Saya mengenal toko buku di usia 12 tahun. Waktu itu saya kelas satu SMP. Sebelumnya, saya enggak pernah tahu ada sebuah tempat yang di dalamnya berisi banyak sekali buku. Meski saya lahir di kota, saya tumbuh besar di desa. Di desa saya, Anjongan, terletak 73 kilometer dari kota Pontianak, Kalimantan Barat, enggak ada yang namanya toko buku. Saya memperoleh buku-buku pertama saya (yang hampir seluruhnya komik) dari pemberian teman-teman kantor ibu saya dan membeli di sebuah toko baju lelong di Siantan (bagaimana toko baju bisa menjual buku hingga sekarang pun saya masih heran dan kagum, mungkin kali lain saya akan bercerita khusus tentang ini). Satu-satunya tempat atau ruang berisi banyak buku yang pernah saya lihat selama di desa adalah mobil perpustakaan keliling milik pemerintah daerah dan, tentu saja, perpustakaan pribadi saya sendiri.
Saat berusia 12 tahun, saya melanjutkan SMP di kota (Pontianak) dan tinggal bersama nenek. Saya termasuk murid yang rajin dan patuh aturan, tapi sebagaimana anak-anak lain, saya pun enggak suci-suci amat dari "dosa". Suatu hari teman saya mengajak belet (bolos dalam bahasa Melayu Pontianak) dari jam pelajaran, dan kami pergi ke mal yang letaknya meski tidak dekat-dekat amat, bisa ditempuh dengan berjalan kaki. Di mal, teman saya asyik menghabiskan waktu di area permainan semacam Amazon. Namun, saya terhipnotis dengan sebuah ruangan berisi banyak buku. Banyak sekali. Buku-buku di dinding-dinding, di rak di lantai, dan di pilar-pilar. Itu Gramedia di Mal Matahari, toko buku pertama yang saya kunjungi seumur hidup saya (momen ini kemudian memperkuat keinginan lugu saya untuk menjadi penulis).
Namun, saya baru rajin pergi ke toko buku ketika kuliah di Yogyakarta, dan setelah lulus kuliah saya baru mengenal ada yang namanya toko buku impor, yakni toko buku yang menjual buku-buku yang didatangkan dari luar negeri, buku-buku berbahasa Inggris. Dua-tiga tahun belakangan, baru saya mengenal ada istilah toko buku jaringan dan toko buku independen, dan tentu saja toko buku daring (online). Macam-macam toko buku mengisi garis hidup saya, baik sebagai pembaca maupun penulis. Saya bahkan punya impian bisa jalan-jalan ke seluruh dunia hanya untuk pergi ke toko buku-toko buku di sana, dan tentu saja menuliskannya (semoga ada yang membaca tulisan ini dan berbaik hati membiayai saya memenuhi impian mulia ini).
Dari beragam toko buku yang pernah saya kunjungi, berikut lima toko buku favorit saya belakangan ini. Toko buku ini masuk ke dalam daftar saya untuk macam-macam alasan, yang akan saya jelaskan di masing-masing poinnya.
1. POST
Toko buku independen yang terletak di kawasan Pasar Santa, Jakarta, ini menjadi menarik karena dikelola oleh pasangan yang sangat mencintai buku. Mereka Maesy dan Teddy. Kali pertama saya mengetahui keberadaan POST melalui pemberitaan di media sosial tentang kebangkitan kembali Pasar Santa. Ketika hampir semua orang berbondong-bondong ke Pasar Santa karena jajanan-jajanan yang dijual di sana, saya tertarik dengan satu spot yang menjual buku. Tidak sulit untuk jatuh hati pada POST, karena selain mereka menjual buku-buku yang dikurasi secara ketat oleh pemiliknya sendiri, Maesy dan Teddy adalah orang-orang menyenangkan. Saya tidak pernah pergi ke POST tanpa merasa bahwa saya sedang mengunjungi rumah seorang teman. Mereka akan mengajakmu berbincang tentang buku, bertanya buku seperti apa yang kamu suka, dan merekomendasikan buku-buku yang menurut mereka menarik atau yang sesuai dengan selera kamu. Selain itu, POST juga secara rutin mengadakan acara-acara bertema buku, tulis-menulis, dan topik kreasi seni lainnya.
Lokasi: Lantai 2 Pasar Santa, Jakarta (bersebelahan dengan kedai Miechino)
Koleksi buku: Buku-buku Indonesia dari penerbit independen dan buku-buku impor
Nilai plus: Suasana nyaman, guyub. Bisa baca di tempat sambil ngopi dan makan mi ayam. Playlist lagu yang diputar enak. Selain Maesy dan Teddy, Nisa, penjaga POST, juga ramah dan bisa kamu ajak mengobrol tentang buku.
2. Kedai Jual Buku Sastra (JBS)
Terletak di bagian selatan Yogyakarta. Toko buku ini diawaki pasangan suami-istri pencinta buku. Mereka juga penyair. Mutia Sukma dan Indrian Koto punya koleksi banyak sekali buku-buku sastra Indonesia terbitan lama. Jika para pencinta buku di Yogyakarta sudah familier dengan toko buku seperti Social House Agency, maka Kedai JBS ini memiliki koleksi serupa. Kalau kamu berniat mencari buku-buku sastra terbitan Pustaka Jaya, Balai Pustaka, atau penerbit lain yang sudah lawas yang buku-bukunya tidak bisa kamu dapatkan di Gramedia, datanglah ke Kedai JBS. Bagi yang tidak tinggal di Yogyakarta, jangan khawatir, mereka melayani pembelian secara online dan mereka punya katalog: Jual Buku Sastra. Tinggal pilih dan pesan, praktis. Jadi kapan-kapan kalau main ke Jogja, selain beli Gudeg Yu Djum, jangan lupa main-main ke Kedai JBS. Lokasinya berdekatan.
Lokasi: Gang Semangat No. 150, Wijilan, Yogyakarta
Koleksi buku: Buku-buku Indonesia terbitan lama
Nilai plus: Koleksi buku sastra lawasnya lengkap
3. Toko Budi
Toko buku independen ini berkongsi tempat dengan penerbitan independen dan kedai kopi. Kalau belum familier dengan namanya, itu karena Toko Budi memang berusia muda. Anak-anak gaul Yogyakarta yang senang kopi dan buku mungkin lebih familier sama kafe Dongeng Kopi atau penerbit Indie Book Corner; Toko Budi berada di bawah atap yang sama dengan mereka. Buku-buku dari penerbit independen merupakan jualan utama mereka. Karena letaknya satu lokasi dengan kedai kopi, kamu bisa sekalian membaca buku yang baru kamu beli sembari menikmati secangkir kopi tubruk dan semangkuk kentang goreng.
Lokasi: Jalan Wahid Hasyim No. 3, Gorongan, Condong Catur, Yogyakarta
Koleksi buku: Buku-buku Indonesia dari penerbit independen
Nilai plus: Satu rumah dengan kedai kopi dan bersebelahan dengan warung burjo
4. Toga Mas
Mahasiswa di Yogyakarta pasti sudah akrab dengan toko buku yang memberi diskon seumur hidup kepada para pelanggannya ini. Ya, kamu enggak salah baca, Toga Mas memang menjual buku-bukunya dengan harga diskon, dan tidak hanya pada momen-momen tertentu, tetapi selamanya. Buku-buku koleksi pertama saya ketika berkuliah di Yogyakarta saya beli dari toko buku ini. Saya terutama mencari buku-buku puisi Indonesia di sini. Selain menjual buku-buku baru, mereka juga punya koleksi buku-buku sastra lama. Gedungnya berlantai dua, dan di lantai dua ada Djendelo Koffie, kafe yang pernah saya pakai sebagai latar cerita di novel pertama saya, Kata Hati.
Lokasi: Ada beberapa, tapi yang paling sering saya kunjungi di Jalan Gejayan
Koleksi buku: Buku-buku Indonesia baru dan lawas
Nilai plus: Harga bukunya selalu diskon
5. Kinokuniya
Saya enggak bisa memungkiri bahwa dua-tiga tahun belakangan saya lebih banyak membeli buku impor, dan di antara toko buku impor yang ada di Indonesia, saya paling sering belanja di Kinokuniya. Sesekali saya membeli buku di Periplus, Books & Beyond, dan Aksara. Namun, lebih banyak di Kinokuniya. Itu karena mereka punya koleksi yang lebih beragam, mulai dari buku-buku terbitan paling baru hingga novel-novel klasik. Kinokuniya favorit saya ada di Plaza Senayan, Jakarta. Kadang-kadang saya menemukan buku yang saya cari di Kinokuniya Grand Indonesia yang tidak ada di Plaza Senayan. Namun, saya lebih sering belanja di Kinokuniya PS.
Lokasi: Ada beberapa (Plaza Senayan, Grand Indonesia, Pondok Indah Mall)
Koleksi buku: Buku-buku impor
Nilai plus: Koleksi buku impor yang lengkap
-
Apa kalian punya toko buku favorit? Share di kolom komentar di bawah tulisan ini ya. Jangan lupa kasih tahu lokasinya secara rinci dan apa keunggulan toko buku tersebut sehingga jadi toko buku favorit kalian. Kali-kali aja pas saya main-main ke kotamu, saya jadi bisa berkunjung ke toko buku-toko buku yang kalian rekomendasikan. Have a great day!
(Catatan: Seluruh foto dari dokumentasi pribadi, kecuali foto-foto Kedai JBS yang saya ambil dari laman Facebooknya)