Semenjak dulu sempat membaca sebuah novel tipis karangan Juan Rulfo, Pedro Páramo, dan sebuah kumpulan cerita sangat pendek antologi penulis Amerika Latin terjemahan bahasa Indonesia oleh Ronny Agustinus, Matinya Burung-Burung (sayang sekali penerbitnya gulung tikar, padahal menurut saya terbitannya bagus-bagus), saya jadi punya ketertarikan khusus terhadap penulis-penulis Amerika Latin. Salah satu yang membuat saya tertarik adalah kebanyakan mereka punya selera humor tinggi (walau barangkali masih kalah sedikit dari Kurt Vonnegut).
Salah satu penulis Amerika Latin yang ada di dalam daftar pencarian saya adalah Ernesto Sábato, bersama Enrique Villa-Matas dan Cesar Aria-dua terakhir belum saya dapatkan bukunya. Buku terakhir dari penulis Amerika Latin yang saya baca, kalau tidak salah ingat, In Praise of the Stepmother, Mario Vargas Llosa. Novel itu juga tipis, mengandung banyak alusi, dan ya, di banyak tempat juga terasa sangat lucu.
Kalau boleh diringkas, bisa dibilang The Tunnel merupakan novel cinta-cintaan. Protagonisnya adalah seorang pelukis (tampaknya sudah mapan dan terkenal) bernama Juan Pablo Castel. Castel jatuh cinta pada seorang gadis bernama Maria Iribarne. Alasannya jatuh cinta? Maria satu-satunya gadis yang berdiri terpaku di hadapan salah satu lukisannya-di sebuah eksibisi-dan menangkap aspek pada lukisan itu yang tidak dilihat oleh orang lain.
Merasa Maria bukan sosok yang biasa, Castel secara impulsif mengejar gadis itu. Ia mencarinya dari satu tempat ke tempat lain, bahkan membuntutinya hingga ke tempat ia bekerja. Ketika akhirnya mereka mendapatkan kesempatan bicara, dan Castel bertanya “Apa yang kau lihat dari lukisan itu?” Maria memberi Castel jawaban yang ia inginkan. “Kesepian,” kata Maria, “aku seperti melihat kesepian pada lukisanmu.” Semenjak itu, makin menjadi-jadilah obsesi Castel pada gadis ini.
Tetapi, tentu saja kita butuh konflik karena tanpanya maka cerita akan tiada. Castel dibutakan oleh obsesinya pada Maria sehingga sebelum jatuh cinta, ia tak mencari tahu terlebih dahulu apakah gadis itu masih berada dalam situasi bisa dicintai. Sialnya, keadaan di lapangan agak lebih rumit dari yang Castel kira. Maria sudah punya suami.
Hal ini membikin Castel berang, tetapi sekaligus dibuat bingung, terutama oleh sikap Maria yang menurutnya terlalu misterius. Sementara, Castel adalah laki-laki tukang mikir. Tukang mikir banget, malah. Ia seorang pelukis yang gemar memikirkan dalam-dalam suatu hal, bahkan membesar-besarkannya. Seorang overthinker. Ketika orang seperti dia jatuh cinta pada gadis seperti Maria yang menyimpan banyak rahasia, bisa dibayangkan bagaimana kacaunya (bagi Castel)
The Tunnel dituturkan dari kacamata Castel, menggunakan sudut pandang orang pertama. Memang pilihan yang tepat, karena dengan demikian Ernesto Sábato dapat menggali dan memunculkan pikiran-pikiran terdalam tokoh utamanya, termasuk tentu saja lebih leluasa menampilkan kondisi kejiwaannya. Sebagian besar isi The Tunnel adalah narasi Castel tentang segala hal yang berputar dalam kepalanya, dan karena ia seorang overthinker, maka ada banyak sekali yang ia pikirkan. Pada beberapa kesempatan mungkin kita akan merasa Castel kelewat bawel, tapi saya kira memang begitulah karakternya.
Kalau kamu membaca The Stranger– Albert Camus, kamu akan mendapat kesan yang mirip dari The Tunnel. Konfliknya berbeda tentu saja. Karakter Meursault dan Castel cukup berbeda. Meursault tidak banyak omong dan lebih sering menggumam seadanya, sementara Castel luar biasa bawel. Tetapi, konon Camus terinspirasi menulis The Stranger setelah membaca novel Castel ini. Bahkan, ia yang membawa novel tersebut untuk diterjemahkan ke bahasa Prancis. Meskipun, menurut saya, kalau The Stranger dan The Tunnel dihadap-hadapkan, kita akan menemukan cukup banyak perbedaannya. Tetapi, atmosfer narasi dan keseluruhan ceritanya mirip-gelap, depresif, dan berakhir tragis.
Kelar membaca The Tunnel, ternyata kesan yang saya peroleh agak berbeda dari perkiraan. Sebelum membeli bukunya, saya memang sudah sempat baca secuil cuplikannya yang mengindikasikan bahwa ceritanya bernuansa gelap. Tetapi, karena saya mengira semua penulis Amerika Latin punya selera humor yang baik, saya pikir The Tunnel ada lucu-lucunya sedikit. Ternyata, ya, memang lucu sih melihat bawelnya pikiran Castel yang berlebihan dan terlalu mikirin banget hal-hal yang sebenarnya belum kejadian (terus terang saya merasa Castel mirip dengan saya). Namun, lucunya tidak seperti lucu pada novela Pedro Páramo atau cerita-cerita super pendek dalam antologi Matinya Burung-Burung.
Hal paling menarik dari The Tunnel bagi saya adalah tingkat relevansinya yang amat tinggi dengan masa kekinian. Mungkin saja karena ia adalah novel cinta-cintaan, tentang seorang cowok tukang mikir dan seorang cewek misterius, sehingga saya kira jika novel ini dibaca oleh pemuda-pemudi pop masa kini, mereka akan mudah meresapi kisahnya. The Tunnel sudah dikategorikan karya sastra klasik, dan seperti karya-karya sastra klasik lainnya dengan plot utama kisah cinta, ia akan relatif lebih mudah dipahami. Bahkan, para penulis kisah cinta bisa dapat inspirasi atau ide cerita dari novel ini.
Tentu saja yang tak boleh dilupakan dari The Tunnel adalah aspek psikologisnya. Seperti tadi saya bilang, sebagian besar isi novel ini adalah celotehan Castel terhadap dirinya sendiri. Dia sering ngedumel tentang Maria, dan sebelum ia bertemu Maria, ia ngedumel tentang kritikus seni yang tidak memahami karya-karya lukisannya. Saya sangat terhibur saat membaca bagian ini. Melihat seorang seniman ngedumelin kritikus adalah salah satu kenikmatan duniawi yang hanya setingkat di bawah mengunyah martabak telor dan buang hajat di pagi hari.
Sedikit mengobrol soal penulisnya, Ernesto Sabato, ternyata The Tunnel adalah novel pertamanya. Ketimbang menerbitkan karya fiksi, ia lebih banyak menulis esei. Sabato juga dikenal sebagai seorang pelukis. Membuat saya berpikir jangan-jangan Juan Pablo Castel dalam The Tunnel adalah alter ego Sabato, atau bahkan dirinya sendiri. Enak enggak enak memang kalau jadi penulis fiksi, kadang-kadang pengin bikin fiksi yang betul-betul fiksi, tanpa sengaja hal-hal faktual masuk ke dalamnya dan jika terlacak oleh pembaca-seperti saat ini saya melacak riwayat hidup dan biodata Ernesto Sabato-bakalan dituduh curhat.
Sefiksi-fiksinya cerita yang dikarang penulis fiksi, jangan-jangan memang tidak akan pernah bisa menjadi sepenuhnya fiksi. Cerita pendek dan novel yang kita baca selama ini, jangan-jangan seluruhnya adalah hasil curhatan penulisnya sendiri, tentang kisah hidupnya sendiri, masalahnya sendiri, dan persoalan cinta dan patah hatinya sendiri. Tidak percaya? Boleh coba baca ulang buku-buku kesukaanmu, kemudian cari tahu riwayat hidup penulisnya. Lebih baik lagi kalau penulisnya belum mati, kamu bisa langsung bertanya kalau suatu saat bertemu dengannya: “Mas, buku Mas ini terinspirasi dari kisah pribadi atau bukan?”
Taruhan, sedikit yang akan dengan berani dan tanpa ragu-ragu menjawab: “Iya, ini buku sebenernya curhatan saya aja, sih. Hehehe.” ***