(Foto dari redaksi Mojok)
Tulisan ini dipublikasikan pertama kali di Mojok.
Saya rindu membaca cerita yang dimulai dengan niat jahat. Meski tentu saja tidak semuanya, tetapi novel-novel terakhir yang saya baca selalu bermula dengan protagonis yang memiliki kehendak mulia, lalu menghadapi masalah yang menghalau kehendak mulianya, namun berakhir bahagia dan ditutup dengan keberhasilan si protagonis menunaikan niat mulianya itu. Saya rindu orang jahat. Saya rindu orang jahat yang menjadi tokoh utama. Saya rindu sebuah cerita yang membuat saya percaya bahwa sama seperti kebaikan, kejahatan pun bisa sungguh-sungguh menang.
Novel 24 Jam Bersama Gaspar karya Armandio Alif menunaikan kerinduan saya akan hal-hal tersebut.
Armandio Alif adalah penulis Indonesia berusia muda yang cemerlang. Saya katakan cemerlang, karena sejak awal kemunculannya di dunia sastra Indonesia, Dio-panggilan akrabnya, walau menurut saya “Sabda” terdengar lebih agung-sudah menorehkan prestasi baik. Novel debut Dio, Kamu: Cerita yang Tidak Perlu Dipercaya, menjadi satu dari lima buku terbaik tahun 2015 pilihan majalah Rolling Stone Indonesia. Tidak butuh waktu lama bagi Sabda Armandio untuk mencuri perhatian para pelaku dan penikmat karya sastra Indonesia, karena karya keduanya, novel 24 Jam Bersama Gaspar, menjadi pemenang unggulan Sayembara Menulis Novel Dewan Kesenian Jakarta 2016.
Kurang keren apa lagi coba?
Sebelum membaca kedua novel Sabda Armandio, saya lebih dulu mengenal karya-karyanya yang dia pajang di blog pribadinya. Kebanyakan cerita pendek. Ada pula cerita yang sangat pendek dan beberapa cerita terjemahan. Selain menulis cerita pendek dan novel, Dio juga menerjemahkan cerita-cerita pendek dari penulis yang saya asumsikan merupakan penulis kesukaannya. Salah satu dari penulis kesukaannya itu dia pinjam dan jadikan tokoh di 24 Jam Bersama Gaspar, yaitu sebuah motor bernama Cortazar (ya, dari Julio Cortazar).
*
Saat membaca cerita-cerita Dio di blognya, hal pertama yang saya tangkap adalah jiwa iseng si penulis. Dio senang bermain-main di dalam ceritanya dan hal tersebut memunculkan kesan bahwa dia tidak sungguh-sungguh ingin menulis sesuatu yang bagus. Alur cerita, dialog, karakter-karakter dalam cerita-ceritanya cenderung absurd, ganjil, dan terkesan asal bikin saja. Tidak terlihat niat atau perencanaan yang matang untuk membuat plot dan gagasan yang matang.
Tapi, tunggu dulu, apa memang benar begitu?
Cerita bagus biasanya dimulai dengan kesan main-main. Sama seperti seorang pelawak yang sedang beraksi di panggung, Sabda Armandio melalui panggung naskahnya memulai cerita-ceritanya dengan humor yang membuat saya tertawa dan lengah. Setelah lawakannya berhasil, barulah dia menembakkan gagasan-gagasan yang kerap membuat saya terkejut dan berpikir panjang.
Itu terjadi di cerita-cerita pendek yang ia pajang dan bisa dibaca gratis di blog pribadinya. Itu yang terjadi di novel Kamu. Itu pula yang terjadi di 24 Jam Bersama Gaspar.
Humor Sabda Armandio bahkan sudah terasa sejak pembukaan novel. Sebuah pengantar yang ditulis dengan gaya parodi membuat saya benar-benar meramban di mesin pencari laptop saya untuk mengenal lebih jauh siapa itu Arthur Harahap. Setelah tidak menemukan hasil yang bikin saya puas, saya membangun imajinasi akan Arthur Harahap di kepala saya sendiri.
Pengantar 24 Jam Bersama Gaspar yang ditulis oleh sosok fiktif (meskipun ini masih bisa diperdebatkan) bernama Arthur Harahap merupakan sebentuk metafiksi yang segar dan sukses bikin saya penasaran, tidak hanya pada siapa sebenarnya yang menulis pengantar buku ini, tetapi juga sosok sang protagonis, Gaspar.
*
Gaspar adalah seorang laki-laki berusia pertengahan tiga puluh yang senang bermain musik dan punya hasrat membunuh orang. Saya langsung jatuh hati pada Gaspar sejak Sabda Armandio memberikan deskripsi tentang dia. Melalui sudut pandang penceritaan orang pertama, Gaspar berkata bahwa dia adalah “…yang diceritakan naga-naga dewasa kepada anak-anak mereka agar cepat tidur.” Gaspar juga sesumbar, “Dulu Kim Il Sung menyebut namaku beserta segala kemampuanku untuk menghentikan rengekan Kim Jong Il kecil.”
Sungguh seram dan menarik.
Gambaran jahat itu tentu saja bukan omdo alias omong doang. Gaspar membuktikannya dengan memberi tahu pembaca bahwa dia akan merampok sebuah toko emas 24 jam dari sekarang. Bersama motor kesayangannya, Cortazar, dan tokoh-tokoh lain yang dengan hasutan tertentu menjadi partner in crime (literally!) Gaspar, layaknya Momotaro pergi untuk menumpas monster di pulau jauh, Gaspar berangkat ke toko emas untuk mengambil sebuah kotak hitam misterius. Apa isi kotak hitam yang memotivasi niat jahat Gaspar? Ya, baca aja novelnya.
Dalam delapan bab yang sangat menghibur, cerita 24 Jam Bersama Gaspar berjalan di dua alur yang paralel. Dalam alur pertama, kita mengikuti pergerakan Gaspar bersama teman-teman gengnya yang dia bentuk dadakan dan sebenarnya tidak sangat bahagia mengikuti rencana absurd Gaspar; dan di alur kedua, kita membaca (atau “mendengar”) rekaman wawancara seorang polisi dengan seorang nenek-nenek anggota komplotan kriminal Gaspar. Kedua alur paralel yang sedikit mengingatkan saya pada novel Kafka on the Shore karya Haruki Murakami (di novel Haruki ada tiga alur paralel) ini bersaling-silang membangun misteri dan ketegangan yang berusaha dibentuk Sabda Armandio demi menepati janjinya di sampul buku: novel ini adalah sebuah cerita detektif.
Gagasan tentang apa itu jahat dan apa itu baik menjadi energi utama cerita novel 24 Jam Bersama Gaspar. Melalui tindakan-tindakan karakternya, Sabda Armandio mengajak saya mempertanyakan kembali akan makna kejahatan dan kebaikan. Tidak hanya lewat Gaspar, tetapi juga karakter-karakter lain termasuk sasaran Gaspar, sang pemilik toko emas, orang yang menyimpan kotak hitam incaran Gaspar: Wan Ali.
Wan Ali yang telah berbuat jahat demi kebaikan menurut versinya, dan Gaspar yang berbuat jahat demi membalas kejahatan Wan Ali, adalah karakter-karakter yang kita temukan di kehidupan sehari-hari. Orang-orang jahat di dunia nyata dan tokoh-tokoh jahat di film-film Hollywood kerap menggunakan alasan “ini semua demi kebaikan” untuk membenarkan tindak jahat mereka. Sabda Armandio, lewat mulut Gaspar, seakan ingin berkata: kalau jahat ya jahat saja.
Membaca novel 24 Jam Bersama Gaspar, selain membuat saya tertawa karena penuh lawakan segar, juga bikin saya merenung tentang makna jahat dan baik, sekaligus menggerakkan jari-jari tangan saya untuk mencari sebuah puisi yang sejak tadi saya coba ingat. Sebuah puisi yang dalam bahasa Inggris kira-kira berjudul There is a Field, karya Jalaluddin Rumi:
Out beyond ideas of wrongdoing and rightdoing,
there is a field. I’ll meet you there.
When the soul lies down in that grass,
the world is too full to talk about.
Ideas, language, even the phrase each other
doesn't make any sense.
Saya membayangkan bertemu Gaspar di sebuah warung makan Tegal di suatu sore yang adem, dan Gaspar mengucapkan dua kalimat pertama dari puisi Rumi, dan kami akan duduk-duduk di selokan di pinggir sawah yang masih hijau, dan berbicara panjang lebar tentang kejahatan dan kebaikan. ***