Apa yang bisa kita pelajari dari membaca buku? Banyak hal. Mengetahui tentang sejarah, belajar bagaimana cara menghadapi penderitaan, atau mengembangkan imajinasi (atau mengembalikan kemampuan berimajinasi yang semakin soak seiring bertambahnya usia). Buku bagus selalu membuat kita belajar sesuatu. Namun, apa yang bisa kita pelajari dari buku yang bercerita secara spesifik tentang hidup orang lain? Apa yang bisa kita dapatkan dari membaca sebuah biografi, otobiografi, atau memoar?
Tahun ini saya membaca cukup banyak buku Etgar Keret. Malah, Etgar Keret satu-satunya penulis yang bukunya paling banyak saya baca tahun ini. Ada lima. Empat di antaranya kumpulan cerita pendek. Satu, yang justru paling saya sukai, adalah buku memoarnya, The Seven Good Years. Isinya tentang fragmen–fragmen pengalaman hidup Keret dalam rentang waktu tujuh tahun, sejak kelahiran anak pertamanya dan kematian ayahnya. Tahun-tahun yang, kata Keret, “Satu-satunya masa ketika saya merasakan jadi ayah bagi seorang anak dan anak dari seorang ayah.”
Merupakan hal yang unik bagi saya, ketika menyadari saya lebih menyukai buku nonfiksi Keret ketimbang kumpulan ceritanya. Salah satunya mungkin karena cerita-cerita Keret kadang-kadang absurd dan ganjil, sedang fragmen-fragmen di memoarnya dituturkan lebih apa adanya dalam gaya realisme, dan tentu saja limpahan humor. Cara Keret menuliskan memoarnya saya kira turut membuat The Seven Good Years sangat mudah dinikmati. Ia menuliskan sketsa-sketsa, persis seperti ia menuliskan cerita-cerita pendeknya.
Sebagai orang yang menulis fiksi, hal yang paling saya hindari adalah bercerita tentang hidup saya sendiri. Saya merasa hidup saya enggak semenarik itu untuk diceritakan ke orang lain, kecuali orang-orang terdekat seperti pacar atau teman kecil. Hal terakhir yang ingin saya tulis adalah tulisan-tulisan semacam memoar (walaupun di beberapa cerita pendek atau bagian novel yang saya tulis, kalau mau jujur-jujuran, memang mengambil ide dari kehidupan pribadi saya, hehe).
Namun, sebagai pembaca, saya tertarik mengetahui kehidupan seorang penulis, terutama penulis-penulis yang saya sukai. Memoar pertama yang saya baca buku Haruki Murakami, What I Talk About When I Talk About Running. Saya menyukai buku itu karena Haruki tidak hanya bercerita tentang kehidupannya, tetapi ia memilih bagian yang menarik dari kehidupannya (hobi berlari maraton) dan mengaitkannya dengan bagaimana ia menuliskan novel-novelnya. Sebagai fan Haruki, tentu saya sangat ingin tahu bagaimana proses kreatifnya, terlebih lagi bagaimana cara ia memandang kegiatan menulis itu sendiri.
Buku memoar lain yang saya baca dan sukai adalah Istanbul-nya Orhan Pamuk. Jika Haruki memulai ceritanya ketika ia berusia 30-an dan punya hobi berlari maraton, Pamuk betul-betul memulai ceritanya dari masa kecilnya. Berbeda dengan Haruki yang tidak banyak menulis tentang keluarganya ataupun Jepang secara umum, Pamuk lebih banyak bercerita soal Istanbul, seni, dan keluarganya. Sesuai judulnya, dalam Istanbul Pamuk menampilkan sisi-sisi lain kota tersebut (dan membuat saya semakin pengin pergi ke sana).
Sementara itu, salah satu dari sekian hal yang saya sukai dari membaca memoar Etgar Keret adalah cara Keret menggambarkan anggota keluarganya, terutama istri dan anaknya. Sangat menghibur. Di sebuah fragmen yang bercerita tentang bagaimana Keret menghindar dari sales yang meneleponnya untuk menawarinya barang, Keret menggambarkan istrinya sebagai orang kaku dan lugas (istrinya bilang kalau enggak tertarik sama jualan si sales bilang saja enggak tertarik, jangan cari-cari alasan). Di fragmen lain, Keret menggambarkan anak bayinya sebagai laki-laki dewasa bertubuh mini (“Beri ia jas dan briefcase dan ia akan melakukan negosiasi apapun yang kau inginkan”)
Jika kita memandang The Seven Good Years sebagai kumpulan cerita, maka ia semacam kompilasi best of the best Etgar Keret. Hampir seluruh fragmennya saya sukai, mulai tahun pertama hingga ketujuh. Keret tahu bagian-bagian menarik dalam hidupnya yang bisa diceritakan (atau ia menceritakan hidupnya dengan cara yang membuatnya jadi menarik).
Keret membuka dan menutup memoarnya dengan cerita yang tepat. Seorang wartawan meminta pendapatnya tentang perang dan ia kecewa ketika Keret tidak bisa memberi opini yang orisinil. “Hal baru apa yang bisa orang katakan tentang perang?” Ia menatap anaknya yang baru lahir dan berharap suatu hari dunia akan lebih damai dan ada seseorang yang mengatakan sesuatu tentang perang dengan visi yang baru. Cerita penutup, “Pastrami” adalah salah satu favorit saya, menggambarkan dengan sangat bagus bagaimana Keret dan istrinya bekerjasama menenangkan anak mereka di tengah situasi perang.
Selain bikin ngakak, kadang-kadang cerita Etgar Keret juga membuat sedih dan terharu. Lebih sering ketika ia mulai bercerita tentang ayahnya-orang yang memunculkan sikap optimisme dalam pikiran-pikiran sinis Keret. Dalam sebuah fragmen, Keret menulis tentang sepatu ayahnya. Ia pergi ke sebuah acara sastra di luar Israel beberapa minggu setelah ayahnya meninggal. Alih-alih membawa sepatunya sendiri, ia membawa sepatu ayahnya. Namun, ketika ia mengenakan sepatu itu, ternyata ukurannya pas.
“Buku adalah cermin, ia hanya merefleksikan apa yang sebenarnya sudah ada di dalam dirimu,” kata Carlos Ruiz Zafón. Rasanya saya cukup sepakat. Membaca The Seven Good Years bikin saya kangen sama ayah, ibu, dan adik saya sendiri. Saya merantau dan hanya pulang sekali setahun dan hanya menelepon mereka di saat mereka berulangtahun. Kadang-kadang saya merasa bersalah. Buku-buku yang bercerita tentang keluarga, seperti memoar Etgar Keret tersebut, kerap memunculkan perasaan-perasaan semacam itu.
Untuk kesederhanaan sekaligus keragaman emosi yang muncul di dalamnya, saya menobatkan The Seven Good Years sebagai salah satu buku terbaik yang saya baca tahun ini-di samping sebagai karya terbaik Etgar Keret sendiri. Ia berhasil membuat saya tertawa, bersedih, terharu, dan merenung, dalam kisah-kisah ringkas yang dituturkan sepanjang satu hingga dua halaman.
Etgar Keret adalah penulis favorit saya tahun ini. Cerita-cerita pendeknya punya visi yang menarik yang mempengaruhi saya dalam memandang sebuah cerita. Saya sangat menunggu buku Keret selanjutnya. Saya ingin tahu lebih banyak tentang ayah dan ibunya, yang merupakan penyintas Holocaust (mereka tinggal bersembunyi di rubanah selama dua tahun demi menghindar dari tentara Nazi Jerman), dan bagaimana ayahnya hidup bersama para mafia dan tinggal di rumah pelacuran dan menyebut mafia dan pelacur itu orang-orang paling baik yang pernah ia kenal selama hidupnya.
(Saya butuh 62 kata lagi untuk menggenapkan tulisan ini jadi 1.000 kata-batas yang saya tentukan sendiri dan kadang-kadang malah menyusahkan, tapi saya anggap sebagai tantangan saja untuk konsisten, tapi ya begitulah jadinya saat sudah kehabisan ide untuk dibahas saya jadi bikin paragraf kayak begini demi mendapatkan 62 kata ekstra yang kalau dihapus atau enggak dibaca juga enggak apa-apa karena enggak berhubungan sama tulisan ini, nah saya sudah dapat 1.000 kata malah kelebihan jadi 1.018, oke terima kasih, sampai jumpa!)