Quantcast
Channel: Bernard Batubara
Viewing all articles
Browse latest Browse all 402

Rio Johan: Aku Ingin Melihat Sejauh Mana Aku Bisa Terus Menulis

$
0
0

Seorang pecandu gim konsol yang menemukan jalan kepenulisannya
lewat sejarah dari dunia-dunia jauh.





Tatkala tulisan ini dibuat, ia berusia 26 tahun. Demi umurnya itu dan hobi menulisnya, ia disebut sebagai penulis muda. Tetapi, kiranya bukan label umum semacam itu yang tepat disematkan pada laki-laki ini-penulis muda-melainkan sesuatu yang lebih spesifik. Lantas, apa? Mari kita lihat: ia menonton film-film cult yang tak banyak diketahui orang, menghabiskan waktunya bermain gim konsol yang jarang sekali, jika tak pernah, jadi bahan inspirasi bagi seorang penulis, dan menuliskan cerita tentang komunitas penyedia layanan aksi erotis bondage-discipline-sadism-masochism di suatu belahan dunia antah-berantah.

Saya menimbang-nimbang, mencari satu label spesifik itu, dan setelah ketemu langsung mengutarakannya kepada yang bersangkutan.

“Kau penulis aneh,” kata saya. Balasan yang saya peroleh hanya suara tawa dan raut memaklumi, seakan-akan ia sudah sering mendapat tudingan serupa.

Rabu, 28 Mei 2016. Saya sedang duduk di sebuah kafe di pusat kota Yogyakarta, berhadap-hadapan dengan laptop dan layar setengah kosong, berusaha keras menyelesaikan satu tulisan yang sudah saya rencanakan rampung hari itu. Saya mendelik ke ponsel yang tergeletak di dekat gelas plastik berisi kopi, yang sudah tandas, dan melihat waktu menunjukkan pukul empat lebih lima belas menit. Gawat. Saya harusnya sudah berada di tempat lain menemui seseorang. Segera saya ambil ponsel dan mengirim pesan teks.

“Saya minta waktu sekira setengah jam untuk menyelesaikan tulisan, nggak apa-apa?” dan tidak lama balasannya datang dalam kalimat yang santai. Saya mengirim satu pesan lagi. “Maaf ya, Rio. Terima kasih. Kita bertemu pukul lima."

Tiga puluh menit kemudian tulisan saya belum kelar, tapi tak mungkin mengulur waktu lagi. Bersepeda motor saya meluncur ke Dongeng Kopi-kedai kopi cum toko buku di utara pusat kota Yogyakarta-untuk menemui penulis aneh itu.

Rio Johan lahir 28 Agustus 1990 di Baturaja, Sumatera Selatan. Tatkala menjadi mahasiswa, ia pindah ke Solo, menyewa satu kamar indekos tidak jauh dari tempatnya berkuliah, Fakultas Teknik di Universitas Sebelas Maret. Jurusan yang ia ambil: Teknik Kimia. Ia juga memulai karir menulisnya di sana. Beres kuliah ia terbang ke Kalimantan Barat demi bekerja di perusahaan kelapa sawit. Tidak betah, ia kembali ke pulau Jawa dan tinggal di Yogyakarta sembari mencari pekerjaan baru. Kendatipun ia telah menginjakkan kaki ke tiga pulau besar di negerinya Indonesia, kita akan tahu, ia justru mengambil sumber inspirasi cerita-ceritanya dari pulau-pulau yang sangat jauh, yang belum pernah ia kunjungi. “Aku dianggap enggak membumi karena cerita-ceritaku enggak ada unsur lokalitasnya,” curhat Rio.

Petang hingga malam itu, saya mengobrol dengan Rio yang tiba lebih awal di Dongengkopi. Ia berpakaian santai: kaus biru toska berkerah V, jin biru, dan sneakers. Sebuah gelang bermotif warna pelangi melingkar di pergelangan tangan kirinya. Rambutnya hitam tipis berponi seperti bintang film Korea, dan mungkin karena hobi berolahraga di gym atau memang bawaan sedari lahir, posturnya ramping minim lemak berlebih. Selama tak kurang dari satu jam, saya melontarinya dengan pertanyaan-pertanyaan yang, seperti sudah saya duga, dijawab singkat-singkat. Dari parasnya, Rio memang terlihat seperti orang yang tidak begitu suka bicara banyak. Tetapi cerita-ceritanya, tentu saja, menampilkan kesan sebaliknya. Terbukti dari penghargaan Tokoh Seni Pilihan Majalah Tempo untuk kategori penulis fiksi yang dinobatkan pada dirinya sekira tahun 2014, itu ganjaran bagi cerita-ceritanya dalam buku debut Aksara Amananunna.



Aksara Amananunna itu buku pertamamu, atau sebelumnya sudah ada?

Iya, itu buku pertamaku. Tapi beberapa cerita pendekku sudah pernah dimuat di surat kabar. Ada dua pernah di Suara Merdeka, tapi cuma satu dari dua itu yang dimasukkan ke Aksara Amananunna.

Dalam kesusastraan modern Indonesia, tema-tema ceritamu termasuk jenis yang jarang diangkat. Datang dari mana sebenarnya dunia distopia dan unsur fiksi ilmiah dalam bukumu itu?

Aku memang senang membaca cerita-cerita fiksi ilmiah. Selain itu, aku juga suka membaca sejarah Mesopotamia, Inggris kuno, dan Mesir kuno. Aku menulis apa yang aku suka, dan aku mengambil tema tulisanku dari apa-apa yang aku suka.

Cerita “Ginekopolis” tentang dunia di bawah kuasa perempuan. Dapat ide dari mana?

(Tertawa sebentar) Itu pikiran iseng saja, sih. Aku membayangkan bagaimana kalau dunia ini dikuasai oleh seluruhnya perempuan. Lama-kelamaan bayangan itu menjadi ide yang terus berkembang, dan aku mengambil latar dunia distopia untuk membungkusnya.

Buku fiksi ilmiah apa yang paling kamu suka?

Untuk saat ini aku sedang suka Cyberiad (Stanisław Lem), dan Cosmicomics (Italo Calvino). Menurutku kedua buku itu memberi cerita fiksi ilmiah yang inovatif. Ada humor, ironi, dan unsur-unsur ilmiah di dalam cerita-cerita mereka tidak muncul sebagai tempelan, tetapi benar-benar berpadu dengan cerita. Di Cyberiad misalnya, Lem membuat dua tokoh utama yang sedang berusaha membuktikan keberadaan naga, dan demi melakukan itu mereka menggunakan teori-teori termodinamika. Sekilas memang kelihatan rumit, tapi Lem membuatnya terasa seperti bermain-main dan ada bagian konyolnya.

Memain-mainkan sains dengan humor yang asyik, buatku itu seru.

Aku juga suka buku-buku Victor Pelevin, kumpulan cerita A Werewolf Problemin Central Russia (1998) dan novel Omon Ra (1992). Ada satu ceritanya yang sangat aku suka karena ditulis dengan cara seperti petunjuk bermain gim, dan ceritanya pun tentang gim video.

Rio Johan di acara diskusi buku Raden Mandasia Si Pencuri Daging Sapi Yusi Avianto Pareanom di Kafe Dongengkopi, Indie Book Corner, Yogyakarta. Rio mengaku tidak begitu banyak membaca karya penulis Indonesia era klasik.


Bagaimana mulanya kamu tertarik dengan dunia fiksi ilmiah?

Mungkin karena sejak bersekolah pikiranku sudah tercetak dengan mindset yang ilmiah. Aku anak IPA. Tapi, seperti aku bilang tadi, aku juga tertarik pada sejarah Mesopotamia dan Mesir kuno.

Bahkan, kayaknya aku lebih paham mitologi Yunani ketimbang Mahabarata.

Kalau soal mitologi Yunani, aku menyukainya gara-gara main gim. Cerita-cerita dalam gim yang aku mainkan banyak bersumber dari sana. Sayangnya enggak ada Gatotkaca di cerita-cerita gim itu, kalau ada mungkin aku bisa lebih menyukai sejarahnya ketimbang mitologi Yunani.

Gim apa yang bikin kamu kepikiran buat menulis?

Cerita “Ketika Mubi Bermimpi Menjadi Tuhan yang Melayang di Angkasa” dalam kumpulan Aksara Amananunna itu inspirasinya dari Valkryie Profile, aku teringat satu adegan ketika karakter di gim itu terbang mencari pasukan buat Ragnarok, lantas aku menulis cerita Mubi.

Omong-omong, kamu main Valkryie Profile?

Iya, aku main. Konsol paling lawas apa yang pernah kamu mainkan?

PlayStation1. Tapi, aku juga sempat icip-icip Nintendo.

Genre gim favorit?

RPG--Role Playing Game--dan favoritku adalah Suikoden.

Main Legend of the Dragoon nggak?

Yang semua karakternya pakai jubah perang bersayap dan gimnya sampai empat disc itu? Main.

Kenapa suka RPG?

Aku akan menjawabnya begini: Suatu kali aku membaca salah satu kritik film dari Roger Ebert, dia bilang gim bukanlah seni. Aku pikir Roger Ebert perlu main gim-gim RPG untuk membuktikan keabsahan komentar itu.

Di dalam gim-gim RPG ada cerita, visual, drama, karakter, yang unsur-unsur itu semuanya bisa diaplikasikan ke seni, dan juga sebenarnya adalah elemen suatu bentuk seni. Cerita-cerita di gim RPG sangat kompleks, enggak melulu tentang menyelamatkan dunia.

Kapan tepatnya, seiring main gim, pikiranmu sebagai penulis lahir?

Sebenarnya keinginanku menulis enggak hanya datang dari main gim. Aku juga suka baca dan nonton film. Pengalaman main gim, baca, dan nonton film itu yang berpengaruh terhadap prosesku menulis.

Enggak ada momen pasti kapan aku mulai serius menulis. Tapi, tahun 2008 aku gabung dengan situs forum penulis pemula http://kemudian.com. Waktu itu juga belum serius, cuma iseng posting tulisan-tulisanku yang kebanyakan cerita-cerita detektif.

Aku enggak merasa ada satu titik jelas ketika aku memutuskan ingin menulis cerita fiksi yang bisa dibukukan. Aku hanya menulis, prosesnya mengalir saja, lama-kelamaan aku ketagihan menulis cerita dan dengan sendirinya cerita-cerita itu semakin digarap secara serius. Aku mulai ingin menulis lebih baik lagi, lalu tahu-tahu ada ceritaku yang terbit di media cetak. Begitu saja.

Keseriusanku menulis dimulai dengan menulis tidak serius.

Selain membaca novel-novel fiksi ilmiah dan bermain gim, kamu juga suka menonton film. Film macam apa yang kamu tonton?

Meskipun beberapa orang merasa cerita-ceritaku aneh karena referensi bacaan yang enggak lazim, sebetulnya aku juga menyukai cerita-cerita yang mainstream. Seleraku atas buku dan film fleksibel saja.

Film-film yang bikin aku ingin menulis kebanyakan datang dari Cekoslovakia, lebih tepatnya produksi tahun 1960-an ketika mereka masih negara komunis. Aku suka karena film-film mereka satir dan dituturkan dengan cara yang unik. Ironi dan humor pun ada di dalam film-film itu.

Selera filmku berkembang dari waktu ke waktu. Dulu waktu SMA, aku nonton film yang seru-seru saja. Setelah itu mulai nonton film-film nominasi Oscar. Lalu, baru aku mencari film yang "aneh-aneh", misalnya film-film festival Cannes dan semacamnya.  

Jadi, enggak sejak awal aku menonton film-film "aneh", tapi seleraku menonton, sama seperti selera bacaan, terus berkembang.

Dari sejumlah film produksi Cekoslovakia yang kamu tonton, mana yang paling kamu suka?

Salah satunya Closely Watched Trains (1966, Jiri Menzel). Ceritanya tentang anak remaja yang tinggal di suatu kampung di Ceko, dan ia baru diterima kerja sebagai pengawas rel kereta. Ia naksir seorang cewek yang juga petugas kereta. Si cowok belum pernah bercinta, sementara si cewek, dalam hal ini, lebih berpengalaman.

Menurutku, itu film coming of age yang lengkap: humor, ironi, dan kritik sosial, semuanya ada di sana. Ada kegelisahan anak muda jomlo yang pengin mendapatkan pengalaman seks pertamanya. Seluruhnya dituturkan dengan cerita yang lucu sekaligus ironis.

Dari mana asalnya tema BDSM di dalam cerita-ceritamu?

(Tertawa) Buatku, seru saja kalau bisa menggali sisi-sisi gelap manusia yang tidak banyak orang lihat, kemudian menggabungkan sisi-sisi itu dan menuliskan ceritanya. Tapi, aku tetap berusaha memasukkan unsur humor ke dalam cerita-cerita gelap itu. Entah berhasil atau tidak, aku juga enggak yakin.

Tema BDSM aku dapat dari film. Bukan film bokep. Salah satu referensiku film Prancis, judulnya Maîtresse (1976, Barbet Schroeder). Aku nonton itu waktu bikin cerita “Komunitas” di Aksara Amananunna.

Saya kira kamu baca buku-bukunya Marquis de Sade?

Aku baca de Sade juga. Sebetulnya aku baca lumayan banyak buku-buku erotika. Selain buku-bukunya Marquis de Sade, aku juga baca Hogg (Samuel R. Delany), dan cerita-cerita pendek Anaïs Nin.

Maaf kalau ini mulai terdengar membosankan, tapi saya ingin komentar sekali lagi tentang tema cerita-ceritamu yang aneh dan “menyeleweng” dari kebanyakan tema cerita-cerita penulis seangkatanmu maupun di atas kamu. Kamu membedakan genremu secara sengaja atau bagaimana?

Aku enggak pernah secara sadar ingin terlihat berbeda dari penulis-penulis lain. Mungkin referensi dan ketertarikanku saja yang membuat cerita-ceritaku beda. Kalau yang aku lihat, kebanyakan penulis Indonesia lain mengarang cerita realis, tetapi aku tidak.

Aku sadar cerita-ceritaku terlihat berbeda. Di satu sisi, aku merasa senang, tapi di sisi lain aku juga merasa teralienisasi. Kritik yang paling banyak aku terima dari orang-orang adalah bahwa tidak ada satu pun cerita yang aku tulis tentang Indonesia. Oh, enggak tepat Indonesia, sih, tapi lebih kepada cerita-ceritaku yang dianggap tidak membumi. Cerita-ceritaku enggak memuat isu sosial, politik, atau peristiwa-peristiwa faktual yang sedang terjadi.


Karya Debut Rio Johan, kumpulan cerita Aksara Amananunna (KPG, 2014). Buku ini mengantarkan Rio menjadi Tokoh Seni Kategori Penulis Prosa oleh Majalah TEMPO pada 2014, bersanding dengan Mario F. Lawi pada kategori Puisi.


Walau ceritamu rada-rada aneh, bahasa yang kamu gunakan saat menulis justru sebaliknya: sederhana dan lugas. Apa itu strategi literer kamu dalam usaha mendekatkan cerita-ceritamu ke pembaca?

Aku enggak pernah sangat memikirkan hal itu, sih. Buatku, yang penting ceritaku mengalir. Itu saja cukup. Gaya bahasa yang aku pilih bergantung pada kebutuhan karakter atau cerita itu sendiri.

Selain bikin cerita pendek, kamu juga menulis novela. Kamu lebih nyaman bercerita dalam bentuk pendek atau panjang?

Seperti aku bilang tadi, aku menulis dengan mengalir saja. Enggak pernah sejak awal memikirkan pendek atau panjang cerita. Kalau kebutuhan cerita membuat alurnya jadi panjang, mau enggak mau ya jadi panjang, dan kalau memang cerita tertentu enggak bisa selesai dalam bentuk yang pendek, kenapa harus dipaksa diselesaikan? Berlaku juga kasus sebaliknya.

Kamu menulis pakai outline?

Enggak. Aku enggak bisa menulis pakai kerangka.

Aku mulai dari ide dasar, lalu menimbang-nimbang, merenungkan, dan memasak ide itu sampai matang, baru menuliskannya.

Biasanya aku membedakan cerita-ceritaku menjadi dua jenis: yang satir dan yang benar-benar gelap tanpa humor. Misalnya, cerita “Riwayat Benjamin” dan “Suzanna, Suzanna” itu enggak ada humornya, tapi di “Kevalier d’Orange” masih lucu. Setiap dapat ide tulisan, biasanya aku memutuskan terlebih dahulu akan menggarap ide ini dan mengarahkannya menjadi golongan yang mana.

Tapi, enggak selamanya harus seperti itu.

“Undang-Undang Antibunuhdiri” itu idenya dari mana?

Ada dua: film dan berita. Waktu itu, aku baca berita tentang angka bunuh diri di Rusia yang semakin meningkat--negara “R” dalam cerita itu mengacu pada negara tersebut--dan aku sempat menonton film Prancis, The Suicide Shop (2012, Patrice Leconte). Jadilah aku menulis cerita itu.

Dari beberapa berita yang aku baca, aku tahu ternyata ada beberapa negara yang memutuskan untuk memasukkan aksi bunuh diri sebagai tindak kriminal. Tapi, aku enggak mengerti gimana cara mereka menghukum pelaku bunuh diri. Kalau mereka sudah bunuh diri dan mati… lantas?

Buku apa yang kali pertama kamu baca seumur hidupmu?

Komik Paman Gober.

Setelah dari komik dan kisah-kisah dongeng semasa kecil, baru aku baca novel. Novel pertama yang aku selesaikan: serial Narnia, ada tujuh buku. Itu waktu aku SMP. Lalu, aku baca novel-novelnya Agatha Christie. Sampai sekarang, aku masih terpesona dengan cara Agatha Christie merangkai logika dalam cerita-cerita detektifnya.

Omong-omong soal logika, bagaimana cara kamu membangun keutuhan logika dalam cerita-ceritamu?

Kalau cerita-cerita dengan latar dunia masa depan antah-berantah, buatku lebih mudah, kita cuma perlu mengarang dengan memasukkan unsur-unsur yang tetap logis.

Yang lebih butuh kerja ekstra adalah cerita-cerita dengan latar masa lalu, misal cerita berlatar sejarah Mesopotamia atau Mesir kuno, yang dunianya memang jauh dari sini, tapi benar-benar ada. Untuk cerita berlatar seperti itu, aku harus melakukan riset yang kuat. Salah satu caraku meriset adalah dengan menonton film-film yang sesuai.

Cerita “Riwayat Benjamin” yang berlatar Inggris tahun 1598, misalnya, aku harus riset sampai ke isu sosial dan politik apa yang terjadi pada masa itu, ketika masih di bawah pemerintahan Raja James, setelah Reformasi Gereja. Konflik Protestan dengan Katolik waktu itu masih sengit, dan James mewarisi konflik tersebut dari Elizabeth pertama--sang ratu perawan. Ceritaku menyentil masalah itu, termasuk soal Raja James yang main aman dan enggak seberani Elizabeth dalam memperjuangkan protestanisme, terutama terhadap Spanyol yang saat itu dianggap pejuang Katolik.

Enggak cuma isu sosial politik, tapi hal-hal sepele seperti cara orang-orang di sana pada waktu itu makan dan berpakaian pun harus aku riset, untuk membuat pembaca yakin. Misalnya, cowok-cowok di sana zaman segitu pakai sepatu heels, dan cewek-cewek cantik bukan yang berbadan kurus seperti sekarang, tetapi justru yang berisi.

Semua riset itu perlu untuk membangun logika cerita.

Kamu dinobatkan oleh majalah TEMPO sebagai Tokoh Seni kategori Sastra Prosa tahun 2014. Apa yang ada di benakmu saat itu?

Aku hanya penasaran gimana juri-jurinya berdebat menentukan itu.

Kamu melihat kemenangan itu sebagai pengakuan dari para sastrawan akan bakatmu sebagai penulis muda dengan cerita-cerita yang segar?

Aku ingin jawab kayak begitu, tapi aku takut dibilang sombong (tertawa).

Aku enggak pernah memikirkannya, sih. Menurutku saat itu ada banyak buku bagus. Soal menang atau kalah sepenuhnya kebijakan para juri. Tapi, aku senang cerita-cerita dengan tema yang jarang diangkat di dunia prosa Indonesia bisa terpilih dan menang penghargaan seperti itu.

Seperti tadi aku bilang, aku penasaran ingin melihat gimana para juri berdebat waktu mereka menentukan pemenangnya.

Kamu pernah gabung dengan komunitas sastra?

Waktu di Solo aku sempat ikut komunitas Pawon, tapi cuma jadi penggembira. Pernah beberapa kali diminta jadi moderator acara bedah buku, tapi aku sering nolak karena merasa enggak punya kapasitas melakukan kritik sastra. Aku datang dari Teknik Kimia dan enggak punya ilmu sastra.

Siapa penulis Indonesia yang kamu suka?

Ini juga yang mungkin bikin cerita-ceritaku agak berjarak dari penulis-penulis Indonesia lain: aku jarang membaca buku dari penulis-penulis klasik Indonesia. Aku membaca buku dari penulis-penulis kontemporer, tapi yang klasik semacam Romomangun, aku belum pernah baca.

Aku suka Budi Darma, terutama bukunya Olenka (1983). Aku suka cara Budi Darma menggali isi pikiran dan perasaan di dalam diri tokoh-tokohnya. Aku juga suka Orang-Orang Bloomington (1981). Budi Darma benar-benar menggali sisi manusia sampai ke bagian terdalam.

Kalau dari generasi muda, aku suka cerita-cerita yang ditulis teman-temanku. Mereka menggali hal-hal baru dan cerita-cerita mereka segar. Mereka juga punya bacaan yang bagus. Semoga pendapat ini enggak dianggap nepotisme (tertawa).

Kamu membaca buku dengan cara yang berbeda sebelum dan sesudah aktif menulis?

Iya. Kalau sekarang aku membaca buku dengan lebih analitik. Setiap ketemu buku bagus, aku berpikir apa yang bisa digali dan dipelajari dari sana. Untuk menemukannya, aku membaca ulang buku itu.

Kembali ke persoalan tema ceritamu yang dianggap tidak membumi. Kamu terganggu tidak dengan komentar seperti ini?

Cukup terganggu, karena kritik itu memang benar.

Itu yang bikin aku kadang-kadang merasa teralienisasi. Tapi aku memang enggak bisa menulis cerita-cerita jenis yang realis, mengandung unsur-unsur lokalitas, atau yang memuat isu-isu sosial politik di Indonesia. Semua itu bukan zona nyamanku. Aku merasa belum cukup peka menangkap peristiwa faktual yang terjadi di sini untuk diangkat ke tulisanku.

Enggak tertutup kemungkinan bahwa beberapa tahun lagi aku akan menuliskan hal-hal seperti itu, tentu dengan caraku sendiri. Tapi, untuk sekarang, belum.

Punya first reader buat manuskrip-manuskripmu?

Enggak.

Sejujurnya, aku orang yang enggak cukup pede dengan karya-karyaku sendiri. Di dalam buku Aksara Amananunna yang ada dua belas cerpen, cuma tiga yang aku benar-benar percaya diri untuk dibukukan: “Riwayat Benjamin”, “Aksara Amananunna”, dan “Kevalier d’Orange, sisanya aku menilai cerita-ceritaku cuma di titik lumayan.

Aku lebih sering melakukan kritik terhadap karya-karyaku sendiri. Begitu caraku belajar. Mungkin bukan cara yang baik, karena kita tahu kita enggak akan pernah bisa sepenuhnya objektif menilai karya sendiri.

Pernah ikut klub membaca?

Enggak.

Hadir sebagai penulis di zaman digital, apa manfaatnya buatmu?

Karena kebanyakan cerita-cerita pendekku berukuran panjang-panjang, aku jadi lebih leluasa memuatnya lewat blog dan mudah dibaca orang. Selain itu, mudah juga untuk mencari referensi bacaan. Kalau mau riset, dulu orang-orang harus ke perpustakaan, sekarang aku tinggal pakai Google.

Aku pikir kemudahan-kemudahan seperti itu adalah keuntungan utama menjadi penulis di generasi digital atau Internet.

Di keluargamu siapa lagi yang senang membaca buku?

Ibuku. Tapi, bacaan dia buku-buku tentang hukum.

Aku punya tiga orang nenek, dan salah satunya adalah guru sejarah. Waktu kecil, dia sering cerita ke aku soal sejarah, tetapi sayangnya bukan sejarah nusantara; dia bercerita tentang Marie Antoinette, Zeus, dongeng apel emas, dan lain-lain. Dia menceritakan kepadaku Revolusi Prancis, dengan cara seperti mendongeng, dan karena aku masih kecil waktu itu dia tidak menceritakan bagian-bagian isu politiknya. Kadang-kadang nenekku juga mengarang sendiri dongengnya.

Apa ambisimu di dunia kesusastraan?


Aku cuma ingin melihat sejauh mana aku bisa bertahan terus menulis. ***

Viewing all articles
Browse latest Browse all 402