Quantcast
Channel: Bernard Batubara
Viewing all 402 articles
Browse latest View live

Tiga Novel Michael Ondaatje

$
0
0


The English Patient(1992). Sudah lama saya mendengar tentang buku ini, tapi baru membacanya setelah dinobatkan sebagai peraih Golden Man Booker Prize, penghargaan yang diberikan Man Booker pada ulangtahunnya ke-50. Oleh tim juri, The English Patient dianggap novel terbaik dalam setengah abad terakhir. Luar biasa, bukan. Setelah membacanya, saya tak dapat membantah keputusan itu, meskipun untuk menilai secara objektif saya perlu membaca buku finalis lain (well saya sudah berhenti mencoba). Tapi cukup bagi saya bahwa Man Booker memilih novel yang tidak mengecewakan.

The English Patient adalah novel pasca perang dunia kedua,ditulis tahun 1992 oleh Michael Ondaatje, penulis Kanada lahir di Sri Lanka. Namanya populer mungkin setelah The English Patient digarap ke film tahun 1996 oleh Anthony Minghella, sutradara Inggris, dan diganjar9 piala Oscar, termasuk untuk kategori film terbaik dan sutradara terbaik. Juliette Binoche, mendapat best actress in supporting role, memerankan Hana, perawat perang Kanada, karakter pertama yang muncul di adegan pembuka novelnya. Hana menarik tiga tokoh sentral lain: seorang mata-mata, seorang pencuri, dan seorang penjinak bom.

Novel dibuka dengan adegan Hana berdiri di kebun, di pekarangan vila yang terletak di sebuah area kompleks bangunan lama di Tuscany, Italia tengah. Ia merawat seorang pasien luka bakar parah, wajah tak bisa dikenali. Kelak dirujuk sebagai the english patient, si pasien Inggris. Belakangan terungkap nama aslinya, Almásy, penjelajah gurun dan kartografer Hungaria, dicurigai bukan hanya sebagai agen ganda, tapi triple agent (!) David Caravaggio, orang Kanada, pencuri, sudah empat bulan di rumah sakit Roma saat mendengar kabar burung tentang pasien Inggris dan perawat yang bersamanya. Tergerak oleh memori, ia pergi ke San Girolamo, lokasi mereka. Kip, penjinak bom asal India beragama Sikh, satu-satunya karakter sebaya Hana, bertugas membersihkan ranjau darat di sekitar vila, suatu siang terpancing bunyi denting piano Hana, mengira ada bom disembunyikan pasukan musuh di benda tersebut. Keempat karakter ini menjadi geng kecil di antara reruntuhan perang, seiring waktu menguak misteri hidup mereka melalui interaksi, percakapan yang menyingkap rahasia-rahasia.

Bagian terbaik dari novel ini adalah deskripsi Michael Ondaatje yang detail pada adegan-adegan yang tepat. Favorit saya, ketika Kip (kadang teringat tokoh Pip di novel Dickens) dalam proses menjinakkan ranjau darat seberat 2.000 kg. Begitu meyakinkan dan menegangkan, seolah Michael Ondaatje pernah melakukannya. Meski diapit detail di sana-sini, The English Patient tidak lantas menjadi bertele-tele. Dalam 300 halaman yang padat, kisah hidup empat orang dengan latar berbeda dapat terjalin apik, membentuk keutuhan cerita yang memuaskan. Michael Ondaatje bekerja sangat efektif. Sekilas melihat, kita akan tahu The English Patient melalui proses rewriting yang ketat dan mungkin hampir tak terhitung jumlahnya. Alur maju-mundur dalam adegan-adegan yang singkat mengingatkan saya pada novel-novel Dan Brown, untuk alasan serupa saya membacanya dengan sangat asyik, lancar tanpa hambatan hingga akhir.


In the Skin of a Lion(1987). Novel tentang orang-orang imigran di Toronto awal abad ke-20. Karya yang mendahului The English Patient, juga dianggap sebagai prekuelnya. Karakter pencuri David Caravaggio pertama muncul di novel ini, bersama Hana yang masih kecil. Patrick Lewis, protagonis In the Skin of a Lion, adalah ayah tiri Hana. Hidupnya kelak berakhir di The English Patient, tapi di novel ini kisahnya bermula sebagai pekerja yang ditugaskan mencari orang hilang. Novel In the Skin of a Lion berutang dari naskah Epos Gilgames, mengambil bagiannya untuk menjadi judul.

Patrick Lewis yang kehilangan ayahnya karena sebuah kecelakaan proyek pembangunan jembatan, memilih pekerjaan lain. Mencari konglomerat yang menghilang, Ambrose Small. Pencarian itu berakhir dengan kisah cinta yang pahit antara Patrick dengan Clara Dickens, selir si konglomerat. Untungnya kehidupan asmara Patrick berlanjut. Ia bertemu sahabat Alice Gull, sahabat Clara, dan anaknya yang berusia sembilan tahun, Hana. Mereka pacaran. Gagasan-gagasan Alice perihal uang dan kekuasaan merasuki Patrick. Sepeninggalnya Alice, Patrick meledakkan Muskoka, sebuah hotel di distrik Ontario Tengah yang dihuni orang-orang kaya.

In the Skin of a Lion punya bentuk yang sedikit mirip sekuelnya, namun dibanding The English Patient, ini lebih kronologis. Cerita berganti-ganti fokus menggunakan beberapa karakter, seluruhnya dituturkan dari sudut pandang ketiga. Dialog ditulis di antara adegan seperti naskah drama, minim gestur dan keterangan, somehow bikin tempo cerita jadi lebih cepat dan terkesan lebih dramatis. Bagian favorit saya ketika membayangkan David Caravaggio yang di The English Patient kehilangan dua jempol setelah dipotong tentara Blok Poros karena mencuri dokumen rahasia, di novel ini bekerja sebagai pembuat roti.


Coming Through Slaughter(1976). Pendahulu kedua novel sebelumnya. Berlatar New Orleans pada pergantian abad, ke-18 menuju ke-19. Tentang riwayat hidup Charles Joseph Buddy Bolden atau Buddy Bolden, pemain terompet cornet yang dianggap sebagai pelopor musik jazz.

Awalnya agak kagok baca novel ini, karena bentuknya sangat berbeda dengan The Englisht Patient dan In the Skin of a Lion. Kedua novel belakangan ditulis lebih rapi, bagian ke bagian. Prosa yang utuh. Coming Through Slaughter lebih, dalam tanda kutip, berantakan. Tapi justru inilah bagian terbaiknya. Halaman-halamannya terdiri atas fragmen-fragmen pendek, kadang potongan lirik lagu, deretan nama-nama band, berganti-ganti penutur dari narator ketiga ke suara Buddy Bolden sendiri lalu kembali ke narator serba-tahu. Saya membayangkan pada masanya novel ini dikategorikan, dalam tanda kutip, novel eksperimental.

Cara terbaik membaca novel ini adalah sembari mendengarkan Buddy Bolden’s Blues. Rangkaian bunyi terompet cornet yang lantang dan terdengar ceria, terasa kontras dengan kisah Buddy Bolden yang kelam, sendu, dan tragis. Jelang akhir hidupnya, ia divonis mengidap skizofrenia. Sebelum gila, Buddy Bolden seorang alkoholik dan terlibat perselingkuhan yang membuat rumah tangganya hancur. Michael Ondaatje secara brilian menulis paragraf-paragraf yang awalnya teratur, layaknya bait-bait pertama sebuah lagu, kemudian berganti ke kalimat-kalimat Buddy Bolden yang panjang tanpa tarikan napas tanpa tanda baca seperti yang saya coba tunjukkan di kalimat ini untuk menggambarkan pikiran Bolden yang melaju seperti nada-nada yang keluar dari terompetnya. Bagian favorit saya di novel ini ketika seorang tokoh diam-diam melihat Buddy Bolden memainkan terompetnya, mendengar Bolden memainkan blues yang lebih sedih dari himne, himne yang lebih sedih dari blues. Mencampuradukkan keduanya, himne dan blues, musik Tuhan dengan musik iblis (belakangan saya baru tahu pada masanya memainkan blues dianggap dosa).

Tokoh-tokoh legenda musik memang selalu menarik untuk dikulik. Gara-gara baca novel ini saya jadi mencari tahu tentang sejarah jazz, mendengar Chet Baker, Miles Davis, John Coltrane, dan pengin menonton Born to be Blue.


Insomniac City, Bill Hayes

$
0
0



Enggan melupakan sesuatu tidak sama dengan berharap mengingatnya lebih baik. Saya menebak bahwa Bill Hayes, kolumnis The New York Times, menulis berbagai peristiwa yang ia alami selama enam tahun hidup di New York dalam buku memoar yang bagus, Insomniac City (2017) untuk memberitahu pembaca bahwa ia tak bermaksud semakin mengingat adegan-adegan itu, melainkan sekadar tidak melupakannya. Namun, kalau dipikir-pikir lagi, di mana batas antara mencatat sejarah dan mempertajam memori? Bagaimana kita tahu di mana jurnal berakhir, dan nostalgia dimulai?

Sebelum membaca Insomniac City, saya tidak pernah tahu nama Bill Hayes. Suatu hari saya bicara di talkshow untuk buku terbaru dua orang teman, dan mereka memberi saya buku ini sebagai hadiah. Saya jarang baca memoar, jadi buku ini tidak masuk ke daftar prioritas membaca, jujur saja. Tapi kadang-kadang saya iseng mengambil buku secara acak dari koleksi di kamar, terutama jika tidak sedang tahu harus baca yang mana. Agak kurang menyangka, ternyata Insomniac City jadi salah satu buku terbaik yang saya baca melalui random-picking itu.

Insomniac City adalah buku kumpulan esei super pendek yang diselang-selingi catatan acak dari jurnal penulisnya. Bill Hayes, seorang homoseksual, menulis esei-esei yang sangat bagus tentang New York dan hubungan asmara dengan Oliver Sacks, neurolog dan ilmuwan Inggris. Sebagaimana Bill Hayes, saya pun tak tahu-menahu tentang Oliver Sacks hingga membaca buku ini. Dalam salah satu eseinya Bill Hayes juga menceritakan bagaimana ketika ia mengungkap orientasi seksualnya kepada ayahnya.

Itulah tema buku ini. Kota dan cinta. New York, Oliver Sacks, and Me, seperti ditulis Bill Hayes di bawah judul Insomniac City.

*

Bill Hayes membagi isi bukunya ke dalam tiga bagian, masing-masing diberi judul Insomniac City, On Being Not Dead, How New York Breaks Your Heart. Ia lebih banyak bercerita tentang dirinya di bagian pertama, tentang Oliver Sacks di bagian kedua, dan kehidupan orang-orang New York di bagian terakhir. Namun, tidak sekaku itu. Di tiap-tiap bagian selalu terdapat gagasan-gagasan kehidupan dari perspektif Bill Hayes sendiri, interaksinya dengan orang-orang New York, dan hubungannya dengan Oliver Sacks. Ketiganya berkelindan apik dalam rangkaian kalimat yang page turning.

Tak berapa lama sebelum membaca Insomniac City, saya sedang ingin mencoba menulis esei tentang kehidupan sehari-hari. Kolom-kolom pendek yang reflektif. Slices of life. Ada semacam perasaan rugi kalau tak mencatat apa-apa yang terjadi seharian meski tak semuanya menarik. Persoalannya, saya tak punya panduan. Ketika membaca tulisan-tulisan pendek Bill Hayes, saya merasa mendapat titik terang.

Dalam kalimat-kalimat ketat saya bayangkan ditulis ulang berkali-kali, Bill Hayes begitu jernih menyampaikan gagasan-gagasannya melalui apa yang ia amati. Ia menangkap dengan matanya pasangan muda di bangku taman, perempuan dan anak kecil di gerbong subway, pelanggan toserba, ia menggambarkan interaksi menggunakan pilihan kata yang tidak hanya akurat, tapi juga memberi makna yang luas. Adegan-adegan yang tadinya terasa hanya mungkin terjadi di New York, menjadi punya arti lebih umum, universal.

Ia mengidap insomnia akut, Bill Hayes, dan kerap menggambarkan New York sebagai refleksi dari dirinya sendiri. Kalau New York itu seorang pasien, tulisnya dalam bahasa Inggris, ia pasti mengidap yang namanya agrypnia excitata, kondisi langka yang dicirikan dengan insomnia, kejang-kejang, perasaan gugup; gambaran kota yang tak pernah tidur, tempat seseorang datang untuk menciptakan dirinya kembali.

*

Cukup lama saya sadar, kini sudah menerimanya sebagai kenyataan, bahwa hidup tidak memiliki makna di dalam dirinya sendiri. Kita tidak mencari makna karena hidup tidak menawarkannya. Kita menciptakan makna. Dalam kesadaran ini saya memperoleh kelegaan. Dalam kenyataan ini terdapat kebebasan, bebas menciptakan makna apapun yang saya inginkan untuk hidup saya. Bebas pula ingin menciptakan makna atau tidak.

Menulis, bagi saya, adalah cara untuk menciptakan makna tersebut. Menulis adalah cara memaknai hal-hal duniawi yang biasa, yang sepele. Yang mundane. Jika kita bukan tentara yang hidup di Gaza atau orang-orang yang menunggu bom di Palestina, hidup ini tidak selamanya memberi hal-hal yang besar, yang mengguncang, yang life-changing. Hidup bagi orang medioker, kelas menengah sedikit ngehe seperti saya sebagian banyak terisi hal-hal tak berarti. Menulis hal-hal tak berarti itu adalah cara untuk memandangnya dari perspektif lain, sambil menduga-duga ilham yang tersembunyi di baliknya.

Menulis adalah sebuah usaha mengungkap makna di antara serangkaian peristiwa sepele yang terjadi secara acak. Seperti ketika saya mengambil Insomniac City dari tumpukan buku di kamar. Tak harus ada penyebab, tapi konsekuensi selalu hadir. Esei-esei pendek di buku ini mengingatkan saya kembali akan pentingnya mencatat. Menulis apa saja yang terjadi, sesepele apapun kelihatannya. Suatu hari yang sepele di jurnal akan menjadi tujuan nostalgia. Memori yang terangkat ke permukaan untuk menceritakan ulang tentang hidup yang sudah kita jalani. Hidup yang kurang panjang, mungkin, tetapi cukup berarti. ***

Kenapa Mau Jadi Penulis?

$
0
0

-->


Mempertanyakan motivasi di balik keinginan besar anak muda terhadap profesi penulis. Sebuah catatan personal dari penulis yang baru satu dekade menekuni kesenangannya sebagai pilihan pekerjaan.



Saya tidak tahu kapan tepatnya penulis jadi profesi yang populer, terutama di kalangan remaja. Yang saya tahu saat ini banyak sekali anak muda ingin jadi penulis. Portal-portal digital tempat mengunggah tulisan bermunculan bagai jamur. Seiring meningkatnya kebutuhan konten untuk kepentingan bisnis hiburan maupun jenis bisnis lain, penulis jumlahnya terus bertambah, aktif melahirkan tulisan-tulisannya di kanal digital maupun media fisik.

Sebelum bicara lebih jauh, saya perlu menyampaikan sesuatu tentang siapa dalam hal ini yang saya bahas. Penulis yang saya maksud adalah siapapun yang membuat tulisan serta menerbitkannya, rutin maupun tidak. Demi membatasi pembahasan, secara khusus di tulisan ini saya merujuk kepada penulis-penulis muda di bawah 25 tahun yang berkarya melalui medium fiksi. Cerita pendek, bersambung, novel. Definisi dan batasan ini tidak berdasarkan apapun selain bahwa yang terlintas di kepala saya ketika mempertanyakan minat menulis adalah mereka yang lebih muda dari saya, dan fiksi karena saya sendiri lebih banyak menulis karya fiksi.

Kesimpulan saya tentang minat besar anak muda terhadap profesi penulis saya tarik dari banyaknya pertanyaan, testimoni, dan pesan-pesan yang masuk ke kanal-kanal digital saya tentang bagaimana caranya jadi penulis. Setiap kali saya talkshow untuk promosi buku terbaru, atau ketika mengisi kelas-kelas penulisan kreatif, saya selalu berhadapan dengan puluhan anak muda yang pengin jadi penulis. Pada tahun-tahun pertama menulis saya akan mudah menjawabnya. Namun, kini, sering pertanyaan tersebut saya jawab dengan sebuah pertanyaan lain:

“Kenapa kamu mau jadi penulis?”



Raison d’etre

Interaksi saya di berbagai kesempatan dengan anak-anak muda yang mengaku ingin jadi penulis mengajarkan saya sesuatu tentang motivasi. Ketika saya bertanya balik kenapa mereka ingin jadi penulis, sebagian menjawab dengan kalimat yang kabur, tetapi sisanya cukup jelas. Selain supaya bisa curhat dalam kalimat-kalimat yang artsy, poetic, dan sophisticated, sebetulnya cuma ada 2 (dua) motivasi utama seseorang pengin jadi penulis:
  1. Uang
  2. Ketenaran

Pengin kaya dan terkenal, itulah dua motivasi terbesar yang paling sering saya dengar. Dua hal yang dapat dicapai dengan cara lain, mungkin lebih efektif daripada harus meraihnya lewat jalan panjang dan sepi seorang penulis. Selugu apapun dua hal tersebut, uang dan ketenaran, saya dapat memahaminya. Namun, saya ingin mengutip quote Jim Carrey yang saya dapat dari Internet untuk menjawab keluguan itu.

“I think everybody should get rich and famous and do everything they ever dreamed of so they can see that it’s not the answer.” (Jim Carrey)


Ya, saya berani bilang itu bukan jawabannya. Menjadi kaya dan terkenal karena menulis bukanlah hal yang kamu cari.
Sewindu yang lampau, sebagai anak muda yang pengetahuannya tentang industri buku nyaris nol, saya tak pernah bermimpi bakalan menjadi penulis, apalagi menerbitkan buku yang laris. Namun, pasar pembaca sangat berbaik hati. Tiga buku pertama saya yang rilis lewat penerbit mainstream sangat laris bagi ukuran personal saya, mencatatkan nama saya ke peta buku nasional. Membuat saya punya pembaca.

Namun, seiring waktu saya mengetahui bahwa bukan buku best-seller lah yang saya kejar. Bukan pula follower yang banyak. Walaupun kadang masih terasa ganjil, saya senang ketika ada yang mengenali saya di keramaian, di tempat publik, tapi bukan pula hal itu yang membuat hati saya tenteram dan puas. Ketika saya tahu bahwa punya buku laris dan dikenal orang tidak membuat saya bahagia, saya sadar, keduanya bukan raison d’etre saya menulis.

Lantas, apa?


Mitos tentang dunia penulis

Menjadi penulis mungkin terlihat keren, tapi sama sekali tidak ada yang menyenangkan dari proses menulis. Menulis membutuhkan ketahanan fisik dan mental yang kuat. Dalam sebuah tulisan yang cukup representatif, Dewi Lestari pernah menyatakan bahwa penulis adalah profesi yang tidak sehat. Siapapun yang pernah mendedikasikan berjam-jam menulis sesuatu bakal setuju. Low back pain (LBP) dan carpal tunnel syndrome (CTS) adalah teman akrab. Asam mefenamat adalah sahabatnya penulis.

Itu baru persoalan tubuh, belum pikiran yang secara langsung berdampak pada kondisi mental. Berapa banyak penulis yang punya masalah dengan kejiwaan? Cobalah google creativity and mental illness”, ada sederet nama penulis besar dalam berbagai artikel yang didampingi jenis penyakit jiwa mereka. Dalam pengantar di buku kompilasi biografi singkat penulis yang pernah saya baca, ada satu kalimat menggelitik. “Semua orang akan jadi gila, penulis hanya tiba di sana lebih cepat.”

Tentang hubungan penulis dengan penyakit kejiwaan silakan riset sendiri. Saya hanya bisa sampaikan satu hal: menulis membuatmu memikirkan, cemas pada banyak hal. Bahkan, keduanya yang mendorongmu menulis. Ingin hidup dalam kecemasan yang mencekam? Silakan jadi penulis.

Belum lagi persoalan ambisi menulis sebuah karya yang bagus, yang saya kira tak akan pernah tercapai, sebab ketika kamu sudah merasa menulis sesuatu yang bagus, di situ lah proses belajar berhenti. Progres tidak dimungkinkan dalam sikap berpuas diri. Saat kamu membaca buku-buku bagus, seketika kamu terdorong untuk menulis sebagus apa yang kamu baca. Namun, kamu akan ditinju kenyataan: ketidakmampuanmu menyeberangi jurang antara selera membaca dan kemampuanmu menulis. Wajahmu biru-biru oleh karya sendiri yang tidak cukup bagus bagimu dan rekening yang tidak banyak berubah karena bukumu tidak laku.

Jadi, kenapa masih mau jadi penulis?



Refleksi personal

Kenapa saya menulis? Saya sudah menjawabnya di profil akun ini. Saya menulis karena saya tidak bisa tidak melakukannya. Saya sudah pernah mencoba berhenti menulis. Dengan sangat menyesal saya harus bilang bahwa bahkan untuk yang satu ini pun saya gagal. Setiap kali saya memalingkan wajah ke hal-hal lain yang lebih bikin saya bahagia, lebih tidak bikin saya cemas, setiap kali itu pula saya seperti ditarik kembali ke depan layar laptop, handphone, buku catatan, untuk menulis apa yang saya alami, pikirkan, pertanyakan. Saya ingin tidak menulis, tapi saya tidak bisa.

Saya pernah punya buku yang laku, pernah juga tidak laku-laku amat. Saya pernah dielu-elukan di sebuah talkshow, pernah juga tidak ada satu pun yang mengenal saya di sebuah tempat. Pengin jadi penulis karena bisa kaya raya? Itu kalau bukumu laku, dan ingatlah bahwa pasar selalu misterius. Dikenal orang? Ada cara yang lebih efektif. Lakukan hal konyol dan minta bantu temanmu yang selebtweet memviralkan kelakuanmu.

Ketika saya resign dari kantor penerbit besar dan memutuskan untuk jadi penulis saja, saya menikmati kebebasan dan ketidakpastian yang saya hadapi setiap hari. Saya meninggalkan gaji pokok, insentif, orang-orang hebat yang menyenangkan, demi ambisi personal. Saya ingin menulis sesuatu yang berarti. Saya ingin menulis karya yang bagus dan berarti.

Dan arti? Sebagai self-proclaimed, so-called nihilist, membicarakan arti bakal jadi pekerjaan rumah yang, ironisnya, tak berarti. Tujuan saya menulis kini jadi senjata makan tuan. Saya ingin melakukan sesuatu yang bertujuan, yang berarti, ketika saya sendiri tak yakin apakah semua ini ada artinya, di waktu yang bersamaan saya tak dapat mengerjakan apapun selain menulis. Terjebak dalam lingkaran yang menyiksa batin, menggeroti fisik dan pikiran. Well.

Perpisahan yang Manis

$
0
0

-->
Perpisahan yang Manis
Enam tahun berkarir sebagai penulis, mencari tempat ideal untuk menuangkan kata-kata menjadi sebuah tulisan yang memuaskan, bikin saya menyimpulkan satu hal. Mungkin benar anggapan umum yang berkata bahwa, penulis dan coffee shop adalah dua hal yang hampir enggak bisa dipisahkan. Seakan ada rahasia tersendiri di kedai-kedai kopi yang membuat penulis tidak pernah kehabisan inspirasi.
Sebagai penulis dan penikmat kopi, saya selalu menduga ketergantungan saya pada coffee shopuntuk bekerja bukan cuma karena efek kafein dari kopi yang diseruput, tapi juga suasana kedai yang memang mendukung. Saya selalu mengantuk jika menulis di kamar. Namun, tidak di coffee shop. Pemandangan orang-orang yang sedang berkutat dengan laptop, situasi yang kondusif, dan riuh rendah suara serta bunyi mesin kopi yang membuat pikiran saya terjaga. Mood-nya dapet aja gitu.

Itu sebabnya hari-hari kerja saya adalah perjalanan dari satu coffee shop ke coffee shop lain. Beruntung, saya tinggal di Yogyakarta. Kota yang konon punya lebih dari seribu kedai kopi (catchy juga kalau jadi slogan). Apalagi belakangan ini, coffee shop baru bergaya modern terus bermunculan bagai jamur di musim hujan. Saya tidak pernah kehilangan pilihan tempat menulis. Kalau bosan dengan coffee shop yang satu, tinggal pindah ke yang lain.

Tapi...
Tapi, ternyata enggak semudah itu menikmati coffee shop-coffee shop baru tersebut, menjelajahi "kantor-kantor" baru saya untuk menulis. Motor pribadi yang selalu menjadi teman saya mengelilingi kota pernah juga menjadi musuh saya. Bukan karena kami berantem pukul-pukulan, tapi mengendarai motor sendiri kadang bikin capek. Kalau sudah capek, mood untuk menulis pun bisa ngedrop.

Jangankan untuk menulis yang memang jadi pekerjaan saya, buat ketemu teman-teman nongkrong yang notabene harusnya jadi kegiatan seru pun rasanya malas, kalau sudah capek bawa motor. Apalagi motor saya pakai kopling. Ke mana-mana sudah kayak pakai adjustable hand-grip, alat buat menguatkan otot tangan.

Ditambah kalau jalan sudah macet, biasanya sore-sore jelang magrib. Wah, ampun deh. Maju sedikit, berhenti, maju sedikit, berhenti. Otot telapak tangan dijamin pegal linu karena kopling main terus. Pasti pernah ngalamin juga?

Belum cukup soal tangan pegal linu gara-gara main kopling. Pinggang juga pegel gara-gara kelamaan duduk. Kalau sudah menulis, saya bisa duduk menghadap laptop selama berjam-jam. Paling sebentar 3-4 jam, pernah 10 jam. Duduk pas nulis, duduk pas bawa motor dengan kondisi tangan pegal, semuanya bisa merusak mood menulis seketika.

Padahal, sulit banget menulis kalau enggak ada mood. Tulisan bisa tetap selesai tapi hasilnya enggak memuaskan. Kata-katanya jadi enggak mengalir, adegan-adegan di naskah novel jadi enggak hidup, pokoknya enggak beres. Kopi terbaik yang sudah diseduh sepenuh hati oleh barista paling jago, di coffee shop yang paling pewe, pun enggak cukup untuk mengembalikan mood. Gara-gara pegal, lelah fisik.

Enggak, belum cukup parah. Bayangin satu hal lagi. Setelah capek duduk di coffee shop, capek duduk di motor, tahu-tahu di jalan ada pengendara yang enggak paham aturan. Main nyerobot lampu merah, selip sana selip sini sampai membahayakan orang lain. Rasa-rasanya mau ngedumel, bawaan pengin misuh-misuh, tapi juga percuma. Malah bikin makin lelah.




Usut punya usut, benar juga yang GO-JEK bilang soal gangguan Rheumatir& Hipersensi. Jelas sudah saya lagi mengalami dua gangguan itu sekaligus. Rheumatir bikin kondisi fisik ​ngedrop ​gara-gara kebanyakan duduk sambil fokus bawa motor. Akibatnya keterusan, jadi Hipersensi, melampiaskan emosi berlebihan di jalan. Udah capek, ​ngedumel. Enggak ada bagus-bagusnya buat kebaikan jiwa.

Pas sudah mulai sadar dengan gangguan yang saya alami, saya enggak menunda-nunda lagi buat cari solusi. ​Mood menulis harus secepat mungkin dikembalikan. Satu-satunya cara ya harus segera meredakan Rheumatir & Hipersensi ini. Saya perlu mengurangi gangguan dari capek fisik dan emosi yang berlebihan gara-gara setiap hari kelelahan bawa kendaraan pribadi.

Tapi, gimana?

Waktu buka-buka ​handphone, ​muncullah jawaban atas pertanyaan itu.

GO-JEK.

Saya udah beberapa kali pakai GO-JEK buat ke mana-mana, tapi seringkali masih ​ngotot pakai motor sendiri. Seseringkali itu pula saya terpaksa ​ngedumel ​ke diri sendiri. ​Siapa suruh bawa motor terus, pegel-pegel kan.

​Padahal di Yogyakarta, armada GO-JEK udah banyak, gampang ditemukan. Baru pesan nih, enggak sampai setengah menit udah dapat ​driver. ​Tunggu sebentar sambil siul-siul, ​driver​ pun tiba, siap ditumpangi ke tempat tujuan. 

Hal yang paling saya suka kalau sudah naik GO-JEK adalah, tentu saja, jadi enggak perlu ​ngerasain ​tangan pegal linu. Karena enggak mengendarai sendiri motornya, jadi bisa lebih rileks di jalan. Karena di jalanan merasa santai, jadi enggak kebawa emosional sama situasi jalanan yang padat dan kadang ruwet. 

Selamat tinggal, gangguan Rheumatir dan Hipersensi. Titip salam buat gangguan-gangguan lainnya. Sekarang saya sudah punya peredanya. Ampuh dan gampang diperoleh.

Salah satu pertanyaan yang pernah saya dapat ketika mengisi kelas-kelas menulis adalah bagaimana caranya agar bisa fokus menulis.

Beberapa mengira jawabannya melakukan ini dan itu. Keliru. Justru sebaliknya, yakni ​tidak ​melakukan ini dan itu.

Untuk urusan fokus, langkah pertama yang penting bukan melakukan sesuatu agar fokus, tapi ​tidak ​melakukan hal-hal yang membuat kita tidak fokus. Misal bawa kendaraan sendiri yang akhirnya bikin capek dan ​misuh-misuh ​di jalan. Hasilnya jadi lelah fisik dan mental, mengganggu fokus bekerja.

Harusnya tenaga fisik dan modal psikis (​mood​) bisa dicurahkan seluruhnya untuk pekerjaan yang mau kita selesaikan, tapi seringnya yang terjadi malah kita buang-buang energi di jalan. Hal itu sebenarnya enggak perlu terjadi. #UdahWaktunyagangguan kayak Rheumatir dan Hipersensi yang, saya yakin, kita sering banget alami, bisa mudah diredakan dengan satu cara praktis: Pakai GO-JEK.

Kita kadang-kadang enggak ​ngeh ​bahwa jawaban dari pertanyaan kita biasanya enggak pernah jauh-jauh, bahkan bisa jadi sedekat genggaman tangan.​

Nah, sekarang saya mau main ke coffee shop yang baru buka di daerah Palagan. Tapi naga-naganya di jalan bakal kejebak jalanan padat. Mendingan motor saya istirahatkan dulu, sekaligus mengistirahatkan diri sendiri dari ​ngedumel ​yang enggak perlu. Pergi ke coffee shop#UdahWaktunya pakai GO-JEK aja.

Selamat tinggal Rheumatir. Selamat tinggal Hipersensi. Ini perpisahan yang amat manis.



Mengenal Bayang-Bayang Lenin

$
0
0

Tulisan ini sebelumnya sudah saya unggah di akun Medium. Tapi mendadak akun saya langsung kena suspend, tanpa notifikasi apapun dari Medium. Apa saya melanggar peraturannya Medium? Tapi apa yang saya langgar ya. Apa karena tulisan saya mengandung tema komunisme? Enggak tahu juga.

Tadi sudah kirim e-mail ke Medium untuk bertanya dan minta bantuan akun saya dibalikin ke normal. Ini saya coba unggah tulisan yang bikin saya kena suspend itu di sini. Semoga aja blog ini enggak kena suspend juga.

Fingers crossed.

*




Mengenal Bayang-Bayang Lenin

Karl Marx merumuskan Marxisme. Namun, yang membawa pemikiran itu jejak ke tanah praktik dan menjadi sebuah aksi besar adalah sosok bernama Lenin.

Tulisan ini hasil membaca buku “Dalam Bayang-Bayang Lenin” karya Franz Magnis-Suseno (Gramedia, 2003), yang pak Magnis-Suseno tulis sebagai lanjutan dari “Pemikiran Karl Marx” (Gramedia, 1999). Buku tentang Karl Marx saya bahas di tulisan sebelumnya. Jadi harap membaca yang itu terlebih dulu sebelum membaca yang ini.

Tidak seperti di buku “Pemikiran Karl Marx” yang keseluruhan isinya tentang Karl Marx dan Marxisme, di buku “Dalam Bayang-Bayang Lenin” pak Magnis-Suseno tidak hanya menulis tentang Lenin. Melainkan ada enam tokoh yang mengembangkan pemikiran Marxisme dengan ciri khasnya masing-masing, termasuk Lenin. Mereka adalah Leon Trotsky, Georg Lukacs, Karl Korsch, Antonio Gramsci, dan Tan Malaka. Namun, di tulisan ini hanya akan membahas tentang Lenin.




Nama panjang Lenin adalah Vladimir Ilyc Ulyanov (1870–1924). Lenin adalah nama samarannya yang dia ambil dari Sungai Lena di dekat Siberia, tempat ia dibuang pada tahun 1896, di usia ke-26 tahun, gara-gara aktivitas politiknya. Waktu Lenin 17 tahun, kakak kandungnya dihukum mati karena dituduh terlibat dalam persiapan percobaan pembunuhan Tsar (pemimpin kekaisaran Rusia). Lulus kuliah hukum di Universitas Petersburg, Lenin bekerja jadi pengacara. Lalu ia masuk ke berbagai kelompok Marxis dan menulis artikel-artikel tentang masalah-masalah sosialisme.

Pada tahun 1900, di usia ke-30 tahun, Lenin dan teman-temannya bikin majalah Marxis revolusioner, Iskra (“bunga api”). Pada 1902 Lenin menulis tentang pahamnya mengenai konsep partai. Tulisan itu ditentang oleh tokoh Marxis lain. Partai Sosial Buruh Demokrat Sosial Rusia kemudian pecah di kongresnya 1903 ke dalam dua kubu: Kaum Bolshevik (dari bolshinstvo, mayoritas) dan kaum Menshevik (dari menshinstvo, minoritas). Kaum Bolshevik mendukung konsepsi Lenin, sedangkan kaum Menshevik menentangnya.

Di satu titik dalam Perang Dunia II, Rusia mengalami sederetan kekalahan di medan perang dan membuat keadaan ekonominya hancur. Pada 1917, Tsar Nikolaus II yang memimpin saat itu dipaksa turun takhta. Pemerintahan diambil alih oleh koalisi kekuatan nasional. Lenin yang waktu itu tidak di Rusia, langsung pulang lalu menarik partai Bolshevik dari koalisi tersebut. Setelah itu Lenin mengumumkan program radikal untuk revolusi. Tuntutan Lenin dirangkum dalam kalimat, “seluruh kekuasaan kepada Soviet-soviet” (“dewan” buruh dan prajurit yang desersi)baru tahu saya soviet dalam Uni Soviet itu dari sini asalnya.

Terjadilah Revolusi Rusia 1917. Masa kekaisaran Rusia usai dan Uni Soviet bangkit. Lenin memegang tampuk kekuasaan Uni Soviet. Sayangnya kaum buruh di Rusia itu minoritas. Hanya 1% dari total penduduk. Sisanya kaum tani dan mereka tidak mendukung Lenin. Ternyata sejak awal kekuasaan Lenin rapuh. Ia agak memaksakannya. Maka cara paling ampuh untuk mempertahankan kekuasaan adalah dengan kediktatoran partai. Diselenggarakan dengan cara kekerasan.
Hasilnya, di bawah pemerintahan Lenin, 20 juta warga Uni Soviet mati karena dibunuh atau kelaparan.



Masalah utama Lenin yang membuatnya melakukan salah satu kejahatan manusia paling mengerikan (di samping Hitler dengan Nazi-nya) yaitu ia memaksakan kehendaknya.

Lenin melihat situasi Rusia pada waktu itu tidak mendukung untuk revolusi sosialis. Ingat kembali apa kata Karl Marx mengenai keniscayaan sosialisme. Kapitalisme memang membawa di dalam dirinya bibit-bibit kehancurannya sendiri, dan ketika bibit-bibit ini sudah tumbuh matang, revolusi pun pecah. Namun, di Rusia kapitalisme baru saja ditanam. Baru mulai meluas tapi belum matang.

Lenin menolak situasi ini. Ia merumuskan pandangannya soal “imperialisme sebagai tahap akhir kapitalisme”. Imperialisme (penjajahan oleh negara atas negara lain), pikir Lenin, adalah sarana negara-negara kapitalis maju untuk mengirim ketegangan di tubuh mereka sendiri ke negara-negara prakapitalis (contoh dalam hal ini Kekaisaran Rusia yang feodal). Jadi Lenin berpendapat bahwa revolusi sosialis justru lebih mungkin pecah di Rusia.

Pandangan Lenin juga menentang kaum Menshevik, yang berpendapat bahwa untuk menjatuhkan feodalisme (kekuasaan kekaisaran Rusia) dan mendirikan pemerintahan demokratis, kelas buruh haruslah terlebih dulu bekerjasama dengan kaum borjuasi (borju, golongan menengah ke atas). Menurut Lenin, proletariat harus bersekutu dengan kelas borjuasi, tapi sebagai yang memimpin gerakan revolusioner.

Karena itu, Lenin selalu menegaskan bahwa proletariat harus dibentuk sebagai kekuatan politik mandiri, yang tidak cuma melawan kekuasaan feodal Tsar, tapi juga selalu sadar bahwa musuh sebenarnya adalah para pemilik modal. Para pendukung kapitalisme.




Pada masa-masa Lenin ini, pandangan Karl Marx yaitu Marxisme sudah menjadi pandangan dan sikap buruh sedunia. Namun, Karl Marx baru meletakkan teori, belum meneruskannya jadi tindakan. Lenin lah yang mewujudkan teori itu. Oleh Lenin, Marxisme menjadi Komunisme.

Tujuan pemikiran Lenin adalah revolusi sosialis. Perubahan ketatanegaraan dari yang tadinya feodal di masa kekaisaran Rusia menjadi negara sosialis di masa berdirinya Uni Soviet (yang kemudian runtuh juga). Jadi apapun akan Lenin lakukan agar revolusi sosialis itu terjadi, termasuk bersekutu dengan kelas-kelas tertindas lainnya (kaum tani dan borjuasi kecil). Pragmatisme Lenin ini jadi bagian penting dari ajarannya yang bernama Marxisme-Leninisme (dibakukan secara resmi oleh Stalin).

Sesudah revolusi terjadi, menurut Lenin kaum proletariat harus memegang hegemoni (mendominasi) atas kelas-kelas revolusioner lain. Untuk itu Lenin berencana mendirikan “kediktatoran proletariat”. Namun, lama-kelamaan yang terjadi bukan kediktatoran proletariat, tapi malah kediktatoran partai. Bukan kaum tertindas yang dulu dibayangkan Marx yang kemudian memimpin Uni Soviet, tapi partai. Partai Komunis Uni Soviet.

Partainya Lenin.




Terus, Komunisme itu apa?

Ingat lagi di tulisan sebelumnya bahwa Karl Marx membayangkan sebuah dunia di mana manusia hidup bebas dan tidak terasing dari dirinya sendiri. Ketika Karl Marx memikirkan itu, sedang terjadi penindasan atas warga Prusia. Revolusi Industri melahirkan kelas pemilik dan kelas pekerja. Kapitalisme menjadi sistem ekonomi yang menindas sebagian besar masyarakat dan menguntungkan sebagian kecil pemilik modal.

Marx berpendapat bahwa umat manusia akan lebih bahagia jika mereka memenuhi hakikatnya yang sosial. Marx menganut paham sosialisme yaitu percaya bahwa harusnya tidak boleh ada hak milik pribadikarena ini sumber penindasan. Sosialisme berarti seluruh harta benda di bawah kepemilikan sosial (bisa koperasi, negara, atau gabungannya).

Komunisme adalah sistem masyarakat di mana tidak ada lagi negara, dan setiap orang bekerja dan dibayar sesuai bakat dan kemampuannya.

Kebayang enggak?




Komunisme dengan pengertiannya sendiri berbeda dengan komunisme yang dipraktikkan Lenin. Lenin dengan Uni Soviet-nya mendirikan negara komunis (ingat bahwa di masyarakat komunis negara tidak ada lagi) yang dipimpin partai tunggal-komunis.

Waktu itu Lenin berpendapat bahwa negara tetap harus ada karena musuh-musuh proletariat masih ada. Jadi negara dibutuhkan untuk menghabisi musuh-musuh itu. Sesudah revolusi sosialis terjadi, negara juga masih diperlukanuntuk waktu yang lamahingga seluruh kekurangan masyarakat sosialis tidak ada lagi.

Dalam periode itulah, ketika negara komunis bentukan Lenin berdiri, tragedi terjadi. Pemikiran Karl Marx yang tadinya bertujuan untuk membebaskan manusia dari keterasingannya, di tangan Lenin justru menjadi “penjara terbesar di dunia” (Dalam Bayang-Bayang Lenin, halaman 50).




Sejarah telah membuktikan bahwa komunisme gagal di mana-mana. Termasuk di Indonesia. Negara komunis yang berhasil pun akhirnya membuka keran bagi kapitalisme.

Namun, gagasan mengenai pemikiran yang membebaskan manusia yang terkandung di dalam Marxisme masih menarik perhatian seseorang yang hidup hampir 150 tahun sesudah Karl Marx wafatyaitu saya sendiri. Ini tidak lain karena tulisan pak Magnis-Suseno di buku-bukunya, yang saya sangat nikmati. Gaya menulisnya yang jernih serta kritiknya yang tajam terhadap Marxisme dan turunan-turunannya membuat saya yang awam mengenai filsafat dan politik jadi tertarik untuk belajar lebih dalam.

Tapi dari dua tulisan mengenai Marxisme ini kita hanya tahu tentang masa lalu. Bagaimana Marxisme di masa sekarang? Setelah komunisme bangkrut, apa yang terjadi? Jika tadi kita bicara tentang Rusia saja, bagaimana yang terjadi di negara lain yang juga komunis, misalnya Cina?

Tunggu tulisan berikutnya.


Lomba Menulis

$
0
0
Seorang teman pernah berkata kepada saya bahwa dulu, waktu ia kecil, ia sempat bercita-cita ingin menjadi penulis. Ia membaca buku-buku komik dan cerita di majalah anak-anak. Ia senang membaca cerita-cerita itu dan membayangkan bagaimana kalau ia sendiri yang mengarang cerita. Ia ingin tidak cuma jadi pembaca tapi juga penulis. Tidak cuma menjadi membaca tapi juga dibaca.

Teman saya itu waktu sekolah mengambil jurusan IPA lalu berkuliah di jurusan Ekonomi. Saat ini ia berkuliah di semester tiga sambil bekerja sampingan sebagai fotografer. Ia memotret apa saja mulai dari makanan hingga upacara perkawinan. Kami berkenalan ketika ia sudah berkuliah. Ia cerita ke saya tentang cita-cita masa kecilnya ingin jadi penulis ketika tahu bahwa saya menulis novel.

"Kamu masih bisa jadi penulis kalau mau." Itu yang saya katakan kepadanya. Saya memang percaya bahwa tidak pernah ada kata terlambat untuk menjadi penulis. Kalaupun tidak menjadikan kegiatan menulis sebagai pekerjaan, menulis tetap kegiatan yang bermanfaat untuk melatih cara berpikir yang teratur dan jernih. Menulis bisa membantu kita memahami pikiran-pikiran kita sendiri.

Teman saya mengangkat pundaknya. "Tapi apa yang harus aku tulis? Aku enggak punya ide."

Nah, kalau itu sesuatu yang saya tidak percayai. Kita selalu punya ide. Kita selalu punya sesuatu untuk diceritakan. Hidup kita tersusun dari cerita-cerita. Bahkan, sebelum kita terlahir ke dunia, orangtua kita juga hidupnya tersusun dari cerita-cerita. Sebelum dan sesudah kita hidup, cerita akan selalu ada. Saat kita hidup, kita sedang menjalani dan menciptakan cerita kita sendiri.

"Jawabanmu abstrak banget." kata teman saya lagi. "Coba kasih saran yang lebih praktis."

Bertahun-tahun, saya menulis fiksi. Saya mengarang cerita. Kadang-kadang saya mengambil cerita dari kehidupan orang lain, kadang-kadang dari kehidupan diri saya sendiri. Namun, cerita pendek dan novel punya aturannya sendiri. Aturannya hanya satu dan sangat sederhana:

Setiap hal yang muncul di cerita harus berdasarkan sebuah alasan.

Maka dari itu, hal yang paling penting dalam menulis adalah menjawab pertanyaan mengapa. Mengapa tokoh-tokohnya melakukan hal-hal yang mereka lakukan? Mereka lokasi ceritanya di situ dan bukan di sini? Mengapa si anu bertemu dengan si ini tetapi tidak dengan si itu? Semuanya harus memiliki alasan yang masuk akal dan kuat. Harus ada penjelasan yang menyertai setiap keputusan.

Salah satu cara terbaik untuk berlatih memaparkan alasan adalah dengan menulis ulasan. Review. Saya sering mengulas buku di blog saya ini. Kadang-kadang saya mengulas film. Ulasan atau review menjadi ruang yang sangat pas untuk latihan menjelaskan alasan-alasan di balik pendapat kita tentang sesuatu. Mengapa kita menyukai sesuatu. Mengapa kita berpikir ada yang bisa lebih dikembangkan dari sesuatu.


Saya senang mengundang kalian semua untuk berlatih menulis review. Tentu saja saya juga senang mengatakan bahwa latihan ini tidak cuma-cuma. Ada hadiah besar yang menanti para pemenang.

Bukalapak mengadakan lomba blog BukaReview. Berlangsung dari 22 Oktober 2018 hingga 31 Desember 2018. Total hadiah sebesar 60 juta rupiah untuk tiga pemenang. Ada beragam pilihan topik review yang bisa dipilih sehingga kesempatan untuk ikut serta semakin besar. Saya sendiri akan jadi salah satu juri lomba blog BukaReview.

Silakan lihat syarat & ketentuan lomba blognya di sini: Lomba Blog BukaReview. Untuk mendaftar silakan ke sini:Pendaftaran Lomba Blog BukaReview.


Selamat Datang

$
0
0

Buku terbaru Bernard Batubara, Luka Dalam Bara


Bisikan Busuk adalah blog pribadi Bernard Batubara (Bara): penulis penuh-waktu, yang lahir pada Juli 1989 di Pontianak, Kalimantan Barat; kini tinggal di Yogyakarta. Bara belajar menulis puisi, cerita pendek, dan novel sejak 2007. Buku-bukunya yang telah terbit: Angsa-Angsa Ketapang (2010), Radio Galau FM (2011), Kata Hati (2012), Milana (2013), Cinta. (2013), Surat untuk Ruth (2013), Jatuh Cinta Adalah Cara Terbaik untuk Bunuh Diri (2014), Jika Aku Milikmu (2015), Metafora Padma (2016), dan Elegi Rinaldo (2016). Radio Galau FM dan Kata Hati telah diadaptasi ke layar lebar. Buku terbarunya terbit Maret 2017, Luka Dalam Bara.


MOBIL BEKAS

$
0
0

Ini adalah sampul buku saya yang terbaru. Novel “Mobil Bekas dan Kisah-Kisah dalam Putaran”, yang saya tulis sebagai terjemahan atas film layar lebar Ismail Basbeth dari rumah produksi Bosan Berisik Lab berjudul sama—yang saat ini sedang berkelana di festival film internasional di Busan dan Tokyo dengan judul bahasa Inggris “The Carousel Never Stops Turning”.
#MobilBekas adalah buku saya yang ke-12, novel saya yang ke-6, sekaligus karya perdana yang saya tulis berdasarkan film layar lebar.
Novel ini akan segera diterbitkan oleh Bentang Pustaka


Rahasia Menembus Penerbit Ala Bernard Batubara!

$
0
0

Foto oleh: Nuri Arunbiarti


Saya selalu mengira bahwa zaman sekarang semua orang serba tahu akan segala hal. Atau setidaknya mudah untuk mengetahui yang belum diketahui. Atas dasar pikiran seperti itu, saya jarang sekali menyebarkan informasi yang saya anggap sudah diketahui secara umum. Salah satunya yang terkait dengan dunia penulis: mengirim naskah ke penerbit.

Anggapan saya, semua orang sudah tahu bagaimana cara mengirim naskah ke penerbit. Kalaupun belum, saya kira merupakan sebuah common sense untuk mencari tahu di Internet. Maksudnya, kalau enggak tahu cara mengirim naskah, bukankah langkah logis yang merupakan solusinya adalah mengetik di Google: “Cara mengirim naskah ke penerbit”?

Saya tidak tahu apakah ini sudah dilakukan oleh teman-teman yang ingin tahu cara mengirim naskah. Kalau kamu melakukannya, pada halaman pertama saja sudah banyak panduan cara mengirim naskah yang saya kira cukup jelas. Jadi, apa gunanya lagi saya membuat tulisan ini?

Faktanya, meski tidak setiap hari, cukup banyak ternyata teman-teman yang mengirimi saya e-mail dan pesan di Instagram bertanya bagaimana cara mengirim naskah ke penerbit. Mau saya jawab, kok rasanya malas. Tidak saya jawab, rasanya ada tanggungjawab moral sebagai penulis untuk berbagi informasi. Tapi ya capek juga kalau setiap ada pertanyaan seperti itu dari orang yang berbeda, saya harus mengetik ulang jawaban yang sama.

Jadi, ya sudah, saya bikin saja tulisan ini. Bisa jadi yang dibutuhkan teman-teman bukan sekadar panduan teknis mengirim naskah, melainkan tips tertentu yang membuat kemungkinan naskah diterima semakin mungkin. Kalau perlu langkah-langkah jitu yang menjamin seratus persen penerbit mustahil menolak menerbitkan naskahmu!

Sepuluh tahun berkarir di dunia penulisan kreatif dan di antaranya satu tahun bekerja di sebuah penerbitan sebagai editor, berikut ini beberapa hal yang bisa saya bagi. Saya tidak jamin apakah daftar ini otentik dan belum ditulis oleh penulis ataupun penerbit lain, tapi ini tips dari Bernard Batubara gitu loh.




Masa iya enggak bisa dipercaya?


1. Rapikan Naskahmu

Sejelek apapun naskahmu, kalau diketik dengan rapi, editor masih mau baca setidaknya beberapa halaman lebih banyak daripada naskah yang penulisannya amburadul. Apa itu artinya naskah yang rapi? Artinya secara visual, teks di halaman-halamanmu mudah dibaca.

Bagaimana caranya membuat naskah yang rapi? Jangan pakai font isi Wingdings dengan ukuran 36. Yang wajar-wajar saja. Setiap penerbit memiliki ketentuannya sendiri, tapi kira-kira yang saya pakai ini aman dan bisa dicontoh:

Font: Cambria
Size: 12
Line spacing: 1.15
Page size: A4
Margin: Default MS Word

Kamu boleh mengganti Cambria dengan Times New Roman, Calibri, atau apapun (kecuali Wingdings). Intinya biar enak dibaca aja gitu loh. Bagaimana caranya meyakinkan penerbit bahwa naskahmu itu calon megabestseller internasional kalau hasil ketikannya sulit dibaca?


2. Sesuaikan Genre

Naskah yang ditolak tidak selalu berarti naskah tersebut jelek atau belum layak diterbitkan (meskipun memang seringkali demikian), tapi juga bisa karena naskahmu tidak sejalan dengan visi penerbit yang kamu kirimi naskah. Bagaimana saya bisa mengirim naskah tentang budidaya ikan siluk dan berharap diterbitkan Gagasmedia? Atau naskah anjuran menjadi ateis dan berharap diterbitkan oleh Qultum Media?

Sebagai penulis atau calon penulis, sangat penting untuk mempelajari karakter terbitan setiap penerbit, terutama penerbit yang kamu incar. Apakah penerbit tersebut sudah pernah atau sering menerbitkan buku-buku seperti naskah yang sedang kamu tulis? Beberapa penerbit mainstream saat ini memang memperluas jenis terbitannya sehingga memberi peluang lebih lebar bagi beragam genre, tetapi kamu tetap perlu memastikan apakah kamu menyasar penerbit yang tepat.

Kadang-kadang penulis mengerjakan naskahnya tanpa mengetahui jenis naskah seperti apa sebenarnya yang sedang dia kerjakan. Ini juga perlu diperhatikan. Paling tidak kamu tahu apakah naskahmu karya fiksi atau nonfiksi? Kalau fiksi, apakah karyamu fiksi roman urban, horor, sejarah, remaja, komedi, atau fantasi? Kalau nonfiksi, apakah karyamu bertema kisah perjalanan naratif, panduan melakukan sesuatu, atau buku pendamping pelajaran?


3. Penerbit Mainstream atau Indie?

Dulu, bedanya cukup kentara antara penerbit mainstream dan indie. Sekarang, tidak lagi. Selain soal modal dan jumlah terbitan (dan tentunya kedua hal ini saling berkaitan) saya kira tak lagi ada bedanya antara penerbit mainstream dan indie. Beberapa penerbit indie kini menggunakan sistem seleksi, kurasi, penyuntingan, yang sama ketat dan teraturnya dengan penerbit mainstream.

Pemasaran? Keduanya kini sama-sama mengandalkan jalur-jalur daring (penerbit indie yang punya modal cukup besar atau dengan pertimbangan tertentu juga memasukkan beberapa produknya ke toko buku jaringan) di samping acara-acara offline seperti talkshow, diskusi buku, dan acara komunitas.

Kualitas? Apalagi ini. Saya kira sulit mencari hubungan antara kualitas buku dengan jenis penerbitnya. Buku bagus maupun jelek sama-sama bisa ditemukan baik itu di penerbit mainstream maupun indie. Mutu cetakan? Ini mungkin agak berbeda. Penerbit mainstream umumnya memiliki kualitas produk lebih baik dibanding beberapa kasus buku penerbit indie. Mungkin karena sudah pengalaman produksi buku. Namun, hal ini juga tidak bisa dikatakan perbedaan yang mendasar karena banyak buku dari penerbit mainstream dan indie yang mutu cetakannya sama saja.

Prestise? Saya mengerti jika teman-teman sangat ingin naskahnya diterbitkan oleh penerbit tertentu dengan alasan kayaknya keren dan bergengsi aja gitu. Persis seperti ketika kita mau masuk universitas. Bukan prospek kerja jurusan atau rekam jejak pengajarnya apalagi passion kita yang kita jadikan ukuran, tapi karena keren aja gitu kalau masuk kampus anu dan inu.

Sekarang saya bisa bilang, itu bukan hal yang penting-penting amat. Lebih penting untuk mengetahui apakah penerbit yang kamu incar punya visi yang sesuai dengan karakter naskahmu, punya rekam jejak yang baik mengenai cara memperlakukan penulis, mudah diajak berkomunikasi dan terbuka, bersemangat tinggi untuk sama-sama berkembang, dan memahami keinginan-keinginan kreatifmu sebagai penulis.

Jadi, mainstream atau indie? Kalau pengin naskahmu dicetak banyak, silakan coba tembus penerbit mainstream. Kalau kamu punya visi spesifik yang ternyata tidak atau belum dapat diakomodir penerbit mainstream, coba cari tahu ragam penerbit indie yang ada. Penerbit indie biasanya punya karakter terbitan yang relatif unik dan spektrum genre yang khusus.

Menurut saya, selain mencari tahu apakah naskahmu sebaiknya diserahkan ke penerbit mainstream atau indie, lebih penting mencari tahu naskah macam apa yang pengin kamu tulis, serta sesekali merenung agak dalam dan memikirkan kamu pengin jadi penulis yang seperti apa?


4. Jalur Pengiriman Naskah

Ada banyak cara mengirim naskah ke penerbit. Cara pertama melalui jalur reguler. Yang dimaksud dengan jalur reguler adalah kamu mengirim naskah melalui “pintu depan” penerbit dan meja redaksi. Caranya: mencari tahu alamat pengiriman naskah. Naskah bisa dikirim dalam bentuk cetak maupun berkas digital. Beberapa penerbit sekarang mengizinkanmu mengirim naskah ke e-mail mereka. Manfaatkan kemudahan ini. Kalau saya, sejauh ini masih memilih mengirimkan naskah cetak, karena sebagai editor dan pembaca saya lebih sanggup membaca dengan fokus yang baik naskah dalam bentuk fisik.

Jalur lainnya: kompetisi menulis. Penerbit-penerbit sering membuat kompetisi menulis novel, cerita pendek, bahkan puisi. Manfaatkan media sosial dan Internet untuk mencari tahu informasi mengenai kompetisi-kompetisi menulis. Biasanya para pemenang mendapat hadiah kontrak penerbitan. Meski demikian, waspada pada penipuan dan tidak perlu memaksakan diri untuk mengikuti semua kompetisi.

Satu lagi jalur yang kekinian: “caper” sama penerbit atau editor. Para editor penerbitan tidak lagi hanya duduk di balik meja redaksi menunggu naskah datang. Mereka aktif mencari penulis-penulis baru potensial. Mereka berselancar di kanal-kanal media sosial, forum-forum penulisan kreatif, dan tempat-tempat mana pun yang mungkin memiliki penulis-penulis potensial yang bisa diajak kerjasama.

Bagaimana cara kamu memanfaatkan ini? Rajin-rajinlah menulis di kanal-kanalmu. Twitter, Instagram, Youtube, bisa dipakai dan merupakan satu dari beberapa hal yang diperhatikan penerbit tetapi tidak mutlak. Namun, menurut saya, kanal paling penting dimiliki seorang penulis adalah blog. Mengapa blog? Blog memberi ruang lebih luas untuk memperlihatkan kemampuan kita menulis.

Ingat bahwa memang merupakan kenyataan umum jika kini banyak penulis datang dari dunia kanal-kanal media sosial yang sekilas terlihat tak ada kaitannya dengan dunia tulis-menulis, tetapi bagaimanapun pada akhirnya penerbit berharap kamu bisa menulis. Editor tidak mengerjakan naskahmu. Kamu sendiri yang harus menggarapnya.

Jadi, bukanlah sebuah dosa jika kamu saat ini adalah seorang vlogger atau seleb ask.fm dan berharap menerbitkan bukumu sendiri. Yang penting kamu punya cerita menarik dan berkehendak kuat untuk menulis, juga belajar meningkatkan kemampuan menulis.


5. Sewa Jasa Editor Lepas/Agen Naskah

Barangkali di Indonesia jasa agen naskah tidak lebih umum dikenal daripada editor lepas, meskipun keberadaan jasa editor lepas juga belum amat populer. Akan tetapi, jasa editor lepas atau agen naskah sangat berguna bagimu, terutama jika kamu sama sekali belum punya pengalaman bekerjasama dengan penerbit atau menembus industri penerbitan.

Editor lepas umumnya adalah orang-orang yang pernah bekerja di dunia penerbitan dan kemudian memutuskan membangun jasanya sendiri. Begitupun dengan agen naskah. Jika editor lepas biasanya menyediakan jasa penyuntingan, agen naskah bisa memberikan rekomendasi penerbit atau bahkan langsung menghubungkanmu dengan penerbit serta merekomendasikan naskahmu ke penerbit yang bekerjasama dengannya.

Keberadaan jasa editor lepas/agen naskah juga bisa ditemukan di kanal-kanal media sosial maupun Internet. Googling saja, atau rajin-rajin skrol-skrol Twitter, niscaya bakal ketemu satu-dua individu atau penerbit/percetakan buku yang menyediakan jasa semacam ini. Coba pakai jasa mereka jika kamu merasa butuh.

Saya sendiri menyediakan jasa konsultasi, review naskah, pendampingan penyuntingan naskah. Jika teman-teman tertarik, silakan hubungi saya melalui e-mail: benzbara@gmail.com. Saya akan beri informasi lengkap mengenai persyaratan, mekanisme, dan biayanya.




(Saya berteman dengan beberapa editor lain dan penerbit-penerbit tempat saya pernah bekerjasama, jadi saya bisa merekomendasikan naskah teman-teman ke mereka jika memang saya menyukainya. Sejauh ini sudah ada beberapa orang yang menggunakan jasa saya dan alhamdulillah semuanya puas. Saya merintis jasa ini karena merasa banyak penulis terutama yang berusia amat muda yang menginginkan jasa seperti ini, dan saya kira ini baik bagi perkembangan dan kemunculan penulis-penulis baru, sekaligus memudahkan kerja penerbit karena tinggal mencari naskah potensial di agen-agen naskah atau editor lepas)

-

Sekian yang dapat saya tulis tentang cara mengirim naskah ke penerbit. Memang terlihat umum-umum saja dan kurang teknis, tapi itu semata karena saya tak gemar menulis panjang tentang hal-hal yang terlalu teknis. Teman-teman bisa cari di Internet untuk poin-poin lebih teknis mengenai tebal naskah dan lain-lain.

Ada beberapa pertanyaan yang juga menarik yakni soal kontrak penerbitan bahkan pajak penulis. Soal ini lain kali akan saya bikin tulisannya sendiri.

Oh iya, maaf ya kalau ternyata rahasianya enggak rahasia-rahasia amat. Ya, memangnya cuma portal berita yang bisa bikin judul bombastis demi traffic?

Terima kasih, semoga berguna.


-->
Bara

Untuk Seorang Perempuan yang Memintaku Menjadi Hujan

$
0
0



Buku saya yang ke-13. Kumpulan prosa singkat bertema cinta. Bagi teman-teman pembaca yang sudah akrab dengan buku Luka Dalam Bara, buku ini menawarkan kelanjutan kisah serupa dengan perasaan-perasaan yang mungkin lebih sederhana memilukan.

Dicetak hard cover dan isi penuh warna, Untuk Seorang Perempuan yang Memintaku Menjadi Hujan akan edar di toko-toko buku jaringan Desember 2017.

Selamat menunggu dan kelak menikmati.


Hotel Nyaman di Malang Dekat Alun-Alun

$
0
0
Kalau kamu liburan di Malang, lokasi yang paling strategis untuk menginap adalah di kawasan sekitar alun-alun dan Balaikota Malang. Lokasi ini sangat strategis, berada di pusat kota dan dekat dengan fasilitas umum seperti stasiun, pusat kuliner dan perbelanjaan, dan pastinya mudah dijangkau dari kawasan manapun.
Belum punya gambaran mau menginap di mana selama di Malang? Beberapa hotel di dekat alun-alun ini bisa menjadi pilihanmu.

Hotel Tugu
sumber:tuguhotels.com

Letak hotel ini tepat berada di depan alun-alun tugu dan Balaikota Malang. Mudah saja menjangkau Hotel Tugu, dari Stasiun Kotabaru, kamu tinggal jalan kaki selama kurang dari lima menit untuk sampai disana.
Tidak hanya strategis, Hotel Tugu juga dikenal sebagai penginapan legendaris di Malang. Nuansa bangunan dan dekorasi dalam kamar yang bertema tradisional, dengan sentuhan Jawa yang amat kental, dan makanan lezat yang tidak akan kamu temukan di hotel lainnya.

Hotel Montana

sumber:sahidhotels.com

Hotel ini terletak sekitar 15 meter dari Tugu Malang. Bangunannya masih bergaya tradisional, dengan kamar yang nyaman dan bersih serta resto yang memiliki makanan lezat. Meski dari luar bangunannya nampak sederhana, namun setelah masuk ke dalamnya kamu pasti akan betah karena nuansanya sangat hangat dan akrab.

Splendid Inn

sumber:web.facebook.com/Splendid-Inn-Hotel-158728680849171

Bersebelahan langsung dengan Balaikota Malang, Splendid Inn adalah penginapan yang sudah berdiri sejak zaman Belanda. Bangunan hotel ini pun masih bernuansa Belanda, dengan gerbang yang sedikit nampak spooky, namun sebenarnya hotel ini bersih dan nyaman. Tak seseram bayangan orang.

Hotel Kartika Kusuma

sumber:panoramio.com

Hotel yang terletak di Jl. Kahuripan ini hanya sekitar 10 meter saja dari Tugu Malang. Bangunannya sederhana, namun hotelnya nyaman untuk ditinggali, dengan kamar-kamar yang bersih dan rapi. Di bagian depan hotel terdapat café yang menyediakan kopi dari berbagai daerah dengan suasana yang nyaman. Hanya dengan berjalan kaki ke depan hotel, megahnya Tugu Malang sudah terlihat jelas.

Same Hotel

sumber: @samehotelmalang.com

Hotel ini terletak di Jl. Pattimura, sekitar 500 meter dari Alun-Alun Tugu Kota Malang. Dibandingkan dengan beberapa hotel sebelumnya, Same Hotel termasuk baru, dengan bangunan yang tinggi menjulang. Dari hotel ini, kamu bisa melihat pemandangan malam kota Malang yang tenang.

Hotel Helios

sumber:traveloka.com

Letaknya sekitar 300 meter dari Alun-Alun Tugu, dan tempat ini adalah salah satu hotel budget terbaik di Malang. Setiap harinya ada banyak turis dari luar negeri yang menginap disana, sebagian besar adalah mereka yang ingin melanjutkan perjalanan menuju Gunung Bromo.

The 101 Hotel Malang

sumber:phm-hotels.com

Terletak di Jl. Cipto, hotel ini lokasinya sekitar 700 meter dari alun-alun Tugu. Selain kamar yang nyaman, The 101 Hotel Malang juga memiliki Sky Resto yang sudah terkenal dengan kelezatan makanan dan juga pemandangan yang cantik. Dari puncak hotel ini, pemandangan gunung-gunung yang ada di sekitar Malang nampak dengan jelas. Sangat cocok untuk tempat menginap bagi kalian yang sedang jatuh cinta di kota Malang.

Hotel Gajah Mada Graha

sumber:hotelgajahmadagraha.com

Di Jl.Cipto juga terdapat hotel Gajah Mada Graha yang juga nyaman dan bersih. Dari hotel ini, kamu bisa menuju alun-alun Tugu dengan mudah, dan ada banyak kuliner khas Malang yang ada di dekatnya, seperti bakso bakar pak Man yang nggak boleh kamu lewatkan.

-->
Masih ada banyak lagi hotel dekat Tugu yang nyaman dan bersih. Kamu tinggal memilih sesuai dengan kebutuhan dan juga budget buat liburan di Malang. ***

Mencari Rasa yang Dulu Pernah Ada

$
0
0


Apa yang menjadikan secangkir kopi terasa enak?

Sebagian orang akan menjawab kualitas kopinya dan menjelaskan panjang lebar tentang apa yang dimaksud dengan kualitas. Sebagian yang lain akan menjawab dengan siapa kopi tersebut diminum. Sisanya barangkali akan menjawab di mana dan pada momen seperti apa kopi tersebut dinikmati.

Saya punya jawaban lain: memori.

Menurut saya, hal yang membuat secangkir kopi terasa nikmat adalah memori yang menyertai detik-detik kopi tersebut masuk ke mulut dan perut kita.

-

Belakangan ini, saya sedang dilanda rasa rindu pada kampung halaman. Homesick, bahasa umumnya. Sudah sepuluh tahun lebih saya tinggal di Yogyakarta. Kampung halaman saya di Pontianak, Kalimantan Barat. Saya rutin mudik ke rumah orangtua paling tidak satu kali dalam setahun, biasanya setiap jelang bulan ramadan hingga usai acara lebaran.

Saya hampir tidak pernah merasa homesick sebelumnya. Saya senang-senang saja tinggal di Yogyakarta dan merasa cukup pulang kampung satu kali setahun. Toh, di waktu-waktu tertentu saya menelepon ibu, ayah, atau adik saya, dan bagi saya itu sudah cukup untuk membuat hati terisi kembali oleh kabar baik dari rumah. Saya tidak merasa perlu untuk setiap satu kali sebulan pulang.

Namun, belakangan ini saya merasakan rindu yang lebih kentara dari sebelum-sebelumnya terhadap rumah. Saya tidak tahu penyebab yang persis. Mungkin karena memang sudah cukup lama saya tinggal di Yogyakarta. Mungkin sedang tidak ada hal baru yang menarik perhatian saya di kota ini khususnya. Mungkin saya merasa ingin melakukan hal baru di rumah.

Saya merasa ada sesuatu yang hilang.

-

Setengah tahun belakangan, saya rutin menyeduh kopi sendiri di kamar indekos di Yogyakarta. Perjalanan hidup telah membawa saya bertemu dengan orang-orang dari dunia kopi. Mereka orang-orang yang menyenangkan karena tak sungkan berbagi kepada saya tentang apa yang mereka sukai: kopi. Saya mulai penasaran dan akhirnya memutuskan untuk mempelajari kopi lebih dalam.

Semenjak itu, saya bertemu dengan cukup beragam jenis kopi. Kopi dari dalam negeri maupun luar negeri. Kopi yang disangrai dengan beragam cara maupun yang menjalani proses beragam pula. Kopi-kopi tersebut memberi warna bagi pemahaman saya terhadap salah satu minuman yang sangat populer di dunia ini. Semakin hari, saya semakin bersemangat mengenal kopi.

Lantas, pada suatu pagi yang biasa-biasa saja, saya merasakan kerinduan itu. Rasa rindu pada kampung halaman. Rasa rindu pada secangkir kopi yang ada di kota kelahiran saya, Pontianak.

Saya merindukan secangkir kopi susu yang sederhana saja. Secangkir kopi susu yang saya nikmati sembari membaca lembar-lembar koran, tatkala saya duduk di warung kopi yang menghadap ke jalan raya yang dilintasi kendaraan-kendaraan dan sesekali rintik hujan.

Namun, saya tidak bisa segera pulang kampung. Masih ada pekerjaan dan urusan-urusan yang harus saya selesaikan di Yogyakarta, tempat saya tinggal. Aduh, bagaimana caranya?

Bagaimana menemukan rasa yang dulu pernah saya nikmati?

-

Sepulang dari bekerja di luar, saya menyempatkan diri mampir ke minimarket di dekat indekos. Saya mengambil satu pak Kopi Kapal Api rasa kopi susu. Saya ingin menikmati sesuatu yang membuat saya teringat pada warung kopi di kampung halaman.

Esok paginya, saya menyeduh secangkir kopi susu Kapal Api. Aromanya seketika membuat saya terlempar ke bangku plastik di halaman depan warung kopi di kota kelahiran. Cuaca riuh kota dan kendaraan-kendaraan menyala dalam kepala.

Apa yang membuat secangkir kopi menjadi nikmat? Memori. Apa yang membuat kita selalu kembali pada kopi? Karena ada rasa tertentu yang kita rindu.

Menakjubkan ketika menyadari bagaimana secangkir kopi dapat membuat saya mengingat sesuatu, atau mewakili ingatan-ingatan saya akan tempat-tempat dan perasaan-perasaan tertentu. Untuk alasan tersebut, saya merasa Kapal Api memang jelas lebih enak. Karena secangkir kopinya dapat membuat saya menebus rindu pada kampung halaman.

Akhirnya, karena Kopi Kapal Api , saya menemukan kembali rasa yang dulu pernah ada.

-

Hei, penulis dan pencinta kopi!

Tahu enggak kalau sekarang Kapal Api membuat kompetisi blog. Bagi kamu yang punya blog dan senang menulis, harus ikutan kompetisi #KapalApiPunyaCerita.

Caranya? Gampang sekali. Buka halaman ini: #KapalApiPunyaCeritaBlog Competitiondan ikutin ketentuannya. Menangkan Samsung Galaxy Note 8 serta 50 voucher belanja senilai Rp 200.000,- jadi rugi kalau enggak ikutan.

Semoga beruntung!




Tiga Buku 2017

$
0
0


Tiga buku saya yang terbit tahun 2017. Dua kumpulan tulisan pendek bertema cinta dan satu novel adaptasi dari film layar lebar. Ketiganya masih tersedia dan bisa dibeli di toko-toko buku konvensional maupun online.

Luka Dalam Bara belum lama ini meraih penghargaan Anugerah Pembaca Indonesia 2017 yang diselenggarakan oleh Goodreads Indonesia, kategori Sampul Buku Fiksi Terfavorit (Ilustrator: Alvin Resqy), sedangkan Mobil Bekas dan Kisah-Kisah dalam Putaran dan Untuk Seorang Perempuan yang Memintaku Menjadi Hujan baru saja rilis.

Tahun depan ada buku baru? Belum tahu. Kita nikmati dulu sisa-sisa tahun ini sembari membayangkan yang seru-seru untuk tahun 2018.





10 Buku Favorit di 2017

$
0
0




Sejujurnya saya kurang happy dengan pencapaian membaca saya di tahun ini, terutama menyangkut jumlah buku yang saya baca. Sejak saya merekam daftar buku yang saya baca di Goodreads, dari tahun ke tahun jumlah buku setiap tahunnya semakin sedikit saja. Tahun ini saya hanya membaca 19 buku dari target 50 buku. Berarti rata-rata saya membaca tidak lebih dari 2 buku setiap bulannya.

Penyebab paling utama dari menurunnya jumlah buku yang selesai saya baca di tahun ini adalah saya menemukan kegemaran baru: belajar menyeduh kopi. Saya berkenalan dengan banyak teman baru dari dunia kopi. Bahkan, saya sempat ikut "sekolah" kopi. Selama beberapa bulan penuh praktis saya tidak membaca buku apapun. Meski sebenarnya dalam masa-masa belajar tentang kopi, saya membaca beberapa buku tentang kopi.

Dalam rangka menjaga tradisi, seperti tahun-tahun sebelumnya, saya akan menulis daftar buku-buku favorit yang saya baca di tahun ini. Karena saya hanya membaca tidak lebih dari dua puluh buku, jadi membuat daftar ini sama dengan mengambil separuhnya. Untunglah, buku-buku yang saya baca memang kebanyakan bagus, jadi tak begitu sulit memilihnya.

Berikut 10 buku favorit yang saya baca sepanjang tahun 2017:


1. Brave New World (Aldous Huxley)

Novel distopia yang lebih mencekam dari sensasi yang diberikan 1984 George Orwell. Saya menganggap hubungan George Orwell dan Aldous Huxley seperti guru dan murid, karena sama-sama penulis Inggris dan jarak kelahirannya hampir satu dekade. Brave New World dibuka dengan adegan yang mengerikan: sekelompok pelajar diajak study tour ke gedung yang berisi pabrik bayi. Kekuatan novel ini ada pada visi distopia Aldous Huxley, yang sangat relevan dengan pemikiran apapun tentang bagaimanakah itu dunia yang stabil.


2. Other Colors: Essays and A Story (Orhan Pamuk)

Kumpulan tulisan nonfiksi Orhan Pamuk. Kebanyakan tentang masa kecil, keluarga, tips membaca dan menulis, dan tentu saja: Istanbul. Ada juga satu bab yang berisi ulasan Orhan Pamuk atas buku-buku yang pernah dia baca. Tulisan-tulisannya pendek dan enak dikunyah. Kalau sudah pernah baca dan suka novelnya Orhan Pamuk, di buku ini akan kelihatan bagaimana cara Pamuk memandang seni penulisan novel, yang kemudian menjadi landasan praktis saat dia menuliskan novel-novelnya. Ada bonus satu cerita pendek di akhir buku, bercerita tentang almarhum ayahnya dan Pamuk kecil.


3. Slaughterhouse-five (Kurt Vonnegut)

Novel tentang pengalaman Kurt Vonnegut jadi pasukan Amerika waktu Perang Dunia Kedua. Seperti biasa, isinya lucu. Tapi dibanding, misalnya, Gempa Waktu atau Cat's Cradle, yang ini lebih gelap dan terasa lebih serius. Mungkin karena Vonnegut mengalami sendiri apa yang dia tuliskan. Saya bayangkan tentu sulit melucu tentang perang jika betul-betul pernah berada di dalamnya. Menurut review yang umum, ini buku Vonnegut paling notable. Saya sendiri masih lebih suka Gempa Waktu.


4. Human Acts (Han Kang)

Novel polifonik berlatar sejarah tentang pemberontakan sipil di Korea Selatan yang dikenal dengan sebutan Gwangju Uprising, tahun 1980. Buku ini lebih brutal dibanding The Vegetarian, debut Han Kang di dunia sastra internasional. Satu lagi karya yang menegaskan pertanyaan-pertanyaan Han Kang tentang kekerasan dalam diri manusia, dan adakah kemungkinan memiliki jiwa yang polos nan bersih di dunia yang bersimbah kekerasan. Rada bernuansa sureal karena ada bab yang dituturkan oleh mayat (sedikit mengingatkan pada My Name Is Red Orhan Pamuk).


5. The White Book (Han Kang)

Buku Han Kang yang berbentuk cukup unik. Awalnya saya mengira buku ini novel, tapi ketika saya baca ternyata secara format lebih mirip kumpulan puisi. Tapi enggak juga bisa dianggap sepenuhnya sekadar kumpulan puisi karena alur ceritanya cukup jelas. Saya tidak bisa menamai buku ini buku puisi atau novel, atau bahkan sekadar kumpulan prosa. Hal yang penting buat saya adalah bukunya bagus. Soal isinya, buku ini masih bertema kekerasan. Kali ini dituturkan melalui dunia perempuan dan gagasan-gagasan tentang kehamilan, kelahiran, kehidupan, dan kematian. Buku Han Kang paling menyentuh yang pernah saya baca.


6. Sapiens (Yuval Noah Harari)

Buku nonfiksi dari sejarawan Israel. Tahun ini sepertinya jadi salah satu karya nonfiksi yang populer di dunia. Isinya tentang rangkuman sejarah manusia yang dibagi atas tiga periode revolusi (Revolusi Kognitif, Revolusi Pertanian, Revolusi Sains) serta spekulasi-spekulasi tentang masa depan manusia. Bahasanya mudah dicerna dan cukup provokatif. Memang tidak begitu detail karena penulisnya sendiri mengaku dia terpaksa melakukan generalisasi untuk memberikan gambaran umum atas periode kehidupan manusia yang sangat panjang. Buku "lanjutan" dari ini, Homo Deus, juga bagus.


7. Homo Deus (Yuval Noah Harari)

Sekuel Sapiens. Jika Sapiens berisi rangkuman sejarah manusia dari kali pertama ada di bumi hingga masa saat ini, Homo Deus lebih banyak memberikan situasi perkembangan sains dan pengaruhnya terhadap visi manusia dan kehidupan di masa depan. Seperti buku sebelumnya, juga banyak spekulasi menarik yang ditawarkan Yuval Noah Harari di sini, termasuk narasi tentang usaha-usaha korporasi besar dunia mengatasi kematian dan menjadi manusia amortal.


8. Muslihat Musang Emas (Yusi Avianto Pareanom)

Kumpulan cerita dari salah satu penulis Indonesia kesukaan saya. Seperti biasa, lucu dan sedih. Secara umum menggagas pandangan tentang nasib buruk manusia. Beberapa cerita mengangkat persoalan gender. Hal ini menurut saya cukup menarik karena buku Yusi sebelumnya, Raden Mandasia Si Pencuri Daging Sapi dipandang beberapa pembacanya terutama perempuan sebagai karya yang tidak begitu sensitif menghadapi persoalan gender (kentara male gaze). Tebakan saya buku ini akan masuk daftar pendek Kusala Sastra Khatulistiwa 2018.


9. Max Havelaar (Multatuli)

Novel sejarah bertema kolonialisme dari penulis Belanda bernama asli Eduard Douwes Dekker, yang dikenal pula dengan nama Multatuli (bahasa latin yang berarti "aku telah banyak menderita"). Saya punya kebiasaan buruk menduga novel-novel berlatarkan sejarah sebagai karya fiksi yang lambat dan membosankan. Sebagaimana dugaan saya keliru setelah membaca tetralogi buru Pramoedya Ananta Toer, sekali lagi dugaan saya yang ceroboh itu dipatahkan dengan telak oleh buku ini. Max Havelaar sangat lucu, menghibur, dan menyakitkan. Dengan narasi penuh sarkasme dari karakter-karakter yang kuat, buku ini membongkar sistem pemerintahan kolonial dari dalam, mengungkap praktik-praktik kolonialisme yang menyengsarakan masyarakat jajahannya. Setelah baca buku ini saya jadi paham mengapa Eduard Douwes Dekker menamai dirinya Multatuli.


10. We (Yevgeny Zamyatin)

Sudah baca 1984 George Orwell dan Brave New World Aldous Huxley? Perkenalkan, salah satu dedengkot genre distopia: Yevgeny Zamyatin. Novelnya We, dianggap oleh banyak orang sebagai karya yang menginspirasi Orwell dan Huxley menuliskan masing-masing karya tersebut barusan. Orwell bahkan menerima cukup banyak cemoohan keras dari orang-orang yang membaca We. Mereka menuduh Orwell menjiplak habis tubuh cerita We. Saya sendiri sebenarnya enggak sengaja ketemu buku ini. Asli, bagus banget. Bocoran penting: saya sedang menerjemahkan karya ini ke bahasa Indonesia, doakan bisa terbit tahun depan.



Apa buku-buku favorit yang kamu baca tahun ini? Bagi dong!

20 Film Favorit di 2017

$
0
0



Dibandingkan buku, kesenangan saya yang lebih serius terhadap film bisa dibilang masih sangat baru. Serius yang saya maksud adalah dengan sengaja mencari rekomendasi film, sutradara, genre, seperti yang dilakukan seseorang saat melakukan riset. Dua tahun belakangan saya mencatat film-film yang saya tonton. Saya sempat melacak semua film layar lebar yang pernah saya tonton sejak kali pertama saya menonton, tentu saja sejauh yang bisa saya ingat. Isinya ternyata tidak begitu banyak.

Tahun ini, seperti yang saya lakukan pada buku, saya mencatat film-film yang saya tonton. Beberapa luput dari catatan karena kadang saya merasa filmnya tidak begitu menarik untuk diingat dan sisanya murni kelupaan. Saya mencoba menonton lebih banyak dan beragam. Film-film pendek, dokumenter, dan animasi, jadi area baru yang saya jelajahi. Awal tahun saya bahkan mengkhususkan diri menonton film-film animasi, dan mendapatkan beberapa film dan sutradara favorit.

Total ada 100 film lebih sedikit yang saya tonton sepanjang tahun 2017. Saya mencoba memilih beberapa di antaranya untuk dimasukkan ke daftar ini.

Berikut 20 film favorit yang saya tonton di tahun 2017:


1. The Lobster

Film romance yang rada ganjil karena aturan-aturan dunia di dalamnya. Aturan tersebut adalah bagi siapapun yang single pada usia mereka seharusnya memiliki pasangan (tidak begitu dijelaskan mengenai ukuran usia ini), akan dibawa ke sebuah hotel untuk menemukan pasangan mereka dalam kurun waktu 45 hari. Jika gagal, mereka akan berubah jadi binatang yang jenisnya mereka tentukan sendiri di awal mendaftar di hotel tersebut. Film ini jadi perkenalan yang menyenangkan bagi saya terhadap film-film Yorgos Lanthimos. Saya langsung mencari dan menonton film-filmnya yang lain, termasuk Dogtooth dan Alps, yang juga jadi favorit saya.


2. Dogtooth

Beberapa review menyebut film-film Yorgos Lanthimos bergenre distopia. Saya sendiri merasa label tersebut kurang pas; tapi juga belum menemukan yang lebih cocok, dan merasa tidak begitu penting menemukannya. Film ini bercerita tentang keluarga yang hidup dengan aturannya sendiri. Si ayah membuat aturan-aturan yang diterima anak-anaknya sebagai dogma. Dogma ini akan terasa absurd bagi kita penonton, tapi dalam bentuk yang lain sebenarnya kita sendiri juga menerima dan hidup dalam dogma sejenis. Sama seperti The Lobster, film ini pun gelap, mengerikan, dan amat relevan.


3. Alps

Masih dari Yorgos Lanthimos. Sutradara asal Yunani satu ini akan jadi favorit saya sepanjang masa. Gagasan-gagasannya yang "tidak populer" dibungkus dalam premis-premis cerita yang ganjil dan nyaris tak terpikirkan oleh saya, didukung dengan nuansa dan tonal film serta akting pemeran-pemeran yang menguatkan impresi keganjilan tersebut. Alps tentang sebuah grup kecil yang menyediakan jasa menggantikan sosok orang yang sudah meninggal. Konflik dimulai ketika terjadi kompetisi internal di dalam grup tersebut. Jika sudah menonton The Lobster dan Dogtooth, jangan lewatkan yang satu ini.


4. Being John Malkovich

Sepertinya tahun ini saya cukup banyak menonton film-film yang temanya rada absurd. Walaupun sesungguhnya yang absurd itu enggak absurd-absurd amat dalam pengertian yang absurd itu masih sangat relevan dan mungkin terjadi dalam wujud berbeda. Being John Malkovich film garapan Spike Jonze, tentang seorang pawang boneka yang secara tidak sengaja menemukan lorong untuk masuk ke kepala orang lain. Penemuan ini kemudian dijadikan lahan bisnis, dan dari sana plotnya jadi semakin menarik. Setelah film ini saya mencari film-film Spike Jonze dan Charlie Kaufman (penulis skenario) yang lain, termasuk Adaptation dan Synecdoche, New York, yang juga jadi favorit saya.


5. Adaptation

Film metafiksi tentang penulis skenario yang diminta mengadaptasi buku Susan Orlean, jurnalis Amerika. Kocak, dan karena metafiksi (belakangan saya tahu ada istilah metacinema) tentu terasa absurd juga. Tadinya saya kurang tertarik menonton karena pemerannya Nicolas Cage (saking jeleknya beberapa film Nicolas Cage terakhir yang saya tonton, saya sampai berusaha keras mengingat kenapa saya pernah menyukai aktingnya), tapi di film ini Nicolas Cage oke. Bisa jadi ini satu-satunya film Nicolas Cage yang bagus. Sedikit mengingatkan pada Stranger Than Fiction.


6. Synecdoche, New York

Menonton ini karena almarhum Philip-Seymour Hoffman. Ceritanya tentang sutradara teater yang hidupnya menyedihkan karena ditinggal istri dan anak, juga mengidap penyakit yang akan merenggut nyawanya. Dia kemudian menggarap satu lakon teater yang melibatkan sangat banyak aktor, yang memerankan orang-orang yang sungguh-sungguh ada di kehidupan sang sutradara. Rada metafiksi di dalam dirinya sendiri. Perlu sedikit lebih teliti mengikuti alurnya biar enggak kebingungan.


7. Dogma

Komedi fantasi tentang, yah, dogma. Banyak pemain yang saya kenal, di antaranya Alan Rickman. Sebagian besar memang menyinggung ajaran Katolik dan gereja, tapi relevan juga dengan agama samawi lainnya dan pandangan umum mengenai Tuhan. Lucu banget. Seperti komedi yang bagus, di dalamnya juga mengandung gagasan-gagasan yang serius.


8. The Godfather Trilogy

Iya, saya rada telat, tapi lebih baik daripada enggak sama sekali. Film yang memikat saya sejak adegan pertama. Karakter Don Vito Corleone membekas banget. Penjahat yang karismatik dan membuat saya menyukainya. Film pertama dan kedua yang saya paling suka. Bagian ketiga kurang menarik. Barangkali drama terbaik yang pernah saya tonton seumur hidup.


9. Embrace of the Serpent

Film yang mengubah cara pandang saya terhadap kemajuan dan peradaban, terhadap apa yang kita anggap sebagai progres dan yang primitif.


10. Chungking Express

Film Wong Kar-Wai pertama yang saya tonton. Kata seorang teman, film-filmnya Wong Kar-Wai itu Cancer banget. Kalau lagi butuh sesuatu yang membangkitkan melankoli dan kangen sama sesuatu yang bahkan enggak kita ketahui, tontonlah film-film Wong Kar-Wai, dimulai dari yang ini.


11. Amores Perros

12. 21 Grams

13. Tekkonkinkreet

14. Paprika

15. Grave of the Fireflies

16. Following

17. 5 Cm Per Second

18. Citizen Kane

19. All Quite on the Western Front

20. Kolya


Deskripsi buat sepuluh film terakhir belum ditulis karena malas, he he, nanti saya update. Sutradara favorit yang tahun ini banyak saya tonton filmnya: Yorgos Lanthimos, Wong Kar-Wai, Makoto Shinkai, Alejandro Gonzaléz Iñárritu, Spike Jonze.

Buku Baru: "Batu Manikam" (Shira Media, 2020)

$
0
0

 


“Batu Manikam menggorok lehernya untuk membebaskan tiga ekor burung yang telah hidup di situ sejak dia berupa janin.”


***

Ini merupakan novela pertama yang ditulis oleh Bernard Batubara.

Batu Manikam dengan tiga burung yang hidup dalam lehernya, bahkan sejak masih berupa janin. Plot Batu Manikam menembus batasan ruang dan waktu. Dikisahkan secara mendebarkan. Saintifik dan futuristik.

Setelah bertahun-tahun bergelut dengan kisah roman, kini dirinya beralih ke genre lain; thriller.

Jikalau dahulu prosa Bara dipenuhi bunga-bunga dan roman yang menyentuh hati, dunia fiksi ciptaan Bara kini tiba-tiba menjadi penuh darah, perjalanan waktu, dan hewan-hewan yang berbicara.

Sudah bisa dipesan di Shiramedia.com

Boredom

$
0
0

Boredom

A column by Bernard Batubara

 




Boredom comes.

 

Whatever you do, it comes. Sooner, or later. It comes at the point of comfortness. Have you felt comforted in your life? If you had, and you didn’t get boredom stood at the door of your thoughts, then you’re not a person who loves to be pushed back by a challenge.

 

But if you did see boredom stood in front of the door of your thought, you are a person who deserves the best thing in the universe.

 

Boredom is a sign of the boiling point of repetitive life. When you’ve repeated, I bet without any knowledge of your action, a certain activity, you’ll see boredom, walking to the porch of your consciousness.

 

When was the last time you did something for the first time?

 

The human brain learns. It can never accept repetition. The acceptance is boredom. That’s how a brain accepts the mundane of repetitive life. Life isn’t a repetition of activities, and should never be one. Life is the result of repetitions, the big bangs, but it isn’t in itself a repetition. I repeat, never in itself, life is a repetition.

 

Repetition comes as an occupation. You work every day. You repeat the same routine. You might love it, the first time you did it. But if you truly are a challenger, you won’t enjoy it twice.

 

A challenger never stops at the line of repeated routines.

 

A challenger begins again.

 

A challenger begins a new routine. And when the routine invites the footsteps of boredom, it swiftly reforms itself.

 

It will reform itself into a new routine and that’s the repetition in the life of a challenger.

 

The repetition of the ever-changing routine.

 

Are you a challenger?

 

I wish everybody is a challenger. The world will always be a perfect place to live if they are challengers. We’ll always have new technologies. There’ll always be new novels to read, the ones that new, not just the repetition of old ones because that’ll be the bell of the boredom. That’ll be the doom of life.

 

We don’t want it.

 

The evasion of this doom is an exceptionally nothing but a perfectly easy task. You do new things, voila, the doom is nowhere to be seen.

 

New things. That’s all.

 

When was the last time you did new things? If the answer comes to you easily, and the answer is just now, I’m here to congratulate your life. But if you need some time to reflects on your past months, finding none new, I suggest you hurry up, gear up, to do a thing new. Boredom is walking to the doorstep of your thought. And believe me, you’ll find a difficult time liking boredom.

 

Boredom speaks snail language. Extremely slow.

 

Not a modern person’s thing.

 

Human life has come to a point that it produces boredom. The repetitions of routines to produce whatsoever necessary through the commands of the owner of corporations has become the invitations of boredom, and this will not be a short term repetition. This will last forever.

 

We are the product of the revolutions, including one that we keep in mind as the industrial one.

 

Since then, boredom has been a regular invitee.

 

Worry not, another entity makes us what we are today, and we can rely on it because it helps us save our time, us as a modern person, that is impossible to waste even a bit second, to meet boredom at the door of our thought. That entity is money.

 

Let money be the helper to the problem of boredom.

 

Boredom isn’t just an invitee, it’s an officer, it asks us whether or not we paid our bills. In this very case, money is a perfect host in our humble home of thought.

 

Another perfect thing for us modern person who is inviter of boredom, is, unsurprisingly, to do a new thing and get money. That is the perfect thing because there are cases when perfection is nowhere to be found. Some of us are doing things that excruciatingly repetitive, that even though we got money, we still a doom maker.

 

Alas, there’s no new thing under the sun. But there’s a new way of doing no new thing. There’s also a new way of seeing and we call this perspective.

 

Perspective is the savior of mankind.

 

Perspective saves us from the doom.

 

Life isn’t a thing but a perspective. Through life we get perspective and through perspective, we live. It’s a cycle, and inside it, we breathe our sigh. A sigh that speaks the nonexistent of a challenge.

 

From this perspective, it’s now clear, that the very thing that has the responsibility to provide challenges for us, is ourselves. We mustn't allow us to subject this duty to another person but ourselves. It’s the ethic.

 

Let us ask ourselves, then, when was the last time we did something new? When did the last time we do what we wish to be done, using a new way of seeing?

 

Let us further advance the question, then.

 

When was the last time we challenge our perspective?

 

Boredom is an officer, not a guest. Its employer is our cognitive stage. The more we sharp our mind the stronger boredom will become.

 

Contemplating is the sole method to sail our life to the horizon of invincible happiness.

 

But in this modernity of life, is there a time to contemplate?

 

I’m sure there is.

 

The other word for contemplation is a review. There’s much time, enough to review our life.

 

 

 

 

Cover Reveal! "Banse Firius"

$
0
0

My new novel is soon to be published by Shira Media.

Cover design by Felisitas Dara (Instagram: @felsdar)


Thriller.

Tidak ada pilihan yang logis selain menulis novel thriller bagi saya.

Kehidupan saya setelah menikah dengan @felsdar merupakan kehidupan yang melaju kencang. Kami berdiskusi untuk meninggalkan nilai-nilai lama yang dipaksakan ke kami. Nilai-nilai lama itu mengekang saya, kehidupan pribadi saya, sebelum menikah dengan @felsdar.

Setelah nilai-nilai lama itu rontok dari kepala saya, thriller menjadi satu-satunya genre yang logis bagi kepala saya. Genre ini memungkinkan saya bercerita dengan niatan yang menggambarkan secara akurat, nilai-nilai lama yang telah rontok dari kepala saya. Nilai-nilai lama yang menyiksa BANSE FIRIUS.

Saya dan @shiramedia menawarkan sebuah bacaan yang pasti membuatmu melupakan persoalan hidup. Meskipun hanya berlaku sesaat, melupakan persoalan hidup dengan membaca BANSE FIRIUS akan mengembalikanmu ke kehidupan dengan keadaan kamu telah berubah menjadi manusia dengan pemikiran baru.

BANSE FIRIUS merupakan novela kedua di #SerialSINDIKATSATU.

Ilustrasi sampul oleh @felsdar. Saya sangat menyukai penerjemahan @felsdar atas Sigak. Sigak telah muncul di novela pertama #SerialSINDIKATSATU yaitu BATU MANIKAM. Pada ilustrasi sampul BANSE FIRIUS, @felsdar juga memberi @pembacabara visualisasi Banse Firius berdasarkan bayangannya setelah membaca draf pertama novela #BanseFirius. @pembacabara dapat melihat visualisasi Banse Firius di kuping jaket buku novela BANSE FIRIUS dan di bagian dalam novela terbaru saya ini. @felsdar menggambar ilustrasi isi untuk buku saya yang ke-18, BANSE FIRIUS. Saya juga menyukai visualisasi cerita BANSE FIRIUS yang diciptakan @felsdar. Saya yakin, @pembacabara tidak sabar melihat visualisasi BANSE FIRIUS di bagian dalam bukunya, yang dibuat @felsdar.

Nantikan prapemesanan novela kedua saya di #SerialSINDIKATSATU.

#BanseFirius


Follow me: @benzbara_





Persoalan Sementara (Jhumpa Lahiri)

$
0
0
Diterjemahkan dari buku Interpreter of Maladies  (Mariner, 1999)

-

Surat pemberitahuan bilang ini cuma persoalan sementara: selama lima hari ke depan akan ada pemadaman listrik di tempat mereka, mulai pukul delapan malam dan berlangsung selama satu jam. Satu jalur listrik rusak akibat badai salju terakhir, dan demi memperbaikinya teknisi menggunakan saat-saat malam hari yang cuacanya relatif lebih aman. Pekerjaan perbaikan itu hanya akan berdampak pada rumah-rumah di jalanan yang sunyi dengan barisan pohon di pinggir-pinggir, dekat dengan sederet ruko berdindingkan bata dan tempat troli, yang salah satunya ditinggali oleh Shoba dan Shukumar selama tiga tahun terakhir.

“Baik sekali mereka mau memberitahu kita,” Shoba berucap pasrah usai membaca pengumuman itu keras-keras, lebih ditujukan kepada dirinya sendiri alih-alih terhadap Shukumar. Ia menggeser tali tas kecilnya, yang penuh naskah, hingga terlolos dari pundak, dan membiarkannya tergeletak di lantai dekat pintu masuk rumah seiring ia melangkah ke dapur. Ia mengenakan mantel biru dongker, celana panjang katun abu-abu, dan sepatu kets putih-terlihat selayaknya perempuan 33 tahun yang pada masanya tidak pernah ingin ia jadikan teladan.

Ia baru pulang dari gym. Warna cranberrylipstiknya hanya terlihat pada bibir bagian luar dan bekas eyeliner tertinggal seperti jejak bubuk arang dekat bulu mata bawah. Di waktu-waktu tertentu ia memang jadi seperti ini, pikir Shukumar, kala pagi hari usai pesta atau nongkrong di bar, kala ia terlalu malas membasuh wajahnya dan terlalu ingin cepat-cepat jatuh ke dalam dekapan suaminya. Shoba menjatuhkan setumpuk surat begitu saja di atas meja tanpa menoleh. Matanya masih terpaku pada lembar pengumuman di tangan satunya lagi. “Tapi mestinya mereka ngerjain ini siang-siang.”

“Pas aku lagi di rumah, maksudmu,” kata Shukumar. Ia menggeser penutup kaca di atas panci berisi masakan daging domba, mengaturnya agar sedikit uap yang lolos. Sejak Januari ia bekerja di rumah, berusaha merampungkan bab akhir disertasinya soal pemberontakan agraris di India. “Kapan perbaikannya kelar?”

“Katanya sembilan belas Maret. Hari ini sembilan belas Maret, bukan?” Shoba mendekat ke papan styrofoam pada dinding di sebelah kulkas, yang di sana terdapat kalender bermotif artistik buatan William Morris. Ia menatapnya seakan-akan baru melihat benda itu, menyimak dengan serius motif pada separuh halaman kalender bagian atas, sebelum beralih ke baris dan kolom angka di bawahnya. Seorang teman memberi kalender tersebut sebagai hadiah Natal, kendatipun Shoba dan Shukumar tidak merayakannya.

“Kalau gitu, hari ini dong,” ujar Shoba. “Omong-omong, kamu ada janji sama dokter gigi Jum’at depan.”

Ia meraba giginya menggunakan lidah; pagi itu ia lupa menggosok gigi. Bukan hal baru. Seharian ia tidak keluar rumah, begitupun hari sebelumnya. Semakin lama Shoba berada di luar, semakin banyak pekerjaan yang istrinya lakukan, semakin ia ingin tinggal di rumah saja, tidak pergi bahkan hanya untuk mengecek isi kotak surat ataupun berbelanja buah atau anggur.

Enam bulan lalu, tepatnya September, Shukumar sedang menghadiri konferensi akademis di Baltimore tatkala Shoba berkantor-tiga minggu sebelum tenggat kelahiran bayi mereka. Ia enggan pergi ke konferensi tersebut, tapi istrinya memaksa; perhelatan itu penting baginya dalam membangun jaringan relasi, dan tahun depan ia akan mulai memasuki dunia kerja. Istrinya bilang ia sudah menyimpan nomor telepon hotelnya, dan salinan jadwal kegiatannya, dan nomor penerbangannya, dan ia sudah membuat janji dengan temannya Gillian agar di saat-saat darurat dapat mengantarnya ke rumah sakit. Tatkala pagi itu taksi menjemputnya untuk ke bandara, Shoba berdiri melambai kepadanya, dalam gaun terusan, dengan sebelah tangan ia letakkan santai di atas perut membuncit seolah-olah gundukan tersebut memang bagian tubuh yang sudah ada sejak awal.

Setiap kali ia memikirkan adegan itu, momen kali terakhir ia menyaksikan Shoba hamil, justru taksi yang menjemputnya yang paling ia ingat, sebuah station wagon-sedan panjang, merah dengan huruf-huruf biru. Bagian dalamnya jauh lebih luas dibanding mobil mereka. Kendatipun Shukumar memiliki tubuh setinggi enam kaki, dengan telapak tangan yang terlalu besar bagi saku jinnya, ia tetap merasa seperti kurcaci duduk di kursi belakang. Seiring taksi melaju di Beacon Street, ia membayangkan suatu hari ketika ia dan Shoba mungkin perlu membeli sebuah station wagon, untuk mengantar-jemput buah hati mereka menuju tempat les musik atau pergi ke dokter gigi. Ia membayangkan dirinya memegang setir, kala Shoba memutar badannya ke belakang demi menyodorkan sekotak jus buat anak mereka. Dahulu, bayang-bayang kegiatan mengasuh anak semacam ini mengganggu Shukumar, menambah-nambahkan kecemasan akan statusnya yang masih pelajar dan baru berusia 25 tahun. Tetapi, pada permulaan pagi hari musim gugur itu, tatkala pohon-pohon berat oleh daun-daun yang mulai menua, untuk kali pertama ia menyambut gambaran masa depan itu.

Di tengah-tengah konferensi tersebut, seorang panitia akhirnya berhasil menemukan ia di antara ruang-ruang dalam gedung yang semuanya kelihatan sama, dan kemudian menyerahkan kepadanya secarik memo. Hanya ada angka-angka, tapi Shukumar tahu itu nomor telepon rumah sakit. Saat ia kembali ke Boston, segalanya telah berakhir. Bayi mereka sudah wafat ketika lahir. Shoba tergolek di atas ranjang, tertidur, di dalam ruangan yang begitu kecilnya sampai-sampai tidak ada tempat cukup untuk berdiri di dekat istrinya, di lokasi yang berada pada sisi sayap rumah sakit yang tidak pernah mereka lihat waktu dibawa berkeliling dalam rangka tur persiapan orangtua baru. Ari-ari istrinya melemah dan ia melahirkan secara sesar, kendatipun ternyata tidak cukup cepat ditangani. Dokter menjelaskan bahwa hal seperti ini bisa terjadi. Ia tersenyum seramah yang ia bisa, dengan cara yang paling mungkin ia lakukan kepada orang yang hanya ia kenal secara profesional. Kondisi kesehatan Shoba akan membaik setelah beberapa minggu. Tidak ada indikasi bahwa ia takkan bisa mengandung lagi.

Belakangan, Shoba selalu raib pas Shukumar terbangun. Ia akan membuka mata dan menemukan helai-helai rambut hitam panjang istrinya yang menempel di bantal dan membayangkan istrinya sudah berbusana kerja, menyesap cangkir kopi ketiga, di ruang kantornya di pusat kota, tempat ia melacak kesalahan pengetikan buku-buku teks kemudian menandainya-dengan simbol-simbol yang suatu kali pernah istrinya jelaskan kepadanya-menggunakan sejumlah pensil berwarna. Istrinya berjanji akan melakukan hal sama buat disertasinya kalau ia sudah selesai. Ia merasa iri kepada pekerjaan istrinya yang begitu spesifik, tidak seperti pekerjaannya yang kurang jelas. Ia pelajar biasa yang dapat menyerap hal-hal rinci meski tanpa antusiasme sedikit pun. Hingga bulan September ia menjadi pelajar yang rajin, jika tidak berdedikasi, merangkum bab-bab, merancang kerangka argumentasi di atas lembaran-lembaran kuning. Tetapi, sekarang ia tergolek di kamar tidur mereka sampai bosan, memandangi lemari pakaian yang selalu Shoba biarkan setengah terbuka, memandangi deretan jas dan celana panjang korduroy bergantung di sana, yang tidak perlu ia pilih-pilih kala mengenakannya untuk pergi mengajar. Sepeninggalnya bayi mereka, ia sudah tidak bisa mundur dari tugas mengajar. Tetapi, pembimbingnya telah menyusun jadwal agar ia bisa rehat sepanjang semester musim semi. Saat itu, Shukumar kuliah tahun keenam. “Nah, dengan ini dan musim panas nanti pasti kamu akan semangat lagi,” begitu yang dikatakan pembimbingnya. “Bulan September kamu sudah bisa selesai.”

Tetapi, tidak ada yang membuat Shukumar kembali bersemangat. Alih-alih, ia merenungi bagaimana ia dan istrinya telah begitu ahli saling menghindar di dalam rumah berkamar tiga mereka, menghabiskan waktu sebanyak mungkin berkegiatan di lantai berbeda. Ia memikirkan bagaimana ia tidak lagi menunggu-nunggu akhir pekan, tatkala istrinya duduk berjam-jam di atas sofa dengan pensil berwarna dan naskah kerjaannya, sedemikian rupa sehingga ia khawatir memutar lagu di rumah sendiri merupakan perbuatan terlarang. Ia memikirkan tentang sudah begitu lama sejak kali terakhir istrinya menatap matanya dan tersenyum, atau membisikkan namanya di waktu-waktu yang kini telah langka, ketika mereka masih meraih tubuh satu sama lain sebelum akhirnya tertidur.

Pada mulanya ia percaya bahwa persoalan ini akan berlalu, bahwa ia dan Shoba bagaimanapun akan bisa melewatinya. Istrinya baru berusia 33 tahun. Ia orang yang tegar, dapat kembali berdiri di atas kakinya sendiri. Tetapi, pikiran ini pun tidak menghiburnya. Seringkali sudah hampir jam makan siang ketika Shukumar akhirnya beranjak dari tempat tidur dan turun demi secangkir kopi, menuang sisa dari teko yang Shoba tinggalkan untuknya-bersama sebuah mug kosong-di atas meja.


SHUKUMAR memunguti kulit bawang putih dan membuangnya ke tempat sampah, di atas tumpukan lemak domba. Ia menyalakan keran air bak cuci, membasuh pisau dan talenan, dan menggosok jarinya dengan potongan lemon demi menghilangkan aroma bawang putih-ia belajar dari Shoba. Jam menunjukkan pukul setengah delapan malam. Melalui jendela, ia melihat langit hitam tetapi agak pudar. Tumpukan salju yang tidak rata masih menutupi sisi-sisi jalan, kendatipun cuaca sudah cukup hangat hingga orang-orang bisa berjalan-jalan tanpa mengenakan topi ataupun sarung tangan. Saat badai terakhir, salju turun nyaris setebal tiga kaki, hingga selama seminggu orang-orang harus berjalan di satu jalur setapak sempit di sisi parit. Selama seminggu, itulah alasan Shukumar tidak keluar rumah. Tetapi, kini parit sudah mulai meluas, dan air mengalir lancar menuju saluran-saluran di bawah trotoar.

“Dombanya belum matang sampai nanti jam delapan,” ujar Shukumar. “Kita mungkin bakal makan sambil gelap-gelapan.”

“Kita bisa pakai lilin,” Shoba menganjurkan. Ia menggerai rambutnya yang seharian dicepol, kemudian mencopot sepatu kets tanpa melepaskan talinya. “Aku mandi dulu, sebelum mati lampu,” katanya, melangkah ke tangga. “Sebentar aja.”

Shukumar memindahkan tas dan sepatu istrinya ke dekat kulkas. Istrinya tidak pernah seperti ini. Ia biasa menggantung mantelnya, meletakkan sepatunya di rak, dan melunasi tagihan sesaat setelah mereka datang. Tetapi, kini istrinya memperlakukan rumah mereka selayaknya hotel. Fakta bahwa ada sofa kuning tabrakan warna dengan karpet Turki biru-marun di ruang tamu rumah mereka tidak lagi mengusiknya. Di teras belakang, sebuah tas putih masih tergeletak di atas kursi rotan panjang, berisi renda yang tadinya ingin ia jahit menjadi gorden.

Sementara Shoba mandi, Shukumar masuk ke kamar mandi di lantai bawah dan menemukan di bawah wastafel sebuah sikat gigi baru. Bulu sikat gigi murah yang kaku itu membuat gusinya berdarah, dan ia meludah ke wastafel. Di dalam keranjang besi di kamar mandi mereka ada banyak sikat gigi cadangan. Shoba membelinya ketika ada obral dalam sebuah acara yang dikunjungi orang-orang secara impulsif.

Istrinya memang begitu. Ia kerap mengantisipasi hal-hal tak terduga, baik maupun buruk. Jikalau ia menemukan rok atau dompet yang ia suka, ia akan membeli masing-masing dua. Istrinya menyimpan bonus gaji di rekening lain atas namanya. Itu tidak mengganggu Shukumar. Ibunya sendiri terpuruk tatkala ayahnya wafat, lantas pergi begitu saja meninggalkan rumah tempat ia tumbuh besar demi kembali pulang ke Calcutta, menyerahkan semua persoalan kepada Shukumar. Ia senang Shoba tidak begitu. Ia takjub melihat kemampuan istrinya berpikir jauh. Tatkala istrinya masih sering berbelanja, dapur mereka senantiasa sedia berbotol-botol minyak zaitun dan minyak jagung-bergantung apakah mereka akan membuat masakan Italia atau India. Ada berkotak-kotak pasta beragam bentuk dan warna, berkarung-karung beras basmati, potongan utuh domba dan kambing beku dari tukang daging muslim di Haymarket, terbungkus dalam jumlah yang mustahil dihitung. Di hari-hari Sabtu lain, mereka menyusuri deretan rak yang kelak Shukumar kenal betul. Ia menyaksikan tak percaya ketika istrinya membeli lebih banyak makanan, sembari ia mengekor sambil mendekap tas-tas karton, seiring istrinya menyeruak melewati kerumunan orang, dan meski masih sangat pagi sudah berdebat dengan para pedagang yang masih terlalu muda tapi sudah ompong, yang mengambil dari dalam tas karton coklat sejumlah sayur artikok, buah plum, kunyit, ketela, dan menimbang mereka, dan menyerahkannya ke Shoba. Istrinya tidak keberatan berdesak-desakan, bahkan saat dia sudah hamil. Istrinya tinggi, berbahu lebar, dan memiliki pinggul dengan bentuk yang dokter kandungannya bilang memang ditakdirkan untuk beranak. Dalam perjalanan pulang, seiring mobil mereka menikung di Charles, mereka akan terkagum-kagum mengetahui banyaknya makanan yang mereka beli.

Semua itu tidak pernah terbuang mubazir. Tatkala teman-teman mampir ke rumah mereka, Shoba akan membuat masakan yang kelihatannya butuh setengah hari mempersiapkannya, menggunakan bahan-bahan yang ia simpan dalam botol dan dibekukan, bukan bahan-bahan masak kalengan murah melainkan paprika yang sudah ia baluri dengan rosmarin, dan saus chatni yang ia masak di hari minggu dengan mengaduk buah prone dan tomat dalam air mendidih. Sejumlah toples beling miliknya yang masing-masing sudah dinamai berjejer rapi di rak-rak di dapur dan tersegel, cukup, mereka bersepakat, untuk kebutuhan anak hingga cucu mereka. Kini, semuanya telah mereka habiskan. Berangsur-angsur, Shukumar telah menggunakan seluruh pasokan, menyiapkan makanan untuk mereka berdua, mengukur centong nasi, memanaskan daging beku hari demi hari. Setiap sore ia menekuri buku resep istrinya, mengikuti instruksi yang sudah istrinya tandai dengan pensil, agar menggunakan dua sendok teh sahang alih-alih satu, atau memakai kacang polong merah alih-alih yang kuning. Setiap resep tersebut sudah diberi tanggal, menunjukkan kapan kali pertama mereka menyantapnya. Tanggal 2 April, sayur kembang kol dengan adas. Tanggal 14 Januari, ayam dengan kacang almond dan anggur hijau. Sesungguhnya ia tidak ingat pernah memakan semua masakan itu, tetapi buktinya semua tercatat rapi oleh tangan istrinya-seorang penata aksara. Kini, Shukumar menikmati memasak. Membuatnya merasa produktif. Kalau bukan karena dirinya, ia yakin, Shoba bakal menyantap semangkuk sereal untuk makan malamnya.

Malam ini, dalam gelap, mereka akan makan bersama. Sebelumnya, berbulan-bulan mereka memasak sendiri-sendiri, dan ia akan membawa piringnya ke ruang kerjanya, membiarkan makanannya menjadi dingin sebelum menyantapnya tanpa jeda, sementara Shoba membawa piringnya ke ruang tengah dan menonton televisi, atau mengerjakan naskah dengan satu set pensil warna di tangan.

Pada waktu-waktu tertentu di malam hari, istrinya akan menghampiri. Tatkala ia mendengar langkah-langkah kaki sang istri, ia akan menyingkirkan novel yang sedang ia baca dan mulai mengetik di komputer. Istrinya akan memegangi bahunya dan bersama dirinya menatap layar biru monitor. “Jangan diforsir kerjanya,” istrinya akan berkata demikian usai hening satu-dua menit, dan setelahnya beranjak tidur. Itu satu-satunya momen dalam seharian istrinya mencari dirinya, tetapi ia malah merasa ganjil. Ia tahu istrinya memaksakan diri. Suatu kali, istrinya akan menghabiskan waktu melihat-lihat dinding kamar yang pada musim panas lalu telah mereka hias dengan bingkai bebek-bebek berbaris dan kelinci-kelinci bermain terompet dan drum. Pada akhir Agustus sudah ada boks bayi berwarna ceri terletak di bawah jendela, sebuah meja untuk mengganti pakaian bayi berwarna putih dengan kenop hijau permen, dan kursi goyang dengan bantal motif kotak-kotak. Shukumar telah membongkar semuanya sebelum menjemput Shoba di rumah sakit, ia mencopot bebek-bebek dan kelinci-kelinci di dinding menggunakan spatula. Untuk beberapa alasan, kamar itu tidak menghantuinya sebagaimana terjadi pada Shoba. Pada Januari, tatkala ia sudah tidak lagi bekerja di kubikelnya di perpustakaan, dengan hati-hati ia memasang meja kerjanya sendiri di dalam kamar itu, sebagian karena kamar itu membuatnya merasa tenang, dan sebagian lagi karena kamar itu tempat yang paling Shoba hindari.


SHUKUMAR kembali ke dapur dan membuka laci satu demi satu. Ia mencari-cari sebatang lilin di antara gunting, pemecah dan pengocok telur, dan ulekan yang istrinya beli di sebuah pasar di Calcutta, yang ia gunakan untuk menumbuk bawang putih dan kapulaga, dahulu tatkala ia masih sering memasak. Akhirnya, ia menemukan senter, tapi tanpa baterai, serta sekotak lilin ulang tahun yang tinggal setengah terisi. Bulan Mei lalu Shoba memberinya kejutan pesta ulang tahun. Seratus dua puluh orang menyesaki rumah mereka-seluruhnya adalah teman-temannya sendiri, juga teman-temannya teman-teman mereka, yang kini perlahan-lahan mereka hindari. Sebotol anggur vinho verde berdiri santai dalam tumpukan es batu di sisi bathtub. Tatkala itu, Shoba sedang hamil lima bulan, dan ia meneguk jahe dari gelas koktail. Sebelumnya, ia membuat kue krim vanili dengan saus custard dan gula spun. Sepanjang malam, ia menggenggam jemari Shukumar yang panjang-panjang, dan melangkah di antara para tamu pesta.

Setelah September, satu-satunya tamu mereka hanya ibunya Shoba. Ia datang dari Arizona dan menginap di rumah mereka selama dua bulan sejak Shoba pulang dari rumah sakit. Setiap malam ia memasak, menyetir sendiri ke supermarket, mencuci pakaian mereka, dan merapikannya. Ia perempuan yang religius. Ia membuat tempat bersembahyang yang sederhana-sebuah pigura foto dewi berwajah ungu, piring berisi kelopak-kelopak bunga marigold-di atas meja nakas kamar tamu, dan berdoa dua kali sehari demi kesehatan bakal cucunya. Ia bersikap sopan terhadap Shukumar, kendatipun tidak begitu ramah. Ia melipat pakaian menantunya dengan keahlian seorang penjaga toko swalayan. Ia menjahit kancing baru untuk mantelnya dan membuatkannya skarf krem kecoklatan, yang setelah selesai ia berikan kepada menantunya tanpa ekspresi apapun, seakan-akan pemilik skarf itu baru saja menjatuhkan benda tersebut dan tidak menyadarinya. Ia tidak pernah berbincang dengan menantunya mengenai Shoba; sekali waktu, tatkala menantunya menyinggung soal wafatnya bayi mereka, ia mendongak sejenak dari kegiatan menyulamnya, lantas berkata, “Tapi kamu bahkan tidak ada di sana.”

Aneh sekali tidak ada satu pun lilin betulan di rumah ini, pikirnya. Aneh rasanya mengetahui Shoba tidak mempersiapkan apapun untuk situasi darurat yang lazim semacam ini. Sekarang ia mencari-cari sesuatu yang bisa dijadikan alas lilin ulang tahun itu, dan memutuskan memakai pot tanaman ivy yang biasanya diletakkan di jendela dekat wastafel dapur. Kendatipun tumbuhan dalam pot itu sudah setinggi beberapa inci, tanahnya begitu kering sehingga ia harus membasahinya terlebih dahulu demi menancapkan batang lilin-lilin ulang tahun di atasnya agar dapat berdiri tegak. Ia menyingkirkan semua benda di atas meja makan di dapur: tumpukan surat dan buku-buku dari perpustakaan yang belum dibaca. Ia teringat momen perdana mereka makan bersama di meja itu, tatkala mereka begitu antusias membayangkan akan menikah dan pada akhirnya dapat tinggal bersama di bawah satu atap-lebih tidak sabaran ingin bercinta daripada mengisi perut. Ia menyusun dua alas piring tenunan, kado pernikahan dari seorang paman di Lucknow, dan meletakkan piring serta gelas anggur yang biasanya mereka siapkan untuk tamu. Ia meletakkan pot tanaman ivy di tengah-tengah, berhiaskan sepuluh batang lilin ulang tahun. Ia menyetel radio pada frekuensi yang menyiarkan musik jazz.

“Apa ini?” ujar Shoba tatkala ia turun. Kepalanya terbungkus handuk tebal putih. Ia melepas handuk itu dan menggantungnya di atas kursi, membiarkan rambutnya yang hitam dan masih basah terkulai di punggungnya. Terbengong-bengong, ia melangkah ke arah kompor seraya meraih rambutnya yang kusut. Ia mengenakan celana panjang katun, kaus, dan mantel usang berbahan flanel. Perutnya kini rata, pinggangnya ramping menyambung dengan pinggulnya yang montok, dan sabuk mantelnya terikat dalam simpul pita.

Hampir pukul delapan malam. Shukumar meletakkan wadah berisi nasi di atas meja dan memasukkan kacang polong sisa kemarin ke microwave, kemudian memencet-mencet angka pada penunjuk waktu.

“Kamu masak rogan josh,” Shoba mengamati wadah kaca berisi rebusan paprika.

Shukumar mengambil sepotong daging domba matang, menyuwirnya cepat-cepat agar jarinya tidak melepuh. Ia mendorong bagian daging yang lebih besar menggunakan sendok demi melepaskan seluruhnya dari tulang. “Sudah siap,” ia berujar.

Microwave berbunyi tepat sesaat sebelum listrik padam, dan suara musik pun lenyap.

“Pas banget,” kata Shoba.

“Aku cuma nemu lilin ulang tahun ini.” Ia menyalakan pot ivy itu, lantas menyimpan sisa lilin serta korek di dekat piringnya sendiri.

“Nggak apa-apa,” kata istrinya, menyusuri pegangan gelas anggur dengan jemarinya. “Terasa romantis.”

Dalam suasana remang, ia tahu bagaimana istrinya duduk: agak condong ke depan, menyilangkan kaki, dan menyandarkan sikut sebelah kiri di atas meja. Tadi waktu ia mencari lilin, Shukumar menemukan sebotol anggur dalam kotak kayu yang ia kira kosong. Ia menjepit botol anggur di antara pahanya sembari menancapkan lalu memutar sumbat botol. Ia khawatir anggurnya tumpah, sebab itu selagi menuangnya ia memegang gelas begitu dekat ke pangkuan. Mereka berdua mengambil makanan sendiri-sendiri, mengaduk nasi memakai garpu masing-masing, memicing waktu menyingkirkan daun salam dari rebusan. Setiap beberapa menit Shukumar menyalakan lilin baru dan menancapkannya di atas pot tanaman.

“Rasanya kayak di India,” ujar Shoba, menyimak sang suami yang sedang berkutat dengan candelabra buatannya. “Kadang-kadang listrik padam sampai berjam-jam. Aku pernah datang ke annaprashana gelap-gelapan. Si bayi nangis nggak berhenti. Dia pasti kepanasan.”

Bayi mereka tidak pernah menangis, renung Shukumar. Bayi mereka tidak akan pernah dapat annaprashana--perayaan bagi bayi kala memakan nasi pertamanya--kendatipun Shoba telah membuat daftar tamu, dan sudah memutuskan siapa dari tiga abangnya yang akan ia minta untuk menyuapi bayi mereka; kelak setelah ia berusia enam bulan jika laki-laki, tujuh bulan jika perempuan.

“Kamu kepanasan?” ia bertanya kepada istrinya. Ia menggeser pot dengan lilin-lilin menyala menjauh ke sisi meja yang lain, ke arah tumpukan buku dan surat, membuat semakin sulit bagi mereka untuk saling melihat. Tiba-tiba ia merasa kesal tidak bisa naik ke ruangannya dan duduk di depan komputer saja.

“Nggak, kok. Ini enak,” kata istrinya, mengetuk piring dengan garpu. “Beneran enak.”

Ia menuang anggur untuk istrinya, yang membalas dengan ucapan terima kasih.

Dulu, mereka tidak pernah seperti ini. Sekarang ia harus berusaha keras menemukan topik yang menarik bagi istrinya untuk dibahas, topik yang dapat membuat istrinya mendongak dari piring atau naskah kerjaannya. Tetapi pada akhirnya ia berhenti mencoba. Ia belajar menerima kesunyian di antara mereka.

“Aku ingat dulu di rumah nenek, kalau sedang mati lampu kami harus mengatakan sesuatu,” lanjut Shoba. Ia hanya samar-samar menangkap wajah istrinya, tetapi dari nada bicaranya ia tahu istrinya sedang memicing, seolah-olah pandangannya berfokus pada satu benda yang jauh. Itu kebiasaan istrinya.

“Misalnya?”

“Terserah aja. Puisi, guyonan, atau informasi apa lah. Kalau kerabatku sering minta aku ngucapin nama teman-teman di Amerika. Aku nggak tahu kenapa hal itu menarik. Terakhir ketemu bibi, ia bertanya tentang empat gadis yang jadi teman sekolahku di Tucson. Aku bahkan sudah nggak ingat lagi.”

Shukumar tidak pernah tinggal lama di India sebagaimana Shoba. Orangtuanya, yang bermukim di New Hampshire, sering ke sana tanpa dirinya. Kali pertama ia berkunjung waktu masih bayi, ia hampir meninggal terkena disentri. Ayahnya orang yang mudah panik, takut membawanya kembali ke sana kalau terjadi sesuatu lagi, lantas menitipkannya dengan bibi dan pamannya di Concord. Tatkala beranjak remaja, setiap musim panas ia lebih memilih ikut pagelaran kemah mendayung atau mengudap es krim, ketimbang liburan ke Calcutta. Sepeninggal ayahnya bersamaan ia memasuki tahun-tahun akhir kuliah, barulah negara itu menarik perhatiannya, dan ia mempelajari sejarahnya dari buku-buku panduan selayaknya materi perkuliahan. Kini ia berharap bisa punya kisah masa kecil sendiri di India.

“Yuk,” ujar istrinya tiba-tiba.

“Yuk apa?”

“Ucapkan sesuatu.”

“Ucapkan apa? Aku nggak bisa melawak.”

“Nggak, bukan lawakan.” Istrinya berpikir sejenak. “Gimana kalau kita saling mengucapkan hal yang nggak pernah kita kasih tahu sebelumnya.”

“Dulu waktu SMA aku sering main beginian,” Shukumar mengingat-ingat. “Waktu kami lagi mabuk.”

“Maksudmu truth or dare. Nggak, ini beda. Oke, aku yang mulai.” Istrinya menyesap anggur. “Waktu pertama kali ke apartemenmu, aku mengintip buku alamatmu buat ngeliat ada namaku nggak di situ. Kalau nggak salah kita sudah kenal sekitar dua minggu.”

“Aku lagi di mana, ya?”

“Kamu lagi ngobrol di telepon sama ibumu, di ruangan lain. Aku pikir pasti kalian ngobrolnya lama. Aku penasaran apa kamu ngebahas aku.”

“Aku ngebahas kamu nggak?”

“Nggak. Tapi aku nggak menyerah. Nah, sekarang giliran kamu.”

Ia tidak bisa memikirkan apapun, tetapi Shoba menunggu ia mengatakan sesuatu. Bulan-bulan terakhir istrinya tidak pernah terlihat seniat ini. Apa lagi yang belum ia utarakan kepada istrinya? Ia mengingat-ingat saat mereka kali pertama bertemu, empat tahun lampau di dalam ruang kelas di Cambridge, tatkala sekelompok penyair Bengali tengah membacakan sajak-sajak. Mereka duduk bersisian di bangku kayu. Shukumar segera bosan; ia tidak paham kata-kata dalam sajak-sajak itu, dan tidak bisa ikut seperti hadirin yang lain ketika mereka mengangguk khidmat atau menarik napas panjang pada kalimat-kalimat tertentu. Alih-alih, ia mengintip koran di pangkuannya, dan mencari tahu ketinggian derajat suhu di kota-kota sepenjuru dunia. Kemarin tiga puluh dua derajat selsius di Singapura, sepuluh derajat di Stockholm. Tatkala ia menoleh ke kiri, ia melihat perempuan di sebelahnya sedang menulis daftar belanja di bagian belakang selembar map, lantas ia terkesima menyadari betapa menawannya perempuan itu.

“Oke,” katanya, sembari mengingat. “Waktu pertama kali kita pergi dinner, di restoran Portugis, aku lupa kasih tip buat waiter. Besoknya pagi-pagi aku balik ke sana, nyari tahu namanya, terus nitip uang ke manajer tempat itu.”

“Kamu jauh-jauh balik ke Somerville cuma buat ngasih tip?”

“Pakai taksi, kok.”

“Kenapa kamu lupa kasih tip?”

Lilin ulang tahun di meja padam, tetapi ia merekam wajah istrinya begitu jelas dalam kegelapan: sepasang bola mata besar yang mengerling, bibir tebal berona anggur, dan bekas luka jatuh dari kursi tinggi waktu kecil masih tampak berbentuk seperti tanda koma di dagunya. Hari demi hari, Shukumar menyadari, kecantikan istrinya yang dahulu membuatnya terkesima telah perlahan pudar. Kini istrinya butuh berdandan lebih tebal, bukan demi mempercantik dirinya melainkan, dengan suatu cara, justru menunjukkan karakter aslinya.

“Malam itu, pas kita udah mau selesai makan, perasaanku campur aduk dan kepikiran ingin menikahi kamu,” katanya, untuk kali pertama mengakui hal tersebut, terhadap dirinya sendiri juga istrinya. “Mungkin itu bikin aku nggak fokus.”


MALAM berikutnya Shoba pulang kerja lebih awal. Di dapur masih ada daging domba sisa semalam, dan Shukumar memanaskannya agar mereka sudah bisa makan malam pukul tujuh. Hari itu ia keluar rumah, berjalan di atas salju yang mulai mencair, demi membeli dari toko di sudut jalan sekotak lilin betulan dan baterai senter. Ia sudah memacakkan lilin tersebut di meja dapur di atas wadah berbentuk seperti kelopak teratai, tetapi mereka bersantap di bawah naungan sinar lampu berkap tembaga yang menggelantung di langit-langit di atas meja.

Tatkala mereka selesai, Shukumar terkejut demi menyaksikan istrinya menumpuk piring bekas makan mereka dan membawanya ke wastafel. Ia mengira setelah itu istrinya akan langsung beranjak ke ruang tamu mengoreksi naskah.

“Biarin saja piring kotornya,” ia berkata, seraya mengambil piring-piring itu dari tangan istrinya.

“Nggak, lah,” balas istrinya, lantas menuang setetes sabun cuci cair ke spons. “Sudah hampir jam delapan.”

Debaran di dadanya jadi lebih kencang. Sepanjang hari Shukumar telah menanti listrik padam. Ia memikirkan yang Shoba katakan semalam, tentang mengintip ke buku alamatnya. Rasanya menyenangkan mengingat-ingat sosok istrinya pada masa-masa itu, betapa pemberani sekaligus kikuk dirinya, dan betapa penuh harap. Mereka berdiri bersisian di hadapan wastafel, bayangan mereka memantul pada kaca jendela. Ia merasa malu, sebagaimana kali pertama ia berdiri bersisian dengan istrinya di depan kaca. Ia lupa kapan kali terakhir mereka berfoto. Mereka sudah tidak pernah lagi menghadiri pesta, tidak pernah lagi pergi ke manapun berdua. Foto-foto dalam kamera miliknya masih terdapat gambar-gambar Shoba, berada di halaman depan rumah, masih mengandung.

Selesai mencuci piring, mereka bersandar di meja wastafel, mengeringkan tangan dengan handuk kecil-ujung ini di tangan Shukumar, ujung satunya di tangan Shoba. Tepat pukul delapan, listrik pun padam. Shukumar menyalakan sumbu lilin, terpukau dengan apinya yang panjang nan tenang.

“Duduk di luar, yuk,” ujar Shoba. “Jam segini kayaknya masih hangat.”

Mereka masing-masing memegang sebatang lilin dan pergi duduk di atas anak tangga di beranda. Rasanya aneh duduk di luar rumah di waktu salju masih berjatuhan. Tetapi malam ini semua orang keluar rumah, udara yang segar membuat orang-orang terjaga. Pintu-pintu rumah membuka dan menutup. Kelompok kecil warga melintas dengan senter di tangan.

“Kami mau ke toko buku,” seru seorang pria berambut perak. Ia berjalan bersama istrinya, seorang perempuan kurus berjaket parasut yang membawa seekor anjing dengan tali kekang. Mereka keluarga Bradford, suatu kali pernah memasukkan ke kotak surat di rumah Shoba dan Shukumar sebuah kartu ucapan belasungkawa. “Katanya mereka punya genset.”

“Harusnya,” balas Shukumar. “Kalau nggak, kalian bakal cari buku gelap-gelapan.”

Istri tetangganya itu tertawa, lantas menggamit lengan suaminya. “Kalian ikut?”

“Nggak, makasih,” Shoba dan Shukumar menjawab serempak. Shukumar kaget dengan hal tersebut.

Ia menebak-nebak apa yang akan Shoba sampaikan kepadanya. Ia sudah memikirkan kemungkinan terburuk. Bahwa istrinya berselingkuh. Bahwa istrinya tidak suka ia sudah 35 tahun tetapi masih berstatus pelajar. Bahwa istrinya menyalahkannya karena ia dan ibunya berada jauh di Baltimore waktu istrinya melahirkan. Namun, ia tahu semua itu tidak benar. Istrinya setia, sebagaimana dirinya. Istrinya percaya kepadanya. Istrinya lah yang memaksanya pergi ke Baltimore. Apa lagi yang belum mereka tahu mengenai satu sama lain? Ia tahu istrinya mengepalkan tangan jikalau tidur, dan sedikit lasak jikalau bermimpi buruk. Ia tahu istrinya lebih suka semangka ketimbang melon. Ia tahu tatkala mereka pulang dari rumah sakit, hal pertama yang istrinya lakukan ketika masuk rumah adalah mengambili benda-benda dan melemparkannya ke lorong menjadi tumpukan: buku-buku dari rak, pot-pot tanaman dari jendela dapur, lukisan-lukisan dari dinding, foto-foto dari pigura, serta panci dan wajan dari gantungan dekat kompor. Shukumar tidak mencegahnya. Tatkala ia telah puas, istrinya berdiri memandangi tumpukan benda-benda itu, lantas bibirnya mengerucut seperti mau meludah. Kemudian, ia menangis.

Ia mulai menggigil duduk di anak tangga beranda. Ia merasa harus bicara lebih dulu, menganggap ini gilirannya.

“Waktu ibumu ke rumah,” akhirnya istrinya yang bicara. “Pas aku bilang terpaksa kerja lembur, sebenarnya aku pergi bareng Gillian dan minum martini.”

Ia mengamati paras istrinya, batang hidung ramping dan rahangnya kaku seperti pria. Ia ingat betul malam itu: ia makan dengan ibunya, lelah usai mengajar dua kelas berturut-turut, berharap Shoba ada bersama mereka agar istrinya bisa mengatakan sesuatu yang baik, karena dirinya senantiasa salah bicara. Sudah dua belas tahun sejak ayahnya wafat, dan ibunya berkunjung ke rumah mereka demi menemaninya berkabung. Setiap malam ibunya memasak makanan kesukaan ayahnya, lantas merasa begitu sedih dan kecewa mengetahui hanya ia sendiri yang menyantap makanan itu, dan airmatanya berlinang seiring Shoba mengusap-usap punggung tangannya. “Aku jadi ikut sedih,” kala itu Shoba berkata kepadanya. Kini, ia membayangkan Shoba bersama Gillian duduk di atas sofa beludru di bar-tempat yang biasa ia dan Shoba datangi usai menonton di bioskop-dan istrinya memastikan ekstra buah olive pesanannya ada di gelasnya, lantas mengambil sebatang rokok dari Gillian. Ia membayangkan istrinya curhat, dan Gillian bersimpati kepadanya atas kedatangan mertuanya. Gillian yang mengantar Shoba ke rumah sakit.

“Giliranmu,” sang istri membuyarkan lamunannya.

Di ujung jalan, Shukumar mendengar suara bor dan teriakan si teknisi. Ia memandangi fasad rumah-rumah berjejer di seberang jalan. Terlihat nyala lilin di jendela salah satunya. Terlepas cuaca yang sebenarnya sudah agak hangat, tampak asap membubung dari cerobong rumah itu.

“Aku nyontek pas ujian mata kuliah Peradaban Asia,” ujarnya. “Waktu semester akhir, ujian terakhirku. Ayah meninggal beberapa bulan sebelumnya. Aku bisa lihat kertas ujian orang di sebelah. Cowok Amerika, maniak. Dia tahu bahasa Urdu dan Sanskrit. Aku nggak ingat contoh puisi di soal itu ghazal atau bukan. Aku nyontek jawaban dia.”

Ia melakukan hal tersebut lebih dari lima belas tahun silam. Kini ia merasa lega telah mengungkap hal itu kepada istrinya.

Istrinya menoleh, tidak kepadanya melainkan sepatunya-mokasin lawas yang ia injak saja seperti memakai sandal, bagian tumitnya tergencet rata dengan alas sepatu. Ia menduga apakah istrinya tidak senang atas ceritanya barusan? Istrinya meraih tangannya dan menggenggamnya. “Kamu nggak perlu kasih tahu alasan kamu nyontek,” ujarnya, seraya bergeser mendekat.

Mereka duduk berdua hingga pukul sembilan, dan listrik pun kembali menyala. Mereka mendengar orang-orang bertepuk tangan dari beranda rumah masing-masing, dan televisi di rumah-rumah dihidupkan lagi. Keluarga Bradford berjalan melintas dan sembari menjilati es krim, mereka melambai. Shoba dan Shukumar membalas lambaian mereka. Kemudian, mereka berdua bangkit-masih bergenggaman tangan-dan masuk ke rumah.


BERIKUT-BERIKUTNYA, tanpa ada yang mengatur, situasi di antara mereka senantiasa berubah jadi arena mengumbar pengakuan-mengenai hal-hal sepele yang mereka lakukan demi mengecewakan satu sama lain, bahkan diri mereka sendiri. Keesokan hari Shukumar bimbang, antara harus mengaku soal ia menyobek foto seorang wanita di majalah langganannya dan menyelipkannya di buku yang ia bawa selama berminggu-minggu, atau mengaku bahwa ia sudah berbohong tatkala dulu berkata ia menghilangkan rompi rajutan yang istrinya berikan sebagai kado peringatan hari pernikahan mereka, dan bahwa ia menjual benda tersebut di Filene’s dan kemudian pergi minum-minum sendirian siang bolong di bar hotel. Pada hari itu, istrinya sudah memasak beragam hidangan untuk makan malam mereka. Rompi rajut itu membuatnya frustrasi. “Istriku kasih rompi rajut buat ngerayain nikahan kami,” ia curhat ke bartender, sedang kepalanya sudah goyang akibat cognag. “Lha, mestinya gimana?” balas si bartender. “Bung, kan, memang sudah nikah.”

Mengenai foto wanita di majalah, ia tidak paham kenapa ia menyobeknya. Bukannya wanita itu lebih cantik dari Shoba. Wanita itu mengenakan gaun payet, mukanya cemberut dan kakinya kurus seperti kaki pria. Kedua lengan wanita itu terangkat, tangannya mengepal di dekat wajah, dan berpose seperti hendak meninju dirinya sendiri. Gambar tersebut iklan produk stoking. Tatkala itu Shoba sedang mengandung, perutnya ujug-ujug membuncit, begitu buncit sampai Shukumar enggan menyentuhnya. Pertama ia melihat foto wanita itu ia sedang tiduran di samping istrinya, yang tengah membaca buku. Begitu ia melihat majalah tersebut di tempat sampah, ia menemukan foto wanita itu dan menyobeknya dengan sangat berhati-hati. Setiap hari selama seminggu, ia mengintip foto itu. Libidonya naik, tetapi setelahnya ia merasa jijik dengan dirinya sendiri. Itu satu-satunya aksi berselingkuh yang pernah ia lakukan.

Pada malam ketiga pemadaman listrik ia mengutarakan kepada istrinya tentang rompi rajut, dan pada malam keempat tentang foto wanita itu. Istrinya diam saja waktu ia bicara, tidak protes ataupun mencela. Istrinya mendengar saja, lalu meraih tangannya dan menggenggamnya seperti kemarin-kemarin. Pada malam ketiga pemadaman, istrinya bilang bahwa dulu suatu kali tatkala mereka pulang kuliah, saat ia mengobrol dengan seorang dosen, istrinya tidak memberitahu kalau ada remah-remah roti di dagunya. Kala itu istrinya sedang kesal kepadanya karena suatu hal, lantas membiarkan dirinya terus mengobrol dengan dosen mengenai beasiswa perkuliahan semester depan, tanpa memberi isyarat kepadanya bahwa dagunya kotor. Pada malam keempat pemadaman, ia mengaku bahwa sebenarnya ia tidak suka puisi yang pernah ia tulis, satu-satunya puisi yang ia tulis dan dimuat di suatu majalah sastra di Utah. Ia menulis puisi itu usai pertemuannya dengan Shoba. Istrinya bilang, puisinya kelewat sentimentil.

Hal baru telah terjadi semenjak pemadaman: mereka kembali mengobrol. Pada malam yang ketiga, seusai makan, mereka duduk di sofa, dan begitu listrik padam ia mengecup pipi dan kening istrinya dengan agak kikuk, dan kendatipun sudah gelap, ia tetap memejam, dan tahu istrinya melakukan hal yang sama. Pada malam keempat, mereka melangkah canggung menaiki tangga menuju kamar tidur, sama-sama diam sejenak ketika menjejak di lantai atas, kemudian bercinta dengan keputusasaan yang telah terlupa. Istrinya menangis tanpa suara, membisikkan namanya, dan dalam kegelapan menyusuri alisnya menggunakan jemari. Dalam percintaan mereka, ia memikirkan apa lagi yang harus ia ceritakan besok malam, apa lagi yang istrinya ceritakan-dan semua ini membuatnya bergairah. “Peluk aku,” ia berkata, “dekap aku.” Begitu listrik kembali menyala, mereka telah tertidur pulas.


PAGI pada hari terakhir pemadaman, Shukumar mendapat surat pemberitahuan dari perusahaan listrik: jalur listrik sudah kembali normal, lebih awal dari jadwal semula. Ia kecewa. Ia sudah berencana memasak udang malaikari buat Shoba, tetapi tatkala ia tiba di swalayan ia sudah tidak selera lagi. Suasananya bakal berbeda, ia pikir, kalau listrik tidak padam. Dalam pandangannya, udang-udang itu terlihat kurus dan tidak menarik. Kotak-kotak santan siap saji itu berdebu dan kemahalan. Kendati demikian, ia tetap membeli semua, beserta sebatang lilin aromaterapi dan dua botol anggur.

Istrinya pulang pukul setengah delapan malam. “Kayaknya permainan kita sampai di sini ya,” ujar Shukumar tatkala melihat istrinya membaca surat pemberitahuan.

Istrinya menoleh. “Kamu masih bisa nyalain lilin kalau mau.” Malam ini istrinya tidak berangkat ke gym. Ia mengenakan kemeja di balik mantelnya. Ia sudah memulas riasannya lagi.

Tatkala istrinya ke lantai atas untuk bersalin, Shukumar menuang anggur buat dirinya sendiri dan memutar lagu: album Thelonius Monk, favorit istrinya.

Setelah istrinya kembali, mereka bersantap bersama. Istrinya tidak bilang terima kasih atau memujinya. Mereka makan saja dalam cahaya remang-remang, diterangi pendar lilin aromaterapi. Mereka telah melewati masa-masa krisis. Mereka melahap habis udang di meja. Mereka meneguk tandas botol anggur pertama dan langsung membuka yang kedua. Mereka duduk di situ sampai lilin hampir habis. Istrinya menggeser posisi, dan sesaat Shukumar mengira ia akan mengatakan sesuatu. Alih-alih, istrinya meniup lilin hingga padam, beranjak dari kursinya, menyalakan lampu, kemudian duduk lagi.

“Nggak dibiarin gelap aja?” tanya Shukumar.

Istrinya menyingkirkan piring di hadapan dan memasang gestur serius. “Aku mau kamu lihat aku saat aku mengatakan ini…,” ujarnya tenang.

Jantungnya berdentam keras. Hari ketika istrinya memberitahu bahwa dirinya mengandung, ia bicara persis seperti ini, persis dengan ketenangan yang sama, seusai mematikan televisi saat ia sedang menonton pertandingan basket. Kala itu ia tidak siap. Sekarang sudah.

Hanya saja ia enggan mendengar jikalau istrinya mengandung lagi. Ia tidak mau berpura-pura senang.

“Aku sempat cari-cari apartemen, dan sudah dapat,” ujar istrinya seraya memicing, pandangannya terarah ke bahu kirinya. Bukan salah siapa-siapa, istrinya melanjutkan. Mereka sudah sama-sama lelah. Ia butuh menyendiri. Ia punya tabungan. Apartemen baru itu terletak di Beacon Hill, jadi ia bisa jalan kaki ke kantor. Ia sudah meneken kontrak sewanya tadi sebelum pulang.

Istrinya enggan menatap matanya, tapi Shukumar memandanginya lekat-lekat. Jelas sekali istrinya sudah melatih ucapannya. Selama ini ia menghabiskan waktunya mencari apartemen, mengecek tekanan air, bertanya ke agen properti apakah ada fasilitas air panas di sana. Semua ini membuat Shukumar pening-mengetahui istrinya melewati malam-malam belakangan mempersiapkan hidup baru tanpa dirinya. Ternyata inilah inti permainannya.

Kini, giliran ia bicara. Ada satu hal yang ia sudah bersumpah tidak akan memberitahu istrinya, dan selama setengah tahun terakhir ia berusaha tidak memikirkannya. Sebelum USG, istrinya meminta dokter merahasiakan jenis kelamin bayi mereka, dan Shukumar setuju. Istrinya ingin kejutan.

Kelak, tatkala mereka sempat beberapa kali membahasnya, istrinya bilang setidaknya mereka telah berbagi rahasia. Istrinya seperti bangga dengan keputusannya itu, sebab dengan demikian ia dapat mencari perlindungan di dalam ketidaktahuan. Shukumar tahu, istrinya mengira hal tersebut juga menjadi misteri baginya. Setahu istrinya ia terlambat kembali dari Baltimore-tatkala segalanya telah berakhir dan istrinya tergolek lemah di ranjang rumah sakit. Padahal tidak. Ia tiba cukup awal demi melihat bayi mereka, dan pula sempat mendekapnya sebelum upacara kremasi dilakukan. Awalnya ia tersentak dengan saran mendekap jenazah bayinya, tetapi dokter berkata mungkin hal itu dapat membantunya melalui proses berduka. Shoba sudah terlelap. Sang bayi sudah dimandikan, matanya terpejam untuk selamanya.

“Anak kita laki-laki,” ia berkata. “Kulitnya lebih kemerahan ketimbang coklat. Rambutnya hitam. Beratnya dua kilo. Tangannya mengepal terus, persis seperti kamu kalau lagi tidur.”

Kini Shoba menoleh, tampak begitu nestapa. Suaminya menyontek saat ujian kuliah dan menyobek foto wanita dari majalah. Suaminya menghilangkan sweter pemberiannya dan pergi mabuk-mabukan. Ini semua yang suaminya katakan kepadanya. Suaminya mendekap bayi mereka, yang hanya mengetahui kehidupan di dalam rahim dirinya, di dalam ruangan remang di kamar terkucil di rumah sakit. Suaminya mendekap bayi mereka hingga perawat mengetuk pintu dan memboyong bayi itu pergi, dan ia berjanji tidak akan memberitahu Shoba, sebab ia masih mencintainya, dan rahasia itu satu-satunya kejutan yang ingin ia peroleh dalam hidupnya.


SHUKUMAR bangkit dan membereskan piring makan. Ia membawa piring-piring itu ke wastafel, tetapi alih-alih mencucinya ia justru memandang ke luar jendela. Di luar, malam masih hangat, dan keluarga Bradford terlihat berjalan bergandeng tangan. Saat ia masih memperhatikan mereka, mendadak lampu padam, lantas ia berbalik. Shoba yang mematikannya, kemudian kembali ke meja makan dan duduk lagi, dan beberapa saat kemudian Shukumar juga. Bersama mereka menangis, demi hal-hal yang kini telah mereka ketahui. ***

Metafora Padma

$
0
0


Desain cover oleh Eka Kurniawan. Buku kesembilan saya, kumpulan cerita Metafora Padma, terbit 15 Agustus 2016.
Viewing all 402 articles
Browse latest View live