Hal lucu dari membaca novel yang memiliki cerita bernuansa gelap adalah kita justru kerap mendapat pencerahan dari sana. Tentu, dengan catatan novelnya bagus. Pencerahan macam apa yang didapat dari membaca novel bernuansa gelap? Bisa pencerahan tentang kehidupan, kematian, manusia, dunia, dan hal-hal yang berada di antaranya. Salah satu novel bagus bernuansa gelap yang baru saja selesai saya baca adalah The Vegetarian.
Novel The Vegetarian ditulis Han Kang, seorang penulis perempuan asal Korea berusia 45 tahun yang juga mengajar penulisan kreatif di Seoul Institute of the Arts. Kang lahir di keluarga penulis. Setidaknya, ayah dan abangnya juga penulis. Sebelum meraih Man Booker International Prize lewat novel pertamanya yang diterjemahkan ke Bahasa Inggris, The Vegetarian, sebenarnya Kang sudah sering mendapat penghargaan kesusastraan di negara asalnya. Salah satunya kompetisi sastra Seoul Shinmun, yang ia menangi lewat karya cerita pendeknya, The Scarlet Anchor.
The Vegetarian bercerita tentang seorang perempuan-menikah (tidak disebut jelas berapa usianya, tetapi ia berada dalam sebuah rumah tangga) yang suatu hari karena terbangun dari mimpi buruk dan tiba-tiba berubah menjadi seorang vegetarian. Perubahan ini mengagetkan tidak hanya bagi suaminya, yang kelak akan sering protes atas kondisi baru tersebut, tetapi juga keluarga si perempuan, terutama ayahnya yang seorang veteran penikmat daging.
Saya kurang fasih mengenal budaya kuliner Korea, tapi dari satu-dua drama dan reality show Korea yang pernah saya tonton, tampaknya mereka punya banyak sekali ragam menu olahan daging. Kita anggap saja daging merupakan makanan wajib orang-orang Korea. Sehingga, keputusan Yeong-hye-protagonis The Vegetarian-menjadi seorang vegan adalah hal yang mengguncang dan tidak dapat dipercaya.
Mimpi buruk yang membuat Yeong-hye berubah dari pemakan daging menjadi seorang vegan diberikan sepotong demi sepotong dalam sejumlah halaman pertama novel, menjadikannya fragmen-fragmen yang ditulis dengan cara agak berbeda dari narasi utama. Potongan-potongan mimpi Yeong-hye lebih terasa seperti sebuah puisi panjang yang dipenggal-penggal. Isi mimpinya kebanyakan deskripsi mengenai sesuatu horor dan mencekam: sosok seseorang (mungkin itu Yeong-hye sendiri) dengan mulut, tubuh, dan sekujur pakaian yang berlumurkan darah.
Mimpi buruk tersebut berlanjut malam ke malam dan berjalan seiring dengan tindak-tanduk baru Yeong-hye (yang dianggap ganjil oleh suaminya) kini sebagai seorang vegan: membuang daging dan telur dari kulkas dan memasak hanya sup bening yang hambar untuk makan siang. Si suami berang karena menganggap sikap Yeong-hye tidak masuk akal. Ia melaporkan perubahan drastis istrinya itu kepada mertua dan iparnya. Puncaknya: mereka makan bersama di rumah orang tua Yeong-hye, ayah Yeong-hye menjejalkan sepotong daging ke mulut Yeong-hye, Yeong-hye memberontak, melepehkan daging itu, lalu menyayat tangannya sendiri.
Itu bagian pertama The Vegetarian, dituturkan menggunakan sudut pandang orang ketiga dari perspektif suami Yeong-hye, Mr. Cheong. The Vegetarian terdiri atas tiga bagian. Bagian kedua dituturkan dari sudut pandang abang ipar Yeong-hye, seorang seniman visual yang punya imajinasi eksentrik (bagian favorit saya dari The Vegetarian ada di bab kedua ini, “The Mongolian Mark”), dan bagian ketiga atau terakhir novel dituturkan dari sudut pandang In-hye, kakak kandung Yeong-hye. Ironisnya, Yeong-hye sebagai protagonis justru tidak memiliki suara sendiri. Karakternya diungkap melalui dialog-dialog dan perilakunya yang dilihat oleh tokoh lain.
Suasana gelap yang tadi saya bicarakan adalah bagian ketika Yeong-hye tidak hanya menjadi seorang vegan, tetapi juga membawa vegetarianisme ke titik yang ekstrem: akhirnya ia tidak makan apapun sama sekali. Tubuhnya menipis hingga seperti papan, barangkali tersisa kulit dan tulang dan sangat sedikit daging atau lemak. Ia masuk rumah sakit dan menderita gastritis. Makanan apapun yang coba masuk ke tubuhnya, ia muntahkan kembali dan kerap muntahnya disertai darah. Kondisi Yeong-hye kian lama kian mengenaskan. Tidak hanya kesehatan tubuhnya, tetapi juga mentalnya, serta relasinya dengan orang-orang terdekat (rumah tangganya pecah-belah pasca ia menjadi vegan).
Perubahan drastis Yeong-hye menjadi seorang vegan ternyata tak hanya tampak ganjil dan mengerikan, tetapi kadang-kadang juga terlihat puitis, terutama ketika di satu titik ia merasa dirinya bukan lagi seorang manusia, melainkan sebatang pohon atau mungkin tanaman. Pada pagi hari di rumah sakit, ia akan mencopot pakaian dan berjemur menghadap matahari seakan-akan dirinya sekuntum bunga atau pohon yang sedang berfotosintesis. Pada tahap berikutnya, ia selalu berdiri terbalik karena merasa kedua tangannya adalah akar yang menancap ke tanah dan tubuhnya batang tanaman. Ia juga senang membayangkan (dan ingin itu terjadi) sekuntum bunga tumbuh dari liang kemaluannya.
Metamorfosa Yeong-hye adalah bentuk putus asa usahanya menekan kekerasan yang barangkali inheren pada diri manusia. Hewan yang dibunuh untuk dimakan adalah simbol bahwa manusia hidup dengan mencabut nyawa makhluk lain. Hal ini yang ditolak Yeong-hye menggunakan cara yang eksentrik. Han Kang sendiri dalam sebuah wawancara mengaku pernah menjadi vegan selama beberapa tahun, hingga akhirnya kembali mengonsumsi daging untuk alasan kesehatan (meski ia bilang ia tetap merasa bersalah setiap kali makan daging).
The Vegetarian ditulis dengan narasi yang rileks, tidak meletup-letup, cenderung pelan dan santai, tetapi tanpa mengurangi intensitas yang ia bawa. Deskripsi Han Kang pada tiap situasi cerita, terutama kondisi psikologis karakter-karakternya, merupakan sesuatu yang patut dipuji. Kita dibawa masuk ke alam pikiran dan perasaan karakter-karakternya dengan tujuan menelisik keganjilan-keganjilan yang mereka simpan dan sembunyikan dari satu sama lain.
Omong-omong tentang Korea, saya lama-lama makin kagum sama negara ini. Karena mereka tidak hanya bisa mengekspor pasukan industri hiburan macam girlband-boysband K-Pop, drama, atau budaya kulinernya (di Indonesia sekarang semakin banyak restoran Korea, termasuk yang menjual makanan pencuci mulut khas Korea), tetapi ternyata mereka juga bisa mengekspor penulis keren. Tentu saja ini tidak luput dari andil proses penerjemahan karya sastra. Terima kasih untuk Deborah Smith, cewek kelahiran 1987 (hanya setahun lebih tua dari saya tapi prestasinya ampun, Man Booker International Prize!) yang belajar bahasa Korea otodidak dan menerjemahkan The Vegetarian.
Meskipun saya belum membaca buku-buku lain yang dinominasikan di Man Booker International Prize 2016, tetapi setelah membaca The Vegetarian, rasa-rasanya tidak heran novel tipis ini bisa menyingkirkan Eka Kurniawan, Orhan Pamuk, bahkan Kenzaburo Oe dalam penghargaan bergengsi itu. Setelah Mo Yan, senang melihat ada orang Asia menang penghargaan sastra dunia, dikenal luas oleh orang-orang benua lain. Sebelum Haruki Murakami yang amat populer, Jepang juga sudah punya banyak pemenang Nobel Kesusastraan. Cina pun sudah menyumbang satu nama.
Kira-kira, Indonesia kapan ya? ***