Belakangan ini saya sedang baca Other Colors: Essays and a Story, kumpulan esei Orhan Pamuk. Kebanyakan esei pendek, beberapa wawancara terpilih, baik tentang dirinya maupun buku-bukunya. Di salah satu eseinya, Pamuk sedikit menyinggung tentang apa yang membuatnya berhenti membaca buku. Meski di situ ia tidak secara khusus membahas hal tersebut, saya kira itu topik yang menarik.
Harus saya katakan bahwa saya tidak mudah berhenti membaca buku di tengah jalan. Saya tidak suka melakukannya. David Mitchell bilang, "A half-read book is a half-finished love affair."Saya tidak suka hal yang setengah selesai. Saya hampir selalu membaca cover to cover (sedikit pengecualian pada War and Peace dan The Satanic Verses). Saya mendapat kepuasan dari menyelesaikan sesuatu. Setiap akan membaca buku, saya terlebih dahulu mengira-ngira apakah saya bisa menyelesaikannya. Jika tidak, maka saya cari buku lain yang saya yakin bisa membacanya hingga selesai.
So, what makes me put down a book? Seperti saya bilang tadi. Jika saya sudah memutuskan membaca sebuah buku, maka 99,9% saya pasti akan menyelesaikannya. Namun, ada sisa 1% yang membuat saya bisa menutup buku sebelum selesai membacanya.
Berikut hal-hal yang bisa bikin saya berhenti membaca buku:
1. Logika cerita yang bolong
Sebetulnya, saya termasuk pembaca yang punya rasa toleransi besar terhadap buku yang sedang saya baca. Jika di tengah-tengah novel saya menemukan logika yang ganjil, saya enggak langsung berhenti membaca. Ingat bahwa setiap memutuskan membaca sebuah buku maka saya akan melakukan apapun demi merampungkannya. Saya akan bersabar dan berasumsi bahwa mungkin logika yang ganjil ini disengaja oleh penulisnya. Jangan lupa bahwa saya penikmat cerita-cerita sureal, fantasi, bahkan absurd, jadi saya sudah akrab dengan novel-novel yang memakai logika yang tidak umum. Namun, kadang-kadang penulisnya memang missed, dan ada logika yang kacau di novelnya. Kalau saya sudah enggak tahan lagi, saya akan menutup buku dan move on ke buku lain.
2. Timeline cerita yang membingungkan
Saya tidak bisa kasih contoh yang lebih baik untuk poin ini daripada The Satanic Verses. Novel Salman Rushdie yang kontroversial itu bikin saya cukup kelelahan membacanya. Bukan karena jelek, tetapi saya tidak mendapatkan kronologi cerita yang jelas. Transisi antarbagian pun sangat samar. Apalagi, Rushdie berpindah-pindah dari semesta realis ke surealis. Novel-novel tipe seperti ini harus sangat memperhatikan transisi antaradegan agar tidak menciptakan kebingungan dan kehilangan perhatian pembacanya; termasuk saya.
3. Bahasa yang kelewat rumit
Ini lebih sering terjadi di novel-novel berbahasa Inggris. Lagi-lagi saya enggak bisa mengelak dari memberi contoh The Satanic Verses. Bahasa Inggris Salman Rusdhie di novel ini rumit sekali. Saya enggak keberatan baca novel sambil buka kamus di ponsel, bahkan saya hampir selalu melakukannya jika memang ada kata-kata yang tidak saya mengerti. Namun, kalau saya harus buka kamus tiap baca satu kalimat, lama-lama capek juga.
4. Gaya bercerita yang sulit dinikmati
Saya percaya bahwa sebagai pembaca kita harus beradaptasi pada perkembangan gaya bercerita penulis. Artinya, jika ada novel yang penulisnya menggunakan gaya yang belum pernah kita lihat, bukan berarti kita harus menyalahkan si penulis atas gaya narasi yang aneh. Namun, apa boleh buat, kita kadang-kadang tidak bisa menghindar dari pengaruh selera. Saya teringat pada novelnya Toni Morrison, Beloved. Saya kesulitan membaca buku itu karena gaya menulis Morrison bagi saya terasa ganjil dan mengganggu. Tentu saja tidak berarti ini salah Morrison.
5. Tidak memberi saya pengetahuan baru
Kalau ini, saya enggak akan sampai menutup buku di tengah jalan. Paling jauh saya baca secara skimming.
-
Hal-hal yang saya jelaskan di atas tentu jadi catatan dan pengingat pribadi juga buat saya. Karena saya penulis, maka sebisa mungkin saya enggak menulis buku yang di dalamnya ada lima hal di atas. Jika kalian membaca buku saya dan menemukan hal-hal di atas, saya mohon maaf ya, he he he. Semoga saya bisa menulis lebih baik lagi di setiap buku yang saya terbitkan nantinya.
Nah, sekarang, bagaimana denganmu? What makes you put down a book?