Kali terakhir saya membaca buku dengan latar Mesir adalah novela Naguib Mahfouz, The Thief and the Dogs. Ceritanya tentang seorang mantan narapidana yang ingin memperbaiki hidup setelah bebas dari penjara, tetapi menemukan dirinya dikhianati oleh semua orang yang ia cintai. Kendatipun bergenre thriller, novela itu sangat puitis. Tidak seperti novel-novel dengan elemen suspense yang umumnya dituturkan dengan kalimat pendek-pendek demi membangun aura tegang, Naguib Mahfouz malah terlihat seperti berpuisi di dalam novelanya. Saya kira itu semata pilihan gaya menulis yang ia ambil, tapi begitu membaca Piramid, novel Ismaïl Kadaré, yang juga berlatarkan Mesir, saya melihat gaya narasi yang sama.
Ismaïl Kadaré adalah novelis dan penyair Albania. Tatkala mengetahui bahwa ia juga seorang penyair, saya baru mengerti mengapa narasi dalam Piramid terasa puitis (Naguib Mahfouz tidak dikenal sebagai penyair-karyanya kebanyakan prosa-tapi caranya menulis seperti berpuisi). Kadaré, sebagaimana Mahfouz, sepanjang karir mereka sebagai penulis sempat terganjal masalah dengan pemerintah atau kelompok di tempat tinggalnya. Mahfouz diteror kelompok Islam ekstremis di Mesir tahun 1994 karena salah satu novelnya yang dianggap kontroversial. Kadaré terpaksa menyelundupkan manuskrip novelnya keluar negeri karena tekanan dan penindasan rezim totaliter Enver Hoxha, pemimpin komunis Albania tahun 1944 hingga 1985.
Piramid, terjemahan dari bahasa Prancis La pyramide-ditulis Kadaré semula menggunakan bahasa Albania berjudul Pluhuri mbretëror -merupakan salah satu karyanya yang menginspirasi usaha penumbangan rezim totaliter Albania. Karena Kadaré senantiasa menulis novel-novelnya dalam bahasa Albania murni tanpa menyelipkan bahasa asing, ia dianggap sebagai pembaharu sastra Albania. Kesetiaan pada bahasa nasionalnya ini merupakan sesuatu yang unik dan dihargai atas dampaknya pada kelestarian bahasa Albania. Kendati demikian, Piramid diselesaikan dalam bahasa Prancis (sedikit mengingatkan saya pada Milan Kundera yang berhenti menulis dalam bahasa Ceko setelah eksil ke Prancis karena masalah dengan pemerintahnya, sejak itu mengalihbahasakan seluruh karyanya ke bahasa Prancis dan mulai menulis dalam bahasa Prancis). Saya sendiri membaca Piramid versi bahasa Indonesia, yang diterjemahkan amat baik oleh Dwi Pranoto.
Secara ringkas, Piramid bercerita tentang seorang firaun yang memerintahkan rakyatnya untuk membangun sebuah piramida bagi dirinya, sebagaimana tradisi Mesir yang telah tertoreh di gulungan-gulungan papirus seolah suratan takdir. Cheops, firaun baru dan masih muda, sebelumnya sempat membuat seluruh jajaran anak buahnya gempar, karena mengeluarkan pernyataan tak layak dan mencemaskan: ia tidak ingin dibuatkan piramida. Celetukan itu merupakan “…berita malapetaka” bagi para penghuni istana. Menurut mereka, firaun baru ini kelewat nyeleneh. Mana ada firaun yang tak mau memiliki piramida? Namun, setelah usaha demi usaha membujuk Cheops, firaun muda itu, akhirnya para penghuni istana berhasil meyakinkan pemimpin mereka bahwa bagaimanapun piramida dibutuhkan, bukan hanya bagi sang firaun, tetapi juga demi rakyat dan bahkan Mesir itu sendiri.
Bab-bab berikutnya adalah proses pembangunan piramida baru bagi sang firaun baru-ini merupakan sebagian besar isi novel Piramid. Kadaré menunjukkan bagaimana pembangunan sebuah piramida betul-betul sesuatu yang krusial bagi Mesir. Bagi firaun, penghuni istana, rakyat Mesir, dan bahkan negara-negara lain yang bertetangga dengan Mesir, pembangunan piramida adalah momen penting layaknya pernikahan pangeran kerajaan atau barangkali bencana nasional. Tahapan-tahapan pembangunan piramid dideskripsikan begitu rinci dan visual, sehingga tatkala membaca novel ini, saya merasa seperti sedang menonton film 10.000 BC.
Keseluruhan cerita dalam Piramid dituturkan secara kronologis, ini berarti tidak ada permainan alur maju-mundur maupun kilas balik. Agak berbeda dengan The Thief and the Dogs Naguib Mahfouz yang terdiri atas serentetan peristiwa, yang karena itu penuh adegan dan dialog, Piramid Kadaré sangat naratif, selayaknya tradisi mendongeng oral zaman dulu. Dialog sangat sedikit dan hanya muncul di bagian-bagian yang memerlukannya. Sisanya, kita mengetahui apa yang terjadi melalui narasi yang, seperti saya katakan tadi, kadang-kadang terasa mengalun dan puitis.
Piramid adalah cerita tentang usaha pemerintah melanggengkan kekuasaannya atas rakyat yang juga rada-rada masokis. Bagaimana tidak, pada saat firaun dan penghuni istana mengumumkan piramida akan mulai dibangun, seluruh rakyat di penjuru Mesir bersorak dan bergembira ria seakan-akan bakal memperoleh rezeki berlimpah, padahal yang terjadi sebaliknya, mereka sedang diseret masuk ke dalam penjara abadi penyiksaan. Penyiksaan ini diperlukan, kata penasihat, demi membangkitkan rasa hormat rakyat pada penguasa, menyegarkan kembali wibawa negara, dan yang paling luar biasa adalah: supaya rakyat tidak hidup bermalas-malasan. Penyiksaan kerja rodi membangun piramida, yang kelak memakan korban jiwa tak terhitung, bertujuan agar rakyat rajin berkegiatan dan produktif!
Rencana besar membangun sebuah piramida tidak terletak pada piramida itu sendiri, melainkan proses pembangunannya. Di sanalah terkandung trik penting dan nilai krusialnya. Piramida hanya akan selesai jika firaun menginginkannya. Jika piramida sudah hampir mencapai puncak, firaun dapat mengubah pikiran dan memerintahkan pembongkaran dan membangun dari awal, atau jika sudah kadung rampung, firaun akan memerintahkan untuk membuat piramida anak atau piramida pendamping, yang kendatipun umumnya berukuran lebih kecil, bisa berjumlah sebanyak yang diinginkan-semuanya sesuka-suka pemimpin. Kerja paksa penuh kesengsaraan itu akan terus berlangsung sejauh dibutuhkan, demi-seperti dinasihatkan para penghuni istana kepada Cheops sang firaun muda-membangkitkan moral, rasa hormat bahkan rasa takut, dan etos kerja rakyat Mesir demi negara dan pemimpinnya.
Tetapi, sebagaimana pada awalnya telah membuat Cheops cemas, pembangunan piramid inipun kelak betul-betul menjadi sebuah paradoks. Ia bingung apakah harus melecut rakyatnya bekerja keras agar piramida cepat rampung seperti tujuan semula yakni demi memacu etos kerja rakyat Mesir, tetapi mengingat bahwa piramida adalah makam bagi firaun, itu membuatnya curiga berat karena berarti orang-orang mengharapkan dirinya cepat mati. Demikian pula jikalau ia membiarkan proses pembangunan piramida berjalan lamban itu menunjukkan wibawanya sebagai firaun mulai pudar dan tidak dianggap, belum lagi kritik dari negara-negara tetangga yang bertanya-tanya kapan piramida selesai, bahkan menuduh bahwa piramida itu hanya omong-kosong Mesir beserta firaunnya. Cheops terjebak dalam usaha melanggengkan kekuasaan yang ia mulai sendiri.
Secara jitu, novel Piramid memperlihatkan bagaimana pemerintah selalu punya cara untuk melanggengkan kekuasaan, bahkan dengan metode-metode yang tak selalu disadari oleh rakyatnya. Kita boleh lebih kritis di masa sekarang ini, tidak seperti zaman rakyat Mesir di bawah pimpinan seorang firaun, tetapi metode hanyalah metode yang senantiasa bisa dimodifikasi. Kalau tidak secara terang-terangan, ya pakai cara halus dan terselubung. Satu-satunya cara agar tidak terperangkap oleh tentakel-tentakel negara yang tidak pernah berhenti mencoba mengontrol habis rakyatnya, adalah dengan merawat kesadaran, berpikir kritis, dan menajamkan nurani.
Dengan isu yang diangkat, penuturan yang mengalir, deskripsi peristiwa yang filmis, serta kompleksitas situasi yang terdapat di dalamnya, novel Piramid karya Ismaïl Kadaré masuk dalam daftar novel terbaik dunia yang pernah saya baca. ***