Membaca karya sastra klasik adalah sesuatu yang belum pernah saya lakukan. Terlalu banyak hal yang membuat saya enggan, atau setidaknya terus menunda membaca karya-karya sastra klasik, dan semua itu berakar pada macam-macam prasangka: semua buku sastra klasik “berat”, ukurannya terlalu tebal, bahasanya sulit dimengerti, dan seterusnya. Sebagai penulis, saya merasa “harus” membaca karya sastra klasik, untuk alasan yang juga tidak benar-benar saya pahami. Mungkin karena beberapa penulis kesukaan saya membaca banyak karya sastra klasik. Sebagai pembaca, saya menganggap membaca karya sastra klasik sebagai suatu tantangan, yang cepat atau lambat harus saya jawab. Saya memutuskan tahun ini adalah waktunya untuk menjawab tantangan itu.
Karya sastra klasik pertama yang saya baca: The Brothers Karamazov, Fyodor Dostoyevsky (1821-1881). Ia penulis Rusia, dan novel tersebut merupakan karya terakhirnya. Sepanjang 60 tahun usianya, ia menulis cukup banyak buku, sekitar 20 hingga 30. Beberapa yang sering disebut: Crime and Punishment, The Idiot, Notes from Underground, dan karya terakhirnya yang ternyata berukuran paling tebal di antara seluruh karyanya, The Brothers Karamazov.
Saya rasa hal berikut penting untuk disampaikan. Sebetulnya saya memutuskan untuk mulai membaca The Brothers Karamazov setelah menonton sebuah film berjudul Karamazovi. Film tersebut rilis tahun 2008, dibuat oleh Petr Zelenka, seorang sutradara asal Republik Ceko. Ceritanya tentang satu kelompok teater yang sedang rehearsal pementasan untuk tampil di suatu festival (tapi festival ini tidak ditampilkan). Mereka menampilkan adaptasi dari novel The Brothers Karamazov. Jadi, film Karamazovi bukan adaptasi novel The Brothers Karamazov, melainkan film tentang sekelompok pemain teater yang mementaskan adaptasi dari The Brothers Karamazov. Filmnya menarik sekali, dan karena itu saya jadi tertarik untuk mulai membaca novelnya. Karya yang bagus selalu mendorong kita untuk menikmati karya bagus lain.
Meski hanya mengambil cuplikan dari novelnya, Karamazovi cukup mewakili apa yang diceritakan Dostoyevsky dalam The Brothers Karamazov (tentu saja mereka tidak bisa menampilkan keseluruhan novel dan siapapun yang masih berharap versi film dari novel harus persis seperti novelnya lebih baik mulai mengganti hobi menonton film jadi, misalnya, memelihara kukang). Karakter-karakter pada novel terwakili dengan baik wataknya oleh para pemain Karamazovi. Emosi yang begitu intens membuat saya seakan-akan dapat segera memahami apa saja yang dibicarakan Dostoyevsky dalam novelnya.
Sepulang dari menonton Karamazovi, saya segera mengambil dari rak di kamar, The Brothers Karamazov, dan mulai membacanya.
Dalam keterkejutan saya, prasangka buruk saya sendiri yang utama terhadap karya sastra klasik gugur sudah. The Brothers Karamazov tidak melelahkan, ribet, ataupun membuat saya terseret-seret membacanya, seperti awalnya saya khawatirkan (saya ingat saya mengkhawatirkan hal sama ketika kali pertama membaca Bumi Manusia). Halaman demi halaman terbaca begitu saja tanpa henti. Narasi di bab awal memaparkan karakter Fyodor Karamazov seketika saja menarik saya ke dalam dunia The Brothers Karamazov. Rasa penasaran langsung muncul. Ketika sebuah buku telah berhasil menumbuhkan rasa penasaran di kepala pembaca, saya menganggap buku itu sudah menang. Sisanya menikmati.
Pada kulitnya, The Brothers Karamazov adalah cerita parricide-pembunuhan yang dilakukan anggota keluarga terhadap anggota keluarga lain. Dalam pada ini, anak kepada ayahnya. Tiga bersaudara Karamazov: Dmitri Karamazov, Ivan Karamazov, Alexey (Alyosha) Karamazov, dicurigai telah bertanggungjawab atas kematian ayah mereka, Fyodor Karamazov. Novel dibuka dengan penjelasan dari narator tentang kematian Fyodor Karamazov. Namun, The Brothers Karamazov bicara lebih banyak dari sekadar kasus pembunuhan. Ia berbicara perihal sifat-sifat dasar manusia mulai dari keinginan berbuat baik maupun buruk, keadilan, agama, tuhan dan ketuhanan, sampai keberadaan dan ketidakberadaan tuhan.
Semua yang dibicarakan Dostoyevsky di dalam The Brothers Karamazov terurai lewat percakapan-percakapan di antara karakter-karakternya, yang, harus saya katakan, amat menarik. Karakter-karakter Dostoyevsky, saya kira, tidak hanya mewakili diri mereka sendiri, melainkan menjadi simbol dan representasi dari banyak manusia lain yang memiliki sifat dasar serupa. Dmitri Karamazov yang tukang mabuk dan main perempuan tapi senantiasa mempertahankan harga diri dan martabatnya; Ivan Karamazov yang apatis terhadap kebaikan dan ketuhanan tapi pada akhirnya melakukan hal baik terhadap saudaranya; Alyosha yang bijak dan religius tapi kerap dibuat bingung oleh beragam manusia yang ia temui; juga Fyodor Karamazov yang gemar menyalahkan dan mendramatisir dirinya sendiri. Belum lagi karakter-karakter lain yang tidak kalah berkesan: Smerdyakov anak “tidak sah” dari Fyodor Karamazov dengan seorang perempuan gila, Agrafena Syvetlov alias Grushenka si perempuan yang manipulatif, Katerina si perempuan terdidik, dan seluruh karakter pendukung lain termasuk Kolya Krassotskin si bocah cerdas dan Ilusha, temannya.
Kata seorang pengacara pada akhir novel, Karamazov bersaudara memiliki sejenis ekstremitas internal yang membuat mereka dapat melakukan dua hal berlawanan (baik dan buruk, misalnya) di waktu yang berdekatan, jika tidak bersamaan. Bukankah “ekstremitas internal” semacam begini sebetulnya dimiliki secara inheren oleh seluruh manusia?
Selain karakter-karakternya yang berkesan, bagian yang sangat perlu dinikmati saat membaca The Brothers Karamazov adalah dialog-dialognya. Hampir seluruh plot digerakkan oleh dialog. Dari dialog kita dapat mengetahui jalan pikiran watak tokoh-tokohnya. Melalui dialog oleh tokoh-tokohnya pula, Dostoyevsky menyampaikan pemikiran-pemikirannya. Salah satu favorit saya adalah bab The Grand Inquisitor, dialog antara Ivan Karamazov dengan Alexey Karamazov alias Alyosha, walaupun sebetulnya hampir tidak bisa disebut sebagai dialog karena pada bagian tersebut Ivan bermonolog (kepada Alyosha) tentang isi pikirannya sendiri-ia bicara soal tuhan, kebaikan, kejahatan, dan ketidakmengertiannya pada kekejaman atas anak-anak.
Meski datang dari Rusia, menulis dengan bahasa Rusia, dan menamai tokoh-tokoh novelnya dengan nama Rusia, serta beberapa kali menyebut-nyebut Rusia dalam narasinya, sebetulnya Dostoyevsky tidak berbicara tentang Rusia. Seperti semua novel bagus, The Brothers Karamazov mengandung universalitas, yang membuat semua orang yang membacanya dapat seketika merasa terhubung dan memahami apa yang tengah ia bicarakan meski tidak berasal dari Rusia dan tak tahu apa-apa tentang budaya dan situasi Rusia. Semua novel bagus memiliki nilai universalitas semacam itu. Hal tersebut yang membuat suatu novel terus dibaca bahkan setelah berabad-abad, melampaui zaman ketika ia dituliskan.
“Berat”, bertele-tele, melelahkan, sukar dicerna, bahasanya ribet, dan seterusnya dan seterusnya-tidak satu pun dari semua prasangka itu terbukti, ketika saya selesai merampungkan The Brothers Karamazov. Segala yang terjadi hanyalah kebalikannya. Novel ini serunya sama seperti menonton film Hollywood dengan aktor orang-orang Rusia yang bercakap-cakap tentang hal-hal yang saya sukai. Singkat kata, pengalaman pertama saya membaca karya sastra klasik membuat saya belajar setidaknya satu hal penting: prasangka buruk adalah hal yang sama sekali tidak perlu dan sia-sia. Baik kepada manusia maupun kepada buku. ***