Tidak ada negara yang luput dari sejarah kekerasan. Tidak Indonesia, tidak pula Korea. Siapa mengira, negeri ginseng tempat tinggal pemuda dan pemudi idola para penggemar K-Pop itu juga menyimpan cerita-cerita pembantaian manusia. Dalam novel terbaru Han Kang, Human Acts, penulis peraih penghargaan Man Booker Prize International 2016 itu mengungkit peristiwa “Gwangju Uprising”, insiden demonstrasi yang menjadi bercak hitam dalam sejarah Korea Selatan. Insiden yang telah melenyapkan lebih dari enam ratus jiwa manusia.
Han Kang adalah penulis asal Korea teranyar yang saat ini menerima lampu sorot dari kesusastraan dunia. Novel pertamanya yang diterjemahkan ke bahasa Inggris, The Vegetarian, membawa Korea ke panggung kesusastraan internasional, memberi label berikutnya pada Korea selain sebagai negara penghasil boyband dan girlband dan K-Drama. Di The Vegetarian, kisah perempuan yang mendadak ingin jadi seorang vegan dan mengira dirinya adalah tumbuhan disampaikan dengan puitis sekaligus terkesan sureal. Lewat novel itu, Han Kang mengajukan sebuah pertanyaan penting: Apakah kekerasan merupakan sifat mendasar manusia?
Pertanyaan tersebut masih menjadi persoalan utama yang diolah Han Kang di novel terbarunya, Human Acts (Portobello Books, 2016). Human Acts bercerita tentang peristiwa yang dikenal sebagai “Gwangju Uprising”-sebutan untuk aksi demonstrasi warga Gwangju pada tahun 1980 yang dilakukan menyusul terbunuhnya presiden Korea Selatan keempat, Park Chung-hee, setahun sebelumnya. Peristiwa ini lebih populer dengan nama “5-18”, mengindikasikan tanggal 18 Mei, waktu terjadinya peristiwa itu.
Pasca terbunuhnya Park Chung-hee, gerakan-gerakan massa menuntut penegakan demokrasi yang terbendung selama 18 tahun kediktatorannya kembali menyeruak. Gelombang massa ini yang kemudian ditekan oleh Chun Doo-hwan, petinggi militer Korea Selatan yang melakukan kudeta untuk mengambil alih kendali negara. Sosok yang disebut Han Kang di novelnya sebagai“The Butcher”. Orang yang bertanggungjawab atas kematian sekurangnya 600 jiwa warga Korea.
*
Human Acts merupakan novel polifonik. Terdiri atas enam bagian, masing-masing bagian memiliki protagonisnya sendiri dan dituturkan menggunakan sudut pandang penceritaan yang berbeda-beda. Enam bagian tersebut ditutup dengan sebuah epilog yang dituturkan oleh Han Kang sendiri sebagai penulis novel, berisi gambaran tentang apa yang ia alami ketika peristiwa pembantaian itu berlangsung serta bagaimana cerita ketika ia mencoba melacak dokumen-dokumen tentang “5-18”.
Pada bab pertama novel, “The Boy. 1980”, pemuda yang menjadi fokus narasi Han Kang terlihat membantu para sukarelawan membersihkan jenazah korban kekerasan oleh tentara. Pemuda ini kemudian kita ketahui bernama Dong-ho, dan melalui serangkaian adegan, kita akan paham bahwa ia juga merupakan salah satu korban pembantaian. Han Kang membuka Human Acts dengan deskripsi seorang pemuda belia yang sedang melihat hujan. “It looks like rain,” you mutter to yourself. Kalimat pertama itu memberi saya jalan masuk untuk membayangkan cuaca yang mengiringi situasi mencekam di Gwangju, sekaligus merasakan sesuatu yang puitis-nuansa yang kerap muncul tiap membaca narasi Han Kang.
Bagian kedua, “The Boy’s Friend. 1980”, mengingatkan saya pada mayat di pembukaan novel My Name Is Red, Orhan Pamuk, karena mereka sama-sama mayat yang berbicara. Bagian ketiga, “The Editor. 1985”, menuturkan kisah Kim Eun-sook, jurnalis yang mencoba melupakan tujuh tamparan personil tentara dalam sebuah interogasi. Bagian keempat, “The Prisoner. 1990”, tentang mantan narapidana yang menceritakan pengalamannya disiksa tentara. Di bagian kelima, “The Factory Girl. 2002”, seorang pekerja dipaksa mengingat masa kelamnya semasa demonstrasi. Di bagian terakhir, “The Boy’s Mother. 2010”, seorang ibu mengenang kematian anaknya.
Han Kang berpindah-pindah dari satu protagonis ke protagonis berikutnya dan bercerita menggunakan sudut pandang penceritaan orang pertama, kedua, dan ketiga. Meski awalnya sedikit sulit mengikuti peralihan sudut pandang penceritaan yang terus-menerus ini, pada akhirnya kita akan memahami gambar besar yang dilukis Han Kang. Semua tokoh yang ia ceritakan merupakan bagian dari satu kelompok yang sama: kelompok masyarakat yang melawan kekuatan militer Chun Doo-hwan. Kelompok yang menjadi korban kekerasan negara.
Selain memperlihatkan bahwa kekerasan dan kekuasaan kerap tampil sebagai saudara sedarah, Human Acts juga menunjukkan bagaimana perlawanan selalu muncul dari bawah. Seluruh bagian kelompok demonstrasi Gwangju yang beraksi menghadap tentara adalah masyarakat sipil. Mereka yang tidak terlatih memegang senjata dan hanya berbekal keberanian, kenekatan, serta solidaritas kuat yang berakar pada satu keyakinan: Bahwa mereka benar. Bahwa kehendak mereka menuntut demokrasi adalah sesuatu yang benar dan pantas.
Jika dibanding dengan novel sebelumnya, The Vegetarian, novel terbaru Han Kang ini menampilkan pemandangan yang lebih brutal. Begitu banyak gambar-gambar yang dapat dikategorikan Not Safe For Work (NSFW). Han Kang mendeskripsikan wujud tubuh mayat korban kekerasan dan adegan-adegan penyiksaan tanpa sensor sama sekali. Namun, kata si pemuda Dong-ho, “Apa yang mengerikan dari mayat-mayat ini? Lebih menakutkan tentara-tentara itu.”
Han Kang menulis sebuah paragraf yang menurut saya sangat kuat di Human Acts. Sebuah pernyataan yang menjadi benang merah atas karya-karyanya. Berikut bunyi paragraf tersebut:
Is it true that human beings are fundamentally cruel? Is the experience of cruelty the only thing we share as a species? Is the dignity that we cling to nothing but self-delusion, masking from ourselves this single truth: that each one of us is capable of being reduced to an insect, a ravening beast, a lump of meat? To be degraded, damaged, slaughtered; is this the essential fate of humankind, one which history has confirmed as inevitable?
*
Human Acts diterjemahkan dari bahasa Korea ke Inggris oleh Deborah Smith, penerjemah asal Inggris berusia 29 tahun yang bersama Han Kang menerima anugerah Man Booker Prize International 2016 lewat terjemahannya untuk The Vegetarian. Dalam pengantarnya di novel Human Acts, Deborah Smith memberi sedikit gambaran tema yang diangkat Han Kang. Bagi saya yang awam sejarah politik dan kekerasan di Korea Selatan, pengantar pendek Deborah Smith amat membantu dalam memahami gagasan dan latar belakang cerita di Human Acts.
Sebagai penulis, garis hidup Han Kang tampak seolah-olah sudah disuratkan. Ayah dan abangnya, masing-masing bernama Han Seung-won dan Han Dong Rim, juga adalah penulis. Han Kang belajar Kesusastraan Korea di Universitas Yonsei dan kini mengajar penulisan kreatif Institut Seni Seoul. Sebelum meraih perhatian dunia lewat kemenangannya di Man Booker, Han Kang sudah lebih dulu mendapat beragam penghargaan kesusastraan di negara asalnya.
Sebuah karya sastra yang baik akan membuat kita mempertanyakan hal-hal yang sebenarnya berlangsung setiap hari tetapi tidak pernah kita pikirkan secara sadar. Membaca Human Acts membuat saya merenung dalam. Benarkah kekerasan merupakan sesuatu yang inheren pada manusia? Apakah kekerasan adalah fitrah manusia? Jika benar demikian, apa yang bisa manusia perbuat demi melepaskan kekerasan itu dari dirinya, atau sebaliknya, melepaskan dirinya dari kekerasan? Demi mencapai “…sebuah tempat yang disinari cahaya matahari, sebuah tempat di mana bunga-bunga bermekaran.” ***