Terutama bagi perantau seperti saya, sulit untuk menulis tentang sebuah kota. Maksudnya menulis secara komperehensif, bukan hanya soal keindahannya atau bukan pula semata mengutuki kesemrawutannya. Seperti misalnya: mudah bagi seseorang menulis panjang-lebar tentang kemacetan Jakarta, tapi bagaimana dengan sisi-sisinya yang lain? Sisi-sisi yang indah, menarik, dan menyedot setiap orang dari berbagai tempat di Indonesia hingga mendatangi kota tersebut. Tapi, mungkin menulis tentang sebuah kota memang persoalan memilih, sama seperti menulis tentang hal-hal lain. Menulis seperti memotret, kita memilih mana yang ingin kita perlihatkan dan mana yang tidak ingin kita perlihatkan.
Orhan Pamuk, dalam memoarnya Istanbul: Memories and the City (Vintage, 2006: terjemahan bahasa Inggris oleh Maureen Freely) memilih satu hal: Melankoli. Dari banyak yang bisa ia tulis tentang kota di Turki yang telah ia tinggali selama lebih dari setengah abad itu, ia memilh subyek melankoli. Kenapa melankoli? Menurut Pamuk, hal itulah yang melekat pada Istanbul dan para Istanbullus-penghuni Istanbul.
Tetapi melankoli yang Pamuk bahas bukanlah sejenis melankoli personal, yang biasa melanda kita secara tiba-tiba saat mengenang atau memikirkan sesuatu dengan alasan yang bisa unik di masing-masing orang-melainkan, Pamuk sedang bicara soal “melankoli kolektif”. “Melankoli kolektif” ini adalah sejenis melankoli yang dialami secara bersama-sama oleh seluruh Istanbullus. Melankoli tersebut datang dari keruntuhan besar kekaisaran Ottoman di masa lalu. Dalam bahasa Turki ada kata yang, menurut Pamuk, dapat mewakili lebih tepat: Hüzun, yang kurang-lebih artinya juga kesedihan atau melankoli. Melankoli inilah yang menyelubungi setiap sudut kota Istanbul. Ke mana pun seseorang melemparkan pandangannya, yang ia lihat hanyalah sisa-sisa kejayaan kekaisaran di masa lalu.
Meski berbicara tentang melankoli kolektif suatu kota dan para pemukimnya, Pamuk tak memulai memoarnya dengan membicarakan Istanbul. Ia lebih dahulu menceritakan dirinya sendiri beserta keluarganya. Ia bertutur tentang masa kecilnya; bagaimana ia kerap membayangkan ada Orhan lain di suatu tempat yang selalu bahagia dan punya kehidupan berbeda dengan dirinya (saya teringat mitos doppleganger); bagaimana ia sering bersaing dengan abangnya, bahkan sampai bertengkar, dalam usaha mengambil perhatian ibunda dan sang nenek; bagaimana keluarga besarnya tinggal di satu apartemen; bagaimana saat muncul permasalahan di hubungan perkawinan kedua orangtuanya dan berujung pada perceraian; bagaimana ia punya cita-cita ingin menjadi pelukis; dan seterusnya.
Dari memori masa kecil itu, barulah Pamuk bergerak ke kota. Ia menggambarkan dengan filmis bagaimana lanskap Bosphorus tempat ia sering melihat kapal-kapal melintas dan sekali waktu bertabrakan sehingga membuat seluruh warga Istanbul berkumpul menontonnya (saya teringat orang-orang Indonesia yang gemar menonton musibah seperti misalnya kecelakaan atau ledakan bom). Ia juga mendeskripsikan sudut-sudut jalan Beyoglu yang masih menyimpan rumah para pasha.
Selebihnya, Pamuk bercerita tentang bagaimana para penulis dan seniman lukis kesukaannya memandang dan memaknai Istanbul. Ia menyebut, misalnya saja, Antoine Ignace Melling (1763-1831) pelukis kelahiran Karlsruhe, Jerman, yang melukis lanskap Bosphorus dengan, seperti kata Pamuk, “detail sehari-hari dan nuansa arsitektur yang tidak pernah dicapai seniman Eropa mana pun.” Dalam usaha melengkapi penjelasannya tentang hüzun atau melankoli kolektif Istanbul, Pamuk menyebut beberapa penulis Turki (semuanya hidup di abad ke-18 dan ke-19)-Yahya Kemal (1884-1958), Resat Ekrem Koçu (1905-1975), Abdülhak Sinasi Hisar (1887-1963), dan Ahmet Hamdi Tanpinar (1901-1962-lantas menggambarkan bagaimana keempat penulis tersebut mendiskusikan hüzun-nya masing-masing. Barangkali Pamuk melakukan ini untuk menegaskan bahwa ia tidak merasakan melankoli itu sendirian.
Saya melihat Istanbul: Memories and the City sebagai rekam sejarah keluarga, kota, dan daftar seniman kesukaan Pamuk. Secara konstan, Pamuk berpindah-pindah dari ingatan masa kecilnya ke sejarah Istanbul dan kehidupan seniman-seniman kesukaannya saat mereka tinggal atau sekadar berkunjung ke Istanbul.
Ketika membaca sebuah buku tentang suatu kota, hal pertama yang saya lihat adalah siapa penulisnya. Maksud saya, siapakah dia kaitannya dengan kota yang ia tuliskan. Apakah si penulis warga asli kota tersebut, peneliti atau sejarawan yang tidak berasal dari kota itu, ataukah sekadar turis? Tentu saja ini penting setidaknya bagi saya, untuk membuat saya yakin bahwa semua yang ditulis dalam buku tersebut dapat dipercaya. Dalam pada itu, yang membuat Istanbul dapat dipercaya, selain karena ia ditulis oleh seorang Istanbullus, tetapi juga ditulis oleh seorang Istanbullus yang tidak pernah tinggal di mana pun di luar Istanbul selama tidak kurang dari 50 tahun (kecuali saat Pamuk pernah dipaksa keluar dari Turki saat ia bicara tentang pembantaian massal suku Armenia oleh kekaisaran Ottoman; tapi ia balik lagi ke Turki). Sehingga, misalnya, meski bukan ditulis oleh seorang sejarawan, saya kira Istanbul dapat disejajarkan dengan buku-buku lain tentang sejarah Turki secara umum atau Istanbul secara khusus.
Selain memori personal dan melankoli sejarah, hal lain yang menarik dalam memoar Pamuk ini adalah bagaimana di suatu bagian ia bercerita tentang kehidupan orang-orang kelas atas Istanbul. Pamuk sendiri sebetulnya berasal dari keluarga kaya-raya (meski ia menyebut keluarganya sempat mengalami kebangkrutan, tapi sepertinya tak terlalu berpengaruh terhadap kehidupannya). Anehnya, Pamuk ternyata mengejek kebiasaan dan perilaku orang-orang kaya Istanbul. Pamuk mengacu pada para keluarga kaya-raya Istanbul yang lebih kaya dari keluarganya. Ia mengejek kegemaran orang-orang kaya Istanbul bergosip dan pamer harta-benda dengan bergaya mewah. Ia juga tidak suka melihat bagaimana ibunya berusaha untuk masuk ke dalam lingkaran orang-orang kaya itu. Di titik ini saya teringat salah satu tokoh di novel Dengarlah Nyanyian Angin, Haruki Murakami, yang kerap menyatakan kebenciannya terhadap orang-orang kaya meski dirinya sendiri berasal dari keluarga kaya-raya.
Salah satu hal konyol yang Pamuk temukan pada orang-orang kaya Istanbul ini adalah bagaimana mereka berusaha untuk menjadi “modern”. Sejak keruntuhan kekaisaran Ottoman di masa lalu yang jauh, Mustafa Kemal Ataturk-founding father RepublikTurki-membawa ide modernisasi ke hadapan rakyat Turki. Modernisasi ini dilakukan pertama-tama dengan melenyapkan apa-apa yang berasal dari “ketimuran” Ottoman: pakaian, rumah-rumah kayu, atribut-atribut lain yang menyimpan nuansa kekaisaran. Dari sana segala melankoli bermula. Sayangnya modernisasi ini, seperti dikatakan Pamuk, masih berkutat pada yang berada di kulit: pakaian, peralatan rumah tangga, industrialisasi, benda-benda.
Seorang reporter Inggris pernah bertanya kepada Pamuk di suatu wawancara apakah menurutnya modernisasi di Turki berhasil. Pamuk menjawab pertanyaan itu dengan pertanyaan lain: “Apa arti modernitas? Jika itu berarti pertumbuhan ekonomi dan industri, bisa jadi Turki sudah modern. Tapi jika modernitas berarti sekularisme, demokrasi, dan respek terhadap setiap individu, saya tidak yakin apakah Turki sudah modern atau belum.” Mendengar pernyataan Pamuk itu, saya kira apa yang ia gelisahkan tidak hanya relevan pada situasi terkini di Turki, melainkan juga negara-negara lain yang saat ini membanggakan modernitas tapi toh penduduknya masih saja selalu rusuh setiap menemui perbedaan. ***