Mungkin di usia seperempat abad, saya mulai bertanya-tanya, apa artinya hidup? Hidup yang saya maksud kehidupan biologis seluruh makhluk hidup khususnya manusia. Saya tidak bisa berhenti memikirkan buat apa manusia ada. Manusia lahir, menua, kemudian mati. Beberapa yang cukup beruntung sempat memiliki keturunan sebelum mencapai ajal. Silsilah berlanjut.
Tapi mau ke mana? Di mana ujung siklus yang membosankan dan begitu tertebak ini? Buat apa siklus ini ada? Apa tujuannya? Atau kita kembali ke pertanyaan yang mungkin mendahului semua itu: gimana bisa ada kehidupan?
Jawabannya mungkin akan kurang memuaskan bagi yang bersikeras hidup punya makna mendalam dan tujuan agung. Maaf, tapi semua ini terjadi semata-mata karena kebetulan. Kehidupan tercipta karena suatu kebetulan dan, ini yang lebih bikin zonk, enggak punya tujuan. Iya, kehidupan ini kebetulan aja dan enggak ada tujuannya. Saya, kamu, mereka, ada karena kebetulan. Buat apa manusia ada di dunia? Enggak tahu. Enggak ada tujuan.
Bagi beberapa orang, arti kehidupan mungkin datang melalui peristiwa emosional, perjalanan batin, atau kejadian besar yang mengguncang hidupnya. Buat saya, arti kehidupan itu datang dari sebuah buku berjudul The Selfish Gene yang ditulis Richard Dawkins.
Dalam bukunya, Dawkins menjelaskan bagaimana kehidupan berlangsung dari sudut pandang gen, yang ujungnya menuju kesimpulan di paragraf sebelum ini. Makhluk hidup (tentu termasuk manusia) menurut The Selfish Gene tak lebih dari kendaraan yang ditumpangi gen-gennya untuk terus mereplikasi diri. Lebih spesifik lagi, kendaraan bagi keberlangsungan eksistensi gen egois.
Premis The Selfish Gene dirumuskan berdasarkan karya bertema serupa dari seorang ilmuwan biologi evolusioner Amerika bernama George C. Williams (mungkin enggak banyak yang kenal) sekaligus sebagai bentuk kritik atas teori evolusi Charles Darwin (yang ini lebih familier ya). Karena teori evolusi Darwin lebih populer mari kita bahas buku Dawkins sebagai respons atas pemikiran Darwin.
Karya Darwin yang judul panjangnya On the Origin of Species by Means of Natural Selection or the Preservation of Favoured Races in the Struggle for Life, yang lebih dikenal dengan versi pendeknya, On the Origin of Species, itu sebetulnya ngebahas banyak hal, tapi yang paling terkenal adalah bagian soal seleksi alam. Frasa Darwin, "survival of the fittest", jadi garis besarnya. Cuma makhluk yang mampu beradaptasi dengan perubahan di lingkungannya yang dapat bertahan hidup.
Seleksi alam, menurut Darwin, terjadi pada tataran individu. Dawkins berpikiran lain. Menurut Dawkins, seleksi alam berlangsung pada level yang lebih fundamental, yakni gen, unit terkecil pewarisan sifat yang menyusun, mengatur, dan memperbaiki fungsi biologis makhluk hidup. Pertempuran itu, "survival of the fittest" tidak terjadi di luar melainkan di dalam, di balik untai kromosom, berlangsung abadi meniti double-helix DNA & RNA di tubuh kita.
The Selfish Gene diterbitkan kali pertama tahun 1976, satu dekade setelah buku George C. Williams, Adaptation and Natural Selection, seabad lebih setelah On the Origin of Species. Dawkins meletakkan The Selfish Gene di posisi yang berseberangan dengan teori seleksi alam berdasarkan organisme individu dan kelompok. Buku setebal 357 halaman ini memuat penjabaran lengkap Dawkins tentang kehidupan dari sudut pandang gen.
Richard Dawkins membuka The Selfish Gene dengan pertanyaan dalam judul bab "Why Are People?"Kehidupan yang cerdas dimulai ketika manusia menemukan alasan keberadaannya (jawab: kebetulan). Dawkins melanjutkan ceritanya dengan memaparkan asal mula terjadi gen dan kemampuan utama yang dimiliki gen yakni mereplikasi diri.
Gen yang baik, menurut Dawkins, adalah gen yang egois, yakni gen yang melakukan apapun demi keberlangsungan dirinya sendiri. Seterusnya adalah cerita yang sangat menarik dan rinci tentang apa yang disebut agresi gen, pertarungan antar gender, dan masa depan gen. Dawkins memperlihatkan strategi bertahan hidup yang di dalamnya termasuk manipulasi atawa tipu-tipu, carmuk alias cari muka ke makhluk lain, dan melakukan pengorbanan yang sekilas tampak sebagai tindakan altruisme tapi sebetulnya semata-mata demi kepentingan egois gen.
Ada banyak banget hal menarik di buku The Selfish Gene. Kalau saya tulis satu-satu bakal terlalu panjang dan membosankan terutama bagi yang enggak begitu tertarik sama Biologi. Bab yang menurut saya dengan mudah menarik perhatian orang-orang adalah bagian "Battle of the Sexes"karena sangat sejalan sama situasi kehidupan nyata.
Dawkins memaparkan hal mendasar yang menentukan kejantanan dan kebetinaan makhluk hidup. Perbedaan ukuran sel telur dan sel sperma yang terjadi secara kebetulan (semula keduanya berukuran sama hingga tak bisa dibedakan) membuat hewan jantan dan betina punya strategi masing-masing yang unik demi keberlangsungan hidup mereka, termasuk memiliki kecenderungan berselingkuh (jantan) dan memanipulasi para jantan (betina).
Bagi yang kurang paham atau lupa apa itu gen, jangan khawatir. Meski enggak membahas struktur gen secara merinci, penjelasan Dawkins tentang asal-usul gen dan proses terjadinya evolusi akan sangat membantu memahami keseluruhan isi The Selfish Gene. Bahasa Dawkins pun enak dan ia kerap mengelaborasi pernyataan-pernyataannya jadi kita gak bakalan kehilangan jejak tentang apa yang sedang ia sampaikan. Tentu ada jargon dari lingkungan Biologi dan teori-teori ilmuwan lain yang dirujuk sepanjang penjelasan mengenai gen egois, tapi tanpa membaca lebih jauh teori-teori tersebut kita tetap bisa paham apa yang dimaksud Dawkins.
Sepanjang hidup yang sebetulnya enggak bertujuan ini, kita bisa membaca banyak buku, tapi sebetulnya enggak banyak yang betul-betul membekas dan mengubah cara pandang kita. Buat saya The Selfish Gene adalah satu dari sedikit buku yang mengubah pandangan saya secara permanen terhadap kehidupan. Saya enggak bisa lagi balik ke fase sebelum membaca buku ini. The Selfish Gene meninggalkan bekas abadi di pikiran saya, seabadi sang replikator, sang gen egois. ***