Buku yang baik, setidaknya menurut saya, adalah buku yang berlakon seperti kristal. Ia memiliki fragmen-fragmen, dan ketika dibaca dari sudut yang berbeda, maka ia akan memantulkan hal-hal yang berbeda pula. Buku yang baik juga seperti sebuah diorama, ia tampak beku, diam, dan tetap, namun jika kita melihatnya pertama kali saat berusia 5 tahun, dan melihatnya lagi saat kita sudah berusia 30 tahun, kita akan menemukan sesuatu yang baru, yang belum pernah kita lihat sebelumnya.
Sensasi semacam itulah yang saya rasakan saat membaca The Little Prince, karangan Antoine de Saint-Exupéry. Saint-Exupéry adalah pengarang berkebangsaan Perancis, salah satu yang paling diingat di antara penulis-penulis pada angkatannya, dan masih dikenang hingga sekarang karena buku dongeng semi-otobiografi yang terbit pasca kematiannya ini.
The Little Prince bercerita tentang seorang pilot yang terdampar di gurun pasir karena mesin pesawatnya rusak. Di ambang sadar dan tak sadar, ia mendengar suara seseorang yang memintanya menggambar seekor domba. “Draw me a sheep.” Si pilot celingukan karena tak melihat siapa yang berbicara. “Draw me a sheep.” Lagi-lagi terdengar, dan si pilot tak menemukan siapa-siapa. Lalu, ia melihat sesosok yang kecil, sangat kecil, dan ternyata suara itu berasal dari sana. Sosok itulah yang kemudian dipanggil si pilot sebagai The Little Prince.
Pangeran kecil yang misterius meminta si pilot menggambarkan seekor domba untuknya. Si pilot, tampak bingung, berkata kepada pangeran kecil bahwa ia tidak bisa lagi menggambar, karena bakat menggambarnya sudah dikandaskan saat ia masih berusia 6 tahun, oleh pendapat orang dewasa yang mengatakan bahwa gambarnya tidak betul dan aneh.
Saint-Exupéry membuka The Little Prince dengan sindiran untuk orang dewasa, melalui narasi di mana tokoh utama (si pilot) mengingat tentang masa kecilnya, ketika ia menggambar sesuatu yang dipandang orang dewasa sebagai sebuah topi, padahal ia tidak bermaksud menggambar sebuah topi, melainkan seekor gajah yang sedang berada di dalam perut ular boa. Orang dewasa tidak melihat bentuk ular boa dan gajah pada gambarnya, dan semenjak itulah ia merasa orang dewasa tidak bisa memahami apa-apa dan tidak memiliki daya imajinasi, dan hanya menyukai angka-angka.
Whenever I encountered a grown-up who seemed to me at all enlightened, I would experiment on him with my drawing Number One, which I have always kept. I wanted to see if he really understood anything. But he would answer, “That’s a hat.” Then I wouldn’t talk about boa constrictors or jungles or stars. I would put myself on his level and talk about bridge and golf and politics and neckties. And my grown-up was glad to know such a reasonable person.
Hal paling menyenangkan dari membaca dongeng adalah ia menyampaikan gagasan dengan tidak mendikte, melainkan menggunakan alegori. Begitulah semestinya sebuah cerita, dan begitulah semestinya seorang pencerita, tidak mendikte ataupun berkhotbah, melainkan menggunakan perumpamaan-perumpamaan dan perbandingan-perbandingan tanpa memaksakan kepada pembaca bahwa perumpamaan dan perbandingan tersebut harus dipahami dengan hanya satu cara, cara si penulis. Dalam menggunakan alegori, yang terpenting adalah bagaimana menunjukkan sesuatu, bukan mengatakan. Show, don’t tell. Kita tahu Si Kancil nakal bukan karena ada seseorang yang mengatakan bahwa dia nakal, melainkan kita diperlihatkan perbuatan-perbuatan Si Kancil, sehingga kita mengerti bahwa Si Kancil itu hewan yang nakal. Saint-Exupéry menuliskan petualangan kecil The Little Prince berkelana dari satu planet ke planet lainnya, bertemu dengan orang-orang yang tidak ia pahami, untuk menunjukkan betapa orang dewasa telah kehilangan kemampuan untuk menghargai hal-hal kecil yang bermakna.
Meski The Little Prince tampak seperti buku dongeng atau bacaan untuk anak-anak, sebetulnya buku ini adalah bacaan untuk orang dewasa. Bahkan, di bagian pengantar, Saint-Exupéry sendiri menuliskan ‘pengakuan’nya. Saya kira The Little Prince kurang-lebih seperti Animal Farm, dengan sifat-sifatnya yang seperti dongeng atau fabel, tetapi sebenarnya ditujukan untuk orang dewasa. Tentu saja anak-anak tetap dapat menikmati ceritanya sebagai sebuah dongeng petualangan yang agak sureal.
Saya pikir, butuh kemahiran dan daya fokus yang tinggi dari seorang pengarang untuk menulis sebuah buku yang memiliki bungkus anak-anak, namun kandungan isu tentang dan untuk orang dewasa. Cerita anak-anak adalah cerita yang ditulis hanya untuk anak-anak, dan cerita dewasa adalah cerita yang ditulis hanya untuk orang dewasa, tapi cerita yang bisa dibaca dan dinikmati sekaligus oleh anak-anak (sebagai dongeng) dan orang dewasa (konten dan isu sesungguhnya) adalah cerita yang dihasilkan melalui daya berpikir, teknik, dan kemampuan menulis tingkat tinggi. Setidaknya, saya berpikir demikian.
Kembali ke paragraf pertama dari catatan ini, tentang bagaimana saya menemukan hal lain setelah membaca ulang The Little Prince, meski tidak dalam selang waktu yang teramat jauh. Saya membaca The Little Prince pertama kali tanpa mengetahui riwayat hidup Saint-Exupéry, hanya membaca buku ini dengan apapun yang ada di dalamnya, di luar konteks dan keadaan zaman atau kehidupan pengarang ketika buku ini dituliskan. Yang saya temukan adalah seorang pilot terdampar di gurun, bertemu sosok misterius bertubuh mini yang berasal dari planet mini nun di dunia antah berantah (saya masih memikirkan kemungkinan si pilot mengalami halusinasi berat pasca kecelakaan tersebut), dan mereka pun berteman seiring si sosok misterius bertubuh mini itu menceritakan bagaimana perjalanannya hingga ia sampai di Bumi. Namun, ketika saya sedikit mencari riwayat Saint-Exupéry (1900-1944), bagaimana ia tumbuh besar dan menjadi penerbang pada usia ke-12, lalu tewas dalam sebuah tragedi kecelakaan pesawat pada usia ke-44, saya menemukan hal yang betul-betul berbeda ketika membaca ulang The Little Prince (sebagai informasi tambahan, The Little Prince diterbitkan posthumous, artinya manuskrip yang diterbitkan setelah pengarangnya meninggal).
Kecelakaan pesawat yang dialami oleh si tokoh utama sekaligus narator dalam The Little Prince benar-benar dialami oleh Saint-Exupéry. Peristiwa itu terjadi pada tahun 1935, Saint-Exupéry jatuh bersama pesawat dan navigatornya André Prévot di gurun Sahara saat mencoba memecahkan rekor balap udara (mereka menyebutnya raid) dengan rute dari Paris ke Saigon, Vietnam. Sebelum akhirnya ditemukan, mereka terdampar selama empat hari, mengalami kelelahan, dehidrasi, dan berhalusinasi. Ini kemudian menjadi inspirasi The Little Prince.
Look at this landscape carefully to be sure of recognizing it, if you should travel to Africa someday, in the desert. And if you happen to pass by here, I beg you not to hurry past. Wait a little, just under the star! Then if a child comes to you, if he laughs, if he has golden hair, if he doesn’t answer your questions, you’ll realize who he is.
Itulah sebabnya mengapa saya mengira tokoh utama dalam The Little Prince mengalami halusinasi. Kalaupun The Little Prince benar-benar produk halusinasi, ini adalah halusinasi yang sangat bermanfaat, karena menjadi sebuah dongeng yang dibaca oleh jutaan orang, dan dimaknai berbeda oleh setiap orang yang membacanya, sehingga membuat halusinasi Saint-Exupéry menjadi salah satu halusinasi paling penting sepanjang sejarah manusia. ***