Jika saya ditanya siapa penulis-penulis Indonesia yang paling saya sukai, saya akan jawab: teman-teman saya sendiri. Teman-teman yang saya maksud adalah penulis-penulis yang "seangkatan" dengan saya, baik itu umurnya maupun periode kepenulisannya. Ya, saya menyukai Eka Kurniawan, Yusi Avianto Pareanom, A. S. Laksana, dan Linda Christanty, tapi saya lebih suka teman-teman saya sendiri. Karena mereka yang sekarang ini bikin saya semangat baca buku-buku penulis Indonesia dan bikin saya merasa optimistis sama masa depan sastra Indonesia. Saya enggak merasa ini pernyataan atau ekspektasi yang berlebihan, karena saya benar-benar melihat kesegaran dan kebaruan dan semangat menawarkan gaya bercerita yang unik di dalam karya teman-teman saya ini.
Di tulisan ini saya pengin bercerita tentang tiga buku baru dari tiga penulis Indonesia yang saya anggap teman-teman saya untuk alasan tadi. Saya sangat menunggu karya mereka, dan akan segera membeli dan membaca bukunya ketika nanti sudah masuk di toko buku.
1. 24 Jam Bersama Gaspar (Sabda Armandio)
Saya kali pertama mengenal Dio kira-kira satu-dua tahun lalu, lewat Twitter. Seorang teman lain, Dea Anugrah, kerap ngeretweet cuitan Dio. Ocehan Dio absurd dan karena itu saya mengikutinya. Saya main-main ke blog Dio dan membaca cerita-cerita pendeknya di sana. Saya sangat menyukainya. Cerita-cerita pendek Dio absurd, sureal, dan menyenangkan. Ketika mengetahui bahwa ia menerbitkan novel perdananya, Kamu, saya enggak pikir panjang untuk langsung membelinya. Saya suka novel itu. Penuh keisengan sekaligus keseriusan. Absurd dan nyata sekaligus. Semenjak itu saya terus mengikuti perkembangan kepenulisan Dio. Kabar terakhir yang saya terima, Dio meraih penghargaan Sayembara Manuskrip Novel Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) 2016 lewat novelnya, 24 Jam Bersama Gaspar. Saya enggak sabar ingin membaca novel tersebut. Cuplikan-cuplikan adegan dan ilustrasi serta gambar sampul yang ditayangkan Dio di kanal-kanal medsosnya bikin saya makin penasaran dengan novel terbaru penulis muda absurd ini.
2. Semua Ikan di Langit (Ziggy Zezsyazeoviennazabrizkie)
Apa yang bikin saya tertarik dengan sosok penulis satu ini? Tentu saja namanya. Ya, karena namanya. Kali pertama saya mengetahui nama Ziggy Zezsyazeoviennazabrizkie yaitu ketika dia jadi salah satu pemenang Sayembara Novel Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) 2014 lewat naskah berjudul Di Tanah Lada. Ketika novel itu terbit, saya beli dan baca. Saya agak kesulitan menikmati ritme narasinya karena cerita dituturkan lewat protagonis seorang anak kecil. Saya belum selesai membaca buku itu. Karena masih tertarik dengan Ziggy, saya mencoba lagi membaca karyanya yang lain. Kali ini novel berjudul Jakarta Sebelum Pagi. Saya tertarik dengan blurb-nya. Saya bisa lebih menikmati novel ini. Namun, lagi-lagi saya enggak menyelesaikannya karena ada satu hal kecil yang mengganjal di salah satu adegannya dan saya belum sempat membuang ganjalan ini karena merasa harus bertanya langsung ke penulisnya. Jadi saya simpan lagi novel itu. Tetap, saya masih penasaran ingin membaca karya Ziggy sampai kelar. Ketika tahu ia jadi juara pertama Sayembara Manuskrip DKJ 2016 lewat naskah Semua Ikan di Langit, saya memutuskan untuk memasukkan novel Ziggy ke dalam daftar buku Indonesia paling saya tunggu tahun ini. Apalagi setelah membaca cuplikan novelnya di wawancara ini. Premisnya sangat menarik dan bikin penasaran.
3. Elegi (Dewi Kharisma Michellia)
Saya sudah mengenal Michelle sejak ia aktif di website forum penulis pemula Kemudian.com. Kami sama-sama pengguna di sana, dulu. Karya-karya awal Michelle yang saya baca adalah cerita-cerita pendeknya. Saya menyukai cerita-cerita pendek Michelle, karena dituturkan dengan sangat jernih dan itu membuatnya enak dibaca. Novel pertama Michelle, Surat Panjang tentang Jarak Kita yang Jutaan Tahun Cahaya, adalah novel yang unik karena menggunakan sudut pandang orang kedua dalam bentuk epistolari, yang sependek pengetahuan saya sebagai pembaca merupakan format narasi yang tidak banyak digunakan di novel-novel kontemporer. Saya menyukai novel itu untuk alasan tersebut. Cerita-cerita pendek Michelle yang kerap tayang di harian lokal maupun nasional sepertinya ia kumpulkan dalam buku terbarunya yang terbit tahun ini, Elegi. Saya enggak tahu apakah ada cerita-cerita pendek baru di sana atau ia mengumpulkan yang sudah pernah terbit di media. Namun, yang jelas, saya selalu menanti karya penulis satu ini. Salah satu cerita pendek Michelle yang saya suka berjudul Rindu. Narasi cerita-cerita Michelle yang pelan, teratur, dan bernuansa melankolis, dengan mudah merasuk ke dalam benak saya ketika membacanya.
-
Itu dia tiga buku dari penulis Indonesia yang paling saya tunggu di tahun 2017. Tiga buku ini juga yang saya rekomendasikan kepada kalian. Saya ingin kalian memastikan bahwa jatah belanja buku kalian tahun ini kalian pakai untuk membeli 24 Jam Bersama Gaspar, Semua Ikan di Langit, dan Elegi.