Quantcast
Channel: Bernard Batubara
Viewing all articles
Browse latest Browse all 402

Lubang di Tembok (Etgar Keret)

$
0
0
Diterjemahkan dari versi bahasa Inggris di buku The Bus Driver Who Wanted to be God (Riverhead Books, 2015). Terjemahan bahasa Inggris dari Ibrani oleh Miriam Shlesinger.

*


Di Bernadotte Avenue, tepat di sebelah Central Bus Station, terdapat lubang di suatu permukaan tembok. Dulunya ada ATM di situ, tapi kemudian rusak atau semacamnya, atau mungkin juga tidak ada yang pernah menggunakannya, jadi orang-orang bank mencopot mesin ATM itu dan tidak pernah memasangnya lagi.

Seseorang pernah berkata kepada Udi bahwa bila kau meneriakkan keinginanmu di hadapan lubang itu, maka keinginan tersebut akan terwujud, tapi Udi tidak sepenuhnya percaya. Faktanya, suatu hari saat ia dalam perjalanan pulang dari menonton film di bioskop, ia meneriaki lubang di tembok tersebut dan berkata bahwa ia ingin Dafne Rimalt jatuh cinta kepadanya, dan setelahnya tidak terjadi apapun.

Dan suatu hari, ketika ia merasa sangat kesepian, ia kembali meneriaki lubang di tembok itu dan berkata bahwa ia ingin punya teman seorang malaikat, dan ternyata malaikat itu betul-betul muncul, tapi ia tidak bersikap layaknya seorang teman dan selalu saja menghilang di saat Udi sedang membutuhkannya. Malaikat ini kurus, suka merunduk, dan senantiasa mengenakan jas hujan yang menutupi sepasang sayapnya. Orang-orang di jalan mengira ia benar-benar hunchback-makhluk bungkuk. Kadang-kadang, kalau mereka hanya berdua, si malaikat akan mencopot jas hujannya. Sekali waktu ia bahkan membolehkan Udi menyentuh bulu-bulu sayapnya. Tapi saat ada orang lain bersama mereka, ia mengenakan jas hujannya kembali.

Suatu hari anak-anak keluarga Klein bertanya kepada si malaikat, apa yang ia sembunyikan di balik jas hujan itu, dan ia menjawab itu adalah ransel penuh buku-buku yang bukan miliknya dan ia tidak ingin buku-buku itu basah.

Sejujurnya, ia selalu berbohong.

Ia menceritakan Udi kisah-kisah yang dapat membuatmu sekarat saking terlalu menakjubkannya: tentang tempat-tempat di alam surga, tentang orang-orang yang beranjak ke tempat tidur tanpa mencabut kunci mobilnya, dan tentang kucing-kucing yang tidak takut terhadap apapun bahkan tidak tahu apa arti dari “tahi kucing”. Malaikat tersebut bersumpah cerita-cerita itu benar adanya.

Udi nyaris gila dibuatnya, dan ia berusaha keras mempercayainya. Beberapa kali ia bahkan meminjaminya sejumlah uang ketika malaikat itu sedang kesulitan. Sedang si malaikat sama sekali tidak berbuat apapun untuk Udi. Ia hanya berceloteh dan berceloteh dan berceloteh terus, melantur dengan cerita-cerita tololnya. Sepanjang enam tahun Udi mengenalnya, ia tidak pernah melihatnya melakukan hal-hal luar biasa.

Ketika Udi menjalani pelatihan dasar wajib militer, dan ia betul-betul butuh seseorang untuk diajak bicara, si malaikat tiba-tiba menghilang selama dua bulan penuh. Kemudian, ia kembali dengan wajah brewok dan ekspresi jangan-tanyakan-apa-yang-terjadi. Jadi Udi tidak bertanya apapun kepadanya, dan di suatu hari Sabtu mereka duduk berdua di atas atap, mengenakan celana pendek, meresapi pancaran sinar matahari, dan merasa lesu. Udi memandangi atap rumah-rumah lain yang di atasnya banyak kabel berkelindan serta alat pemanas dari energi matahari dan ia juga memandangi langit.

Tiba-tiba ia menyadari sesuatu, selama bertahun-tahun ia bersama si malakat, ia tidak pernah satu kali pun menyaksikan malaikat itu terbang.

“Gimana kalau kau terbang sedikit,” ia berkata kepada si malaikat. “Pasti kau merasa lebih enakan.”

Dan si malaikat berkata: “Lupakan. Gimana kalau ada yang lihat?”

“Ayolah,” kata Udi. “Sedikit saja. Demi aku.” Tapi si malaikat, disertai suara yang jorok, malah menggali dahaknya dengan satu sedotan melalui tenggorokan dan meludahi atap rumah.

“Ya sudahlah,” kata Udi. “Aku bertaruh, kau memang tidak bisa terbang.”

“Tentu saja bisa,” si malaikat membalas. “Aku cuma tidak mau ada orang yang melihatku, itu saja.”

Di atas atap rumah di seberang jalan, mereka melihat beberapa bocah melempar bom air. “Tahu tidak,” Udi tersenyum. “Dulu, waktu aku kecil, sebelum bertemu denganmu, aku sering banget ke sini dan melempari orang-orang di jalanan dengan bom air. Aku akan melemparkan ke arah antara kanopi satu dengan yang lain,” ia menjelaskan, sembari mencondongkan tubuhnya dan mengacungkan jari ke arah kanopi di toko sembako dan kanopi di toko sepatu. “Orang-orang akan mendongak, dan yang mereka lihat hanya kanopi. Mereka tidak akan tahu dari mana datangnya bom-bom air itu.”

Si malaikat juga berdiri, dan melihat ke jalanan di bawah mereka. Ia membuka mulutnya, hendak mengucapkan sesuatu. Sekonyong-konyong, Udi mendorong si malaikat hingga ia limbung. Udi cuma bermain-main. Ia tidak berniat menyakiti si malaikat, cuma ingin ia terbang sedikit demi hiburan. Tapi si malaikat jatuh sejauh lima lantai, mendarat bagai sekarung kentang.

Terpana, Udi melihat malaikat itu tergeletak di trotoar. Tubuh si malaikat masih utuh, kecuali sepasang sayap yang agak berkedut, seperti sekarat. Itulah momen ketika ia akhirnya paham bahwa dari semua hal yang pernah malaikat tersebut ceritakan kepadanya, tidak satu pun yang benar. Si malaikat bahkan bukanlah malaikat, cuma tukang bohong yang memiliki sepasang sayap. ***

Viewing all articles
Browse latest Browse all 402