Quantcast
Channel: Bernard Batubara
Viewing all articles
Browse latest Browse all 402

Menertawai Impian Manusia Ala John Steinbeck

$
0
0



Cerita-cerita yang ditulis dengan tujuan membuat orang lain menangis, biasanya dibuka justru oleh kisah lucu. Tragicomedy, adalah istilah yang mengacu pada genre kesusastraan yang membaurkan aspek-aspek komikal dan tragis; cerita memuat situasi-situasi yang ringan dan mengangkat mood, kemudian berakhir dengan sesuatu yang menghancurkan hati.

Persahabatan sederhana tapi rumit antara George Milton dengan Lennie Small di novela Of Mice and Men tampil di beberapa halaman pertama sebagai pemantik gelak tawa. Mengacu kalimat pembuka tulisan ini, tentu saja saya tidak tahu apakah John Ernst Steinbeck meniatkan novelanya untuk membuat pembacanya menangis, tetapi saya yakin siapapun yang membaca novela ini, akan tertawa lepas hanya untuk menyambut datangnya airmata ketika tiba di bagian akhir.

Of Mice and Men adalah novela yang plotnya digerakkan oleh karakter. Dua karakter utamanya, sepasang sahabat, George Milton dan Lennie Small, adalah pekerja kasar di suatu peternakan. Mereka berpindah dari satu peternakan ke peternakan lain demi mendapat uang dan menghidupi diri mereka. Sejak muncul di beberapa halaman pertama, kita sudah bisa segera mengetahui orang seperti apa George dan Lennie. Dengan sangat efektif, Steinbeck mengungkap watak mereka hanya melalui dialog.

Dialog adalah elemen penulisan yang berperan kuat dalam Of Mice and Men. Kita tahu George seorang penggerutu, berakal sehat, intuitif, gemar menilai orang, semuanya dari ucapan-ucapan yang ia lontarkan. Begitu pula Lennie, kita tahu ia agak lamban berpikir, lugu, tulus, juga dari kata-katanya dalam tiap percakapan. Tidak hanya memperlihatkan sifat-sifat karakter, dialog di Of Mice and Men juga digunakan Steinbeck untuk mengungkap apa yang terjadi di masa lalu (back story), sehingga latar belakang mengapa tokoh-tokohnya melakukan apa yang mereka lakukan dapat dimengerti tanpa harus menuliskan semacam kilas balik.

Saat menyimak dialog antara George si laki-laki penggerutu yang bertubuh kecil dengan Lennie si laki-laki berbadan besar dan berotak lemah, saya teringat pada hubungan Sungu Lembu dan Raden Mandasia dalam novel Raden Mandasia Si Pencuri Daging Sapi, Yusi Avianto Pareanom. Kejengkelan Sungu Lembu pada tingkah laku Raden Mandasia mirip-mirip kedongkolan George pada Lennie yang sering membuatnya terpaksa mengeluarkan Lennie dari masalah-masalah yang ia sebabkan karena keluguan dan kelemahan otaknya itu.

Tidak hanya George dan Lennie, karakter-karakter lain pun tampil begitu kuat dan mudah dibedakan antara satu dengan yang lain. Slim yang bijak, Curley yang arogan, Candy si tua, Crooks si negro, dan seterusnya. Lagi-lagi, watak mereka kelihatan jelas hanya lewat dialog-dialog mereka. Cara bicara menunjukkan sifat masing-masing karakter. Kurt Vonnegut bilang sebuah dialog mesti melakukan setidaknya satu dari dua hal berikut: mengungkap karakter atau mempertajam plot. Steinbeck melakukan keduanya sekaligus dalam Of Mice and Men.

Tentang ceritanya sendiri, seperti sempat saya singgung sedikit tadi, adalah mengenai dua orang yang bekerja dari satu peternakan ke peternakan lain. Tapi tidak cuma itu, tentu saja. Dua pekerja kasar ini, George dan Lennie, menganggap diri mereka tidak sama dengan pekerja-pekerja lain, yang hanya bekerja dari satu ranch ke ranch berikut, memperoleh sedikit upah, kemudian menghabiskan seluruh uangnya di rumah-rumah pelacuran untuk mabuk dan bercinta. Lantas apa yang membuat George dan Lennie merasa diri mereka berbeda? Karena mereka punya mimpi.

Mimpi mereka kiranya adalah mimpi semua orang: Kehidupan yang lebih baik. Lebih spesifik lagi, George dan Lennie ingin memiliki tanah yang mereka kelola sendiri. Mereka tidak ingin selamanya menjadi pekerja kasar di tanah orang lain, hanya mendapat upah tak seberapa dari kerja yang keras, dari si tuan tanah. Mereka ingin punya tanah sendiri, menanam apa yang mereka ingin tanam dan menuai hasilnya untuk mereka sendiri, memelihara hewan yang mereka ingin dan mendapat hasil dari ternaknya untuk menghidupi diri mereka sendiri, dan tidak lagi perlu bekerja buat orang lain.

Sebuah mimpi yang utopis, lebih-lebih bagi mereka, tetapi tak ayal mimpi utopis inilah yang membuat mereka bersemangat dan optimis untuk terus hidup. Efek mimpi itu lebih kentara berdampak pada Lennie yang berotak lamban. Ia ingin memelihara kelinci di tanahnya sendiri, karena di tanahnya sendiri tidak akan ada orang yang melarangnya memelihara kelinci seperti yang ia alami saat ini. Di saat-saat tertentu, ketika mereka sedang merasa lesu, Lennie kerap meminta George mengucapkan ulang rencana-rencana dan impian mereka, dan dengan kesal tetapi patuh George mengucapkannya, dan pada saat itulah mereka yang merasa hidup begitu sulit tiba-tiba mendapat energi kembali untuk bekerja dan mengumpulkan uang.

Tetapi seperti semua impian utopis, impian George dan Lennie pun ditertawakan oleh rekan-rekannya, termasuk Crooks si negro yang banyak membaca buku dan skeptis. Pernyataan Crooks si negro kutu buku, yang juga bisa dipandang sebagai pernyataan Steinbeck, yang juga bisa dianggap pesan besar dari keseluruhan Of Mice and Men, terangkum dalam satu paragraf dialog berikut:

I seen hunderds of men come by on the road ‘an on the ranches, with their bindles on their back an’ that same damn thing in their heads. Hunderds of them. They come, an’ they quit an’ go on; an’ every damn one of ‘em’s got a little piece of land in his head. An’ never a God damn one of ‘em ever gets it. Just like heaven. Ever’body wants a little piece of lan’. I read plenty of books out there. Nobody never gets to heaven, and nobody never gets no land. It’s just in their head.”

Realisme John Steinbeck dalam novela Of Mice and Men mewakili suara pekerja kelas bawah yang menggantungkan hidupnya pada upah tak seberapa, sehingga impian paling sederhana sekalipun semacam kehendak bekerja di lahan sendiri dan bagi diri sendiri menjadi tampak konyol dan begitu patut ditertawakan. Tak luput pula akhir tragis yang menimpa Lennie, tokoh yang paling tenggelam ke dalam impian utopis itu, semakin menguatkan gambaran akan kehidupan orang-orang yang berada di garis paling bawah tangga ekonomi. Bermimpi dan mati tanpa pernah melihat mimpi kecilnya terwujud.

Tapi mimpi memiliki kehidupan yang lebih baik merupakan mimpi milik semua orang, sehingga tak hanya Lennie si badan besar bernasib malang yang terpuruk dalam takdir tragis, tetapi kita semua juga bisa jatuh di jurang yang sama. Lagipula, pada kondisi yang berbeda-beda, kita semua adalah George dan Lennie. Kita semua adalah buruh. Kita semua bekerja di bawah kepentingan seseorang atau sesuatu, memiliki mimpi-mimpi yang utopis, dan tidak cukup berani untuk menertawai sendiri mimpi-mimpi itu. Padahal tahu, Tuhan terlalu sibuk untuk mengabulkan semua mimpi. ***



Viewing all articles
Browse latest Browse all 402