Buku dari penulis asal India yang kali pertama saya baca adalah kumpulan cerita Jhumpa Lahiri, Interpreter of Maladies. Saya menyukai buku itu.Tetapi, seperti yang sudah-sudah, bukan berarti setelahnya saya langsung membaca buku dari penulis India lagi. Biasanya, buku berikut yang saya baca terambil secara acak dari rak. Namun, kali ini ada sedikit kebetulan. Saya tetap mengambil buku dari rak perpustakaan pribadi secara acak, tetapi yang tercomot ternyata buku dari penulis India: The White Tiger, Aravind Adiga. Setelah beres membaca The White Tiger pun lagi-lagi secara kebetulan saya mengambil buku penulis India, sehingga berturut-turut saya membaca tiga buku dari tiga penulis asal India-- tetapi ini akan saya ceritakan di tulisan lain. Dalam tulisan ini saya mau bercerita pengalaman membaca The White Tiger, novel Aravind Adiga yang menjadi peraih penghargaan Man Booker tahun 2008.
Suatu hari di tahun 2015 saya bertandang ke Jakarta dan bertemu dua orang teman penulis. Saat itu sore hari, kami bertiga mengobrol santai di dalam sebuah ruangan gedung di areal Taman Ismail Marzuki di kawasan Cikini. Kami membicarakan buku. Saya bertanya apa saja buku favorit mereka, dandi antara judul-judul buku dan nama penulis yang mereka sebutkan, muncul The White Tiger. Saya familier dengan judul dan nama penulisnya, Aravind Adiga, tetapi belum pernah membaca. Buku-buku lain yang mereka sebutkan pun tidak satu pun yang sudah saya baca. Tetapi saya percaya tidak ada kata terlambat untuk membaca buku bagus, maka baru setelah delapan tahun sejak pertama rilis, akhirnya secara kebetulan saya membaca The White Tiger.
Hasilnya: saya sangat, sangat, sangat, menyukai novel ini.
Pernah baca The Brief Wondrous Life of Oscar Wao, Junot Díaz? Novel Aravind Adiga The White Tiger punya rasa yang mirip-mirip. Saya kira itu karena tokoh utama sekaligus naratornya, Balram Halwai, punya cara bicara mirip Yunior. Ceplas-ceplos, blak-blakan, gemar mengumpat, dan senantiasa membuat lelucon dan berkelakar. Saya sudah ngakak sejak halaman-halaman pertama The White Tiger, sama seperti saya tertawa membaca penggambaran Yunior atas hero novel Junot Díaz, si remaja gemuk pecandu gim Oscar di pembukaan novelnya. Itulah hal pertama yang membuat saya serta-merta menggumam: “Saya akan menyukai buku ini.” Buku bagus, sama seperti hal-hal lain yang bagus, sudah ketahuan sejak persentuhan pertama.
The White Tiger dibuka dengan narasi yang sekilas saja terlihat seperti sebentuk epistolari. Awalnya saya langsung malas ketika melihat ada surat di bagian awal. Tetapi, ternyata cara bicara Balram Halwai betul-betul menghibur. Ia menulis surat kepada kepala pemerintahan Cina, Wen Jiabao-- Balram menyebutnya “Mr. Premier”-- sesaat setelah Balram mendengar melalui radio India bahwa Jiabao akan berkunjung ke negaranya untuk mengenal seluk-beluk India. Dalam suratnya, Balram menjelaskan bahwa India adalah penghasil wirausahawan yang kece punya, dan ia bermaksud menceritakan kisah seorang pemuda yang berawal dari anak penarik becak di kampung terpencil menjadi seorang pebisnis sukses di pusat kota India.
Tentu saja, “pebisnis sukses” ini tidak seperti yang kita bayangkan. Lagipula, memang bukan itu intinya.
Balram Halwai, narator kita, lahir di sebuah kampung bernama Laxmangarh. Ia punya ayah yang bekerja sebagai penarik becak (rickshaw puller-- ditarik dari depan berjalan kaki, bukan dengan diengkol dari belakang penumpang) dan bibi-bibi yang sangat menyebalkan. Ayahnya membiasakan Balram membaca dan mendorongnya agar rajin bersekolah. Balram memang akhirnya menjadi salah satu murid yang pintar, sampai-sampai ketika ada kunjungan dari orang dinas pendidikan (mungkin semacam itu) ke sekolah mereka, Balram disebut “White Tiger” karena hanya dirinya di antara teman-teman sekelas yang bisa membaca dengan baik, sehingga ia langka, one of a kind. Dari sana lah Balram mendapat julukan The White Tiger, yang kemudian juga menjadi judul novel ini.
Tetapi, sebagai personel keluarga Halwai, hidup Balram sudah digariskan. Takdir yang melekat pada marganya membuat ia terjebak dalam bayang-bayang masa depan menjadi pembuat manisan (atau mungkin gula-gula/permen). Seperti orang dengan marga lain dan takdir yang mengikutinya, marga Halwai berarti takdir hidup menjadi pekerja kelas rendah. Balram Halwai menolak masa depan seperti itu. Ia menginginkan jalur alternatif. Ia menginginkan masa depan yang berbeda. Ia menginginkan kebebasan.
Kebebasan itu diperoleh Balram dengan menjadi sopir seorang keluarga tajir di Delhi. Majikannya, Ashok, adalah anak kandung tuan tanah yang punya pengaruh politik di India. Orang penting. Memiliki insting yang tajam, inisiatif tinggi,dan kemampuan menyerap ilmu dengan cepat, kehidupan berjalan baik-baik saja bagi Balram, hingga musibah menimpa: sedan yang ia tumpangi menabrak mati seorang bocah.Adalah istri majikannya yang menyetir pada saat itu, tetapi di bawah ancaman, Balram dipaksa mengaku oleh sang tuan tanah bahwa dirinya pelaku tabrak lari tersebut. Ketegangan dimulai dari sini. Marabahaya bermula ketika Balram mencari jalan keluar dari perangkap besar yang telah menelan banyak orang bawah India ini. Jika kau bukan orang berpengaruh dan punya uang, hidup di India berarti hidup di dalam kandang ayam, dan The White Tiger adalah cerita bagaimana tokoh kita membebaskan dirinya dari kandang ayam itu.
The White Tiger merupakan cerita semi-thriller (karena di dalamnya ada adegan pembunuhan) yang menampilkan sisi-sisi India dalam metode dikotomis: terang dan gelap. Aravind Adiga mencoba menunjukkan kepada orang-orang bahwa India tidak hanya “surga” eksotis yang indah, tetapi juga memiliki di dalamnya bagian gelap, dan di dalam bagian gelap India inilah cerita Balram Halwai menjadi cerita masyarakat akar rumput di India, negara hasil jajahan Inggris yang memiliki banyak kesamaan dengan Indonesia (paling tidak sama-sama negara bekas jajahan).
Saya sangat terhibur membaca The White Tiger seperti saya terhibur membaca The Brief Wondrous Life of Oscar Wao seperti saya terhibur membaca Two Years Eight Months and Twenty-Eight Nights seperti saya terhibur membaca buku-buku bagus yang tidak hanya kaya dan berlapis secara muatan tetapi juga seru dan page-turner secara cerita. Buku-buku dengan muatan bagus dan mendalam tidak mesti ditulis dengan cara yang membosankan dan buku-buku seru tidak mesti punya muatan yang dangkal. Keduanya, muatan dan cerita, bisa tampil secara baik di tangan seorang penulis bagus; penulis yang membaca buku-buku bagus dan punya visi membuat buku-buku bagus. ***