Quantcast
Channel: Bernard Batubara
Viewing all articles
Browse latest Browse all 402

Cerita tentang Seorang Sopir Bus yang Ingin Menjadi Tuhan (Etgar Keret)

$
0
0

Diterjemahkan dari versi bahasa Inggris di buku The Bus Driver Who Wanted to be God (Riverhead Books, 2015).

*

Ini cerita tentang seorang sopir bus yang tidak pernah mau membukakan pintu busnya bagi orang-orang yang terlambat. Tidak bagi siapapun. Tidak bagi seorang murid tertindas di sekolahnya yang berlari bersisian dengan bus sembari menatap bus dengan tatapan memelas, dan apalagi tidak bagi orang-orang yang menggedor keras pintu bus seakan-akan mereka tidak terlambat dan bahwa si sopir bus lah yang tidak tepat waktu, dan bahkan tidak pula bagi nenek bertubuh kecil yang mendekap bungkusan belanja seraya berusaha keras menyetop bus dengan lambaian tangannya yang gemetar. Si sopir bus tidak membukakan pintu bagi mereka semua bukan karena ia jahat, sebab secuil pun ia tidak punya bakat jahat di dalam dirinya. Ini perkara prinsip.

Begini prinsip si sopir bus:

Katakanlah, bus tertunda jadwalnya bila ia membukakan pintu bagi seseorang yang terlambat kurang dari tiga puluh detik, dan bila ia tidak membukakan pintu bus membuat orang tersebut kehilangan lima belas menit dalam hidupnya, itu tetap akan adil, karena tiga puluh detik telah terselamatkan dari hidup seluruh penumpang bus. Nah, jika di bus ada 60 orang tak bersalah yang tiba di halte bus tepat waktu, bila dijumlahkan mereka semua akan kehilangan tiga puluh menit, yang mana itu dua kalinya waktu terbuang milik si orang terlambat tadi.

Inilah satu-satunya alasan si sopir bus tidak akan mau membukakan pintu bagi orang-orang terlambat. Ia tahu, para penumpang tidak akan memahami prinsipnya, begitu pula mereka yang terlambat dan mengejar bus seraya memberinya beragam isyarat agar berhenti-mereka tidak akan mengerti. Ia juga tahu, bahwa orang-orang menganggap ia menyebalkan, dan secara pribadi lebih mudah baginya menerima senyum dan ucapan terima kasih dari mereka sambil membiarkan mereka memandangnya dengan anggapan demikian.

Kecuali bila sebenarnya ia menyadari bahwa ia hanya bisa memilih satu dari dua hal berikut: antara senyum disertai ucapan terima kasih, atau kebaikan publik.

Seseorang yang paling dirugikan oleh prinsip si sopir bus ini adalah Eddie, tapi tidak seperti orang-orang lain dalam cerita ini, Eddie bahkan tidak akan pernah mencoba mengejar bus bila ia terlambat, ya, sebegitu malas dan tersia-siakannya memang orang ini. Nah, Eddie adalah seorang asisten koki di restoran bernama The Steakaway, yang mana nama tersebut merupakan hasil permainan kata terbaik yang bisa dipikirkan oleh pemiliknya (Stick-away!). Makanan di restoran itu tidak istimewa, tapi Eddie sendiri adalah pemuda yang baik-saking baiknya dia, kalau ada masakannya yang tidak begitu enak, ia sendiri yang akan membawa makanan itu ke meja pelanggan dan sekaligus meminta maaf.

Pada salah satu adegan meminta maaf inilah, Eddie bertemu Kebahagiaan, atau setidaknya secicip Kebahagiaan, dalam wujud seorang gadis yang teramat baik hatinya karena ia bahkan mencoba menelan habis daging sapi bakar yang Eddie bawakan untuknya, hanya agar pemuda itu merasa senang. Dan gadis ini tidak mau memberi tahu Eddie namanya ataupun nomor ponselnya, tapi gadis ini cukup manis karena ia bersedia menemui Eddie keesokan harinya pada pukul lima sore, di tempat yang mereka sepakati-Dolphinarium, tepatnya.

Nah, sialnya, Eddie punya satu masalah-sesuatu yang telah membuatnya kelewatan banyak hal sepanjang hidupnya. Tidak, sesuatu ini bukan semacam pembengkakan adenoid atau sejenis itu, tapi tetap saja, hal ini sudah banyak merugikannya. Yakni, ia punya semacam penyakit yang membuatnya selalu tertidur sepuluh menit lebih lama dari seharusnya, dan tidak satu alarm pun pernah berhasil membangunkannya. Itulah kenapa ia kerap terlambat berangkat ke The Steakaway, juga terlambat naik bus yang dikemudikan oleh si sopir bus yang senantiasa lebih memihak kepentingan publik ketimbang urusan pribadi.

Akan tetapi, kali ini Eddie mau tidak mau harus mengatasi masalahnya, karena taruhannya adalah Kebahagiaan, dan alih-alih tidur sore seperti biasa, ia memutuskan tetap terjaga sambil menonton televisi. Agar aman, ia tidak hanya memasang satu jam alarm, melainkan tiga. Tapi sial sekali, penyakit ini betul-betul tidak tersembuhkan, dan Eddie tetap tertidur selayaknya bayi, di hadapan televisi yang menayangkan kanal anak-anak. Ia terbangun oleh lengkingan suara jutaan, milyaran, alarm-terlambat sepuluh menit, tergopoh-gopoh keluar rumah tanpa mengganti pakaian, dan berlari menuju halte bus.

Ia tidak ingat lagi caranya berlari, dan kakinya bahkan sesekali terpelecok. Kali terakhir ia berlari adalah sebelum ia menyadari bahwa ia bisa juga membolos dari jam pelajaran olahraga, waktu itu ia kelas enam SD, hanya saja tidak seperti pada jam pelajaran olahraga tersebut, sekarang ia berlari sangat sangat sangat sangat kencang, karena ia tahu bila tidak melakukannya ia akan kehilangan sesuatu, dan segenap rasa sakit di dadanya serta panggilan sayup-sayup dari bungkus Lucky Strike di kantung bajunya tidak dapat mencegahnya dari usahanya Mengejar Kebahagiaan.

Tidak ada yang dapat menghalanginya kecuali si sopir bus kita, yang baru saja menutup pintu bus, dan akan segera beranjak. Si sopir bus melihat Eddie lewat kaca spion, tapi seperti sudah kami jelaskan sebelumnya, ia punya prinsip-prinsip yang teramat masuk akal yang, lebih dari apapun, didasarkan pada sikap menjunjung tinggi keadilan, juga perhitungan aritmatika sederhana. Tapi Eddie tidak peduli dengan perhitungan aritmatika si sopir bus. Untuk kali pertama sepanjang hidupnya, ia benar-benar ingin tiba di suatu tempat pada waktu yang tepat. Dan itulah kenapa ia tetap mengejar bus, meski ia tidak punya peluang sedikit pun.

Tiba-tiba saja, keberuntungan Eddie datang, tapi cuma separuh keberuntungan: kira-kira seratus meter dari halte bus sebelumnya, ada traffic light. Dan, hanya beberapa detik sebelum bus mencapainya, lampu merah menyala.Eddie berhasil menyusul bus dan menggapai pintu masuk sopir bus. Saking kelelahannya, ia tidak mampu lagi mengetuk kaca pintu. Ia hanya menatap si sopir bus dengan mata yang berembun, sembari memegangi lututnya, ngos-ngosan.

Dan, melihat Eddie seperti itu, si sopir bus teringat akan sesuatu-jauh di masa lalunya, dari suatu waktu ketika ia bahkan belum terpikir untuk menjadi seorang sopir bus, dari suatu waktu ketika ia masih ingin menjadi Tuhan.

Itu memori yang agak sedih sebenarnya, karena pada akhirnya ia gagal menjadi Tuhan, tapi juga membahagiakan, karena ia kemudian menjadi sopir bus, yang mana adalah keinginan keduanya setelah menjadi Tuhan. Dan tiba-tiba si sopir bus teringat akan janjinya kepada diri sendiri bahwa bila ia dapat menjadi Tuhan, ia akan menjadi Tuhan yang baik dan pengampun, dan akan mendengarkan doa-doa seluruh makhluk-Nya. Jadi, ketika dari bangku sopirnya ia melihat Eddie berlutut di jalanan aspal, ia tidak lagi bisa mempertahankan prinsipnya, dan meski dengan seluruh pertimbangan kepentingan publik dan perhitungan aritmatikanya itu, ia membukakan pintu, dan Eddie pun naik-tanpa mengucapkan terima kasih, karena ia betul-betul kehabisan napas.

Hal terbaik yang bisa kamu lakukan adalah berhenti membaca cerita ini di sini, karena meski Eddie akhirnya tiba di Dolphinarium tepat pada waktunya, Kebahagiaan tidak datang, karena Kebahagiaan sudah memiliki seorang kekasih. Hanya karena gadis itu terlalu baik ia tidak dapat mengatakan hal tersebut kepada Eddie, jadi ia memilih membiarkan pemuda itu melakukan apa yang ingin ia lakukan.

Eddie menanti dan menanti, di bangku yang mereka berdua sepakati, nyaris selama dua jam penuh. Sepanjang penantiannya, ia terus memikirkan hal-hal depresif mengenai kehidupan, dan sembari berpikir, ia memandangi senja yang lumayan indah, dan mengira bila menunggu lebih lama lagi bisa-bisa ia akan jadi penjaga malam.


Dalam perjalanan pulang, saat ia sangat putus asa, ia melihat bus di kejauhan berhenti di halte dan menurunkan penumpang, dan pada saat itu ia tahu bahwa meskipun ia punya tenaga untuk berlari, ia toh tidak akan sanggup menyusul bus itu. Jadi ia tetap berjalan pelan, dan pada tiap langkahnya ia merasa-rasai jutaan sel otot yang kelelahan, dan ketika ia sedikit lagi tiba di halte, bus masih di situ, menunggunya. Dan meskipun para penumpang di dalam berteriak-teriak dan mengomel agar bus segera berangkat, si sopir bus menunggu Eddie, dan ia tidak sedikit pun menginjak pedal gas hingga Eddie duduk di dalam bus. Ketika akhirnya bus berangkat, si sopir bus melihat ke arah Eddie melalui kaca spion dalamnya, dan mengerling simpati kepadanya, dan itu membuat segalanya jadi terasa dapat tertanggungkan. ***

Viewing all articles
Browse latest Browse all 402