Murakami berhenti bersembunyi. Itu yang saya lihat ketika membaca paragraf pembuka Colorless Tsukuru Tazaki and His Years of Pilgrimage (selanjutnya saya sebut ‘Colorless Tsukuru’). Ia tidak lagi meletakkan kehidupan soliter dan ‘ideologi kesendirian’ sebagai sesuatu yang tersirat lewat adegan-adegan dan peristiwa-peristiwa yang dialami tokoh-tokoh dalam novelnya. Kali ini, Murakami secara gamblang langsung berkata kepada pembaca bahwa tokoh utama novelnya sudah lama ingin mati.
From July of his sophomore year in college until the following January, all Tsukuru Tazaki could think about was dying.
Tsukuru Tazaki memiliki empat orang sahabat. Keempatnya menyandang nama yang ternyata adalah warna-warna dalam bahasa Jepang: Akamatsu (red pine), Oumi (blue sea), Shirane (white root), dan Kurono (black field). Hanya Tsukuru Tazaki yang tidak mengandung arti warna pada namanya. Sejak saat itulah ia merasa berbeda dari keempat sahabatnya. Namanya tidak berwarna. Colorless Tsukuru.
Konflik Colorless Tsukuru langsung diperlihatkan semenjak awal. Murakami membawa saya ke dalam alam pikir Tsukuru yang-seperti tokoh-tokoh utama novelnya yang lain-depresif. Tsukuru memikirkan kematian selama berbulan-bulan, mencari cara untuk mengakhiri hidupnya dengan mudah dan cepat karena ia tidak ingin merepotkan orang lain. Lewat Tsukuru, Murakami menggambarkan dengan kuat bagaimana rasa kekosongan menguasai jiwa manusia.
Kalau saya tidak salah menghitung, Colorless Tsukuru adalah buku Murakami yang kesembilan belas (koreksi jika saya salah). Terbit berdekatan dengan novela berilustrasi The Strange Library. Ada rumor bahwa di akhir tahun 2014, Murakami ngebut mengeluarkan buku baru karena mengejar posisi di penghargaan kesusastraan Nobel (yang mana lagi-lagi tidak dia menangi).
Colorless Tsukuru memiliki konflik yang sederhana. Setidaknya lebih sederhana ketimbang, misalnya, Kafka on the Shore atau 1Q84. Novel dengan konflik persahabatan ini terasa lebih kasual dan realis, mirip Norwegian Wood. Tidak ada hal-hal gaib atau surealis yang terjadi di dalamnya. Tidak ada kucing berbicara, sarden berjatuhan dari langit, ataupun rembulan kembar. Murakami membuat ‘sekuel’ dari Norwegian Wood dengan kembali menulis novel ‘ringan’. Dan menurut saya, jika bisa dibandingkan vis-à-vis karena formatnya sama-sama realis, Colorless Tsukuru lebih bagus daripada Norwegian Wood.
Tidak banyak hal baru sebetulnya di Colorless Tsukuru. Karakter-karakternya, terutama karakter utama, masih pemuda yang (sekilas) normal, sederhana, tidak punya keinginan kuat akan sesuatu (kecuali kereta api), medioker, tidak merasa lebih dengan hidupnya tidak pula merasa kurang, dan seterusnya. Sama seperti Toru Watanabe di Norwegian Wood atau Tengo di 1Q84.
Yang menarik dari Murakami barangkali ketekunannya menggali sesuatu. Ibarat seorang penggali sumur yang andal, dia tidak akan pindah ke lubang lain sebelum lubang yang sedang ia gali mencapai kedalaman yang ia inginkan. Ia sendiri tidak tahu sedalam apa yang mesti ia capai, maka ia terus saja menggali.
Itu yang terjadi dengan elemen-elemen fiksi Murakami. Manusia yang terisolasi dari lingkungan sosialnya, ia gali sampai ke dalam. Bagaimana seorang yang sangat soliter memandang dunia maupun melihat ke dirinya sendiri. Kekosongan yang dirasakan seorang manusia karena penyebab-penyebab tertentu, keinginan untuk mati, dan perasaan dibuang dari kelompok. Hal-hal tersebut terus Murakami garap dari buku ke buku, tanpa mengetahui atau mengukur sejauh mana ia harus menggarapnya.
Di satu sisi, ini bisa menyebabkan kebosanan. Saya bercanda kepada diri sendiri, dengan angkuh mengatakan bahwa saya tahu alasan Murakami tidak menang Nobel Kesusastraan. Yakni karena ia tidak keluar dari sekat yang ia bangun di sekeliling dirinya. Ia terus-menerus menggali ke dalam, tanpa menangkap peristiwa yang terjadi di luar. Sangat mungkin analisis ceroboh saya ini keliru. Setidaknya dapat dilihat bahwa dari seluruh buku yang pernah ia tulis, hanya sedikit yang bisa dibilang Murakami melihat ‘ke luar’.
Namun, di lain sisi, bisa jadi ini menunjukkan salah satu kehebatan Murakami. Ia sangat tekun. Ia berfokus hanya pada satu lubang lantas menggali habis lubang itu sampai ia pikir tak ada gunanya ia menggali lebih dalam lagi. Hal ini dapat terlihat dari minimnya eksplorasi gaya tutur maupun tema. Dari buku ke buku, kita dapat menemukan benda-benda atau elemen-elemen yang terus muncul dan berulang. Murakami menyekat dirinya untuk berlari di satu lintasan panjang dan menulis hal itu-itu saja. Tetapi, seperti saya katakan sebelumnya, barangkali dengan melakukan hal tersebut dia mengasah kemampuan fokus dan kesabarannya sebagai seorang pengarang.
Tsukuru Tazaki dapat kita temukan di buku-bukunya yang lain dengan nama berbeda. Sifat, tingkah laku, dan kebiasaannya akan sama. Begitu pula dengan sahabat-sahabat Tsukuru, kita akan menemukan mereka di buku-buku lain milik Murakami dengan nama berbeda. Saya ingin menuduh Murakami telah terjebak pada suatu pola dan bentuk.
Mannerism. “Ciri khas” dalam sebuah karya (atau rangkaian karya, jika pengarangnya sudah menelurkan banyak buku) bisa menjadi keunggulan yang membedakan si pengarang dengan pengarang-pengarang lain, namun bisa juga jadi jurang yang berbahaya. Ciri khas membawa pengarangnya pada sebuah pakem, yang sadar atau tidak akan dia patuhi di karya-karya ia berikutnya. Padahal, ketika pakem sudah terbentuk, maka eksplorasi atau eksperimen tidak terjadi. Ketika eksplorasi atau eksperimen tidak terjadi, kreativitas menemui jalan buntu.
Lagi-lagi, saya tidak ingin ceroboh mengatakan bahwa Haruki Murakami telah menemui jalan buntu kreativitasnya. Walau bisa kita lihat dari bukunya yang satu dengan bukunya yang lain, tidak ada yang betul-betul berbeda dan baru (apakah hal ini bagus atau tidak bagi seorang penulis, masih bisa kita diskusikan lebih lanjut, namun saya sudah menyampaikan argumen tentang hal ini). Saya hanya membayangkan Murakami keluar dari kamarnya, melihat tempat-tempat baru, menemui orang-orang baru dan berbeda dengan dirinya, menjelajah ke area lain.
Jika itu terjadi, saya rasa akan ada kesegaran yang betul-betul baru dan berbeda dari karya Murakami. Dan, tentu saja ini adalah hiburan bagi pembaca setianya, yang telah berulang kali disuguhkan hal-hal serupa, tahun demi tahun.
Ah, apa-apaan ya. Saya jadi merasa terlalu sok tahu dan menggurui Murakami. Tidak tepat begitu, sih. Barangkali ini hanya wujud ekspresi saya yang perlahan-lahan mulai merasa bosan (namun saya tetap berencana menyelesaikan membaca semua bukunya) dengan hal-hal itu-itu saja yang kembali muncul, terus berulang dari satu buku ke buku lain. Jujur saja, saya jemu. Terhibur, namun jemu. Saya hanya berharap Murakami keluar dari sumurnya dan pergi ke pantai atau naik gunung.
Saya hanya penggemar yang menginginkan idolanya melakukan hal baru. ***