Quantcast
Channel: Bernard Batubara
Viewing all articles
Browse latest Browse all 402

The Festival of Insignificance, Milan Kundera

$
0
0




Lucu. Itu kesan yang saya dapat setiap kali membaca buku Milan Kundera. Saat kali pertama membaca The Book of Laughter and Forgetting, saya sudah memperoleh kesan bahwa orang ini senang membicarakan sesuatu yang serius dengan cara yang tidak serius. Ia bicara tentang politik, malaikat, cinta, dengan selera humor yang menyenangkan, sampai-sampai kita merasa tidak yakin apakah harus menanggapinya dengan serius atau tidak. Meski demikian, sebenarnya Kundera selalu serius. Ia pernah bicara kepada istrinya, Vera, seperti dikutip dan tertulis pada lembar jaket buku The Festival of Insignificance, bahwa ia punya ambisi besar dalam membicarakan hal-hal serius dengan cara yang sama sekali tidak serius. Sebagai respons atas keinginannya itu, Vera berkata kepadanya: “Bersiaplah, kelak kamu akan menemui banyak musuh.”

Tetapi saya tidak percaya bahwa Milan Kundera akan menemui banyak musuh. Malahan sebaliknya. Ia akan mendapat banyak sekali teman. Tentu saja ini akan terjadi jika semua orang memiliki selera humor yang setara dengan dirinya. The Festival of Insignificance (sejak kali pertama mengetahui judul buku barunya ini saya kerap membayangkan bagaimana terjemahan bahasa Indonesia yang bagus untuknya: “Parade Hal-Hal Sepele”?) adalah buku yang dipenuhi hal-hal sepele: pusar wanita, ketidakhadiran diri seseorang, hingga rasa kebelet buang air kecil. Tetapi di balik hal-hal sepele yang ‘dirayakan’ Kundera lewat narasinya yang anekdotal, sebenarnya tersimpan permenungan akan hal-hal yang lebih subtil, semuanya seputar manusia dan kehidupan.

Misalnya saja, tokoh Alain yang muncul pada halaman pertama novel-sebelumnya saya sempat membaca bagian Alain ini di laman New Yorker daring sebagai satu cerita pendek yang utuh, meski tidak tahu bahwa ternyata cerita pendek tersebut adalah bagian dari novel Kundera yang kelak akan terbit-berkontemplasi memikirkan pusar wanita. Ia masuk ke dalam permenungannya akan pusar wanita setelah melihat beberapa gadis mengenakan pakaian yang memperlihatkan pusar mereka. Ia bertanya-tanya, jika biasanya bagian tubuh yang ‘dipertontonkan’ adalah buah dada, paha, dan bokong, karena pada bagian-bagian tersebut dianggap memiliki nilai erotis dan sesuatu yang istimewa, apakah kini zaman telah berubah, sehingga nilai erotis tersebut tidak lagi terletak di sana, melainkan telah berpindah ke pusar? Mengapa perempuan memperlihatkan pusarnya? Apa signifikansi sebentuk pusar? Belakangan, kita akan tahu, bahwa permenungan Alain perihal pusar ini memiliki kaitan dengan satu bagian dari masa lalunya bersama ibunya. Pusar menjadi hal yang tampak tidak penting sekaligus (ternyata) penting.

Satu hal tentang ketidak-signifikan-an yang cukup menarik dibahas oleh Kundera adalah ketika salah satu tokohnya bercerita tentang seorang temannya. Si teman berada di suatu pesta, ketika di sana ada seorang perempuan cantik nan menarik. Seorang laki-laki, yang juga rekan dari si teman, tampaknya adalah sosok ekstrovert yang berusaha mencari perhatian si perempuan, seperti juga beberapa laki-laki lain dalam pesta tersebut. Si teman, alih-alih ikut berusaha merebut perhatian si perempuan, malah ngeloyor begitu saja meninggalkan area pesta, dan tidak satu pun yang menyadari bahwa ia sudah tidak berada di kerumunan, saking tidak signifikannya sosoknya. Anehnya, si perempuan malah ngeh, dan alih-alih terpikat oleh beberapa laki-laki yang berusaha menarik perhatiannya, ia malah terdorong untuk mengikuti si teman yang tadi diam-diam ngeloyor pergi. Insignifikansi seseorang dan ketidakhadirannya ternyata menjadi sesuatu yang menarik perhatian perempuan, ketimbang mereka yang merayakan kesignifikanan dan menekankan betapa pentingnya diri mereka.

Ide yang diangkat Milan Kundera di The Festival of Insignificance ini menarik, karena di tengah-tengah orang-orang yang berusaha menjadi penting dengan berbagai cara, Kundera ingin berkata bahwa dunia ini juga tempat bagi hal-hal tidak penting, lho, dan demikian hal-hal tidak penting tersebut layak dirayakan. Seperti pernah dikatakan oleh Haruki Murakami, “Bukankah hal-hal sepele juga memiliki tempatnya di dunia yang jauh dari sempurna ini?” Narasi anekdotal Kundera mengingatkan saya bahwa untuk mampu menikmati hidup secara utuh, kita tidak hanya harus meraih hal-hal besar dan penting, tetapi juga sangat perlu menengok, memberi perhatian khusus, bahkan merayakan-menyelenggarakan parade, festival-atas hal-hal sepele yang mengitari hidup kita.

Omong-omong soal Milan Kundera, saya baru teringat bahwa ia, meski lahir di Ceko, bisa juga disebut penulis Prancis. Ia lahir pada tahun 1929 di Brno, tetapi kemudian hidup dalam pengasingan di Prancis sejak 1975, dan menjadi warga berkebangsaan Prancis sejak 1981. Beberapa karya awalnya ditulis dalam bahasa Ceko, seperti The Book of Laughter and Forgetting (diterjemahkan ke bahasa Indonesia menjadi “Kitab Lupa dan Gelak Tawa”) dan The Unbearable Lightness of Being, sementara itu karya-karyanya yang lebih mutakhir seperti Slowness, Identity, dan yang paling baru, The Festival of Insignificance, ditulis Kundera dalam bahasa Prancis. Saya membaca The Festival of Insignificance edisi bahasa Inggris, hasil terjemahan Linda Asher dari bahasa Prancis. Usut punya usut, Linda Asher juga menerjemahkan beberapa karya Milan Kundera yang lain, sekaligus beberapa penulis Prancis lain, salah satunya Victor Hugo. Sesekali saya membayangkan, apa yang dirasakan Milan Kundera saat menuliskan karyanya dalam bahasa yang berbeda? Apakah ia pernah merasakan ada ekspresi-ekspresi yang bisa ia gambarkan dalam bahasa Ceko tetapi tidak melalui bahasa Prancis, misalnya? Tetapi, bagi pembaca, sebenarnya ini tidak sangat penting.

Yang lebih penting dari Milan Kundera untuk barangkali dijadikan panutan, baik oleh seorang penulis, pembaca, maupun manusia pada umumnya, adalah selera humornya yang unik. Kehidupan yang amat serius ini juga perlu dan layak ditertawakan. Beberapa hal dalam hidup hanya dapat dimengerti-atau mungkin lebih tepat dinikmati-lewat guyonan.  Sejauh yang mampu saya lihat, tidak banyak penulis yang memiliki tendensi berguyon seasyik Milan Kundera. Lebih-lebih lagi, narasi dalam format anekdotnya, yang sederhana dan tidak pretensius. Membaca tulisan-tulisan Kundera membuat saya merasa sedang mengakrabi kembali fragmen-fragmen anekdot yang sewaktu kecil dulu sering saya temukan di buku-buku pelajaran bahasa Indonesia, biasanya dalam format baku “kisah kakek-nenek” yang divariasikan muatannya. Kecerdasan anekdot, kita tahu, terletak pada kemampuannya menertawai kehidupan dan mengubah hal-hal serius menjadi joke yang menghibur. Dan, meski baru membaca dua dari sekian banyak bukunya, saya kira tidak berlebihan kalau saya bilang bahwa Milan Kundera adalah raja anekdot dalam dunia sastra kontemporer. ***

Viewing all articles
Browse latest Browse all 402