Quantcast
Channel: Bernard Batubara
Viewing all articles
Browse latest Browse all 402

Cat’s Cradle, Kurt Vonnegut

$
0
0



Novel ini bercerita tentang seorang penulis bernama Jonah. Pada bagian pembuka ia mengatakan kepada kita bahwa ia sedang mengerjakan sebuah buku. Ia juga bilang ia beragama Kristen, atau lebih tepat: pernah beragama Kristen. Ia kini menganut kepercayaan “Bokononisme”. Bokononisme diciptakan oleh seseorang bernama Bokonon dan penganut Bokononisme disebut Bokonis. Cat’s Cradle bercerita tentang bagaimana perjalanan si penulis bertemu orang-orang yang menjadi narasumber untuk buku yang sedang ia tulis: “The Day the World Ended”, dan kemudian membuatnya menjadi penganut Bokononism, dan menyaksikan akhir dunia.

Sebelum membaca novel ini, saya membaca novel Vonnegut yang lain, Gempa Waktu. Novel itu benar-benar lucu. Sumpah. Saya nggak menghitung berapa kali tertawa sepanjang membacanya. Yang saya tahu, menjelang selesai, saya sampai buru-buru keluar dari kamar untuk muntah-saya bahkan nggak sempat ke toilet. Separah itu, memang. Gempa Waktu mirip otobiografi parodi, karena di dalamnya Kurt Vonnegut hadir sebagai dirinya sendiri. Kilgore Trout, tokoh utama novel itu, merupakan alter-ego Vonnegut, dan melalui Trout lah Vonnegut melontarkan lawakan-lawakan satir terhadap perang dan kehidupan manusia.

Ketika kelar membaca Gempa Waktu saya baru sadar ternyata saya menyimpan buku Vonnegut yang lain di rak. Judulnya Cat’s Cradle. Langsung saya ambil. Orang-orang semakin hari semakin serius, termasuk saya sendiri, karena itu saya haus bacaan yang bikin ngakak.

Kurt Vonnegut adalah pilihan tepat.

Seperti tadi saya katakan di awal tulisan ini, Cat’s Cradle dibuka dengan narator utama yang memperkenalkan dirinya sendiri. Ia bilang namanya Jonah (saya langsung mengingat-ingat kisah Nabi Yunus). Bagian penting dari pembuka ini adalah saat Jonah memberitahu bahwa ia seorang Kristen, tadinya, karena ia kini beragama Bokononisme-ia seorang Bokononis. Juga, keterangan bahwa ia sedang menulis sebuah buku berjudul “The Day the World Ended” yang harusnya berisi tentang hal-hal apa yang orang-orang penting Amerika lakukan pada hari ketika bom atom pertama dijatuhkan di Hiroshima, Jepang (tentu saja ini adalah sebuah sindiran).

Demi mengumpulkan materi untuk bukunya itu, Jonah atau John mengontak narasumbernya. Mereka adalah tiga anak kandung Dr. Felix Hoenikker, salah satu ilmuwan yang menciptakan bom atom. Dengan satu dan lain cara, si penulis berhasil berkomunikasi bahkan bertemu Frank Hoenikker, Angela Hoenikker, dan Newt Hoenikker-anak-anak Dr. Felix Hoenikker-untuk salah satunya mencari tahu apa yang ayah mereka, “bapak” bom atom itu, lakukan ketika bom atom tersebut dijatuhkan di Hiroshima.

Anak-anaknya bilang, pada hari bom atom dijatuhkan, ayah mereka duduk di kursi di rumah dan bermain karet gelang. Cat’s Cradle adalah nama permainan karet gelang itu. Begini bentuknya:



Perjalanan si penulis mengumpulkan materi bukunya membawanya ke sebuah pulau bernama San Lorenzo. Ia akan mewawancarai narasumber terakhir, Felix Hoenikker. Kelak di pulau itu ia akan menemui kepercayaan baru, Bokononisme, dan sebagaimana yang terjadi-sebagaimana yang semestinya terjadi,” kata Bokonon-ia akan menjadi Bokononis.

Poin gentingnya: Dalam perjalanannya mengumpulkan materi untuk menulis, ia mewawancarai seorang rekan kerja Dr. Felix Hoenikker, dan menemukan fakta mengejutkan bahwa tiga orang anak Dr. Felix yakni Frank, Angela, dan Newt, membawa masing-masing bersama mereka kepingan sebuah benda kimia yang disebut ice-nine, hasil temuan ayah mereka, yang dapat membekukan apa saja termasuk lautan beserta isinya, dan dengan demikian dapat membuat dunia berakhir. The Day the World Ended.


. . . . . . . . . . . . . . . . . .


Subjek utama lelucon Vonnegut adalah kebodohan manusia dan tindakan Tuhan menciptakan mereka. Kebodohan manusia yang dirujuk Vonnegut salah satunya adalah peperangan. Lewat lelucon-lelucon satirnya ia memperlihatkan betapa konyolnya manusia yang masih mencoba memahami kenapa dunia ini dibuat, kenapa Tuhan menciptakan mereka, dan apa makna dari semuanya. Tuhan kesepian, kata Vonnegut dalam Cat’s Cradle, kemudian Dia “membangunkan lumpur”-lumpur adalah manusia-untuk menyaksikan kebesarannya, dan ketika lumpur bertanya “Apa makna dari semua ini?” Tuhan menjawab: “Maknanya? Hmm, maknanya… Itu tugasmu untuk memikirkannya,” lalu Tuhan ngeloyor, mungkin sambil siul-siul.

Hal menarik dari Cat’s Cradle adalah bagaimana Vonnegut menyampaikan pandangan personalnya terhadap hal-hal faktual melalui kisah fiktif, termasuk objek-objek di dalamnya (agama Bokononisme, materi kimiawi ice-nine, tokoh Bokonon pencipta agama Bokononisme, dan seterusnya-tidak eksis di dunia nyata) dan dengan demikian bukunya menjadi menarik untuk dibaca.

Ini mengingatkan saya kembali, lagi dan lagi, bahwa dalam menulis bagaimana cara menyampaikan sesuatu lebih penting dari apa yang ingin disampaikan. Tentu saja informasi tentang Perang Dunia atau peristiwa jatuhnya bom atom di Hiroshima atau kediktatoran Hitler atau komunisme Uni Soviet Rusia dapat dengan mudah didapatkan di Internet atau di sumber-sumber lain, tapi hanya memiliki materi soal itu apakah seseorang sudah pasti dapat menulis novel yang penting dan berbobot, lebih-lebih lagi, menyenangkan untuk dibaca?

Jika Vonnegut tak memiliki pandangan uniknya terhadap peristiwa-peristiwa besar di dunia, dan tak punya kemampuan mengarang yang baik, pasti buku yang ia tulis akan jadi tak lebih dari sekumpulan informasi yang saat ini bisa didapat di mana saja dengan mudah oleh siapapun. Cat’s Cradle bagaimanapun adalah novel, seperti yang diniatkan oleh penulisnya, sehingga ia menuntut kehadiran sebuah cerita, dan demi membuatnya menarik hingga dapat dibaca sampai selesai, cerita tersebut mesti dituturkan oleh penulis dengan kemampuan bercerita yang mumpuni.

Novel adalah kisah karangan. Ia menyampaikan kebohongan-kebohongan (fiktif) demi mengungkap kebenaran. Karena novel adalah produk yang personal, tentu saja kebenaran yang hendak diungkap pun merupakan kebenaran subyektif, berdasarkan pandangan personal penulisnya sendiri. Ini yang membuat sebuah novel menjadi unik, sekaligus, sekali lagi, menarik untuk dibaca. Jangan lupakan juga bahwa bagaimana cara menyampaikan pandangan personal tersebut dalam hal ini lebih penting daripada pandangan itu sendiri.


. . . . . . . . . . . . . . . . . .


Kurt Vonnegut menciptakan agama baru demi menyampaikan pandangan personal dan kebenaran subyektifnya terhadap kekacauan yang terjadi di dunia, mulai dari penciptaan manusia hingga peperangan. Ia mengarang peristiwa yang tak pernah terjadi-tentu saja dengan logika kuat-untuk menyindir sosok Hitler, Mussolini, Mao, yang oleh salah satu tokoh dalam ceritanya disebut sebagai “para musuh kebebasan”. Semua ini dilakukan dengan intensi membuat lelucon atas mereka.

Cat’s Cradle sendiri, saya kira, menjadi alegori terhadap pencarian manusia atas makna diciptakannya mereka untuk hidup di dunia. Ini tentu saja satu lelucon lain yang brilian dari Vonnegut. Lelucon ini dituturkan Newt Hoenikker kepada Jonah ketika ia bercerita tentang apa yang ayahnya-“bapak bom atom”- lakukan pada hari bom atom dijatuhkan di Hiroshima. Ayahnya bermain karet gelang, membentuk pola tertentu yang secara umum dikenal sebagai ‘cat’s cradle’ (ayunan kucing), dan dengan menyengir menunjukkannya kepada Newt.

Tetapi Newt kecil tak melihat ada kucing maupun ayunan pada pola karet gelang itu.


“See the cat? See the cradle?”



Viewing all articles
Browse latest Browse all 402