Emil Sinclair merasa terkucil dari keluarganya sendiri. Dia merasa berbeda dari kakak perempuannya, ibunya, dan ayahnya yang menjadi bagian dari dunia penuh cahaya, dunia yang terbuat dari kebaikan, keteraturan, moral yang benar, religius, dan segala hal semacamnya. Sinclair, entah mengapa, merasa dirinya bukan bagian dari dunia tersebut. Dia merasa dia bagian dari dunia yang lain, kutub yang berbeda, berlawanan dari kehidupan yang dia jalani. Dunia yang dia maksud itu adalah dunia yang terdiri dari skandal, hal-hal misterius dan gaib, peristiwa-peristiwa jahat dan kejam, serta manusia-manusia pemabuk. Di dunia seperti itulah Sinclair merasa dirinya seharusnya berada.
Sinclair kecil berusia sepuluh tahun, adalah anak lelaki yang lemah dan berhasrat ingin diterima oleh pergaulan. Maka dia mengarang cerita untuk menunjukkan ke teman-temannya bahwa dia adalah seseorang yang nakal, gagah, dan berani. Sayangnya, cerita tentang mencuri buah apel milik tetangganya yang dia kisahkan dengan bangga kepada teman-temannya ternyata dimanfaatkan dengan cara lain oleh Franz Kromer, “bos geng” yang kemudian menjadi momok bagi Sinclair dan membuat kehidupannya serasa di dalam penjara.
Agar Kromer tidak mengadukan perbuatannya kepada si korban pencurian, Sinclair terpaksa memberikan upeti kepada Kromer. Meski Kromer tidak terang-terangan memerasnya, dia telah memberikan tekanan yang besar bagi jiwa Sinclair pada saat itu. Dia takut Kromer tetap mengadukan perbuatannya kepada si korban, atau lebih parah lagi, kepada polisi. Mungkin juga Kromer akan mengadu kepada ibu dan ayahnya. Sinclair merasa dirinya sedang menghabiskan hari demi harinya dalam sebuah neraka kecil. Dia tak bisa hidup dengan tenang.
Hingga akhirnya, setelah teror yang menimpa kehidupan Sinclair berlangsung selama berhari-hari, penyelamat itu pun datang. “My salvation came from a totally unexpected source, which, at the same time, brought a new element into my life that has affected it to this very day.” Seorang murid baru muncul di sekolah Sinclair, dan dengan segera menarik tidak hanya perhatiannya, tapi juga perhatian murid-murid lain dan guru-guru di sekolah. Murid baru itu, meski tampak seumuran Sinclair, memiliki perawakan yang lebih dewasa dan aura kejantanan yang lebih matang. Murid baru itu adalah Max Demian.
Semula, saya kira Demian adalah nama tokoh utama dalam Demian. Ternyata, dia adalah tokoh pembantu yang membimbing dan memberikan petunjuk-petunjuk kepada Emil Sinclair, sang tokoh utama, dalam menemukan jati diri dan tujuan hidupnya. Ya, itulah isu yang diangkat Demian. Buku karangan Hermann Hesse (1877-1962) ini bercerita tentang pencarian jati diri, pemenuhan diri, dan penyadaran diri. Hesse adalah seorang pengarang berkebangsaan Jerman yang meraih Nobel Kesusastraan tahun 1946. Bercita-cita menjadi seorang penyair setelah membaca sajak Friedrich Hölderlin dan berakhir menjadi novelis (walaupun dia juga menerbitkan beberapa buku puisi dan kumpulan cerita).
Sejak halaman pertama, saya tahu bahwa Demian adalah buku yang berat. Berat dalam artian gagasan yang ia usung. Self-fulfillment, self-awareness, dan transisi antara ketergantungan dan pemberontakan adalah poin-poin utama yang diurai oleh Hesse lewat narasi yang sangat padat dengan pemikiran-pemikiran dan filosofi tersebar dalam 145 halaman secara apik.
Kau mungkin bisa meniru teknik menulis Murakami dengan latihan secara rutin dan meneliti dengan cermat elemen-elemen dalam tulisan-tulisannya, tapi seperti halnya Alice Munro, saya jamin kau takkan bisa meniru Hesse. Bobot dalam tulisan Hesse dan gaya bahasanya yang terbilang berat bukanlah bobot yang dirancang dan diciptakan hanya dengan teknik mumpuni, melainkan bobot yang memang muncul dengan sendirinya dari pemikiran-pemikiran serta sikap politik dan spiritual Hesse. Ibarat seorang jago bela diri, pemilik sabuk merah atau cokelat atau hitam mungkin masih berkutat dengan jurus-jurus. Namun seorang master tak lagi berpikir perkara teknik. Teknik telah melebur dan hilang, lenyap tak terlihat. Yang muncul adalah tenaga dan gagasan. Memukul tanpa menggunakan tangan. Menendang tanpa melayangkan kaki. Melempar orang hanya dengan aura dan tatapan. Itulah yang dilakukan Hesse lewat novel kelimanya ini, yang diterjemahkan dari versi aslinya berjudul Demian: Die Geschichte von Emil Sinclair Jugend.
Kalau kau tidak percaya dengan pernyataan saya di atas, simaklah salah satu kutipan ini dan katakan kepada saya bagaimana cara kau menirukan kalimat serupa:
For the first time in my life I tasted death, and death tasted bitter, for death is birth, is fear and dread of some terrible renewal.
Atau:
I stopped irresolute at the far end of the avenue: staring into the dark foliage I greedily breathed the humid fragrance of decay and dying to which something within me responded with greeting.
Sekarang mari kembali ke kisah Emil Sinclair, tokoh utama dalam Demian.
Sinclair merasa dirinya berbeda dan tak cocok berada dalam “world of light” dimana keluarganya tinggal. Perasaan ini semakin diyakininya setelah dia terlibat percakapan seru dengan teman barunya, Demian. Dalam perjalanan pulang dari sekolah, mereka berbincang-bincang tentang kisah Cain & Abel (Islam mengenalnya dengan Kabil & Habil). Memiliki pemikiran yang berbeda terhadap kisah tersebut, Demian menawarkan sudut pandang dan konsep yang baru kepada Sinclair tentang “tanda” yang dimiliki Cain. Belakangan, Sinclair merasa dirinya serupa seperti Cain. Dia adalah orang terpilih, diberi “tanda”, untuk menjadi berbeda dan membedakan dirinya dari masyarakat. Hal ini membuat Sinclair semakin yakin untuk melepaskan diri dan mencari, bergelut dengan “dunia lain” dimana dia semestinya berada.
“Dunia lain” inilah (dalam pandangan Sinclair, dunia yang dia tempati adalah dunia, dan “dunia normal” adalah dunia lain itu, “world of light” seperti milik keluarganya) yang dikejar oleh Sinclair. Dalam pencariannya itu, pada titik pertama dia diberi petunjuk demi petunjuk oleh Demian. Sayangnya, setelah dia diselamatkan dari Kromer oleh Demian (entah dengan cara bagaimana, sepertinya negosiasi atau semacam itu, tidak disebutkan jelas) hubungan Sinclair dengan Demian merenggang. Semata karena Sinclair merasa tak memiliki signifikansi lagi atas hubungannya dengan Demian dan dia telah kembali ke pelukan ibundanya setelah berterus terang tentang masalahnya dengan Kromer. Tetapi sebetulnya bukan hanya karena hal tersebut, melainkan Sinclair sedikit merasa takut terhadap aura asing dan gravitasi yang begitu kuat yang muncul dari diri Demian. Dalam pada itu, meski Sinclair merasa ingin menjauh dan tak berhubungan lagi dengan Demian, ada bagian dari dirinya yang ingin bertemu lagi dengan Demian. Pertanyaan-pertanyaan yang berdengung di kepalanya tentang makna kisah Cain & Abel versi Demian, perihal keyakinan, dan “dunia lain”, menumpuk dan menariknya untuk menemui Demian kembali.
Ibarat selembar kertas, Sinclair adalah sosok manusia serupa halaman yang kosong. Namun, halaman kosong tersebut hanya menghendaki diisi oleh hal-hal yang berasal dari “dunia lain”, dunia asing yang Sinclair anggap adalah dunia normalnya. Demian adalah orang pertama yang membuka gerbang menuju dunia tersebut. Terlebih setelah Demian menulis sepucuk memo untuk Sinclair, sebagai responnya terhadap lukisan Sinclair yang menggambarkan seekor burung berusaha untuk menembus bola dunia yang gelap.
The bird fights its way out of the egg. The egg is the world. Who would be born must first destroy a world. The bird flies to God. That God’s name is Abraxas.
Burung itu, di kemudian hari disadari Sinclair, adalah dirinya sendiri. Dia berusaha untuk keluar dari cangkang, world of light yang penuh moralitas dan hal-hal religius. Dia ingin terbang beranjak dari sana. Tetapi, sebelum itu, Sinclair menyadari bahwa dirinya adalah sosok dengan jiwa yang lemah. Dia selalu butuh sandaran. Sandaran pertama saat dia menerima bully dan teror dari Franz Kromer adalah Demian. Sandaran kedua setelah dia lepas dari Kromer adalah ibunya sendiri. Maka, ketika pada suatu hari Sinclair tinggal jauh dari orangtuanya untuk hidup di kos, dia kehilangan sandaran tersebut dan menjadi limbung. Sinclair bertemu kenalan baru, Alfons Beck, dan menghabiskan hari demi harinya dengan keluar-masuk bar, mabuk-mabukan. Sandaran berikutnya adalah sosok seorang gadis cantik di taman yang diasosiasikan Sinclair sebagai Beatrice, perempuan dalam lukisan Dante Gabriel Rossetti. Untuk pertama kalinya, Sinclair merasa dirinya jatuh cinta. Pada saat itulah, dia merasa menemukan rumahnya kembali.
I had to come home again to myself, even if only as the slave and servant of a cherished image.
Sayangnya, sosok Beatrice tak pernah termanifestasi secara nyata. Sinclair membuat lukisan Beatrice versinya sendiri dan menyadari bahwa lukisan tersebut berubah-ubah bentuk menjadi dirinya, Demian, dan pada akhirnya mewujud sosok ibu kandung Demian, Frau Eva.
Sebelum bertemu Eva, saat Sinclair kembali menjauh dari Demian, dia bertemu seseorang yang lain. Seorang pianis bernama Pistorius. Pistorius adalah anak pastor yang, ternyata, “sejenis” dengan Sinclair. Pistorius menyeleweng dari orangtuanya yang sangat agamis. Dia ingin membangun sektenya sendiri. Hubungan Sinclair dan Pistorius dimulai dengan pertanyaan Sinclair tentang Abraxas. Pistorius yang kaget mengetahui ada orang lain yang mengenal nama tersebut, membawa Sinclair ke rumahnya dan membukakan gerbang kedua bagi Sinclair. Gerbang menuju kepercayaan baru.
Hubungan murid – mentor antara Sinclair dan Pistorius tak berlangsung lama. Meski demikian, Sinclair mendapatkan banyak pelajaran dari Pistorius. Setelah itu, Sinclair bertemu dengan Frau Eva, ibunda Demian. Tinggal di rumah Eva, Sinclair akhirnya menemukan tujuan hidupnya dan pencariannya telah menemukan jalan terang.
Buku bagus, adalah buku yang membuatmu berpikir, merenung, berkontemplasi. Buku yang, setelah membacanya, kau merasa ada sesuatu yang bertambah di dalam kepalamu. Bertambah dengan sangat banyak. Hal-hal yang bertambah itu adalah pengetahuan baru. Pemikiran baru. Buku yang menawarkan sudut pandang baru dalam memaknai kehidupan dan manusia. Buku tersebut akan menghantam pemikiranmu dengan gagasan-gagasan yang memaksamu untuk berpikir ulang dan memberi waktu cukup lama, bahkan sangat lama, untuk mencernanya. Pada halaman-halaman tertentu kau akan berhenti untuk menarik napas, berpikir sangat dalam, membacanya ulang dan berpikir lagi, dan setelah kau selesai membacanya kau tahu bahwa dirimu bukanlah dirimu yang dahulu. Kau telah berubah. Pemikiranmu telah berubah. Buku tersebut akan membuatmu melihat apa yang kau lihat selama ini dengan cara yang berbeda. Cara yang tidak lagi sama.
Dan Demian, para pembaca yang budiman,adalah buku yang seperti itu.
***