Untuk urusan buku, genre misteri, detektif, dan thriller bukanlah favorit saya. Begitu pula dengan horor dan science-fiction. Bagi saya, jenis-jenis cerita dalam golongan tersebut lebih seru kalau diikuti dalam bentuk audio-visual alias film. Maka dari itu, ketika pertama kali The Da Vinci Code, novel Dan Brown, pertama kali heboh sekitar sepuluh tahun lalu, saya sama sekali tidak tertarik untuk membacanya. Karena saya tidak tertarik dengan tema yang ia angkat, itu saja. Semakin banyak orang yang membicarakannya, semakin saya kehilangan minat untuk bahkan sekadar mencoba membaca beberapa halaman di toko buku.
Sampai akhirnya sepuluh tahun kemudian, saya bertemu dengan seorang perempuan. Kami berkenalan di sebuah coffee shop di Yogyakarta, dan bicara banyak tentang macam-macam hal, termasuk buku. Kami saling melemparkan pertanyaan buku apa yang menjadi favorit kami. Saya menjawab, tentu saja, serial Harry Potter karangan Joanne Kathleen Rowling (meski saya menambahkan keterangan bahwa saya tidak begitu menyenangi buku-bukunya yang terbaru). Ketika saya bertanya kepada dia, buku apa yang menjadi favoritnya, dia menjawab The Da Vinci Code.
Saya menahan diri untuk melemparkan celetukan bahwa saya tidak menyukai buku itu, atau lebih tepatnya, saya tidak tertarik dengan buku itu. Saya akhirnya hanya bertanya “Kenapa kamu suka The Da Vinci Code?” dan dengan antusiasmenya yang membakar, ia pun menjelaskan alasan-alasan yang membuatnya menganggap novel Dan Brown yang pernah kontroversial itu adalah salah satu buku paling penting dalam hidupnya. Saya hanya diam dan menyimak dengan serius, mencari-cari alasan yang kira-kira dapat membuat saya juga ingin membaca buku itu, namun saya tidak menemukannya. Saya masih belum tertarik untuk membaca The Da Vinci Code.
Selama beberapa bulan, hubungan saya dan perempuan itu semakin dekat. Pada suatau hari saat kami minum kopi di sebuah coffee shop di sudut Jakarta, kami pun kembali terlibat dalam sebuah percakapan seru dan berapi-api tentang, apalagi kalau bukan buku. Lagi-lagi kami membicarakan buku favorit kami. Saya mencerocos tentang Harry Potter, dan dia berceloteh perihal The Da Vinci Code. Hingga saya berkata kepadanya, bahwa tampaknya saya mulai penasaran untuk membaca buku itu. Saya bilang saya hanya ingin tahu apa sebabnya semua orang menyukai buku itu, dan terutama apa sebabnya dia menyukai buku itu.
Mungkin saya perlu meminta maaf karena setelah empat paragraf, catatan ini belum juga mengulas tentang buku dan malah berceracau tentang hal-hal yang lebih personal. Tapi saya merasa perlu untuk menampilkan hal-hal tersebut, karena saya ingin menegaskan bahwa saya tidak menyukai dan tidak tertarik dengan buku ini, pada awalnya. Pada akhirnya? Saya harus mengakui bahwa saya telah menjadi satu dari banyak orang yang menyukai The Da Vinci Code, bahkan mungkin menggemarinya.
Saya ingin katakan bahwa tidak banyak buku yang dapat membuat saya tenggelam. Beberapa buku yang saya baca membuat saya berpikir, merenung, mendapat pengetahuan baru, mengumpat bahagia, tapi tidak banyak yang dapat membuat saya tenggelam. Setelah berkonsentrasi untuk menulis, tujuan saya membaca buku pun bergeser, dari yang tadinya membaca buku untuk kesenangan membaca itu sendiri, menjadi membaca buku untuk mempelajari hal-hal yang bersifat teknis: mengamati cara bertutur penulisnya, memperhatikan cara si penulis menyusun plot, merangkai dialog, menulis narasi, dan seterusnya. Karena hal itu, saya menjadi berjarak dengan buku yang saya baca. Saya membaca, namun juga mengamati dari luar. Saya tidak bergabung dengan cerita dalam buku.
Terakhir kali saya tenggelam dalam buku yang saya baca adalah ketika pertama kali saya membaca Harry Potter, dan tidak pernah lagi setelah itu. Ketika mulai membaca The Da Vinci Code, saya mendapatkan perasaan yang sama seperti saat membaca Harry Potter. Saya tidak bisa melepaskan buku itu dari genggaman. Dari kamar kos, saya membawanya ke toilet, ke kantor, ke coffee shop, bahkan ke resepsi pernikahan seorang teman. Saya tidak bisa meninggalkannya.
Petualangan, perjalanan, misteri, dan intrik-intrik yang dilakoni oleh Robert Langdon, Sophie Neveu, Uskup Aringarosa, Silas, Bezu Fache, Sir Leigh Teabing, Remy, Collet, Vernet, membuat saya tenggelam dan tidak bisa keluar. Halaman demi halaman berlalu begitu saja tanpa saya sadari sudah membaca lebih dari seratus halaman (versi terjemahan Indonesia yang saya baca sepanjang 677 halaman), dan saya terus membacanya. Daniel Brown benar-benar mahir mengungkap dan menyimpan misteri, menebar petunjuk-petunjuk seperlunya, agar kita menduga-duga dan terus penasaran untuk mencari tahu bagaimana kisah selanjutnya, apa yang terjadi berikutnya.
Saya pikir, Daniel Brown adalah satu dari sedikit pengarang yang menemukan formula bagaimana membuat sebuah novel yang page-turner. Ia lihat merangkai plot. Membaca The Da Vinci Code seperti menonton sebuah film. Adegan demi adegan bersaling-silang munculnya, berasal dari dua plot yang berbeda dan berjalan secara paralel, hingga akhirnya bertemu di satu titik. Yang lebih mengagumkan bagi saya adalah kemampuan Dan Brown memasukkan data-data hasil risetnya tentang sejarah ke dalam narasi namun sama sekali tidak mengganggu tempo pembacaan saya dan seluruh data tersebut tetap relevan terhadap plot. Saya tidak tahu bagaimana cara dia melakukannya. Mungkin dengan menebar data itu di beberapa tempat, tidak langsung ditumpah-ruahkan di satu bagian seperti novel-novel fiksi-sejarah lainnya. Apapun itu, Dan Brown berhasil membuat saya mengikuti plot yang ia buat dan menyimak bit demi bit data yang ia sodorkan.
Kalaupun ada hal yang kurang maksimum di The Da Vinci Code adalah perwatakan tokohnya. Saya terkadang masih merasa ada kesamaan suara antara satu tokoh dengan yang lainnya. Walaupun beberapa tokoh tampak mencuat dan mudah dikenali. Bagi saya, tokoh-tokoh yang memiliki imej dan meninggalkan kesan yang kuat dan melekat adalah Silas dan Sir Leigh Teabing dengan gaya bicara dan dialognya yang khas (ia selalu memanggil Sophie Neveu dengan imbuhan “Sayangku…”).
Nyaris tidak ada bolong dalam plot dan subplot The Da Vinci Code yang dirangkai dengan sangat apik oleh Dan Brown. Memang ada beberapa pertanyaan yang masih menggantung di dalam kepala saya, seusai membaca buku tersebut, namun saya kira itulah keindahan sebuah buku, terutama ketika yang sedang dibaca adalah buku bergenre misteri-thriller. Mengingat apa yang dibahas oleh Dan Brown dalam The Da Vinci Code adalah topik-topik sejarah dan keagamaan, saya tidak heran kalau setelah kelar membaca, saya masih bertanya-tanya akan beberapa hal.
Akhirnya, yang ingin saya katakan sebagai penutup catatan ini adalah, jika Anda rindu masa-masa dimana Anda tenggelam dalam buku yang Anda baca, dan tidak bisa melepaskan buku itu dari genggaman sampai benar-benar selesai membacanya, membawanya ke ruang makan, kamar mandi, mal, sekolah, tempat nongkrong, dan lain-lain, mungkin Anda ingin mencoba membaca The Da Vinci Code. Atau, bagi Anda yang sudah pernah membaca ini, saya hanya ingin bilang, kini saya adalah bagian dari Anda. ***
(PS: Saya tidak tahu apakah ia membaca catatan ini atau tidak-tapi saya ingin mengucapkan terima kasih kepada perempuan itu.)