Buku yang bagus akan mengubah cara pandangmu tidak hanya terhadap hal-hal di dunia, tetapi juga tentang bagaimana seharusnya sesuatu ditulis. Kalau kamu senang dengan narasi yang berbunga-bunga dan megah, sebuah buku bagus yang ditulis dalam bahasa lugas akan mengubah pendapatmu tentang idealnya bentuk narasi. Perubahan itu pun tidak hanya akan mempengaruhi saat membaca, tetapi juga ketika menulis. Kamu akan otomatis merasa mual saat melihat jari-jarimu mengetik kalimat-kalimat puitis yang enggak jelas apa maksud dan tujuannya.
Saya barusan selesai baca The Nimrod Flip Out, salah satu dari sekian kumpulan cerita Etgar Keret. Buku ini terbit tahun 2003. Sama seperti buku-buku Keret yang lain, cerita-cerita di dalamnya ditulis dalam bahasa Ibrani dan kebanyakan diterjemahkan ke bahasa Inggris oleh Miriam Shlesinger; sebagian di buku ini oleh Sondra Silverston. Saya belum pernah lihat cerita-cerita Keret dalam bahasa Ibrani. Kalaupun iya saya enggak bakalan ngerti. Tapi ya bolehlah saya anggap terjemahan Inggris cerita-cerita Keret sama ringkasnya dengan versi aslinya.
Saya suka banget Keret karena dia memperlihatkan dengan baik gimana caranya menulis efektif. Apa yang bisa disampaikan lewat 500 kata ya sudah, tidak usah dipanjang-panjangin jadi 5.000 kata. Saya ingin berasumsi kita semua pernah baca cerita, entah itu novel ataupun cerita pendek, yang terasa begitu panjang bukan karena memang masih ada hal penting yang perlu disampaikan, tetapi karena penulisnya enggak ngerti cara mengefektifkan narasi. Ibarat mi rebus yang terus direbus bahkan ketika ia sudah matang. Keret tidak. Ia memasak dan berhenti pada tingkat kematangan yang pas.
Saking ringkasnya, kadang-kadang membaca buku Etgar Keret seperti membaca sekumpulan sinopsis novel; sinopsis-sinopsis yang sangat berpotensi untuk jadi cerita yang lebih panjang dan kompleks. Imajinasi saya kerap terpantik oleh fiksi hemat Keret dan seiring pembacaan saya sering membayangkan, gimana kira-kira kalau cerita ini dipanjangin ya? Pasti bakal lebih menarik. Namun, faktanya Keret tidak memanjangkan ceritanya. Dia merasa segitu sudah cukup. Sikap ini jarang saya temukan di penulis-penulis lain: merasa cukup.
Saya membayangkan, jika Keret jadi seorang editor dia bakal jadi editor yang kejam. Enggak akan ada satu kata pun yang lolos dari usahanya memangkas agar cerita jadi seramping mungkin. Repetisi kata yang bikin kalimat enggak enak, coret. Metafora yang membingungkan, coret. Dialog-dialog enggak berfungsi, coret. Tokoh-tokoh figuran enggak penting, coret. Lemak berlebih adalah musuh. Segala pemotongan dilakukan demi mendapatkan daging buah yang murni.
Saya menghindari penggunaan istilah “fiksi mini” untuk membahas cerita-cerita Keret karena memang label tersebut tidak tepat. “Fiksi mini” atau flash fiction punya bentuk yang jauh lebih pendek lagi dari cerita-cerita Keret. Saya rasa lebih pas kalau saya sebut “super pendek”, karena lebih pendek dari cerita pendek (short story) “internasional” pada umumnya dan bahkan lebih pendek dari cerita pendek di koran-koran di Indonesia.
Cerita-cerita super pendek Keret bisa jadi solusi bagi mereka yang mengalami kesulitan menulis novel dan lebih tertarik membuat cerita-cerita super pendek. Saya punya seorang teman yang menulis dengan bagus, tapi mengaku tidak bisa membuat novel. Saya kira ia dan orang-orang lain yang seperti dirinya bisa coba membaca cerita-cerita Keret untuk menemukan formula merangkai cerita yang panjang dari penggalan-penggalan yang lebih pendek.
Dulu saya mengira seorang penulis (fiksi) harus bisa menulis cerita pendek dan novel. Kalau lihat penulis yang hanya menerbitkan kumpulan cerita rasa-rasanya kok belum sah jadi penulis. Itu sebabnya saya sering meneror beberapa teman yang menulis cerita-cerita pendek dengan bagus tapi belum pernah menerbitkan novel. Namun, setelah membaca Etgar Keret, anggapan semacam itu mungkin perlu saya ralat. Kalau cerita-cerita pendeknya sebagus punya Keret, rasanya enggak usah bikin novel. Jadi spesialis cerita pendek aja (walaupun Keret juga sesekali menulis novela) dan terus menerbitkan kumpulan cerita.
Saya tidak tahu dari mana Etgar Keret memperoleh visi bentuk cerita-ceritanya. Pada beberapa wawancara, dia cukup sering menyampaikan kisah ketika kedua orangtuanya hidup dalam persembunyian kala Holocaust berlangsung. Selama tidak kurang dari dua tahun, mereka bersembunyi di ruang bawah tanah. Ayah dan Ibu Keret mendistraksi anak-anaknya dengan mendongeng. Seluruh kisah yang mereka dongengkan asli karangan mereka sendiri. Spontan dan otentik. Bayangkan hidup dua tahun di bunker, ada berapa dongeng yang sudah pernah didengar Keret? Mungkin secara tidak langsung Keret mendapatkan visinya dari sana. Tentu saja ini hanya dugaan.
Satu hal yang jelas, seperti saya bilang di paragraf pembuka tulisan ini, Keret mengubah cara pandang saya terhadap bagaimana sebaiknya cerita dituturkan. Sampaikan hanya yang benar-benar penting. Gunakan prinsip ekonomi, dengan modal sekecil mungkin tetapi memperoleh untung sebanyak-banyaknya; tulis narasi seringkas mungkin yang menyampaikan informasi sebanyak-banyaknya.
Mungkin suatu hari nanti cara pandang saya terhadap cara dan bentuk bercerita akan kembali berubah ketika bertemu buku yang lebih bagus. Tapi sampai hal itu terjadi, saya masih akan menuankan (bukan menuhankan) Keret.
Bagi kamu yang ingin belajar cara menulis dengan efektif, buku-buku Keret amat saya rekomendasikan untuk dibaca. Kecuali memoarnya, buku-buku Keret belum diterjemahkan ke bahasa Indonesia. Kamu bisa mencari di Internet cerita-cerita pendeknya dalam bahasa Inggris. Saya menerjemahkan beberapa di blog ini, dan orang-orang baik lain juga menerjemahkan cerita-cerita Keret di blog mereka.