Ada banyak hal yang saya senangi di hidup ini, salah satunya berkenalan dengan orang baru. Namun, dari banyak hal yang saya senangi ketika bertemu kenalan baru, ada satu pertanyaan yang tidak pernah bisa saya jawab dengan lekas. Pertanyaan yang senantiasa disampaikan sebagai pembuka, pengisi obrolan, atau bahkan di penghujung tukar-pikiran. Di mana pun letaknya, pertanyaan ini niscaya muncul:
“Kamu orang mana?”
Saya selalu bingung harus menjawab apa.
Apa itu maksudnya: Kamu orang mana?
Beberapa teman saya menerjemahkan pertanyaan tersebut sebagai keingintahuan akan daerah asal atau lebih spesifik lagi tempat kelahiran. Jika kamu lahir di Yogyakarta, maka jawabannya: “Saya orang Jogja.” Beberapa yang lain menganggap kata tanya mana mengacu pada kelompok etnis. Jika kamu lahir dari kedua orangtua Betawi, maka kamu akan menjawab: “Saya orang Betawi.”
Jawaban ini bukan tanpa persoalan. Masalahnya, kalau kedua orangtua saya berasal dari suku yang berbeda, saya harus menjawab dengan apa?
“Saya orang Batak, sih, tapi juga Melayu.:”
Menjadi lebih rumit lagi jika ayah dan ibu saya tidak murni Batak maupun Melayu.
“Saya orang Batak, sih, tapi juga Melayu. Ada India-nya sedikit, tapi udah jauh…”
Rumit, kan.
Ini bukan persoalan sederhana. Belasan tahun sejak kali pertama mendapat pertanyaan itu saya masih saja kebingungan menjawabnya. Semakin sulit bagi saya menerjemahkan dan memberi respons atas pertanyaan, “Kamu orang mana?” ketika saya terus berpindah tempat tinggal dari desa masa kecil di Anjongan Kalimantan Barat, Pontianak, hingga kini di Yogyakarta.
Di Anjongan saya tinggal hingga usia 11 tahun. Di Pontianak saya menghabiskan waktu 6 tahun. Di Yogyakarta, saya sudah tinggal selama 10 tahun lebih, hingga beberapa kali ketika driver ojek bertanya basa-basi tentang berapa lama saya tinggal Yogyakarta, mereka merespons dengan, “Wah sudah jadi orang Jogja ya.” setelah saya menyebut 10 tahun.
Jadi saya ini orang mana sebenarnya?
Secara teknis, saya adalah orang Batak campur Melayu dan sedikit India. Itupun karena saya hanya sanggup melacak hingga tiga generasi ke atas. Saya tidak tahu ibunya nenek buyut saya orang mana, belum lagi nenek buyutnya nenek buyut.
Jika dibilang orang Batak karena ayah saya Batak, saya sesungguhnya tidak paham-paham amat perihal tradisi Batak. Begitu pula dengan Melayu, suku ibu saya; saya bicara dalam bahasa Melayu pergaulan selama enam tahun, tapi tidak benar-benar mengenal secara dalam dan fasih tentang budaya Melayu. Kini, ketika saya tinggal di Yogyakarta, saya merasa memahami sedikit lebih banyak soal Yogyakarta ketimbang Pontianak, kota kelahiran saya.
Jadi, disebut apa laki-laki yang lahir dari orang Batak dan orang Melayu yang tidak benar-benar tahu mengenai budaya Batak dan Melayu dan merasa dirinya lebih dekat pada kebiasaan orang-orang Jawa?
Suatu hari, saya jatuh cinta.
Pada sebuah percakapan dengan orang yang saya cintai, dia tiba-tiba mengucapkan kalimat yang membuat saya agak tidak siap.
“Coba kamu ngomong pakai bahasa Melayu.”
Saya belum pernah jatuh cinta dengan orang yang melemparkan permintaan ganjil seperti itu. Tidak ada pernah ada yang notice dengan aksen Melayu saya, yang meski jarang muncul, sesekali bisa hadir dalam kata-kata saya terutama jika saya merasa nyaman dengan lawan bicara.
Kekasih saya pada saat itu (yang kini sudah menjadi kekasih orang lain) kerap meminta saya berbicara dengan aksen Melayu. Jika selama beberapa jam saya berbicara menggunakan bahasa Indonesia yang cukup formal, dia akan sadar kemudian bertanya: “Kok kamu enggak ngomong pakai bahasa Melayu lagi, sih?”
Saya tidak pernah merasa sangat bangga menjadi orang Melayu, hingga orang yang saya cintai terus-terusan meminta saya bicara dalam aksen Melayu. Ketika saya bertanya mengapa, dia bilang dia menyukai cara saya bicara ketika saya bicara dalam aksen Melayu. Semenjak itu, saya kerap bicara dengannya seperti saya bicara kepada teman-teman sekolah saya di Pontianak.
*
Pada titik itu saya mulai merasa dapat relate dengan sesuatu.
Bagaimanapun, di dalam diri saya ada darah Melayu. Di dalam pembuluh yang sama, juga terdapat darah Batak. Nama belakang saya Batubara, dan ari-ari saya ditanam di tanah Khatulistiwa. Saya tumbuh sebagai anak kecil dan remaja di Pontianak, Kalimantan Barat, dan menjadi dewasa di kota Yogyakarta di pulau Jawa. Saya adalah semua yang ada di diri saya. Seluruh bahasa, budaya, dan identitas yang menjejak di tempat bernama Indonesia.
Suatu hari, saya jatuh cinta pada seseorang yang mengingatkan rasanya menjadi orang Indonesia. Setelah itu, saya jatuh cinta pada kenyataan bahwa saya orang Indonesia. Jika ada orang yang bertanya, “Kamu orang mana?” saya akan jawab dengan santai dan mudah, “Saya orang Indonesia.”
-->
Tulisan ini bekerjasama dengan Giordano Indonesia dan #OneIndonesia.