Saya sempat membaca sebuah artikel di internet yang ditulis oleh, kalau tidak salah, editor buku-buku Dan Brown. Di tulisan tersebut dia bilang bahwa dia penasaran bagaimana jika Dan Brown memulai menulis novel barunya yang menggunakan tokoh utama seorang profesor bernama Robert Langdon dengan sesuatu yang baru. Jika Robert Langdon adalah seorang simbolog dengan kemampuannya menafsirkan simbol-simbol dan ingatan eidetiknya yang kuat, maka idenya adalah menulis sebuah cerita di mana profesor tersebut kehilangan kemampuan utamanya itu. Maka, Dan Brown pun mulai menulis Inferno.
Jika dibandingkan dengan The Da Vinci Code, Inferno memiliki intro yang berbeda. Setelah membaca The Da Vinci Code, saya sempat ke toko buku dan melirik Angels & Demons, membuka dan membaca beberapa halaman pertama, lalu langsung meletakkanya lagi ke rak, lantaran intronya sama persis dengan The Da Vinci Code. Di The Da Vinci Code, cerita dimulai dengan Robert Langdon terbangun dari tidurnya karena mendapat telepon misterius yang meminta bantuannya untuk melihat sekaligus membantu menyelesaikan atau membaca petunjuk-petunjuk dari sebuah kasus pembunuhan misterius. Di Angels & Demons pun demikian. Namun, di Inferno, agak berbeda. Robert Langdon terbangun di sebuah kamar rumah sakit, kehilangan ingatannya dan sama sekali tidak mengerti mengapa ia berada di kamar rumah sakit.
Adegan berikutnya berlangsung cukup cepat dan menegangkan, seperti kurator Jacques Sauniere yang tertatih-tatih diburu oleh seorang misterius pada pembukaan The Da Vinci Code, Dan Brown juga meletakkan adegan menegangkan sebagai pengantar masuk ke konflik Inferno: dr. Marcioni ditembak oleh perempuan berambut duri, dan dr. Sienna Brooks membawa Robert Langdon kabur dari rumah sakit.
Karena saya baru membaca dua novel Dan Brown dan keduanya termasuk dalam ‘serial’ Robert Langdon, mau tidak mau saya membandingkan kedua novel tersebut. Dan perbandingan ini, saya peringatkan, akan berlangsung hingga akhir catatan ini.
Jika perbandingan pertama adalah tentang bagian pembuka novel, maka perbandingan kedua adalah objek seni yang dimasukkan ke dalam plot. Pada The Da Vinci Code, objek seni yang dipakai adalah lukisan. Lukisan-lukisan Leonardo Da Vinci. Di Inferno, Dan Brown menggunakan sebuah puisi karya Dante Alighieri, seorang penyair asal Italia yang terkenal dengan perjalanannya ke neraka dalam puisi berjudul “Inferno”. Puisi “Inferno” merupakan satu dari tiga bagian puisi dalam buku Dante berjudul The Divine Comedy, dan kemudian dipakai Dan Brown sebagai judul novelnya. Lukisan masih muncul dalam Inferno, namun lukisan yang ditampilkan juga merupakan interpretasi dari puisi Dante: La Mappa dell’Inferno (Map of Hell) karya Sandro Botticelli.
Lewat The Da Vinci Code, Dan Brown membuat saya menerawang ke Perancis dan berkhayal sedang jalan-jalan santai di dalam museum Louvre, melihat-lihat karya master yang klasik dan kekal sepanjang zaman. Maka ketika membaca Inferno, saya tidak dapat menahan gemuruh keinginan dalam hati saya untuk segera mewujudkan salah satu impian saya dalam hidup: pergi ke Italia. Dan Brown dengan apik menyelipkan gambaran-gambaran Italia sebagai latar tempat terjadinya adegan-adegan dalam Inferno. Dan saya kira yang terpenting dari memberikan deskripsi adalah, tidak menumpah-ruahkannya. Deskripsi yang berlebihan, alih-alih membuat pembaca tenggelam dalam visual yang kuat di dalam kepala saat membacanya, justru membuat eneg dan akhirnya melakukan skimming.
Isu yang diangkat Dan Brown dalam Inferno pun menurut saya lebih besar ketimbang di The Da Vinci Code. Mungkin, saya kira, karena isu tersebut terasa ‘nyata’ dan ‘dekat’. Lebih tepatnya, isu tersebut ‘mungkin’ untuk terjadi. Atau malah memang sedang terjadi? Dan Brown mengangkat permasalahan overpopulasi manusia di bumi. Pada bagian ini, saya melihat kecerdasan Dan Brown dalam mengaitkan puisi “Inferno” Dante Alighieri dengan permasalahan kependudukan: sesuatu yang ‘abstrak’ berkait-padu dengan sesuatu yang konkrit. Saya pikir Dan Brown punya kemampuan asosiatif yang kuat sekali, selayaknya Robert Langdon sendiri, sehingga dapat menemukan hubungan antara sebait puisi yang ditulis pada abad ke-13 dengan masalah-masalah yang dihadapi World Health Organization. Dan, menuliskannya menjadi sebuah novel.
Permasalahan pada novel-novel Dan Brown (sebetulnya saya belum bisa mengatakan hal ini dengan keyakinan yang penuh karena baru membaca dua dari enam) adalah struktur ceritanya yang terlalu formulaic. Jika kamu adalah seorang pembaca setia Dan Brown, mungkin kamu dapat dengan mudah menemukan atau setidaknya menyadari bahwa plot novel-novel Dan Brown sebenarnya begitu-begitu saja: Robert Langdon terbangun dari tidur karena telepon misterius, diminta ke sebuah tempat untuk membantu membaca simbol-simbol misterius, lalu lama-kelamaan ia terseret dalam sebuah misi misterius dan akhirnya dengan kemampuannya sebagai seorang profesor simbologi ia membantu tokoh-tokoh lain dalam novel tersebut menyelesaikan misi yang misterius itu, dan selesai. Perkara terbesar pada novel-novel formulaic (biasanya novel dengan genre romance) adalah bagaimana membuat pembaca tidak melakukan skimming. Jika di novel-novel romance seorang penulis dapat menyampaikan ceritanya dengan cara bertutur yang berbeda, atau memasukkan profesi-profesi unik, atau menggunakan latar cerita yang jarang dipakai, maka saya tidak tahu apa yang dilakukan Dan Brown dengan novelnya yang disebut sebagai novel bergenre misteri-thriller (saya menyebutnya misteri-sejarah-action).
Ajaibnya, meski novel-novel Dan Brown sangat formulaic (lagi-lagi saya harus membaca empat novelnya yang lain untuk menguatkan argumen ini) saya sama sekali tidak melakukan skimming. Saya, toh, tetap membaca halaman demi halaman Inferno dan tetap menebak-nebak peristiwa apa yang akan terjadi. Saya tetap tidak bisa meletakkan buku itu sebelum saya kelelahan atau sudah terlanjur mengantuk dan tidak bisa membaca lebih jauh. Saya tetap dikejutkan oleh twist-twist yang diletakkan Dan Brown di tempat yang tepat (ini juga kemampuan Dan Brown yang saya kagumi, meletakkan unsur kejutan di tempat yang sangat tepat dengan remah-remah petunjuk yang cukup).
Salah satu ciri buku yang bagus adalah membuat pembacanya memiliki pengetahuan yang bercabang-cabang. Maksud saya, ketika si pembaca menemukan satu nama tempat atau istilah yang asing, maka ia terdorong atau tertarik untuk mencari informasi tempat atau istilah tersebut. Itulah yang saya lakukan saat membaca Inferno (juga The Da Vinci Code). Sembari membaca buku, ponsel saya siaga di sebelah dengan internet tersambung dan layar mesin pencari Google. Saya melakukan pencarian untuk La Mappa dell’Inferno, Canto XXV dari bagian Paradiso di buku The Divine Comedy (saya juga mengunduh The Divine Comedy secara gratis di iBooks), Hagia Sophia, dan lain-lain.
Saya tidak begitu peduli dengan komentar seorang pembaca di Goodreads yang memberi bintang satu untuk Inferno dan mengatakan dengan sangat kasar bahwa Inferno membosankan karena sangat formulaic. Yang jelas, bagi saya setelah membaca The Da Vinci Code dan Inferno, saya mendapat satu kesimpulan: jika suatu hari saya sedang ingin merasakan membaca novel yang tidak bisa saya lepaskan dari tangan dan membuat saya betah berada di dalam kamar hanya untuk menyelesaikan membaca novel tersebut, saya tahu saya harus membaca novel karya siapa. ***