“What do any of us really know about love?”
Saya selalu tertarik untuk mengetahui apa yang dikatakan para penulis tentang satu kata misterius ini: “cinta”. Orhan Pamuk, dalam The Museum of Innocence, memperlihatkan cinta sebagai sesuatu yang bisa terlarang namun kekal, atau setidaknya berusia panjang, serta memantik sejenis kegilaan bagi manusia yang mengalaminya. Mario Vargas Llosa, dalam In Praise of the Stepmother, menunjukkan cinta yang penuh hasrat. Sedangkan Haruki Murakami, menggambarkan cinta sebagai sesuatu yang terlihat ganjil, absurd, tampak sederhana namun sekaligus rumit. Lantas, bagaimana cinta menurut Raymond Carver?
Carver mengatakan apa yang ia katakan saat ia mengatakan tentang cinta lewat 17 cerita pendek dalam kumpulan What We Talk About When We Talk About Love. Omong-omong soal judulnya yang catchy, saya mendadak teringat pada buku berjudul mirip: What I Talk About When I Talk About Running, memoar yang bagus dari Haruki Murakami tentang berlari maraton dan menulis novel. Saya tahu Murakami juga membaca Carver, dan yakin dari buku inilah ia mendapatkan judul untuk memoarnya itu. Saya juga teringat pernah melihat sebuah film Indonesia dengan judul What We Don’t Talk About When We Talk About Love. Dan kalau meramban di mesin pencarian, siapapun akan melihat ada banyak kalimat yang merupakan hasil modifikasi judul buku Carver ini.
Mari kita tinggalkan pembicaraan mengenai judul dan masuk ke cerita-ceritanya.
Di permukaan, cerita-cerita Carver terlihat sederhana, dan sepertinya memang demikian. Namun, ketika kita membacanya dengan perlahan dan menyimak hal-hal kecil di dalamnya, kita akan tahu bahwa ada pergolakan yang tak sederhana di diri masing-masing karakter. Carver tidak mengatakan hal ini, tentu saja. Alih-alih, ia melakukan hal terbaik yang bisa dilakukan penulis kala ingin mengatakan sesuatu: Ia menunjukkannya.
Dalam cerita “Why Don’t You Dance”, seorang lelaki menjual hampir seluruh perabotan rumahnya. Ia meletakkan begitu saja tempat tidur, sofa, televisi, dan barang-barang lain di pekarangan rumahnya, selayaknya sebuah garage sale. Tak ada yang mengatakan apapun tentang apa yang laki-laki itu alami dan mengapa ia melakukan apa yang ia lakukan. Namun, pada satu bagian di pembukaan cerita itu, Carver menulis bagaimana laki-laki tersebut memandangi tempat tidur di halaman dari balik jendela dapurnya, dan ia melihat dua sisi tempat tidur itu: Sisi miliknya, dan sisi miliknya-- seorang perempuan.
Seorang lelaki memandangi dari balik jendela seorang pria tua dengan kamera mengambil gambar rumahnya, kemudian menjual gambar itu kepadanya. Laki-laki pemilik rumah pun, didorong rasa tak nyaman, menerima pria tua itu di rumahnya sebagai tamu lantas mereka berbincang-bincang. Cerita itu berjudul “Viewfinder”, dan Carver memperlihatkan kesepian yang dialami si laki-laki tanpa menjelaskan apa yang sebetulnya ia alami dan masalah cinta macam apa yang telah menimpanya.
Cerita-cerita Carver kebanyakan ditulis seperti ini. Ambigu, dan hampir selalu berakhir dengan menggantung tanpa kesimpulan yang jelas apalagi alur yang bulat. Tetapi justru karena itu saya menyukainya. Tidak ada yang selesai, sama dengan tidak ada yang dimulai dalam cerita-ceritanya. Alih-alih sebuah cerita pendek yang utuh dengan pembuka, konflik, dan penutup-- yang membentuk satu cerita bulat-cerita-cerita Carver lebih berupa sketsa-sketsa, atau lebih tepat mungkin kita sebut saja fragmen-fragmen. Fragmen-fragmen itu berasal dari suatu kisah yang lebih panjang lagi, yang hanya bisa kita bayangkan sendiri, dan mungkin di situ juga lah terletak kenikmatan lain dari membaca cerita-cerita Carver. Kita diberi sketsa-sketsa atau fragmen-fragmen yang muncul dan pergi begitu saja dan kita diizinkan untuk membayangkan sendiri bagaimana bentuk utuh dari mereka.
Kendati demikian, ada satu hal yang terjadi pada kumpulan cerita Carver, yang seingat saya jarang terjadi pada kumpulan cerita penulis lain: Meski cerita-ceritanya terlepas satu sama lain, dan hadir dalam wujud sketsa patah alih-alih satu cerita bulat utuh, kita bisa memandangi dari jauh ketujuhbelas cerita dalam kumpulan ini dan membayangkan mereka menjadi satu kesatuan kisah yang panjang.
Tentang apa cinta itu menurut Carver, ia menjelaskannya melalui cerita yang judulnya menjadi judul buku ini: What We Talk About When We Talk About Love. Cerita itu isinya empat orang sekawan yang sedang mengobrol dan tanpa ada yang sadar mereka masuk ke topik tentang apa itu cinta. Dari sana muncul satu-dua konflik kecil tetapi bukan yang sedang terjadi, melainkan kilas balik dari kisah tokoh-tokohnya. Cinta itu lebih kepada sesuatu yang spiritual, kata seorang laki-laki, tetapi disambut cerita istrinya yang mengisahkan masa lalu bersama pacar lamanya yang mencintainya dengan cara yang agak sinting dan penuh kekerasan. Itu bukan cinta, kata sang suami, tetapi sang istri bersikeras itu juga cinta. Ia menyakitiku, kata sang istri, tetapi begitulah cara dia menunjukkan cintanya. Sampai akhirnya sang suami sendiri, yang tadinya paling berminat memberi definisi atas cinta, berkata: “…it ought to make us feel ashamed when we talk like we know what we’re talking about when we talk about love.”
Apalah yang kita tahu tentang cinta. Setidak-tidaknya, Carver menjawab hal itu dengan menawarkan cerita-cerita cinta yang di dalamnya berada rasa sepi, sakit, kedukaan yang terlihat tanpa ujung. Dalam cerita-cerita cinta Carver ada banyak perselingkuhan dan sedikit kebahagiaan. Namun, yang paling baik dari semua itu adalah Carver sama sekali tidak terlihat mendramatisir hal-hal tersebut. Ia tidak tertarik melakukan itu. Kebahagiaan dan kedukaan adalah hal yang niscaya ada dalam sebentuk perasaan cinta, mereka bisa datang dan pergi kapanpun mereka mau. Mendramatisir kebahagiaan tak membuat seseorang menjadi lebih bahagia dari yang sebenarnya, dan mendramatisir kedukaan tentu saja tak ada gunanya.
Sketsa-sketsa dalam kumpulan cerita pendek tentang cinta Raymond Carver, sebagaimana cerita-cerita bagus lainnya, tak selalu memberi sensasi menghentak yang heboh, tetapi ia niscaya beresonansi dengan pengalaman batin dan hidup pembacanya. Orang-orang yang pernah jatuh cinta dan tidak puas dengan itu akan menemukan kisah mereka di dalam buku ini, mungkin berwujud lain, tetapi perasaan familier itu akan muncul.
Kesederhanaan narasi dan suasana dalam cerita-cerita Carver akan menyajikan gangguan yang subtil, membuat kita yang tadinya merasa tak ada masalah cinta yang besar dalam cerita-ceritanya, tiba-tiba menyadari bahwa ternyata ada sesuatu yang sangat gawat sedang dialami oleh karakter-karakter dalam cerita-cerita itu. Sesuatu yang mungkin lebih gawat dari sekadar hati yang patah dan cinta yang pergi.
Apa yang kita bicarakan ketika kita membicarakan tentang cinta? Ah, seperti kata salah seorang karakter Carver, apalah yang kita tahu tentang cinta. Manusia hanya merasakan apa yang mereka rasakan dan untuk mempermudah segalanya mereka menyebut itu cinta, tanpa tahu apakah yang mereka rasakan memang benar-benar cinta atau hanya sesuatu yang menyerupainya. ***