suara itu seperti pembuka cerita fiksi atau dongeng yang menggelinding di pinggir-pinggir trotoar. kemudian ia hidup dalam dering telepon genggam manusia-manusia kota tanpa kepala. "minggir, dompetku mau lewat, ia sibuk sekali setiap hari, jangan halangi." seru selembar angin di bawah sorot lemah cahaya senjakala. ini bukan pagi, lagi. tidak ada persahabatan di sini, Waktu berbisik di telingaku.
suara itu seperti kanak-kanak membawa kain lap berjalan pelan di hadapan kendaraan. ia tak paham lagi artinya masa depan. siang hari sudah nongol. "buat makan, pak, sudah tiga hari hanya menyantap sunyi." kemudian ia hidup dalam klak-klik tombol keyboard laptop belasan juta rupiah di warung kopi kota elit. kota dengan sebuah sore dan petang dan manusia-manusia tanpa wajah dan nasib yang gemar berkelit. di tempat ini, tuan, Waktu tak mengenal persahabatan.
suara itu seperti toa yang mengabarkan berita dari koran-koran sisa. suara itu mengalir di permukaan jalan raya yang semakin lama semakin sempit saja. "mungkin, jalan buntu ini kelak hanya muat untuk yang bukan bunyi." aku tak tahu siapa yang bersuara barusan. suara itu merayap ke telapak kakiku, memanjat betis dan lutut legamku, mendaki terjalnya perutku, dan tak pernah sampai ke telingaku.
2013