Quantcast
Channel: Bernard Batubara
Viewing all articles
Browse latest Browse all 402

Down the Rabbit Hole, Juan Pablo Villalobos

$
0
0



Kamu pernah membayangkan jadi anak seorang gangster? Saya belum pernah, tapi tertarik memikirkannya. Gimana ya kalau bapak saya dedengkot penjahat? Gimana rasanya tinggal di rumah besar dengan halaman luas yang dibeli hasil bisnis senjata api ilegal dan membunuh orang, punya banyak orang yang jadi bodyguard, melihat bapak saya menyuap para pejabat dan sesekali kedatangan kiriman potongan anggota tubuh dari kaki-tangan yang dibunuh pihak musuh? Tampak seperti kehidupan yang kacau dan menarik.

Omong-omong, kehidupan semacam tadi dimiliki Tochtli, seorang bocah berusia tujuh tahun (sekira kelas 2 SD) yang tinggal bersama ayahnya, seorang gembong narkoba di Meksiko, dalam novela karya Juan Pablo Villalobos, Down the Rabbit Hole. Buku ini debut Villalobos, penulis kelahiran 1973 berkebangsaan Meksiko, yang hingga saat ini telah menerbitkan tiga buku (termasuk Quesadillas dan I’ll Sell You a Dog)

Kali pertama saya melihat buku Villalobos yang ini di sebuah toko buku kecil di kawasan Pasar Santa, Jakarta. Beberapa kali saya membaca Down the Rabbit Hole disebut di tweets beberapa teman di Twitter. Mengetahui penulisnya berasal dari Meksiko, saya langsung tertarik. Saya selalu tertarik dengan karya-karya penulis Amerika Latin. Sampai kemudian saya sadar kalau Meksiko itu di Amerika Utara.

Iya, pelajaran Geografi saya dulu dapat nilai jelek. Ini serius.

Anyway, akhirnya saya membeli buku ini. Down the Rabbit Hole tipis, tapi karena buku impor jadi tetap saja cukup mahal seperti buku-buku impor lainnya. Kesan pertama, saya sangat suka dengan desain sampulnya. Dominasi warna dasar orange dengan font judul dan nama penulis yang sederhana dan mudah dibaca. Di kanan judul, tampak seorang bocah menunggangi seekor hewan yang awalnya saya kira badak. Sang bocah menggenggam sebilah samurai dan mengenakan topi hingga tujuh tingkat. Posenya semacam mengingatkan saya pada potret Don Quixote.

Sampai mulai membaca halaman pertama, saya tidak tahu kalau Down the Rabbit Hole dituturkan oleh narator anak kecil. Saya semakin tertarik ketika membaca paragraf pembuka. “Some people say I’m precocious. They say it mainly because they think I know difficult words for a little boy. Some of the difficult words I know are: sordid, disastrous, immaculate, pathetic, and devastating.” Menurut saya, sangat sulit menulis cerita dengan narator anak kecil. Ada batasan-batasan yang harus dipatuhi dan logika berpikir yang mesti sesuai dan konsisten. Villalobos bikin saya kian penasaran dengan menghadirkan Tochtli, sang narator, seorang bocah penggemar topi yang disebut ayahnya “…genius,” dan “little bastard.”

Buku pertama yang melintas di benak saya saat membaca narasi Tochtli adalah The Curious Incident of the Dog in the Night-Time, Mark Haddon. Naratornya anak kecil laki-laki yang mengidap sindrom asperger. Meski Tochtli tidak mengidap sindrom autisme, saya kira tantangannya sama berat, dalam hal meyakinkan pembaca bahwa narator cerita sungguh-sungguh anak kecil dan narasinya bersih dari jalan berpikir orang dewasa yang menuliskannya. Menurut saya, Villalobos cukup berhasil dalam menggunakan sudut pandang pertama anak kecil. Kecuali “kata-kata sulit” yang diketahui Tochtli (dan sudah dijelaskan sejak pembuka novel), cara berpikir dan bertindak Tochtli memang seperti umumnya anak kecil.

Melalui kacamata Tochtli, kita mengetahui kehidupan di rumahnya dan karakter-karakter lain yang ada di sana. Ayahnya serta beberapa kaki-tangannya (tidak begitu dijelaskan tentang ketidakhadiran sosok ibu). Dengan bahasanya sendiri, Tochtli si bocah menceritakan kehidupan sehari-hari mereka; apa saja yang ia lakukan mulai dari bangun tidur sampai tidur lagi. Gambaran lingkungan rumah si gembong narkoba, ayah Tochtli sendiri, dan hal-hal yang terdapat di rumah juga disampaikan dengan gaya berpikir anak kecil (In the garden, opposite the dining room on the terrace, we also have cages with our animals, which are divided into two groups: the birds and the cats. For birds we have eagles, falcons, and a cage full of parakeets and brightly colored parrots, macaws, and that sort of thing. For cats we have a lion in one cage and two tigers in another. On the same side as the tigers there’s a space where we’re goingn to put the cage of our Liberian pygmy hippopotamus.)

Hobi ganjil Tochtli mengoleksi topi dan ketertarikannya pada hippopotamus juga merupakan hal yang menghibur. Dan, seperti yang sudah saya duga, topi dan hippopotamus ini tidak hadir semata-mata untuk memberi sentuhan unik pada karakter Tochtli, tetapi berperan penting dalam pergeseran plot dari satu titik krusial menuju titik krusial lain. Melalui topi milik Tochtli dan hippopotamus yang kelak mereka dapatkan dari perburuan, Villalobos membangun konflik dalam psikologis Tochtli.

Sama seperti Christopher di The Curious Incident of the Dog in the Night-Time yang melakukan perjalanan sendirian mencari tahu siapa pembunuh anjingnya, pergolakan batin Tochtli karena merasa dibohongi oleh ayahnya sendiri semakin menajam menjelang akhir cerita. Tanpa meninggalkan logika berpikir anak-anak dan kemarahan dalam gaya anak-anak, Villalobos membuat kita terbawa dalam perubahan emosi Tochtli sekaligus bersimpati pada kekecewaannya.

Karena bukunya tipis, saya enggak akan cerita tentang plotnya. Kalau ingin baca, coba cari bukunya. Selain tentang berburu hippopotamus dan kehidupan bocah anak gembong narkoba, Villalobos menyelipkan ejekan atau kritiknya terhadap Meksiko itu sendiri, menyebutnya sebagai “…disastrous country.” tentu dengan kerangka berpikir dan logika anak kecil (meski di tempat lain Villalobos juga menyebut Meksiko sebagai “wonderful country”)

Saya senang membaca novela karena tidak menghabiskan banyak waktu. Sama seperti membaca cerita pendek, hanya agak lebih panjang dan memberi sedikit sensasi yang biasanya saya rasakan saat membaca novel, meski tak seluruhnya. Down the Rabbit Hole menambah daftar novela favorit saya, setelah Hear the Wind Sing(Haruki Murakami), Bukan Pasarmalam (Pramoedya Ananta Toer), Pedro Paramo(Juan Rulfo), dan The Hour of the Star(Clarice Lispector).

Kalau kamu ingin baca sesuatu yang lebih panjang dari cerita pendek tetapi tidak amat panjang seperti novel yang akan menghabiskan banyak waktu dan tenagamu, boleh coba baca novela. Beberapa saya sebut di paragraf sebelum ini. Sisanya monggo cari sendiri. Kapan-kapan saya bikin daftar lebih lengkap dan rapi untuk novela favorit saya (saat nulis ini enggak begitu ingat semuanya).

Setelah ini saya bakal bikin tulisan tentang perjalanan membaca sepanjang tahun 2016. Buat saya, tahun ini menyenangkan karena walaupun saya membaca lebih sedikit dibanding tahun-tahun sebelumnya, buku-buku yang saya baca hampir semuanya bagus dan memuaskan. Saya akan bagi buku-buku favorit saya dalam tulisan yang akan datang (semoga sudah saya post sebelum pergantian tahun).


Selamat liburan!

Viewing all articles
Browse latest Browse all 402