Quantcast
Channel: Bernard Batubara
Viewing all articles
Browse latest Browse all 402

Seperti Apa Buku yang Bagus Itu?

$
0
0


Pada unggahan sebelumnya, saya mengulas sedikit tentang Demian, novel tipis bagus karangan seorang penulis Jerman yang juga peraih Nobel Kesusastraan, Hermann Hesse. Di akhir catatan tersebut, saya menyinggung sedikit tentang bagaimana ukuran buku yang bagus menurut saya. Saya ulang bagian tersebut di paragraf setelah ini.

Buku bagus, adalah buku yang membuatmu berpikir, merenung, berkontemplasi. Buku yang, setelah membacanya, kau merasa ada sesuatu yang bertambah di dalam kepalamu. Bertambah dengan sangat banyak. Hal-hal yang bertambah itu adalah pengetahuan baru. Pemikiran baru. Buku yang menawarkan sudut pandang baru dalam memaknai kehidupan dan manusia. Buku tersebut akan menghantam pemikiranmu dengan gagasan-gagasan yang memaksamu untuk berpikir ulang dan memberi waktu cukup lama, bahkan sangat lama, untuk mencernanya. Pada halaman-halaman tertentu kau akan berhenti untuk menarik napas, berpikir sangat dalam, membacanya ulang dan berpikir lagi, dan setelah kau selesai membacanya kau tahu bahwa dirimu bukanlah dirimu yang dahulu. Kau telah berubah. Pemikiranmu telah berubah. Buku tersebut akan membuatmu melihat apa yang kau lihat selama ini dengan cara yang berbeda. Cara yang tidak lagi sama.

Nah, saya akan menambahkan keterangan tentang buku bagus. Mari kita ulang pertanyaannya, selayaknya judul catatan ini: seperti apa buku yang bagus itu?

Sebelumnya, kita sepakati terlebih dahulu bahwa setidaknya ada dua jenis buku di dunia ini: fiksi dan nonfiksi. Oleh karena ada perbedaan sifat antara kedua jenis buku tersebut, maka ukuran buku bagus di antara keduanya pun bisa berbeda. Tapi tidaklah banyak perbedaan itu. Hanya pada fiksi dan nonfiksi saja. Bagaimana maksudnya? Begini.

Buku yang bagus, jika ia adalah buku fiksi, tentunya adalah buku yang elemen-elemen fiksinya digarap dengan baik. Idenya keren, karakter-karakternya kuat, dialog-dialognya cerdas dan berbobot, plotnya masuk akal dan tak dapat diduga-duga ke mana arahnya, konflik muncul dengan sangat intens, sudut pandang yang digunakan penulis tidak membingungkan pembaca, penggambaran suasananya betul-betul terasa nyata, narasinya berisi, cara menulisnya unik, dan seterusnya. Jika ia adalah buku nonfiksi, berlaku hal yang sama. Maksudnya, elemen-elemen dalam sebuah karya nonfiksi haruslah digarap dengan baik, jika ia ingin disebut sebagai buku yang bagus. Begitu.

Di luar dari hal-hal di atas, saya punya ukuran yang gaib dan mungkin akan terdengar aneh di telinga teman-teman pencinta buku. Salah satu ukuran buku bagus bagi saya adalah, buku yang ketika saya membacanya, saya bisa tiba-tiba berhenti sejenak hanya untuk mengumpat. Fuck! Shit! Anjing! Kampret! (maaf kalau saya tidak melakukan sensor, karena oh sungguh sensor semacam itu sama sekali tidak berguna) Dan semacamnya. Mengapa saya mengumpat? Entahlah. Itu reaksi yang sangat spontan. Reaksi seperti itu muncul ketika saya membaca satu bagian dari buku tersebut yang menghantam kepala saya. Ketika saya mengumpat, saya tahu, buku yang sedang saya pegang dan baca ini adalah buku bagus. Semakin banyak saya mengumpat saat membacanya, semakin baguslah buku itu. Aneh ya? Semoga tidak. Karena masih banyak hal yang lebih aneh di dunia ini. Seperti misalnya jatuh cinta kepada orang yang tidak mencintaimu.

Demikianlah. Saya tak merasa perlu untuk menjabarkan lebih detil dan lebih panjang tentang ukuran sebuah buku yang bagus. Masing-masing orang bisa memiliki ukuran-ukurannya sendiri. Belum lagi kalau kita bicara perihal selera. Wah, bisa lebih panjang dan tak ada habisnya. Misal: J. M. Coetzee adalah peraih Nobel Kesusastraan, dengan begitu setidaknya buku-buku yang dia tulis sudah terjamin adalah buku-buku yang bagus, namun saya tidak menyukai Life & Times of Michael K karena bagi saya buku itu disampaikan dengan terlalu dingin sementara kisahnya cukup sengsara dan berdarah-darah. Itu perihal selera. Life & Times of Michael K adalah buku yang bagus, tentu saja. Karena pengarangnya adalah peraih Nobel Kesusastraan. Elemen-elemen fiksinya pun digarap dengan baik. Tetapi tetap saya tidak terlalu menyukainya. Begitulah.

Setidaknya, mengutip catatan Eka Kurniawan di sebuah jurnalnya, saya perlu juga mengulang informasi yang dia sampaikan, bahwa ilmu sastra itu ada. Ilmu untuk menilai sebuah buku itu ada, dan bisa dipelajari. Ketika saya berkata suka atau tidak suka terhadap sebuah buku, yang bicara pada saat itu adalah selera. Namun saat saya menilai sebuah buku bagus atau tidak, maka saya harus memiliki ukuran-ukuran untuk menilainya, dan ukuran-ukuran tersebut boleh dan bisa dipakai oleh orang lain untuk melakukan penilaian, verifikasi, kroscek atas penilaian saya itu. Sama seperti Eka Kurniawan, saya bukan (atau belum menjadi) mahasiswa sastra. Tetapi, saat saya mendakwa sebuah buku bagus atau tidak, setidaknya saya memiliki ukuran-ukuran. Kau pun harus memiliki ukuran-ukuran saat menilai sesuatu bagus atau tidak.

Tapi jangan pernah mencoba untuk menilai cinta. Karena tak ada ukuran-ukuran yang pas untuk menilai besar-kecilnya sebuah cinta. Setuju?

***

Viewing all articles
Browse latest Browse all 402