Apa yang bisa kamu ingat dari masa kecilmu? Permainan kelereng dengan teman-teman satu kompleks? Suara ibu yang nyaring memanggil dari dapur? Bentakan ayah saat memarahimu karena pulang terlalu larut? Atau sekumpulan anak yang tidak menerimamu masuk ke dalam geng mereka? George Orwell mengingat hanya sedikit hal dari masa kecilnya, seperti yang ia tulis, namun hal-hal itu merupakan sedikit yang terpenting yang perlu ia ingat dan renungkan. Dan, ia bagi lewat orang-orang yang membaca bukunya. Such, Such Were the Joys, adalah pintu menuju masa kecil Orwell, pada tahun 1916, ketika ia masih bersekolah dasar.
Dibuka dengan narasi tentang mengompol (ya, mengompol), Orwell memulai perenungannya tentang hal-hal yang dahulu tidak ia pikirkan, tentu saja karena ia masih kecil. Ia memikirkan tentang mengompol yang menjadi sesuatu yang sangat identik dengan anak-anak. Anak-anak mana yang tidak mengompol? Dan apakah yang terjadi ketika kita sudah tumbuh semakin besasr dan masih mengompol? Kita akan dihukum. Beberapa orangtua memberikan hukuman yang bijak dan mendidik, seperti misalnya disuruh mencuci seprei sendiri atau tidak diberi jatah uang jajan, sementara beberapa yang lain memberikan hukuman yang bersifat fisik. Orwell, pada masa kecilnya, mengalami yang terakhir disebut.
Orwell bersekolah di St. Cyprian’s dan tinggal di dalam asrama. Oleh guru dan kepala sekolahnya yang ambisius, oportunis, dan diskriminatif, Orwell sering mendapat perlakuan tidak adil. Adalah Flip yang sering menyebutnya sebagai anak nakal karena masih mengompol, dan Sambo yang memukul pantatnya di depan kelas sebagai hukuman. Semasa kecil, Orwell begitu membenci Flip dan Sambo, pasangan yang menjalankan aktivitas belajar-mengajar di St. Cyprian’s yang hanya bersikap baik kepada murid-murid bergelar kesatria, atau anak-anak keluarga bangsawan dan kaya-raya. Flip dan Sambo kerap mematahkan semangat Orwell kecil dengan mengatakan kepadanya bahwa ia takkan pernah jadi orang yang sukses, ia hanya akan menjadi orang-yang-bergaji-40-poundsterling-setahun. Oleh Flip dan Sambo, Orwell dibuat berpikir bahwa jika dirinya sempat tumbuh besar dan masih hidup pun, ia sudah sangat bersyukur.
Lewat renungan tentang mengompol, Orwell bercerita perihal hukuman dan rasa bersalah. Bagaimana seorang anak dipandang bersalah dan harus dihukum atas hal-hal yang tidak bisa ia kendalikan. Mengompol adalah sesuatu yang tidak bisa dikendalikan oleh anak kecil. Ia terpaksa tidak mengompol lagi karena ia dihukum, ditakut-takuti, atau bahkan dipukul secara kejam, dan kemudian di dalam kepalanya tertanam pernyataan bahwa mengompol itu sendiri adalah sebuah kesalahan besar yang hanya bisa ditebus lewat penghukuman yang mutlak dilakukan.
Bercerita tentang Flip dan Sambo, Orwell juga berceloteh perihal diskriminasi. Sambo adalah kepala sekolah yang oportunis dan memiliki bakat sebagai penjilat ulung. Ia sangat ingin sekolahnya didatangi oleh murid-murid yang berasal dari keluarga kaya-raya atau bangsawan. Hingga akhirnya, datanglah murid-murid itu. Dua orang albino yang bergelar kesatria. Dalam setiap kesempatan yang memungkinkan, Sambo selalu memanggil murid-murid itu lengkap dengan gelarnya, “Lord X…”, dan melakukannya dengan sengaja agar orang lain bisa mendengarkannya dan mengetahui di sekolahnya ada anak bangsawan. Saat di meja makan, dan mereka sedang membahas kenakalan yang dilakukan anak-anak murid, mereka selalu bilang “Ah, namanya juga anak cowok…” kepada si dua murid bangsawan jika mereka bertindak onar, dan menyergah Orwell dengan “Dasar anak kotor, bandel, tak tahu diuntung!” jika Orwell mengompol.
Selain itu, Orwell juga berkisah tentang tekanan pertemanan di lingkungan sekolahnya. Seorang teman sekelas yang berbadan besar kerap menyombongkan kekayaan harta orangtuanya kepada Orwell. “How much do your father got in a year?” tanyanya. Dan sebelum Orwell sempat menjawab, ia pun sudah menyebutkan berapa banyak gaji ayahnya dan benda-benda lain yang ayahnya miliki. Lewat narasinya yang mudah dipahami, Orwell mengajak kita masuk ke dalam ingatan-ingatan masa kecilnya yang cukup dihiasi dengan tekanan-tekanan, baik dari guru, teman-teman, sekolah, dan masa kecil itu sendiri.
Meski aura yang saya rasakan sangat berbeda ketika membaca karya fiksi Orwell (ini adalah buku nonfiksi Orwell pertama yang saya baca), saya tetap menikmati memoir atau esei yang ditulis Orwell dalam buku tipis sepanjang 56 halaman ini. Terutama dikarenakan oleh bahasa Orwell yang tidak meliuk-liuk dan meski terdapat beberapa kata yang asing di telinga, tetaplah sederhana dan tidak bikin mengernyitkan dahi. Orwell adalah contoh baik dan nyata tentang kepiawaian seorang pengarang atau penulis, bahwa semakin lihai seorang penulis, maka ia akan langsung menunjukkan adegan-adegan kepada pembaca, bukan terjebak dalam usaha mempertontonkan keindahan dan geliat cantik kata-kata aneh atau sengaja dianeh-anehkan. Ia akan menyodorkan ide dan gagasan, karena itulah yang terpenting yang perlu dilihat dan diserap oleh pembaca.
Such, Such Were the Joys membuat saya mengingat masa-masa ketika saya belum mengkhawatirkan banyak hal, dan hari-hari saya sepertinya begitu sederhana dan menyenangkan. Pergi sekolah setiap pukul enam dengan mengantongi uang jajan dua ratus perak dan pulang masih dengan seratus perak di tangan (selama empat tahun saya hanya jajan cemilan tic tac yang satu bungkusnya berharga dua puluh lima rupiah, saya membeli empat), saya bahkan pernah berjalan kaki dari sekolah ke rumah yang jaraknya kurang lebih empat kilometer hanya karena bosan naik sepeda. Saya ingat tentang permainan tangkap kera atau bermain polisi-penjahat. Saya ingat di sekolah hanya ada satu guru untuk setiap tiga sampai empat mata pelajaran (Pak Kimpa mengajar ilmu pengetahuan alam dan juga olahraga, Bu Nur mengajar PPKN dan muatan lokal). Saya ingat perkelahian di depan pintu kelas antara dua orang teman laki-laki yang gemar unjuk kekuatan (mereka bertengkar menggunakan kawat yang dipotong dari pagar sekolah, ketika saya mengingatnya sekarang agenda itu terasa sangat mengerikan). Saya ingat ketika saya diancam akan dipukul kalau tidak memberikan contekan dan jawaban pe-er. Saya ingat sebuah surat cinta dari seorang murid perempuan di sekolah sebelah (ada dua sekolah dasar yang berbeda berada dalam satu areal).
Masa kecil, bagi saya, adalah sesuatu yang teramat krusial. Ia bisa menentukan bagaimana cara seseorang memandang dirinya dan kehidupan seumur hidupnya ketika ia tumbuh dewasa. Seorang anak, seperti kata pepatah populer, ibarat kertas kosong. Ia akan menjadi apa yang dicoretkan atau dituliskan kepadanya. Apakah itu pengalaman traumatik, pesan-pesan baik dan optimistis, atau hal-hal lain. Kalau ia tidak mendapatkan itu dari orangtuanya, maka ia akan mendapatkannya dari lingkungan. Jika kau ingin tahu mengapa seseorang menjadi dirinya sekarang, kau bisa bertanya atau mencari tahu bagaimana masa kecilnya. Mengingat masa kecil diri sendiri juga bisa menjadi sebuah usaha dan jalan untuk mendapatkan pemahaman diri, mengapa kita begini dan mengapa kita begitu. Dan mungkin, jika saya adalah Orwell dan menulis sebuah memoir tentang masa kecil, saya akan menulis di akhir buku itu sebuah kalimat yang saya gunakan sebagai pembuka catatan ini:
Apa yang bisa kamu ingat dari masa kecilmu? ***