Meski bukan karyanya yang paling saya favoritkan, saya senang membaca novel pendek Milan Kundera yang berjudul Identity. Karena di dalam buku ini, lewat narasi tentang seorang laki-laki, seorang perempuan, dan hubungan percintaan mereka, Kundera berbicara tentang banyak hal: persahabatan, kehadiran anak kecil, cinta, kebebasan individu, ambisi, dan tentu saja, identitas.
Ini adalah buku ketiga dari Kundera yang saya baca, setelah The Book of Laughter and Forgetting dan The Festival of Insignificance. Saya suka dengan cara Milan Kundera menulis. Terkesan sederhana dan mudah. Namun, sesungguhnya dipenuhi pola dan perhitungan. Pada suatu wawancara di The Paris Review, ia berkata bahwa hampir semua bukunya ia tulis dalam tujuh bagian, dan menurutnya itu bentuk paling ideal dalam menyampaikan hal-hal yang ingin ia sampaikan melalui karyanya. Meski demikian, yang saat ini saya baca tidak ia tulis menggunakan pola tersebut. Ya, saya rasa penulis tidak harus selalu mematuhi aturan yang ia ciptakan sendiri.
Seperti yang telah saya duga sebelumnya, walau ukurannya tipis, Identity bicara tentang cukup banyak hal. Mengingatkan saya bahwa seorang penulis meski efektif dalam menyampaikan gagasan-gagasannya. Kalau perlu, satu halaman dapat memuat banyak ide, dan tidak membuang-buang kertas hanya untuk memanjang-manjangkan narasi yang tidak berguna. Walau, ya, tentu saja ada banyak novel tebal dalam ukuran epik yang juga bagus. Namun, seringkali penetrasi yang dimunculkan novel-novel tipis, seperti Bukan Pasarmalam (Pramoedya Ananta Toer), Pedro Paramo (Juan Rulfo), dan Dengarlah Nyanyian Angin (Haruki Murakami)-sekadar menyebut beberapa novel tipis favorit saya-terasa lebih menghentak, mengena, dengan narasi yang singkat. Milan Kundera melakukannya lewat Identity.
Berikut adalah beberapa hal yang saya temukan sepanjang membaca novel tipis tersebut.
Cinta
Menurut Milan Kundera: tatapan seseorang yang sedang jatuh cinta adalah tatapan yang mengisolasi. ia bilang di bukunya, 'However much he may tell her he loves her and thinks her beautiful, his loving gaze could never console her. because the gaze of love is the gaze that isolates.' Alih-alih memandang tatapan cinta adalah tatapan yang menenangkan, Kundera berpendapat berbeda.
Kundera juga berkata bahwa, kita bisa saja merasa dan bahkan tenggelam dalam sebentuk nostalgia, bahkan ketika orang yang kita cintai berada di hadapan kita. Bukankah itu merupakan hal yang aneh? Bila syarat merindukan seseorang adalah ketidakhadirannya, bagaimana bisa kita tenggelam dalam perasaan rindu, nostalgia, terlempar ke masa lalu yang jauh, saat orang yang kita cintai sebenarnya sedang berada di dekat kita, di samping kita?
Perasaan seseorang, kata Kundera, adalah sesuatu yang tidak dapat diatur dan dikendalikan oleh apapun. tidak ada yang bisa mencegah perasaan, atau lebih tepatnya hati seseorang, dari merasakan sesuatu, apalagi menyensornya. itu artinya: bahkan ketika kita merasa 'memiliki' seseorang karena ia adalah kekasih kita, kita tidak punya kontrol sama sekali atas apa yang sedang ia rasakan dalam hatinya (apakah itu untuk yang terbaik atau terburuk).
Keheningan
Tidak ada cinta yang bisa bertahan dalam keheningan, kata Milan Kundera. Meskipun sebenarnya ia juga berkata: “Two people in love, alone, isolated from the world, that's very beautiful.” Menurutnya, dalam sepasang manusia yang sedang jatuh cinta dan saling mencintai, percakapan merupakan sesuatu yang niscaya dan dibutuhkan.
Tetapi, seakan membantah pendapatnya sendiri, ia berkata bahwa kamu tidak dapat menilai besarnya afeksi, rasa cinta seseorang kepada pasangannya dan sebaliknya, berdasarkan jumlah kata-kata yang mereka pertukarkan, berdasarkan sebarapa banyak mereka bercakap-cakap. Keheningan juga adalah cara seseorang mendalami, meresapi, bahkan menyampaikan dan menyatakan cintanya.
Anak
Betapapun kita tak acuh terhadap dunia, kehadiran seorang anak akan membuat kita secara otomatis berubah menjadi peduli, ikut dalam perbaikan dunia, dan mencoba memahami bahkan menerima kebodohan-kebodohan yang terjadi di dalamnya. kita tidak bisa menolak dan membuang wajah kita dari dunia yang memusingkan kita sesaat setelah kita memiliki seorang anak. Kenapa? Ya, karena ke dalam dunia itulah, kita akan mengirim anak-anak kita.
Persahabatan
Persahabatan, menurut milan kundera, adalah bukti bahwa ada sesuatu di dunia ini yang lebih kuat daripada ideologi, agama, bahkan bangsa dan negara. Persahabatan merupakan aliansi melawan ketidakberuntungan, yang tanpanya, seseorang tidak akan sanggup bertahan menghadapi musuh-musuhnya di dunia.
Ambisi
Bila kamu tidak memiliki keinginan untuk meraih sesuatu, tidak berhasrat untuk menggapai kesuksesan (apapun pengertian kesuksesan bagimu), kamu sebenarnya sedang mempersiapkan dirimu menuju keruntuhan.
Kebebasan
Tidak ada kebebasan, kata Milan Kundera, selain kebebasan memilih untuk hidup dalam kepahitan atau kegembiraan. Dan, sesuatu atau seseorang yang merupakan musuh dari kebebasan, tidak berhak mendapatkan kebebasan.
*
Secara umum, Identity ingin berkata bahwa seorang individu dapat memiliki lebih dari satu macam kepribadian, atau identitas, yang muncul di waktu-waktu berbeda. Ketika kita mengira telah mengenal seseorang dengan baik, sebenarnya kita hanya mengenal satu bagian dari dirinya. Manusia bukan seperti permukaan bola yang bila dilihat dari sisi mana pun, akan menampakkan bagian yang sama. Manusia adalah sesuatu yang lebih menyerupai permukaan kristal, terdiri atas banyak fragmen, yang bila kita lihat dan amati dari sudut berbeda, maka akan menampakkan hal yang berbeda pula, seringkali sesuatu yang kemudian membuat kita terkejut dan tidak menyangka. Melalui kisah cinta sepasang kekasih, Kundera dengan Identity memperlihatkan bagaimana seorang manusia dapat bertahan hidup dalam dualitas dan kegandaan sifat maupun karakter, dan bagaimana orang lain bereaksi dan menyikapi hal tersebut.
Membaca Identity membuat saya kian yakin terhadap efektifnya kisah cinta sebagai pembungkus hal-hal lain yang menjadi agenda penting seorang penulis. Seluruh kisah Identity sebenarnya adalah kisah cinta, tetapi tidak semata-mata sebentuk kisah cinta, karena kisah cinta tersebut hanya menjadi jembatan bagi Kundera untuk menyampaikan hal-hal lain, di antaranya yang sudah saya rangkum di atas. Saya kira selamanya kisah cinta akan dapat menyentuh lebih banyak orang ketimbang kisah-kisah lain, dan dengan demikian menjadi alat paling ampuh dalam menyampaikan hal-hal yang tidak begitu mudah dipahami, seperti politik, filsafat, konflik sosial, dan seterusnya. Kisah cinta yang tampak mudah dan klise menjadi kaya dan berguna ketika kita menemukan bahwa ternyata di dalamnya terkandung hal-hal selain cinta.
Tapi, tanpa mendedahinya dengan ide-ide dan pemikiran filsafat, konflik sosial dan politik, bukankah kisah cinta itu sendiri sebenarnya sudah merupakan sesuatu yang rumit? ***