang Emas (Yusi Avianto Pareanom)
Kumpulan cerita dari salah satu penulis Indonesia kesukaan saya. Seperti biasa, lucu dan sedih. Secara umum menggagas pandangan tentang nasib buruk manusia. Beberapa cerita mengangkat persoalan gender. Hal ini menurut saya cukup menarik karena buku Yusi sebelumnya, Raden Mandasia Si Pencuri Daging Sapi dipandang beberapa pembacanya terutama perempuan sebagai karya yang tidak begitu sensitif menghadapi persoalan gender (kentara male gaze). Tebakan saya buku ini akan masuk daftar pendek Kusala Sastra Khatulistiwa 2018.
9. Max Havelaar (Multatuli)
Novel sejarah bertema kolonialisme dari penulis Belanda bernama asli Eduard Douwes Dekker, yang dikenal pula dengan nama Multatuli (bahasa latin yang berarti "aku telah banyak menderita"). Saya punya kebiasaan buruk menduga novel-novel berlatarkan sejarah sebagai karya fiksi yang lambat dan membosankan. Sebagaimana dugaan saya keliru setelah membaca tetralogi buru Pramoedya Ananta Toer, sekali lagi dugaan saya yang ceroboh itu dipatahkan dengan telak oleh buku ini. Max Havelaar sangat lucu, menghibur, dan menyakitkan. Dengan narasi penuh sarkasme dari karakter-karakter yang kuat, buku ini membongkar sistem pemerintahan kolonial dari dalam, mengungkap praktik-praktik kolonialisme yang menyengsarakan masyarakat jajahannya. Setelah baca buku ini saya jadi paham mengapa Eduard Douwes Dekker menamai dirinya Multatuli.
10. We (Yevgeny Zamyatin)
Sudah baca 1984 George Orwell dan Brave New World Aldous Huxley? Perkenalkan, salah satu dedengkot genre distopia: Yevgeny Zamyatin. Novelnya We, dianggap oleh banyak orang sebagai karya yang menginspirasi Orwell dan Huxley menuliskan masing-masing karya tersebut barusan. Orwell bahkan menerima cukup banyak cemoohan keras dari orang-orang yang membaca We. Mereka menuduh Orwell menjiplak habis tubuh cerita We. Saya sendiri sebenarnya enggak sengaja ketemu buku ini. Asli, bagus banget. Bocoran penting: saya sedang menerjemahkan karya ini ke bahasa Indonesia, doakan bisa terbit tahun depan.
Apa buku-buku favorit yang kamu baca tahun ini? Bagi dong!
20 Film Favorit di 2017
Dibandingkan buku, kesenangan saya yang lebih serius terhadap film bisa dibilang masih sangat baru. Serius yang saya maksud adalah dengan sengaja mencari rekomendasi film, sutradara, genre, seperti yang dilakukan seseorang saat melakukan riset. Dua tahun belakangan saya mencatat film-film yang saya tonton. Saya sempat melacak semua film layar lebar yang pernah saya tonton sejak kali pertama saya menonton, tentu saja sejauh yang bisa saya ingat. Isinya ternyata tidak begitu banyak.
Tahun ini, seperti yang saya lakukan pada buku, saya mencatat film-film yang saya tonton. Beberapa luput dari catatan karena kadang saya merasa filmnya tidak begitu menarik untuk diingat dan sisanya murni kelupaan. Saya mencoba menonton lebih banyak dan beragam. Film-film pendek, dokumenter, dan animasi, jadi area baru yang saya jelajahi. Awal tahun saya bahkan mengkhususkan diri menonton film-film animasi, dan mendapatkan beberapa film dan sutradara favorit.
Total ada 100 film lebih sedikit yang saya tonton sepanjang tahun 2017. Saya mencoba memilih beberapa di antaranya untuk dimasukkan ke daftar ini.
Berikut 20 film favorit yang saya tonton di tahun 2017:
1. The Lobster
Film romance yang rada ganjil karena aturan-aturan dunia di dalamnya. Aturan tersebut adalah bagi siapapun yang single pada usia mereka seharusnya memiliki pasangan (tidak begitu dijelaskan mengenai ukuran usia ini), akan dibawa ke sebuah hotel untuk menemukan pasangan mereka dalam kurun waktu 45 hari. Jika gagal, mereka akan berubah jadi binatang yang jenisnya mereka tentukan sendiri di awal mendaftar di hotel tersebut. Film ini jadi perkenalan yang menyenangkan bagi saya terhadap film-film Yorgos Lanthimos. Saya langsung mencari dan menonton film-filmnya yang lain, termasuk Dogtooth dan Alps, yang juga jadi favorit saya.
2. Dogtooth
Beberapa review menyebut film-film Yorgos Lanthimos bergenre distopia. Saya sendiri merasa label tersebut kurang pas; tapi juga belum menemukan yang lebih cocok, dan merasa tidak begitu penting menemukannya. Film ini bercerita tentang keluarga yang hidup dengan aturannya sendiri. Si ayah membuat aturan-aturan yang diterima anak-anaknya sebagai dogma. Dogma ini akan terasa absurd bagi kita penonton, tapi dalam bentuk yang lain sebenarnya kita sendiri juga menerima dan hidup dalam dogma sejenis. Sama seperti The Lobster, film ini pun gelap, mengerikan, dan amat relevan.
3. Alps
Masih dari Yorgos Lanthimos. Sutradara asal Yunani satu ini akan jadi favorit saya sepanjang masa. Gagasan-gagasannya yang "tidak populer" dibungkus dalam premis-premis cerita yang ganjil dan nyaris tak terpikirkan oleh saya, didukung dengan nuansa dan tonal film serta akting pemeran-pemeran yang menguatkan impresi keganjilan tersebut. Alps tentang sebuah grup kecil yang menyediakan jasa menggantikan sosok orang yang sudah meninggal. Konflik dimulai ketika terjadi kompetisi internal di dalam grup tersebut. Jika sudah menonton The Lobster dan Dogtooth, jangan lewatkan yang satu ini.
4. Being John Malkovich
Sepertinya tahun ini saya cukup banyak menonton film-film yang temanya rada absurd. Walaupun sesungguhnya yang absurd itu enggak absurd-absurd amat dalam pengertian yang absurd itu masih sangat relevan dan mungkin terjadi dalam wujud berbeda. Being John Malkovich film garapan Spike Jonze, tentang seorang pawang boneka yang secara tidak sengaja menemukan lorong untuk masuk ke kepala orang lain. Penemuan ini kemudian dijadikan lahan bisnis, dan dari sana plotnya jadi semakin menarik. Setelah film ini saya mencari film-film Spike Jonze dan Charlie Kaufman (penulis skenario) yang lain, termasuk Adaptation dan Synecdoche, New York, yang juga jadi favorit saya.
5. Adaptation
Film metafiksi tentang penulis skenario yang diminta mengadaptasi buku Susan Orlean, jurnalis Amerika. Kocak, dan karena metafiksi (belakangan saya tahu ada istilah metacinema) tentu terasa absurd juga. Tadinya saya kurang tertarik menonton karena pemerannya Nicolas Cage (saking jeleknya beberapa film Nicolas Cage terakhir yang saya tonton, saya sampai berusaha keras mengingat kenapa saya pernah menyukai aktingnya), tapi di film ini Nicolas Cage oke. Bisa jadi ini satu-satunya film Nicolas Cage yang bagus. Sedikit mengingatkan pada Stranger Than Fiction.
6. Synecdoche, New York
Menonton ini karena almarhum Philip-Seymour Hoffman. Ceritanya tentang sutradara teater yang hidupnya menyedihkan karena ditinggal istri dan anak, juga mengidap penyakit yang akan merenggut nyawanya. Dia kemudian menggarap satu lakon teater yang melibatkan sangat banyak aktor, yang memerankan orang-orang yang sungguh-sungguh ada di kehidupan sang sutradara. Rada metafiksi di dalam dirinya sendiri. Perlu sedikit lebih teliti mengikuti alurnya biar enggak kebingungan.
7. Dogma
Komedi fantasi tentang, yah, dogma. Banyak pemain yang saya kenal, di antaranya Alan Rickman. Sebagian besar memang menyinggung ajaran Katolik dan gereja, tapi relevan juga dengan agama samawi lainnya dan pandangan umum mengenai Tuhan. Lucu banget. Seperti komedi yang bagus, di dalamnya juga mengandung gagasan-gagasan yang serius.
8. The Godfather Trilogy
Iya, saya rada telat, tapi lebih baik daripada enggak sama sekali. Film yang memikat saya sejak adegan pertama. Karakter Don Vito Corleone membekas banget. Penjahat yang karismatik dan membuat saya menyukainya. Film pertama dan kedua yang saya paling suka. Bagian ketiga kurang menarik. Barangkali drama terbaik yang pernah saya tonton seumur hidup.
9. Embrace of the Serpent
Film yang mengubah cara pandang saya terhadap kemajuan dan peradaban, terhadap apa yang kita anggap sebagai progres dan yang primitif.
10. Chungking Express
Film Wong Kar-Wai pertama yang saya tonton. Kata seorang teman, film-filmnya Wong Kar-Wai itu Cancer banget. Kalau lagi butuh sesuatu yang membangkitkan melankoli dan kangen sama sesuatu yang bahkan enggak kita ketahui, tontonlah film-film Wong Kar-Wai, dimulai dari yang ini.
11. Amores Perros
12. 21 Grams
13. Tekkonkinkreet
14. Paprika
15. Grave of the Fireflies
16. Following
17. 5 Cm Per Second
18. Citizen Kane
19. All Quite on the Western Front
20. Kolya
Deskripsi buat sepuluh film terakhir belum ditulis karena malas, he he, nanti saya update. Sutradara favorit yang tahun ini banyak saya tonton filmnya: Yorgos Lanthimos, Wong Kar-Wai, Makoto Shinkai, Alejandro Gonzaléz Iñárritu, Spike Jonze.
Buku Baru: "Batu Manikam" (Shira Media, 2020)
“Batu Manikam menggorok lehernya untuk membebaskan tiga ekor burung yang telah hidup di situ sejak dia berupa janin.”
***
Ini merupakan novela pertama yang ditulis oleh Bernard Batubara.
Batu Manikam dengan tiga burung yang hidup dalam lehernya, bahkan sejak masih berupa janin. Plot Batu Manikam menembus batasan ruang dan waktu. Dikisahkan secara mendebarkan. Saintifik dan futuristik.
Setelah bertahun-tahun bergelut dengan kisah roman, kini dirinya beralih ke genre lain; thriller.
Jikalau dahulu prosa Bara dipenuhi bunga-bunga dan roman yang menyentuh hati, dunia fiksi ciptaan Bara kini tiba-tiba menjadi penuh darah, perjalanan waktu, dan hewan-hewan yang berbicara.
Sudah bisa dipesan di Shiramedia.com
Boredom
Boredom
A column by Bernard Batubara
Boredom comes.
Whatever you do, it comes. Sooner, or later. It comes at the point of comfortness. Have you felt comforted in your life? If you had, and you didn’t get boredom stood at the door of your thoughts, then you’re not a person who loves to be pushed back by a challenge.
But if you did see boredom stood in front of the door of your thought, you are a person who deserves the best thing in the universe.
Boredom is a sign of the boiling point of repetitive life. When you’ve repeated, I bet without any knowledge of your action, a certain activity, you’ll see boredom, walking to the porch of your consciousness.
When was the last time you did something for the first time?
The human brain learns. It can never accept repetition. The acceptance is boredom. That’s how a brain accepts the mundane of repetitive life. Life isn’t a repetition of activities, and should never be one. Life is the result of repetitions, the big bangs, but it isn’t in itself a repetition. I repeat, never in itself, life is a repetition.
Repetition comes as an occupation. You work every day. You repeat the same routine. You might love it, the first time you did it. But if you truly are a challenger, you won’t enjoy it twice.
A challenger never stops at the line of repeated routines.
A challenger begins again.
A challenger begins a new routine. And when the routine invites the footsteps of boredom, it swiftly reforms itself.
It will reform itself into a new routine and that’s the repetition in the life of a challenger.
The repetition of the ever-changing routine.
Are you a challenger?
I wish everybody is a challenger. The world will always be a perfect place to live if they are challengers. We’ll always have new technologies. There’ll always be new novels to read, the ones that new, not just the repetition of old ones because that’ll be the bell of the boredom. That’ll be the doom of life.
We don’t want it.
The evasion of this doom is an exceptionally nothing but a perfectly easy task. You do new things, voila, the doom is nowhere to be seen.
New things. That’s all.
When was the last time you did new things? If the answer comes to you easily, and the answer is just now, I’m here to congratulate your life. But if you need some time to reflects on your past months, finding none new, I suggest you hurry up, gear up, to do a thing new. Boredom is walking to the doorstep of your thought. And believe me, you’ll find a difficult time liking boredom.
Boredom speaks snail language. Extremely slow.
Not a modern person’s thing.
Human life has come to a point that it produces boredom. The repetitions of routines to produce whatsoever necessary through the commands of the owner of corporations has become the invitations of boredom, and this will not be a short term repetition. This will last forever.
We are the product of the revolutions, including one that we keep in mind as the industrial one.
Since then, boredom has been a regular invitee.
Worry not, another entity makes us what we are today, and we can rely on it because it helps us save our time, us as a modern person, that is impossible to waste even a bit second, to meet boredom at the door of our thought. That entity is money.
Let money be the helper to the problem of boredom.
Boredom isn’t just an invitee, it’s an officer, it asks us whether or not we paid our bills. In this very case, money is a perfect host in our humble home of thought.
Another perfect thing for us modern person who is inviter of boredom, is, unsurprisingly, to do a new thing and get money. That is the perfect thing because there are cases when perfection is nowhere to be found. Some of us are doing things that excruciatingly repetitive, that even though we got money, we still a doom maker.
Alas, there’s no new thing under the sun. But there’s a new way of doing no new thing. There’s also a new way of seeing and we call this perspective.
Perspective is the savior of mankind.
Perspective saves us from the doom.
Life isn’t a thing but a perspective. Through life we get perspective and through perspective, we live. It’s a cycle, and inside it, we breathe our sigh. A sigh that speaks the nonexistent of a challenge.
From this perspective, it’s now clear, that the very thing that has the responsibility to provide challenges for us, is ourselves. We mustn't allow us to subject this duty to another person but ourselves. It’s the ethic.
Let us ask ourselves, then, when was the last time we did something new? When did the last time we do what we wish to be done, using a new way of seeing?
Let us further advance the question, then.
When was the last time we challenge our perspective?
Boredom is an officer, not a guest. Its employer is our cognitive stage. The more we sharp our mind the stronger boredom will become.
Contemplating is the sole method to sail our life to the horizon of invincible happiness.
But in this modernity of life, is there a time to contemplate?
I’m sure there is.
The other word for contemplation is a review. There’s much time, enough to review our life.
Cover Reveal! "Banse Firius"
My new novel is soon to be published by Shira Media.
Cover design by Felisitas Dara (Instagram: @felsdar)
Thriller.
Tidak ada pilihan yang logis selain menulis novel thriller bagi saya.
Kehidupan saya setelah menikah dengan @felsdar merupakan kehidupan yang melaju kencang. Kami berdiskusi untuk meninggalkan nilai-nilai lama yang dipaksakan ke kami. Nilai-nilai lama itu mengekang saya, kehidupan pribadi saya, sebelum menikah dengan @felsdar.
Setelah nilai-nilai lama itu rontok dari kepala saya, thriller menjadi satu-satunya genre yang logis bagi kepala saya. Genre ini memungkinkan saya bercerita dengan niatan yang menggambarkan secara akurat, nilai-nilai lama yang telah rontok dari kepala saya. Nilai-nilai lama yang menyiksa BANSE FIRIUS.
Saya dan @shiramedia menawarkan sebuah bacaan yang pasti membuatmu melupakan persoalan hidup. Meskipun hanya berlaku sesaat, melupakan persoalan hidup dengan membaca BANSE FIRIUS akan mengembalikanmu ke kehidupan dengan keadaan kamu telah berubah menjadi manusia dengan pemikiran baru.
BANSE FIRIUS merupakan novela kedua di #SerialSINDIKATSATU.
Ilustrasi sampul oleh @felsdar. Saya sangat menyukai penerjemahan @felsdar atas Sigak. Sigak telah muncul di novela pertama #SerialSINDIKATSATU yaitu BATU MANIKAM. Pada ilustrasi sampul BANSE FIRIUS, @felsdar juga memberi @pembacabara visualisasi Banse Firius berdasarkan bayangannya setelah membaca draf pertama novela #BanseFirius. @pembacabara dapat melihat visualisasi Banse Firius di kuping jaket buku novela BANSE FIRIUS dan di bagian dalam novela terbaru saya ini. @felsdar menggambar ilustrasi isi untuk buku saya yang ke-18, BANSE FIRIUS. Saya juga menyukai visualisasi cerita BANSE FIRIUS yang diciptakan @felsdar. Saya yakin, @pembacabara tidak sabar melihat visualisasi BANSE FIRIUS di bagian dalam bukunya, yang dibuat @felsdar.
Nantikan prapemesanan novela kedua saya di #SerialSINDIKATSATU.
#BanseFirius
Follow me: @benzbara_
Persoalan Sementara (Jhumpa Lahiri)
“Baik sekali mereka mau memberitahu kita,” Shoba berucap pasrah usai membaca pengumuman itu keras-keras, lebih ditujukan kepada dirinya sendiri alih-alih terhadap Shukumar. Ia menggeser tali tas kecilnya, yang penuh naskah, hingga terlolos dari pundak, dan membiarkannya tergeletak di lantai dekat pintu masuk rumah seiring ia melangkah ke dapur. Ia mengenakan mantel biru dongker, celana panjang katun abu-abu, dan sepatu kets putih-terlihat selayaknya perempuan 33 tahun yang pada masanya tidak pernah ingin ia jadikan teladan.
Ia baru pulang dari gym. Warna cranberrylipstiknya hanya terlihat pada bibir bagian luar dan bekas eyeliner tertinggal seperti jejak bubuk arang dekat bulu mata bawah. Di waktu-waktu tertentu ia memang jadi seperti ini, pikir Shukumar, kala pagi hari usai pesta atau nongkrong di bar, kala ia terlalu malas membasuh wajahnya dan terlalu ingin cepat-cepat jatuh ke dalam dekapan suaminya. Shoba menjatuhkan setumpuk surat begitu saja di atas meja tanpa menoleh. Matanya masih terpaku pada lembar pengumuman di tangan satunya lagi. “Tapi mestinya mereka ngerjain ini siang-siang.”
“Pas aku lagi di rumah, maksudmu,” kata Shukumar. Ia menggeser penutup kaca di atas panci berisi masakan daging domba, mengaturnya agar sedikit uap yang lolos. Sejak Januari ia bekerja di rumah, berusaha merampungkan bab akhir disertasinya soal pemberontakan agraris di India. “Kapan perbaikannya kelar?”
“Katanya sembilan belas Maret. Hari ini sembilan belas Maret, bukan?” Shoba mendekat ke papan styrofoam pada dinding di sebelah kulkas, yang di sana terdapat kalender bermotif artistik buatan William Morris. Ia menatapnya seakan-akan baru melihat benda itu, menyimak dengan serius motif pada separuh halaman kalender bagian atas, sebelum beralih ke baris dan kolom angka di bawahnya. Seorang teman memberi kalender tersebut sebagai hadiah Natal, kendatipun Shoba dan Shukumar tidak merayakannya.
“Kalau gitu, hari ini dong,” ujar Shoba. “Omong-omong, kamu ada janji sama dokter gigi Jum’at depan.”
Ia meraba giginya menggunakan lidah; pagi itu ia lupa menggosok gigi. Bukan hal baru. Seharian ia tidak keluar rumah, begitupun hari sebelumnya. Semakin lama Shoba berada di luar, semakin banyak pekerjaan yang istrinya lakukan, semakin ia ingin tinggal di rumah saja, tidak pergi bahkan hanya untuk mengecek isi kotak surat ataupun berbelanja buah atau anggur.
Enam bulan lalu, tepatnya September, Shukumar sedang menghadiri konferensi akademis di Baltimore tatkala Shoba berkantor-tiga minggu sebelum tenggat kelahiran bayi mereka. Ia enggan pergi ke konferensi tersebut, tapi istrinya memaksa; perhelatan itu penting baginya dalam membangun jaringan relasi, dan tahun depan ia akan mulai memasuki dunia kerja. Istrinya bilang ia sudah menyimpan nomor telepon hotelnya, dan salinan jadwal kegiatannya, dan nomor penerbangannya, dan ia sudah membuat janji dengan temannya Gillian agar di saat-saat darurat dapat mengantarnya ke rumah sakit. Tatkala pagi itu taksi menjemputnya untuk ke bandara, Shoba berdiri melambai kepadanya, dalam gaun terusan, dengan sebelah tangan ia letakkan santai di atas perut membuncit seolah-olah gundukan tersebut memang bagian tubuh yang sudah ada sejak awal.
Setiap kali ia memikirkan adegan itu, momen kali terakhir ia menyaksikan Shoba hamil, justru taksi yang menjemputnya yang paling ia ingat, sebuah station wagon-sedan panjang, merah dengan huruf-huruf biru. Bagian dalamnya jauh lebih luas dibanding mobil mereka. Kendatipun Shukumar memiliki tubuh setinggi enam kaki, dengan telapak tangan yang terlalu besar bagi saku jinnya, ia tetap merasa seperti kurcaci duduk di kursi belakang. Seiring taksi melaju di Beacon Street, ia membayangkan suatu hari ketika ia dan Shoba mungkin perlu membeli sebuah station wagon, untuk mengantar-jemput buah hati mereka menuju tempat les musik atau pergi ke dokter gigi. Ia membayangkan dirinya memegang setir, kala Shoba memutar badannya ke belakang demi menyodorkan sekotak jus buat anak mereka. Dahulu, bayang-bayang kegiatan mengasuh anak semacam ini mengganggu Shukumar, menambah-nambahkan kecemasan akan statusnya yang masih pelajar dan baru berusia 25 tahun. Tetapi, pada permulaan pagi hari musim gugur itu, tatkala pohon-pohon berat oleh daun-daun yang mulai menua, untuk kali pertama ia menyambut gambaran masa depan itu.
Di tengah-tengah konferensi tersebut, seorang panitia akhirnya berhasil menemukan ia di antara ruang-ruang dalam gedung yang semuanya kelihatan sama, dan kemudian menyerahkan kepadanya secarik memo. Hanya ada angka-angka, tapi Shukumar tahu itu nomor telepon rumah sakit. Saat ia kembali ke Boston, segalanya telah berakhir. Bayi mereka sudah wafat ketika lahir. Shoba tergolek di atas ranjang, tertidur, di dalam ruangan yang begitu kecilnya sampai-sampai tidak ada tempat cukup untuk berdiri di dekat istrinya, di lokasi yang berada pada sisi sayap rumah sakit yang tidak pernah mereka lihat waktu dibawa berkeliling dalam rangka tur persiapan orangtua baru. Ari-ari istrinya melemah dan ia melahirkan secara sesar, kendatipun ternyata tidak cukup cepat ditangani. Dokter menjelaskan bahwa hal seperti ini bisa terjadi. Ia tersenyum seramah yang ia bisa, dengan cara yang paling mungkin ia lakukan kepada orang yang hanya ia kenal secara profesional. Kondisi kesehatan Shoba akan membaik setelah beberapa minggu. Tidak ada indikasi bahwa ia takkan bisa mengandung lagi.
Belakangan, Shoba selalu raib pas Shukumar terbangun. Ia akan membuka mata dan menemukan helai-helai rambut hitam panjang istrinya yang menempel di bantal dan membayangkan istrinya sudah berbusana kerja, menyesap cangkir kopi ketiga, di ruang kantornya di pusat kota, tempat ia melacak kesalahan pengetikan buku-buku teks kemudian menandainya-dengan simbol-simbol yang suatu kali pernah istrinya jelaskan kepadanya-menggunakan sejumlah pensil berwarna. Istrinya berjanji akan melakukan hal sama buat disertasinya kalau ia sudah selesai. Ia merasa iri kepada pekerjaan istrinya yang begitu spesifik, tidak seperti pekerjaannya yang kurang jelas. Ia pelajar biasa yang dapat menyerap hal-hal rinci meski tanpa antusiasme sedikit pun. Hingga bulan September ia menjadi pelajar yang rajin, jika tidak berdedikasi, merangkum bab-bab, merancang kerangka argumentasi di atas lembaran-lembaran kuning. Tetapi, sekarang ia tergolek di kamar tidur mereka sampai bosan, memandangi lemari pakaian yang selalu Shoba biarkan setengah terbuka, memandangi deretan jas dan celana panjang korduroy bergantung di sana, yang tidak perlu ia pilih-pilih kala mengenakannya untuk pergi mengajar. Sepeninggalnya bayi mereka, ia sudah tidak bisa mundur dari tugas mengajar. Tetapi, pembimbingnya telah menyusun jadwal agar ia bisa rehat sepanjang semester musim semi. Saat itu, Shukumar kuliah tahun keenam. “Nah, dengan ini dan musim panas nanti pasti kamu akan semangat lagi,” begitu yang dikatakan pembimbingnya. “Bulan September kamu sudah bisa selesai.”
Tetapi, tidak ada yang membuat Shukumar kembali bersemangat. Alih-alih, ia merenungi bagaimana ia dan istrinya telah begitu ahli saling menghindar di dalam rumah berkamar tiga mereka, menghabiskan waktu sebanyak mungkin berkegiatan di lantai berbeda. Ia memikirkan bagaimana ia tidak lagi menunggu-nunggu akhir pekan, tatkala istrinya duduk berjam-jam di atas sofa dengan pensil berwarna dan naskah kerjaannya, sedemikian rupa sehingga ia khawatir memutar lagu di rumah sendiri merupakan perbuatan terlarang. Ia memikirkan tentang sudah begitu lama sejak kali terakhir istrinya menatap matanya dan tersenyum, atau membisikkan namanya di waktu-waktu yang kini telah langka, ketika mereka masih meraih tubuh satu sama lain sebelum akhirnya tertidur.
Pada mulanya ia percaya bahwa persoalan ini akan berlalu, bahwa ia dan Shoba bagaimanapun akan bisa melewatinya. Istrinya baru berusia 33 tahun. Ia orang yang tegar, dapat kembali berdiri di atas kakinya sendiri. Tetapi, pikiran ini pun tidak menghiburnya. Seringkali sudah hampir jam makan siang ketika Shukumar akhirnya beranjak dari tempat tidur dan turun demi secangkir kopi, menuang sisa dari teko yang Shoba tinggalkan untuknya-bersama sebuah mug kosong-di atas meja.
“Dombanya belum matang sampai nanti jam delapan,” ujar Shukumar. “Kita mungkin bakal makan sambil gelap-gelapan.”
“Kita bisa pakai lilin,” Shoba menganjurkan. Ia menggerai rambutnya yang seharian dicepol, kemudian mencopot sepatu kets tanpa melepaskan talinya. “Aku mandi dulu, sebelum mati lampu,” katanya, melangkah ke tangga. “Sebentar aja.”
Shukumar memindahkan tas dan sepatu istrinya ke dekat kulkas. Istrinya tidak pernah seperti ini. Ia biasa menggantung mantelnya, meletakkan sepatunya di rak, dan melunasi tagihan sesaat setelah mereka datang. Tetapi, kini istrinya memperlakukan rumah mereka selayaknya hotel. Fakta bahwa ada sofa kuning tabrakan warna dengan karpet Turki biru-marun di ruang tamu rumah mereka tidak lagi mengusiknya. Di teras belakang, sebuah tas putih masih tergeletak di atas kursi rotan panjang, berisi renda yang tadinya ingin ia jahit menjadi gorden.
Sementara Shoba mandi, Shukumar masuk ke kamar mandi di lantai bawah dan menemukan di bawah wastafel sebuah sikat gigi baru. Bulu sikat gigi murah yang kaku itu membuat gusinya berdarah, dan ia meludah ke wastafel. Di dalam keranjang besi di kamar mandi mereka ada banyak sikat gigi cadangan. Shoba membelinya ketika ada obral dalam sebuah acara yang dikunjungi orang-orang secara impulsif.
Istrinya memang begitu. Ia kerap mengantisipasi hal-hal tak terduga, baik maupun buruk. Jikalau ia menemukan rok atau dompet yang ia suka, ia akan membeli masing-masing dua. Istrinya menyimpan bonus gaji di rekening lain atas namanya. Itu tidak mengganggu Shukumar. Ibunya sendiri terpuruk tatkala ayahnya wafat, lantas pergi begitu saja meninggalkan rumah tempat ia tumbuh besar demi kembali pulang ke Calcutta, menyerahkan semua persoalan kepada Shukumar. Ia senang Shoba tidak begitu. Ia takjub melihat kemampuan istrinya berpikir jauh. Tatkala istrinya masih sering berbelanja, dapur mereka senantiasa sedia berbotol-botol minyak zaitun dan minyak jagung-bergantung apakah mereka akan membuat masakan Italia atau India. Ada berkotak-kotak pasta beragam bentuk dan warna, berkarung-karung beras basmati, potongan utuh domba dan kambing beku dari tukang daging muslim di Haymarket, terbungkus dalam jumlah yang mustahil dihitung. Di hari-hari Sabtu lain, mereka menyusuri deretan rak yang kelak Shukumar kenal betul. Ia menyaksikan tak percaya ketika istrinya membeli lebih banyak makanan, sembari ia mengekor sambil mendekap tas-tas karton, seiring istrinya menyeruak melewati kerumunan orang, dan meski masih sangat pagi sudah berdebat dengan para pedagang yang masih terlalu muda tapi sudah ompong, yang mengambil dari dalam tas karton coklat sejumlah sayur artikok, buah plum, kunyit, ketela, dan menimbang mereka, dan menyerahkannya ke Shoba. Istrinya tidak keberatan berdesak-desakan, bahkan saat dia sudah hamil. Istrinya tinggi, berbahu lebar, dan memiliki pinggul dengan bentuk yang dokter kandungannya bilang memang ditakdirkan untuk beranak. Dalam perjalanan pulang, seiring mobil mereka menikung di Charles, mereka akan terkagum-kagum mengetahui banyaknya makanan yang mereka beli.
Semua itu tidak pernah terbuang mubazir. Tatkala teman-teman mampir ke rumah mereka, Shoba akan membuat masakan yang kelihatannya butuh setengah hari mempersiapkannya, menggunakan bahan-bahan yang ia simpan dalam botol dan dibekukan, bukan bahan-bahan masak kalengan murah melainkan paprika yang sudah ia baluri dengan rosmarin, dan saus chatni yang ia masak di hari minggu dengan mengaduk buah prone dan tomat dalam air mendidih. Sejumlah toples beling miliknya yang masing-masing sudah dinamai berjejer rapi di rak-rak di dapur dan tersegel, cukup, mereka bersepakat, untuk kebutuhan anak hingga cucu mereka. Kini, semuanya telah mereka habiskan. Berangsur-angsur, Shukumar telah menggunakan seluruh pasokan, menyiapkan makanan untuk mereka berdua, mengukur centong nasi, memanaskan daging beku hari demi hari. Setiap sore ia menekuri buku resep istrinya, mengikuti instruksi yang sudah istrinya tandai dengan pensil, agar menggunakan dua sendok teh sahang alih-alih satu, atau memakai kacang polong merah alih-alih yang kuning. Setiap resep tersebut sudah diberi tanggal, menunjukkan kapan kali pertama mereka menyantapnya. Tanggal 2 April, sayur kembang kol dengan adas. Tanggal 14 Januari, ayam dengan kacang almond dan anggur hijau. Sesungguhnya ia tidak ingat pernah memakan semua masakan itu, tetapi buktinya semua tercatat rapi oleh tangan istrinya-seorang penata aksara. Kini, Shukumar menikmati memasak. Membuatnya merasa produktif. Kalau bukan karena dirinya, ia yakin, Shoba bakal menyantap semangkuk sereal untuk makan malamnya.
Malam ini, dalam gelap, mereka akan makan bersama. Sebelumnya, berbulan-bulan mereka memasak sendiri-sendiri, dan ia akan membawa piringnya ke ruang kerjanya, membiarkan makanannya menjadi dingin sebelum menyantapnya tanpa jeda, sementara Shoba membawa piringnya ke ruang tengah dan menonton televisi, atau mengerjakan naskah dengan satu set pensil warna di tangan.
Pada waktu-waktu tertentu di malam hari, istrinya akan menghampiri. Tatkala ia mendengar langkah-langkah kaki sang istri, ia akan menyingkirkan novel yang sedang ia baca dan mulai mengetik di komputer. Istrinya akan memegangi bahunya dan bersama dirinya menatap layar biru monitor. “Jangan diforsir kerjanya,” istrinya akan berkata demikian usai hening satu-dua menit, dan setelahnya beranjak tidur. Itu satu-satunya momen dalam seharian istrinya mencari dirinya, tetapi ia malah merasa ganjil. Ia tahu istrinya memaksakan diri. Suatu kali, istrinya akan menghabiskan waktu melihat-lihat dinding kamar yang pada musim panas lalu telah mereka hias dengan bingkai bebek-bebek berbaris dan kelinci-kelinci bermain terompet dan drum. Pada akhir Agustus sudah ada boks bayi berwarna ceri terletak di bawah jendela, sebuah meja untuk mengganti pakaian bayi berwarna putih dengan kenop hijau permen, dan kursi goyang dengan bantal motif kotak-kotak. Shukumar telah membongkar semuanya sebelum menjemput Shoba di rumah sakit, ia mencopot bebek-bebek dan kelinci-kelinci di dinding menggunakan spatula. Untuk beberapa alasan, kamar itu tidak menghantuinya sebagaimana terjadi pada Shoba. Pada Januari, tatkala ia sudah tidak lagi bekerja di kubikelnya di perpustakaan, dengan hati-hati ia memasang meja kerjanya sendiri di dalam kamar itu, sebagian karena kamar itu membuatnya merasa tenang, dan sebagian lagi karena kamar itu tempat yang paling Shoba hindari.
Setelah September, satu-satunya tamu mereka hanya ibunya Shoba. Ia datang dari Arizona dan menginap di rumah mereka selama dua bulan sejak Shoba pulang dari rumah sakit. Setiap malam ia memasak, menyetir sendiri ke supermarket, mencuci pakaian mereka, dan merapikannya. Ia perempuan yang religius. Ia membuat tempat bersembahyang yang sederhana-sebuah pigura foto dewi berwajah ungu, piring berisi kelopak-kelopak bunga marigold-di atas meja nakas kamar tamu, dan berdoa dua kali sehari demi kesehatan bakal cucunya. Ia bersikap sopan terhadap Shukumar, kendatipun tidak begitu ramah. Ia melipat pakaian menantunya dengan keahlian seorang penjaga toko swalayan. Ia menjahit kancing baru untuk mantelnya dan membuatkannya skarf krem kecoklatan, yang setelah selesai ia berikan kepada menantunya tanpa ekspresi apapun, seakan-akan pemilik skarf itu baru saja menjatuhkan benda tersebut dan tidak menyadarinya. Ia tidak pernah berbincang dengan menantunya mengenai Shoba; sekali waktu, tatkala menantunya menyinggung soal wafatnya bayi mereka, ia mendongak sejenak dari kegiatan menyulamnya, lantas berkata, “Tapi kamu bahkan tidak ada di sana.”
Aneh sekali tidak ada satu pun lilin betulan di rumah ini, pikirnya. Aneh rasanya mengetahui Shoba tidak mempersiapkan apapun untuk situasi darurat yang lazim semacam ini. Sekarang ia mencari-cari sesuatu yang bisa dijadikan alas lilin ulang tahun itu, dan memutuskan memakai pot tanaman ivy yang biasanya diletakkan di jendela dekat wastafel dapur. Kendatipun tumbuhan dalam pot itu sudah setinggi beberapa inci, tanahnya begitu kering sehingga ia harus membasahinya terlebih dahulu demi menancapkan batang lilin-lilin ulang tahun di atasnya agar dapat berdiri tegak. Ia menyingkirkan semua benda di atas meja makan di dapur: tumpukan surat dan buku-buku dari perpustakaan yang belum dibaca. Ia teringat momen perdana mereka makan bersama di meja itu, tatkala mereka begitu antusias membayangkan akan menikah dan pada akhirnya dapat tinggal bersama di bawah satu atap-lebih tidak sabaran ingin bercinta daripada mengisi perut. Ia menyusun dua alas piring tenunan, kado pernikahan dari seorang paman di Lucknow, dan meletakkan piring serta gelas anggur yang biasanya mereka siapkan untuk tamu. Ia meletakkan pot tanaman ivy di tengah-tengah, berhiaskan sepuluh batang lilin ulang tahun. Ia menyetel radio pada frekuensi yang menyiarkan musik jazz.
“Apa ini?” ujar Shoba tatkala ia turun. Kepalanya terbungkus handuk tebal putih. Ia melepas handuk itu dan menggantungnya di atas kursi, membiarkan rambutnya yang hitam dan masih basah terkulai di punggungnya. Terbengong-bengong, ia melangkah ke arah kompor seraya meraih rambutnya yang kusut. Ia mengenakan celana panjang katun, kaus, dan mantel usang berbahan flanel. Perutnya kini rata, pinggangnya ramping menyambung dengan pinggulnya yang montok, dan sabuk mantelnya terikat dalam simpul pita.
Hampir pukul delapan malam. Shukumar meletakkan wadah berisi nasi di atas meja dan memasukkan kacang polong sisa kemarin ke microwave, kemudian memencet-mencet angka pada penunjuk waktu.
“Kamu masak rogan josh,” Shoba mengamati wadah kaca berisi rebusan paprika.
Shukumar mengambil sepotong daging domba matang, menyuwirnya cepat-cepat agar jarinya tidak melepuh. Ia mendorong bagian daging yang lebih besar menggunakan sendok demi melepaskan seluruhnya dari tulang. “Sudah siap,” ia berujar.
Microwave berbunyi tepat sesaat sebelum listrik padam, dan suara musik pun lenyap.
“Pas banget,” kata Shoba.
“Aku cuma nemu lilin ulang tahun ini.” Ia menyalakan pot ivy itu, lantas menyimpan sisa lilin serta korek di dekat piringnya sendiri.
“Nggak apa-apa,” kata istrinya, menyusuri pegangan gelas anggur dengan jemarinya. “Terasa romantis.”
Dalam suasana remang, ia tahu bagaimana istrinya duduk: agak condong ke depan, menyilangkan kaki, dan menyandarkan sikut sebelah kiri di atas meja. Tadi waktu ia mencari lilin, Shukumar menemukan sebotol anggur dalam kotak kayu yang ia kira kosong. Ia menjepit botol anggur di antara pahanya sembari menancapkan lalu memutar sumbat botol. Ia khawatir anggurnya tumpah, sebab itu selagi menuangnya ia memegang gelas begitu dekat ke pangkuan. Mereka berdua mengambil makanan sendiri-sendiri, mengaduk nasi memakai garpu masing-masing, memicing waktu menyingkirkan daun salam dari rebusan. Setiap beberapa menit Shukumar menyalakan lilin baru dan menancapkannya di atas pot tanaman.
“Rasanya kayak di India,” ujar Shoba, menyimak sang suami yang sedang berkutat dengan candelabra buatannya. “Kadang-kadang listrik padam sampai berjam-jam. Aku pernah datang ke annaprashana gelap-gelapan. Si bayi nangis nggak berhenti. Dia pasti kepanasan.”
Bayi mereka tidak pernah menangis, renung Shukumar. Bayi mereka tidak akan pernah dapat annaprashana--perayaan bagi bayi kala memakan nasi pertamanya--kendatipun Shoba telah membuat daftar tamu, dan sudah memutuskan siapa dari tiga abangnya yang akan ia minta untuk menyuapi bayi mereka; kelak setelah ia berusia enam bulan jika laki-laki, tujuh bulan jika perempuan.
“Kamu kepanasan?” ia bertanya kepada istrinya. Ia menggeser pot dengan lilin-lilin menyala menjauh ke sisi meja yang lain, ke arah tumpukan buku dan surat, membuat semakin sulit bagi mereka untuk saling melihat. Tiba-tiba ia merasa kesal tidak bisa naik ke ruangannya dan duduk di depan komputer saja.
“Nggak, kok. Ini enak,” kata istrinya, mengetuk piring dengan garpu. “Beneran enak.”
Ia menuang anggur untuk istrinya, yang membalas dengan ucapan terima kasih.
Dulu, mereka tidak pernah seperti ini. Sekarang ia harus berusaha keras menemukan topik yang menarik bagi istrinya untuk dibahas, topik yang dapat membuat istrinya mendongak dari piring atau naskah kerjaannya. Tetapi pada akhirnya ia berhenti mencoba. Ia belajar menerima kesunyian di antara mereka.
“Aku ingat dulu di rumah nenek, kalau sedang mati lampu kami harus mengatakan sesuatu,” lanjut Shoba. Ia hanya samar-samar menangkap wajah istrinya, tetapi dari nada bicaranya ia tahu istrinya sedang memicing, seolah-olah pandangannya berfokus pada satu benda yang jauh. Itu kebiasaan istrinya.
“Misalnya?”
“Terserah aja. Puisi, guyonan, atau informasi apa lah. Kalau kerabatku sering minta aku ngucapin nama teman-teman di Amerika. Aku nggak tahu kenapa hal itu menarik. Terakhir ketemu bibi, ia bertanya tentang empat gadis yang jadi teman sekolahku di Tucson. Aku bahkan sudah nggak ingat lagi.”
Shukumar tidak pernah tinggal lama di India sebagaimana Shoba. Orangtuanya, yang bermukim di New Hampshire, sering ke sana tanpa dirinya. Kali pertama ia berkunjung waktu masih bayi, ia hampir meninggal terkena disentri. Ayahnya orang yang mudah panik, takut membawanya kembali ke sana kalau terjadi sesuatu lagi, lantas menitipkannya dengan bibi dan pamannya di Concord. Tatkala beranjak remaja, setiap musim panas ia lebih memilih ikut pagelaran kemah mendayung atau mengudap es krim, ketimbang liburan ke Calcutta. Sepeninggal ayahnya bersamaan ia memasuki tahun-tahun akhir kuliah, barulah negara itu menarik perhatiannya, dan ia mempelajari sejarahnya dari buku-buku panduan selayaknya materi perkuliahan. Kini ia berharap bisa punya kisah masa kecil sendiri di India.
“Yuk,” ujar istrinya tiba-tiba.
“Yuk apa?”
“Ucapkan sesuatu.”
“Ucapkan apa? Aku nggak bisa melawak.”
“Nggak, bukan lawakan.” Istrinya berpikir sejenak. “Gimana kalau kita saling mengucapkan hal yang nggak pernah kita kasih tahu sebelumnya.”
“Dulu waktu SMA aku sering main beginian,” Shukumar mengingat-ingat. “Waktu kami lagi mabuk.”
“Maksudmu truth or dare. Nggak, ini beda. Oke, aku yang mulai.” Istrinya menyesap anggur. “Waktu pertama kali ke apartemenmu, aku mengintip buku alamatmu buat ngeliat ada namaku nggak di situ. Kalau nggak salah kita sudah kenal sekitar dua minggu.”
“Aku lagi di mana, ya?”
“Kamu lagi ngobrol di telepon sama ibumu, di ruangan lain. Aku pikir pasti kalian ngobrolnya lama. Aku penasaran apa kamu ngebahas aku.”
“Aku ngebahas kamu nggak?”
“Nggak. Tapi aku nggak menyerah. Nah, sekarang giliran kamu.”
Ia tidak bisa memikirkan apapun, tetapi Shoba menunggu ia mengatakan sesuatu. Bulan-bulan terakhir istrinya tidak pernah terlihat seniat ini. Apa lagi yang belum ia utarakan kepada istrinya? Ia mengingat-ingat saat mereka kali pertama bertemu, empat tahun lampau di dalam ruang kelas di Cambridge, tatkala sekelompok penyair Bengali tengah membacakan sajak-sajak. Mereka duduk bersisian di bangku kayu. Shukumar segera bosan; ia tidak paham kata-kata dalam sajak-sajak itu, dan tidak bisa ikut seperti hadirin yang lain ketika mereka mengangguk khidmat atau menarik napas panjang pada kalimat-kalimat tertentu. Alih-alih, ia mengintip koran di pangkuannya, dan mencari tahu ketinggian derajat suhu di kota-kota sepenjuru dunia. Kemarin tiga puluh dua derajat selsius di Singapura, sepuluh derajat di Stockholm. Tatkala ia menoleh ke kiri, ia melihat perempuan di sebelahnya sedang menulis daftar belanja di bagian belakang selembar map, lantas ia terkesima menyadari betapa menawannya perempuan itu.
“Oke,” katanya, sembari mengingat. “Waktu pertama kali kita pergi dinner, di restoran Portugis, aku lupa kasih tip buat waiter. Besoknya pagi-pagi aku balik ke sana, nyari tahu namanya, terus nitip uang ke manajer tempat itu.”
“Kamu jauh-jauh balik ke Somerville cuma buat ngasih tip?”
“Pakai taksi, kok.”
“Kenapa kamu lupa kasih tip?”
Lilin ulang tahun di meja padam, tetapi ia merekam wajah istrinya begitu jelas dalam kegelapan: sepasang bola mata besar yang mengerling, bibir tebal berona anggur, dan bekas luka jatuh dari kursi tinggi waktu kecil masih tampak berbentuk seperti tanda koma di dagunya. Hari demi hari, Shukumar menyadari, kecantikan istrinya yang dahulu membuatnya terkesima telah perlahan pudar. Kini istrinya butuh berdandan lebih tebal, bukan demi mempercantik dirinya melainkan, dengan suatu cara, justru menunjukkan karakter aslinya.
“Malam itu, pas kita udah mau selesai makan, perasaanku campur aduk dan kepikiran ingin menikahi kamu,” katanya, untuk kali pertama mengakui hal tersebut, terhadap dirinya sendiri juga istrinya. “Mungkin itu bikin aku nggak fokus.”
Tatkala mereka selesai, Shukumar terkejut demi menyaksikan istrinya menumpuk piring bekas makan mereka dan membawanya ke wastafel. Ia mengira setelah itu istrinya akan langsung beranjak ke ruang tamu mengoreksi naskah.
“Biarin saja piring kotornya,” ia berkata, seraya mengambil piring-piring itu dari tangan istrinya.
“Nggak, lah,” balas istrinya, lantas menuang setetes sabun cuci cair ke spons. “Sudah hampir jam delapan.”
Debaran di dadanya jadi lebih kencang. Sepanjang hari Shukumar telah menanti listrik padam. Ia memikirkan yang Shoba katakan semalam, tentang mengintip ke buku alamatnya. Rasanya menyenangkan mengingat-ingat sosok istrinya pada masa-masa itu, betapa pemberani sekaligus kikuk dirinya, dan betapa penuh harap. Mereka berdiri bersisian di hadapan wastafel, bayangan mereka memantul pada kaca jendela. Ia merasa malu, sebagaimana kali pertama ia berdiri bersisian dengan istrinya di depan kaca. Ia lupa kapan kali terakhir mereka berfoto. Mereka sudah tidak pernah lagi menghadiri pesta, tidak pernah lagi pergi ke manapun berdua. Foto-foto dalam kamera miliknya masih terdapat gambar-gambar Shoba, berada di halaman depan rumah, masih mengandung.
Selesai mencuci piring, mereka bersandar di meja wastafel, mengeringkan tangan dengan handuk kecil-ujung ini di tangan Shukumar, ujung satunya di tangan Shoba. Tepat pukul delapan, listrik pun padam. Shukumar menyalakan sumbu lilin, terpukau dengan apinya yang panjang nan tenang.
“Duduk di luar, yuk,” ujar Shoba. “Jam segini kayaknya masih hangat.”
Mereka masing-masing memegang sebatang lilin dan pergi duduk di atas anak tangga di beranda. Rasanya aneh duduk di luar rumah di waktu salju masih berjatuhan. Tetapi malam ini semua orang keluar rumah, udara yang segar membuat orang-orang terjaga. Pintu-pintu rumah membuka dan menutup. Kelompok kecil warga melintas dengan senter di tangan.
“Kami mau ke toko buku,” seru seorang pria berambut perak. Ia berjalan bersama istrinya, seorang perempuan kurus berjaket parasut yang membawa seekor anjing dengan tali kekang. Mereka keluarga Bradford, suatu kali pernah memasukkan ke kotak surat di rumah Shoba dan Shukumar sebuah kartu ucapan belasungkawa. “Katanya mereka punya genset.”
“Harusnya,” balas Shukumar. “Kalau nggak, kalian bakal cari buku gelap-gelapan.”
Istri tetangganya itu tertawa, lantas menggamit lengan suaminya. “Kalian ikut?”
“Nggak, makasih,” Shoba dan Shukumar menjawab serempak. Shukumar kaget dengan hal tersebut.
Ia menebak-nebak apa yang akan Shoba sampaikan kepadanya. Ia sudah memikirkan kemungkinan terburuk. Bahwa istrinya berselingkuh. Bahwa istrinya tidak suka ia sudah 35 tahun tetapi masih berstatus pelajar. Bahwa istrinya menyalahkannya karena ia dan ibunya berada jauh di Baltimore waktu istrinya melahirkan. Namun, ia tahu semua itu tidak benar. Istrinya setia, sebagaimana dirinya. Istrinya percaya kepadanya. Istrinya lah yang memaksanya pergi ke Baltimore. Apa lagi yang belum mereka tahu mengenai satu sama lain? Ia tahu istrinya mengepalkan tangan jikalau tidur, dan sedikit lasak jikalau bermimpi buruk. Ia tahu istrinya lebih suka semangka ketimbang melon. Ia tahu tatkala mereka pulang dari rumah sakit, hal pertama yang istrinya lakukan ketika masuk rumah adalah mengambili benda-benda dan melemparkannya ke lorong menjadi tumpukan: buku-buku dari rak, pot-pot tanaman dari jendela dapur, lukisan-lukisan dari dinding, foto-foto dari pigura, serta panci dan wajan dari gantungan dekat kompor. Shukumar tidak mencegahnya. Tatkala ia telah puas, istrinya berdiri memandangi tumpukan benda-benda itu, lantas bibirnya mengerucut seperti mau meludah. Kemudian, ia menangis.
Ia mulai menggigil duduk di anak tangga beranda. Ia merasa harus bicara lebih dulu, menganggap ini gilirannya.
“Waktu ibumu ke rumah,” akhirnya istrinya yang bicara. “Pas aku bilang terpaksa kerja lembur, sebenarnya aku pergi bareng Gillian dan minum martini.”
Ia mengamati paras istrinya, batang hidung ramping dan rahangnya kaku seperti pria. Ia ingat betul malam itu: ia makan dengan ibunya, lelah usai mengajar dua kelas berturut-turut, berharap Shoba ada bersama mereka agar istrinya bisa mengatakan sesuatu yang baik, karena dirinya senantiasa salah bicara. Sudah dua belas tahun sejak ayahnya wafat, dan ibunya berkunjung ke rumah mereka demi menemaninya berkabung. Setiap malam ibunya memasak makanan kesukaan ayahnya, lantas merasa begitu sedih dan kecewa mengetahui hanya ia sendiri yang menyantap makanan itu, dan airmatanya berlinang seiring Shoba mengusap-usap punggung tangannya. “Aku jadi ikut sedih,” kala itu Shoba berkata kepadanya. Kini, ia membayangkan Shoba bersama Gillian duduk di atas sofa beludru di bar-tempat yang biasa ia dan Shoba datangi usai menonton di bioskop-dan istrinya memastikan ekstra buah olive pesanannya ada di gelasnya, lantas mengambil sebatang rokok dari Gillian. Ia membayangkan istrinya curhat, dan Gillian bersimpati kepadanya atas kedatangan mertuanya. Gillian yang mengantar Shoba ke rumah sakit.
“Giliranmu,” sang istri membuyarkan lamunannya.
Di ujung jalan, Shukumar mendengar suara bor dan teriakan si teknisi. Ia memandangi fasad rumah-rumah berjejer di seberang jalan. Terlihat nyala lilin di jendela salah satunya. Terlepas cuaca yang sebenarnya sudah agak hangat, tampak asap membubung dari cerobong rumah itu.
“Aku nyontek pas ujian mata kuliah Peradaban Asia,” ujarnya. “Waktu semester akhir, ujian terakhirku. Ayah meninggal beberapa bulan sebelumnya. Aku bisa lihat kertas ujian orang di sebelah. Cowok Amerika, maniak. Dia tahu bahasa Urdu dan Sanskrit. Aku nggak ingat contoh puisi di soal itu ghazal atau bukan. Aku nyontek jawaban dia.”
Ia melakukan hal tersebut lebih dari lima belas tahun silam. Kini ia merasa lega telah mengungkap hal itu kepada istrinya.
Istrinya menoleh, tidak kepadanya melainkan sepatunya-mokasin lawas yang ia injak saja seperti memakai sandal, bagian tumitnya tergencet rata dengan alas sepatu. Ia menduga apakah istrinya tidak senang atas ceritanya barusan? Istrinya meraih tangannya dan menggenggamnya. “Kamu nggak perlu kasih tahu alasan kamu nyontek,” ujarnya, seraya bergeser mendekat.
Mereka duduk berdua hingga pukul sembilan, dan listrik pun kembali menyala. Mereka mendengar orang-orang bertepuk tangan dari beranda rumah masing-masing, dan televisi di rumah-rumah dihidupkan lagi. Keluarga Bradford berjalan melintas dan sembari menjilati es krim, mereka melambai. Shoba dan Shukumar membalas lambaian mereka. Kemudian, mereka berdua bangkit-masih bergenggaman tangan-dan masuk ke rumah.
Mengenai foto wanita di majalah, ia tidak paham kenapa ia menyobeknya. Bukannya wanita itu lebih cantik dari Shoba. Wanita itu mengenakan gaun payet, mukanya cemberut dan kakinya kurus seperti kaki pria. Kedua lengan wanita itu terangkat, tangannya mengepal di dekat wajah, dan berpose seperti hendak meninju dirinya sendiri. Gambar tersebut iklan produk stoking. Tatkala itu Shoba sedang mengandung, perutnya ujug-ujug membuncit, begitu buncit sampai Shukumar enggan menyentuhnya. Pertama ia melihat foto wanita itu ia sedang tiduran di samping istrinya, yang tengah membaca buku. Begitu ia melihat majalah tersebut di tempat sampah, ia menemukan foto wanita itu dan menyobeknya dengan sangat berhati-hati. Setiap hari selama seminggu, ia mengintip foto itu. Libidonya naik, tetapi setelahnya ia merasa jijik dengan dirinya sendiri. Itu satu-satunya aksi berselingkuh yang pernah ia lakukan.
Pada malam ketiga pemadaman listrik ia mengutarakan kepada istrinya tentang rompi rajut, dan pada malam keempat tentang foto wanita itu. Istrinya diam saja waktu ia bicara, tidak protes ataupun mencela. Istrinya mendengar saja, lalu meraih tangannya dan menggenggamnya seperti kemarin-kemarin. Pada malam ketiga pemadaman, istrinya bilang bahwa dulu suatu kali tatkala mereka pulang kuliah, saat ia mengobrol dengan seorang dosen, istrinya tidak memberitahu kalau ada remah-remah roti di dagunya. Kala itu istrinya sedang kesal kepadanya karena suatu hal, lantas membiarkan dirinya terus mengobrol dengan dosen mengenai beasiswa perkuliahan semester depan, tanpa memberi isyarat kepadanya bahwa dagunya kotor. Pada malam keempat pemadaman, ia mengaku bahwa sebenarnya ia tidak suka puisi yang pernah ia tulis, satu-satunya puisi yang ia tulis dan dimuat di suatu majalah sastra di Utah. Ia menulis puisi itu usai pertemuannya dengan Shoba. Istrinya bilang, puisinya kelewat sentimentil.
Hal baru telah terjadi semenjak pemadaman: mereka kembali mengobrol. Pada malam yang ketiga, seusai makan, mereka duduk di sofa, dan begitu listrik padam ia mengecup pipi dan kening istrinya dengan agak kikuk, dan kendatipun sudah gelap, ia tetap memejam, dan tahu istrinya melakukan hal yang sama. Pada malam keempat, mereka melangkah canggung menaiki tangga menuju kamar tidur, sama-sama diam sejenak ketika menjejak di lantai atas, kemudian bercinta dengan keputusasaan yang telah terlupa. Istrinya menangis tanpa suara, membisikkan namanya, dan dalam kegelapan menyusuri alisnya menggunakan jemari. Dalam percintaan mereka, ia memikirkan apa lagi yang harus ia ceritakan besok malam, apa lagi yang istrinya ceritakan-dan semua ini membuatnya bergairah. “Peluk aku,” ia berkata, “dekap aku.” Begitu listrik kembali menyala, mereka telah tertidur pulas.
Istrinya pulang pukul setengah delapan malam. “Kayaknya permainan kita sampai di sini ya,” ujar Shukumar tatkala melihat istrinya membaca surat pemberitahuan.
Istrinya menoleh. “Kamu masih bisa nyalain lilin kalau mau.” Malam ini istrinya tidak berangkat ke gym. Ia mengenakan kemeja di balik mantelnya. Ia sudah memulas riasannya lagi.
Tatkala istrinya ke lantai atas untuk bersalin, Shukumar menuang anggur buat dirinya sendiri dan memutar lagu: album Thelonius Monk, favorit istrinya.
Setelah istrinya kembali, mereka bersantap bersama. Istrinya tidak bilang terima kasih atau memujinya. Mereka makan saja dalam cahaya remang-remang, diterangi pendar lilin aromaterapi. Mereka telah melewati masa-masa krisis. Mereka melahap habis udang di meja. Mereka meneguk tandas botol anggur pertama dan langsung membuka yang kedua. Mereka duduk di situ sampai lilin hampir habis. Istrinya menggeser posisi, dan sesaat Shukumar mengira ia akan mengatakan sesuatu. Alih-alih, istrinya meniup lilin hingga padam, beranjak dari kursinya, menyalakan lampu, kemudian duduk lagi.
“Nggak dibiarin gelap aja?” tanya Shukumar.
Istrinya menyingkirkan piring di hadapan dan memasang gestur serius. “Aku mau kamu lihat aku saat aku mengatakan ini…,” ujarnya tenang.
Jantungnya berdentam keras. Hari ketika istrinya memberitahu bahwa dirinya mengandung, ia bicara persis seperti ini, persis dengan ketenangan yang sama, seusai mematikan televisi saat ia sedang menonton pertandingan basket. Kala itu ia tidak siap. Sekarang sudah.
Hanya saja ia enggan mendengar jikalau istrinya mengandung lagi. Ia tidak mau berpura-pura senang.
“Aku sempat cari-cari apartemen, dan sudah dapat,” ujar istrinya seraya memicing, pandangannya terarah ke bahu kirinya. Bukan salah siapa-siapa, istrinya melanjutkan. Mereka sudah sama-sama lelah. Ia butuh menyendiri. Ia punya tabungan. Apartemen baru itu terletak di Beacon Hill, jadi ia bisa jalan kaki ke kantor. Ia sudah meneken kontrak sewanya tadi sebelum pulang.
Istrinya enggan menatap matanya, tapi Shukumar memandanginya lekat-lekat. Jelas sekali istrinya sudah melatih ucapannya. Selama ini ia menghabiskan waktunya mencari apartemen, mengecek tekanan air, bertanya ke agen properti apakah ada fasilitas air panas di sana. Semua ini membuat Shukumar pening-mengetahui istrinya melewati malam-malam belakangan mempersiapkan hidup baru tanpa dirinya. Ternyata inilah inti permainannya.
Kini, giliran ia bicara. Ada satu hal yang ia sudah bersumpah tidak akan memberitahu istrinya, dan selama setengah tahun terakhir ia berusaha tidak memikirkannya. Sebelum USG, istrinya meminta dokter merahasiakan jenis kelamin bayi mereka, dan Shukumar setuju. Istrinya ingin kejutan.
Kelak, tatkala mereka sempat beberapa kali membahasnya, istrinya bilang setidaknya mereka telah berbagi rahasia. Istrinya seperti bangga dengan keputusannya itu, sebab dengan demikian ia dapat mencari perlindungan di dalam ketidaktahuan. Shukumar tahu, istrinya mengira hal tersebut juga menjadi misteri baginya. Setahu istrinya ia terlambat kembali dari Baltimore-tatkala segalanya telah berakhir dan istrinya tergolek lemah di ranjang rumah sakit. Padahal tidak. Ia tiba cukup awal demi melihat bayi mereka, dan pula sempat mendekapnya sebelum upacara kremasi dilakukan. Awalnya ia tersentak dengan saran mendekap jenazah bayinya, tetapi dokter berkata mungkin hal itu dapat membantunya melalui proses berduka. Shoba sudah terlelap. Sang bayi sudah dimandikan, matanya terpejam untuk selamanya.
“Anak kita laki-laki,” ia berkata. “Kulitnya lebih kemerahan ketimbang coklat. Rambutnya hitam. Beratnya dua kilo. Tangannya mengepal terus, persis seperti kamu kalau lagi tidur.”
Kini Shoba menoleh, tampak begitu nestapa. Suaminya menyontek saat ujian kuliah dan menyobek foto wanita dari majalah. Suaminya menghilangkan sweter pemberiannya dan pergi mabuk-mabukan. Ini semua yang suaminya katakan kepadanya. Suaminya mendekap bayi mereka, yang hanya mengetahui kehidupan di dalam rahim dirinya, di dalam ruangan remang di kamar terkucil di rumah sakit. Suaminya mendekap bayi mereka hingga perawat mengetuk pintu dan memboyong bayi itu pergi, dan ia berjanji tidak akan memberitahu Shoba, sebab ia masih mencintainya, dan rahasia itu satu-satunya kejutan yang ingin ia peroleh dalam hidupnya.
SHUKUMAR bangkit dan membereskan piring makan. Ia membawa piring-piring itu ke wastafel, tetapi alih-alih mencucinya ia justru memandang ke luar jendela. Di luar, malam masih hangat, dan keluarga Bradford terlihat berjalan bergandeng tangan. Saat ia masih memperhatikan mereka, mendadak lampu padam, lantas ia berbalik. Shoba yang mematikannya, kemudian kembali ke meja makan dan duduk lagi, dan beberapa saat kemudian Shukumar juga. Bersama mereka menangis, demi hal-hal yang kini telah mereka ketahui. ***
Metafora Padma
Desain cover oleh Eka Kurniawan. Buku kesembilan saya, kumpulan cerita Metafora Padma, terbit 15 Agustus 2016.