Menulis, saya kira, adalah bentuk perjuangan. Kita berjuang untuk mendapatkan inspirasi, mengumpulkan segenap energi dan motivasi supaya bisa segera memulai menulis kalimat pertama, menjaga stamina agar dapat menyelesaikan tulisan yang panjang, mempertahankan irama tulisan dan menemukan cara terbaik menyampaikan gagasan, melindungi diri dari segala macam distraksi, sampai melawan setan terkuat yang mencegah jari-jari menggerakkan dirinya untuk menulis: mood.
Menulis juga berarti berperang. Kita melawan rasa malas, atau hasrat untuk menulis ide lain pada saat ada tulisan yang belum kelar. Kita berperang melawan ego dan gejolak untuk menumpahkan seluruh pengetahuan ke dalam plot cerita yang sebenarnya tak cocok atau cukup memadai untuk pengetahuan itu (sehingga kerap membuat si narator atau tokoh utama tampak keminter). Bahkan setiap menulis, kita berperang melawan halaman kosong.
Salah satu pertanyaan yang sering saya dapatkan setiap hadir di acara-acara kepenulisan adalah, bagaimana caranya menulis jika sedang tidak mood? Saya hampir selalu menjawab pertanyaan itu dengan sebuah pernyataan tegas dan tanpa kompromi: Saya tidak percaya dengan takhayul bernama mood. Saya percaya pada komitmen dan keinginan kuat. Ketika seorang memiliki dua hal tersebut, mood menjadi mitos. Hanya orang-orang yang hidup di dunia tak kasat mata yang percaya pada mitos.
Tapi, tunggu dulu. Benarkah komitmen dan keinginan kuat adalah satu-satunya (atau dua-duanya) hal yang membuat menulis menjadi (seharusnya) lancar-lancar saja? Benarkah mood hanya mitos yang layak disingkirkan ke tempat sampah dan dibakar habis? Ataukah jangan-jangan hasil pembakaran mood itu terbang ke langit, memenuhi udara, dan jatuh kembali ke keyboard laptop penulis dan membuatnya seketika macet, tak dapat memikirkan satu kata pun, kehilangan kemampuan atau kesanggupannya untuk meneruskan apalagi menyelesaikan tulisannya?
Benarkah kita harus terus, wajib menulis, bahkan ketika sedang tidak merasa ingin?
He will win who knows when to fight and when not to fight, kata Sun Tzu. Sun Tzu memandang perang sebagai sebuah seni (meskipun ada yang mengatakan bahwa judul asli bukunya bukanlah The Art of War, melainkan The Science of War) dan dengan demikian ada banyak hal yang dapat ditelisik dari sebuah perang, untuk kemudian menemukan hal-hal apakah yang menjadi penentu kemenangan (atau kekalahan) dalam perang. Salah satunya adalah seperti yang barusan saya kutip. Ternyata, menjadi pemenang dalam sebuah peperangan tidak selamanya perkara memiliki sumber daya yang banyak, mesin-mesin tempur canggih, dan jumlah prajurit yang masif, tetapi juga punya strategi yang terukur dan beralasan. Seorang pemenang adalah dia yang tahu kapan harus bertempur dan kapan tidak. Pertanyaannya: apakah seorang penulis (yang akan memenangi ‘peperangan’) adalah dia yang tahu kapan harus menulis dan kapan tidak?
Menulis memang bukan pekerjaan menunggu wangsit. Tapi, menulis juga bukan pekerjaan 9-to-5, seperti jam kantor. Penulis bukan pabrik. Novel bukan produk pabrikan. Stok bahan baku tidak selalu tersedia dan cuaca selalu berubah-ubah. Sebuah negara tidak memulai perang kapanpun ia mau, melainkan perlu melihat-lihat banyak kondisi: mengukur kekuatan musuh, mempelajari zona perang, mengintai pergerakan lawan, menyusun strategi tempur, dan memastikan logistik cukup. Jika menulis diperlakukan sebagai aktivitas ‘kantoran’ yang harus dilaksanakan setiap hari ‘kerja’, tak peduli sedang mood atau tidak, tak peduli logistik mencukupi atau tidak, tak peduli ada ide atau tidak, tak peduli ingin menulis atau tidak, tidakkah itu artinya sama saja dengan maju selangkah lagi menuju kekalahan?
Tapi, kata Murakami, menulis adalah melatih daya tahan untuk hidup dalam pola yang monoton. Yang dimaksud dengan pola yang monoton adalah ‘jam ngantor’ itu tadi. Jika Murakami adalah seorang jendral yang memimpin kesatuan tempur, maka ia adalah jendral yang setiap hari mengirimkan pasukannya untuk berperang, 9-to-5, 24/7, tanpa henti dan tanpa ambil peduli apakah pasukannya sedang mood untuk berperang atau tidak, apakah makanan, amunisi, dan obat-obatan masih cukup atau tidak.
Bisa jadi strategi berperang tiap penulis berbeda. Suatu kecerobohan membandingkan Murakami dengan Sun Tzu, dan mungkin suatu kecerobohan pula membandingkan berperang dengan menulis. Meski begitu, saya percaya seorang penulis harus menulis jika dan hanya jika ia sedang merasa cemas, betul-betul cemas. Kecemasan itu muncul dari uap kopi panas yang ia minum di pagi hari, hadir di sela-sela kalimat halaman koran yang ia baca, mengikutinya dalam perjalanan ke kantor, duduk di sampingnya saat sedang menonton film di bioskop sendirian, berlari tepat di belakangnya saat sedang jogging sore-sore, menungguinya saat sedang mandi, berbaring di sebelahnya saat hendak tidur, dan menjadi hantu dalam mimpinya. Jika dan hanya jika kecemasan itu telah menghantui, barulah seorang penulis harus menulis.
Berperang, kata Sun Tzu, sebetulnya adalah seni mengecoh. Ketika kita kuat, buatlah musuh mengira kita lemah. Ketika ketika lemah, buatlah musuh mengira kita sangat kuat. Ketika kita memiliki pasukan tempur yang banyak, buatlah musuh mengira jumlah kita hanya sedikit. Ketika jumlah kita sedikit, buatlah musuh mengira kita sangat banyak. Ketika kita punya mesin perang yang canggih, buatlah musuh mengira kita hanya membawa senjata usang. Ketika kita hanya punya senjata usang, buatlah musuh mengira kita menyimpan senjata rahasia yang berbahaya. Menulis, jangan-jangan, juga adalah seni mengecoh atau menipu. Ketika halaman kosong di laptop mengira kita tidak memiliki ide, tulis 3.000 kata dalam sehari. Ketika halaman kosong merasa kita punya tumpukan hasrat untuk ditumpahkan, tahan. Whatever you think you are, make the enemy think the opposite.
Dengan begitu, ketegangan antara Sang Jenderal berpena (keyboard, jika di zaman modern ini) dengan musuhnya, Tuan Besar Halaman Kosong, akan berlangsung terus-menerus. Pekerjaan penulis adalah mengecoh Tuan Besar Halaman Kosong sehingga ia tidak dengan mudah menaklukkan penulis, meski pada waktu-waktu tertentu penulis memang benar-benar lemah di hadapannya (Tuan Besar Halaman Kosong tak boleh tahu tentang kenyataan ini). Tidak setiap hari seorang penulis mesti berhadap-hadapan dengan Tuan Besar Halaman Kosong, tentu saja. Mungkin, di hari-hari tertentu, penulis hanya menghabiskan waktunya seharian, semalaman, untuk mengintai gerak-gerik Tuan Besar Halaman Kosong, apa yang sedang ia rencanakan, jalur mana yang akan ia tempuh, senjata macam apa yang ia pakai untuk membunuh, bahkan dengan siapa saja ia bersekutu. Sebab, kita tahu, karena ia sama-sama berada dalam zona perang dan sadar bahwa peperangan ini tidak akan usai sampai salah satu pihak meraih kemenangan mutlak dan pihak yang lain jatuh terkapar atau memohon ampun dan menyerahkan diri, Tuan Besar Halaman Kosong juga memiliki strategi, memahami bahwa berperang adalah sebuah seni, mengintai gerak-gerik Sang Penulis sembari menyiapkan strategi paling jitu, sambil menyesap kopi dan membaca The Art of War Sun Tzu di barak tempurnya. ***