Judul dan sampul yang menarik. Itu yang saya pikirkan ketika pertama kali melihat buku ini di sebuah toko buku di sudut Jakarta, dan itu pula yang saya pikirkan ketika saya membawanya ke kasir dan membayarnya. The Curious Incident of the Dog in the Night-time karangan Mark Haddon adalah buku yang memenangi Whitbread Award (saya sempat membaca sebuah komentar di Goodreads dari seorang pembaca yang dengan keras mempertanyakan keputusan juri mengangkat buku ini sebagai pemenang Whitbread Award).
Sebelum membaca buku ini, saya mendengar dari beberapa kawan yang juga merekomendasikan buku ini untuk saya baca, bahwa si pengarangnya bertutur dari sudut pandang anak dengan autisme. Menarik sekali, pikir saya. Belakangan saya tahu bahwa yang tepat bukanlah autisme, melainkan sindrom asperger (yang ternyata setelah saya cari tahu, juga merupakan bagian dari autisme/autism). Semakin menarik. Saya pun mulai membaca.
Christopher Boone adalah nama si tokoh utama. Ia menemukan seekor anjing yang tewas di halaman rumah tetangganya, Mrs. Shears, dan dia kaget bukan kepalang. Christopher menghampiri anjing yang tubuhnya tertembus garpu kebun itu dan memeluknya. Mrs. Shears keluar dari rumah dan terkejut melihat anjingnya mati tertembus garpu dan seorang bocah lelaki memeluknya, ia pun berteriak. Ayah Christopher (disebut di dalam buku sebagai “Father”) keluar dari rumah (rumah mereka berada pada sisi jalan yang berbeda namun berhadap-hadapan) dan menarik Christopher pulang, dan memarahinya.
Seperti judulnya, plot cerita di The Curious Incident of the Dog in the Night-time dimulai dari pertanyaan dalam kepala si kecil Christopher: siapa yang membunuh Wellington, si anjing malang itu? Christopher menyusun beberapa kemungkinan, dia menganalisis kejadian aneh dan mengejutkan itu dan mencari cara untuk menemukan jawaban dari pertanyaannya. Siapa yang membunuh Wellington? Christopher menjadi detektif dan mulai melaksanakan penelusurannya.
Namun, Christopher harus merahasiakan penyelidikan karena ayahnya tidak menyukainya. Ayahnya bilang, dengan keras dan sedikit mengancam, jangan ikut campur urusan orang lain. Christopher tidak bisa melakukannya karena dia tidak bisa membayangkan pembunuh Wellington berkeliaran bebas setelah menghilangkan nyawa anjing itu. Diam-diam, Christopher melaksanakan penyelidikannya sendirian. Setelah penyelidikan yang cukup berliku dan sempat menemukan jalan buntu, Christopher mendapatkan hasil yang membuat hidupnya terguncang. Ia akhirnya tahu siapa pelaku pembunuhan itu, dan mengapa si pelaku membunuh anjing itu, dan Christopher seperti kehilangan seluruh dirinya saat mengetahui fakta-fakta tersebut.
Konflik yang diangkat Mark Haddon di The Curious Incident of the Dog in the Night-time adalah permasalahan keluarga. Lebih spesifik lagi adalah tentang bagaimana peran keluarga (orang tua, lebih tepatnya) dalam menangani anak yang mengidap kelainan psikologis.
Dituturkan lewat sudut pandang anak pengidap asperger syndrome, narasi dalam The Curious Incident of the Dog in the Night-time terasa kaku dan patah-patah. Namun begitulah memang seharusnya narasi tersebut, dan bukan merupakan kesalahan atau ketidakmampuan si pengarang menulis narasi yang mengalir. Narasi Mark Haddon menjadi patah-patah karena yang berbicara, sang narator, adalah Christopher Boone yang memiliki sindrom asperger.
Penyusunan bab juga terasa unik karena tidak menggunakan angka yang berurutan, melainkan angka-angka dalam bilangan prima (2, 3, 5, 7, 11, 13, dan seterusnya). Alasannya adalah Christopher Boone menyukai bilangan prima, karena bilangan prima adalah bilangan yang tersisa ketika semuanya telah hilang. Christopher juga banyak berceloteh tentang ketertarikannya terhadap astronomi, cita-citanya menjadi astronot, dan hal-hal lain yang saya pikir sekadar sebagai tambahan wawasan bagi pembaca buku. Hal-hal yang, saya kira, tidak begitu penting dan relevan terhadap plot utama.
Cara bertutur Mark Haddon lewat Christopher Boone yang kaku dan patah-patah adalah sesuatu yang unik dan menarik bagi saya, setidaknya di setengah buku. Namun, dari pertengahan ke belakang, saya mulai merasa bosan. Setelah identitas pembunuh Wellington terungkap (dan adegan dengan emosi yang sangat intens antara Christopher dan si pembunuh, saya sangat menyukai bagian ini) tidak ada lagi perkembangan yang berarti pada plot utama. Christopher kabur dari rumah dan mencari ibunya di London. Dalam pelarian ini, Mark Haddon menggambarkan dengan sangat baik emosi dan perasaan kacau yang dialami Christopher. Ia panik, ketakutan, nekat, dan putus asa. Saya belum pernah melihat dan berhadapan langsung dengan anak pengidap autisme atau asperger, namun saya bisa mengira-ngira dan membayangkan dari gambaran Mark Haddon akan Christopher.
Seperti yang sudah saya katakan sebelumnya, The Curious Incident of the Dog in the Night-time merupakan novel dengan cara bertutur unik, namun kehilangan pesonanya setelah misteri utama terbongkar. Bagi saya, Mark Haddon tidak cukup berhasil mempertahankan perhatian dan ketertarikan pembaca (baca: saya) setelah ia mengungkap rahasia di pertengahan buku. Setelah seratus halaman pertama saya baca dengan seksama, saya terpaksa sedikit memaksakan diri menyelesaikan membaca buku ini dengan melakukan skimming di seratus halaman kedua hingga akhir cerita.
Kalau kamu penasaran ingin membaca novel yang dituturkan lewat sudut pandang anak pengidap sindrom asperger, boleh coba membaca The Curious Incident of the Dog in the Night-time. Namun, kalau kamu punya rekomendasi cerita dari sudut pandang pengidap sindrom asperger yang lebih baik, saya menunggu rekomendasimu. ***