Seberapa lama seseorang dapat mempertahankan rasa cintanya, terutama ketika cinta tersebut tidak berakhir manis? Jawabannya adalah: sembilan tahun. Ya, selama itulah seorang laki-laki bernama Kemal, menjaga dan merawat cintanya terhadap seorang gadis bernama Füsun. Setidaknya, selama sembilan tahun itu Kemal mengalami masa-masa terberatnya dalam mencintai. Saya mendadak teringat pada sebaris puisi oleh salah seorang penyair favorit saya: Jatuh cinta dan mencintai adalah dua penderitaan yang berbeda. Saya ingat membaca larik tersebut dengan tersenyum, meski saya tidak paham apa arti senyuman saya sendiri.
Buku pertama Orhan Pamuk yang saya baca adalah My Name Is Red, dan saya sangat menyukainya. Novel itu bercerita tentang misteri pembunuhan seorang seniman, berlatarkan Turki abad keenambelas. Plotnya rumit, dengan sudut pandang penceritaan yang berpindah-pindah. Pamuk terlihat lincah sekali di novel tersebut. Sebaliknya, di The Museum of Innocence, novel pertama yang ia tulis setelah meraih penghargaan Nobel Kesusastraan 2006, ia tampak lebih santai, sederhana, dan tidak ambisius. Dapat dilihat dari minimnya akrobat sudut pandang, permainan diksi, atau pun muatan konflik sosial-politik seperti yang ia tulis dalam My Name Is Red (walaupun di akhir novel terdapat permainan sudut pandang dan di sepanjang cerita Pamuk sesekali menggambarkan suasana konflik politik di Istanbul, namun ini sedikit sekali porsinya dan tidak memberi dampak kentara terhadap plot utama cerita).
Seperti My Name Is Red (Turki: Benim Adım Kırmızı, terjemahan bahasa Inggris oleh Erdağ Göknar) saya juga membaca The Museum of Innocence dalam versi terjemahan bahasa Inggris-judul aslinya Masumiyet Müzesi. Sang penerjemah, Maureen Freely, juga mengalihbahasakan beberapa buku Orhan Pamuk yang lain: The Black Book, Snow, Other Colors: Essays and a Story, dan Istanbul: Memories and the City-yang terakhir merupakan memoar sang penulis, yang ia tulis pada masa-masa terberat dalam hidupnya, di antaranya karena perceraian dan kematian ayahnya. Membandingkan hasil terjemahan Erdağ Göknar untuk My Name Is Red dan Maureen Freely untuk The Museum of Innocence barangkali bukan tindakan yang tepat, karena muatan kedua novel tersebut berbeda, bahkan cukup kentara, baik dari sisi genre, isu, teknik, maupun tendensi sang pengarang. Namun, yang bisa saya katakan setelah membaca kedua novel itu adalah, terjemahan Maureen Freely jauh lebih mudah dipahami. Tentu saja sangat mungkin ini karena cerita The Museum of Innocence lebih sederhana jika dibandingkan My Name Is Red.
The Museum of Innocence, dalam bentuk maupun jiwanya adalah suatu novel roman. Ia mengisahkan cerita cinta pria berusia tigapuluhan yang datang dari keluarga kelas atas di Istanbul dengan seorang gadis dari keluarga sederhana, yang belakangan diketahui memiliki hubungan darah (walau hanya sepupu jauh) dengan si pria. Perbedaan kelas sosial dan ekonomi antara dua tokoh sentral novel ini memang akan dibahas, tapi ternyata tidak menjadi masalah yang amat penting. Konflik tetap berakar pada obsesi dan penderitaan si narator yang juga tokoh utama, Kemal. Rasa cintanya terhadap si gadis, Füsun, membuatnya mengalami masa-masa terberat dalam hidupnya.
Cerita dimulai dengan adegan percintaan Kemal dan Füsun di sebuah apartemen, yang kelak akan menjadi tempat Kemal menyimpan barang-barang yang ia ‘curi’ dari Füsun (juga, nantinya, dari rumah keluarga gadis itu). Adegan tersebut berlangsung pada pertengahan 1975-latar waktu ini nanti akan digunakan pula untuk, salah satunya, menggambarkan kondisi politik pada masa itu-dan dideskripsikan dengan sangat rinci. Saya bahkan bisa membayangkan suasana musim semi dan cuaca dingin di dalam ruangan tempat Kemal dan Füsun sedang bercinta, juga melihat sebelah anting-anting yang terlepas dan melayang di udara, jatuh dari telinga Füsun. Bab pertama novel diberi judul The Happiest Moment of My Life, dan kontradiktif terhadap paragraf terakhir bab tersebut, yang mana Orhan Pamuk segera memberitahu masalah yang dialami oleh tokoh utama novelnya, yakni bahwa ternyata Kemal, yang baru saja usai bercinta dengan Füsun, telah memiliki tunangan gadis lain. Bab demi bab berikutnya adalah tentang bagaimana Kemal menjalani hubungan terlarangnya dengan Füsun.
Meski di sepanjang cerita kita akan melihat kenestapaan Kemal karena cintanya terhadap Füsun merupakan hal yang terlarang, tidak lazim, dan terjadi pada waktu yang tidak tepat, pria tersebut terus-menerus berusaha menunjukkan kepada pembaca bahwa ia berbahagia dengan keadaan tersebut. Ia berbahagia dengan apa yang ia rasakan, cinta yang ia miliki terhadap Füsun, di samping rencana masa depan yang terpampang di hadapannya bersama tunangannya, Sibel. Orhan Pamuk memperlihatkannya melalui narasi sudut pandang pertama yang amat intim dan personal. Kemal menceritakan apapun yang ia pikirkan dan rasakan dengan amat rinci, sehingga meski ia menceritakan tuturannya kepada pembaca umum, saya merasa seperti sedang berhadap-hadapan dengan seorang kawan lama dan mendengarkannya berkisah tentang pahit-manis cinta yang ia alami.
The Museum of Innocence yang menjadi judul novel, adalah nama museum yang didirikan oleh Kemal. Alih-alih menghimpun benda-benda bersejarah, museum tersebut menyimpan barang-barang pribadi atau benda apapun yang memiliki keterkaitan dengan gadis yang ia cintai hingga akhir hayatnya, Füsun. Tentu saja, benda-benda pribadi itu juga bisa dianggap bersejarah, setidaknya bagi Kemal. Menariknya, seakan ingin bermain-main dan mengaburkan batas antara fiksi dan realitas, Orhan Pamuk juga mendirikan museum dengan nama yang sama. The Museum of Innocence adalah satu museum di Çukurcuma, Beyoğlu, salah satu distrik di Istanbul, Turki. Isinya juga sama seperti yang dibangun oleh Kemal dalam novel The Museum of Innocence, benda-benda milik atau yang memiliki hubungan dengan Füsun, sehingga membuat kita boleh bertanya apakah Füsun dan tokoh-tokoh lain di novel yang ditulis Pamuk adalah pseudonim dari orang-orang yang memang ada di dunia nyata. Tapi, tentu saja, ini tidak begitu penting.
Membaca The Museum of Innocence, pada beberapa bagian, mengingatkan saya dengan The Great Gatsby milik Fitzgerald. Kedua tokoh utama di novel tersebut, Kemal dan Jay Gatsby, sama-sama seorang pria kaya-raya yang mengalami kisah hidup tragis karena jatuh cinta. Hanya saja, jika Jay Gatsby pada awalnya berasal dari keluarga miskin, tidak demikian dengan Kemal. Kemal memang datang dari keluarga yang telah kaya, persis seperti Orhan Pamuk. Sekadar informasi, Pamuk sempat dikritik atas status sosial dan ekonominya. Ia dianggap tidak benar-benar memahami kehidupan rakyat Istanbul karena ia tidak pernah hidup susah, dan oleh sebab itu ia tidak berhak menulis apapun atau (sok) bersimpati terhadap rakyat Istanbul. Namun, Orhan Pamuk berkata di suatu wawancara, bahwa jikapun ada ‘tugas moral’ yang diemban oleh seorang penulis, itu adalah berempati pada orang-orang yang memiliki kondisi berbeda dengan dirinya. ***