Fukú. Begitu Díaz memulai prolog The Brief Wondrous Life of Oscar Wao. Belakangan, barulah ‘diterangkan’ bahwa jargon yang berarti ‘kutukan’ ini sebetulnya adalah plesetan dari Fuck U, atau setidaknya saya menganggapnya begitu. Tokoh utama, Oscar Wao (bernama asli Oscar, tambahan Wao ia dapatkan saat diejek oleh teman-teman Yunior, narator dalam novel ini) adalah anak bungsu dari sebuah keluarga Dominican yang dipercaya memiliki kutukan. Fukú. Kutukan itu diwariskan dari generasi ke generasi. Sebelum tiba di kehidupan pribadi Oscar, kutukan tersebut terlebih dahulu dialami oleh kakak, ibu, nenek, dan kakek Oscar. The Brief Wondrous Life of Oscar Wao adalah sebuah kisah yang saya terjemahkan sebagai dongeng tentang perjalanan sebuah kutukan.
Pertama kali saya membaca tulisan Junot Díaz adalah kumpulan cerpennya berjudul This Is How You Lose Her(2013). Buku itu memuat kalau tidak salah delapan cerpen, seluruhnya tentang kisah cinta yang dibungkus isu-isu transmigran. Junot Díaz punya cara bercerita yang, bisa saya katakan, nyeleneh. Ia mencampur-baurkan bahasa Inggris dan Spanyol, hingga di satu testimoni bukunya ada yang menyebut Díaz menulis dengan Spanglish, Spain-English. Saya sempat terkejut dengan gaya bahasanya yang cukup vulgar, bahkan cenderung kasar (kata-kata F bertebaran di sana-sini, di kemudian hari saya bahkan mengidentikkan kata-kata F dengan buku-buku Junot Díaz). Namun, setelah saya membaca terus, saya sangat menikmatinya. Bukan karena kata-kata F yang bertaburan, melainkan karena Díaz menggunakan kata-kata F itu sebagai elemen humor dalam cerita-ceritanya. Saya kurang paham apa arti sebenarnya dari istilah ini, tapi saya pikir tulisan Díaz mungkin apa yang disebut sebagai black humor atau dark comedy.
Sebuah testimoni di sampul belakang The Brief Wondrous Life of Oscar Wao mengatakan bahwa novel Junot Díaz “…impossible to categorize, which makes it good.” Saya agaknya bersepakat dengan komentar itu. Sempat memikirkan tentang apakah menulis sebuah novel sebaiknya menggunakan formula atau tata cara yang teratur dengan ketentuan-ketentuan yang telah dibuat, saya ditampar habis-habisan oleh novel Junot Díaz. Membaca tulisan-tulisan Junot Díaz membuat saya bergumam, antara kesal, kagum, dan takjub, “Ternyata menulis novel bisa dengan cara seperti ini.” Ketika itulah saya tahu, bahwa sebetulnya tak peduli cara seperti apa yang kau gunakan, orang hanya ingin membaca novel bagus. Junot Díaz menunjukkan itu.
Seperti membaca novel bagus lainnya, kita punya perasaan bahwa novel yang sedang kita baca adalah novel bagus, bahkan ketika baru memasuki bagian pertama, paragraf pertama, atau kalimat pertama. Itulah yang terjadi dengan sayasaat membaca novel ini. Saya membuka halaman pertama dan langsung berkata dalam hati: this is going to be a nice trip.
Terlahir gendut, bermata minus, berambut awut-awutan, dan tak memiliki wajah menarik, Oscar menjadi anomali di antara rata-rata pemuda Dominicana. Ia hanya tertarik dengan video game, novel-novel dan film-film fiksi sains. Seorang ghetto nerd, seperti disebut Díaz. Tapi bukan berarti Oscar tak suka perempuan. Bahkan, dengan seluruh hobinya yang membuat ia kian jauh dari pergaulan sosial dan teman-temannya, ia memiliki satu keinginan sederhana namun kuat, dan ia menyimpan terus keinginan itu sampai dewasa: ia ingin memiliki kekasih, ia ingin mendapatkan cinta, ia ingin dicintai. Sayangnya, kutukan yang mengalir di keluarganya, tampaknya mengalir pula dalam darahnya. Oscar kehilangan cinta pertamanya saat ia berusia 7 tahun dengan cara yang menyakitkan, dan semenjak itu ia tak pernah memiliki seorang kekasih, meski ia telah mencoba ribuan cara.
Tak berbeda dengan dirinya, kakak kandung Oscar juga, ia sadari atau tidak, menyimpan warisan kutukan itu. Fukú. Seperti Oscar, Lola juga terlahir sebagai gadis Dominicana yang anomali. Ia tak punya buah dada besar, pantatnya kempis, tubuhnya kurus, dan bahkan pada satu titik rendah dalam kehidupannya, ia memangkas habis rambutnya sampai botak. Lola melakukan ini sebagai bentuk pemberontakan dan perlawanan terhadap ibu kandungnya, Belicia Cabral, yang membawa kutukan itu, fukú, dari ayah kandung yang tak pernah ia kenal, seorang profesor doktor dan akademisi terpandang bernama Abelard.
Membaca judul novel ini, The Brief Wondrous Life of Oscar Wao, saya mengira cerita akan berpusat pada tokoh utama bernama Oscar Wao, dan ia akan menjadi tokoh tunggal di mana seluruh plot bermula atau bermuara padanya. Ternyata saya keliru. The Brief Wondrous Life of Oscar Wao adalah kronik tentang sebuah keluarga. Lebih tepatnya lagi, kronik tentang sebuah keluarga Republik Dominika yang hidup di bawah rezim seorang diktator: Rafael Leónidas Trujillo Molina.
Rafael Leónidas Trujillo Molina, alias El Jefe, adalah politikus dan tentara yang kemudian memerintah Republik Dominika selama 31 tahun (kita juga punya sosok yang hampir sama dengan El Jefe yang memerintah Indonesia selama 31 tahun). Ia memegang tampuk tertinggi pemerintahan sejak 1930 hingga tewas dibunuh pada 1961. Junot Díaz mengambil rentang waktu ini untuk membangun plot cerita Oscar Wao dan keluarganya. Saya tidak tahu mana yang datang lebih dulu ke kepala Díaz, gagasan tentang rezim Trujillo, atau kisah tentang Oscar. Saya pikir keduanya bisa saja datang di waktu yang bersamaan (tapi saya cenderung mengira gagasan tentang rezim El Jefe datang lebih dulu).
Satu hal yang sangat saya senangi dari Junot Díaz adalah penulis ini punya cara yang menyenangkan untuk menyampaikan informasi ‘berat’ tentang tragedi politik dan dunia sekitarnya. Dimulai dengan seorang karakter culun dengan serba-serbi kisah cintanya yang gagal dan membuat saya tertawa-tawa, Díaz sedikit demi sedikit menyeret saya masuk ke dalam sejarah kelam Republik Dominika. Semakin menyenangkan ketika menyadari bahwa saya tak sadar sedang diseret ke sana! Saya hanya tertarik dan tertawa-tawa mengikuti kelucuan kisah Oscar, kakaknya, lalu ibunya, sampai kakeknya dan di sana lah saya tak bisa lagi tertawa, sebab Díaz menunjukkan kekejaman dan kebrutalan El Jefe, dan betapa orang-orang yang hidup di Republik Dominika tak bisa berkutik selain menuruti keinginan sang diktator, sebab El Jefe mengisolasi negaranya dari dunia luar. Hidup Oscar dan keluarganya berada dalam cengkeraman kaki-tangan El Jefe, meski pada akhirnya, sebagai sebuah anomali besar, setiap anggota keluarga Oscar memiliki jiwa seorang pelawan, pemberontak, dan keinginan murni untuk hidup dan menangkal kutukan abadi itu. Seperti La Inca, tokoh nenek, si abuela yang percaya pada kekuatan doa-doa.
Zafa.
Saya kira, The Brief Wondrous Life of Oscar Wao adalah sebuah pesan tak langsung kepada kita bahwa hidup selalu perihal pertempuran antara fukú dan zafa, kutukan dan doa, nasib buruk dan niat baik, iblis dan malaikat, penjahat dan pahlawan. Satu-satunya perbedaan dari kedua hal yang terkadang bisa menjadi sama kuat itu adalah, kutukan bisa datang dalam berbagai wujud, namun penangkalnya, zafa, selalu sama, yakni niat baik, tekad kuat, dan ketulusan. Setiap orang mungkin saja memiliki kutukan dalam hidupnya, atau setidaknya yang ia anggap sebagai kutukan. Namun, sesungguhnya tak ada yang mendominasi dalam dunia sempit ini, di sebelah fukú, senantiasa berdiam zafa, menunggu dipanggil oleh hati yang jernih dan berharap. Maka, kita tahu, dengan kehadiran dua hal yang berkontraposisi itu, fukú dan zafa, dunia adalah sebuah arena pertempuran yang abadi. Tak pernah usai. ***